Anda di halaman 1dari 114

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327211898

Bioenergi dari Bahan Non Pangan: Memanen Bensin dari Hutan untuk
Ketahanan Energi Indonesia

Book · November 2014

CITATIONS READS

6 2,465

1 author:

M. Daud
Universitas Muhammadiyah Makassar
45 PUBLICATIONS   93 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Millennium Challenge Account-Indonesia Green Prosperity Project, entitled "Increasing Household Income through Improving Sustainable Community Forest
Governance that Contributes to Greenhouse Gases (GHGs) Absorption in East Luwu District View project

The Potency and Utilization of Non-Timber Forest Products from Tropical Forest and Community Forest in Eastern Indonesia View project

All content following this page was uploaded by M. Daud on 24 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT karena dengan berkah dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan buku “Bioenergi dari Bahan
Non Pangan: Memanen Bensin Dari Hutan untuk Ketah-
anan Energi Indonesia”. Pada kesempatan ini, penulis
dengan tulus mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan
penyusunan buku ini. Terkhusus kepada kedua orang tua
penulis, Bapak Hammasa Baddi dan Ibu Marina Samma-
ni, saudara-saudara penulis Jumari Hammasa, S.S., Mah-
mud Hammasa, dan Hasnawiah Hammasa, S.Si. Kepada
para dosen, terutama pada Prof. Dr. Djamal Sanusi, Prof.
Dr. Musrizal Muin, Dr. Baharuddin, Dr. Bakri, Dr. Beta
Putranto, Dr. Astuti Arief, Prof. Dr. Wasrin Syafii, M.Agr.,
Prof. Khaswar Syamsu, M.Sc, PhD, Prof. Dr. Yusran Yu-
suf, serta para dosen yang tidak sempat penulis sebutkan
namanya satu per satu yang telah banyak mendidik dan
menginspirasi penulis. Rekan-rekan dosen di Universitas
Muhammadiyah Makassar, serta semua sahabat, rekan-

BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN ix


rekan, para alumni, dan mahasiswa yang telah banyak Buku ini dapat menjadi buku acuan dan penunjang di
membantu dalam penulisan buku ini. perguruan tinggi terutama menyangkut mata kuliah energi
Buku ini merupakan hasil dari pengalaman penelitian biomassa, teknologi bioenergi, teknologi pengolahan kayu,
penulis di beberapa laboratorium seperti Laboratorium bioteknologi, rekayasa biproses, kimia hasil hutan, hasil
Sifat Dasar dan Teknologi Pengolahan Kayu Universitas hutan bukan kayu, perencanaan kehutanan, manajemen
Hasanuddin (UNHAS), Laboratorium Kimia Hasil Hutan hutan, silvikultur serta dapat pula menjadi bahan informa-
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Lab- si masukan yang bermanfaat bagi pemerintah, swasta,
oratorium Rekayasa Bioproses, Laboratorium BIORIN industri, masyarakat serta pihak lain khususnya investor,
IPB, Laboratorium Biomolekuler dan Seluler Tanaman pengelola maupun pengembang sektor kehutanan dan en-
Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, Laboratorium Mikrobi- ergi di Indonesia dalam mendukung kebijakan pengelolaan
ologi Pangan IPB, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati hutan lestari serta pengembangan energi baru dan terba-
dan Bioteknologi IPB, Surfactant and Bioenergi Research rukan untuk pembangunan nasional berwawasan lingkun-
Center (SBRC) IPB, dan Laboratorium Afiliasi Departemen gan menuju ketahananan dan kedaulatan energi nasional
Kimia FMIPA Universitas Indonesia (UI) serta Laborato- Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal
rium Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Penelitian atas jerih payah dari semua pihak yang telah membantu
dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor, Laboratorium penulis, baik itu secara langsung ataupun tidak langsung.
Lapangan Program Studi Kehutanan Universitas Muham- Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
madiyah Makassar, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indone- terdapat pada buku ini. Oleh karena itu kritik membangun
sia (LIPI), Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi dan saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis
Minyak dan Gas Bumi (PPPTMGB) LEMIGAS, observasi untuk penyempurnaan buku ini.
penulis selama beberapa tahun keliling Indonesia, dan stu- Akhirnya, mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat
di literatur yang penulis lakukan. Selain itu juga merupakan dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
hasil-hasil penelitian mahasiswa bimbingan penulis. teknologi terutama di pengembangan bioenergi dan ke-
Buku ini memuat tentang aspek-aspek yang berkaitan hutanan di Indonesia. Dan mudah-mudahan Allah SWT
dengan energi, bioenergi (bahan baku, proses, rekayasa selalu memberikan ilmu, rahmat dan hidayah-Nya kepada
kimia, teknologi bioproses, dan aspek bioteknologi) teruta- kita semua dalam menjalani semua aktivitas di dunia ini.
ma bahan-bahan non pangan seperti limbah-limbah hutan, Amin.
pertanian, perkebunan, limbah rumah tangga, dan limbah
perkantoran) juga menyangkut peluang dan tantangan
pengembangan bioenergi di Indonesia. Juga dibahas ten- Makassar, Juli 2014
tang berbagai aspek dalam pengembangan energi nasi-
onal di masa mendatang yang merupakan isu-isu penting Penulis
nasional.

x BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN xi
Buku ini khusus Penulis dedikasikan kepada kedua
orang tua penulis Bapak Hammasa Baddi dan Ibu Ma-
rina Sammani. Saudara-saudara penulis Jumari Ham-
masa, Mahmud Hammasa, dan Hasnawiah Hammasa.
Serta keponakan Nurul Fathiniah Azisah.

Atas kasih sayang dan kecintaannya kepada penulis dan


tidak mampu penulis balas sepenuhnya.

”Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan ibu bapakku,


sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di
waktu kecil”

xii BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN xiii
xiv BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN
1
SATU
Selama tahun 2000-2011, konsumsi energi final
meningkat rata-rata 3% per tahun. Konsumsi energi final terus
meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk,
industri, dan tansportasi serta kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Pertumbuhan rata-rata kebutuhan energi diperkira-
kan akan terus meningkat sebesar 4,7% per tahun selama ta-
hun 2011-2030. Pertambahan penduduk akan menyebabkan
peningkatan penggunaan energi untuk menunjang kebutuhan
hidup yang meliputi sektor industri, transportasi, rumah tangga,
dan lain sebagainya. Semakin banyak penduduk yang berada
di sebuah negara, semakin banyak pula energi yang dibutuh-
kan dan digunakan oleh negara tersebut.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan kebutuhan energi tersebut diperkirakan
akan terus semakin meningkat tajam karena pemerintah se-
dang melaksanakan program peningkatan nilai tambah mineral
“Gerak adalah sumber kehidupan dan gerak yang dibu- sesuai dengan amanat UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertam-
tuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang bangan Mineral dan Batubara. Kebijakan ini ditindak-lanju-
menguasai energi dialah pemenang”
ti pelaksanaannya melalui regulasi dalam PP No. 23 Tahun
(Ir. Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Re-
publik Indonesia) 2010 tentang Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara dan Inpres No. 3 Tahun 2013 tentang Percepatan
Kebutuhan akan energi dunia terus meningkat sejalan Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui pengolahan dan
dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. pemurnian di dalam negeri. Kebijakan ini diharapkan dapat
Peningkatan kebutuhan bahan energi terutama bahan bakar meningkatkan nilai tambah sektor pertambangan sehingga
fosil tersebut telah menyebabkan penurunan cadangan minyak perannya dalam perekonomian nasional meningkat. Pengem-
dunia sehingga bahan bakar fosil ini menjadi semakin langka bangan industri pengolahan mineral untuk peningkatan nilai
dan harganya pun meningkat secara signifikan. Di sisi lain, tambah akan menciptakan kebutuhan energi sekaligus memer-
perkembangan industri berbahan bakar fosil telah menyebab- lukan pasokan energi yang cukup agar dapat beroperasi den-
kan dampak lingkungan dan pemanasan global. Dampak nai- gan baik. Dengan adanya tambahan kebutuhan energi maka
knya harga minyak bumi dunia sangat dirasakan oleh pemer- akan berdampak pada sektor energi secara keseluruhan.
intah Indonesia dan menyebabkan krisis yang berkepanjangan
pada beberapa negara lain di dunia. Di sisi lain, pemanfaatan BBM (bahan bakar minyak)

2 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 3
sebagai energi di Indonesia sudah melewati batas wajar. Seti-
ap tahun negara ini harus mengimpor BBM karena kebutuhan
masyarakatnya yang tinggi sehingga memberi pengaruh yang
kurang baik terhadap neraca perdagangan konsumsi energi
yang tinggi. Ini menimbulkan masalah dan ketimpangan, yaitu
terjadinya pengurasan sumber daya fosil seperti minyak dan
gas bumi serta batu bara yang lebih cepat, jika dibandingkan
dengan penemuan cadangan baru. Subsidi BBM dari tahun
ke tahun yang cenderung meningkat juga mendapat perhatian
yang serius dari pemerintah. Berbagai upaya terus dilakukan
untuk dapat mengurangi subsidi BBM maupun melakukan
substitusi BBM dengan menggunakan bahan bakar alternatif.
Program yang sudah berjalan diantaranya adalah substitusi Sumber: BP Migas, 2012
minyak tanah dengan LPG (Liquefied petroleum gas) untuk Gambar 1.1. Peta Kepemilikan Negara Asing
sektor rumah tangga, penggunaan CNG (Compressed natural atas Wilayah minyak bumi dan gas (MIGAS),
gas) untuk kendaraan bermotor, serta mandatori penggunaan gas metana dan batubara Indonesia
BBN (bahan bakar nabati) untuk sektor industri, transportasi, katkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan seperti tena-
dan pembangkit listrik. ga surya, biomassa, angin, energi air, dan panas bumi. Potensi
energi baru terbarukan di Indonesia bisa mencukupi kebutuhan
Selain permasalahan tersebut, permasalahan utama energi Indonesia hingga 100 tahun mendatang, karena memi-
bangsa Indonesia di sektor energi Indonesia saat ini adalah liki potensi setara dengan 160 gigawatt (GW). Sementara itu,
permasalahan kepemilikan hak pengelolaan sumber daya en- pemerintah juga terus menggalakkan konservasi energi, yaitu
ergi. Terutama minyak bumi dan gas (MIGAS), gas metana, penggunaan energi yang efisien. Upaya itu meliputi peman-
dan batubara Indonesia hampir keseluruhannya dikuasai oleh faatan energi yang efisien dan menerapkan manajemen energi
pihak asing. di semua sektor, yaitu industri, transportasi, rumah tangga, dan
komersial.
Berbagai permasalahan energi saat ini dan yang mun-
gkin muncul di masa depan memerlukan solusi yang tepat Penggunaan energi yang tidak terkendali ini membuat
dengan pendekatan yang komprehensif. Perencanaan dan pemerintah turut campur tangan. Sudah banyak kebijakan yang
pengembangan energi perlu dilakukan supaya dapat menjamin dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan di
ketersediaaan energi untuk jangka panjang. Diversifikasi energi bidang energi. Dewan Energi Nasional (DEN) dan Komisi VII
yaitu penganeka-ragaman pemakaian energi dengan mening- DPR RI telah menyepakati Rancangan Kebijakan Energi Na-

4 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 5
sional atau R-KEN untuk diproses lebih lanjut menjadi Kebija- ty (COP). Tujuannya adalah menetapkan sebuah kesepakatan
kan Energi Nasional (KEN). KEN bertujuan untuk pengelolaan yang mengikat secara hukum bagi negara maju untuk mengu-
dan sasaran penyediaan energi nasional sampai tahun 2050 rangi emisi gas rumah kacanya dan menciptakan mekanisme
mendatang yang mengacu pada energi baru terbarukan (EBT), pembiayaan bagi negara-negara berkembang untuk beradap-
bauran energi, pengelolaan batubara, gas bumi, harga subsidi tasi dengan perubahan iklim.
energi, dan juga ketentuan pengurangan subsidi energi. Kebi-
jakan dalam perencanaan energi perlu terus dilanjutkan guna Keputusan penting pertama yang dihasilkan melalui
merealisasikan penerapan teknologi energi bersih yang handal, COP adalah Protokol Kyoto (Berdasarkan hasil COP-3 di Kyo-
berkelanjutan, dan terjangkau dalam rangka mendukung peny- to) pada tahun 1997 yang menetapkan besaran emisi yang
usunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana harus dikurangi oleh negara-negara maju. Pada tahun 2007
Umum Energi Daerah (RUED) sesuai amanat UU No. 30 tahun ketika Indonesia menjadi tuan rumah COP-13 dihasilkanlah
2007 tentang energi. Di samping itu, perlu mendukung kebi- Bali Road Map yang membicarakan tentang Green Climate
jakan pemerintah dalam Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Fund, sekitar USD 100 miliar per tahun sampai tahun 2020,
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang akan dimanfaatkan untuk pembiayaan adapatiasi, miti-
(RAN GRK) yang terus berupaya melaksanakan pembangunan gasi, dan transfer teknologi dan REDD+. Bagi Indonesia, ini
bersih yang berwawasan lingkungan. dapat menunjukkan pada dunia betapa penting perannya da-
lam pembuatan keputusan di UNFCCC, terutama untuk men-
Persoalan energi dan perubahan iklim telah menjadi dorong kesepakatan global untuk menangani perubahan iklim.
isu internasional. Pertemuan-pertemuan internasional terkait Hal ini juga menunjukkan komitmen Indonesia terkait diplomasi
perubahan iklim, diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lingkungan. Perubahan iklim sendiri merupakan isu prioritas
(PBB). Sejak perundingan Konvensi Kerangka Kerja PBB men- bagi Indonesia, yang rentan akan hal tersebut, serta berkontri-
genai Perubahan Iklim (UNFCCC) atau lebih dikenal dengan busi signifikan terhadap GRK (Gas Rumah Kaca) terutama aki-
KTT Bumi di Brazil tahun 1992, persoalan perubahan iklim tel- bat penggunaan lahan dan kehutanan serta penggunaan ba-
ah dianggap menjadi sebuah krisis global dan harus dijadikan han bakar fosil. Hal ini pula yang mendorong Indonesia untuk
sebagai permasalahan bersama dengan konsekuensi finansial. membuat kontribusi signifikan untuk mengurangi emisi GRK
Artinya, dan memungkinkan kesepakatan global terkait perubahan iklim
terwujud. Salah satunya adalah lewat target Indonesia untuk
negara maju (Annex-1) harus menyediakan sumber mengurangi emisi sampai 26% sebelum tahun 2020 dengan
finansial untuk ditransfer ke negara-negara berkembang un- sumber daya sendiri, dan bahkan bisa sampai 41% dengan
tuk pembiayaan proyek-proyek terkait perubahan iklim. Nega- bantuan internasional.
ra-negara yang telah menyepakati The Convention kemudian
mengadakan pertemuan tahunan dalam Conference of the Par- Sejak COP-13 di Bali, upaya mengatasi perubahan iklim

6 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 7
juga memasukkan inisiatif ‘The Reducing Emission from De- Total konsumsi energi final pada tahun 2010 mencapai
forestation and Degradation’ (REDD), yang kemudian berkem- 1.012 juta SBM dengan laju pertumbuhan antara tahun 2000-
bang menjadi REDD+. Beberapa kebijakan nasional yang 2010 sebesar 3,09% per tahun yang didominasi oleh peng¬gu-
telah diupayakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim naan BBM di tahun 2010 mencapai 31%, sedangkan konsumsi
tersebut antara lain UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan biomassa berupa kayu bakar dan arang mencapai 28% dan
yang di dalamnya mengatur tentang rehabilitasi dan reklamasi pemanfaatan gas dan batubara sekitar 13% (BPTP, 2013). Be-
hutan, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral berapa per-masalahan utama antara lain adalah produksi mi-
dan Batubara yang di dalamnya mengatur tentang reklamasi gas yang terus menurun namum kebutuhan terus bertambah.
dan pasca tambang dana jaminan reklamasi dan dana jaminan Renegosiasi kontrak migas dan pembatasan ekspor batubara
pasca tambang dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlind- mendapat¬kan kesulitan tersendiri. Sedangkan pemanfatan
ungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalamnya EBT masih relatif kecil karena kurang minat¬nya investor, ma-
mendorong pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkun- sih tingginya biaya investasi, selain masalah birokrasi yang
gan hidup sebagai bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan masih panjang. Demikian pula pengembangan energi nuklir
iklim global serta pentingnya pengintegrasian pembangunan sebagai bagian dari EBT masih banyak kendala, baik dalam
berkelanjutan (pembangunan berwawasan lingkungan) dalam perencanaan maupun implemen¬tasinya, berkenaan dengan
upaya pembangunan nasional. aspek-aspek sosial yang muncul.

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai Salah satu cara mengurangi krisis energi dan dampak
237,6 juta jiwa (sensus BPS Tahun 2010) atau meningkat ra- yang diakibatkan oleh penggunaan energi berbahan baku fosil
ta-rata 1,48% per tahun sejak tahun 2000. Pada saat ini sekitar adalah pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan
54% penduduk tinggal di wilayah perkotaan. Angka PDB tahun seperti bahan bakar nabati (BBN). Selain dapat diperbaharui,
2010 mencapai 2.310 triliun rupiah (angka konstan 2000), den- BBN ini juga dapat mengurangi emisi akibat pembuangan gas-
gan laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata gas rumah kaca sehingga dapat mengurangi dampak pemana-
selama 10 tahun terakhir mencapai 3,68%. Konsumsi energi san global (Smith et al. 2003, Samejima 2008). BBN merupakan
Indonesia meningkat secara historikal dengan pertumbuhan salah satu sumber energi yang mudah diperoleh di Indonesia.
rata-rata 3,09% per tahun dari tahun 2000 sampai dengan Banyak jenis sumber energi alternatif yang dapat diolah men-
2010 saat jumlah-nya meningkat dari 737 juta setara barel jadi BBN seperti jarak pagar, kelapa sawit (biodiesel), tebu,
minyak (SBM) (2000) men¬jadi 1012 juta SBM (2010) (BPTP, ubi kayu, dan aren (bioetanol). Selama ini, produksi bioetanol
2013). Sejalan dengan konsumsi energi yang meningkat, maka diarahkan pada bahan berpati dan bergula seperti gula tebu,
pe¬nyediaan energi primer maupun final mengikuti kenaikan ubi kayu, dan jagung. Padahal bahan-bahan tersebut pada
tersebut. dasarnya merupakan sumber pangan yang cukup potensial,
sehingga pengembangan bioetanol dari bahan pangan terse-

8 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 9
but ke depan akan dapat menimbulkan permasalahan baru aki- itu, untuk memproduksi bioetanol dari kayu maka diperlukan
bat persaingan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan mas- optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses
yarakat. Oleh karena itu, perlu pengembangan bioetanol dari perlakuan pendahuluan (pretreatment), hidrolisis (sakarifikasi)
bahan yang bukan merupakan sumber pangan masyarakat dan fermentasi. Salah satu metode yang dapat meningkatkan
yaitu terutama bahan ber-lignoselulosa sehingga memungkink- produktivitas bioetanol adalah dengan menggunakan metode
an ke depan untuk pemanfaatan limbah-limbah kayu di hutan sakarifikasi dan fermentasi secara simultan atau simultaneous
dan limbah industri untuk bioenergi serta pengembangan hutan saccharification and fermentation (SSF).
tanaman industri untuk energi di Indonesia.
Pemanfaatan bahan non pangan (bahan ber-lignoselu-
Beberapa bahan ber-lignoselulosa yang memiliki po- losa) seperti limbah kayu sebagai penghasil bioetanol masih
tensi yang sangat besar untuk dijadikan bahan baku produk- terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit, yaitu
si bioetanol di Indonesia adalah tumbuhan berkayu. Peman- memerlukan proses pendahuluan akibat keberadaan lignin, zat
faatan bahan ber-lignoselulosa sebagai penghasil bioetanol ekstraktif, kristalinitas selulosa, dan kehadiran zat penghambat
telah mulai diteliti dan dikembangkan (Ingram 1997, Boussaid sebagai hasil samping selama proses hidrolisis dan fermentasi.
et al. 1999, Spagnuolo et al. 1999, Smith et al. 2003, Sameji- Meskipun pada dasarnya harga bahan ber-lignoselulosa lebih
ma 2008). Bahan ber-lignoselulosa yang telah diteliti sebagai murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan
penghasil bioetanol adalah bagas (Martinez et al. 2000), jerami pada lahan yang tidak produktif, namun biaya produksinya ma-
(Neureiter et al. 2002), dan kayu (Ingram et al. 1997, Spag- sih relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bergula dan berpati.
nuolo et al. 1999, Boussaid et al. 1999, Stenberg et al. 1998, Oleh karena itu, tantangan teknologi dalam biokonversi bah-
Stenberg et al. 1999, Stenberg et al. 2000). an ber-lignoselulosa tersebut menjadi bioetanol saat ini adalah
produktivitas-nya yang masih rendah akibat masih kurang opti-
Harga bahan baku ber-lignoselulosa pada dasarnya se- malnya proses perlakuan pendahuluan, hidrolisis (sakarifikasi)
cara ekonomis lebih murah dan lebih mudah diperoleh. Serta dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol.
dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembang-
kan untuk kepentingan pertanian, namun pengembangan ba-
han ber-lignoselulosa ini masih menemui kendala seperti ren-
demen bioetanol yang masih rendah dan memerlukan biaya
produksi yang tinggi yang terutama diakibatkan oleh rendahn-
ya kerja enzim pada substrat akibat sifat kristalinitas selulosa
dan kehadiran zat penghambat (inhibitors) yang dapat mengu-
rangi fermentabilitas selulosa dan hemiselulosa menjadi eta-
nol (Stenberg et al. 1998, Stenberg et al. 1999). Oleh karena

10 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 11
2 HUTAN, PERUBAHAN IKLIM DAN
dua KETAHANAN ENERGI INDONESIA
Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai
kawasan hutan tropis terluas di dunia. Luas kawasan hutannya
mencapai 120,4 juta ha atau sekitar 68% dari total luas wilayah
daratan (Baplan 2002). Hutan Indonesia menjadi habitat bagi
spesies flora dan fauna penting dunia. Secara ekonomi, se-
jak tahun 1980-an, sumber daya hutan telah banyak memberi
sumbangan terhadap peningkatan pendapatan. Produk Na-
sional Bruto (PNB) Indonesia yang cukup pesat. Sayangnya
penebangan liar, kebakaran hutan, konversi lahan hutan, per-
luasan lahan pertanian yang tak terencana, reformasi politik,
dan kesenjangan sosial menjadi penyebab utama terjadinya
degradasi kawasan hutan yang diperkirakan telah mencapai
54,6 juta ha, yang mencakup kawasan hutan produksi, hutan

12 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 13
lindung dan konservasi, dan 41,7 juta ha lahan terdegradasi di ha, kritis 23.955.162.70 ha, dan agak kritis 52.259.832,90 ha.
luar kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2002). Kegiatan rehabilitasi lahan kritis telah dilaksanakan sejak ta-
hun 2005 sampai dengan tahun 2010. Pada tahun 2010 telah
Mata pencaharian dari sekitar 10-20 juta masyarakat dilaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 157.588 ha
desa hutan yang mempunyai tingkat ketergantungan tinggi ter- di dalam kawasan hutan dan seluas 966.924 di luar kawasan
hadap sumberdaya hutan juga terkena dampak dari degradasi hutan. Data ini tidak termasuk kegiatan rehabilitasi di kawasan
tersebut (Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch, FWI/ pantai dalam periode 5 tahun terakhir sejak tahun 2006 sampai
GFW, 2002; Sunderlin et al. 2000). Tanggung jawab untuk tahun 2010. Kegiatan reboisasi hutan pada tahun 2010 adalah
merehabilitasi 96,3 juta ha lahan yang rusak itu tidak hanya 149.422,75 ha. Meskipun rehabilitasi hutan dan lahan sudah
terletak di pundak Departemen Kehutanan, melainkan seluruh digalakkan oleh pemerintah namun laju kerusakan hutan terus
pemangku kepentingan, termasuk masyarakat desa yang ber- berlangsung sehingga terjadi ketidakseimbangan neraca penu-
mukim di sekitar hutan. tupan hutan di Indonesia (Kementerian Kehutanan, 2013).

Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 Selain masalah sektor kehutanan, Indonesia juga saat
ETM+ tahun 2009/2010, total daratan Indonesia yang ditaf- ini dihadapkan pada permasalahan energi. Indonesia men-
sir adalah sebesar ± 187.670.600 ha, dengan areal berhutan galami defisit BBM dalam jumlah besar dalam beberapa tahun
berkurang menjadi sekitar 98.56 juta ha (52,4%), areal tidak terakhir. Defisit yang sangat besar ini dipenuhi melalui impor.
berhutan sekitar 89.03 juta ha (47,4 %) dan tidak ada data seki- Dengan harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi akh-
tar 0,799 juta ha (0,04 %). Perubahan kawasan hutan adalah ir-akhir ini hingga menembus batas US$70/barel, impor BBM
berubahnya luas kawasan hutan sebagai akibat dari adanya yang sangat besar tersebut sangat menguras devisa negara.
pelepasan kawasan hutan (untuk keperluan non kehutanan), Demikian pula, makin rendahnya kemampuan APBN, makin
adanya tukar menukar kawasan atau adanya perubahan fungsi rendah pula kemampuan pemerintah untuk memberikan sub-
hutan. Pada tahun 2010 terdapat perubahan peruntukan Ka- sidi harga BBM sehingga sejak kahun 2005 harga BBM sudah
wasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi untuk pertanian/ mengalami kenaikan beberapa kali. Peningkatan kebutuhan ba-
perkebunan tahap SK seluas 21.261,00 ha. Pada tahun 2010 han bakar fosil tersebut telah menyebabkan penurunan cadan-
telah disetujui penggunaan kawasan hutan untuk tambang dan gan minyak dunia sehingga menyebabkan bahan bakar fosil
non tambang sebanyak 77 unit dengan luas 43.171,96 ha. Dan ini menjadi semakin langka. Sebagai implikasi dari kelangkaan
pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang dan non tambang BBM tersebut, menyebakan harga BBM pun meningkat secara
dengan kompensasi lahan untuk tahun 2010 sebanyak 68 unit signifikan. Pada tahun 2005 harga BBM ini sempat mencapai
dengan luas 60.313,47 ha. Luas lahan kritis di Indonesia pada lebih dari 70 US dollar per barel walaupun harga BBM tersebut
tahun 2010 (data s/d tahun 2006) tanpa DKI Jakarta seluas ± pada awal tahun 2009 mengalami penurunan ke titik 40 US
81.664.294,90 ha yang terdiri atas sangat kritis 5.449.299,30 dollar per barel.

14 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 15
Dampak kenaikan harga BBM yang terjadi sejak tang- diperbaharui.
gal 1 Oktober 2005 dirasakan pahit oleh mayoritas masyarakat
Indonesia yang tingkat pendapatannya masih rendah. Selain Sumber biofuel adalah tanaman pertanian, utamanya:
dampak di atas, perkembangan industri berbahan bakar fosil kelapa sawit dan jarak pagar yang menghasilkan biodiesel se-
ini telah menyebakan pemanasan global. bagai pengganti solar. Ubi kayu dan tebu yang menghasilkan
bioetanol sebagai pengganti premium. Sumber-sumber energi
Pemanasan global ini menyebabkan dampak negatif di alternatif tersebut sebenarnya sudah lama dimanfaatkan oleh
belahan dunia, antara lain: pencairan global di kantong es tepi masyarakat di Indonesia, walaupun belum sampai pada taraf
pantai Greenland dan lapisan es di Antartika, hilangnya beber- komersial. Teknologi yang digunakan juga tidak terlalu rumit
apa daratan, perubahan cuaca dan iklim, perubahan ekosistem yaitu trans-esterifikasi atau esterifikasi transesterifikasi (“es-
sehingga memberikan ancaman terhadap ekosistem hutan tro- trans”) untuk biodiesel dan fermentasi untuk bioetanol.
pis, rawa mangrove, terumbuh karang, dan ekosistem gunung.
Hasil penelitian selama ini menunjukkan bahwa pemanasan Menurut blueprint Energi Nasional, pada tahun 2025
global ini disebabkan oleh menumpuknya gas rumah kaca peranan energi yang dapat diperbaharui akan meningkat men-
seperti CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6 di atmosfer. jadi 4,4% dengan porsi biofuel sebesar 1,335% yang setara
Gas-gas rumah kaca tersebut umumnya merupakan hasil dari dengan 4,7 juta KL. Ini merupakan tantangan sekaligus pelu-
pembakaran fosil yang berasal dari pembakaran hutan, hasil ang baru bagi sektor pertanian, yaitu tidak hanya memproduk-
buangan kendaraan, pabrik, dan pembangkit listrik. si bahan makanan dan serat-seratan (food and fiber farming)
saja, tetapi juga memproduksi energi (energi farming). Pemer-
Di masa-masa mendatang, kebutuhan BBM akan intah melalui Menko Perekonomian menyatakan bahwa pada
makin besar karena meningkatnya jumlah kendaraan bermo- tahun 2006 akan dimulai pemanfaatan jarak pagar untuk meng-
tor yang menggunakan solar dan premium, jumlah penduduk hasilkan biodiesel sebagai substitusi solar dan ubi kayu untuk
yang menggunakan minyak tanah, dan jumlah industri yang menghasilkan bioetanol sebagai substitusi premium. Ditarget-
menggunakan solar dan minyak bakar. Dengan makin tipisn- kan bahwa 10% dari kebutuhan BBM untuk transportasi yang
ya cadangan BBM fosil yang ada dalam perut bumi Indonesia, terdiri dari solar sebesar 12,487 juta KL akan dapat dipenuhi
yang menurut data Automotive Diesel Oil diperkirakan akan dari produksi biodiesel dan 10% dari kebutuhan premium se-
habis dalam waktu 10-15 tahun yang akan dating. Maka akan besar 17,207 juta KL akan dapat dipenuhi dari produksi bioeta-
makin besar pula impor BBM dan makin besar pula beban nol. Pengembangan biofuel sudah merupakan tekad bulat dan
APBN dan perekonomian nasional. Untuk meringankan beban keputusan pemerintah yang mendapat legitimasi politik kuat
tersebut, pemerintah berupaya keras mencari sumber-sumber dan akan menjadi sebuah gerakan nasional. Hal ini terbukti
BBM alternatif yang dapat diperbaharui atau disebut “biofuel” dengan telah diterbitkannya Peraturan Presiden RI Nomor 5
sebagai pengganti sumberdaya energi fosil yang tidak dapat Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi

16 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 17
Presiden RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pe- Indonesia berkisar 306.5 triliun (19% dari APBN). Selain itu,
manfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar pemberian subsidi BBM dapat menyebabkan harga domestik
Lain. yang terlalu rendah sehingga dapat mendorong pertumbuhan
komsumsi BBM yang semakin tinggi. Jumlah komsumsi yang
Dalam Inpres tersebut ada 13 Menteri, semua gu- sangat tinggi ini akan menyebabkan penggunaan BBM menja-
bernur dan bupati/walikota yang mendapat instruksi untuk di tidak efisien sehingga dapat mendorong aktivitas penyelund-
melaksanakan tugas sesuai dengan mandatnya masing-mas- upan BBM yang menyebabkan BBM malah semakin langka.
ing. Dalam hal ini, Menteri Pertanian diberi tanggung jawab Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengurangi keter-
sebagaimana tertuang pada pasal 3, yaitu: (1) Mendorong gantungan masyarakat terhadap BBM selain mengembangkan
penyediaan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofu- energi alternatif.
el) termasuk benih dan bibitnya; (2) Melakukan penyuluhan
pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati; Pengembangan energi alternatif salah satunya bahan
(3) Memfasilitasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan bakar nabati (BBN) merupakan salah satu sumber alternatif
baku bahan bakar nabati; dan (4) Mengintegrasikan kegiatan yang mudah diperoleh Indonesia. Selain dapat diperbaharui,
pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman bahan BBN ini juga dapat mengurangi emisi akibat pembuangan gas-
baku bahan bakar nabati. Untuk mengimplementasikan kebi- gas rumah kaca sehingga dapat mengurangi dampak pemana-
jakan tersebut diperlukan sumberdaya alam (terutama lahan) san global. Banyak jenis sumber energi alternatif yang dapat di-
dan sumber daya finansial (publik dan swasta) cukup besar, olah menjadi BBN seperti jarak pagar, kelapa sawit (biodiesel)
namun kegiatan produksi biofuel belum pernah dilakukan pada tebu, ubi kayu, dan aren (bioetanol). Bioetanol 99,5% yang leb-
skala komersial. Oleh karena itu, prospek pengembangan bio- ih dikenal Fuel Grade Ethanol (FGE) yang diperoleh dari pen-
fuel seyogyanya tidak hanya dijustifikasikan dari aspek teknis golahan bahan berpati dan bergula saat ini telah mulai dikem-
saja, tetapi juga dari aspek sosial-ekonomi. bangkan sebagai campuran bensin. Campuran bensin dengan
FGE disebut sebagai gasohol. Pemanfaatan bioetanol ini telah
Walaupun belakangan ini, harga BBM sempat diturunk- terbukti lebih ramah lingkungan. Hasil pembakaran bioetanol
an tiga kali oleh pemerintah. Namun hal ini bukanlah suatu ini menghasilkan limbah yang bersih, bilangan oktan yang lebih
kemajuan yang berarti karena sampai saat ini ketergantungan tinggi, mengurangi emisi gas karbon monoksida 10-30%, dan
masyarakat Indonesia terhadap BBM fosil cenderung sema- penggunakan bioetanol sebagai bahan bakar diharapkan dapat
kin meningkat. Meskipun hal ini telah ditanggulangi dengan mengurangi emisi karbon dioksida 90-100%. Selain itu, BBN
memberikan subsidi BBM kepada rakyat, namun subsidi justru ini juga diharapkan dapat menjamin ketersediaan sumber en-
menyebabkan permasalahan baru. Struktur APBN negara kita ergi yang baru dan terbarukan, serta dapat meningkatkatkan
masih sangat tergantung pada penerimaan minyak dan gas ketahanan energi, mempercepat pengurangan kemisikinan,
(migas) serta subsidi BBM. Pada tahun 2012 subsidi energi dan pengangguran di Indonesia.

