Anda di halaman 1dari 28

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN, DAN KONSERVASI ENERGI


INSTALASI KONVERSI BIOENERGI
Bahan Bakar Nabati:
1. Biodiesel
Kilang Distribusi 2. Bioetanol
Nabati 3. Minyak Nabati Murni

• Gasifikasi Nabati Biogas


Distribusi
•  Anaerob Digestion

Pembriketan Distribusi Briket/Pellet


Nabati

Generator Listrik Nabati


Tungku (Green Electricity )
Terintegrasi
Nabati

i. Penyediaan bioenergi dalam bentuk energi final dapat berbentuk cair, gas, padat, dan listrik.
ii. Bioenergi dalam bentuk cair yang sering disebut dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) terdiri dari biodiesel, bioetanol, dan minyak
nabati murni yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti BBM.
iii. Bioenergi dalam bentuk gas berbentuk biogas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk kompor maupun pembangkit
listrik.
iv. Bioenergi dalam bentuk padat dalam bentuk briket atau pellet.
v. Bioenergi juga dapat dikonversi menjadi listrik dengan memanfaatkan bahan bakar dari BBN, biogas, maupun gasifikasi.
BAHAN BAKAR NABATI
• CPO dengan produksi tahunan sebesar 28 juta ton (215 juta SBM); juga terdapat potensi Jarak Pagar,
Nyamplung dll sebagai bahan baku biodiesel;
• Molasses 1,5 juta ton (3.1 juta SBM), Singkong 22 juta ton (23.3 juta SBM); juga terdapat Sorghum,
Nipah, Aren, dan Sagu sebagai bahan baku bioetanol.

BIOGAS
• Potensi bahan baku biogas di Indonesia sebagian besar berasal dari kotoran ternak dan bahan
organik yang lain;
• Indonesia memiliki jumlah hewan ternak sebagai bahan baku biogas yang cukup besar, antara lain 13
 juta ternak sapi perah dan sapi pedaging, serta sekitar 15,6 juta ternak setara dengan 1 juta unit
digester biogas rumah tangga (2.3 juta SBM).
• Limbah organik cair dari industri sawit (POME), industri tahu dll yang juga dapat dimanfaatkan menjadi
biogas masih sangat besar.

BIOMASSA
• Indonesia memiliki potensi limbah biomassa yang besar yang berasal dari limbah pertanian,
peternakan, dan sampah perkotaan.
ENERGI TERBARUKAN
KOMPONEN BIOENERGI
LAINNYA
Ketersediaan Banyak dipengaruhi dengan Lebih banyak tergantung
usaha manusia kepada alam
Waktu Pemanfaatan Dapat disimpan dan Pada saat itu harus
ditransportasikan dimanfaatkan di lokasinya
Keberlanjutan Sangat tergantung kepada Sebagian besar tergantung
pengelolaan kepada alam
Bentuk energi final Padat, cair, gas, listrik (terus Umumnya dalam bentuk listrik
berkembang)
Sifat bahan baku Umumnya harus beli Sebagian besar gratis
Peluang pengembangan Sangat potensial Sangat potensial
Teknologi Sederhana - kompleks Sederhana - kompleks
Ketersebaran Seluruh wilayah Indonesia Terbatas pada wilayah-wilayah
tertentu (kecuali surya)
- Revisi terhadap Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 dengan beberapa perubahan
antara lain:
 Perubahan kewenangan penanganan pengelolaan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang
merupakan bagian dari Bioenergi dari Direktorat Jenderal Migas menjadi kewenangan
Direktorat Jenderal EBTKE
 Perluasan lingkup definisi dan pengaturan bahan bakar nabati (BBN) yang semula hanya
mengatur tentang BBN/biofuel   (yang hanya didefinisikan sebagai BBN cair) menjadi BBN
yang terdiri dari BBN Cair, BBN Padat, dan BBN Gas
 Penambahan kewajiban (mandatori) pemanfaatan biomasa untuk dicampurkan dengan
batubara pada pembangkit listrik melalui cofiring bagi Badan Usaha Pembangkitan Tenaga
Listrik (BUPTL) yang menggunakan batubara

