Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. KESEHATAN REMAJA
A. Gambaran umum dan permasalahan
Masa remaja atau masa adolesens adalah suatu fase tumbuh kembang
yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan
periode transisi dari masa kanak- kanak ke masa dewasa yang ditandai
dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial.
Untuk tercapainya tumbuh kembang remaja yang optimal tergantung pada
potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja
merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan
biofisikopsikososial. Proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda
memberikan ciri tersendiri pada setiap remaja.
Masih terdapat berbagai pendapat tentang umur kronologis berapa
seorang anak dikatakan remaja. Menurut WHO, remaja adalah bila
anak telah mencapai umur 10-19 tahun. Menurut Undang-Undang No.4
tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. Menurut Undang-
Undang Perburuhan, anak dianggap remaja bila telah mencapai umur 16-
18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri.
Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, anak dianggap
remaja bila sudah cukup matang untuk menikah yaitu 16 tahun untuk anak
perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menganggap remaja bila sudah berusia 18 tahun yang sesuai
dengan saat lulus dari sekolah menengah.
Kelompok remaja, yaitu penduduk dalam rentang usia 10-19
tahun, di Indonesia memiliki proporsi kurang lebih 1/5 dari jumlah
seluruh penduduk. Ini sesuai dengan proporsi remaja didunia dimana
jumlah remaja diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah
penduduk dunia (WHO, 2003).
Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang pada remaja ini
menyebabkan dimanapun ia menetap, mempunyai sifat khas yang sama
yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan
dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas
perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Sifat
tersebut dihadapkan pada ketersediaan sarana di sekitarnya yang dapat
memenuhi keingintahuan tersebut. Keadaan ini sering kali mendatangkan
konflik batin dalam diriya. Apabila keputusan yang diambil dalam
menghadapi konflik tidak tepat, mereka akan jatuh kedalam perilaku
berisiko dan mungkin harus menanggung akibat lanjutnya dalam bentuk
berbagai masalah kesehatan fisik dan psikososial, yang bahkan mungkin
harus ditanggung seumur hidupnya.

B. Tahapan masa remaja


Masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yaitu masa remaja
awal (10-14 tahun), menengah (15-16 tahun), dan akhir (17-20 tahun).
1. Masa remaja awal
Masa remaja awal ditandai dengan peningkatan cepat pertumbuhan dan
pematangan fisik.
2. Masa remaja menengah
Masa remaja menengah ditandai dengan hampir lengkapnya
pertumbuhan pubertas, timbulnya keterampilan-keterampilan berpikir
yang baru, peningkatan pengenalan terhadap datangnya masa dewasa,
dan keinginan untuk memapankan jarak emosional dan psikologis
dengan orangtua.
3. Masa remaja akhir
Masa remaja akhir ditandai dengan persiapan untuk peran sebagai
orang dewasa, termasuk klarifikasi tujuan pekerjaan dan internalisasi
suatu sistem nilai pribadi.
Tipe Usia (tahun) Karakteristik Dampak
Memperhatikan tahapan
Masa pubertas, fisik dan seksual, rasa
Remaja dini 10-13 hubungan dengan tanggung jawab,
teman, kognisi konkret interaksi dengan alat
verbal dan visual
Muncul dorongan Menarik lawan jenis
seksual, perubahan kebebasan bertambah,
Remaja pertengahan 14-16 perilaku, kebebasan, sikap ambivalen, ego
kognisi abstrak belum stabil
Hubungan individual,
lebih terbuka,
Kematangan fisik, memahami tanggung
saling berbagi rasa, jawab, memahami
Remaja Akhir 17-21 edealis, emandipasi tanggung jawab,
mantap paham tujuan hidup,
paham kesehatan.

C. Faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan remaja


Pada awal dekade yang lalu penyalahgunaan NAPZA (Narkotik,
Psikotropik dan Zat adiktif lainnya) pada remaja belum semarak seperti
saat ini dan infeksi HIV/AIDS masih amat langka. Perilaku seksual
berisiko dikalangan remaja belum terungkap dalam angka yang
menghawatirkan. Kesehatan remaja pada masa itu belum menjadi
prioritas. Keadaan tersebut berangsur berubah, terjadi kecenderungan
peningkatan perilaku tidak sehat pada remaja.
Faktor lingkungan yang menyebabkan perilaku berisiko pada remaja
adalah kondisi lingkungan yang permisif terhadap perilaku berisiko
(ketersediaan fasilitas/sarana yang mendukung perilaku berisiko, ketiadaan
penegakan hukum terkait kesehatan) atau bahkan mendorong perilaku
berisiko (melalui informasi yang salah, iklan). Secara rinci, terjadinya
faktor lingkungan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Informasi yang merugikan mudah diakses.
Hal ini terjadi seiring dengan pesatnya arus informasi melalui berbagai
media cetak dan elektronik. Meskipun banyak informasi bersifat positif,
namun sering kali pula informasi yang diberikan tidak dapat
dipertanggungjawabkan misalnya karena tidak tepat, kurang lengkap,
tidak benar dan bahkan menjerumuskan.
2. Substansi merugikan mudah didapat.
Contoh substansi tersebut adalah NAPZA. Lemahnya penegakan
hukum terhadap pengedar NAPZA, pengedar buku dan audio visual
porno, mengakibatkan mudahnya remaja terpapar bahan-bahan yang
merugikan tersebut.
3. Turunnya nilai - nilai sosial dalam masyarakat.
Globalisasi, menyebabkan budaya barat yang cenderung
bebas, misalnya kebebasan dalam pergaulan laki-laki dan perempuan
ditiru oleh sebagian remaja, sementara perlindungan terhadap akibat
dari pergaulan bebas tersebut, tidak mudah didapatkan. Hal ini
diperburuk dengan lemahnya pengawasan orang tua.
4. Kemiskinan.
Kemiskinan dalam keluarga menyebabkan remaja tidak dapat
melanjutkan sekolah dan terpaksa harus bekerja dalam suasana penuh
persaingan hingga mudah terpapar berbagai tindak kekerasan, dan
terjun ke dalam perilaku berisiko. Perilaku berisiko yang mereka
lakukan dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan tak diinginkan,
terinfeksinya penyakit menular seksual, terpaparnya tindak kekerasan,
serta timbulnya komplikasi akibat penyalahgunaan NAPZA. Semua
keadaan yang disebutkan di atas menunjukkan besarnya masalah
kesehatan pada remaja saat ini, dan mengisyaratkan perlunya
penanganan dengan segera secara lebih bersungguh-sungguh.

D. Situasi pelayanan kesehatan remaja di Indonesia


Program Kesehatan Remaja sudah mulai diperkenalkan di puskesmas
sejak awal dekade yang lalu. Selama lebih sepuluh tahun, program ini
lebih banyak bergerak dalam pemberian informasi, berupa ceramah, tanya
jawab dengan remaja tentang masalah kesehatan melalui wadah Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS), Karang Taruna, atau organisasi pemuda
lainnya dan kader remaja lainnya yang dibentuk oleh Puskesmas. Staf
puskesmas berperan sebagai fasilitator dan narasumber. Pemberian
pelayanan khusus kepada remaja melalui perlakuan khusus yang
disesuaikan dengan keinginan, selera dan kebutuhan remaja belum
dilaksanakan. Dengan demikian, remaja, bila menjadi salah satu
pengunjung puskesmas masih diperlakukan selayaknya pasien lain sesuai
dengan keluhan atau penyakitnya. Melihat kebutuhan remaja dan
memperhitungkan tugas puskesmas sebagai barisan terdepan pemberi
layanan kesehatan kepada masyarakat, seharusnya Puskesmas memberikan
pelayanan yang layak kepada remaja sebagai salah satu kelompok
masyarakat yang dilayaninya. Pelayanan kesehatan remaja di puskesmas
amat strategis dan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien
mengingat ketersediaan tenaga kesehatan dan kesanggupan jangkauan
Puskesmas ke segenap penjuru Indonesia seperti halnya keberadaan
remaja sendiri, dari daerah perkotaan hingga terpencil perdesaan.