18 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 19
3
tiga
KONDISI ENERGI INDONESIA

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai


237,6 juta jiwa (sensus BPS tahun 2010) atau meningkat ra-
ta-rata 1,48% per tahun sejak tahun 2000. Pada saat ini sekitar
54% penduduk tinggal di wilayah perkotaan. Angka PDB tahun
2010 mencapai 2.310 triliun rupiah (angka konstan 2000), den-
gan laju pertumbuhan PDB rata-rata selama 10 tahun terakhir
mencapai 3,68%. Konsumsi energi Indonesia meningkat secara
historikal dengan pertumbuhan rata-rata 3,09% per tahun dari
tahun 2000 sampai dengan 2010 ketika jumlah-nya meningkat
dari 737 juta SBM (2000) men¬jadi 1012 juta SBM (2010). Se-
jalan dengan konsumsi energi yang meningkat, maka pe¬nye-
diaan energi primer maupun final mengikuti kenaikan tersebut.

20 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 21
3.1. Kondisi Umum Konsumsi Energi gannya terbatas.
Total konsumsi energi final pada tahun 2010 menca- 4) Pada tahun 2012, sumber utama pasokan energi Indonesia
pai 1.012 juta SBM dengan laju pertumbuhan antara tahun adalah minyak bumi (54.78 %), disusul gas bumi (22,24 %),
2000-2010 sebesar 3,09% per tahun yang didominasi oleh batubara (16.77 %), air (3.72 %), dan geothermal (2.46 %).
peng¬gunaan BBM di tahun 2010 mencapai 31%, sedangkan 5) Subsidi bahan bakar fosil semakin meningkat.
konsumsi biomassa berupa kayu bakar dan arang mencapai 6) Terkait isu-isu lingkungan yaitu mitigasi perubahan iklim dan
28%, pemanfaatan gas dan batubara sekitar 13%. Beberapa Clean energi initiative: komitmen nasional untuk mengurangi
per¬masalahan utama antara lain adalah produksi migas yang emisi sebesar 26% pada tahun 2020.
terus menurun namum kebutuhan terus bertambah. Renegosi- 7) Terbatasnya pendanaan akan pengembangan energi.
asi kontrak migas dan pembatasan ekspor batubara mendapa-
t¬kan kesulitan tersendiri. Sedangkan pemanfatan EBT masih Kondisi produksi dan cadangan energi Indonesia saat
relatif kecil karena kurang minat¬nya investor, masih tingginya ini digambarkan dalam Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 di bawah ini:
biaya investasi, selain masalah birokrasi yang masih panjang. Tabel 3.1. Cadangan Energi dan Produksi Energi Non Fosil
Demikian pula pengembangan energi nuklir sebagai bagian
dari EBT masih banyak kendala, baik dalam perencanaan
maupun implemen¬tasinya, berkenaan dengan aspek-aspek
sosial yang muncul. Secara singkat, gambaran kondisi energi
di Indonesia saat ini adalah:

1) Akses masyarakat terhadap energi masih terbatas:


a) Rasio Elektrifikasi pada tahun 2012 sebesar 76% (24% Sumber: Kementerian ESDM, 2013
rumah tangga masih belum memiliki akses akan listrik). Tabel 3.2. Cadangan Energi dan Produksi Energi Fosil
b) Pembangunan infrastruktur, terutama daerah terpencil
dan pulau-pulau terluar Indonesia pada umumnya masih
minim akses akan energi.
2) Setelah pulih dari krisis moneter pada tahun 1998, Indonesia
mengalami lonjakan hebat dalam konsumsi energi. Den-
gan keadaan yang seperti ini, diperkirakan kebutuhan listrik
indonesia akan terus bertambah sebesar 4.6% setiap ta-
hun¬nya, hingga diperkirakan mencapai tiga kali lipat pada
tahun 2030.
* dengan asumsi tidak ada penemuan baru
3) Ketergantungan energi fosil masih tinggi, sementara cadan ** termasuk blok Cepu
Sumber: Kementerian ESDM, 2013

22 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 23
Tabel 3.3. Proyeksi Bauran Energi 3.1.1. Komsumsi Energi Nasional
Selama tahun 2000-2011, konsumsi energi final
meningkat rata-rata 3% per tahun. Konsumsi energi final terus
meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk,
dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam Out-
look Energi Indonesia 2013, pertumbuhan rata-rata kebutu-
han energi diperkirakan sebesar 4,7% per tahun selama tahun
2011-2030. Pertumbuhan kebutuhan energi tersebut diperkira-
kan akan semakin tinggi karena pemerintah sedang melak-
sanakan program peningkatan nilai tambah mineral sesuai
dengan amanat UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Kebijakan ini ditindaklanjuti pelaksa-
naannya melalui regulasi dalam PP No. 23 Tahun 2010 tentang
Sumber: Kementerian ESDM, 2013 pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara dan
Inpres No. 3 Tahun 2013 tentang percepatan peningkatan nilai
Bila merujuk pada uraian terdahulu ter¬dapat bebera-
tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam
pa permasalahan terkait kebijakan energi. Pertama, terus ber-
negeri.
tambahnya pen¬duduk dunia berimplikasi pada meningkatnya
konsumsi energi. Perhitungan dari World Energi Council mem-
Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah
perlihatkan, bahwa pada Tahun 2045 diperlukan tambahan 60-
sektor pertambangan sehingga perannya dalam perekonomian
70 persen dari energi yang dihasilkan dunia saat ini, itu semua
nasional meningkat. Pengembangan industri pengolahan min-
disebabkan karena ada raise and demand dari negara-negara
eral untuk peningkatan nilai tambah akan menciptakan kebutu-
di dunia.
han energi sekaligus memerlukan pasokan energi yang cukup
agar dapat beroperasi dengan baik. Dengan adanya tambahan
Dengan melaksanakan kebijakan energi nasional yang
kebutuhan energi maka akan berdampak pada sektor energi
dirancang secara matang dan terintegrasi dengan sektor-sek-
secara keseluruhan. Di sisi lain, subsidi BBM dari tahun ke ta-
tor lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerin-
hun yang cenderung meningkat juga mendapat perhatian yang
tah bukan saja akan mampu mengatasi permasalahan keter-
serius dari pemerintah.
sediaan BBM untuk ke¬butuhan nasional, tetapi juga berperan
dalam pembentukan perilaku dan budaya bangsa khususnya
Berbagai upaya terus dilakukan untuk dapat mengu-
dalam hal perilaku konsumsi energi.
rangi subsidi BBM maupun melakukan substitusi BBM dengan
menggunakan bahan bakar alternatif. Program yang sudah

24 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 25
berjalan diantaranya adalah substitusi minyak tanah dengan run waktu 2000-2011 meningkat dari 764 juta SBM pada tahun
LPG untuk sektor rumah tangga, penggunaan CNG untuk 2000 menjadi 1.044 juta SBM pada tahun 2011 atau meningkat
kendaraan bermotor, serta mandatori penggunaan BBN untuk rata-rata 2,87% per tahun. Konsumsi energi final tersebut tidak
sektor industri, transportasi, dan pembangkit listrik. Berbagai mempertimbangkan other petroleum products di sektor industri.
permasalahan energi saat ini dan yang mungkin muncul di Pangsa konsumsi energi final tahun 2000 adalah sektor rumah
masa depan memerlukan solusi yang tepat dengan pendekat- tangga (38,8%), industri (36,5%), transportasi (18,2%), lainn-
an yang komprehensif. ya (3,8%), dan komersial (2,7%). Komposisi ini berubah pada
Perencanaan dan pengembangan energi perlu dilaku- tahun 2011 menjadi industri (37,2%), rumah tangga (30,7%),
kan supaya dapat menjamin ketersediaaan energi untuk jang- transportasi (26,6%), komersial (3,2%), dan lainnya (2,4%).
ka panjang. Kebijakan dalam perencanaan energi perlu terus Selama kurun waktu 2000-2011, sektor transportasi mengala-
dilanjutkan guna merealisasikan penerapan teknologi energi mi laju pertumbuhan per tahun terbesar mencapai 6,47% per
bersih yang andal, berkelanjutan, dan terjangkau dalam rang- tahun, disusul sektor komersial (4,32%), dan sektor industri
ka mendukung penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (3,05%). Sesuai dengan pertumbuhan penduduk yang men-
(RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sesuai galami tingkat pertumbuhan yang landai, maka selama kurun
amanat UU No. 30 tahun 2007 tentang energi. Selain itu, perlu waktu tersebut laju pertumbuhan di sektor rumah tangga hanya
mendukung kebijakan pemerintah dalam Perpres No. 61 Tahun mengalami laju pertumbuhan 0,7%, sedangkan laju pertumbu-
2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas han sektor lainnya mengalami penurunan dengan laju sebesar
Rumah Kaca (RAN GRK) yang terus berupaya melaksanakan -1,47%.
pembangunan bersih yang berwawasan lingkungan.
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 menca- Tingginya pertumbuhan konsumsi energi final sektor
pai 241 juta jiwa atau meningkat rata-rata sebesar 1,48% per transportasi karena pesatnya pertumbuhan kendaraan bermo-
tahun sejak tahun 2000. Pada saat ini sekitar 54% penduduk tor yang mencapai sekitar 15% dan tingginya laju pertumbuhan
tinggal di wilayah perkotaan. Produk domestik bruto (PDB) sektor komersial karena pesatnya peningkatan pertambah-
pada tahun 2011 mencapai 2.463 triliun rupiah (harga konstan an hotel, mal, dan gedung. Tingginya laju pertumbuhan sek-
tahun 2000) dengan laju pertumbuhan PDB rata-rata selama tor transportasi perlu diwaspadai karena sebagian konsumsi
11 tahun terakhir mencapai 5,3%. Pada tahun 2011, pertumbu- energinya masih menggunakan BBM yang disubsidi oleh pe-
han ekonomi nasional mencapai sebesar 6.5% per tahun yang merintah. Rendahnya laju pertumbuhan konsumsi energi final
lebih tinggi dari pertumbuhan pada tahun 2010 yakni sebesar sektor rumah tangga karena semakin luasnya distribusi energi.
6.2%. Komersil (pengganti biomassa) dan terjadinya substitusi min-
yak tanah dengan LPG untuk memasak. Penggunaan energi
3.1.2. Konsumsi Energi Final per Sektor komersil dan LPG akan menurunkan konsumsi energi karena
Konsumsi energi final (termasuk biomassa) pada ku- efisiensi kompor energi komersil dan LPG lebih tinggi daripada

26 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 27
tungku biomassa dan minyak tanah (BPPT 2013). nasional menyebabkan pasokan gas bumi untuk memenuhi
kebutuhan industri terbatas. Produksi gas bumi saat ini masih
3.1.3. Konsumsi Energi Final Per Jenis dijadikan sebagai andalan ekspor nasional. Konsumsi listrik
Konsumsi energi final menurut jenis selama tahun selama kurun waktu tahun 2000-2011 mengalami pertumbu-
2000- 2011 masih didominasi oleh BBM (avtur, avgas, bensin, han rata-rata 6,5% per tahun, masih lebih rendah dibanding
minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar). batubara (13,4%), dan LPG (14,6%). Rasio elektrifikasi nasi-
Selama kurun waktu tersebut, total konsumsi BBM relatif kon- onal pada tahun 2011 yang masih 73% dan konsumsi listrik
stan dengan kisaran 312-364 juta SBM, tetapi mengalami kom- per kapita tahun 2011 masih rendah (sekitar 660 kWh/kapita)
posisi yang berbeda antara satu jenis BBM dengan jenis BBM (BPPT, 2013).
lainnya. Pada tahun 2000, konsumsi minyak solar merupakan
terbesar (42%) disusul minyak tanah (23%), bensin (23%), min- Dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional,
yak bakar (10%), dan avtur (2%). Selanjutnya pada tahun 2011 penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya semata-ma-
urutannya berubah menjadi minyak solar dan biodiesel (46%), ta dilakukan oleh PT PLN (Persero) saja, tetapi juga dilakukan
bensin (42%), avtur (6%), minyak tanah (3%), dan minyak ba- oleh pihak swasta, yaitu Independent Power Producer (IPP)
kar (3%). dan Private Power Utility (PPU). Pada tahun 2011 kapasitas
total pembangkit nasional (PLN, IPP dan PPU) di wilayah Indo-
Perubahan pola konsumsi BBM tersebut disebabkan nesia adalah sebesar 38,9 GW. Sekitar 76% diantaranya be-
oleh tingginya laju konsumsi bensin dan minyak solar oleh rada di wilayah Jawa Bali, 13% di wilayah Sumatera, sisanya
kendaraan bermotor, tingginya laju konsumsi avtur/avgas oleh di wilayah Kalimantan, dan pulau lainnya (Sulawesi, Maluku,
pesawat udara, terjadinya diversifikasi energi di sektor industri, NTB-NTT, dan Papua). Dilihat dari segi input bahan bakar,
dan adanya program substitusi minyak tanah dengan LPG di pembangkit berbahan bakar batubara dan minyak mempunyai
sektor rumah tangga. Konsumsi batubara meningkat pesat dari pangsa yang paling tinggi, yaitu masing-masing sebesar 42%
36,1 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 144,6 juta SBM pada (16,5 GW) dan 23% (9 GW), diikuti kemudian oleh pembangk-
tahun 2011 atau meningkat rata-rata 13,4% per tahun. Seluruh it berbahan bakar gas dengan pangsa sekitar 22% (8,4 GW).
konsumsi batubara tersebut berlangsung untuk memenuhi ke- Masih tingginya pangsa pembangkit BBM diimbangi dengan
butuhan energi sektor industri, terutama oleh industri semen, makin meningkatnya pangsa pembangkit berbahan bakar en-
dan oleh industri yang melakukan diversifikasi energi seiring ergi terbarukan, seperti panas bumi dengan pangsa mendekati
dengan semakin mahalnya harga BBM, seperti industri tekstil, 3% (1,2 GW), serta pembangkit berbasis hidro dengan pangsa
kertas, dan lainnya. Konsumsi gas bumi meningkat relatif terba- dikisaran 10% (3,9 GW). Selain itu, pembangkit listrik tenaga
tas selama kurun waktu tersebut. Gas bumi merupakan energi matahari dan tenaga baru juga sudah mulai beroperasi den-
yang bersih dan murah serta sangat dibutuhkan oleh sektor in- gan kapasitas total 1,6 MW. Selanjutnya, dari sisi penyediaan
dustri. Keterbatasan infrastruktur distribusi dan transmisi gas tenaga listrik, pada tahun 2011 pembangkit listrik PLN masih

28 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 29
mendominasi dengan pangsa lebih dari 75% (29,3 GW), pem- besar digunakan di sektor transportasi. Di lain pihak, cadangan
bangkit listrik IPP dikisaran 20% (7,9 GW), serta sisanya diisi minyak bumi Indonesia hanya sembilan miliar barel (DESDM,
pembangkit listrik PPU dengan pangsa lebih dari 4% (1,7 GW) 2013) yang diperkirakan habis selama 18 tahun dengan laju
(BPPT, 2013). produksi rata-rata 500 juta barel per tahun. Hal ini menyebab-
kan Indonesia harus beralih dari negara pengekspor minyak
Mengingat tingginya penggunaan bahan bakar min- menjadi pengimpor netto (net importer) sejak beberapa tahun
yak dalam penggunaan energi final, maka penggunaan bahan terakhir. Konsumsi energi yang tinggi ini menimbulkan mas-
bakar alternatif perlu terus didorong. Terutama sebagai sub- alah dengan laju pengurangan sumber daya fosil, seperti min-
stitusi BBM seperti biofuel. CNG juga mulai dipertimbangkan yak, gas bumi, serta batubara, yang lebih cepat jika diband-
oleh pemerintah untuk mensubstitusi premium yang penggu- ingkan dengan laju penemuan cadangan baru. Diperkirakan
naannya terus meningkat. Penggunaan batubara untuk kebu- dalam jangka waktu yang tidak lama lagi cadangan energi fosil
tuhan industri terus meningkat, namun pangsanya masih jauh Indonesia akan habis, sehingga kemudian kebutuhan energi
di bawah BBM. Meskipun penggunaan batubara meningkat, dalam negeri akan sangat tergantung pada sumber energi im-
namun pada tahun 2015 pangsanya menurun menjadi 11,6% por. Guna mengatasi persoalan tersebut di¬perlukan upaya
ketika pada tahun tersebut pangsa penggunaan gas bumi dan diversifikasi dan konservasi energi. Diversifikasi energi adalah
LPG meningkat menjadi 20,7%. Penggunaan gas bumi dan peng-anekaragaman pemakaian energi dengan meningkatkan
LPG yang didominasi sektor industri dan rumah tangga akan pemanfaatan teknologi seperti; tenaga nuklir, surya, biomassa,
terus meningkat, kemudian pangsanya akan merosot karena angin, energi air, dan panas bumi. Sedangkan konservasi ener-
pasokan gas akan terus menurun sesuai dengan kemampuan gi adalah meliputi pemanfaatan energi yang efisien dan mener-
produksinya, sehingga pada tahun 2030 pangsanya sebesar apkan manajemen energi di semua sektor yaitu sektor industri,
14,8%. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di- transportasi, rumah tangga, dan komersial. Kebijakan penting
harapkan penggunaan peralatan listrik akan terus meningkat di dalam rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah pe-
semua sektor, baik di sektor industri, rumah tangga dan komer- rubahan paradigma pengelolaan energi nasional, yang men-
sial. Penggunaan biomassa dan kayu bakar terus menurun empatkan sumber daya energi sebagai modal pembangunan
terutama di sektor rumah tangga yang digantikan dengan per- nasional, bukan hanya sebagai komoditi ekspor.
alatan lainnya yang lebih efisien. Penggunaan biomassa men-
jadi 9,6% pada tahun 2025. Rancangan KEN menetapkan sasaran sebagai berikut:
a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1% pada tahun
Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar min- 2025 yang diselaraskan dengan target pertumbuhan
yak (BBM) atau energi fosil umumnya, telah menghadapi tan- ekonomi;
tangan paling berat saat ini. Sekitar 65% kebutuhan energi b. Tercapainya penurunan intensitas energi final sebesar 1%
final Indonesia masih tergantung pada BBM, yang sebagian per tahun pada tahun 2025;

30 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 31
c. Tercapainya rasio elektrifikasi sebesar 85% pada tahun 2015 listrik untuk kebutuhan pokok hidup sehari-hari. Selain itu, ma-
dan mendekati sebesar 100% pada tahun 2020; sih ada sekitar 19 juta keluarga atau 75 juta orang yang ting-
d. Tercapainya rasio penggunaan gas rumah tangga pada ta gal di wilayah Indonesia yang belum merasakan listrik. PT PLN
hun 2015 sebesar 85%; (Persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
e. Tercapainya bauran energi primer yang optimal, yaitu pada (ESDM) telah melakukan upaya meningkatkan rasio elek¬tri-
tahun 2025 pangsa teknologi nuklir mencapai paling sedikit fikasi dengan membangun pembangkit listrik tenaga uap ber-
25%, dan pada tahun 2050 paling sedikit 40%. Mengurangi kapasitas 10.000 mega¬watt (MW). Program yang merupakan
penggunaan minyak bumi, menjadi lebih kecil dari 25% pada bagian dari proyek percepatan 10.000 MW itu diharapkan bisa
tahun 2025 dan lebih kecil dari 20% pada tahun 2050. Apa tuntas pada 2013.
bila ketersediaan energi bersih belum mencapai sasaran,
maka batubara masih menjadi andalan dalam penyediaan
energi nasional, dengan pangsa yang relatif tetap, yaitu
pada tahun 2025 minimal sebesar 30% dan pada tahun
2050 minimal sebesar 25%. Penggunaan gas bumi di
dorong secara optimal, menjadi minimal 20% pada tahun
2025 dan minimal 15% pada tahun 2050, apabila keterse
diaan energi bersih belum mencapai sasaran.

3.2. Ketenagalistrikan
Perkembangan penggunaan energi untuk pembangkit
listrik di tahun 2010 masih di¬dominasi batubara sebesar 23,96
juta ton atau sebesar 96,32 juta SBM. Selama tahun 2000-
2010 pemakaian BBM meningkat sekitar 6,38% per tahun,
batubara meningkat 6,19% per tahun, sementara penggunaan
gas meningkat sekitar 2,16% per tahun. Kapasitas pemban-
gkit listrik di Indonesia (2010) mencapai 31,6 GW, terdiri dari
kapasitas pembangkit listrik PLN dan IPP. Bauran kapasitas
terpasang pembangkit PLN didominasi 35% oleh PLTU, 26%
oleh PLTGU, 12% oleh PLTA serta 9% oleh pembangkit EBT
lainnya. Terkait dengan rasio elektrifikasi, terlihat bahwa elek-
trifikasi nasional saat ini baru mencapai 66%. Masih terdapat
7.500 desa dari 72.000 desa yang belum bisa menikmati aliran

32 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 33
4 POTENSI BIOENERGI
DARI LIMBAH HUTAN
EMPAT
Sebagian besar dari hutan tropis hutan terbesar hutan
tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan lu-
asnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah
Brasil dan Republik Demokrasi Kongo. Hutan tersebut memi-
liki karakteristik yang unik. Tipe-tipe hutan di Indonesia berk-
isar dari hutan-hutan dipterocarpaceae dataran rendah yang
selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan
monsun musiman, padang savana di Nusa Tenggara, dan
hutan non-dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan Al-
pin di Irian Jaya (Papua).

Pada awal pembangunan, negara Indonesia telah me-


nitikberatkan eksploitasi hasil hutan sebagai penghasil devisa

34 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 35
utama pada sektor nonmigas. Menurut data FWI dan GFW gandung senyawa anorganik yang disebut abu. Abu tersebut
(2001), pada awal tahun 1997, sektor kehutananan dan pen- mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium,
golahan kayu menyumbang 3,9 persen dari Produk Domestik mangan dan silikon. Komposisi unsur kimia penyusun kayu
Bruto (PDB), dan eksport kayu lapis, pulp, dan kertas nilainya sangat bervariasi. Secara umum komposisi unsur kimia kayu
mencapai 5,5 miliar dollar. Jumlah ini nilainya hampir seten- untuk karbon sekitar 49%, hidrogen 6%, oksigen 44%, nitro-
gah dari eksport minyak dan gas, dan setara dengan hampir gen 0.04-0.1%, dan abu (mineral) 0.2-0.5% (Brown et al. 1952,
10 persen pendapatan ekspor total. Fungsi lain yang tak kalah Haygreen & Bowyer 1993).
pentingnya dari hutan adalah fungsi lingkungan, konservasi,
dan sosial budaya. Jaringan kayu tersusun dari bahan polimer dalam ben-
tuk fraksi polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin
Dengan hutan tropis yang kita miliki, tersedia begitu (Sjostrom 1995, Brown et al. 1952, Fengel & Wegener 1995,
banyak flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan. Salah satu Eaton & Hale 1993, Haygreen & Bowyer 1993). Komponen
hasil hutan yang telah dimanfaatkan sejak dulu adalah kayu. polimer ini disebut juga komponen primer karena merupakan
Manfaat kayu dalam mencukupi kebutuhan hidup manusia su- komponen utama penyusun dinding sel kayu. Selain komponen
dah tidak diragukan lagi. Kayu banyak digunakan dalam indus- primer, kayu juga mengandung berbagai macam bahan organ-
tri pengolahan kayu sebagai bahan baku pembuatan furniture ik lainnya dan bahan anorganik yang disebut zat ekstraktif yang
berupa meja, kursi, lemari, tempat tidur, rak buku, dan perleng- terdapat di dalam dinding sel maupun rongga sel. Zat ekstrak-
kapan rumah tangga. Sampai tahun 1990-an, jenis industri ha- tif disebut juga komponen sekunder karena keberadaannya di
sil hutan yang berkembang pesat di Indonesia adalah industri dalam kayu bukan merupakan bagian struktural dari dinding
pengolahan kayu primer yang terdiri atas industri penggergaji- sel. Komponen sekunder yang berupa bahan organik ini dapat
an, industri finir / kayu lapis, dan industri pulp. Selain industri diekstraks dari dalam kayu tanpa merusak struktur dinding sel
pengolahn kayu primer, juga sudah mulai berkembang. Be- kayu (Fengel & Wegener, 1995).
berapa jenis industri pengolahan kayu sekunder seperti kertas,
moulding, building components, furniture, blockboard, dan par- 3.1. Selulosa
ticle board (Sanusi, 1998). Menurut Sanusi (1995) bahwa pada Selulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit
industri pengolahan kayu ini menghasilkan limbah yang sangat D-anhidro glukopyranosa yang terikat melalui ikatan glikosi-
signifikan. Besarnya limbah industri penggergajian tersebut da β-1-O-4. Gambar 1 menunjukkan struktur dasar selulosa.
dapat mencapai 45,66% yang terdiri atas serbuk gergaji 8,93%, Jumlah unit-unit glukosa yang menyusun selulosa atau biasa
potongan-potongan kayu 14,48%, dan sebetan (slabs). disebut derajat polimerisasi (degree of polymeritation) sekitar
8000-10000 dalam setiap kayu (Eaton & Hale 1993).
Kayu disusun oleh unsur karbon, hidrogen, dan oksi-
gen (Haygreen & Bowyer, 1995). Selain itu, kayu juga men- Selulosa dibentuk dari hasil fotosintesis. Pada proses

36 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 37
fotosintesis, air (H2O) yang diperoleh dari dalam tanah diang- pemasakan pulp oleh larutan alkali dan asam pekat (Casey,
kut oleh xylem bagian luar (kayu gubal) dan karbondioksida 1980). Dalam produksi bioetanol, selulosa dipertahankan
(CO2) yang diperoleh dari udara dipadukan menjadi glukosa supaya sedikit mungkin mengalami kerusakan selama pros-
(C6H12O6) dan oksigen (O2) dengan bantuan sinar matahari. es pulping. Semakin tinggi kandungan selulosa suatu bahan
Selanjutnya glukosa tersebut diangkut ke pusat-pusat pengo- diharapkan menghasilkan rendemen etanol yang tinggi pula
lahan yang terletak pada pucuk cabang dan akar (meristem (Saddler, 1993).
ujung) dan ke lapisan kambium yang menyelubungi batang Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan monomer
utama, cabang, dan akar. Kemudian dalam suatu proses selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tak sempurna
kompleks, glukosa mengalami modifikasi kimia dengan dile- menghasilkan disakarida dari selulosa yang disebut selobio-
paskannya satu molekul air (H2O), dan terbentuklah andhidrit sa. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai
glukosa (C6H10O5). Dua unit anhidrid glukosa kemudian saling ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan
bersambungan ujung-ujungnya membentuk selobiosa, selan- ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa dengan bantuan
jutnya selobiosa membentuk polimer berantai panjang yang selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara
disebut selulosa yang merupakan polimer tersusun dari unit asam/basa (Saddler, 1993).
pengulangan dari selobiosa (Haygreen & Bowyer, 1993).
3.2. Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-
unit glukosa, gula heksosa, gula pentosa. Hemiselulosa ini
relatif berantai pendek dan bercabang. Derajat polimerisasin-
ya jarang mencapai 200. Komponen hemiselulosa pada kayu
daun lebar berbeda dengan kayu daun jarum. Komponen
monosakarida yang menyusun hemiselulosa terdiri atas glu-
kosa, xilosa, galaktosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan
fukosa (Eaton & Hale, 1993, Barnet & Jeronimidis, 2003). Gam-
bar 2 menunjukkan struktur kimia komponen-komponen gula
hemiselulosa.
Menurut Fengel & Wegener (1995), perbedaan utama
Sumber: Fengel &Wegener (1995)
hemiselulosa kayu daun jarum dengan kayu daun lebar adalah
Gambar 4.1. Struktur Dasar Selulosa
jenis dan jumlah gula penyusun hemiselulosa-nya. Kayu daun
Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi larutan peng- jarum memiliki komponen mannan yang lebih tinggi sedangkan
gelantang, tidak larut air, alkohol, alkali encer, asam miner- kayu daun lebar komponen xilan yang lebih tinggi. Contoh he-
al, dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses miselulosa pada kayu daun jarum adalah O-asetil-galaktoglu-

38 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 39
komanan atau biasa disebut galaktoglukomanan (Gambar 3).
Sedangkan contoh hemiselulosa pada kayu daun lebar adalah
O-asetil-4-O-metil-glukuronoxilan atau glukuronoxilan (Gambar
4).