- Revisi terhadap Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2012 melalui penetapan Peraturan
Menteri ESDM No. 19 Tahun 2013 untuk mendorong peningkatan pemanfaatan PLT Bioenergi
khususnya yang berbasis sampah kota yang didasari oleh hal-hal berikut:
 Potensi sampah kota besar dan mengotori lingkungan.
 Namun sangat potensial untuk menjadi bahan bakar pembangkit listrik.
 Feed-in tariff yang sudah dikeluarkan sebelumnya (Permen ESDM no 4/2012) masih
menggunakan asumsi adanya tipping fee yang ternyata menjadi kendala bagi investor .
 Pemda kurang mampu memberikan tipping fee, maka melalui Peraturan Menteri ESDM No.
19 Tahun 2013 feed-in tariff   yang baru tanpa adanya tipping fee  sehingga mengalami
kenaikan harga jual sebesar Rp 400/kWh dibandingkan dengan harga sebelumnya.
UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2007 Prioritas penyediaan dan pemanfaatan EBT salah satunya
tentang energi BBN

PERATURAN PRESIDEN NO. 5 TAHUN 2006 Target BBN pada tahun 2025 sebesar 5% dari Bauran
tentang kebijakan energi nasional Energi Nasional

Instruksi kepada Menteri Terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota


INSTRUKSI PRESIDEN NO. 1 TAHUN 2006
tentang penyediaan, dan pemanfaatan bahan bakar nabati untuk mengambil langkah-langkah dalam rangka mempercepat
(biofuel) sebagai bahan bakar lain penyediaan dan pemanfaatan BBN

PERATURAN MENTERI ESDM NO. 32 TAHUN 2008 Mandatori pemanfaatan BBN pada sektor Transportasi, Industri,
tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga bahan Komersial, dan Pembangkitan Listrik
bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain

Energy Mix (2025) sesuai Perpres 5/2006

Oil
Biofuel 5%
20%
Gas 30%
Geothermal 5%
NRE,17%
Biomass, Nuclear, Hydro
Coal 33% Power, Solar, Wind Power 5%
Liquefaction Coal 2%
Harga
Rp./L
Pertamax
10.000 Keterangan:
C BioPertamax
D 1.BBM Bersubsidi “dikendalikan “, didorong
Bio-Premium (E-5) berpindah ke BioPertamax (Pertamax
8500
8000
MOPS B dicampur dengan BBN).
2.Biaya produksi biopertamax menjadi lebih
7000 murah dengan kualitas yang lebih baik
A MOPS
dari Pertamax.
PREMIUM BERSUBSIDI 3.Ada pengurangan subsidi BBM
Premium-Bersubsidi 4.Tidak terjadi
terjadi penambahan subsidi bahan
bakar nabati (BBN)

4500 Harga Jual BBM dan Bio-


Premium saat ini

A. Subsidi
Subsidi BBM
BBM
B. Subsidi
Subsidi BBN
C. Selisih
Selisih harga
harga Pertamax
Pertamax
dengan BBM bersubsidi
Substitusi D. Selisih
Selisih harga Biopertamax
Biopertamax
BBN dengan BBM bersubsidi

 Volume
? ?
23 Juta  Juta KL
Rp / Liter

8.000
 Pemakaian biosolar saat
7.550 Tambahan ini adalah B7,5 (7,5%
Subsidi biodiesel dalam 92,5%
7.500
BBN
solar)
Biodiesel 10%
Subsidi  Secara umum, harga
dengan 90% Solar
   %    S BBM biodiesel lebih mahal dari
   0    P B10
solar (meskipun perbedaan
   0    O   r
   1   a harganya cenderung makin
   l    M    l
  e   r   o kecil); tergantung dari
4.500   s   a
   l   s
  e
   i   o   o
   i harga sawit.
   d    S    B
  o
   i  Peraturan yang ada telah
   B
mengakomodir
pencampuran biodiesel
sampai dengan 10%.
 Kepdirjen EBTKE No. 723 K/10/DJE/2013 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi)
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel Sebagai
Biodiesel Sebagai Bahan Bakar Lain yang
Dipasarkan di dalam Negeri
 Kepdirjen EBTKE No. 722 K/10/DJE/2013 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi)
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Bioetanol Sebagai
Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Lain yang
Dipasarkan di dalam Negeri
 Kepdirjen EBTKE No. 903 K/10/DJE/2013 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi)
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Minyak Nabati Murni untuk Bahan Bakar
Motor Diesel Putaran Sedang
 Kepdirjen EBTKE No. 902 K/10/DJE/2013 tentang Petunjuk Teknis Uji Kadar
Bahan Bakar Nabati (BBN) di dalam Campuran dengan Bahan Bakar Minyak
 Kepdirjen EBTKE No. 830 K/10/DJE/2013 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi)
Bahan Bakar Nabati Teresterifikasi Parsial untuk Motor Diesel Putaran Sedang
1. SNI Biodiesel  telah direvisi menjadi SNI 7182:2012
2. SNI Bioetanol Terdenaturasi untuk Gasohol  direvisi menjadi SNI
7390:2012
3. SNI 7431:2008 Mutu dan Metode Uji Minyak Nabati Murni untuk
Bahan Bakar Motor Diesel Putaran Sedang.
4. Draft RSNI Metode Penentuan Kadar Biodiesel dalam Bahan
Bakar Minyak Jenis Solar.
5. Draft RSNI Metode Penentuan Kadar Bioetanol dalam Gasohol.
SNI 7182:2006 SNI 7182:2012
a. Regulasi terkait : a. Regulasi terkait:
Kep Dirjen Migas No. 13483 K/24/DJM/2006 Kepdirjen EBTKE No. 723 K/10/DJE/2013 tentang
Tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar
Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel sebagai Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel Sebagai Bahan
Bahan Bakar Lain yang Dipasarkan di Dalam Bakar Lain yang Dipasarkan di dalam Negeri
Negeri.