II. PEDOMAN PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR)


A. Pengertian PKPR
Pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat dijangkau oleh remaja,
menyenangkan, menerima remaja dengan tangan terbuka, menghargai
remaja, menjaga kerahasiaan, peka akan kebutuhan terkait dengan
kesehatannya, serta efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Singkatnya, PKPR adalah pelayanan kesehatan kepada remaja yang
mengakses semua golongan remaja, dapat diterima, sesuai, komprehensif,
efektif dan efisien.
B. Tujuan PKPR
Tujuan Umum: Optimalisasi pelayanan kesehatan remaja
Tujuan Khusus:
1. Meningkatkan penyediaan pelayanan kesehatan remaja yang berkualitas.
2. Meningkatkan pemanfaatan Puskesmas oleh remaja untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.
3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja dalam
pencegahan masalah kesehatan khusus pada remaja.
4. Meningkatkan keterlibatan remaja dalam perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi pelayanan kesehatan remaja.
C. Ciri khas atau karakteristik PKPR
Berikut ini karakteristik PKPR merujuk WHO (2003) yang
menyebutkan agar Adolescent Friendly Health Services (AFHS) dapat
terakses kepada semua golongan remaja, layak, dapat diterima,
komprehensif, efektif dan efisien.
D. Jenis kegiatan dalam PKPR
Jenis kegiatan meliputi :
1. Pemberian Informasi dan edukasi.
a. Dilaksanakan di dalam gedung atau di luar gedung, secara
perorangan atau berkelompok.
b. Dapat dilaksanakan oleh guru, pendidik sebaya yang terlatih dari
sekolah atau dari lintas sektor terkait dengan menggunakan materi
dari (atau sepengetahuan) petugas kesehatan.
c. Menggunakan metoda ceramah tanya jawab, FGD (Focus Group
Discussion), diskusi interaktif, yang dilengkapi dengan alat bantu
media cetak atau media elektronik (radio, email, dan
telepon/hotline,SMS)
2. Konseling
Konseling adalah hubungan yang saling membantu antara konselor
dan klien hingga tercapai komunikasi yang baik, dan pada saatnya
konselor dapat menawarkan dukungan, keahlian dan pengetahuan secara
berkesinambungan hingga klien dapat mengerti dan mengenali dirinya
sendiri serta permasalahan yang dihadapinya dengan lebih baik dan
selanjutnya menolong dirinya sendiri dengan bantuan beberapa aspek
dari kehidupannya. Tujuan konseling dalam PKPR adalah:
a. Membantu klien untuk dapat mengenali masalahnya dan
membantunya agar dapatmengambil keputusan dengan mantap
tentang apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi masalah
tersebut.
b. Memberikan pengetahuan, keterampilan, penggalian potensi dan
sumber daya secara berkesinambungan hingga dapat membantu klien
dalam mengatasi kecemasan, depresi atau masalah kesehatan mental
lain. Meningkatkan kewaspadaan terhadap isu masalah yang
mungkin terjadi pada dirinya.
c. Mempunyai motivasi untuk mancari bantuan bila
menghadapi masalah.

III. PENYAKIT MENULAR SEKSUAL


A. Definisi
Penyakit menular seksual (PMS) merupakan penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual. Penyakit menular seksual dapat dibagi
berdasarkan pathogen penyebab terjadinya infeksi menular seksual
(Kementrian RI, 2011).

B. Epidemiologi
Berdasarkan data di Indonesia, pada tahun 2000 ditemukan sebanyak
18.9 juta kasus PMS. Sebesar 9.1 juta (48%) kasus ditemukan pada
remaja atau dewasa muda, dengan rentan usia 15-24 tahun. Tiga
penyebab PMS antara lain Human Papilomavirus, Trichomoniasis dan
Chlamydia merupakan penyebab dominan padda PMS (Kementrian RI,
2011). Central Disease Center (CDC) menunjukan bahwa ada lebih dari
110 juta kasus PMS secara keseluruhan pada pria dan wanita. Perkiraan ini
mencakup infeksi baru dan yang sudah ada (CDC, 2013).

C. Jenis – Jenis Penyakit Menular Seksual


Yang termasuk dalam kategori penyakit menular seksual adalah :
1. Gonore
2. Sifilis
3. Herpes genitalis
4. Klamidia
5. Trikomoniasis vaginalis
6. Kandidiasis
7. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV)
8. HIV/ AIDS

D. Penanganan
Penatalaksanaan PMS dibagi menjadi dua yaitu; secara non-
medikamentosa dan medikamentosa (kapita selekta, 2000).
1. Non-medikamentosa
Tatalaksana non-medikamentosa dilakukan dengan cara pemberian
informasi atau edukasi kepada pasien dan pada populasi berisiko
(remaja atau dewasa muda). Edukasi yang diberkian menjelaskan
tentang :
- PMS dan komplikasi yang dapat terjadi
- Pentingnya dalam mematuhi pengobatan yang diberikan
- Cara penularan dari PMS dan perlunya pengobatan untuk
pasangan seks tetapnya
- Menghindari berhubungan seksual yang berisiko dan
menggunakan pengaman saat berhubungan seksual
- Cara menghindari infeksi dimasa yang akan datang.