Sumber: Fengel &Wegener (1995)


Gambar 4.4. O-Asetil-4-O-Metilglukoronoxilan dari
Kayu Daun Lebar

Xilan tersusun dari ikatan xilosida. Xilan yang terdiri


atas gugus-gugus ikatan asam uronat dan xilosa sangat tahan
terhadap hidrolisis, sedangkan gugus asetil mudah dihidrolisis
oleh asam dan sangat efektif diekstraks dengan alkali. Dalam
Sumber: Fengel & Wegener (1995) teknologi pulping kraft, gugus asetil ini terdegradasi bersama
Gambar 4.2. Struktur Kimia Komponen-Komponen Gula lignin (Sjostrom, 1995).
Hemiselulosa Hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan menggunakan
pelarut asam maupun basa menghasilkan gula sederhana sep-
erti glukosa, manosa, xilosa, dan galaktosa. Beberapa enzim
yang diketahui bisa mendegradasi hemiselulosa antara lain en-
do-1,4-β-D-xylanase (xilanase) dan endo-1,4-β-D-mannase
(mannase). Enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa tersebut
dihasilkan dari jamur seperti Trichoderma spp. dan Aspergillus
spp. Bakteri yang dilaporkan penghasil xilanase adalah Bacil-
lus spp. dan Streptomyces spp. (Saddler, 1993).

3.3. Lignin
Sumber: Fengel &Wegener (1995) Lignin adalah polimer yang kompleks dengan berat
Gambar 4.3. O-Asetil Galaktoglukomanan dari Kayu molekul tinggi yang tersusun dari unit-unit fenil propana. Meski-
Daun Jarum pun terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Lignin bukanlah

40 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 41
suatu karbohidrat tetapi suatu senyawa fenol. Lignin yang be-
rasal dari kayu daun jarum dan kayu daun lebar mempunyai
beberapa sifat kimia yang sama yaitu mempunyai metoksil, hi-
droksil, dan gugus karbonil serta mempunyai inti fenil dalam
rangka fenil propana (Haygreen & Bowyer, 1993).
Menurut Eaton & Hale (1993), berdasarkan strukturn-
ya dikenal tiga jenis unit dasar penyusun lignin yaitu p-kumaril
alkohol, koniferil alkohol (guaiasil) dan sinapil alkohol (siringil) Sumber: Eaton & Hale (1993)
Gambar 4.5. Bentuk Unit Fenil Propan yang Terdapat pada
(Gambar 5). Dikatakan p-kumaril alkohol jika karbon nomor 3 Lignin
dan 5 tidak mengikat metoksil. Tipe lignin p-kumaril alkohol um-
umnya ditemukan pada rumput-rumputan. Jika metoksil hanya
terikat pada atom karbon nomor 3 (C3) cincin aromatik maka
dikatakan guaiasil sedangkan jika karbon nomor 3 (C3) dan 5
(C5) mengikat metoksil maka disebut siringil.
Berdasarkan strukturnya, lignin terdiri atas tiga tipe yai-
tu lignin guaiasil, lignin guaiasil-siringil, dan lignin rumput-rum-
putan. Lignin guaiasil terdapat pada kayu daun jarum. Kayu
daun jarum tersusun dari sekitar 90% guaiasil dan 10% p-ku-
maril alkohol. Lignin guaiasil-siringil terdapat pada kayu daun
lebar yang tersusun dari guaisil dan siringil dengan rasio ter-
tentu. Lignin rumput-rumputan terdapat pada rumput-rumpu-
tan (graminae) yang tersusun dari sekitar 40% guaiasil, 40%
siringil, dan 20% p-kumaril alkohol (Gullichsen & Paulapuro,
2000). Kayu daun lebar mempunyai metoksil yang lebih banyak
dibandingkan kayu daun jarum (Eaton & Hale, 1993). Struktur
lignin penyusun kayu lebar dan kayu daun jarum ditunjukkan Sumber: Eaton & Hale (1993)
pada gambar 6 dan 7. Gambar 4.6. Model Lignin Pada kayu Daun Lebar Beech

42 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 43
Dalam proses pulping, lignin berpengaruh terhadap laju
delignifikasi baik dari segi kuantitatif dan kualitatif (Syafii et al.,
2009). Semakin tinggi kadar lignin kayu maka konsumsi bah-
an kimia pemasak selama proses pulping akan semakin tinggi
pula dan dibutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama untuk
mencapai tingkat pemasakan tertentu (Casey, 1980). Pada
kayu daun lebar, perbandingan antara unit siringil dan guaiasil
yang dikenal sebagai S/G rasio juga berpengaruh terhadap laju
delignifikasi yang terjadi selama proses pulping. Syafii (2001)
dan Syafii et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai
S/G rasio maka laju delignifikasinya akan meningkat pula.
Dalam produksi bioetanol, kehadiran lignin dapat
menghambat proses degradasi polisakarida menjadi gula-gula
sederhana. Oleh karena itu, lignin terlebih dahulu dihilangkan
dengan menggunakan perlakuan pendahuluan (Bruce & Pal-
freyman, 1998). Semakin banyak kandungan lignin suatu jenis
kayu maka semakin banyak bahan kimia yang digunakan untuk
Sumber: Eaton & Hale (1993) melarutkan lignin pada proses pulping (Biermann, 1993).
Gambar 4.7. Model Lignin Pada Kayu Daun Jarum
Spruce
3.4. Zat Ekstraktif
Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding Secara umum zat ekstraktif adalah bahan yang berinfil-
sel (Haygreen & Bowyer, 1995 dan Siau, 1984). Di antara sel- trasi ke dalam dinding sel atau terdapat sebagai endapan pada
sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel bersa- permukaan rongga sel atau bahan yang mengisi rongga sel
ma-sama. Di dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya yang dapat dikeluarkan/diekstraks tanpa merusak dinding sel,
dengan selulosa dan memberikan ketegaran pada sel. Lignin baik dengan pelarut polar maupun pelarut non polar. Dalam
juga memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan air arti sempit, ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut
kayu dan juga memberikan proteksi kayu terhadap organisme dalam pelarut organik dan dalam pengertian ini nama ekstraktif
perusak kayu. Dalam bidang industri, lignin banyak digunakan digunakan dalam analisis kayu. Senyawa-senyawa karbohidrat
sebagai bahan pengikat, dispersan pada industri minyak bumi, dan anorganik yang larut dalam air juga termasuk dalam sen-
bahan penyamak, pengisi bahan dari karet, bahan untuk mem- yawa yang dapat diekstraks (Conner, 1977).
perbaiki tekstur tanah, karbon aktif, dan vanilin sintesis (Brown Kandungan ekstraktif dalam kayu bervariasi mulai ku-
et al., 1952, Bruce & Palfreyman, 1998). rang dari 1% hingga lebih dari 10% dan dapat mencapai 20%

44 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 45
untuk kayu-kayu tropis. Komponen zat ekstraktif dalam kayu
dapat menjadi lebih tinggi pada bagian tertentu, misalnya pada
bagian pangkal batang, kayu teras, akar dan bagian luka. Jum-
lah ekstraktif yang relatif tinggi diperoleh dalam kayu tropis dan
subtropis tertentu (Zinkel, 1978).
Menurut Kimland & Norin (1972), kandungan dan kom-
ponen zat ekstraktif berbeda-beda di antara spesies kayu. Va-
riasi ini juga bergantung pada letak geografi dan musim. Zat
ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel paren-
kim jari-jari, jumlah yang rendah juga terdapat dalam lamella
tengah, saluran interseluler, dan dinding sel trakeid dan sera-
but libriform. Zat ekstraktif tidak tersebar merata dalam batang
maupun pada dinding serat. Lemak dan esternya terdapat

5
dalam sel parenkim terutama di dalam sel jari-jari. Bagian-ba-
gian yang larut dalam air seperti gula terdapat pada kayu gubal
dari batang. Resin banyak terdapat pada pembuluh kayu teras.
Tanin banyak terdapat dalam kulit kayu. Bahan-bahan mineral

LIMA
terdapat dalam dinding sel kayu. Keberadaan zat ekstraktif kayu
menyebabkan beberapa permasalahan dalam proses pulping
seperti dapat meningkatkan komsumsi bahan kimia pemasak
dan mengurangi rendemen pulp (Biermann, 1993). Selain itu,
zat ekstraktif juga dapat menghambat proses hidrolisis selulosa
dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol (Saddler, 1993).

46 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 47
bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman
keras serta farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alko-
holnya, alkohol terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas industri
dengan kadar alkohol 90-94%, kelas netral dengan kadar alko-
hol 96-99.5% (umumnya digunakan untuk minuman keras atau
bahan baku farmasi), kelas bahan bakar dengan kadar alkohol
di atas 99.5% (Hambali et al. 2007).

Bioetanol sangat berpotensi sebagai bahan bakar naba-


ti untuk menggantikan bahan bakar fosil. Pemanfaatan bioeta-
nol ini telah terbukti lebih ramah lingkungan. Hasil pembakaran
bioetanol ini menghasilkan limbah yang bersih, bilangan oktan
yang lebih tinggi, mengurangi emisi gas karbon monoksida dan
PEMANFAATAN BIOETANOL penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar diharapkan dapat
SEBAGAI ENERGI BARU mengurangi emisi karbon dioksida yang berpotensi menyebab-
DAN TERBARUKAN kan pemanasan global (Smith et al. 2003 dan Samejima, 2008).

Bahan bakar yang dicampur dengan etanol disebut


dengan gasohol. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) dan
alcohol (bioetanol). Gasohol merupakan campuran bioetanol
5.1. Bioetanol sebagai Pengganti Bensin kering/absolut terdenaturasi dan bensin pada kadar alkohol
Etanol (etil alkohol) adalah zat kimia organik berbentuk sampai dengan sekitar 22% volume. Istilah bioetanol identik
cair pada suhu kamar, berwarna jernih, berbau khas alkohol, dengan bahan bakar murni (BEX: gasohol berkadar bioetanol
mudah terbakar, dan dapat dibuat dari biomassa maupun frak- X%-volume). Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada mo-
si minyak bumi yang memiliki rumus molekul C2H5OH dengan tor bensin, digunakan dalam bentuk nett 100% (B100) atau
berat molekul 46.07. Bioetanol merupakan etanol yang terbuat di-blending dengan premium (EXX). Etanol absolut memiliki
dari bahan nabati yang mengandung gula (nira tebu, aren, mo- angka oktan (ON) 117, sedangkan premium hanya 87 sampai
lase), berpati (ubi kayu, ubi jalar, sorgum, jagung) atau bahan 88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau se-
berlignoselulosa (jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong tara Pertamax (Susmiati, 2010).
kelapa sawit, bambu, dan kayu).
Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan ben-
Dalam industri, etanol umumnya digunakan sebagai sin dengan porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat

48 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 49
langsung digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu me- nira, molasses, buah) atau bahan lain yang harus diubah men-
modifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin mobil bensin jadi bahan yang dapat difermentasi seperti pati (jagung, ketela,
menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bio- dan kentang) dan selulosa (jerami dan kayu) selain itu dapat
etanol ) dan gaisohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kiner- juga diperoleh dari hasil samping industri tertentu.
ja mesin yang lebih baik dari premium dan setara dengan per-
tamax. Bahan bakar ini jika dioperasikan pada mesin berbasis Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi
gasoline akan menghasilkan emisi karbon monoksida (CO) dan gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroor-
6 senyawa lain hidrokarbon lebih sederhana hasil pembakaran ganisme. Bioetanol saat ini yang diproduksi umumnya berasal
(oksidasi) tidak sempurna pada tingkat lebih rendah dibanding- dari etanol generasi pertama, yaitu etanol yang dibuat dari ba-
kan dengan pengoperasian bahan bakar konvensional (gaso- han pangan seperti gula (tebu, molases) atau pati-patian (ja-
line). Ini disebabkan adanya etanol yang sudah mengandung gung, singkong, dll). Pembuatan bioetanol bukan merupakan
oksigen (O2) sekitar 35% dapat meningkatkan efisiensi pem- suatu hal yang baru. Secara umum, proses pengolahan bahan
bakaran/ oksidasi. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama berpati/karbohidrat seperti ubi kayu, jagung, dan gandum untuk
gasohol, telah dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan menghasilkan etanol dilakukan dengan proses hidrolisis, yak-
campuran 10% bioetanol (dari bahan baku jagung) dan 90% ni proses konversi pati menjadi glukosa. Prinsip dari hidrolisis
gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk campuran gasoline dibuat pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati men-
dari bahan baku tebu dan digunakan dalam kadar 10%. Di Fin- jadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer
landia, biogasoline yang digunakan memiliki kadar bioetanol tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya
5% dan memiliki angka oktan 98. Di Jepang, sejak tahun 2005 secara enzimatis, kimiawi, ataupun kombinasi keduanya. Pros-
sudah mulai digunakan gasoline dengan campuran 3% bioeta- es berikutnya adalah proses fermentasi untuk mengkonversi
nol, dan diharapkan pada tahun 2012 seluruh gasoline yang glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Arah pengembangan
dijual di Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun bioetanol mulai berubah generasi kedua, yaitu limbah pertani-
2006 Thailand telah menjual gasohol 95 dan direncanakan an yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selu-
pada tahun 2012 Thailand akan mengganti seluruh gasoline losa merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tana-
dengan biogasoline (Komarayati dan Gusmailina, 2010) man dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur
tanaman. Jumlah selulosa di alam sangat melimpah sebagai
5.2. Proses Produksi Bioetanol sisa tanaman atau dalam bentuk limbah pertanian seperti jera-
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan etanol di mi padi, tongkol jagung, gandum dan kedelai. Nilai ekonomi
Indonesia maka semakin meningkat pula perkembangan pabrik senyawa selulosa pada limbah tersebut sangat rendah kare-
etanol menggunakan berbagai macam bahan baku. Proses na tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh manusia. Sulitnya
produksi etanol dapat diperoleh dari tiga macam proses, yaitu mendegradasi limbah tersebut menyebabkan petani lebih suka
sintesis dari ethylene, fermentasi langsung karbohidrat (gula, membakar limbah tersebut di lahan pertanian dari pada me-

50 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 51
manfaatkannya kembali melalui pengomposan (Salma & Gu-
narto, 1999).

Produksi etanol dengan cara fermentasi dapat diproduksi dari 3


jenis bentuk bahan baku:
a. Bahan yang mengandung gula atau disebut juga substansi
sakarin yang rasanya manis, seperti misalnya gula tebu,
gula bit, molase (tetes), macam sari buah-buahan, dan lain-
lain. Molase mengandung 50-55% gula yang dapat difer
mentasi, yang terdiri dari 69% sukrosa, dan 30% gula inversi.
b. Bahan yang mengadung pati misalnya: padi-padian, jagung,
gandum, kentang sorgum, malt, barley, ubi kayu, dan lain-
lain. Sumber: http://www.responsiblebusiness.eu
c. Bahan-bahan yang berlignoselulosa, misalnya: kayu, jerami, Gambar 5.1. Generasi Pengembangan Bioetanol
tongkol jagung, cairan buangan pabrik pulp, dan kertas Bioetanol dari bahan ber-lignoselulosa dikenal juga
(waste sulfire liquor). dengan etanol generasi kedua, sangat intensif diteliti dalam
dua dekade terakhir (Yang & Wayman, 2007). Produksi bio-
Secara umum bahan bergula relatif mudah diproses etanol dari limbah pertanian dan kehutanan telah dicoba den-
menjadi bioeitanol. Gula tersebut langsung difermentasi menja- gan menggunakan enzim dari berbagai sumber untuk hidrolisis
di bioetanol dengan penambahan menambahkan yeast. Bahan lignoselulosa dan mikroorganisme yang berbeda untuk fermen-
berpati relatif lebih sulit dibandingkan dengan bahan bergula, tasi (Ohgren et al., 2006). Pemanfaatan bahan ber-lignoselulo-
karena membutuhkan proses hidrolisis pati benjadi gula (gluko- sa sebagai penghasil bioetanol masih terkendala pada proses
sa) sebelum difermentasi menjadi bioetanol. Proses hidrolisis pengolahan yang lebih rumit yaitu memerlukan proses penda-
dapat dilakukan dengan menggunakan asam ataupun dengan huluan berupa penghilangan ekstrakti dan lignin serta proses
enzim. Proses produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan bahan berpati dan gula.
membutuhkan proses yang relatif panjang dan rumit karena Meskipun pada dasarnya harga bahan ber-lignoselulosa lebih
membutuhkan proses perlakuan pendahuluan dalam meng- murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan
hilangkan zat ekstraktif dan lignin yang terdapat bahan untuk pada lahan tidak produktif, namun biaya produksinya yang rela-
menghasilkan holoselulosa (karbohidrat total) berupa selulosa tif lebih tinggi dibandingkan bahan bergula dan berpati menye-
dan hemiselulosa yang selanjutnya dihidrolisis (sakarifikasi) babkan produksi bioetanol dari bahan ber-lignoselulosa belum
menjadi glukosa untuk selanjutnya difermentasi menjadi gula. dikembangkan secara luas (Bruce & Palfreyman, 1998 dan Mi-
yafuji et al., 2003).

52 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 53
Tantangan utama pemanfaatan bahan ber-lignoselulo- biaya produksi pada proses biokonversi bahan ber-lignoselulo-
sa sebagai bahan baku bioetanol adalah penemuan metode sa menjadi bioetanol adalah dengan melakukan proses sakar-
yang efisien dalam biokonversi selulosa dan hemiselulosa ifikasi dan fermentasi dalam waktu yang bersamaan. Metode
menjadi gula. Hasil penelitian Nakasaki & Adachi (2003) telah ini dikenal dengan nama simultaneous saccharification and fer-
menunjukkan bahwa proses konversi secara enzimatis lebih mentation (SSF). Metode SSF telah berhasil diterapkan pada
efektif dibandingkan konversi secara kimia. Metode biokonversi proses produksi bioetanol dari kayu (Stenberg et al. 1999, Pan
yang telah terbukti paling efisien adalah metode yang meng- et al. 2006, Balat et al. 2008, Modig et al. 2008, Kristensen et al.
gunakan enzim selulase (Nakasaki & Adachi 2003, Yang & 2008, Sukumaran et al. 2009). Metode SSF ini lebih efisien dan
Wyman 2005, dan Dadi et al. 2006). Tantangan lain teknologi efektif dibandingkan dengan metode separate hydrolysis and
dalam biokonversi bahan ber-lignoselulosa menjadi bioetanol fermentation (SHF) (Stenberg et al., 1999). Penggunaan SSF
saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat ma- juga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
sih kurang optimalnya proses hidrolisis dan fermentasi glukosa metode SHF (Chandel et al., 2007). Pada kondisi substrat dan
menjadi bioetanol, meskipun rendemen glukosa dari hasil hi- enzim selulase yang sama metode SHF menghasilkan derajat
drolisis saat telah berhasil ditingkatkan sampai mencapai 70% konversi glukosa menjadi etanol sekitar 40% sedangkan SSF
(Kristensen et al. 2006) dan rendemen total etanol dari bah- dapat mencapai 60%.
an ber-lignoselulosa telah mencapai 21% (Mtui & Nakamura,
2005).

Rendahnya rendemen bioetanol dari bahan


ber-lignoselulosa ini disebabkan oleh adanya zat peng-
hambat sebagai hasil samping dari proses hidrolisis bahan
ber-lignoselulosa tersebut seperti asam asetat, furan aldehid,
vanilin, dan fenol yang dapat menghambat kerja mikroba fer-
mentasi (Martinez et al. 2000, Sun & Cheng 2002, Dadi et al.
2006). Selain itu, adanya interaksi antara enzim dan substrat
sangat mempengaruhi proses kerja enzim dalam proses hidroli-
sis dan fermentasi ini sehingga penemuan metode perlakuan
pendahuluan dan teknologi enzim menjadi sangat penting pada
proses biokonversi bahan ber-lignoselulosa menjadi bioetanol
yang lebih efisien dan ekonomis (Mosier et al., 2005).
Sumber: Dashtban,et. al. (2009)
Beberapa metode yang digunakan untuk mengurangi Gambar 5.2. Produksi Bioetanol dengan Menggunakan Metode
Simultaneous Saccharification And Fermentation (SSF)

54 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 55
Produksi bioetanol dari bahan ber-lignoselulosa den- terium glutamicum (Sakai et al. 2007), serta penggunaan strain
gan metode SSF sangat bergantung pada metode perlakuan mikroba hasil rekayasa bioteknologi seperti Kluyveromyces
pendahuluan, hidrolisis serta kondisi media fermentasi yang marxianus CECT 10875 (Ballesteros et al. 2003), Escherich-
digunakan. Beberapa penelitian yang telah terbukti dapat ia coli KO11 (Okuda et al. 2007) serta merekayasa tanaman
meningkatkan rendemen dengan optimalisasi proses per- penghasil biioetanol (Ayako et al. 2008).
lakuan pendahuluan antara lain dengan pemanasan. Hasil
penelitian Ballesteros et al. (1998) menunjukkan bahwa per- Secara umum proses pembuatan bioetanol generasi
lakuan pendahuluan dengan pemanasan dapat meningkatkan kedua (bahan non pangan) adalah sebagai berikut:
rendemen glukosa dari 20% sampai mencapai sekitar 70%. 5.2.1. Perlakuan Pendahuluan
Selain itu, perlakuan pendahuluan lain yang juga efektif adalah Perlakuan pendahuluan sangat diperlukan dalam pros-
pemberian pemanasan dan bahan kimia seperti SO2 (Stenberg es pembuatan bioetanol dari bahan be-rlignoselulosa. Per-
et al. 1999), H2SO4, HNO3, HCl (Li et al. 2007), NaOH (Wang et lakuan pendahuluan ini berfungsi untuk menghilangkan lignin,
al. 2008), pemanasan dengan Ca(OH)2 (Martinez et al. 2000, mereduksi sifat kristalinitas selulosa, meningkatkan permukaan
Nilvebrant et al. 2007) dan H2O2 (Thomsen et al., 2006) serta kontak enzim, memudahkan hidrolisis selulosa pada proses se-
dengan penambahan aditif pada saat hidrolisisi seperti bovine lanjutnya, serta menghilangkan zat ekstraktif yang dapat meng-
serum albumin (BSA) (Yang & Wyman, 2005), 1-n-butyl-3-me- hambat kerja enzim dan mikroba (Ingram et al. 1997, Boussaid
thylimidazolium chloride (Dadi et al., 2006). Beberapa peneli- et al. 1999, Stenberg et al. 1999). Hasil penelitian Hamelinck et
ti juga mencoba mengoptimalkan proses hidrolisisnya yaitu al. (2005) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan dapat
dengan merekayasa kondisi substrat dan konsentrasi selulase meningkatkan hasil gula yang diperoleh menjadi sekitar 90%
(Stenberg et al. 1999, Dadi et al. 2005), pengaturan suhu dan dari hasil teoritis, sedangkan tanpa perlakuan pendahuluan
pH media (Olofsson et al., 2008) dan penambahan β-glukosi- hasil gula yang diperoleh hanya kurang dari 20%. Perlakuan
dase (Yang et al., 2006), pemberian enzim xilanase dan feruloil pendahuluan dapat dilakukan dengan metode fisis misaln-
esterase (Tabka et al. 2006) serta penggunaan mikroba yang ya dengan pemanasan (Stenberg et al. 1999), metode kimia
telah terbukti lebih efektif dalam proses fermentasi glukosa dari misalnya dengan SO2 pada konsentrasi rendah (Stenberg
bahan ber-lignoselulosa menjadi bioetanol. et al. 1999), pemberian Ca(OH)2 (Martinez et al. 2000), atau
penambahan 1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride (Dadi et
Beberapa mikroba yang telah banyak dikembangkan al. 2006) dan metode biologi atau kombinasi dari ketiga metode
dalam proses fermentasi bioetanol menjadi antara lain S. cer- ini. Beberapa metode perlakuan pendahuluan yang sering di-
eviciae (Stenberg et al. 1999, Domingues et al. 1999, Boussaid gunakan secara komersial pada proses pembuatan bioetanol
et al. 1998, Jeppsson et al. 2005, Edgardo et al. 2008, Modig et dari bahan berp-lignoselulosa antara lain: organosolv, steam
al. 2008), Zimomonas mobilis (Ingram et al. 1997), Escherichia explotion, dilute acid prehydrolisis, dan ammonia fibre explotion
coli (Zaldivar & Ingram 1999, Martinez et al. 2000), Corynebac- (AFEX) (Ingram et al. 1997, Boussaid et al. 1999, Stenberg et

56 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 57
al. 1999, Pan et al. 2006). Penambahan Na2S juga memberikan keuntungan karena bah-
an kimia ini tidak bersifat aktif terhadap selulosa dan hemiselu-
Salah satu metode perlakuan pendahuluan secara losa. Hal ini menyebabkan delignifikasi menjadi lebih singkat,
kimia adalah fraksinasi. Fraksinasi substrat biasanya meng- dan suhu maksimum dapat diturunkan serta memungkinkan
gunakan larutan asam seperti asam sulfat maupun larutan untuk memasak semua jenis kayu. Penambahan Na2S pada
basa seperti natrium hidroksida (Stenberg et al. 1999). Proses proses kraft menyebabkan perubahan sebagian gugus-gugus
utama dalam fraksinasi adalah proses delignifikasi atau lebih ujung aldehida menjadi gugus karboksil yang lebih stabil se-
dikenal dengan proses pulping. Ada beberapa metode pulping hingga mengurangi pelepasan primer polisakarida-polisakari-
secara kimia yang sering dilakukan yaitu proses kraft (proses da oleh alkali. Penambahan Na2S pada proses pulping kayu
sulfat), proses soda dan proses sulfit. Dalam teknologi pulping, mampu meningkatkan stabilitas sebagian gugus-gugus ujung
proses kraft merupakan metode yang umum digunakan. Pros- poliosa tertutama glukomanan, namun tidak berpengaruh ter-
es kraft ini akan menghasilkan pulp yang lebih kuat (kraft dalam hadap komponen poliosa lainnya, terutama xilan (Sjostrom,
bahasa Jerman). Proses kraft ini mampu menggunakan lebih 1995).
banyak jenis kayu (Suratmadji, 1994).
Besarnya persentase bahan kimia pemasak dalam
Menurut Casey (1980), penggunaan proses kraft mam- proses kraft sangat berpengaruh terhadap proses delignifika-
pu mengolah semua jenis bahan baku, bersifat toleran terh- si. Persentase bahan kimia pemasak biasanya dinyatakan se-
adap kayu yang masih mengandung kulit, waktu pemasakan bagai alkalinitas (alkali aktif) dan sulfiditas. Alkalinitas adalah
yang lebih pendek, adanya daur ulang sisa pemasakan sehing- jumlah NaOH dan Na2S yang digunakan dalam larutan pema-
ga biaya lebih murah, menghasilkan kualitas pulp yang sangat sak yang dinyatakan sebagai Na2O sedangkan sulfiditas ada-
prima, serta rendemennya yang tinggi. Larutan utama dalam lah persentase jumlah Na2S terhadap alkali aktif. Jumlah alkali
proses kraft adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sul- yang digunakan bergantung pada jenis bahan baku, kondisi
fida (Na2S). Natrium hidroksida merupakan bahan kimia pema- pemasakan dan besarnya delignifikasi yang diinginkan. Pema-
sak utama yang berfungsi untuk mempercepat kelarutan lignin, sakan dengan menggunakan alkali tidak hanya menghilangkan
sedangkan natrium sulfida merupakan komponen aktif tamba- lignin, tetapi juga bereaksi dengan karbohidrat. Jika alkali yang
han yang berfungsi untuk menggantikan bahan alkali yang hi- digunakan berlebihan dapat menyebabkan degradasi selulosa
lang selama proses pemasakan sehingga konsentrasi larutan yang besar sehingga rendemen dan sifat pulp yang dihasilkan
pemasak alkali tetap stabil (Fengel and Wegener, 1995). mengalami penurunan. Konsentrasi alkali (alkalinitas) yang
umum digunakan pada proses kraft berkisar antara 14 sampai
Dalam teknologi pulping kraft, adanya penambahan dengan 18%. Kisaran sulfiditas yang digunakan dalam proses
Na2S dapat menyebabkan pembentukan NaSH yang dapat kraft umumnya berkisar antara 20 sampai dengan 30% den-
bereaksi dengan lignin, sehingga kelarutan lignin lebih besar. gan nilai yang umum digunakana adalah 25% (Casey, 1980).