b. Syarat mutu b. Syarat mutu


1. Tingkat korosi lempeng tembaga, maks No. 3. 1. Tingkat korosi lempeng tembaga, maks No. 1,
2. Angka asam maks 0,8 mg-KOH/g, 2. Angka asam maks 0,6 mg-KOH/g),
3. Terdapat parameter uji Halphen, 3. Penghilangan parameter uji Halphen,
4. Tidak ada parameter kestabilan oksidasi, 4. Terdapat syarat mutu kestabilan oksidasi,
5. Tidak ada bab uraian metode uji, 5. Terdapat penambahan sub-bab uraian metode uji.
Contoh : ASTM D 1298 Metode Uji Massa Jenis
pada 400C
No. Parameter uji Satuan Batas nilai Metode Uji
 ASTM D-1298 atau ASTM D 4052
01. Massa jenis pada 40 Co
kg/m 3
850 – 890 atau lihat bagian 9.1 pada SNI
7182:2012
 ASTM D-445 atau lihat
02. Viskositas kinematik pada 40 oC mm2/s(cSt) 2,3 – 6,0
bagian 9.2 pada SNI 7182:2012
 ASTM D-613 atau ASTM D 6890
03. Angka setana - Min. 51 atau lihat bagian 9.3 pada SNI
7182:2012
o
 ASTM D-93 atau lihat bagian 9.4
04. Titik nyala (mangkok tertutup) C Min. 100 pada SNI 7182:2012
o
 ASTM D-2500 atau lihat bagian
05. Titik kabut C Maks. 18
9.5 pada SNI 7182:2012
 ASTM D 130 - 10 atau lihat bagian
06. Korosi lempeng tembaga (3 jam, 50 oC) - Nomor 1
9.6 pada SNI 7182:2012
07. Residu karbon dalam :
 ASTM D 4530 atau ASTM D 189
- contoh aseli %-berat Maks. 0,05 atau lihat bagian 9.7 pada SNI
7182:2012
- atau dalam 10 % ampas distilasi Maks. 0,3
 ASTM D 2709 atau lihat bagian
08. Air dan sedimen %-volume Maks. 0,05
9.8 pada SNI 7182:2012
oC
 ASTM D 1160 atau lihat
09. Temperatur distilasi 90 % Maks. 360
bagian 9.9 pada SNI 7182:2012
 ASTM D-874 atau lihat
10. Abu tersulfatkan %-berat Maks. 0,02 bagian 9.10 pada SNI 7182:2012
Pembangkitan Produk samping Produk samping
Memasak Penerangan
listrik (Pupuk organik) (Pakan ternak)
 Berdasarkan Skala Pengembangan:
 Skala kecil/skala rumah tangga, biasanya untuk keperluan memasak dan penerangan;
 Skala besar, biasanya digunakan untuk pembangkitan listrik.

