Anda di halaman 1dari 3

Nama anggota :

Tulivia Rizkikarunia Suryadi (1711015004)


Ninik Wirasti (1711015046)
Fitri Nor Alimah (1711015063)

Mata Kuliah
Ketahanan dan Keamanan Pangan

Tugas
Studi Kasus di Media Massa Sumber Bahaya Dalam Pangan

Judul Berita : Menelusuri Penyebab Keracunan Massal yang Terjadi Beruntun di


Kabupaten Sukabumi

Telah terjadi kasus keracunan massal secara beruntun di dua desa Kabupaten Sukabumi tepatnya
di Desa Mekarasih, Kecamatan Simpenan, dan di Desa Bojonggaling, Kecamatan Bantargadung.
Sebanyak ratusan orang telah menjadi korban dalam kejadian ini serta merenggut nyawa dua orang
warga dari Desa Bojonggaling.

Menurut WHO keracunan makanan terjadi ketika bakteri atau patogen jenis tertentu yang
membawa penyakit mengkontaminasi makanan, dapat menyebabkan penyakit. Beberapa bakteri
penyebab keracunan makanan seperti Bachillus cereus menghasilkan racun yang tahaan panas,
sehingga bakteri ini tidak dapat dilenyapkan melalui proses pemasakan.

Keracunan makanan biasanya berlangsung ringan, namun dapat menyebabkan kematian. Gejala
klinis yang muncul berupa keluhan mual, muntah, kram perut, dan diare yang timbul mendadak
mulai dari satu jam sampai 2-3 hari setelah mengonsumsi makanan atau minuman yang
terkontraminasi bakteri, kemudian dapat timbul keluhan demam, disertai rasa dingin,fases
berdarah, dehidrasi dan kerusakan sistem syaraf.

Dampak dari keracunan makanan pada kasus ini tergantung dari sumber bahaya yang terkandung
dalam pangan tersebut seperti yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter dapat mengakibatkan
sakit kepala yang berlebihan bahkan kelumpuhan syaraf hingga kematian. Keracunan makanan
sendiri menurut Permenkes nomor 2 tahun 2013 ialah seseorang yang menderita sakit dengan
gejala dan tanda keracunan yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang diduga
mengandung cemaran biologis atau kimia.

Penyebab keracunan makanan pada kasus ini adalah agent biologi dan kimia yang juga didukung
oleh kondisi lingkungan Desa Mekarsarih dan Desa Bojonggaling. Berdasarkan cara pengolohan
dapat disebabkan oleh bumbu yang dibeli di pasar yang tidak diketahui cara pengolahan baik atau
tidaknya dan masa kadaluarsa serta kandungan pewarna buatan.

Selanjutnya bisa juga dilihat dari cara masyarakat dalam menyajikan makanan, menurut berita
yang kami baca dalam kasus ini masyarakat memiliki kebiasaan menyajikan masakan yang telah
lewat 12 jam dari proses pemasakan yaitu mereka mulai memasak jam 7 malam kemudian
disajikan pada keesokan harinya pada pukul 11 sampai 12 siang.

Dari faktor sanitasi yang paling mempengaruhi ialah kondisi sumber air yang buruk yaitu air yang
berwarna, berbau dan mengandung kotoran hewan yang didukung faktor lingkungan seperti cuaca
panas yang menyebabkan cepatnya perkembangan bakteri pada makanan kemudian berdebu serta
tempat pengolahan makanan yang beralas tanah atau dapur dengan lantai tanah yang ditemukan
kotoran tikus.

Dugaan sementara yang didapatkan dari hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa keracunan ini
disebabkan oleh bakteri yang bersumber dari hewan yang dimana sampel ini didapat dari tinja
korban keracunan. Setelah dilakukan uji laboratorium ditemukan kandungan bakteri
Kampilobakter Jejuni didalam tinja korban yang mana bakteri ini bisa menimbukan gejala
Guilliain Barre Syndrome (GBS) yaitu menimbulkan sakit kepala yang luar biasa, sakit badan,
diare, muntah, pusing yang bisa menimbulkan kelumpuhan syaraf yang akhirnya bisa
menyebabkan kematian. Bakteri ini bersifat Microaerophilic yang dimana lebih cepat berkembang
ketika suhu panas, hal ini berhubungan dengan cuaca di dua desa pada kabupaten tersebut yang
sedang dalam kondisi kemarau.

Untuk menangani kejadian ini Dinkes memiliki tim reaksi cepat yang diterjunkan ke lapangan
untuk menangani kejadian ini, hal yang pertama kali dilakukan ialah memenuhi kebutuhan dasar
yaitu keseimbangan cairan dalam tubuh korban dengan memberikan obat sesuai takaran. Setelah
itu, dilakukan penyelidikan epidemiologi dan identifikasi di lapangan yang perlu diamankan dalam
pengambilan sampel adalah makanan yang dikonsumsi atau muntahan korban, termasuk air yang
digunakan sumbernya darimana.

Upaya yang dilakukan oleh Dinkes agar KLB (kejadian luar biasa) keracunan yang terjadi tidak
terjadi lagi menjalankan program sanitasi dengan sasaran fokus yaitu mengubah perilaku
masyarakat untuk memenuhi sarana MCK (mandi cuci kakus) dan sumber air bersih serta Dinkes
dan petugas kesehatan selalu waspada dan melakukan mapping area deteksi dini terhadap KLB
(kejadian luar biasa) dan juga dilakukan operasi pasar oleh Dinkes, Puskesmas dengan Dinas
Perindustrian Perdagangan (DPKUKM) untuk melihat apakah kondisi makanan masih layak untuk
dikonsumsi dilihat dari masa kadaluarsa dan tampilan makanan apakah sudah berjamur atau tidak.
Pencegahan agar tidak terulang kejadian keracunan makanan hal yang perlu diperhatikan ialah
kebersihan lingkungan, terutama lingkungan di sekitar tempat pengolahan makanan. Selain itu
teknik pemilihan, pengolahan, penyajian serta penyimpanan bahan makanan dan makanan yang
telah diolah harus diperhatikan agar tidak terjadi kontaminasi silang pada makanan yang
dikonsumsi.

Dalam pemilihan bahan makanan pisahkan bahan makanan berdasarkan jenisnya seperti sayur dan
buah, makanan siap saji dan makanan kemasan. Untuk teknik pengolahan gunakan teknik yang
berbeda dan tempatkan buah dan sayur terpisah dari telur daging dan ikan. Saat penyajian makanan
pastikan wadah untuk penyajian makanan telah bersih. Serta untuk penyimpanan makanan
letakkan bahan makanan di kulkas sesuai dengan jenisnya dan gunakan wadah tertutup untuk
menyimpan bahan makanan mentah, serta jauhkan bahan makanan mentah dari makanan siap
makan.

Sumber berita:

https://sukabumiupdate.com/detail/mereka/wawancara/58903-Menelusuri-Penyebab-Keracunan-
Massal-yang-Terjadi-Beruntun-di-Kabupaten-Sukabumi

Anda mungkin juga menyukai