58 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 59
5.2.2. Hidrolisis yang dapat digunakan dalam SSF tidak terdapat di alam na-
Proses hidrolisis selulosa menjadi unit-unit glukosa mun diperoleh dengan teknik isolasi gen seperti S. cereviciae
agak rumit dibandingkan dengan bahan berpati karena ikatan LAC4, S. cereviciae LAC12 (Domingues et al. 1998), Escherina
selulosa merupakan ikatan beta (β) sedangkan pati berikatan coli LY01 (Zaldivar et al. 1999), Escherina coli adhE, Zimo-
alfa (α). Walaupun demikian proses hidrolisis selulosa dapat monas mobilis pdc (Ingram et al. 1997).
dilakukan melalui proses hidrolisis dengan asam atau pun en-
zim (Spagnuolo et al. 1999, Domingues et al. 1999, Stenberg 5.2.4. Destilasi
et al. 1999). Enzim yang dapat menghidrolisis selulosa menja- Destilasi adalah proses pemurnian yang dilakukan un-
di unit-unit glukosa adalah enzim selulase. Enzim selulase ini tuk memisahkan etanol dari air dan karbon dioksida. Melalui
dapat disintesis dari berbagai organisme seperti Kluyveromy- destilasi, pemanasan alkohol pada suhu rentang 78-100 oC
ces marxianus (Domingues et al. 1999), Trichoderma reesei, akan mengakibatkan etanol menguap, dan melalui unit kon-
T. longibranchiatum (Ingram et al. 1997), T. viride, Aspergillus densasi akan bisa dihasilkan etanol hingga mencapai 95%.
niger (Nakasaki & Adachi 2002), Paenibacillus sp. dan Thermo- Lain halnya bila etanol yang dihasilkan mencapai 99,5-100%,
bifida fusca (Sanchez et al. 2004). maka yang digunakan adalah destilasi absorbent. Destilasi ab-
sorbent memiliki pipa yang dindingnya berlapis zeolit (Soeraw-
5.2.3. Fermentasi idjaja, 2006).
Fermentasi adalah proses produksi bioetanol dari gula
sederhana dengan menggunakan mikroba (Ingram et al. 1997).
Beberapa mikroba yang dapat digunakan pada proses fermen-
tasi adalah Saccharomyces cereviciae, Schizosaccharomyces
sp., Candida sp., and Kluyveromyces sp. Dalam bidang indus-
tri, S. cereviciae merupakan khamir yang banyak dikembang-
kan karena sangat tahan dan toleran terhadap etanol yang ting-
gi (Domingues et al. 1999, Jeppsson et al. 2005).

Saat ini, salah satu kendala pada proses pembua-


tan bioetanol dengan menggunakan bahan ber-lignoselulosa
adalah tingginya biaya produksi. Oleh karena itu, salah satu
metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi ada-
lah dengan melakukan proses sakarifikasi dan fermentasi se-
cara simultan (Stenberg et al. 1999, Nakasaki & Adachi 2002).
Beberapa jamur lain yang memiliki kemampuan yang tinggi

60 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 61
6
PENDEKATAN BIOTEKNOLOGI
DALAM PRODUKSI BIOETANOL
LIMBAH KAYU
ENAM
Pemanfaaatan bahan baku yang berasal dari bahan
non pangan dan berbasis limbah merupakan pilihan bijak dalam
pengembangan bioenergi ke depan. Selama ini, pemanfaatan
bahan ber-lignoselulosa sebagai penghasil bioetanol masih
terkendala pada proses pengolahan yang rumit, yaitu memer-
lukan proses pendahuluan berupa penghilangan ekstraktif,
delignifikasi, dan proses hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan
bahan berpati dan gula. Meskipun pada dasarnya harga bahan
ber-lignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta
dapat dikembangkan pada lahan tidak produktif, namun biaya
produksinya relatif lebih tinggi. Oleh karena itu, tantangan te-
knologi dalam biokonversi tersebut saat ini adalah produkti-
vitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya

62 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 63
proses hidrolisis dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol. ya merupakan sumber pangan yang cukup potensial, sehingga
pengembangan bioetanol dari bahan pangan tersebut ke de-
Penelitian ini mencoba untuk menganalisis hubungan pan akan dapat menimbulkan permasalahan baru akibat per-
karakteristik bahan baku terhadap proses produksi bioetanol saingan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
serta menentukan proses perlakuan pendahuluan, hidrolisis, Oleh karena itu, perlu pengembangan BBN dari bahan yang
dan fermentasi yang tepat dalam meningkatkan rendemen dari bukan merupakan sumber pangan masyarakat yaitu terutama
beberapa limbah ber-lignoselulosa unit Bioteknologi Laborato- bahan ber-lignoselulosa. Dengan pemanfaatan teknologi ini
rium Silvikultur, Laboratorium Mikrobiologi, Balai Penelitian Ke- memungkinkan ke depan untuk pemanfaatan limbah-limbah
hutanan Makassar, dan Pusat Petelitian dan Pengembangan kayu di hutan, limbah pertanian, limbah rumah tangga, limbah
Teknologi Minyak Bumi, Gas dan Batubara Jakarta. perkantoran dan limbah industri, serta pemanfaatan berbagai
jenis tumbuhan yang selama ini belum dimanfaatkan termasuk
6.1. Kelayakan Teknis gulma untuk bioenergi.
Kebutuhan energi dunia akan terus meningkat sejalan
dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. 6.2. Pendekatan Bioteknologi
Namun, peningkatan kebutuhan bahan energi terutama bahan Perkembangan teknologi terkini menunjukkan bahwa
bakar fosil tersebut telah menyebabkan penurunan cadangan beberapa proses konversi selulosa menjadi etanol layak se-
minyak dunia sehingga menyebabkan bahan bakar fosil ini cara teknis, namun proses dengan biaya yang efektif masih
menjadi semakin langka dan harganya pun meningkat secara sulit dicapai. Berdasarkan studi tekno-ekonomi masih diperlu-
signifikan. Selain itu, perkembangan industri berbahan bakar kan perbaikan teknologi yang mendasar untuk menghasilkan
fosil telah menyebakan dampak lingkungan dan pemanasan bioetanol dengan harga yang lebih murah sehingga teknologi
global. Salah satu cara mengurangi krisis energi dan dampak ini cukup menarik untuk bisnis skala besar. Oleh karena itu,
yang diakibatkan oleh penggunaan energi berbahan baku fosil semua penelitian dan pengembangan ditujukan untuk men-
adalah pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan gurangi biaya produksi bioetanol agar dapat didirikan industri
seperti bahan bakar nabati (BBN). Selain dapat diperbaharui, bioetanol yang dapat beroperasi secara komersial dan men-
BBN ini juga dapat mengurangi emisi akibat pembuangan gas- guntungkan. Walaupun masih ada masalah-masalah teknis
gas rumah kaca sehingga dapat mengurangi dampak pemana- yang rumit yang mempengaruhi proses secara keseluruhan
san global. belum dapat dipecahkan dengan baik, namun teknologi ini
masih layak untuk dikembangkan. Pengembangan bioetanol
Salah satu bioenergi yang dapat dikembangkan di In- dari bahan non pangan dapat menjadi solusi dalam penangan
donesia adalah bioetanol. Selama ini, produksi bioetanol diar- permasalahan tersebut dengan menggunakan bahan baku be-
ahkan pada bahan berpati dan bergula seperti gula tebu, ubi rubah limbah yang relatif murah, teknologi sederhana dengan
kayu, dan jagung. Padahal bahan-bahan tersebut pada dasarn- melakukan optimalisasi perlakuan pendahuluan dan hidrolisis

64 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 65
dan fermentasi pada proses produksi bioetanol melalui sakari- Kelebihan lain proses ini adalah penggunaan reaktor tunggal
fikasi dan fermentasi secara simultan. untuk seluruh proses dapat meningkatkan efisiensi biaya dan
meminimalkan terjadinya kontaminasi proses dan etanol yang
6.3. Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan dihasilkan (Ballesteros et al. 2004). Kelemahan proses ini ada-
Secara sederhana proses konversi biomassa lignoselu- lah terdapatnya perbedaan kondisi optimum pada proses hi-
losa menjadi bioetanol melalui beberapa tahapan utama yang drolisis dan fermentasi. Enzim selulase dalam hidrolisis bekerja
meliputi perlakuan pendahuluan, hidrolisis, fermentasi, dan pu- optimum pada suhu 45-50 oC, sedangkan S.cereviseae dalam
rifikasi. Proses tersebut dapat dibagi berdasarkan tahapan hi- fermentasi optimal antara suhu 30-35 oC.
drolisis yang dilakukan, yaitu: hidrolisis asam encer (dilute-acid
hydrolysis), hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydroly- Bahan ber-lignoselulosa merupakan salah satu bah-
sis), dan hidrolisis enzimatik (enzymatic hydrolysis). Terdapat an yang telah banyak dikembangkan sebagai penghasil bio-
beberapa variasi teknik hidrolisis enzimatik yang digabungkan etanol dengan menggunakan metode SSF untuk menguran-
dengan tahapan fermentasi, seperti separate atau sequential gi biaya produksinya (Spagnuolo, 1999). Beberapa bahan
hydrolysis and fermentation (SHF), simultaneous saccharifi- ber-lignoselulosa yang telah diteliti sebagai penghasil bioeta-
cation and fermentation (SSF), simultaneous saccharification nol melalui metode SSF adalah bagas (Martinez et al. 2000),
and co-fermentation (SSCF), dan consolidated bioprocessing jerami (Neureiter et al. 2002), dan kayu (Bousaid et al. 1999,
(CBP) (Hamelinck et al. 2005). Stenberg et al. 2000).

Proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah proses 6.4. Kapang Aspergillus niger
kombinasi antara hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan Kapang Aspergillus niger termasuk genus Aspergil-
fermentasi gula yang berkelanjutan, sehingga menghasilkan lus, famili Eurotiaciae dan ordo Eurotiales. Kapang ini memiliki
produk akhir berupa etanol. Proses ini pertama kali dikenalkan miselium bercabang dan berseptat. Kapang umumnya bersifat
oleh Takagi et al. (1977) yang mengkombinasikan hidrolisis aerob dan tumbuh baik pada kisaran suhu 25-30 oC, namun ge-
menggunakan enzim selulase dan khamir S. cereviseae untuk nus aspergillus dapat tumbuh pada kisaran 35-37 oC. Kapang
memfermentasi gula menjadi etanol secara simultan. ini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 30 oC dengan pH
Tahap proses SSF ini berlangsung dalam satu reaktor. optimum 7,0 atau agak asam dan bersifat tidak tahan panas.
Khamir yang ditambahkan secara langsung memfermentasi Kapang A. niger dalam media pertumbuhan dapat langsung
produk gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh komplek mengkomsumsi molekul-molekul sederhana seperti gula dan
enzim selulolitik, sehingga polisakarida yang terhidrolisis men- komponen lain yang larut disekitar hifa, namun untuk molekul-
jadi monosakarida tidak berubah kembali menjadi polisakari- molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati, dan protein
da. Hal ini menyebabkan laju sakarifikasi dan rendemen etanol harus dipecah terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel.
yang dihasilkan lebih tinggi dibanding proses yang terpisah. Pembentukan enzim ekstraseluler A. niger berlangsung

66 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 67
lebih baik pada suhu kamar 25-28 oC daripada suhu optimum & Graham, 1970).
pertumbuhannya (37.8 oC). Sintesis enzim akan menurun pada Menurut Hagerdal et al. (2001), keunggulan lain dari khamir
suhu lebih dari 30 oC karena energi respirasi lebih banyak digu- S.cereviseae adalah toleran terhadap senyawa inhibitor yang
nakan untuk pembentukan spora daripada untuk membentuk terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa. Meskipun
miselium. demikian, khamir ini memiliki kelemahan yaitu S. cerevieae dari
Kapang A. niger dikenal sebagai kapang penghasil galur liar tidak dapat memfermentasi gula C5 (pentosa) seper-
asam sitrat, anilin, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, ti: xilosa, arabinosa, celloligosaccharides, menjadi salah satu
protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, kendala pemanfaatannya. Beberapa upaya rekayasa genetika
α-glukosidase, β-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksi- juga telah dilakukan untuk membuat S. cereviseae yang dapat
dase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan memfermentasi xilosa dan glukosa (Govindaswamy & Vane
4-glukanohidrolase, β-xilosidase, xilanase, dan lipase. Glu- 2007).
koamilase dari A. niger menunjukkan bobot molekul berkis- Khamir S.cerevisiae biasanya dikenal dengan baker’s yeast
ar 54-112 kD dan pH optimum berkisar antara 4,0-5,0. Suhu dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk me-
optimum aktivisai berkisar antara 40-65 oC (Selvakumat et al. tabolit utama adalah etanol, CO2 dan air, sedangkan beberapa
1996). produk lain dihasilkan dalam jumlah sedikit. Khamir ini bersifat
fakultatif anaerobik. Khamir S. cerevisiae memerlukan suhu
6.5. Khamir Saccharomyces cerveiciae 30 oC dan pH 4.0-4.5 agar dapat tumbuh dengan baik. Sela-
Khamir S. cerveiciae termasuk dalam kelas Ascomycetes ma proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak dilakukan
yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan pendinginan, suhu akan terus meningkat sehubungan proses
tempat pembentukan askospora. S. cerveiciae memperbanyak fermentasi terhambat (Oura, 1983).
diri dengan aseksual yaitu dengan bertunas (Pelezar & Chan, Kebutuhan nutrien dan kofaktor juga memegang peranan
1986). Dinding sel S.cerveiciae terdiri atas komponen-kom- penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus
ponen glukan, manan, protein, kitin, dan lemak (Waluyo, 2004). disediakan dan biasanya diberikan pada tekanan 0.05-0.10
Khamir S.cerveiciae sering digunakan dalam fermentasi mmHg, jika lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi akan
etanol karena sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol cenderung ke arah pertumbuhan sel (Kosaric et al., 1983).
yang tinggi (12-18% v/v), tahan pada kadar gula yang cukup Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, kalium, dan magne-
tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 oC. sium juga harus tersedia untuk sintesis komponen-komponen
Khamir ini mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30-35 oC minor, begitu juga dengan mineral seperti Mn, Co, Cu, dan Zn
dan tidak aktif pada suhu lebih dari 40 oC. Khamir S. cervei- serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam
ciae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa, serta nukleat, dan vitamin. Substrat yang digunakan untuk mem-
rafinosa (Kunkee & Mardon, 1970). Biakan S. cerveiciae mem- produksi etanol dalam jumlah besar biasanya telah mengand-
punyai kecepatan fermentasi optimum pada pH 4.48 (Harrison ung nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan khamir. Da-

68 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 69
lam beberapa hal, diperlukan tambahan nutrien dalam bentuk
komponen tunggal seperti garam amonium dan kalium fosfat
atau dari sumber murah seperti corn steep liquor (Kosaric et
al. 1983).
Pada awal fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk
pertumbuhan, tetapi setelah terjadi akumulasi CO2 reaksi be-
rubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerobik, khamir me-
metabolisme glukosa menjadi etanol sebagian besar melalui
jalur Embden Meyerhof Parnas. Setiap mol glukosa terfermen-
tasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena
itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0.51 g etanol.
Pada kenyataannya etanol biasanya tidak melebihi 90-95%

7
dari hasil teoritis. Hal ini disebabkan oleh sebagian nutrisi digu-
nakan untuk sintesa biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi
samping juga dapat terjadi, yaitu terbentuknya gliserol dan suk-
sinat yang dapat mengkonsumsi 4-5% substrat (Oura, 1983).

TUJUH
Etanol yang dihasilkan dapat menghalangi fermentasi lebih lan-
jut saat konsentrasinya mencapai 13-15% volume, tetapi hal
ini dipengaruhi suhu dan jenis khamir (Prescott & Dunn, 1981).

70 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 71
hon bisa mencapai 100 cm, tidak berbanir, kulit luar kasar ber-
warna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas serta
beralur lebar dan dalam (Martawijaya et al. 1989).

Kayu pinus mengandung 54.9% selulosa, 24.3% lignin,


14.0% pentosan, 1.1% abu, dan 0.2% silika. Kelarutan zat ek-
straktif kayu pinus sekitar 6.3% dalam alkohol-benzena, 0.4%
dalam air dingin, 3.2% dalam air panas, 11.1% dalam NaOH
1% (Martawijaya et al. 1989). Nilai kalor kayu pinus sekitar
20300-23200 kJ/kg (Soerianegara & Lemmens, 1994).

Pinus banyak digunakan sebagai bahan konstruksi, fur-


niture, vinir, kayu lapis, papan partikel, pulp dan kertas. Pinus
BEBERAPA JENIS BAHAN juga dapat disadap menghasilkan oleoresin yang dapat diolah
BAKU LIGNOSELULOSA lebih lanjut menjadi terpentin dan gondorukem. Pinus biasanya
PRODUKSI BIOETANOL dipanen pada umur 30 tahun untuk menghasilkan hasil yang
optimum. Namun untuk keperluan industri pulp dan kertas bi-
asanya pemanenan dilakukan pada umur 15 tahun.

7.1. Limbah Kayu Pinus (Pinus merkusii Jung et. de Vr.) Volume tegakan yang diproduksi dari hutan tanaman
Berdasarkan sistematika modern, kayu pinus tergolong kalimantan timur sekitar 200-300 m3/ha. Kerapatan kayu pinus
kingdom plantae, divisio spermatophyta, subdivisio gymno- pada kadar air 15% adalah 565-750 kg/m3 (Soerianegara &
spermae, kelas coniferae, ordo Pinales, famili Pinaceae, ge- Lemmens, 1994). Berat jenis kayu pinus berkisar antara 0.40-
nus Pinus dan spesies Pinus merkusii (Tjitrosoepomo, 2004). 0.75 dengan berat jenis rata-rata sekitar 0.55 (Martawijaya et
Pinus menyebar di daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera al. 1989).
Barat, dan Jawa sebagai hutan tanaman. Pinus dapat tumbuh
pada tanah yang jelek dan kurang subur, pada tanah berpasir 7.2. Limbah Kayu Sengon (Paraserianthes falca-
dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada taria (L) Nielsen)
tanah becek (Martawijaya et al. 1989). Menurut Martawijaya et al. (1989), kayu sengon (Para-
serianthes falcataria (L.) Nielsen dulu dikenal dengan nama Al-
Tinggi pohon pinus berkisar antara 20–40 meter den- bizia Falcataria (L.) Fosberg dan Albizzia falcata (L.) Backer.
gan panjang batang bebas cabang 2-25 meter. Diameter po- Tanaman ini dalam sistem klasifikasi modern, tergolong ke da-

72 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 73
lam famili Mimusoceae. Kayu sengon menyebar seluruh Jawa 38 m dengan diameter 54 cm setelah 12 tahun. Pada umur
(hutan tanaman), Maluku, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya. 15 tahun dapat mencapai 39 m dan diameter 63.5 cm. Untuk
mengasilkan produksi yang optimum tanaman ini dipanen pada
Pohon ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, umur 12-15 tahun. Namun untuk keperluan pulp biasanya di-
tanah kering maupun becek atau agak asin, dan menghendaki panen pada umur 8 tahun. Riap tegakan sengon sekitar 20-30
iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah sampai m3/ha per tahun. Pada tanah yang subur riapnya dapat menca-
pegunungan sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut pai 50-55 m3/ha per tahun pada umur 9-12 tahun (Soerianega-
(Martawijaya et al. 1989). Curah hujan maksimum untuk per- ra & Lemmens, 1994). Produktivitas sengon pada masa panen
tumbuhan tanaman ini adalah 2000-2700 mm/tahun. Tanaman sekitar 200 m3/ha (Trubus, 2008).
ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur (Soerianegara
& Lemmens, 1994). 7.3 Limbah Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb)
Menurut Abdulrrohim et al. (2004) kayu gmelina mer-
Kayu sengon mengandung 49.4% selulosa, 26.8% upakan kayu yang tergolong dalam famili Verbenaceae. Po-
lignin, 15.6% pentosan, 0.6% abu, dan 0.2% abu. Kelarutan honnya berukuran sedang hingga besar, tinggi total dapat men-
zat ekstraktif kayu pinus sekitar 3.4% dalam alkohol-benzena, capai 40 m dengan tinggi bebas cabang dapat mencapai 20 m,
3.4% dalam air dingin, 4.3% dalam air panas, 19.6% dalam batang silindris dengan diameter dapat mencapai 100 cm. Ta-
NaOH 1% (Martawijaya et al. 1989). Nilai kalor kayu sengon naman ini tumbuh pada habitat yang bervariasi dari hutan hujan
sekitar 19500-20600 kj/kg (Soerianegara & Lemmens, 1994). sampai hutan gugur, dapat tumbuh dengan baik pada daerah
dengan suhu tahunan berkisar 21-28 oC, dengan suhu maksi-
Tanaman sengon banyak digunakan sebagai hutan mum rata-rata bulan terpanas 24-35 oC dan rata-rata suhu min-
tanaman industri untuk barang kerajinan, furniture, vinir, kayu imum bulan terdingin 18-24 oC. Curah hujan tahunan bervariasi
lapis, flooring, papan serat, papan partikel, atau papan semen antara 750-5.000 mm. Pertumbuhan optimum terutama pada
komposit. Kerapatan kayu sengon berkisar 300-500 kg/m3 daerah dengan rata-rata curah hujan tahunan 1.800-2.300 mm
pada kadar air 12% (Soerianegara & Lemmens, 1994). Berat dan memiliki periode kering 3-5 bulan dan kelembaban relatif
jenisnya berkisar antara 0.24-0.49 dengan berat jenis rata-rata minimal 40%. Tanaman ini mempunyai pertumbuhan yang baik
0.33 (Martawijaya et al., 1989). pada tanah yang lembab dan memiliki suplai unsur hara yang
memadai.
. Kayu sengon termasuk kayu cepat tumbuh. Pada tem-
pat tumbuh yang ideal kayu sengon dapat tumbuh sampai 7 m Kayu gmelina mengandung 47.33% selulosa, 29.72%
pada umur kurang dari 1 tahun. Pada umur 6 tahun tingginya lignin, 17.42% pentosan, 0.95% abu, dan 0.33% silika. Ke-
dapat mencapai tinggi sekitar 25.5 m dan diameter 17 cm, ting- larutan zat ekstraktif kayu gmelina sekitar 2.99% dalam alko-
gi 32.5 m dengan diameter 40.5 cm pada umur 9 tahun, tinggi hol-benzena, 6.54% dalam air dingin, 7.45% dalam air panas,

74 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 75
dan 18.16% dalam NaOH 1% (Abdulrrohim et al. 2004). Kayu (1995), berat jenis empulur kayu berkisar antara 0.27 sampai
gmelina memiliki nilai kalor sekitar 20150-20750 kJ/kg. Kayu dengan 0.41.
ini kurang baik dijadikan kayu bakar karena terbakar dengan
cepat dan jika dijadikan arang menghasilkan banyak abu (Soe- Estimasi potensi limbah perkebunan dari tahun 2001–
rianegara & Lemmens, 1994). 2003 dilaporkan bahwa di Indonesia limbah kelapa sawit mem-
punyai potensi yang lebih besar dibandingkan dengan batang
Kayu gmelina banyak digunakan sebagai bahan kon- karet, kelapa dan tebu. Potensi yang besar ini karena Indone-
struksi ringan, barang kerajinan, furniture, vinir, lantai (flooring), sia memiliki perkebunan kelapa sawit sekitar 4 juta ha den-
alat musik, korek api, pulp dengan kualitas baik. Kerapatan gan total produksi 8 juta ton CPO dan Kernel (Suwono, 2003).
kayu gmelina adalah sekitar 400-580 kg/m3 pada kadar air 15% Berdasarkan data BPS tahun 2004 dari 4 juta ha perkebunan
(Soerianegara & Lemmens 1994). Berat jenisnya antara 0.33- tersebut, sekitar 1.23 juta ha berada di Propinsi Riau. Luasn-
0.51 dengan berat jenis rata-rata 0.42 (Abdurrohim 2004). Riap ya lahan kebun kelapa sawit akan menghasilkan limbah padat
kayu gmelina sekitar 20-25 m3/ha per tahun namun dapat men- sawit yang sangat banyak. Limbah padat sawit yang dihasilkan
capai 38 m3/ha per tahun. Pada tanah yang kurang subur pro- dapat berupa cangkang, batang, tandan kosong, pelepah dan
duksi hutan tanaman gmelina ini sekitar 84 m3/ha setelah umur lain-lain yang merupakan sisa dari industri sawit yang belum
12 tahun, namun pada kondisi tanah yang subur produksinya dimanfaatkan secara optimal (Padil, 2005).
dapat mencapai 304 m3/ha pada umur 10 tahun (Soerianegara
& Lemmens, 1994). Selama ini, limbah padat sawit dibakar di lahan dan
menghasilkan abu yang digunakan sebagai pupuk tanaman
3.2. Limbah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) (Suwono, 2003). Selain itu limbah padat seperti cangkang digu-
Menurut Tjitrosoepomo (2004), tanaman kelapa sawit nakan sebagai bahan bakar boiler untuk pembangkit uap serta
termasuk ke dalam divisio Spermatophyta, subdivisio Angio- bahan baku karbon aktif. Pemanfaatan limbah dengan metode
spermae, kelas Monocotylidonae, ordo Aracales, famili Ara- seperti ini hanya dapat menanggulangi limbah dalam skala ke-
ceae (Palmae), genus Elaeis dan species Elaeis guineensis cil sedangkan limbah padat diproduksi dalam skala yang cuk-
Jacq. Batang kelapa sawit berbentuk silindris dan sampai umur up besar (Miura et al. 2003). Oleh karena itu, diperlukan suatu
12 tahun masih tertutup oleh sisa pelepah, sehingga memberi terobosan yang dapat mengolah limbah padat sawit karena
kesan berdiameter lebih besar. Umumnya kelapa sawit tidak limbah padat sawit mempunyai potensi sebagai sumber energi
bercabang, tetapi bila tunas bagian atas rusak dapat menye- (Saputra et al. 2007).
babkan terbentuknya cabang yang bentuknya meruncing dari
pangkal ke ujung batang. Produktivitas batang kelapa sawit
sekitar 145 batang/ha. Umur tua kelapa sawit adalah 25 ta-
hun dengan produktivitas sekitar 606 m3/ha. Menurut Prayitno

76 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 77
8
PROSES PRODUKSI BIO-
ETANOL DARI LIMBAH
BER-LIGNOSELULOSA

DELAPAN
8.1. Persiapan Bahan dan Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pa-
rang, hammer mill, saringan 40 dan 60 mesh, penangas air,
stirrer, gelas piala 400 mL, Erlenmeyer 250 mL, filter, pen-
gaduk kaca, glass filter, timbangan, oven, gelas piala 200 mL,
thermometer, thimble ekstraksi, sohklet, kondensor, corong
buchner, glass filter, filtering flask, Erlenmeyer 1000 mL, gelas
piala 100 mL, gelas piala 50 mL, pipet volume, Erlenmeyer 300
mL, tank stainless steel, digester, mixer, lampu spirtus, ruang
laminar, inkubator, bulb, sprayer, autoklaf, sentrifuse, pH me-
ter, toples, gelas kimia, labu ukur, pengaduk, labu semprot,
pipet skala, pipet mikron, labu isap, corong, alat fermentasi,
ose, tabung reaksi, sprayer, buret, hot plate, timbangan digital,

78 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 79
botol Schott, alat fermentasi, X ray difraction merk Shimadzu, pling and Preparing Wood for Analysis”. Kayu dibuat seukuran
Spektrofotometer, dan GC (Gas Chromatography). korek api, kemudian sampel tersebut dikeringkan di bawah
sinar matahari selama 2 hari, selanjutnya dikering udarakan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ser- selama 5 hari, sampai mencapai kadar air sekitar 12%. Sam-
buk dari beberapa kayu tropis yaitu dua jenis kayu daun lebar pel kemudian digiling dengan menggunakan hammer mill dan
yaitu kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.) dan disaring menggunakan 40 dan 60 mesh. Sampel uji dari beber-
gmelina (Gmelina arborea Roxb.). Satu jenis kayu daun jarum apa jenis kayu kemudian ditentukan komponen kimianya yang
yaitu pinus (Pinus merkusii Jung. et de Vr.) serta satu jenis tum- meliputi kadar selulosa, lignin, hemiselulosa, dan kelarutan zat
buhan monokotil yaitu kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), ekstraktifnya dalam alkohol-benzena, air dingin, air panas dan
bahan-bahan kimia seperti NaOH, Na2S, asam asetat (CH- NaOH 1%. Selain itu juga dilakukan penentuan derajat kristali-
3COOH) 10%, etanol (C2C5OH), benzena (C6H6), asam sul- nitas selulosa bahan baku dengan menggunakan difraksi sinar
fat (H2SO4), natrium klorit (NaClO2, asam asetat glasial, asam X merk Shimadzu.
nintrat (HNO3) 3.5%, Na2SO3. Isolat yang digunakan adalah
kapang Aspergillus niger dan khamir Saccharomyces cerevi- Sebelum dilakukan pengujian sifat kimia bahan baku,
ceae serta enzim selulase komersial produksi Sigma Aldrich, terlebih dahulu dilakukan penentuan kadar air. Pengukuran
Japan (0,83 U/mg). Bahan lain adalah foil aluminium, air suling kadar air merujuk pada standar TAPPI T 264 om-88. Metode
(aquadest), glukosa, kertas saring, tissue, kapas, dan kertas analisis komponen kimia bahan baku dilakukan dengan TAPPI
label, kertas saring, kertas label, tabung epperdorf, botol sam- T 207 om-93.
pel 30 mL, potatoe dextrose agar (PDA), alkohol 96%, ekstraks
khamir, malt, pepton, glukosa, 3,5-dinitrosalisilat, aliumnatrium- Pengukuran Kadar Air
tartrat-tetrahydrat (C4H4KNaO6.4H2O), phenol, Na-Metabisul- Sekitar 2 g sampel ditimbang g (A) dalam botol tim-
fit, HCl, indikator fenolptalein, buffer sitrat pH 5, nutrisi media bang. Selanjutnya sampel dikeringkan selama 2 jam dalam
yang terdiri atas (NH4)2HPO4 dan MgSO4.7H2O. oven pada suhu 105 ± 3 oC, dinginkan dalam desikator dan se-
lanjutnya ditimbang. Sampel kemudian dioven kembali selama
Prosedur pembuatan bioetanol dapat dibagi ke dalam 1 jam, dinginkan dan selanjutnya ditimbang. Proses tersebut
beberapa tahapan yaitu analisis komponen kimia, persiapan diulang hingga dicapai berat konstan (B). Menghitung kadar air
bahan baku, peremajaan mikroba, perlakuan pendahuluan yang dinyatakan dalam persen.
dengan kraft, sakarifikasi dan fermentasi secara simultan.
Kadar Air, % = ((A-B)/B) x 100%
8.2. Analisis Komponen Kimia Bahan Baku
Pengambilan sampel dan persiapan kayu untuk anali- Kelarutan dalam Air Dingin
sis dilakukan berdasarkan TAPPI T 257 om-85 tentang “Sam- Sebanyak 2 ± 0.1 g sampel kayu ditempatkan ke

