Anda di halaman 1dari 7

Cara menghitung progress pekerjaan proyek

pengawasan dan pengendalian proyek

Menghitung progress pekerjaan proyek konstruksi secara umum yaitu memperkirakan berapa nilai
prosentasi pekerjaan yang sudah dilaksanakan dibanding dengan total penyelesaian secara
keseluruhan, melihat dari pengertian tersebut maka kita bisa mendapatkan gambaran tentang
bagaimana cara menghitungnya. untuk lebih jelasnya disini kita akan mencoba membuatkan tutorial
yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan perhitungan menyesuaikan dengan
kondisi proyek yang akan dihitung. sebelumnya perlu kita ketahui macam-macam fungsi progress
proyek yang dapat dibaca pada artikel berikutnya disini agar lebih semangat atau setidaknya tahu
alasan kuat kenapa perlu menghitung progress proyek dengan baik dan benar.

Rumus progress pekerjaan proyek

Progress = (Volume pekerjaan yang sudah dikerjakan : Volume total pekerjaan ) x 100%

Cara menghitung progress pekerjaan proyek

1.Pertama kita buat rincian item pekerjaan yang ada dalam proyek, contohnya ada pemasangan
pondasi batu kali, pekerjaan sloff, pekerjaan kolom struktur, pemasangan dinding batu bata dan
seterusnya.

2.Masing-masing item pekerjaan tersebut kita hitung berapa volume dan harga totalnya, data
volume ini adalah nilai progress 100%.

3.Dalam pelaksanaan pembangunan akan ada pekerjaan yang sudah dikerjakan dan ada juga yang
belum, maka kita bisa hitung volume pekerjaan yang sudah dilaksanakan.

4.Dari data volume pekerjaan yang sudah dihitung tersebut maka dapat dicari prosentase
progressnya.

Contoh perhitungan progress proyek

Sebuah pekerjaan pemasangan batu kali sepanjang 99m berbentuk penampang trapesium ( ukuran
tinggi = 1 m panjang sisi bawah 0,8 m panjang sisi atas 0,4 m ). sampai saat ini sudah dikerjakan
sepanjang 17 m. harga satuan pekerjaan pasangan batu kali per m3 adalah Rp.500.000,-, berapa
progress pekerjaan yang sudah diselesaikan? berapa total harga pekerjaan dan berapa harga
pekerjaan yang sudah dikerjakan? mari kita hitung bersama disini :-)

•Volume total pasangan batu kali = (((0,8m + 0,4m)/2)x 1m) x 99m = 59,4 m3.

•Volume pasangan batu kali yang sudah dikerjakan = (((0,8m + 0,4m)/2)x 1m) x 17m = 10,2 m3

•Progress pekerjaan = (10,2m3 : 59,4m3) x 100 = 17,17 %.

•Harga total pekerjaan = Rp.500.000,- x 59,4m3 = Rp.29.700.000,-

•Harga pekerjaan yang sudah selesai = Rp.500.000,- x 10,2m3 =Rp.5.100.000,-

Ini merupakan contoh progress untuk satu item pekerjaan, jadi untuk satu proyek secara
keseluruhan perlu dihitung satu perrsatu setiap item pekerjaan sehingga dapat diketahui total nilai
progress secara keseluruhan.
Demikian contoh perhitungan progress pekerjaan proyek konstruksi ini, selanjutnya bisa disesuaikan
dengan kondisi dan situasi proyek masing-masing. semoga bermanfaat :-)

Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi


Di tulisan sebelumnya saya sudah bahas dasar pengakuan pendapatan dan biaya kontrak konstruksi,
cara mudah menginterpretasikan “estimasi pendapatan yang andal” dalam PSAK 34 beserta contoh
implementasinya. Di tulisan yang sama saya juga sudah bahas satu contoh kasus penerapan Metode
Persentase Penyelesaian kontrak bertahap sesuai dengan PSAK 34—dimana pengakuan pendapatan
dan biaya dilakukan setiap periode buku sepanjang syarat “dapat diestimasi secara andal”
terpenuhi—tanpa menunggu hasil penilaian perkembangan pekerjaan.

Seperti sudah saya sampaikan di tulisan tersebut, kecuali untuk perusahaan yang sudah Go-Publik
(harus lapor Bappepam) saya tidak menganjurkan untuk menjalankan apa yang direkomendasikan
oleh PSAK 34, karena pendekatan tersebut terlalu berbahaya. Itulah yang akan saya bahas dalam
tulisan ini—dengan melanjutkan contoh kasus yang sama (agar pemahamannya utuh, bagi yang
belum membaca tulisan sebelumnya saya sarankan agar dibaca terlebih dahulu).