 Berdasarkan Jenis Pengusahaan:


 Non-komersialisasi
― Dilaksanakan untuk daerah-daerah yang belum ada pengembangan biogas. Dimaksudkan
untuk memberikan contoh langsung kepada masyarakat.
― Salah satu mekanisme pendanaan melalui mekanisme DAK Energi Perdesaan
 Semi-komersialisasi
Merupakan kelanjutan dari tahap percontohan dengan mengkombinasikan antara kemampuan
dan tanggung jawab oleh masyarakat. Subsidi diberikan hanya sebagian untuk meningkatkan
rasa memiliki dan menjamin keberlanjutan. Contoh Program BIRU
 Komersialisasi
Diusahakan oleh sektor swasta. Pemerintah hanya bersifat memfasilitasi, misalnya dalam
aspek jaminan kualitas, pengoperasian, keamanan, tarif, dan lain-lain.
1. Program Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas
2. Program Dana Alokasi Khusus Energi Perdesaan
3. Program Pulau Ikonis Energi Terbarukan
4. Pilot Project Pemanfaatan Limbah Cair Sawit Untuk
Pembangkit Listrik Perdesaan
5. Program Biogas Rumah
 Merupakan program untuk meningkatkan pemanfaatan biomassa
untuk listrik yang terinterkoneksi dengan jaringan PLN
 Memanfaatkan limbah industri pertanian / perkebunan misalnya
limbah padat dan cair pabrik kelapa sawit, limbah industri tapioka
dan sampah kota yang bermanfaat untuk penyediaan listrik
sekaligus peningkatan kebersihan lingkungan.
 Telah diterbitkan kebijakan Feed-in tariff khusus untuk berbahan
bakar bioenergi melalui Permen ESDM No. 4 Tahun 2012 dan No.
19 Tahun 2013.
1) Undang-Undang No 30 tahun 2007 tentang Energi
 Penyediaan dan pemanfaatannya wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan
Pemda
 Diberikan insentif dan kemudahan
2) Undang-Undang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 dan No. 19 Tahun 2013 tentang Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik
 Harga jual ditetapkan oleh Pemerintah
 Tidak perlu negosiasi dengan PT PLN
 Menggunakan dokumen Perjanjian Jual Beli yang standar
 Bisa dilakukan sebagai IPP, atau kelebihan tenaga listrik (excess power)
 Untuk pembangkit listrik yang off-grid , harga jual ditetapkan oleh Bupati
HARGA PEMBELIAN TENAGA LISTRIK OLEH PT PLN (PERSERO) DARI PLT BIOMASSA,
BIOGAS, DAN SAMPAH KOTA
(PERATURAN MENTERI ESDM NOMOR 4 TAHUN 2012 DAN NOMOR 19 TAHUN 2013)

No. Energi Kapasitas Harga Pembelian Listrik Keterangan

Tegangan Menengah
1. Biomassa s.d 10 MW Rp. 975,- / kWh X F
2. Biogas s.d 10 MW Rp. 975,- / kWh X F Non sampah kota
3. Sampah Kota (MSW) s.d 10 MW Rp. 1.450,- / kWh Zero waste *)

4. Sampah Kota (MSW) s.d 10 MW Rp. 1.250,- / kWh Landfill *)

Tegangan Rendah
1 Biomassa s.d 10 MW Rp. 1.325,- / kWh X F
2 Biogas s.d 10 MW Rp. 1.325,- / kWh X F Non sampah kota
3 Sampah Kota (MSW) s.d 10 MW Rp. 1.798,- / kWh Zero waste *)

4 Sampah Kota (MSW) s.d 10 MW Rp. 1.598,- / kWh Landfill *)


Faktor insentif (F):
Wilayah Jawa, Bali, Sumatera :F=1
Wilayah Kalimantan, Sulawesi , NTB dan NTT : F = 1,2
Wilayah Maluku dan Papua : F = 1,3

*) Sesuai UU nom or No. 18 Tahun 2008 tentang p engelolaan samp ah


PLT Sampah Kapasitas Terpasang PLT Bioenergi
KONDISI SAAT INI Kota
• Kapasitas Terpasang PLT Bioenergi (on- grid ) : 75,5 MW 14,5 MW
• Kapasitas Terpasang PLT Bioenergi (off- grid ) : 612 MW (19%)

RENCANA PENGEMBANGAN TAHUN 2013 - 2014


• Rencana Kapasitas Terpasang “on-grid” PLT Biomasa, Biogas dan Sampah Kota s.d PLT
Tahun 2013 : 58,2 MW Cangkang
• Rencana Kapasitas “on-grid” Terpasang PLT Biomasa, Biogas dan Sampah Kota s.d Sawit
Tahun 2014 : 90 MW 61 MW
(86%)
TANTANGAN PENGEMBANGAN
• Capital investment  pada awal project masih tinggi
• Jaminan keberlanjutan penyediaan bahan baku
• Jaminan kestabilan harga limbah biomasa (biomass fuel ). Saat ini harga internasional
cenderung mengikuti harga internasional BBM
• Kesiapan jaringan PLN dalam melakukan interkoneksi dengan pembangkit biomassa