80 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 81
dalam gelas piala 400 mL dan dengan perlahan ditambahkan lanjutnya sampel dipindahkan ke dalam glass filter yang telah
dengan 300 mL air suling. Kemudian diekstraksi pada suhu 23 dikeringkan pada suhu 105 ± 3 oC hingga beratnya konstan.
± 2 oC selama 48 jam sambil diaduk. Sampel selanjutnya dip- Sampel kemudian dicuci dengan 200 ml air suling dingin dan
indahkan ke dalam glass filter yang telah dikeringkan hingga dikeringkan hingga beratnya konstan pada suhu105 ± 3 oC.
beratnya konstan pada suhu 105 ± 3 oC. Sampel dicuci dengan
200 mL air suling dingin dan kemudian dikeringkan hingga be- Kelarutan dalam air dingin dan air panas, % = ((A-B)/A) x 100%
ratnya konstan pada suhu105 ± 3 oC, setelah itu didinginkan A = bobot kering sampel awal, g
dan ditimbang. B = bobot kering sampel setelah ekstraks, g
Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Natrium Hidroksida
(NaOH) 1%
Penentuan komponen zat ekstraktif dalam natrium hi-
droksida 1% didasarkan pada metode TAPPI T 212 om-93.
Sebanyak 2.0 ± 0.1 g sampel ditempatkan dalam gelas piala
200 mL. Selanjutkan ditambahkan dengan 100 ± 1 mL laru-
tan NaOH 1% dan diaduk dengan pengaduk kaca. Gelas piala
ditutup dengan gelas arloji dan ditempatkan dalam penangas
air pada suhu 97-100 oC selama 60 menit. Diusahakan agar
permukaan air dalam penangas air berada di atas permukaan
larutan dalam gelas piala. Larutan diaduk dengan pengaduk
kaca selama masing 5 detik setelah pemanasan 10, 15, dan
25 menit. Setelah 60 menit sampel dipindahkan ke dalam glass
filter dan selanjutnya dicuci dengan 100 mL air panas. Kemu-
dian ditambahkan dengan 25 ml asam asetat 10% dan sampel
dibiarkan terendam selama 1 menit sebelum larutan asam ase-
tat dihilangkan. Tahap ini diulangi dengan 25 mL larutan asam
Gambar 8.1. Pengukuran Komponen Kimia Kayu Ke-
larutan dalam Air Panas asetat 10% yang kedua. Selanjutnya sampel dicuci dengan
air panas hingga bebas asam. Glass filter dikeringkan dengan
Sebanyak 2 ± 0.1 g sampel ditempatkan dalam er- sampel dalam oven pada suhu 105 ± 3 oC hingga beratnya kon-
lenmeyer 250 mL, lalu ditambahkan dengan 100 mL air sul- stan, selanjutnya didinginkan dan ditimbang.
ing panas dan selanjutnya ditempatkan dalam penangas air.
Sampel dipanaskan selama 3 jam dengan permukaan air da- Kelarutan dalam Natrium Hidroksida 1%, % = ((A-B)/A)
lam penangas air di atas permukaan air dalam erlenmeyer. Se- x 100%

82 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 83
A = bobot kering kering sampel sebelum ekstraks, g purna. Sampel uji selanjutnya disimpan pada suhu kamar sela-
B = bobot kering sampel setelah ekstraksi, g ma 3 jam sambil diaduk sesekali. Sampel selanjutnya disimpan
Kelarutan Zat Ekstraktif dalam Alkohol-Benzena ke dalam erlenmeyer 500 ml dan diencerkan hingga konsentra-
si asam sulfat 3% yaitu dengan penambahan air hingga total
Penentuan komponen zat ekstraktif dalam alkohol ben- volume 191 mL (total volume 381 mL untuk penggunaan asam
zena didasarkan pada metode TAPPI T 264 om-88. Labu ek- sulfat 72% sebanyak 10 mL). Sampel uji kemudian dipanaskan
strak dibersihkan dan dikeringkan. Bahan yang akan diekstrak- dalam autoklaf selama 30 menit pada suhu 121 oC. Selanjunya
si ditempatkan dalam thimbel dan selanjutkan ditempatkan dilakukan penyaringan dengan menggunakan glass filter, lalu
dalam alat sokhlet. Thimbel ditutup dengan kasa halus untuk dioven dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan.
menghindari hilangnya sampel. Sampel selanjutnya diekstrak
dengan 200 mL larutan campuran etanol-benzena selama 6-8 Kadar lignin, % = (A/B) x 100%
jam, dan diusahakan agar tingkat pendidihan larutan minimal 4 dengan,
kali pembilasan per jam ekstraksi. Setelah diekstraksi dengan A = bobot lignin, g
etanol benzena, sampel dipindahkan ke dalam corong buch- B = bobot kering kayu, g
ner, pelarut dihilangkan dengan vakum, selanjutnya thimbel Kadar Holoselulosa (Hemiselulosa dan Selulosa)
dan kayu dicuci dengan etanol untuk menghilangkan benzena.
Sampel selanjutnya dipindahkan kembali ke dalam thimbel ek- Sampel kayu bebas ekstraktif ekuivalen 2.5 g bobot
strak, kemudian diekstraksi dengan etanol 95% selama 4 jam kering ditempatkan dalam erlenmeyer 250 mL. Sampel uji
atau lebih hingga etanol tidak berwarna. Sampel uji selanjutnya kemudian ditambahkan dengan 100 mL air suling, 1 g natri-
dioven dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan. um klorit, dan 1 mL asam asetat glasial. Kemudian dipanas-
kan dengan penangas air pada suhu 80 oC. Diusahakan agar
Kelarutan dalam alkohol-benzena, % = ((A-B)/A) x 100% permukaan air dalam penangas air lebih tinggi dari permukaan
dengan, larutan dalam erlenmeyer. Sebanyak 1 g natrium klorit dan 0,2
A = bobot kering sampel awal, g mL asam asetat ditambahkan ke dalam contoh uji setiap inter-
B = bobot kering sampel setelah ekstraksi, g val pemanasan selama 1 jam, penambahan dilakukan seban-
Kadar Lignin (Lignin Klason) yak 4 kali. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan
glass filter, selanjutnya dicuci dengan menggunakan air panas.
Penentuan kadar lignin klason dilakukan merujuk pada Sebanyak 25 asam asetat 10% ditambahkan ke dalam sampel
prosedur dalam Dence (1992). Serbuk kayu bebas ekstraktif uji, lalu dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel
ekuivalen 500 mg disiapkan dan ditempatkan dalam gelas piala dioven pada suhu 105 ± 3 oC hingga beratnya konstan.
50 mL. Selanjutnya ditambahkan 5 mL larutan asam sulfat 72% Holoselulosa, % = (A/B) x 100%
secara perlahan sambil diaduk hingga serbuk terdispersi sem- dengan:

84 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 85
A = bobot holoselulosa, g sal dengan ukuran tertentu (± 3 cm). Setelah kulitnya dibuang
B = bobot kering kayu, g kemudian kayu dicacah menggunakan golok dengan ketebalan
Kadar Selulosa antara 2-4 mm, panjang ± 3 cm dan lebar 2-3 cm kemudian
diangin-anginkan. Sebelum dimasak, serpih ditentukan kadar
Sebanyak kurang lebih 2.5 g serbuk bahan baku bebas airnya terlebih dahulu dan disimpan dalam kantong tertutup.
ekstraktif ditempatkan dalam erlenmeyer 300 mL. Selanjutnya
ditambahkan 125 mL larutan asam sitrat 3.5% ke dalam sam-
pel uji dan selanjutnya dilakukan pemanasan dalam penangas
air selama 12 jam pada suhu 80 oC. Setelah pemanasan, sam-
pel uji disaring dengan air suling hingga tidak berwarna dan
selanjutnya dikering-udarakan. Sampel uji dipindahkan ke
dalam erlenmeyer kembali lalu ditambahkan 125 mL larutan
campuran NaOH dan Na2SO3 dan dilakukan pemanasan sela-
ma 2 jam pada suhu 50 oC. Sampel uji disaring dengan cawan
saring dan selanjutnya dicuci dengan air suling hingga filtrat
tidak berwarna. Sebanyak 50 mL larutan natrium klorit 10% di-
tambahkan dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air
hingga diperoleh endapan berwarna putih. Selanjutnya seban-
yak 100 mL asam asetat 10% ditambahkan ke dalam contoh
uji lalu dicuci hingga bebas asam. Sampel uji kemudian dioven
pada suhu 105 ± 3 oC dan ditimbang hingga beratnya konstan. Gambar 8.2. Persiapan Limbah Kayu
Selulosa, % = (A/B)x 100% Pembuatan Larutan Pemasak
A = bobot selulosa, g Larutan Natrium Hidroksida (NaOH)
B = bobot kering kayu, g Ditimbang kira-kira 1 kg padatan NaOH teknis, dilarut-
Kadar Hemiselulosa kan dengan air dalam tank stainless steel. Setelah larut diencer-
Kadar hemiselulosa diperoleh dengan cara mengurang- kan sampai volume larutan menjadi 2 L dan disaring dengan
kan persentase kadar holoselulosa dengan kadar selulosa. kain penyaring. Larutan disimpan dalam botol dan dibiarkan
Hemiselulosa, % = holoselulosa (%) – selulosa (%) 2-3 hari, kemudian ditentukan konsentrasinya.

1.1. Persiapan Bahan Baku Larutan Natrium Sulfida (Na2S)


Pembuatan Serpih Ditimbang kira-kira 1 kg padatan natrium sulfida teknis,
Dolok kayu dipotong menggunakan gergaji ke arah transver- dilarutkan dengan air dalam tank stainless steel dan sambil

86 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 87
dilakukan pengadukan. Setelah padatan larut diencerkan sam- Pembuatan media YMGP
pai volume larutan mencapai kira-kira 2 L. Larutan selanjutnya Media YMGP dibuat dengan melarutkan sebanyak 5
disaring dengan kain kasa dan disimpan dalam botol. Larutan g/L yeast extract, 5 g/L malt, 10 g/L pepton dan 5 g/L glukosa
disimpan selama seminggu, kemudian ditentukan konsen- ke dalam 50 mL air suling. Larutan kemudian diaduk dengan
trasinya. menggunakan stirrer untuk selanjutnya disterilisasi dalam auto-
klaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. Kemudian didinginkan
Peremajaan Mikroba selama sehari.
Pembuatan PDA (Potatoe Dextrose Agar)
Peremajaan mikroba dilakukan pada kondisi yang ster- Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae
il dengan menggunakan media potatoe dextrose agar (PDA). Isolat khamir S.cerevisiae diremajakan pada media
Sebanyak 3,9 gram media padat PDA dilarutkan dalam 100 PDA dan diinkubasi selama 2 hari. Setelah itu, dikultivasikan
mL air. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala pada media YMGP 50 mL. Inkubasi dilakukan pada shaker
kemudian dipanaskan di atas hot plate. Larutan diaduk den- dengan kecepatan 125 rpm pada suhu 30 oC selama 24 jam.
gan menggunakan stirrer. Setelah warna larutan menjadi agak
bening kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi mas- 1.2. Rekayasa Kimia Proses Perlakuan Pendahuluan
ing-masing sebanyak ± 5 mL, kemudian ditutup dengan kapas Perlakuan Pendahuluan dengan Menggunakan Proses Kraft
dan foil aluminium. Kemudian disterilisasi dalam autoklaf pada Sampel uji ekuivalen 200 g bobot kering ditempatkan
suhu 121oC selama 15 menit. Tabung reaksi kemudian dimir- dalam digester. Larutan pemasak NaOH dan Na2S disiapkan
ingkan dan disimpan pada suhu kamar. sesuai dengan kebutuhan. Banyaknya kebutuhan larutan pe-
masak dihitung berdasarkan kondisi pemasakan yang digu-
Persiapan kultur aspergillus niger nakan sebagai berikut: alkali aktif (Na2O) sebanyak 16, 18, dan
Isolat A. niger diperbanyak dan diremajakan den- 20%, rasio serpih dengan larutan pemasak 1 : 4, sulfiditas 20
gan mengkultivasikan ke dalam media PDA, kemudian di- dan 25%. Suhu maksimum pemasakan sekitar 170 oC dengan
inkubasikan dalam inkubator pada suhu kamar 25-28 oC sela- lama pemasakan 4 jam. Setelah itu, akan diperoleh pulp hasil
ma 5 hari. delignifikasi kayu. Pulp kemudian dihitung rendemen dan bilan-
gan kappanya.

Gambar 8.3. Persiapan kultur aspergillus niger

88 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 89
Gambar 8.4. Pembersihan Pulp Hasil Delignifikasi

Gambar 8.3. Digester untuk Proses Pulping Perlakuan


Pendahuluan dengan Menggunakan Proses Kraft
Pulp yang dihasilkan ditimbang (A gram). Sebagian
pulp diambil dan ditimbang B gram, kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 103 oC sampai beratnya konstan dan
ditimbang (C gram).
Rendemen pulp = C/B x A x 100%
BKT
Keterangan: BKT = Bobot kering tanur kayu yang dimasak Gambar 8.5. Pulp Hasil Delignifikasi

90 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 91
Bilangan kappa dihitung berdasarkan metode TAPPI dengan, a = banyaknya mL tio pada penitaran contoh
T 241 su-71. Sebanyak 1 gram pulp kering oven dimasukkan b = banyaknya mL tio pada penitaran blanko
ke dalam erlenmeyer 1000 mL dan ditambahkan air suling 500 N = normalitas
mL. dikocok dengan stirrer sampai homogen. Tambahkan 25
mL KMnO4 0.1 N dan 25 mL H2SO4 4 N serta 200 ml air suling. 1.3. Rekayasa Bioproses Sakarifikasi dan Fermentasi
Biarkan selama 5 menit, kemudian tambahkan 15 mL KI 10%. Secara Simultan
Titrasi dengan tiosulfat 0.1 N dengan indikator kanji. Indikator Penelitian tahap II merupakan kelanjutan dari metode
ditambahkan setelah larutan berwarna kuning. Lakukan pula penelitian I. Setelah diperoleh metode perlakuan pendahuluan
penitaran blanko. yang tepat pada masing-masing jenis bahan baku maka dilaku-
kan proses sakarifikasi dan fermentasi dengan menggunakan
berbagai metode sakarifikasi enzim selulase pada konsentra-
si berbeda yaitu (4 dan 8% bobot kering sampel). Selain itu,
diperlakukan juga sakarifikasi dengan A. niger (5 x 107 CFU/
cc). Semua proses sakarifikasi difermentasi menggunakan
ekstraks jamur S.cereviciae (1.5 x109 CFU/cc) dengan meng-
gunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan
(SSF).

SSF dengan Isolat Jamur A. niger


SSF dilakukan dalam satu fermentor (erlenmeyer). Be-
rat substrat yang digunakan adalah 5 g untuk masing-masing
substrat. Pulp yang diperoleh dari perlakuan pendahuluan dan
fraksinasi kemudian diencerkan sampai mencapai keenceran
2.5% dari total media (5 gram/200 mL total media). Media SSF
diberi dengan nutrient dengan konsentrasi masing-masing 0.5
g/L (NH4)2HPO4; 0.025 g/L MgSO4.7H2O. pH awal yang di-
gunakan adalah sekitar 4.9-5.0 diatur dengan menggunakan
NaOH dan HCl, kemudian dipertahankan dengan buffer sitrat
Gambar 8.6. Pengujian Bilangan Kappa Pulp pH 5. Substrat dan media nutrient dimasukkan ke dalam auto-
klaf pada suhu 121 oC selama 20 menit. Setelah itu ditambah-
Bilangan kappa = (b-a) x N tio kan isolat jamur A.niger (6.5 x 107 CFU/cc) dan ekstrak jamur
0.1 S.cereviciae (1.5 x 109 CFU/cc) masing-masing sebanyak

92 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 93
10%. Proses SSF dilakukan selama 96 jam pada suhu kon- SSF dengan Hidrolisis Menggunakan Enzim Selulase Komer-
stan 30 oC. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam. Pada akhir sial
fermentasi dihitung kadar etanol, gula pereduksi, total gula dan SSF dilakukan dalam satu fermentor. Berat substrat
jumlah A. niger dan khamir S. cereviciae. yang digunakan adalah 5 g untuk masing-masing substrat.
Pulp yang diperoleh dari perlakuan pendahuluan dan fraksi-
nasi kemudian diencerkan sampai mencapai keenceran 2.5%
dari total media (5 gram/200 ml total media). Media SSF diberi
dengan nutrient dengan konsentrasi masing-masing 0.5 g/L
(NH4)2HPO4; 0.025 g/L MgSO4.7H2O. pH awal yang digu-
nakan adalah sekitar 4.9-5.0 diatur dengan menggunakan
NaOH dan HCl. Substrat dan media nutrient dimasukkan ke
dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 20 menit. Setelah
itu, dilakukan penambahan enzim selulase dengan konsentrasi
4% dari bobot kering substrat kayu, lalu ditambahkan dengan
ekstraks jamur S. cereviciae 10 % (1.5 x 109 CFU/cc) dari total
media, setelah itu, ditambahkan buffer sitrat pH 5. Proses SSF
juga dilakukan dengan menggunakan enzim selulase 8%. SSF
dilakukan selama 96 jam pada suhu konstan 37 oC. Pada akhir
Gambar 8.7. Kultiviasi Isolat Jamur A. niger fermentasi dihitung kadar etanol, gula pereduksi, total gula dan
dalam Inkubator
jumlah khamir S. sereviciae.

Gambar 8.8. Isolat Jamur A. niger Gambar 8.9 Perlakuan Substrat dan Media

94 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 95
Gambar 8.10 Persiapan Produksi Bioethanol
Menggunakan Shecker

Gambar 8.12. Produksi Produksi Bioethanol


Menggunakan Bioethanol Digester

1.4. Analisis Selama Kultivasi


Penentuan Total Gula dengan Metode Fenol H2SO4
Penentuan total gula didasarkan pada metode Dubois
et al. (1956). Sebelum melakukan pengujian sampel maka per-
lu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Kurva stan-
dar fenol adalah sebagai berikut: 2 mL larutan glukosa standar
yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 mg/L glukosa
Gambar 8.11. Proses Produksi Bioethanol masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditam-
Menggunakan Shecker bahkan 1 mL larutan fenol 5% dan dikocok. Kemudian 5 mL

96 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 97
asam sulfat (H2SO4) pekat ditambahkan dengan cepat. Biar-
kan selama 10 menit, kemudian dikocok lalu tempatkan dalam
penangas air selama 15 menit. Absorbennya diukur pada 490
nm dengan menggunakan spektrofotometer. Pengujian sam-
pel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya 2 mL
larutan glukosa diganti dengan 2 mL sampel.

Penentuan Gula Pereduksi dengan Metode DNS


Penentuan gula pereduksi dilakukan berdasarkan
metode Miller (1959). Prinsip metode ini adalah dalam suasana
alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrosalisilat
(DNS) membentuk senyawa yang akan diukur absorbennya
pada panjang gelombang 550 nm.
Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10.6 gram
asam 3,5-dinitrosalisilat dan 19.8 NaOH ke dalam 1416 mL
air. Setelah itu, ditambahkan 306 gram Na-K-Tatrat, 7.6 g fe- Gambar 8.12. Penentuan Gula Pereduksi dengan
nol yang dicairkan pada suhu 50 oC dan 8.3 g Na-Metabisulfit. Metode DNS
Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 mL larutan ini dititrasi den-
gan HCl N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berk- Pengujian Kadar dan Rendemen Etanol
isar 5 sampai dengan 6. Jika kurang dari itu harus ditambahkan Pengujian kadar etanol dilakukan dengan menggu-
2 gram NaOH untuk setiap mL kekurangan HCl 0,1 N. nakan GC (Gas Chromatography). Sebelum pengukuran dib-
Kurva standar dibuat dengan mengukur nilai gula per- uatkan dulu kurva standar dengan menggunakan etanol murni.
eduksi pada glukosa 0; 0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5; dan 0.6 g/L. Rendemen dihitung dengan membandingkan volume etanol
Nilai gula pereduksi diukur dengan metode DNS. Hasil yang yang diperoleh dengan berat sampel bahan baku yang digu-
didapatkan diplotkan dalam grafik secara linear. nakan. Pemilihan proses produksi terbaik didasarkan pada ren-
Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar demen etanol tertinggi. Rumus yang digunakan untuk meng-
DNS adalah sebagai berikut: sebanyak 1 mL sampel dima- hitung rendemen etanol adalah sebagai berikut:
sukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 mL
pereaksi DNS larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih Rendemen (% v/v) = Volume etanol yang diperoleh secara aktual (mL)x 100%
selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur Volume Bahan Baku (mL)
absorbennya pada panjang gelombang 550 nm.

98 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 99
Perhitungan Jumlah Mikroba
Jumlah mikroba dihitung dengan pengamatan di bawah
mikroskop dengan metode hitungan mikroskop (haemacytom-
eter) pada perhitungan jamur S. cereviciae dan metode total
plate count (TPC) pada perhitungan jamur A. niger.

9
Sumber: http://www.deinove.com
Gambar 8.13.Diagram Alir Produksi Bioethanol
Berbasis Lignoselulosa
SEMBILAN

100 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 101
ponen yang larut dalam air panas, meliputi garam-garam anor-
ganik, garam organik, gula, gum, pektin, galaktan, tanin, pig-
men, polisakarida, dan komponen lain yang terhidrolisis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kelarutan air panas bervariasi
antara 8.00 sampai dengan 15.30%. Kelarutan air panas ter-
endah terdapat pada kayu sengon dan tertinggi terdapat pada
kelapa sawit (Tabel 9.1).
Tabel 9.1. Hasil Kelarutan Zat Ekstraktif Bahan Baku

PERBANDINGAN PRODUKSI
BIOETANOL BEBERAPA BAHAN
LIGNOSELULOSA

Ket: Superkript menunjukkan hasil uji Tukey dan huruf yang


9.1. Komponen Non Struktural sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya tidak nyata pada taraf nyata 5%.
komponen yang larut di dalamnya, meliputi garam anorganik, Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan
gula, gum, pektin, tanin, dan pigmen (Sanderman, 1960). Hasil baku berpengaruh terhadap kelarutan air panas, dimana ke-
analisis ragam menunjukkan kelarutan air dingin dipengaruhi larutan air panas dari kayu sengon berbeda tidak nyata den-
oleh jenis bahan baku dimana kelarutan air dingin bervariasi gan kayu pinus dan gmelina namun berbeda nyata dengan
antara 2.45 sampai dengan 12.86%. Kelarutan air dingin ter- kelapa sawit. Kelarutan dalam larutan NaOH 1% dinyatakan
endah terdapat pada kayu pinus sedangkan tertinggi terdapat dalam banyaknya komponen yang larut, meliputi senyawa an-
pada kelapa sawit. Kelarutan air dari pinus ini relatif sama den- oraganik, seperti karbohidrat yang mempunyai berat molekul
gan kayu sengon namun berbeda nyata dengan kelarutan kayu tinggi, tanin, kinon, zat warna, dan sebagian lignin (TAPPI,
gmelina dan kelapa sawit (Tabel 1). 1991). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan
baku berpengaruh nyata terhadap kelarutan dalam NaOH 1%.
Kelarutan air panas dinyatakan dalam banyaknya kom- Berdasarkan hasil uji Tukey terlihat bahwa antara satu jenis

102 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 103
bahan baku dan lainnya mempunyai kelarutan NaOH 1% yang elulosa dengan hasil uji Tukey ditunjukkan pada Tabel 10.2.
berbeda (Tabel 10. 1).
Tabel 9. 2. Hasil Analisis Komponen Kimia Primer Bahan
Baku
Menurut Martawijaya et al. (1981), kayu yang memiliki
zat ekstraktif yang tinggi dalam alkohol benzena memerlukan
banyak bahan kimia dalam pembentukan pulp. Kelarutan da-
lam etanol-benzena terendah terdapat pada kayu pinus dan
tertinggi terdapat pada kelapa sawit.

Secara umum, keberadaan zat ekstraktif dalam kayu


dapat menyebabkan beberapa masalah dalam proses delignifi-
kasi kayu di antaranya dapat meningkatkan konsumsi bahan Ket: Superkript menunjukkan hasil uji Tukey dan huruf yang
kimia pemasak, mengurangi rendemen pulp. Menurut Syafii et sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
al. (2009), terdapat kecenderungan bahwa jenis kayu dengan tidak nyata pada taraf nyata 5%.
kadar ekstraktif yang tinggi dapat menyebabkan laju delignifi- Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku
kasi menjadi semakin rendah. Ekstraktif yang bersifat asam berpengaruh pada kadar lignin. Kadar lignin pada sampel uji
juga dapat menyebabkan korosif pada digester dan warna bervariasi antara 12.50 sampai dengan 27.50%. Ketika kadar
gelap pada pulp. lignin rata-rata terendah terdapat pada kelapa sawit dan tert-
inggi terdapat pada kayu pinus. Hasil uji Tukey menunjukkan
Dalam proses hidrolisis dan fermentasi, keberadaan bahwa kadar lignin kayu sengon relatif sama dengan kayu
zat ekstraktif dapat menghambat proses degradasi selulosa gmelina namun lebih tinggi dari kelapa sawit dan cenderung
maupun hemiselulosa menjadi gula maupun proses fermentasi lebih rendah dari kayu pinus (Tabel 9.2). Tingginya kadar lignin
oleh khamir S.cereviciae sehingga rendamen etanol yang di- pada kayu pinus disebabkan oleh kayu tersebut termasuk kayu
hasilkan berkurang. Oleh karena itu, dalam proses pulping zat daun jarum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Bier-
ekstraktif ini juga dihilangkan bersama lignin. mann (1993), bahwa kandungan lignin kayu daun jarum um-
umnya lebih tinggi dibandingkan kayu daun lebar. Kandungan
9.2. Komponen Struktural lignin kayu daun jarum berkisar antara 25 sampai dengan 35%
Komponen primer kayu merupakan suatu kelompok sedangkan pada kayu daun lebar berkisar antara 18 sampai
bahan polimer penyusun utama dinding sel yang meliputi selu- dengan 25%. Perbedaan kadar lignin dalam kayu dapat ber-
losa, hemiselulosa, dan lignin. Hasil analisis ragam menunjuk- pengaruh terhadap laju delignifikasi. Semakin tinggi kadar lig-
kan bahwa jenis bahan baku berpengaruh terhadap komponen nin kayu maka konsumsi bahan kimia pemasak akan semakin
primer bahan baku terutama kadar selulosa, lignin, dan holos- tinggi dan waktu pemasakan yang lebih lama untuk mencapai

104 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 105
tingkat pemasakan tertentu (Casey, 1980). (Tabel 9.2).
Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi larutan peng-
Tujuan utama proses pulping adalah melarutkan se- gelantang, tidak larut air, alkohol, alkali encer, asam mineral,
banyak mungkin lignin dengan sedikit mungkin terjadinya ker- dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses pe-
usakan pada komponen selulosa. Kadar lignin yang rendah masakan pulp oleh larutan alkali dan asam pekat. Dua reak-
akan menyebabkan proses hidrolisis dan fermentasi menjadi si selulosa utama adalah reaksi peeling off yaitu pemutusan
lebih mudah. Menurut Nzelibe & Okafoagu (2007), lignin dapat ujung pereduksi selulosa pada suhu 70 oC dan pemutusan
menghambat proses sakarifikasi (hidrolisis) polisakarida se- gugus asetil secara acak di atas suhu 150 oC. Semakin ting-
hingga perlu dihilangkan sehingga hidrolisis menjadi lebih gi kandungan selulosa bahan baku diharapkan meningkatkan
efisien. rendemen pulp yang dihasilkan sehingga efisiensi proses pulp-
ing juga menjadi lebih tinggi.
Lignin merupakan jaringan polimer fenolik yang mer- Selain selulosa, dalam kayu maupun dalam jaringan ta-
ekatkan serat selulosa sehingga menjadi sangat kuat. Kekua- naman yang lain terdapat sejumlah polisakarida yang disebut
tan ikatan lignin menjadi penghalang dalam proses hidrolisis poliosa atau hemiselulosa. Hemiselulosa disusun oleh berb-
dan fermentasi pada proses konversi biomassa menjadi etanol. agai unit gula, memiliki rantai molekul yang lebih pendek dan
Delignifikasi dapat membuka struktur lignoselulosa agar selu- bercabang. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk poliosa
losa menjadi lebih mudah diakses oleh asam atau enzim yang dapat dibagi menjadi kelompok seperti pentosa, heksosa, asam
memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Hal heksuronat, dan deoksi-heksosa. Rantai utama hemiselulosa
ini sesuai dengan hasil penelitian Sun & Cheng (2002) yang dapat terdiri hanya atas satu unit (homopolimer) seperti xilan
menyatakan bahwa lignin yang terdapat pada tongkol jagung atau terdiri atas dua unit atau lebih (heteropolimer), seperti
dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim dalam glukomannan. Beberapa unit selalu atau kadang-kadang mer-
memecah polisakarida pada proses hidrolisis sehingga dapat upakan gugus samping rantai utama (tulang punggung) sep-
menurunkan kinerja enzim pada proses sakarifikasi. erti asam 4-O-metilglukuronat, galaktosa (Fengel & Wegener,
1995).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan
baku sangat mempengaruhi kadar selulosa bahan baku.Kadar Kadar holoselulosa menyatakan banyaknya karbohi-
selulosa pada sampel uji bervariasi antara 25.76 sampai den- drat total dalam suatu bahan. Hasil analisis ragam menunjuk-
gan 48.00%, ketika kadar selulosa terendah terdapat pada ke- kan bahwa kadar holoselulosa dipengaruhi oleh jenis bahan
lapa sawit dan tertinggi terdapat pada kayu gmelina. Hasil uji baku, dimana kadar holoselulosa terendah terdapat pada ke-
Tukey menunjukkan bahwa kadar selulosa kayu pinus relatif lapa sawit kemudian diikuti kayu sengon dan tertinggi terdapat
sama dibandingkan kayu sengon namun lebih rendah banding- pada kayu gmelina dan pinus yang memiliki kadar holoselulosa
kan kayu gmelina serta lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit yang relatif sama berdasarkan hasil uji Tukey.