Saya katakan apa yang disarankan dalam PSAK 34 terlalu berbahaya karena menurut saya, meskipun
aspek legalitas kontrak telah terpenuhi, selama hasil perkembangan pekerjaan belum pasti
diketahui, tetap saja estimasi yang telah dibuat belum tentu sungguh-sungguh terjadi.

Saya tampilkan kembali contoh kasusnya:

JAK adalah kontraktor. Tanggal 2 Januari 2012 memperoleh kontrak mengerjakan pembangunan
Ruko dari PT. ABC. Kondisi kontrak disepakati sebagai berikut:

Nilai Kontrak = Rp 10,000,000,000 (Dokumen internal PT. JAK berupa RAB menunjukan angka Rp
7,500,000,000).

Lamanya waktu pengerjaan adalah 3 tahun, bangunan di serahkan paling lambat tanggal 28
Desember 2014 dengan rencana tahapan penyelesaian pekerjaan sebagai berikut:

•Akhir Semester I 2012 : 10%

•Akhir Semester II 2012: 30%

•Akhir Semester I 2013: 50%

•Akhir Semester II 2013: 70%

•Akhir Semester I 2014: 90%


•28 Desember 2014: 100%

Pencairan pembayaran dilakukan secara bertahap mengikuti perkembangan penyelesaian pekerjaan.


Untuk menentukan perkembangan penyelesaian pekerjaan, pihak PT. ABC bersama-sama PT. JAK
akan melakukan inspeksi lapangan. Kontrak telah disahkan dalam perjanjian yang dibuat di hadapan
seorang notaris.

Jika isi kontrak tersebut dituangkan ke dalam estimasi, maka hasilnya akan menjadi sbb:

Menghitung Estimasi Biaya Pendapatan Kontrak Konstruksi

Tanggal 10 Januari 2012, PT. JAK membeli bahan bahan bangunan (besi, semen, pasir, kapur, batu
koral) sebesar Rp 25,000,000. Jurnalnya:

[Debit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 25,000,000

[Kredit]. Utang – Toko Rejeki = Rp 25,000,000

Tanggal 25 Januari 2012, PT. JAK membayah upah mandor pengawas dan upah buruh bangunan
sebesar Rp 50,000,000. Jurnalnya:

[Debit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 50,000,000

[Kredit]. Kas = Rp 50,000,000

(Mengapa jurnalnya demikian? Silahkan baca penjelasannya di tulisan sebelumnya. Penting untuk
saya sampaikan bahwa: akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi‘ adalah penyederhanaan, pada penerapan
yang sesungguhnya anda bisa memilah-milah transaksi berdasarkan bahan yang dibeli—untuk tujuan
pengendalian (sehingga akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi’—sehingga akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi’
bisa anda beri nama ‘Biaya Kontrak – Besi’, ‘Biaya Kontrak – Semen’, dan seterusnya—apapun
namanya sepanjang memenuhi logika akuntansi dan dipergunakan secara konsisten. Saya akan
bahas di tulisan yang akan datang).

Nah, jika mengikuti PSAK 34, di akhir Januari 2012 ‘Pekerjaan Dalam Proses’ sudah bisa dipindahkan
ke akun biaya dengan jurnal. Dan pengakuan pendapatan dapat dilakukan dengan membuat rasio
antara biaya yang telah dikeluarkan dengan RAB, lalu rasio tersebut diaplikasikan ke dalam total nilai
kontrak. Sehingga diperoleh jurnal pengakuan pendapatan sbb:
[Debit]. Piutang – PT. ABC = Rp 100,000,000

[Kredit]. Pendapatan = Rp 100,000,000

Dengan laba Rp 25,000,000

(Mengenai tehnis pembuatan rasio dan perhitungan pendapatan, silahkan baca tulisan sebelumnya).

TETAPI, sekalilagi, SAYA TIDAK MENGANJURKAN ITU. Saya menganjurkan aga pengakuan
pendapatan baru dilakukan jika kepastian pembayaran mendekati 99%. Kapan kepastian 99% itu
tercapai?

Kepastian 99% itu terjadi pada saat perkembangan hasil pekerjaan telah dinilai dan disepakati antara
PT. JAK selaku kontraktor dan PT. ABC selaku pemberi kontrak. Selama inspeksi atau penilaian hasil
pekerjaan belum dilakukan, maka pengakuan pendapatan saya anggap terlalu buru-buru.

Bayangkan, jika PT. JAK misalnya mengikuti anjuran dari PSAK 34 seperti di atas, lalu setelah
dialakukan penilaian ternyata PT. ABC menganggap perekembangan hasil pekerjaan yang telah
dicapai oleh PT. JAK baru mencapai 0.5% (bukan 1% seperti pengakuan pendapatan yang telah di
buat), padahal buku Januari 2012 sudah ditutup. Pastinya buku akan jadi kocar-kacir. Bukan hanya
pendapatan yang lebih diakui, tetapi juga laba!

