TINJAUAN PUSTAKA
I. KESEHATAN REMAJA
A. Gambaran umum dan permasalahan
Masa remaja atau masa adolesens adalah suatu fase tumbuh kembang
yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan
periode transisi dari masa kanak- kanak ke masa dewasa yang ditandai
dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial.
Untuk tercapainya tumbuh kembang remaja yang optimal tergantung pada
potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja
merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan
biofisikopsikososial. Proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda
memberikan ciri tersendiri pada setiap remaja.
Masih terdapat berbagai pendapat tentang umur kronologis berapa
seorang anak dikatakan remaja. Menurut WHO, remaja adalah bila
anak telah mencapai umur 10-19 tahun. Menurut Undang-Undang No.4
tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. Menurut Undang-
Undang Perburuhan, anak dianggap remaja bila telah mencapai umur 16-
18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, anak dianggap
remaja bila sudah cukup matang untuk menikah yaitu 16 tahun untuk anak
perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menganggap remaja bila sudah berusia 18 tahun yang sesuai
dengan saat lulus dari sekolah menengah.
Kelompok remaja, yaitu penduduk dalam rentang usia 10-19
tahun, di Indonesia memiliki proporsi kurang lebih 1/5 dari jumlah
seluruh penduduk. Ini sesuai dengan proporsi remaja didunia dimana
jumlah remaja diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah
penduduk dunia (WHO, 2003).
Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang pada remaja ini
menyebabkan dimanapun ia menetap, mempunyai sifat khas yang sama
yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan
dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas
perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Sifat
tersebut dihadapkan pada ketersediaan sarana di sekitarnya yang dapat
memenuhi keingintahuan tersebut. Keadaan ini sering kali mendatangkan
konflik batin dalam diriya. Apabila keputusan yang diambil dalam
menghadapi konflik tidak tepat, mereka akan jatuh kedalam perilaku
berisiko dan mungkin harus menanggung akibat lanjutnya dalam bentuk
berbagai masalah kesehatan fisik dan psikososial, yang bahkan mungkin
harus ditanggung seumur hidupnya.
B. Epidemiologi
Berdasarkan data di Indonesia, pada tahun 2000 ditemukan sebanyak
18.9 juta kasus PMS. Sebesar 9.1 juta (48%) kasus ditemukan pada
remaja atau dewasa muda, dengan rentan usia 15-24 tahun. Tiga
penyebab PMS antara lain Human Papilomavirus, Trichomoniasis dan
Chlamydia merupakan penyebab dominan padda PMS (Kementrian RI,
2011). Central Disease Center (CDC) menunjukan bahwa ada lebih dari
110 juta kasus PMS secara keseluruhan pada pria dan wanita. Perkiraan ini
mencakup infeksi baru dan yang sudah ada (CDC, 2013).
D. Penanganan
Penatalaksanaan PMS dibagi menjadi dua yaitu; secara non-
medikamentosa dan medikamentosa (kapita selekta, 2000).
1. Non-medikamentosa
Tatalaksana non-medikamentosa dilakukan dengan cara pemberian
informasi atau edukasi kepada pasien dan pada populasi berisiko
(remaja atau dewasa muda). Edukasi yang diberkian menjelaskan
tentang :
- PMS dan komplikasi yang dapat terjadi
- Pentingnya dalam mematuhi pengobatan yang diberikan
- Cara penularan dari PMS dan perlunya pengobatan untuk
pasangan seks tetapnya
- Menghindari berhubungan seksual yang berisiko dan
menggunakan pengaman saat berhubungan seksual
- Cara menghindari infeksi dimasa yang akan datang.
2. Medikamentosa
Penanganan secara medikametosa diberikan pada pasien atau populasi
yang telah mengalami paparan terhadap PMS. Pengobatan dilakukan
berdasarkan jenis patogen serta manifestasi klinis yang terlihat.
IV. PENGETAHUAN DAN SIKAP
A. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari pengindraan manusia yaitu indra
pengelihatan, pendengaran, peraba, pengecap dan penciuman. Dari hasil
pengindraan ini seseorang akan mengetahui sesuatu yang nantinya akan
menciptakan sebuah pengetahuan. Pengetahuan merupakan hal yang sangat
penting dalam menentukan sikap dan perilaku seseorang terhadap suatu
objek (Notoadmodjo, 2003).
Pengetahuan memiliki 6 tingkat yaitu tahu, paham, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Tahu adalah kemampuan untuk mengingat kembali
materi yang telah dipelajari sebelumnya, dan kata kerja yang dapat
menguraikan bahwa seseorang itu tahu adalah mendefinisikan,
menyatakan, dan lain-lain. Paham merupakan suatu kemampuan untuk
dapat menjelaskan dan menginterpretasikan suatu objek dengan benar
sehingga mampu memberi contoh dan menyimpulkan sesuatu. Aplikasi
yaitu kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang sudah di pelajari
dalam menghadapi suatu objek. Analisis adalah kemampuan untuk
menjabarkan suatu materi yang masih dalam suatu struktur dan
memiliki kaitan satu sama lainnya. Sintesis merupakan kemampuan
untuk menyusun, merencanakan dan menggabungkan sesuatu
sehingga akan terbentuk kesatuan yang baru. Terakhir, evaluasi yaitu
kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek
(Notoadmodjo, 2003).
B. Sikap
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sikap diartikan sebagai
kesiapan untuk bertindak. Allport, dalam Widayanta (2002),
mengartikan sikap sebagai suatu keadaan siap yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap objek tertentu yang mengarah
pada arah yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung
(unfavorable).
Sikap memiliki 3 komponen penting, yaitu komponen kognisi, afeksi,
dan konasi. Kognisi merupakan penerimaan informasi oleh panca indera
yang kemudian akan dipersepsikan dan diproses, dibandingkan dengan data
yang telah dimiliki, lalu disimpan dalam ingatan dan digunakan dalam
merespon rangsangan. Afeksi berhubungan dengan perasaan atau emosi
individu yang berupa senang atau tidak senang terhadap objek sikap.
Sedangkan konasi merupakan kecenderungan tindakan atau respon
individu terhadap objek sikap yang berasal dari masa lalu. Respon yang
dimaksud dapat berupa tindakan yang dapat diamati dan dapat berupa
niat atau intensi untuk melakukan perbuatan tertentu sehubungan
dengan objek sikap (Sarwono dan Meinarno, 2009).
DAFTAR PUSTAKA