106 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 107
Dalam proses kraft, penambahan Na2S mempengaruhi Tabel 9. 3. Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan
pembentukan NaSH yang bereaksi dengan lignin, sehingga Baku
kelarutan lignin menjadi lebih besar, delignifikasi menjadi lebih
sempurna dan reaksi yang terjadi terhadap selulosa dan he-
miselulosa menjadi kurang merusak. Adanya penggantian se-
bagian NaOH oleh Na2S memungkinkan dipersingkatnya waktu
pemasakan atau diturunkannnya suhu maksimum pemasakan
sehingga rendemen pulp yang dihasilkan meningkat. Penam-
bahan Na2S pada proses kraft menyebabkan perubahan seba- Dalam produksi bieotanol, reaktivitas pulp terhadap
gian gugus-gugus ujung hemiselulosa terutama glukomanan, suatu pereaksi dalam proses hidrolisis sangat bergantung pada
namun tidak berpengaruh terhadap komponen hemiselulosa proporsi komponen kristalin dan amorf selulosa penyusunnya.
lainnya (Sjostrom, 1995). Jadi, pada dasarnya dalam teknologi Daerah kristalin sangat sulit dipenetrasi oleh agen penghidroli-
proses kraft, komponen holoselulosa dipertahankan sehingga sis seperti enzim karena rantai selulosa tersusun secara teratur
tidak terhidrolisis selama proses pemasakan. Semakin tinggi dan ikatan antara rantai selulosa yang kuat yaitu ikatan hidro-
komponen hemiselulosa bahan baku diharapkan dapat meng- gen dan gaya van der Waals (Yoshida, et al., 2008).
hasilkan rendemen pulp yang tinggi yang selanjutnya akan
dihidrolisis menjadi gula dan kemudian difermentasi menjadi Pemecahan molekul selulosa dihambat oleh tinggin-
etanol. ya derajat polimerisasi dan kristalisasi molekul selulosa serta
kandungan lignin yang membungkus molekul selulosa. Hidroli-
Struktur mikrofibril dalam kayu tersusun dari daer- sis selulosa sulit terjadi jika derajat polimerisasi, kristalinitas,
ah-daerah teratur yang disebut daerah kristalin dan daerah yang dan kandungan lignin belum berkurang, sehingga produktivitas
tidak teratur yang disebut amorf. Daerah kristalin tersusun dari mikroorganisme dalam menghasilkan selulase rendah (Irawa-
selulosa yang sulit dihidrolisis atau didegradasi baik oleh asam di, 1991).
maupun enzim. Kristalinitas selulosa menunjukkan persentase
daerah kristalin yang terdapat dalam mikrofibril. Hasil penguji- Perlakuan awal yang efisien harus dapat membe-
an derajat kristalinitas selulosa ditunjukkan pada Tabel 3 dan baskan struktur kristal selulosa dengan memperluas daerah
Gambar 9. Derajat kristalinitas selulosa tertinggi terdapat pada amorf dan membebaskan dari lapisan lignin. Sun & Cheng
kayu pinus sekitar 51.14% dan terendah terdapat pada kayu (2002) menjelaskan lebih rinci bahwa perlakuan pendahuluan
gmelina 48.38%. berfungsi sebagai berikut: meningkatkan pembentukan gula
atau kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya
melalui hidrolisis enzimatik, menghindari degradasi atau kehil-
angan karbohidrat, menghindari pembentukan produk samping

108 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 109
yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, dan gradasi lignin untuk menghasilkan pulp yang mengandung ho-
efisiensi biaya. loselulosa sebanyak-banyaknya. Banyaknya komponen kayu
yang tidak terdegradasi setelah proses pulping ini dinyatakan
sebagai rendemen.

Gambar 19.2. Rendemen Hasil Delignifikasi Bahan Baku


Rendemen hasil delignifikasi bahan baku dengan
menggunakan proses kraft berkisar antara 32.76 dan 61.04%
(Gambar 9.2). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa variasi
rendemen ini sangat dipengaruhi oleh jenis bahan baku, alka-
linitas dan sulfiditas, serta interaksi ketiganya. Gambar 9.2.
Gambar 9.1 Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan menunjukkan bahwa rendemen bahan baku yang dihasilkan
Baku dari proses kraft sangat ditentukan oleh alkalinitas dan sulfidi-
tas yang digunakan, dimana pada kayu pinus dan sengon ren-
1.3. Rendemen Pulp demen tertinggi diperoleh pada alkalinitas dan sulfiditas ber-
Proses pulping adalah proses yang bertujuan untuk mende- turut-turut 18% dan 25%, kayu gmelina pada alkalinitas 20%

110 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 111
dan sulfidit 25%, sedangkan pada kelapa sawit diperoleh pada kat.
alkalinitas 16% dan sulfiditas 20%. Penggunaan kombinasi al-
Tabel 9.4 Rendemen pada Berbagai Bahan Baku.
kalinitas dan sulfiditas tersebut akan menghasilkan rendemen
yang hampir mendekati komponen holoselulosa bahan ba-
kunya, sehingga dapat dikatakan bahwa proses tersebut telah
menyebabkan proses delignifikasi yang hampir sempurna.
Dalam hubungannya dengan produksi bioetanol, infor-
masi tersebut dapat menjadi dasar dalam perlakuan pendahu-
luan untuk menghilangkan lignin dan zat ekstraktif yang mudah
larut yang dapat menghalangi proses hidrolisis dan fermenta-
si bahan ber-lignoselulosa menjadi bioetanol. Lignin diketahui
merupakan komponen kimia kayu yang sangat sukar didegra- Konsentrasi alkali merupakan variabel utama dalam
dasi oleh enzim selulolitik sehingga dapat mengahalangi enzim pelarutan lignin dan polisakarida. Peningkatan alkalinitas akan
untuk menghidrolisis polisakarida (holoselulosa) kayu. Oleh meningkatkan alkali aktif yang akan mendegradasi lignin. Ha-
karena itu, dengan semakin berkurangnya kadar lignin dalam sil analisis statistik menunjukkan bahwa secara umum rende-
pulp akan mempermudah proses hidrolisis holoselulosa menja- men tertinggi diperoleh dengan menggunakan alkalinitas 18%
di gula-gula sederhana. (Gambar 9.3), peningkatan alkalinitas diatas 18% cenderung
Secara statistik pengaruh dan perbedaan bahan baku menurunkan rendemen disebabkan alkali aktif pada konsen-
terhadap rendemen dapat dilakukan dengan cara membanding- trasi tersebut menyebabkan sebagian holoselulosa ikut terde-
kan rendemen rata-rata pada setiap bahan baku pada semua gradasi.
kombinasi perlakuan alkalinitas dan sulfiditas melalui analisi
ragam. Hasil analisis ragam dan uji lanjut menunjukkan bah-
wa rendemen pulp sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang
digunakan di mana rendemen terendah diperoleh pada kelapa
sawit sedangkan rendemen tertinggi terdapat pada kayu pinus.
Kayu sengon dan kayu gmelina memiliki rendemen yang relatif
sama (Tabel 9.4). Perbedaan rendemen yang dihasilkan pada
berbagai jenis bahan baku ini disebabkan oleh perbedaan kom-
ponen kimianya terutama holoselulosa dan lignin serta reaksi
yang terjadi selama proses pulping. Semakin tinggi kandungan
holoselulosa bahan baku yang tidak terdegradasi selama pros-
es pulping menyebabkan rendemen bahan baku juga mening- Gambar 9.3. Pengaruh Alkalinitas terhadap Rendemen
Rata-Rata Pulp

112 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 113
9.3. Bilangan Kappa sengon memiliki S/G rasio sebesar 2.03. Jenis tumbuhan mo-
Bilangan kappa merupakan indikator kandungan lignin nokotil yaitu kelapa sawit menunjukkan bilangan kappa yang
sisa di dalam pulp. Bilangan kappa yang tinggi menunjukkan paling rendah. Hal ini disebabkan oleh kandungan lignin pada
kandungan lignin sisa pulp masih tinggi, tingkat kematangan jenis tumbuhan ini lebih rendah dibandingkan jenis bahan baku
dan delignifikasinya rendah sehingga menghasilkan pulp den- yang lain.
gan kualitas yang kurang baik. Data bilangan kappa untuk
masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Gambar 9.4. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa jenis bahan baku berpen-
garuh nyata terhadap bilangan kappa sedangkan alkalinitas
dan sulfiditas berpengaruh tidak nyata. Hal ini mengindikasikan
bahwa kombinasi alkalinitas dan sulfiditas tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap bilangan kappa tetapi lebih ditentu-
kan jenis bahan baku yang digunakan.

Tabel 10.5 menunjukkan bilangan kappa rata-rata


pada berbagai jenis bahan baku. Berdasarkan tabel tersebut
bilangan kappa tertinggi berturut-turut pada pinus, kemudian
sengon dan gmelina serta terendah terdapat pada kelapa saw-
it. Tingginya lignin sisa pada kayu pinus disebabkan jenis ini
termasuk kayu daun jarum yang didominasi oleh jenis lignin
guaiasil yang sulit terhidrolisis. Walaupun kayu gmelina dan Gambar 9.4. Bilangan Kappa Bahan Baku pada Berbagai
Perlakuan Alkalinitas dan Sulfiditas
sengon, keduanya termasuk kayu daun lebar namun diduga
S/G rasio pada kayu sengon lebih rendah (lignin-nya didomi-
nasi guaiasil) dibandingkan dengan gmelina. Menurut Syafii
(2001) dan Syafii et al. (2009), perbedaan komposisi siringil
dan guaiasil pada lignin kayu daun lebar dapat menyebabkan
perbedaan laju delignifikasi. Semakin tinggi kandungan siringil
dibandingkan guaiasil dalam kayu akan menyebabkan kandun-
gan metoksil yang semakin tinggi pula, sehingga lignin bersifat
lebih reaktif dan berimplikasi pada semakin cepatnya laju del-
ignifikasi dan semakin mudahnya proses pulping berlangsung. Tabel 9.5. Bilangan Kappa Rata-rata pada Berbagai Jenis
Hasil penelitian Syafii (2001) menunjukkan bahwa lignin kayu Bahan Baku

114 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 115
Menurut Biermann (1993), kadar lignin Klason dapat sakarida dinding sel, tetapi selalu bergabung atau berikatan
didekati dengan cara mengalikan bilangan kappa dengan bil- dengan polisakarida tersebut. Bentuk ikatan LCCs berane-
angan konstanta sebesar 0.15. Oleh karena itu, berdasarkan karagam pada setiap jenis tanaman. Ikatan lignin dengan kar-
hubungan tersebut kadar lignin pulp dihitung dan hasilnya bohidrat ini terjadi melalui ikatan kovalen (Jeffries, 1994). Ikatan
ditunjukkan pada Gambar 9.5. Proses delignifikasi menggu- antara lignin dan karbohidrat yang bersifat stabil lebih banyak
nakan metode kraft pada berbagai kombinasi alkalinitas dan ditemukan pada ikatan LCCs adalah ikatan ester. Ikatan ester
sulfiditas dapat menurunkan kadar lignin hingga menjadi seki- terjadi antara gugus karboksil bebas dari asam uronik pada he-
tar 0.73 sampai dengan 3.33% terhadap kadar pulp. Hal ini miselulosa dan gugus benzil pada lignin (Jeffries, 1994). Jenis
menunjukkan bahwa pengaplikasian proses kraft pada berb- ikatan lain yang ditemukan pada ikatan LCCs adalah ikatan
agai kombinasi perlakuan telah mampu mendegradasi lignin eter dan glikosida.
secara sempurna.
Dalam pembuatan bioetanol dari bahan ber-lignoselulo-
sa, perlakuan awal menjadi hal yang sangat penting. Perlakuan
pendahuluan ini dilakukan dengan cara menghilangkan lignin
agar kadar holoselulosa dalam bahan meningkat dan dapat
meningkatkan permukaan kontak enzim. Perlakuan pendahu-
luan diharapkan tetap menghasilkan rendemen yang dihasilkan
tetap tinggi dengan kadar lignin seminimum mungkin. Dalam
produksi bioetanol, salah satu faktor yang menjadi pertimban-
gan utama dalam pemilihan perlakuan pendahuluan ini adalah
rendemen pulp yang tinggi. Rendemen pulp yang tinggi dihara-
pkan akan menghasilkan rendemen bioetanol yang cukup ting-
gi.

Berdasarkan rendemen dan bilangan kappa, optimal-


Gambar 9.5. Kadar Lignin Bahan Baku pada Berbagai isasi perlakuan pendahuluan pada setiap jenis bahan baku
Perlakuan Alkalinitas dan Sulfiditas berbeda-beda. Optimalisasi perlakuan pendahuluan kayu pi-
Sisa lignin yang terdapat dalam pulp disebabkan oleh nus dan sengon dapat dilakukan dengan menggunakan pros-
adanya ikatan antara lignin dan karbohidrat yang dikenal den- es kraft dengan alkalinitas dan sulfiditas berturut-turut 18 dan
gan lignin-carbohydrate complexes (LCCs) yang tidak dapat 25%. Kayu yang mengandung lignin yang tinggi seperti gmeli-
dihidrolisis oleh alkali aktif. Lignin umumnya tidak pernah na harus menggunakan alkalinitas yang lebih tinggi yaitu seki-
ditemukan dalam bentuk sederhana di antara polisakarida-poli- tar 20% dengan sulfiditas 25% sedangkan pada kelapa sawit

116 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 117
optimalisasi dapat dilakukan pada alkalinitas 16% dan sulfiditas Ket: Superkrift menunjukkan hasil uji Tukey dan huruf yang
20%. sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata pada taraf nyata 5%.
Pulp hasil perlakuan pulping terpilih untuk proses sa-
karifikasi dan fermentasi secara simultan yang diperoleh pada 9.4. Kadar Total Gula
masing-masing bahan baku dianalisis kembali komponen kimi- Total gula dan gula pereduksi merupakan parameter
anya dan hasilnya ditunjukkan pada Tabel 6. Tidak ada perbe- utama yang diukur pada proses hidrolisis. Total gula merupa-
daan kadar holoselulosa dan selulosa yang signifikan di antara kan keseluruhan komponen gula dalam bahan terhidrolisis ter-
bahan baku. Perbedaan nyata sifat kimia bahan baku um- diri atas gula pereduksi dan gula non-pereduksi. Nilai total gula
umnya terlihat pada kadar hemiselulosa dan lignin. Kadar he- hasil hidrolisis ditunjukkan pada Gambar 9.6; 9.7; dan 9.8.
miselulosa tertinggi pada kelapa sawit (11.70%) dan terendah
pada gmelina (8.96%). Kadar lignin tertinggi pada kayu pinus
(3.21%) dan terendah pada kelapa sawit (1.70%).

Kadar holoselulosa pulp yang tinggi dan kadar lignin


yang rendah diharapkan mampu meningkatkan rendemen eta-
nol yang dihasilkan. Cara et al. 2008 mengatakan bahwa tujuan
utama perlakuan pendahuluan adalah menghilangkan lignin,
mengurangi degradasi holoselulosa selama perlakuan penda-
huluan sehingga menghasilkan total karbohidrat (holoselulosa)
yang tinggi, mereduksi sifat kristalinitas selulosa dan mening- Gambar 9.6. Total Gula pada SSF dengan Enzim Selulase 4%
katkan permukaan kontak enzim sehingga dapat memudahkan
proses sakarifikasi holoselulosa sehingga diperoleh rendemen
gula yang tinggi yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol.
Tabel 9.6. Sifat Kimia Pulp Terpilih untuk Proses SSF

Gambar 9.7. Total Gula pada SSF dengan Enzim Selulase 8%

118 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 119
jam ke-24 kemudian mengalami peningkatan sampai jam ke-
72, lalu mengalami penurunan kembali sampai jam ke-96. Total
gula pada kayu sengon mengalami penurunan sampai pada
jam ke-48 kemudian mengalami peningkatan kembali pada
jam ke-72 dan mengalami penurunan kembali pada jam ke-96.
Fluktuasi total gula selama kultivasi disebabkan oleh hidrolisis
yang terus terjadi selama kultivasi dan pada saat yang sama
sebagian gula pereduksi seperti glukosa hasil hidrolisis difer-
mentasi menjadi etanol sedangkan glukosa gula-gula non per-
eduksi yang tidak dapat difermentasi oleh khamir S.cereviciae
tetap tinggal dalam larutan. Oleh karena itu, kadar total gula
Gambar 9.8 Total Gula pada SSF dengan A. niger
sangat tergantung pada proses hidrolisis dan fermentasi ini.
Gambar 9.6, menunjukkan total gula pada SSF dengan
menggunakan enzim selulase 4% (w/w) bobot kering dengan Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida
S. cerevisiae. Total gula sesaat setelah penambahan enzim atau protein yang berfungsi sebagai katalis dalam suatu reaksi
selulosa (jam ke-0) pada setiap bahan baku bervariasi.Total kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan
gula pada kayu pinus, gmelina, sengon, dan kelapa sawit ber- molekul zat-zat yang bereaksi sehingga dapat mempercepat
turut-turut sekitar 575.18, 822.50, 976.79, dan 1332.68 mg/L. reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi
Adanya total gula yang terdeteksi pada jam ke-0 menunjukkan pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah ter-
kemampuan enzim untuk menghidrolisis holoselulosa menja- jadinya reaksi. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-pro-
di gula-gula sederhana sangat cepat. Hasil ini sesuai dengan duk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti etanol, glukosa,
penelitian Yang et al. (2006) yang menyatakan bahwa kemam- dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa den-
puan selulase untuk menghidrolisis selulosa dan hemiselulo- gan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hi-
sa (holoselulosa) sangat cepat. Penambahan 60 filter paper drolisis asam atau basa. Selulase adalah enzim yang mampu
unit (FPU)/g selulosa telah mampu menghidrolisis sekitar 20% mengkatalis terjadinya reaksi hidrolisis selulosa menjadi gluko-
selulosa menjadi gula-gula sederhana selama satu jam setelah sa. Keuntungan hidrolisis enzim dibandingkan dengan hidroli-
penambahan enzim ke dalam substrat. Total gula pada per- sis asam adalah kondisi reaksi ringan dan tidak terjadi reaksi
lakuan pada SSF dengan menggunakan enzim selulase 4% samping yang berarti.
dan khamir S. cerevisiae cenderung mengalami penurunan
dari jam ke-0 sampai pada jam ke-96 pada kayu pinus dan Penelitian ini menggunakan enzim selulase kompleks
kelapa sawit dengan bertambahnya jam kultivasi sedangkan komersial yang diperoleh dari kultur A. niger. Selulase kom-
pada kayu pinus total gula mengalami penurunan sampai pada pleks mampu menghidrolisis kristal selulosa menjadi gula-gu-

120 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 121
la terlarut secara efisien. Enzim selulase kompleks terdiri dari Hasil penelitian Stemberg et al. (1999) menunjukkan bahwa
tiga enzim utama yaitu endo-1,4-β-glukanase, ekso-1,4-β-glu- penambahan konsentrasi enzim selulase pada produki bioeta-
kanase, dan 1,4 β-glukosidase. Endo-1,4-β-glukanase memo- nol dengan metode SSF dari kayu spruce (Picea abies) mampu
tong ikatan rantai dalam selulosa secara acak menghasilkan meningkatkan total gula dan rendemen etanol.
molekul selulosa yang lebih pendek, ekso-1,4-β-glukanase
memotong ujung-ujung rantai selulosa baik ujung pereduksi Penggunakan kultur A. niger untuk menghidrolisis selu-
(reducing end) maupun yang ujung non pereduksi (non re- losa dan hemiselulosa menghasilkan total gula pada awal proses
ducing end) menghasilkan molekul selobiosa, sedangkan 1,4 hidrolisis (Gambar 9.8) pada masing-masing jenis kayu sedikit
β-glukosidase memotong molekul selobiosa menjadi mono- lebih rendah dari penggunaan enzim selulase 4% bobot kering
mer-monomer glukosa yang lebih sederhana (Eriksson, 1991). (Gambar 10.6). Penggunaan kultur A. niger menghasilkan total
gula awal pada kayu pinus, gmelina, sengon, dan kelapa saw-
Hasil hidrolisis biomassa kayu menggunakan enzim it berturut-turut sebesar 243.57, 260.89, 494.46, dan 851.43
selulase kompleks selain menghasilkan glukosa juga meng- mg/L sedangkan jika menggunakan selulase 4% bobot kering
hasilkan gula-gula lainnya seperti galaktosa, mannosa, arab- menghasilkan total gula sebesar 575.18, 822.50, 976.79, dan
inosa, dan xilosa. Hasil penelitian Cara et al. (2006) menun- 1332.68 mg/L. Rendahnya produksi total gula disebabkan en-
jukkan bahwa penggunaan selulase kompleks pada hidrolisis zim selulase yang dihasilkan oleh A. niger masih sedikit sehing-
kayu zaitun menghasilkan glukosa, xilosa, galaktosa, manno- ga jumlah selulosa dan hemiselulosa yang dikonversi menjadi
sa, dan arabinosa. Komponen gula-gula tersebut berasal dari gula-gula sederhana juga masih rendah. Menurut Selvakumar
degradasi selulosa dan hemiselulosa. Glukosa merupakan et al. (1996) A. niger merupakan kapang yang dikenal sebagai
komponen yang mendominasi hasil hidrolisis. Glukosa beras- penghasil asam sitrat, anilin, pektinase, selulase, β-1,4 glikan
al dari hidrolisis selulosa dan sebagian hemiselulosa (Bruce & hidrolase, protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-gal-
Palfreyman 1998) sedangkan xilosa dan arabinosa umumnya aktosidase, α-glukosidase, β-glukosidase, asam glukonat,
ditemukan pada hasil hidrolisis hemiselulosa kayu daun lebar glukosa oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease,
serta galaktosa dan mannosa ditemukan pada hasil hidrolisis pupulan 4-glukanohidrolase, β-xilosidase, xilanase, dan lipase.
hemiselulosa kayu daun jarum (Fengel & Wegener, 1995). Keberdaan enzim selulase inilah yang menyebabkan kapang
ini mampu menghidrolisis selulosa dan sebagian hemiselulosa
Peningkatan konsentrasi enzim selulase ke dalam menjadi gula pereduksi seperti glukosa.
substrat dari 4% bobot kering sampai konsentrasi 8% dapat
meningkatkan jumlah total gula (Gambar 9.7). Peningkatan
jumlah total gula ini disebabkan meningkatnya kemampuan 9.5. Kadar Gula Pereduksi dan Kadar Etanol
enzim selulosa kompleks untuk menghidrolisis selulosa mau- Sebagian besar karbohidrat, terutama golongan mono-
pun hemiselulosa menjadi gula-gula yang lebih sederhana. sakarida dan disakarida seperti glukosa, fruktosa, galaktosa,

122 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 123
dan laktosa mempunyai sifat mereduksi. Sifat mereduksi dari
karbohidrat disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau gu-
gus keton bebas. Gambar 9.9; 9.10; dan 9.11, menunjukkan
gula pereduksi dan kadar etanol berturut-turut pada proses SSF
menggunakan enzim selulase 4% bobot kering, 8% bobot ker-
ing dan A. niger masing-masing dengan penambahan khamir
S. cereviciae. Penentuan gula pereduksi dengan metode DNS
sedangkan kadar etanol diukur dengan menggunakan gas
chromatography (GC). Sebelum dilakukan pengukuran maka
dibuat dulu kurva standar. Semakin lama kultivasi cenderung
menyebabkan gula pereduksi semakin turun sedangkan kadar
etanol semakin meningkat. Gambar 9.10. Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF
dengan Enzim Selulase 8%

Gambar 9.9. Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF


dengan Enzim Selulase 4%
Gambar 9.11. Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF
dengan A. niger
Dalam hidrolisis selulosa secara enzimatis, selulase
mendegradasi selulosa menghasilkan gula pereduksi glukosa.
Fase sakarifikasi berlangsung secara bertahap yang meng-
hasilkan unit-unit glukosa. Efisiensi dan efektivitas proses hi-

124 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 125
drolisis ini dapat diukur melalui tingkat produksi gula pereduksi. yang masing-masing pada kayu sengon, gmelina, kelapa saw-
it, dan pinus berturut-turut 0.47, 0.42, 0.41, dan 0.39. Perbe-
Penurunan jumlah gula pereduksi disebabkan oleh daan kadar etanol pada akhir kultivasi dipengaruhi jumlah gula
konversi gula pereduksi tersebut menjadi etanol oleh khamir pereduksi yang dihasilkan dari proses hidrolisis menggunakan
S. cereviciae. Menurut Campbel (1983) proses fermentasi oleh enzim selulase 4% bobot kering serta komponen kimia bahan
S. cereviciae adalah proses pengubahan sebagian besar en- baku. Semakin tinggi gula pereduksi yang dihasilkan selama
ergi dari gula ke dalam bentuk etanol dengan efisiensi pengu- kultivasi maka semakin banyak pula gula yang dikonversi men-
bahan energi sekitar 97%. Mekanisme pembentukan etanol jadi etanol pada akhir kultivasi.
oleh khamir melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas Pathways
(EMP) atau glikolisis. Hasil dari EMP adalah memecah glukosa Peningkatan konsentrasi enzim selulase dari 4% men-
menjadi 2 molekul piruvat. Setelah melalui tahap glikolisis, piru- jadi 8% bobot kering menyebabkan peningkatan kadar etanol
vat yang terbentuk kemudian diubah menjadi asetaldehida dan yang dihasilkan (Gambar 9.10). Kadar etanol tertinggi diperoleh
CO2 oleh enzim piruvat dekarboksilase, lalu diubah menjadi dari setiap jenis bahan baku terdapat pada jam-96 yang mas-
etanol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Secara teoritis 100% ing-masing pada kayu sengon, gmelina, pinus dan kelapa sawit
glukosa dapat dikonversi menjadi sekitar 51 % etanol dan 49% berturut-turut mengalami peningkatan dari 0.47 menjadi 0.79%
menjadi CO2. Menurut Boyles (1984), S. cereviciae merupakan (v/v); 0.42 menjadi 0.98 v/v); 0.39 menjadi 0.57% v/v) dan
khamir sangat baik dalam produksi etanol. Rendemen alkohol 0.41 menjadi 0.51% (v/v). Peningkatan kadar etanol ini dise-
gula heksosa dari fermentasi dapat mencapai 90%. Kelemah- babkan meningkatnya kemampuan enzim selulosa kompleks
an khamir ini adalah hanya mampu memfermentasi gula-gula untuk menghidrolisis selulosa maupun hemiselulosa menjadi
heksosa seperti glukosa dari hidrolisis selulosa dan sebagian gula-gula yang lebih sederhana yang selanjutnya dikonversi
selulosa menjadi etanol, sedangkan gula-gula pentosa seperti oleh S. cereviciae menjadi etanol. Hal ini sesuai hasil penelitian
xilosa dan arabinosa tidak bisa difermentasi. Namun beberapa Stenberg, et al. (1999) yang menunjukkan bahwa peningkatan
bakteri telah mulai direkayasa secara genetika seperti Esche- enzim selulase dapat meningkatkan kadar etanol yang dihasil-
rina coli dan Zimomonas mobilis yang dilaporkan telah mam- kan. Menurut Yang, et al. (2006), semakin tinggi jumlah enzim
pu memferntasi gula-gula pentosamenjadi etanol (Scheieder, yang ditambahkan ke dalam substrat maka semakin banyak
2005). enzim yang berpenetrasi ke dalam rantai selulosa sehingga
jumlah selulosa yang terhidrolisis semakin tinggi. Pengaruh
Gambar 9.9. menunjukkan bahwa penggunaan enzim bahan baku terhadap kadar etanol juga sangat signifikan ter-
selulase 4% bobot kering dan khamir S. cereviciae menghasil- hadap kadar etanol pada akhir kultivasi (jam ke-96). Kayu dari
kan gula pereduksi dan kadar etanol pada yang bervariasi pada jenis kayu daun lebar (gmelina dan sengon) menghasilkan ka-
setiap jenis kayu dan lama kultivasi. Kadar etanol tertinggi di- dar etanol yang lebih tinggi dibandingan jenis kayu daun jarum
peroleh pada setiap jenis bahan baku terdapat pada jam ke-96 (pinus) dan monokotil (kelapa sawit). Stemberg et al. (1999)

126 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 127
menyatakan bahwa kayu daun jarum umumnya lebih sulit di- gula seperti glukosa oleh khamir dapat terjadi secara anaerobik
hidrolisis menjadi gula dibandingkan dengan kayu daun lebar. (fermentasi) atau aerobik (respirasi), tetapi proses yang lebih
tipikal adalah pemecahan anaerobik yang dikenal juga sebagai
Penggunaan kultur murni A. niger dan khamir S. cer- fermentasi alkohol. Pada kondisi aerobik, pemecahan gula
eviciae pada proses SSF menghasilkan kadar etanol pada jam mengikutsertakan oksigen atmosfer melalui beberapa lintasan
ke-96 hampir sama dengan penggunaan enzim selulase 4% proses. Pada kondisi respirasi oksidasi sempurna dari glukosa
bobot kering. Kayu sengon, kayu gmelina, pinus dan kelapa menghasilkan CO2 dan air, sedang oksidasi tidak sempurna
sawit menghasilkan kadar etanol berturut-turut sekitar 0.53, diikuti oleh akumulasi asam dan lain-lain produk intermediet.
0.45, 0.31, dan 0.31%. Hal ini menunjukkan penggunaan kultur
murni A. niger sangat potensial dikembangkan dalam produksi 9. 6. Pertumbuhan Mikroba selama Proses SSF
bioetanol terutama dari bahan berlignoselulosa. Kadar etanol Gambar 9.12; 9.13; dan 9.14 menunjukkan pertumbu-
tertinggi terdapat pada kayu gmelina (0.98%). Tingginya kadar han khamir S. cereviciae berturut-turut pada proses SSF meng-
etanol pada bahan baku ini diduga disebabkan oleh derajat gunakan enzim selulase 4 dan 8% bobot kering serta A. niger
kristalinitas selulosanya paling rendah dibandingkan dengan masing-masing dengan penambahan khamir S. cereviciae.
bahan baku lain sehingga memungkinkan selulase menghi- Secara umum, pertumbuhan khamir S. cereviciae mengala-
drolisis selulosa menjadi glukosa lebih mudah. mi peningkatan sampai pada jam ke-24 kemudian cenderung
fluktuatif dan akhirnya mengalami penurunan pada akhir kulti-
Khamir S. cereviciae adalah mikroorganisme bersel vasi. Pertumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
tunggal, berbentuk oval tidak beraturan dan berukuran antara substrat gula yang diperoleh dari proses hidrolisis selulosa dan
5-20 μm (Paturau 1981). Fungsi utama khamir dalam pembua- hemiselulosa. Peningkatan yang cukup signifikan dari khamir
tan etanol adalah mengubah gula dalam substrat menjadi eta- S. cereviciae pada jam ke-24 disebabkan oleh masih tingginya
nol dan CO2. Enzim yang dihasilkan oleh khamir adalah enzim kadar glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis. Menurut
invertase yang berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi Yang et al. (2006) bahwa kemampuan enzim selulase meng-
monosakarida (glukosa dan fruktosa) serta enzim zimase yang hidrolisis selulosa dan hemiselulosa cenderung mengalami
mengubah monosakarida tersebut menjadi etanol pada proses penurunan dengan bertambahnya lama kultivasi. Oleh karena
fermentasi. itu, produksi glukosa juga semakin menurun sehingga menye-
babkan pertumbuhan khamir mulai fluktuatif dan sangat dipen-
Produktivitas sel khamir merupakan fungsi dari kon- garuhi oleh keberadaan glukosa yang digunakan untuk per-
sentrasi glukosa, konsentrasi oksigen dan konsentrasi etanol tumbuhannya. Selain itu, kandungan furaldehida, furfural asam
(beberapa variabel kontrol juga berpengaruh seperti suhu dan organik dan komponen fenolik, serta 5-hidroksimetil-furfural
pH). Glukosa merupakan reaktan dasar untuk metabolisme bersifat menghambat pertumbuhan khamir S. cereviciae.
khamir. Menurut Judoamidjojo, et al. (1989), pemecahan zat

128 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 129
Gambar 9.14 menunjukkan pertumbuhan A. niger pada
SSF dengan menggunakan isolate murni A. niger dengan
S. cerevisiae yang dihitung menggunakan metode total plate
count (TPC). Kapang A. niger menunjukkan pertumbuhan yang
cukup signifikan sampai jam ke-48 dan selanjutnya mengalami
penurunan sampai jam ke-96 kecuali pada kayu gmelina yang
menunjukkan pertumbuhan sampai jam ke-72 dan kemudian
mengalami penurunan sampai jam ke-96.