UPAYA PENGEMBANGAN
• Penetapan tarif harga jual listrik (feed in tariff ) yang sesuai dengan keekonomian;
• Pengaturan ekspor biomasa untuk menjamin pasokan bahan baku PLT Biomasa;
• Pembebasan bea masuk peralatan energi terbarukan dan kemudahan prosedur;
• Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan pihak-pihak terkait untuk peningkatan
pemahaman terkait pemanfaatan sampah menjadi listrik sebagai penunjang kesehatan
lingkungan sekaligus sarana penggerak perekonomian daerah.
Produksi Biogas
Produksi KTS Produksi Pupuk
No Jenis Ternak Populasi (Ekor) Setara Minyak
(Ton/th) Organik (ton/tahun)
Tanah (liter//tahun)
1 Ruminansia 73,446,841 3.672.342.056 29.378.736.
Ruminansia Besar 16.707.204 66,294,374 3.314.718.738 26.517.749

Ruminansia Kecil
27.755.988 7,152,466 357.623.318 2.860.986

2 Non Ruminansia 7.621.499 6.361.683 318.084.182 2.544.673


3 Unggas 1.535.836.840 8,906,363 445.318.170 3.562..545
Jumlah 88,714,888 4.435.744.409 35.485.955.268

Keterangan:
Kotoran Ternak Segar = KTS
25 POMs 92 POMs
980 ton 3815 ton
FFB/Hour
FFB/Hour 1 POMs
140 POMs 40 ton
6660 ton FFB/Hour 29 POMs
FFB/Hour 1545 ton
FFB/Hour 4 POMs
7 POMs 360 ton
42 POMs 590 ton FFB/Hour
2245 ton 65 POMs FFB/Hour
FFB/Hour 5475 ton
26 POMs FFB/Hour 6 POMs 3 POMs
1645 ton 260 ton 140 TPH
FFB/Hour FFB/Hour

16 POMs
1235 ton
FFB/Hour

58 POMs
19 POMs 3555 ton 3 POMs
990 ton FFB/Hour 260 ton
FFB/Hour
FFB/Hour

10 POMs
375 ton 2 POMs
43 POMs 150 ton
FFB/Hour
3100 ton FFB/Hour
FFB/Hour
1 POMs
60 ton
FFB/Hour 1 POMs 15 POMs
30 ton 770 ton 73
Source : BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia and Ministry of Agriculture 2009

FFB/Hour Sumber : data diolah dari BPS dan Kemtan


FFB/Hour
No ENVIRONMENTAL No SOCIAL No ECONOMIC
PILLAR PILLAR PILLAR
1 Life-Cycle Green House Gas 1 Allocation and tenure of land 1 Productivity
(GHG) for new bioenergy production 2 Net energy balance
2 Soil quality 2 Price and supply of national 3 Gross value added
3 Harvest level of wood food basket
4 Change in consumption of fossil
resources 3 Change in income fuel and traditional biomass
4 Emission of non-GHG air 4 Jobs in the bioenergy sector 5 Training and re-qualification of
pollution, including air toxics 5 Bioenergy used to expand the workforce
5 Water use and efficiency access to modern energy 6 Energy diversity
6 Water quality services
7 Infrastructure and logistic for
7 Biological diversity in 6 Change in mortality and distribution of bioenergy
landscape burden of disease
8 Capacity and flexibility of use of
8 Land use and land use 7 Attributable to indoor smoke bioenergy
change related to bioenergy 8 Incidence of occupational
feedstock production injury, illness and fatalities
Principles Aspects Principles Aspects
General Legality ; Social Human rights;
Principles Locally appropriate ; Principles Labour rights;
Monitoring procedures; Land use rights;
Renewability; Social aspects not covered under
Continuous improvement; Human rights, Labour rights, Land use
Efficiency in agriculture; rights.
Relevance;
Completeness; Economic Economic sustainability;
 Accuracy; Principles Food security.
Transparency;
Flexibility Comparability; Environmental GHG;
Lifecycle perspective and modular Principles Water (Availability and Quality);
approach ; Soil (Availability and Quality);
Priority to scientific approach;  Air (Quality);
Participation –Stakeholder Biodiversity;
involvement; Use of energy and mineral resources;
Verifiability-Verification. Waste management.

Anda mungkin juga menyukai