Sehingga sekalilagi, pengakuan pendapatan sebaiknya dilakukan setelah penilaian (inspeksi)


lapangan dilakukan. Sebelum itu terjadi, sebaiknya pengeluaran-pengeluaran yang telah terjadi tetap
diakumulasikan kea kun ‘Pekerjaan Dalam Proses’. Tak masalah jika laporan laba-rugi belum di buat.
Lha wong faktanya belum ada pendapatan koq. Fakta juga bahwa segala pengeluaran yang telah
terjadi masih merupakan pemupukan asset (aktiva)—samasekali tidak melanggar prinsip-prinsip
akuntansi.

Oke. Sesuai isi kontrak—akhir Semester I 2012, PT. JAK dijadwalkan sudah akan merampungkan
minimal 10% dari seluruh pekerjaan. Katakanlah tanggal 25 Juni 2012, PT. JAK mengajukan meminta
pembayaran pertama kepada PT. ABC.

Dalam kontrak telah disebutkan bahwa. “pembayaran dilakukan secara bertahap mengikuti
perkembangan hasil pekerjan”. Atas permintaan tersebut, PT. ABC dengan ditemani oleh perwakilan
dari PT. JAK melakukan inspeksi lapangan secara bersama-sama untuk memeriksa tingkat
penyelesaian pekerjaan konstruksi yang telah dicapai oleh PT. JAK.
Dari hasil pemeriksaan bersama ditemukan bahwa tingkat penyelesaian yang sudah dicapai
mencapai 9%. Untuk itu, disepakati bahwa PT. ABC akan segera mengirimkan pembayaran sebesar
9% x nilai kontrak = 9% x Rp 10,000,000,000 = Rp 900,000,000. Nah, di titik ini PT. JAK sudah bisa
mengakui pendapatan.

Selanjutnya, keesokan harinya (26 Juni 2012) PT. JAK mengirimkan invoice tagihan sebesar Rp
900,000,000. Sementara itu, per tanggal 26 Juni 2011 saldo akumulasi akun ‘Pekerjaan Dalam
Proses’ PT. JAK menunjukan angka Rp 800,000,000.

Bagaimana mencatat invoice tagihan tersebut? Bagimana dengan pangakuan biayanya—saldo


akumulasi akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ PT. JAK menunjukan angka Rp 800,000,000, apakah
semuanya dipindahkan ke akun biaya?

Jangan buru-buru. Sebagai orang accounting, biasakan berpikir analitis—jangan mau jadi kalkulator
dan tukang jurnal saja—bandingkan estimasi dengan kenyataannya dahulu.

Tingkat pencapaian pekerjaan seharusnya sudah mencapai 10%, pada kenyataannya yang bisa
disepakati hanya 9% sehingga kenyataannya pendapatan hanya Rp 900,000,000 (Rp 100,000,000
lebih rendah dibandingkan estimasi). Sementara, kenyataan pengeluaran yang telah terjadi
mencapai Rp 800,000,000 (Rp 50,000,000 lebih tinggi dibandingkan estimasi yang hanya Rp
750,000,000). Karena penyimpangan di pendapatan dan biaya tersebut, Laba-pun menjadi
menyimpang. Dari estimasi laba Rp 250,000,000 (=1,000,000,000 – 750,000,000), yang terealisasi
hanya Rp 100,000,000. Terjadi penyimpangan laba sebesar Rp 150,000,000. Angka yang cukup besar
tentunya.

Dari perspektif akuntansi, untuk pendapatan—mau tidak mau hanya bisa diakui sebesar invoice
tagihan. Sehingga jurnalnya menjadi:

[Debit]. Piutang PT. ABC – Akhir Semester I 2012 = Rp 900,000,000

[Debit]. Pendapatan = Rp 900,000,000

Yang masih jadi tanda tanya adalah pengakuan biayanya. Pertanyaannya: Sungguhkah biaya yang
telah keluar sebesar Rp 800,000,000? Periksa pencatatan dari awal hingga akhir—apakah sudah
akurat? Jika belum akurat lakukan penyesuaian-penyesuaian. Jika sudah akurat?
Kemungkianannya tinggal 2 saja:

Kemungkinan-1. Ada beberapa bahan yang sudah dibeli, tetapi belum dipergunakan sepenuhnya –
Periksa: adakah material bangunan yang belum dipakai (semen, pasir, kapur, kayu, dan lain-lain),
adakah material yang setengah proses? Jika ada, hitung. Adakah upah tukang/buruh yang dibayar di
depan? Jika ada hitung. Mungkin tidak bisa dihitung secara pasti, untuk itu lakukan estimasi—minta
approval dari atasan (pimpinan) untuk menentukan estimasi ini. Katakanlah total angkanya Rp
100,000,000, maka besarnya biaya yang diakui hanya Rp 700,000,000 (=800,000,000 – 100,000,000).
Saldo akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ yang bisa dipindahkan ke akun biayapun jadinya hanya Rp
700,000,000. Sehingga jurnalnya:

[Debit]. Biaya Kontrak Konstruksi = Rp 700,000,000

[Kredit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 700,000,000

Oke pengakuan pendapatan dan biaya telah dilakukan. Hasilnya? Laba Rp 200,000,000 saja. Masih
ada penyimpangan Rp 50,000,000 jika dibandingkan dengan estimasinya yang Rp 250,000,000.
Dimanakah selisihnya?

Kemungkinan-2. Pemborosan (inefisiensi) dan kehilangan – Jika estimasi material bangunan yang
belum terpakai sudah akurat dan disepakati, maka kemungkinan yang tersisa hanya ini (boros atau
hilang). Telah terjadi pemborosan atau kehilangan senilai Rp 50,000,000. Apa yang harus dilakukan
terhadap selisih ini, apakah diakui sebagai biaya atau langsung diakui sebagai rugi?

Catat biaya saja. Jurnalnya:

[Debit]. Biaya Kontrak Konstruksi = Rp 50,000,000

[Kredit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 50,000,000

Kondisi timpang seperti ini besar kemungkinannya terjadi di awal-awal. Memang, pekiraan tingkat
penyelesaian pekerjaan yang telah disepakati belum tentu akurat 100%, estimasi material yang
belum terpakai juga belum tentu akurat 100%. Bagaimanapun juga itu baru satu dari total 5 fase
yang direncanakan.

Perlakuan akuntansi, analisa dan pengendalian di fase-fase berikutnya akan tetap demikian. Terus
berulang sampai proyek selesai.
Nah, jika penyimpangan di fase pertama ini tidak tertutup di fase berikutnya, maka besar
kemungkinannya diakhir proyek nanti PT. JAK akan mengalami kerugian.

Kerugian itu tidak selalu karena pemborosan atau kehilangan, bisa saja karena RAB-nya yang keliru.
Oleh sebab itu, disamping perlu melakukan pengawasan lebih ketat, RAB juga perlu dihitung/ditinjau
ulang tingkat akurasinya—mungkinkah harga material naik? Atau upah buruh/tukang naik? Dan lain
sebagainya. Jika memang tidak akurat atau telah terjadi kenaikan harga material maka PT. JAK perlu
membuat revisi RAB. Jika negosiasi ulang bisa dilakukan dengan pihak PT. ABC, tentu itu jalan
terbaik.

Dalam contoh kasus tadi kebetulan saya buat hasil penilaian tingkat perkembangan pekerjaan lebih
kecil dari estimasi. Pada praktek sesungguhnya, bisa saja terjadi hal sebaliknya (meskipun
kemungkinannya kecil). Jika demikian keaadaanya, berarti akan timbul laba. Laba itupun belum
tentu akurat. Masih perlu dilihat di fase-fase berikutnya.

Secara keseluruhan bisa saya katakan bawa: penerapan ‘Metode Persentase Penyelesaian’ pada
kontrak konstruksi tidak mudah. Tantangannya ada pada akurasi estimasi-estimasi yang telah
dibuat—akurasinya yang mentukan apakah proyek menjadi sukses atau sebaliknya. Diperlukan
sistim administrasi dan pengendalian yang ketat—jauh lebih ketat dibandingkan jenis aktivitas usaha
lainnya.

Kesulitan itu akan menjadi semakin tinggi jika perusahaan menggarap multi-kontrak, multi-proyek.
Mengapa semakin seulit? Karena setiap biaya yang timbul harus bisa dihubungkan dengan
proyeknya. Pendapatan yang diterimapun harus bisa dihubungkan dengan proyeknya dengan benar.
Sehingga matching principle tetap bisa terjaga. Untuk itu diperlukan perencanaan dan
pengorganisasian khusus.

Nah bagaimana merencanakan dan mengorganisasikan administrasi agar perlakuan akuntansinya


tetap konsisten, benar dan akurat? Jika ada kesempatan saya akan bahas secara khusus. Yang jelas
bahasan tersebut akan lebih banyak di wilayah sistim informasi akuntansi dan pengendalian interen
(penyusunan sistem/prosedur, dan kebijakan/policy). Tentu yang lekat dengan kenyataan praktek
dilapangan (actionable)—bukan yang sifatnya teoritis belaka. Untuk sementara saya ucapkan
selamat beraktivitas, semoga sukses selalu.

Anda mungkin juga menyukai