Gambar 9.12. Pertumbuhan Khamir S. cereviciae pada SSF


dengan Enzim Selulase 4%

Gambar 10.15 Pertumbuhan A. niger pada SSF


Menggunakan Isolat A.niger
Gambar 9.13. Pertumbuhan Khamir S. cereviciae pada SSF
dengan Enzim Selulase 8% Menurut Stanbury & Whaitaker (1993), setelah kultivasi
kultur ke dalam media, terjadi suatu periode dimana kultur yang
dimasukkan tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru, fase ini disebut dengan fase adaptasi. Setelah fase
adaptasi, mikroorganisme kemudian memasuki fase log atau
eksponensial. Pada fase ini, mikroorganisme membelah den-
gan cepat. Semua sel mempunyai kemampuan untuk berkem-
bang biak dan tidak terdapat penghambatan pertumbuhan.
Fase ini merupakan kondisi yang ideal bagi mikroorganisme
Gambar 9.14. Pertumbuhan Khamir S. cereviciae pada SSF yang digunakan (Judoamidjojo et al. 1989).
dengan A. niger dan S. cerevisiae Fase selanjutnya adalah fase pertumbuhan lambat.

130 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 131
Pada fase ini, pertumbuhan populasi mikroorganisme diperlam- na dan sengon rendemen etanolnya lebih tinggi.
bat karena beberapa faktor di antaranya zat-zat nutrisi dalam
media yang sudah berkurang, serta adanya hasil metabolisme Tabel 9.7 Rendemen Etanol pada Beberapa Jenis
Bahan Baku
yang mungkin beracun sehingga dapat menghambat pertum-
buhan mikroorganisme (Fardiaz 1988). Fase selanjutnya ada-
lah fase stasioner, pada fase ini jumlah populasi sel cenderung
tetap karena jumlah sel yang tumbuh hampir sama dengan
jumlah sel yang mati. Pada fase stasioner ini, persediaan nu-
trient yang diberikan akan berkurang serta terjadi akumulasi
zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan (Tanbury &
Whitaker 1993).

9.7. Rendemen Etanol


Rendemen adalah persentase perbandingan antara
volume etanol yang diperoleh dengan volume bahan bahan
baku yang digunakan (Stenberg et al. 2000). Rendemen etanol
pada beberapa jenis bahan baku pada masing-masing proses
hidrolisis ditunjukkan pada Tabel 9.7. Rendemen etanol terting-
gi dihasilkan pada kayu gmelina dengan menggunakan enzim
selulase 8% bobot kering yaitu sekitar 11.21%. Rendemen ini
hampir mendekati rendemen yang diperoleh dari hasil peneli-
tian Stenberg et al. (1999) yaitu sekitar 11.4% yang menggu-
nakan metode SSF dengan perlakuan pendahuluan asam SO2
2.8% dan enzim selulase 5 FPU/g serta konsentrasi substrat
terhadap total media 2% (w/v).
Rendemen etanol yang dihasilkan sangat dipengaruhi
oleh bahan baku, dimana pada semua metode SSF kayu daun Peningkatan konsentrasi enzim dari 4 menjadi 8%
lebar (sengon dan gmelina) cenderung menunjukkan rendemen ternyata mampu meningkatkan rendemen etanol yang sangat
yang lebih tinggi dibandingkan kayu pinus dan kelapa sawit. signifikan yang secara berturut-turut pada kayu sengon, gmeli-
Penggunaan kultur murni A. niger pada metode SSF hampir na, pinus dan kelapa sawit meningkat dari 3.20 menjadi 5.39%,
menyamai rendemen etanol yang diperoleh dengan menggu- 4.29 menjadi 10.02%, 5.24 menjadi 7.65%, dan 2.63 menja-
nakan enzim selulase komersial 4%, bahkan pada kayu gmeli- di 3.28% (v/v). Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan

132 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 133
kemampuan enzim untuk menghasilkan gula-gula sederhana an berlignoselulosa saat ini (Shleser 1994, Olsson & Hagerdal
yang selanjutnya dikonversi menjadi etanol oleh khamir S. cer- 1996, Scheieder 2005).
eviciae.
Tabel 10.7. menunjukkan bahwa pemanfaatan biomas-
Kayu gmelina dan sengon sangat prospektif untuk sa jenis-jenis kayu tropis terutama sengon dan gmelina yang
dikembangkan untuk pembuatan bioetanol karena menghasil- dengan jumlah produksi masing-masing sekitar 163.20 L/ton
kan rendemen yang tinggi. Tingginya rendemen etanol yang dan 238.49 L/ton dengan produktivitas sekitar 2991.97 dan
dihasilkan oleh kedua jenis bahan tersebut adalah disebabkan 3407.59 L/ha per tahun menjadi bioetanol sangat prospektif un-
tingginya rendemen hasil delignifikasi (pulp) dan derajat kon- tuk dikembangkan di Indonesia untuk mengurangi krisis energi.
versi selulosa dan sebagian hemiselulosa menjadi etanol. Pada Produksi etanol yang dihasilkan dari kayu gmelina (238.49 L/
kayu pinus meskipun rendemen pulp yang dihasilkan tinggi ton) sedikit lebih tinggi dibandingkan produksi etanol dari Euc-
namun derajat konversi selulosa dan hemiselulosanya men- alytus grandis yaitu sekitar 225 L/ton (Shleser 1994), dan kayu
jadi etanol sangat rendah maka rendemen akhir etanol yang poplar dengan rendemen sekitar 283 L/ton (Scheieder 2005),
dihasilkan rendah. Kelapa sawit yang mengandung banyak zat namun masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi eta-
ekstraktif menghasilkan rendemen pulp yang rendah maupun nol dengan menggunakan bahan baku kayu Aspen yaitu seki-
derajat konversi selulosa dan hemiselulosanya menjadi etanol tar 354 L/ton (Olsson & Hagerdal 1996).
yang sangat rendah menyebabkan pemanfaatan bahan baku
ini kurang efisien dibandingkan dengan bahan baku lain. Kayu sengon, gmelina, pinus dan kelapa sawit memiliki
berat jenis masing-masing 0.33, 0.42, 0.55, dan 0.41 (Martaw-
Rendemen pulp tertinggi pada kayu pinus, gmelina, ijaya et al. 1989, Abdurrohim et al. 2004, Soerianegara & Lem-
sengon, dan kelapa sawit dengan rendemen masing masing mens 1994, Prayitno 1995). Potensi sengon 200 m3/ha den-
berturut-turut sebesar 61.00, 60.84, 51.65, dan 39.17%. Jika gan umur panen 6 tahun, gmelina 304 m3/ha umur panen 10
sakarifikasi berlangsung sempurna dan gula terhidrolisis sem- tahun, pinus 300 m3/ha umur panen 15 tahun (Soerianegara &
purna menjadi etanol 51% (maksimum secara teoritis) maka Lemmens 1994), dan kelapa sawit 606 m3/ha umur panen 25
rendemen total etanol yang dihasilkan secara teoritis pada tahun, maka volume etanol yang dihasilkan per ton bahan baku
kayu sengon, gmelina, pinus dan kelapa sawit berturut-turut serta produktivitas etanol ditunjukkan pada Tabel 9.7.
sekitar 26.34, 31.03, 31.13, dan 19.97%. Nilai rendemen se-
cara teoritis tersebut masih sangat jauh lebih tinggi dibanding-
kan dengan rendemen etanol aktual tertinggi yang diperoleh
pada masing-masing bahan baku. Meskipun demikian rende-
men yang diperoleh telah menyamai rendemen etanol yang
diperoleh oleh beberapa penelitian produksi bioetanol dari bah-

134 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 135
Tabel 9.8. Produktivitas Beberapa Tanaman Penghasil
Bioetanol

Sumber: Shintawatiy (2006)

10
Sebagai perbandingan pada Tabel 9.8 disajikan hasil
konversi bahan baku tanaman penghasil bioetanol. Produksi
etanol yang dihasilkan dengan menggunakan kayu sengon
(163.26 L/ton) lebih tinggi dari ubi jalar (142 L/ton), sweet

SEPULUH
sorgum (76.7 L/ton) dan talas (142 L/ton) sedangkan produksi
kayu gmelina (238.49 L/ton) melebihi produksi ubi kayu (180
L/ton) ubi jalar (142 L/ton), sweet sorgum (76.7 L/ton) dan
talas (142 L/ton). Secara umum kayu gmelina (3045.08 L/ha
per tahun) mampu melebihi produktivitas sweet sorgum dan
talas dengan produktivitas masing-masing berturut-turut seki-
tar 920.4 dan 2840 L/ha tahun, meskipun produktivitas kayu
sengon dan gmelina ini masih lebih rendah dibandingkan pro-
duktivitas biji sorgum, jagung, ubi jalar dan ubi kayu, dengan
produktivitas masing-masing berturut-turut sekitar 3112, 4620,
5680, dan 7200 L/ha per tahun.

136 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 137
tahun terakhir cenderung menurun disebabkan produksi min-
yak bumi jauh lebih besar dibandingkan dengan penemuan
minyak bumi. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan se-
jumlah kebijakan untuk mendukung agar kegiatan pencarian
cadangan minyak bumi baru dapat dilakukan secara intensif,
namun karena nilai investasi yang tinggi dan faktor kegagalan
penemuan menjadi penghambat.

10.1.2. Potensi Sumber Daya Gas Alam


Potensi gas bumi nasional cukup baik berdasarkan
data tahun 2012 yang menunjukkan cadangan terbukti sebe-
sar 103,35 TSCF dan cadangan potential sebesar 48,18 TSCF.
Dengan kapasitas produksi gas bumi sebesar 3,26 TSCF per
MEMBANGUN KETAHANAN ENERGI tahun rasio antara cadangan terbukti dan produksi gas bumi
GENERASI KEDUA (ENERGI DARI mencapai 32 tahun. Selama kurun waktu 7 tahun (2004-2011)
BAHAN NON PANGAN) produksi LNG terjadi penurunan dengan laju penurunan sebe-
sar 1,96% per tahun. Pada tahun 2011 produksi LNG menjadi
sebesar 25,79 juta ton dan 95% dari hasil produksi LNG ini
digunakan untuk komoditas ekspor. Perkembangan produksi
10.1. Potensi Sumber Daya Energi LPG pada tahun 2004 adalah sebesar 2,03 juta ton dengan
Kebutuhan energi Indonesia saat ini masih tergantung 1,13 juta ton dihasilkan oleh kilang gas dan 0,89 juta ton di-
pada energi fosil sementara pe-manfaatan energi terbarukan hasilkan oleh kilang minyak, kemudian pada tahun 2011 pro-
masih jauh dari target. Hal ini ketika pada 2025 harus men¬- duksinya meningkat menjadi 2,28 juta ton. Penggunaan LPG
capai 25% tapi sekarang masih sekitar 5%. Upaya-upaya yang di dalam negeri meningkat dari 1,08 juta ton pada tahun 2004
dilakukan pemerintah untuk pemanfaatan energi terbarukan menjadi 4,35 juta ton pada tahun 2011. Peningkatan konsumsi
hingga saat ini belum mampu mengejar ketertinggalan target dalam negeri ini dipacu dengan program konversi minyak tanah
tersebut. ke LPG sehingga sejak tahun 2010 ekpor LPG dihentikan se-
mentara impor LPG terus meningkat. Produksi gas pada tahun
10.1.1. Potensi Sumber Daya Minyak Bumi 2011 dikonsumsi oleh sektor industri, gas kota yaitu sekitar
Cadangan minyak Indonesia tersebar di hampir seluruh 25%, kemudian juga digunakan sebagai bahan bakar untuk
wilayah kepulauan Indonesia terutama Pulau Jawa, Sumatera, proses terutama untuk LPG plant, kilang minyak, penggunaan
dan Kalimantan. Total cadangan minyak di Indonesia selama 9 sendiri (own use), reinjeksi, dan dibakar (flare) sekitar hampir

138 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 139
59%. Selebihnya ditujukan untuk komoditas ekspor. MW. Sementara itu, potensi biomasa untuk kelistrikan men-
capai 13.662 MWe dengan kapasitas terpasang pembangkit
10.1.3. Potensi Sumber Daya Batubara yang terhubung ke grid sebesar 75,5 MWe. Sebagai negara
Potensi batubara Indonesia cukup besar, per 1 Janu- tropis, potensi tenaga surya di Indonesia cukup tinggi dengan
ari 2010 potensi sumber daya batubara Indonesia diperkirakan intensitas sebesar 4,8 kWh/m2/hari dengan pemanfaatan baru
mencapai lebih dari 105 miliar ton yang terdiri atas sekitar 33% sebesar 42,78 MW (tahun 2013). Selain itu, Indonesia juga
sumber daya hipotetik, 31% sumber daya tereka (inferred), 15% memiliki wilayah dengan kecepatan angin lebih dari 5 m/s yang
sumber daya terkira (indicated), dan 21% sumber daya terukur dapat dimanfaatkan untuk pembangkit, seperti wilayah NTB,
(measured). Sementara itu cadangan batubara yang dapat di- NTT, Yogyakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawe-
tambang mencapai lebih 21 miliar ton. Seiring dengan semakin si Tenggara. Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit tenaga
meningkatnya kegiatan eksplorasi batubara, dalam satu tahun angin baru sekitar 1,33 MW.
potensi sumber daya maupun cadangan batubara tersebut Tabel 10.1. Potensi Sumberdaya Energi Terbarukan
meningkat. Per 1 Januari 2011, potensi sumber daya batuba- Indonesia
ra di Indonesia mencapai lebih dari 120 miliar ton yang terdiri
atas hampir 28% merupakan sumber daya hipotetik, hampir
30% sumber daya tereka, lebih 22% sumber daya terkira, dan
sekitar 20% sumber daya terukur. Sementara itu cadangan
batubara yang dapat ditambang mencapai lebih dari 28 miliar
ton. Sebagian besar atau hampir 53% dari cadangan batubara
tersebut berada di Pulau Sumatera, sedangkan sisanya berada
di Pulau Kalimantan. Oleh karena itu kegiatan penambangan
produksi batubara Indonesia terpusat di kedua wilayah terse-
Sumber: Ditjen EBTKE, 2013
but. Meskipun Sumatera merupakan wilayah potensi batubara
terbesar, namun untuk produksi batubara wilayah Kalimantan Indonesia juga memiliki potensi energi yang baru dikem-
menjadi sumber produksi batubara terbesar. bangkan seperti gas metana batubara (GMB) dan shale gas.
Potensi GMB telah teridentifikasi sebesar 453 TCF, dan shale
10.1.4. Potensial Sumber Daya Energi Terbarukan gas sebesar 574 TCF. Di lain pihak, realisasi pemanfaatan bio-
Berdasarkan data ESDM (2013), cadangan panas bumi diesel pada tahun 2012 sebesar 669.398 kl, meningkat dari ta-
Indonesia sebesar 16.502 MW dari potensi sekitar 29 MW. Kap- hun sebelumnya sebesar 358.812 kl. Sementara itu, tidak ada
asitas terpasang pembangkit panasbumi (hingga Mei 2013) se- realisasi pemanfaatan bioetanol sejak tahun 2010. Berdasar-
besar 1.341 MW. Potensi tenaga air (skala besar) mencapai kan Permen ESDM No. 25 tahun 2013, pada tahun 2013 pe-
75 GW, sedangkan potensi mini/mikro hidro sebesar 769,69 manfaatan biodiesel ditargetkan meningkat menjadi 10% untuk

140 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 141
sektor transportasi mulai September 2013 (dari sebelumnya Kepadatan penduduk yang tinggi ini diperparah oleh
7,5%), sedangkan untuk sektor industri pertambangan, peman- kepadatan industri yang tinggi mendorong pertumbuhan sektor
faatan biodiesel ditargetkan sebesar 2% dalam campuran. komersial dan transportasi dengan cepat. Hal ini menunjukkan
bahwa pulau Jawa membutuhkan pasokan energi yang san-
Tabel 10.2. Mandatori dan Realisasi Pemanfaatan Biodiesel
dan Bioetanol gat tinggi melebihi wilayah lain di Indonesia, sementara potensi
sumber energi yang dimiliki sangat terbatas. Sedangkan luar
Jawa yang memiliki potensi sumberdaya energi yang besar
juga membutuhkan energi yang relatif kecil. Produksi minyak
yang terus menurun sementara permintaan kebutuhan yang
terus bertambah yang menyebabkan adanya peningkatan im-
por minyak mentah serta BBM. Di lain pihak, subsidi BBM masih
cukup tinggi yang disebabkan oleh kenaikan konsumsi dalam
negeri, peningkatan harga minyak internasional serta turunnya
nilai rupiah terhadap dolar US serta valuta asing lainnya.

Potensi gas yang besar ternyata belum menghasilkan


peningkatan konsumsi dalam negeri yang memadai, dise-
babkan oleh belum tersedianya infrastruktur yang dibutuhkan
10.2. Permasalahan Energi Saat Ini serta kontrak ekspor gas yang besar jangka panjang. Ekspor
10.2.1. Permasalahan Umum batubara terus meningkat sementara konsumsi batubara do-
Secara umum sektor energi saat ini menghadapi tan- mestik pada tahun 2011 hanya dapat menyerap 23% produksi
tangan baik secara global maupun dalam lingkup nasional. batubara. Hal ini membuktikan bahwa peraturan tentang DMO
Beberapa permasalahan aktual saat ini salah satunya adalah batubara masih berpatokan dalam pemenuhan kebutuhan do-
jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 mencapai 205 mestik saja dan belum berorientasi pada ketahanan energi
juta jiwa dan meningkat rata-rata 1,48% per tahun menjadi 241 jangka panjang. Konsumsi batubara yang semakin meningkat,
juta jiwa pada tahun 2011. Wilayah Kalimantan mengalami mempertinggi produksi emisi gas buang seperti CO2, SOX,
peningkatan laju pertumbuhan penduduk tertinggi, sedangkan NOX, dan abu. Pemanfatan energi terbarukan masih relatif ke-
laju pertumbuhan terendah adalah pulau Jawa. Pada saat ini cil. Beberapa hal yang menghambat pengembangan EBT an-
sekitar 54% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan, tara lain ialah tingginya biaya investasi, birokrasi, minimalnya
sementara sekitar 57% penduduk tinggal di pulau Jawa den- insentif atau subsidi, dan harga jual yang lebih tinggi dibanding-
gan luas wilayah 129.438,28 km2 atau sekitar 6,7% wilayah kan dengan energi fosil, rendahnya pengetahuan dalam meng-
daratan Indonesia. adaptasi fasilitas energi bersih, serta potensi sumberdaya EBT

142 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 143
pada umumnya kecil dan tersebar. Program konversi minyak PLTN harus mengikuti standar jaminan mutu yang ketat pada
tanah ke LPG menyebabkan peningkatan konsumsi LPG den- tahap rancangan, pabrikasi, konstruksi, maupun testing sistem
gan cepat yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam neg- PLTN. Selain itu juga pembangunan PLTN ini harus betul-betul
eri. Hal ini menyebabkan impor LPG meningkat dengan cepat, dipertimbangkan dari berbagai sisi, bukan hanya dari sisi tinjau-
sehingga bila pada tahun 2007 volume import LPG masih se- an teknis, tapi juga dari dari sisi sosio-kultural, politik, ekonomi,
besar 137 ribu ton, pada tahun 2011 meningkat menjadi 1.992 dan lingkungan.
ribu ton atau meningkat hampir 15 kali lipat.
10.2.3. Permasalahan Sektoral
10.2.2. Permasalahan Ketenagalistrikan Beberapa masalah pada sektor pengguna energi meli-
PLN selalu mengalami kekurangan pasokan gas bumi puti program konversi minyak tanah ke LPG pada sektor rumah
untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas. Kondisi ini ter- tangga dan komersial, mendorong peningkatan konsumsi LPG
jadi karena keterbatasan infrastruktur pipa gas, lokasi sumber sehingga meningkatkan impor LPG. Mengingat harga LPG
gas bumi yang sangat jauh dari pembangkit listrik, serta ke- yang tinggi, pemerintah menetapkan harga pasar PSO pada
bijakan pemerintah di bidang suplai energi primer, khususnya LPG tabung 3 kg sehingga berlaku dua harga LPG di mas-
gas, yang kurang berpihak pada PLN. Selain itu juga harga gas yarakat dapat menyebabkan penyimpangan dalam penggu-
bumi dalam negeri yang mengikuti harga gas bumi internasi- naan dan pemasaran LPG. Permasalahan industri saat ini yaitu
onal, sementara PLN harus melayani kelistrikan dalam negeri konsumsi energi komersial sektor industri di tahun 2011 men-
dengan harga listrik yang tidak mencerminkan nilai keekono- capai 360 juta SBM atau 32% dari total konsumsi energi nasi-
mian. Selanjutnya pengembangan pembangkit listrik berbasis onal dengan laju kenaikan 1% dibanding tahun 2010. Secara
EBT juga menemui banyak kendala. Panas bumi misalnya, umum laju percepatan penggunaan energi ini menggambarkan
lokasinya banyak yang berada di kawasan hutan konservasi, bahwa pertumbuhan industri sangat rendah dan menunjukkan
serta masih dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. bahwa industrialisasi akan berjalan sangat lambat. UU Nomor
Kendala lain adalah teknologi untuk kegiatan pengembangan 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
EBT masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh yang mewajibkan industri pertambangan mineral untuk melak-
sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pen- sanakan pengolahan bahan tambang sebelum diekspor se-
gadaan teknologi tersebut perlu mengimpor dari luar. lambat-lambatnya tahun 2014. Pelaksanaan UU No. 4 tahun
2009 ini secara langsung akan mempengaruhi perencanaan
Khusus mengenai pembangunan PLTN, permasalahan pasokan bahan bakar dan kelistrikan wilayah pertambangan.
yang terjadi adalah adanya kekhawatiran masyarakat berkai- Permasalahan di sektor transportasi antara lain adalah
tan dengan pengoperasian PLTN, seperti resiko terjadinya ke- kurang lengkapnya infrastruktur transportasi khususnya ang-
bocoran radiasi nuklir akibat bencana alam serta penanganan kutan darat, diantaranya penyiapan angkutan massal seperti
limbah radioaktif yang kurang tepat. Untuk itu pembangunan bus publik, subway maupun monorail. Kendala pada pengem-

144 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 145
bangan kendaraan CNG meliputi, biaya investasi dan opera- melalui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
sional SPBG yang mahal, tingginya harga konverter kit, kondisi dan Batubara dan Permen ESDM No. 11 Tahun 2012 tentang
kendaraan yang tidak memenuhi spesifikasi untuk dikonversi, Perubahan atas Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 mengenai
serta margin yang belum menarik di kalangan investor. Hal-hal Peningkatan Nilai Tambah Mineral, akan tercipta rantai nilai
ini menyebabkan program pemanfaatan gas untuk kendaraan dari hulu ke hilir. Pengolahan dan pemurnian mineral dilakukan
pribadi masih sulit dikembangkan. Mobil listrik yang dianggap dengan memperhitungkan kecukupan cadangan mineral, pen-
sebagai salah satu solusi angkutan perkotaan yang bersih guasaan teknologi dalam pengolahan mineral, ketersediaan
dan efisien, pengembangannya masih banyak kendala karena pasokan energi yang memadai dan ekonomis, serta kesiapan
daya angkut yang kecil dan kemampuan jelajah yang pendek. industri hilir domestik untuk menyerap hasil produksi pengola-
Sementara accu atau unit penyimpan daya yang mahal dan han dan pemurnian mineral domestik. Selanjutnya, Peraturan
berumur pendek sehingga pengembangan kendaraan listrik Presiden Indonesia No. 28 Tahun 2008 mengenai “Kebijakan
untuk keperluan transportasi kota harus mendapat dukungan Industri Nasional” menyebutkan bahwa visi perindustrian In-
yang sangat kuat dari pemerintah, khususnya dalam pengem- donesia pada tahun 2025 adalah membawa Indonesia men-
bangan baterei. Diluncurkannya mobil Low Cost and Green jadi negara industri tangguh dunia yang bertumpu pada tiga
Car (LCGC) yang “murah” dan “irit bahan bakar” akan dapat industri andalan masa depan yaitu industri agro, industri alat
mendorong penjualan dan penggunaan mobil pribadi, menam- angkut, dan industri telematika, menjadikan industri baja, dan
bah beban pada infrastruktur jalan, meningkatkan penggunaan industri bukan baja (logam non ferro) sebagai tulang punggung
bahan bakar minyak dan dapat meningkatkan subsidi BBM. Di industri Indonesia. Sesuai dengan Perpres tersebut, diantara-
lain pihak peningkatan produksi kendaraan ini akan dapat men- nya menyebutkan bahwa industri pionir dan industri berbasis
dorong produktifitas industri, menciptakan peluang kerja, men- sumber daya alam lokal akan mendapatkan fasilitas dari pe-
dorong kinerja ekspor dan meningkatkan kesejahteraan umum. merintah.

10.3. Kebijakan Energi Terkini 10.3.2. Diversifikasi Energi


10.3.1. Percepatan Peningkatan Nilai Tambah Mineral Pada tahun 2013 impor BBM menguras devisa nega-
Secara umum, struktur industri logam nasional terbagi ra akibat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
menjadi dua kelompok yaitu: industri baja (ferro) dan industri Berkaitan dengan hal itu, pemerintah mendorong peningkatan
bukan baja (non ferro, seperti nikel, tembaga, aluminium, man- pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) sebagai campuran
gan). Namun demikian, industri logam nasional saat ini masih BBM. Kebijakan ini diambil dalam rangka mendukung kebija-
memiliki banyak kekurangan termasuk rantai nilai dari industri kan ekonomi makro dan mengurangi impor BBM, sebagaimana
hulu, industri antara dan industri hilir, terutama pada industri ditetapkan dalam Permen ESDM No. 25 Tahun 2013 tentang
non ferro. Sehingga diharapkan dengan adanya kebijakan pen- perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008
ingkatan nilai tambah ekonomi pengolahan barang mineral, tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga BBN se-

146 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 147
bagai bahan bakar lain. kl ternyata alokasi subsidi BBM meningkat dengan tajam seh-
Permen ESDM No. 25 Tahun 2013 menetapkan jum- ingga target alokasi subsidi energi RAPBN/APBN harus diubah
lah campuran biodiesel dalam minyak solar dan campuran dari target 16% menjadi 19%. Pada tahun 2012 terjadi pening-
minyak nabati murni dalam minyak diesel dan minyak bakar katan volume BBM bersubsidi menjadi 44,5 juta kl dari target
meningkat, serta jumlah campuran bioethanol dalam bensin 40 juta kl dan hal ini meningkatkan prosentase subsidi energi
menurun hingga tahun 2020 dan meningkat pada tahun 2025 dari target 14% pada RAPBN menjadi 19% pada APBN 2012.
dibanding Permen ESDM No. 32 Tahun 2008. Selama tahun
2013, Pemerintah juga terus membangun infrastruktur SPBG Pada kuartal I tahun anggaran 2013 telah dipastikan
dalam rangka substitusi minyak solar dan bensin dengan gas bahwa konsumsi BBM bersubsidi akan melebihi kuota yang
bumi, khususnya untuk kendaraan umum, kendaraan dinas, ditetapkan sehingga subsidi energi tahun anggaran 2013
dan kendaraan pribadi (secara terbatas). Program ini merupa- diperkirakan akan meningkat mendekati 20% APBN 2013 bila
kan kelanjutan dari program yang sama tahun 2012 yang tidak tidak diambil tindakan. Kondisi ini dianggap cukup kritis dan
berjalan efektif karena waktu pelaksanaan terbatas yang pen- mendorong Pemerintah melalui Permen ESDM No. 18 Tahun
danaannya tidak dapat digunakan secara multiyears. Terkait 2013 menaikkan harga BBM bersubsidi yaitu premium dari Rp.
dengan program BBG tersebut, beberapa SPBG, sistem moth- 4500 per liter menjadi Rp. 6.500 per liter, sementara solar di-
er daughter telah selesai dibangun, dan selain itu Pemerintah naikkan dari dari Rp. 4500 per liter menjadi Rp. 5.500 per liter
Provinsi DKI Jakarta telah menyediakan busway berbahan ba- yang efektif mulai tanggal 22 Juni 2013. Kenaikan harga BBM
kar BBG (dedicated). bersubsidi ini diharapkan akan mengurangi beban subsidi da-
lam APBN yang sangat dipengaruhi oleh antara lain volume
10.3.3. Subsidi Energi penggunaan BBM, harga minyak internasional, serta kisaran
Sebagian pemanfaatan energi di Indonesia masih nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serta valuta asing
disubsidi, antara lain bensin premium, minyak solar, biofuel un- lainnya.
tuk transportasi, minyak tanah untuk konsumen tertentu, paket Tabel 10.3. Subsidi Energi dan Anggaran Belanja Nasional
LPG tabung 3 kg, dan listrik untuk konsumen tertentu. Gamba-
ran secara umum terhadap subsidi energi menunjukkan bahwa
target subsidi energi yang ditetapkan antara 13%-14% pada
RAPBN selalu terlampaui. Pada tahun 2010 volume BBM ber-
subsidi yang meningkat dari target 36,5 juta kl menjadi 38,2
juta kl walaupun harga minyak internasional rata-rata yang leb-
ih rendah dari harga patokan sehingga realisasi subsidi BBM
turun. Pada tahun 2011 kondisinya tidak demikian karena den-
gan kenaikan volume BBM bersubsidi yang hanya sekitar 2 juta