2. Medikamentosa
Penanganan secara medikametosa diberikan pada pasien atau populasi
yang telah mengalami paparan terhadap PMS. Pengobatan dilakukan
berdasarkan jenis patogen serta manifestasi klinis yang terlihat.
IV. PENGETAHUAN DAN SIKAP
A. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari pengindraan manusia yaitu indra
pengelihatan, pendengaran, peraba, pengecap dan penciuman. Dari hasil
pengindraan ini seseorang akan mengetahui sesuatu yang nantinya akan
menciptakan sebuah pengetahuan. Pengetahuan merupakan hal yang sangat
penting dalam menentukan sikap dan perilaku seseorang terhadap suatu
objek (Notoadmodjo, 2003).
Pengetahuan memiliki 6 tingkat yaitu tahu, paham, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Tahu adalah kemampuan untuk mengingat kembali
materi yang telah dipelajari sebelumnya, dan kata kerja yang dapat
menguraikan bahwa seseorang itu tahu adalah mendefinisikan,
menyatakan, dan lain-lain. Paham merupakan suatu kemampuan untuk
dapat menjelaskan dan menginterpretasikan suatu objek dengan benar
sehingga mampu memberi contoh dan menyimpulkan sesuatu. Aplikasi
yaitu kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang sudah di pelajari
dalam menghadapi suatu objek. Analisis adalah kemampuan untuk
menjabarkan suatu materi yang masih dalam suatu struktur dan
memiliki kaitan satu sama lainnya. Sintesis merupakan kemampuan
untuk menyusun, merencanakan dan menggabungkan sesuatu
sehingga akan terbentuk kesatuan yang baru. Terakhir, evaluasi yaitu
kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek
(Notoadmodjo, 2003).

B. Sikap
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sikap diartikan sebagai
kesiapan untuk bertindak. Allport, dalam Widayanta (2002),
mengartikan sikap sebagai suatu keadaan siap yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap objek tertentu yang mengarah
pada arah yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung
(unfavorable).
Sikap memiliki 3 komponen penting, yaitu komponen kognisi, afeksi,
dan konasi. Kognisi merupakan penerimaan informasi oleh panca indera
yang kemudian akan dipersepsikan dan diproses, dibandingkan dengan data
yang telah dimiliki, lalu disimpan dalam ingatan dan digunakan dalam
merespon rangsangan. Afeksi berhubungan dengan perasaan atau emosi
individu yang berupa senang atau tidak senang terhadap objek sikap.
Sedangkan konasi merupakan kecenderungan tindakan atau respon
individu terhadap objek sikap yang berasal dari masa lalu. Respon yang
dimaksud dapat berupa tindakan yang dapat diamati dan dapat berupa
niat atau intensi untuk melakukan perbuatan tertentu sehubungan
dengan objek sikap (Sarwono dan Meinarno, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Anthony Yeo, Konseling, suatu pendekatan pemecahan masalah, 1995


Depkes RI dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Promosi kesehatan, Konseling
Kesehatan dalam pemberdayaan Keluarga, Panduan Pelatihan Konseling bagi
petugas Kabupaten/Kota, 2001
Depkes RI, Direktorat Kesga, Materi Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja, 2003
Humris, W. Edith, SpKJ-RSCM,Konseling Kesehatan remaja
Makalah untuk presentasi pada Orientasi PKPR bagi pengelola program, April
2004
Kelompok Studi KR-FKM UI & Depkes, Penilaian Situasi Kesehatan Anak Usia
Sekolah termasuk Remaja di Indonesia, 2001
Population Council, Press Briefing Kit III: Kesehatan Reproduksi Remaja, 2000
Sub-Bagian Psikiatri Anak dan Remaja FKUI, Program Kesehatan Mental
Remaja, (terjemahan dari: Modul to improve Adolescent Mental Health,
WHO SEARO, New Delhi-2002) 2003
WHO, Adolescent Friendly Health Service , An Agenda for Change, 2003
WHO, Life Skills Education, Program on Mental Health, 1994
http://www.k4health.org/sites/default/files/Program_PKPR_0_0.pdf

Anda mungkin juga menyukai