148 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 149
Sumber: Data Pokok APBN 2010, 2011, 2012, 2013 dan ya 40%. Kebijakan ini dianggap tidak akan mampu mendorong
APBN-P 2013 dalam BPTP (2013) tumbuhnya industri sel surya dalam negeri apabila industri sel
surya dan investor PLTS tidak memperoleh insentif (suku bun-
10.3.4. Feed-in Tariff ga rendah, penundaan pembayaran pajak, dan lainnya).
Kebijakan feed-in tariff yang ditetapkan oleh pemerin-
tah melalui Permen ESDM No. 9 Tahun 2013 tentang Pem- 10.3.5. Konservasi Energi
belian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangk- Kebijakan konservasi energi yang menonjol pada ta-
it Listrik Berbasis Sampah Kota dan Permen ESDM No. 17 hun 2013 praktis tidak ada. Kementerian ESDM memang su-
Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dah menyusun draft RIKEN sebagai amanat Peraturan Pemer-
(Persero) dari PLTS fotovoltaik. Permen ESDM No. 19 Tahun intah No 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi. Namun,
2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Perse- penyusunan ini “dianggap” belum sempurna karena mestinya
ro) dari Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota merupakan menunggu penetapan Kebijakan Energi Nasional oleh Pemer-
revisi harga jual listrik yang diatur dalam Permen ESDM No. intah dengan persetujuan DPR. Kebijakan konservasi yang
04 tahun 2012 tentang harga jual listrik ke PT PLN (Persero) banyak dibahas adalah hasil implementasi atas Instruksi Pres-
dari energi terbarukan skala kecil dan menengah. Harga jual iden No. 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air.
listrik menggunakan teknologi zero waste ditetapkan sebesar Program ini ditujukan untuk penghematan pemakaian energi
Rp1.450/kWh jika terinterkoneksi dengan tegangan menengah pada instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD, baik listrik mau-
(TM) dan Rp. 1.798/kWh jika terinterkoneksi dengan tegangan pun BBM. Pelaksanaan inpres ini tidak maksimal karena belum
rendah (TR). Sebelumnya, harga jual listrik adalah Rp1.050/ semua instansi pemerintah melaksanakannya. Hal ini disebab-
kWh (TM) dan Rp1.398/kWh (TR). Harga jual listrik menggu- kan oleh masih rendahnya budaya penghematan energi dan
nakan teknologi sanitary landfill ditetapkan sebesar Rp1.250/ air di kalangan aparatur pemerintah dan terbatasnya sumber
kWh (TM) dan Rp1.598/kWh (TR). Sebelumnya, harga jual lis- daya manusia di bidang penghematan energi dan air. Untuk itu,
trik adalah Rp805/kWh (TM) dan Rp1.198/kWh (TR). Peruba- Pemerintah akan terus mengintensifkan pelaksanaan kegiatan
han ini dilakukan karena harga jual listrik sebelumnya belum yang sudah ada (layanan audit energi, sosialisasi, bimbingan
mampu mendorong investor untuk berinvestasi. Permen ESDM teknis, dan lain-lain) untuk mendorong pelaksanaan penghe-
No. 17 tahun 2013 merupakan jawaban atas perlunya diatur matan energi dan air di instansi pemerintah terutama di wilayah
feed-in tariff per jenis energi terbarukan, tidak seperti Permen luar Jawa. Pemerintah juga akan berupaya melakukan sensus
No. 04 Tahun 2012 yang merupakan gabungan dari bebera- pendataan pemakaian listrik, luas bangunan gedung, kenda-
pa jenis energi terbarukan. Permen ESDM No. 17 Tahun 2013 raan dinas, sumur bor, dan water meter di lingkungan pemer-
merupakan harga jual listrik PLTS fotovoltaik ke PT PLN (Per- intah pusat.
sero) maksimum 25 sen USD/kWh dan dapat meningkat men-
jadi maksimum 30 sen USD/kWh jika TKDN sekurang-kurangn- 10.4. Pengembangan Bioenergi Non Pangan dari Hutan

150 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 151
Kebutuhan energi mengikuti laju perkembangan PDB 31% menurun menjadi 26% di tahun 2015 dan kemudian terus
nasional karena PDB dibentuk dari sektor-sektor pengguna en- turun menjadi 17% pada tahun 2025. Dengan meningkatnya
ergi, seperti industri, transportasi, komersial, dan lainnya. Ber- perekonomian diharapkan peranan sektor komersial dan sektor
dasarkan analisis perkembangan ekonomi, diperkirakan laju lainnya (pertanian, konstruksi, dan pertambangan) akan terus
pertumbuhan GDP rata-rata adalah sebesar 7,1% per tahun, bertambah. Meskipun dengan pangsa yang masih sangat kecil,
hal tersebut akan menyebabkan laju pertumbuhan kebutuhan namun sektor komersial meningkat cukup pesat yaitu sebesar
energi meningkat sebesar 4,7% per tahun atau pada tahun 7,4% per tahun. Demikian juga dengan sektor lainnya berkem-
2030 menjadi 2,4 kali dari tingkat kebutuhan pada tahun 2011. bang dengan laju pertumbuhan sebesar 7,3% per tahun. Dit-
Meningkatnya kebutuhan energi bukan hanya disebabkan oleh injau dari penggunaan jenis bahan bakar, BBM masih terus
sektor industri, namun juga oleh sektor transportasi dan komer- mendominasi kebutuhan energi nasional akibat penggunaan
sial yang terpengaruh langsung oleh perkembangan ekonomi. teknologi saat ini masih berbasis bahan bakar minyak teruta-
Selain itu penggunaan energi di sektor rumah tangga juga ma di sektor transportasi. Sektor-sektor pengguna lainnya pun
mendorong meningkatnya kebutuhan energi secara nasional. tidak terlepas dari penggunaan BBM karena teknologinya yang
Dapat dilihat pada gambar diatas bahwa pertumbuhan kebutu- cukup efisien.
han energi secara total sangat dipengaruhi oleh sektor indus-
tri dan transportasi, sedangkan perkembangan sektor rumah Pemanfaatan BBM meningkat dengan laju pertum-
tangga lebih landai mengikuti laju pertumbuhan penduduk. buhan 6,1% per tahun. Penggunaan batubara dan gas juga
meningkat cukup tinggi, yang banyak dimanfaatkan pada sek-
Sebagai negara berkembang, Indonesia akan menga- tor industri. Teknologi berbasis listrik juga terus berkembang
rah menjadi negara maju yang diindikasikan dengan dominasi pesat dan dominan digunakan hampir di setiap sektor, teruta-
sektor industri dalam menunjang perekonomiannya. Peranan ma di sektor rumah tangga dan komersial. Oleh karena itu, pe-
sektor industri dalam penggunaan energi selalu mendominasi manfaatan listrik meningkat cukup tinggi dengan laju pertumbu-
dan terus meningkat dari 37% pada tahun 2011 menjadi 41% di han 8,4% per tahun. Penggunaan BBM yang berupa biodiesel
tahun 2015 kemudian meningkat sedikit menjadi 42% di tahun dan biopremium yang dipertimbangkan merupakan biosolar
2025. Peranan sektor transportasi sebagai penunjang perger- murni (B100) dan bioethanol murni (E100). Oleh karena itu per-
akan ekonomi juga terus meningkat mengikuti perkembangan anannya dalam kebutuhan energi final masih sangat kecil yaitu
industri. Pangsa sektor transportasi belum berubah dari tahun sebesar 2%.
2011 ke tahun 2015, namun kemudian berkembang pesat pada
tahun 2025 menjadi 33% terhadap total kebutuhan energi fi- Harga minyak bumi yang sulit diprediksi dalam satu
nal. Dengan berkurangnya penggunaan kayu bakar yang ku- dekade terakhir telah mendorong pengembangan bioenergi
rang efisien pada sektor rumah tangga, peranan sektor ini da- sebagai sumber energi alternatif, di luar sumber energi fosil
lam kebutuhan energi terus menurun. Dari tahun 2011 sekitar yang semakin langka. Salah satu bioenergi yang sangat pros-

152 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 153
pektif dikembangkan di Indonesia adalah bioetanol (Daud, et Teknologi pengembangan bioetanol yang menjadi campuran
al., 2012a). Bioetanol merupakan etanol yang dihasilkan dari bahan bakar premium generasi kedua untuk saat ini masih
biomassa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pensubsti- banyak kendala dan masih terbilang mahal. Bahan bakar ber-
tusi bahan bakar minyak (BBM) untuk motor bensin. Sebagai basis biofuel generasi kedua sangat potensial dikembangkan
bahan peng-substitusi bensin, bioetanol dapat diaplikasikan di Indonesia, mengingat negara ini menjadi salah satu peng-
dalam bentuk bauran dengan minyak bensin (EXX), misanya hasil kelapa sawit terbesar di dunia. Tak hanya kelapa sawit,
10% etanol dicampur dengan 90% bensin (gasohol E10) atau biomassa lignoselulosa lainnya juga bisa diperoleh dari tana-
digunakan 100% (E100) sebagai bahan bakar (Hambali, et al., man-tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia juga dapat
2007). dikembangkan.

Saat ini, produksi bioetanol lebih banyak dikembang- Data Dewan Energi Nasional (DEN) memperlihatkan
kan dari pada bahan bergula dan berpati dan seperti gula tebu, selang waktu 2006 hingga 2030, permintaan energi dunia
ubi kayu, dan jagung (bioenergi generasi pertama). Padahal meningkat hingga 45% sehingga dibutuhkan sumber energi
bahan-bahan tersebut merupakan sumber pangan sehingga alternatif selain bahan bakar fosil. Bioetanol merupakan suatu
ke depan akan dapat menimbulkan permasalahan baru akibat bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar bensin. Etil alko-
persaingan antara pemanfaatan bahan bahan baku untuk bio- hol bersifat tak berwarna, sedikit berbau, dan mudah terbakar.
energi dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Oleh karena itu, Pembakaran etanol menghasilkan uap air dan karbon dioksida
perlu pengembangan bioetanol dari bahan yang bukan merupa- dalam jumlah relatif lebih rendah dibanding bahan bakar fos-
kan sumber pangan masyarakat (non edible) yang merupakan il. Rendahnya emisi karbon etanol membuat bahan bakar ini
energi generasi kedua terutama bahan ber-lignoselulosa sep- sebagai alternatif tepat pengganti bahan bakar fosil, yang di-
erti limbah-limbah kayu di hutan, limbah perkebunan, limbah tuding sebagai sumber terbesar gas rumah kaca. Dalam satu
pertanian, dan limbah industri rumah tangga, limbah-limbah dekade terakhir, Brasil menjadi negara paling gencar meng-
penggergajian, serta pengembangan hutan tanaman industri genjot penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif.
untuk energi di Indonesia (Daud, et al., 2012b). Negara yang memproduksi seperempat suplai gula global ini
menjadi contoh bagaimana bioetanol dari tebu bisa dipakai un-
Berbeda dengan bioetanol generasi pertama yang di- tuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Sayangnya, energi
hasilkan dari pati, misalnya dari tanaman singkong, tebu, atau alternatif ini terhambat masalah harga. Bahan baku pembuatan
jagung, yang teknologi prosesnya mudah. Bioetanol generasi bioetanol umumnya berasal dari gandum, jagung, tebu, dan
kedua berasal dari biomassa limbah pertanian atau kehutanan kentang yang menjadi sumber utama pangan dunia. Lonjakan
yang merupakan bahan non pangan. Biomassa bahan selulo- harga komoditas ini membuat bioetanol kurang ekonomis lagi
sa atau lignoselulosa memerlukan teknologi yang prosesnya selain itu merupakan bahan pangan sehingga ke depannya
sangat sulit karena perlu perlakuan awal atau pretreatment. dikhawatirkan akan mengalami persaingan dengan pemenu-

154 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 155
han kebutuhan pangan. Lignoselulosa yang berasal dari limbah duktivitas sekitar 2991.97 dan 3407.59 L/ha per tahun menjadi
berbagai tanaman pangan, berupa kayu, jerami, dan rumput, bioetanol sangat prospektif untuk dikembangkan di Indonesia
dianggap sebagai alternatif bahan baku bioenergi yang paling untuk mengurangi krisis energi. Produksi etanol yang dihasil-
potensial. Limbah rumput dan jerami kering serta kayu umum- kan dengan menggunakan kayu sengon (163.26 L/ton) lebih
nya mengandung biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa, he- tinggi dibandingkan dari ubi jalar (142 L/ton), sweet sorgum
miselulosa, dan lignin. Pada tumbuhan, kandungan lignoselulo- (76.7 L/ton) dan talas (142 L/ton) sedangkan produksi kayu
sa mencapai 90 persen total biomassa. Jerami sebagai limbah gmelina (238.49 L/ton) melebihi produksi ubi kayu (180 L/ton)
tanaman padi juga bisa diolah menjadi etanol. Demikian pula ubi jalar (142 L/ton), sweet sorgum (76.7 L/ton), dan talas (142
limbah kayu hutan, yang bisa diolah menjadi energi hijau. L/ton). Secara umum kayu gmelina (3045.08 L/ha per tahun)
mampu melebihi produktivitas sweet sorgum dan talas den-
Pemanfaatan bioetanol dari bahan berlignoselulosa gan produktivitas masing-masing berturut-turut sekitar 920.4
telah mulai dikembangkan. Beberapa bahan berlignoselulosa dan 2840 L/ha tahun, meskipun produktivitas kayu sengon dan
yang telah diteliti sebagai penghasil bioetanol adalah bagas gmelina ini masih lebih rendah dibandingkan produktivitas biji
(Martinez et al. 2000), jerami (Neureiter et al. 2002), dan kayu sorgum, jagung, ubi jalar dan ubi kayu, dengan produktivitas
tropis (Daud, 2010), bahan berlignoselulosa (Daud, et al 2012). masing-masing berturut-turut sekitar 3112, 4620, 5680, dan
Limbah kelapa sawit (Daud et al., 2013). Produksi bioetanol 7200 L/ha per tahun.
dari bahan berlignoselulosa memerlukan optimalisasi teknologi
proses produksi terutama pada proses perlakuan pendahuluan Berdasarkan data statistik kehutanan 2012, produk-
(pretreatment), hidrolisis (sakarifikasi), dan fermentasi. Salah si kayu Indonesia pada beberapa tahun terakhir (2008-2012)
satu metode yang dapat meningkatkan produktivitas bioetanol mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 produksi kayu bu-
adalah dengan menggunakan perlakuan pendahuluan dengan lat Indonesia sekitar 32,000,786 m3 dan meningkat menjadi
proses kraft dilanjutkan dengan metode metode sakarifikasi 49,258,228 m3 pada tahun 2012. Jika diasumsikan bahwa
dan fermentasi secara simultan/ simultaneous saccharifica- sekitar 45,66% dari produksi kayu tersebut menjadi limbah
tion and fermentation (SSF) (Daud, et al., 2012b). Selain itu, (Sanusi, 1993) dan rendemen etanol dari limbah kayu berkisar
pemanfaatan kultur mikroba murni dalam biokonversi bahan 10.02% (v/v) (Daud, 2012) maka jumlah bioetanol yang berpo-
ber-lignoselulosa juga masih perlu dikembangkan (Daud, et al. tensi diperoleh tergolong tinggi (Tabel ). Jika merujuk pada data
2012c). Ditjen MIGAS (2013) maka pada tahun 2010 jumlah komsumsi
BBM Indonesia adalah 388,241,000 SBM (setara barel minyak)
Hasil penelitian Daud, et al (2012a) menunjukkan atau setara 61,730,319,000 liter minyak. Itu artinya limbah kayu
bahawa pemanfaatan biomassa jenis-jenis kayu tropis teruta- ini dimanfaat untuk mensubstitusi komsumsi BBM maka dapat
ma sengon dan gmelina yang dengan jumlah produksi mas- menurunkan komsumsi BBM sebesar 3,65%.
ing-masing sekitar 163.20 L/ton dan 238.49 L/ton dengan pro-

156 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 157
Tabel 10.4. Potensi Pengmbangan Bioetanol dari Limbah dikonversi adalah 17,814,745 dan dari sekitar 98.56 juta ha
Pengolahan Kayu total hutan Indonesia sekitar 5.449.299,30 ha tergolong san-
gat kritis dan 23.955.162.70 ha tergolong kritis jika itu dapat
direhabilitasi serta hutan lindung (30,096,778 ha) dan hutan
konservasi (22,253,747 ha) dapat dipertahankan kelestariann-
ya maka akan menjadi bank energi Indonesia. Oleh karena itu,
kebijakan pengembangan bioenergi untuk menghasilkan ben-
sin dari hutan produksi dapat dilaksanakan dan hutan lindung
dan konservasi tetap menjadi tempat konservasi energi dan
bank energi Indonesia menuju ketahanan energi dan pangan
Indonesia dengan tetap menjaga kelestarian hutan Indonesia.
Data pada Tabel 10.4. menunjukkan data produksi, Meskipun demikian butuh keberaniaan untuk melaksanakan itu
komsumsi, ekspor dan impor BBM pada tahun 2005 sampai mengingat banyaknya kepentingan dalam kebijakan ekspor im-
dengan 2010 (Data lengkap pada tahun 2011 s/d 2013) di ke- por minyak Indonesia.
menterian ESDM belum tersedia). Berdasarkan tabel pada ta- Tabel 10.5. Data Minyak Bumi (SBM)
hun 2010 jumlah komsumsi BBM Indonesia adalah 388,241,000
SBM (setara barel minyak) atau setara 61,730,319,000 liter
minyak. Cadangan minyak bumi Indonesia saat ini adalah
7,400,000,000 SBM (Ditjen MIGAS 2013). Jika diasumsikan
tidak ada temuan ladang minyak bumi baru maka sekitar 19 ta-
hun lagi negara Indonesia akan menjadi negara murni pengim-
por minyak bumi. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan energi
Indonesia rapuh. Oleh karena itu, perlu pengembangan bioen-
ergi alternatif terutama bahan non pangan untuk mengurangi
persaingan dengan kebutuhan pangan ke depan. Salah sat-
unya dengan mengembangkan terobosan baru yaitu pengem-
bangan hutan tanaman industri untuk bionergi. Jika kebijakan Sumber: Ditjen MIGAS 2013 Setelah Diolah
itu dilaksanakan maka luas hutan tanaman untuk produksi
bionergi untuk memenuhi komsumsi BBM adalah yang dapat
dibangun adalah sekitar 18,115,536 hektar. Dengan luas hutan
produksi tetap Indonesia saat ini (Kementerian Kehutanan
2013) adalah 30,180,157 ha dan hutan produksi yang dapat

158 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 159
KONSERVASI ENERGI DI KAWASAN
11
KONSERVASI (STUDI KASUS ES-
TIMASI BIOMASSA, KARBON,
SERAPAN KARBON DIOKSIDA DAN
CADANGAN ENERGI KEBUN RAYA
SEBELAS MASSENREMPULU ENREKANG)

Perubahan iklim merupakan salah satu isu global saat


ini, negara–negara di seluruh dunia berusaha untuk menga-
tasinya secara bersama-sama. Wujud usaha yang dilakukan
yaitu dihasilkannya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Protokol
Kyoto merupakan implementasi konvensi perubahan iklim di-
antara negara-negara yang memiliki kepedulian terhadap
dampak perubahan iklim yang terjadi. Isi dari Protokol Kyoto
pada dasarnya adalah “kewajiban untuk menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) harus dilakukan oleh negara–nega-
ra yang memiliki emisi besar terutama negara industri, nega-
ra maju dan negara–negara berkembang yang memiliki emisi
relatif kecil”.

160 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 161
Ada beberapa mekanisme yang tertera pada Protokol bat deforestasi dan degradasi hutan serta adanya upaya miti-
Kyoto sebagai bentuk usaha menurunkan emisi Gas Rumah gasi melalui upaya konservasi dan pembangunan hutan, maka
Kaca (GRK). Salah satunya berupa Clean Development Mech- kuantifikasi atau perhitungan persediaan karbon hutan perlu
anism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dan men-
Mekanisme ini hanya dapat diikuti oleh negara–negara berkem- gevaluasi pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) di dun-
bang termasuk negara Indonesia. Mekanisme ini dilakukan an- ia terutama di Indonesia. Hal paling mendasar yang perlu di-
tara negara berkembang dengan negara maju. Negara maju siapkan untuk menyusun strategi dalam rangka pengurangan
sebagai investor dapat menurunkan target emisinya dengan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) adalah dengan cara menge-
melakukan proyek–proyek Clean Development Mechanism tahui besarnya cadangan karbon dan energi di setiap perun-
(CDM) di negara berkembang dan memperoleh Certified Emis- tukan lahan dan potensi perubahan cadangan karbon akibat
sion Reductions (CER) dari lembaga independen internasional, aktivitas manusia. Pada bab ini akan dikaji tentang konservasi
sedangkan negara berkembang mendapatkan kompensasi be- energi pada hutan konservasi. Data yang diperoleh merupakan
rupa tambahan dana dan alih teknologi untuk mencapai tujuan hasil penelitian penulis mengenai estimasi potensi cadangan
pembangunan berkelanjutan, serta tujuan utama dari konven- karbon dan serapan karbon dioksida serta cadangan energi
si. Selain Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme hutan (Studi Kasus Kebun Raya Massenrempulu Enrekang).
yang tertera pada Protokol Kyoto adalah Joint Implementation Kebun Raya (Botanical Garden) adalah kawasan konserva-
(JI), yaitu kerja sama antar negara maju untuk mengurangi emi- si tumbuhan secara ex-situ yang memiliki koleksi tumbuhan
si Gas Rumah Kaca (GRK) yang mereka hasilkan dan Emission terdokumentasi dan ditata berdasarkan klasifikasi taksonomi,
Trading (ET), yaitu perdagangan emisi antara sesama negara bioregion, tematik, atau kombinasi dari pola-pola tersebut un-
maju (Wardana, 2010). tuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata,
dan jasa lingkungan (Dephut, 2011). Selain itu, Kebun Raya
Aktivitas manusia yang mengakibatkan deforestasi dan berpotensi sebagai area yang berfungsi untuk penyerap karbon
degradasi hutan yang berkembang saat ini dinilai telah mem- dan emisi CO2.
berikan kontribusi dalam peningkatan emisi karbon dioksida
(CO2) di atmosfer yang memicu pada pemanasan global dan Perubahan iklim didefinisikan sebagai berubahnya
perubahan iklim bumi. Untuk mengatasi permasalahan ini, per- kondisi fisik atmosfer bumi antara lain temperatur dan distri-
an hutan sebagai penyerap karbon dioksida (CO2) dan meny- busi curah hujan dan berdampak luas terhadap kehidupan
impannya dalam bentuk biomassa harus terus dipertahankan manusia (Sularso, 2011). Perubahan iklim global akibat pem-
dan ditingkatkan dengan cara pembuatan hutan tanaman dan anasan global telah menjadi isu yang serius ditanggapi oleh
melakukan penanaman kembali hutan-hutan yang gundul. negara-negara di dunia. Peningkatan emisi gas rumah kaca
(GRK) yang didominasi oleh CO2, CH4, dan N2O menjadi fak-
Adanya peningkatan emisi karbon dioksida (CO2) aki- tor utama terjadinya pemanasan global. Lusiana et al. (2005)

162 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 163
menegaskan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer iklim. Melalui kesepakatan bertajuk United Nations Framework
sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama Convention on Climate Channge (UNFCCC), negara-negara di
perubahan penggunaan lahan dan penggunaan bahan bakar dunia setiap tahunnya melakukan pertemuan untuk membahas
fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga, dan aktivitas in- isu terkini tentang perubahan iklim dalam bentuk pertemuan
dustri. Rata-rata temperatur bumi meningkat 0.6°C dan masih yang dinamakan Conference of Parties (COP). Indonesia se-
sangat memungkinkan untuk terus meningkat. Konsentrasi bagai salah satu negara yang telah merativikasi UNFCCC,
CO2 di atmosfer pada tahun 1998 sebesar 360 ppm, dengan pernah menjadi tuan rumah pertemuan COP-13 di Nusa Dua
kenaikan per tahun sebesar 1,5 ppm, sehingga dapat diprediksi Bali Tahun 2007 yang di dalamnya membahas dengan serius
100 tahun mendatang rata-rata temperatur global akan mening- salah satu upaya mitigasi yang dapat dilakukan yaitu konsep
kat 1,7-4,5°C. Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degra-
dation (REDD). Konsep REDD ini pertama kali dibahas dalam
Selain sektor peternakan, sektor kehutanan penyum- pertemuan COP-11 di Montreal tahun 2005. REDD merupakan
bang terbesar dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan satu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk mem-
melalui kegiatan manusia dan pengaruh alam, diantaranya berikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang
penebangan, perambahan hutan, konversi lahan, kebakaran yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan, dan aktivitas lainnya. Bakri (2009) menerangkan bahwa hutan (Masripatin, 2007). Saat ini REDD, berkembang menja-
usaha untuk menurunkan emisi karbon yang merupakan salah di mekanisme penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi
satu unsur gas rumah kaca tersebut sebenarnya dapat dilaku- hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara berkelan-
kan dengan berbagai cara, diantaranya: (a) mempertahankan jutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan, yang umum
cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan di sebut REDD+. REDD+ merupakan pengembangan dari
lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek sil- konsep sebelumnya. Tidak hanya sekedar mengurangi defor-
vikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut, dan estasi dan degradasi hutan, REDD+ juga mempertimbangkan
memperbaiki cadangan bahan organik tanah, (b) meningkat- peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon hutan serta
kan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu, pengelolaan hutan secara lestari (sustainable forest manage-
dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang ment) yang mencakup kelestarian produksi, ekologi, dan sosial
dapat diperbaharui secara langsung maupun tidak langsung budaya setempat dan penilaiannya (Kementrian Kehutanan,
(angin, biomassa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas 2010).
panas bumi.
Karbon adalah salah satu unsur yang terdapat dalam
Melalui berbagai pertemuan internasional, negara-neg- bentuk padat maupun cairan di dalam perut bumi, di dalam
ara di dunia mulai menyusun upaya-upaya mitigasi yang dapat batang pohon atau dalam bentuk gas di udara (atmosfer).
dilakukan dalam mengatasi permasalahan terkait perubahan Hairah dan Rahayu (2007) menjelaskan bahwa karbon yang

164 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 165
terdapat di atas permukaan tanah terdiri atas biomassa pohon, mak, belukar, herba, dan rerumputan).
biomassa tumbuhan bawah (semak belukar, tumbuhan men- c. Sampah hutan, yaitu pada biomassa mati di atas lantai hutan,
jalar, rumput-rumputan, atau gulma), nekromasa (batang po- termasuk sisa pemanenan.
hon mati), dan serasah (bagian tanaman yang telah gugur dan d. Tanah (S), yaitu pada karbon tersimpan dalam bahan or
ranting yang terletak diatas permukaan tanah). Dalam siklus ganik (humus) maupun dalam bentuk mineral karbon.
karbon, vegetasi melalui fotosintesis merubah CO2 dari udara Karbon dalam tanah mungkin mengalami peningkatan atau
dan air yang menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Karbohi- penurunan tergantung pada kondisi tempat sebelumnya dan
drat yang terbentuk disimpan oleh vegetasi dan sebagian oksi- kondisi pengolahan.
gen dilepaskan ke atmosfer (Fardiaz, 1995). Menurut Whitmore
(1985) umumnya karbon menyusun 45 – 50% berat kering dari Dalam inventarisasi karbon hutan, karbon pool (kan-
biomassa. tung karbon) yang diperhitungkan setidaknya ada 3 kantung
karbon. Kantong karbon adalah wadah dengan kapasitas un-
Karbon di udara mempunyai peranan yang sangat tuk menyimpan karbon dan melepaskannya. Keempat kantong
penting dalam proses fotosintesis. Tumbuhan memerlukan karbon tersebut adalah biomassa atas permukaan, biomassa
sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari uda- bawah permukaan, bahan organik mati, dan karbon organik
ra serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk ke- tanah, sedangkan pengertian dari masing-masing 3 kantung
langsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 diserap karbon adalah :
oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian dise- 1. Biomassa atas permukaan tanah adalah semua material
barkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam hidup di atas permukaan tanah, termasuk bagian dari kan
tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga, dan buah. tong karbon di permukaan tanah ini adalah pada batang,
Proses penimbunan karbon dalam tubuh tanaman hidup dina- tunggul, cabang, kulit kayu, biji, dan daun dari vegetasi baik
makan proses sekuestrasi (C-sekuestration). Dengan demikian dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di
mengukur jumlah karbon dalam tubuh tanaman hidup (biomas- lantai hutan.
sa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 2. Biomassa bawah permukaan tanah adalah biomassa dari
di atmosfer yang diserap tanaman (Hairah dan Rahayu, 2007) akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hing
ga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilaku
Menurut Hairiah (2007), dalam tegakan hutan, karbon terdapat kan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil
pada : dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan ba
a. pohon dan akar ( Tr), yaitu pada biomassa hidup baik yang han organik tanah dan serasah.
terdapat di atas permukaan tanah atau di bawah permukaan 3. Bahan organik mati meliputi kayu dan serasah. Serasah din
dari berbagai jenis pohon yatakan sebagai semua bahan organik mati dengan berbagai
b. Vegetasi lain (OV), yaitu pada vegetasi bukan pohon (se tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu

166 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 167
mati, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari bakaran, seperti bahan bakar fosil dan biomassa yang mem-
diameter yang telah ditetapkan adalah semua bahan organik busuk atau terbakar. Karbon dioksida juga dapat dilepaskan
mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih ketika terjadi kegiatan alih guna dan kegiatan industri (Hairiah,
tegak maupun yang roboh di tanah. 2007). Karbon dioksida adalah penyebab paling dominan ter-
hadap adanya perubahan iklim saat ini dan konsentrasinya di
Oleh karena itu, diperlukan kemampuan untuk meng- atmosfer telah naik dari masa pra industri yaitu 278 ppm (parts
hitung persediaan karbon hutan secara spasial dan memantau permillion) menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Pemanasan
perubahan stok karbon (baik karbon yang hilang akibat defor- yang terjadi pada sistem iklim bumi merupakan hal yang jelas
estasi dan degradasi hutan, atau terjadinya akumulasi penam- terasa, seiring dengan banyaknya bukti dari pengamatan ke-
bahan karbon akibat proses pertumbuhan hutan kembali). naikan temperatur udara dan laut, pencairan salju dan es di
Menurut IPCC (2007), hilangnya stok karbon terrestrial yang berbagai tempat di dunia dan naiknya permukaan laut global
merupakan komponen emisi gas rumah kaca secara global, tel- (IPCC, 2001).
ah memberikan kontribusi sebesar 35% dari total emisi global
dan sekitar 18% dari emisi tahunan. Untuk Indonesia, hilang- Kontribusi emisi karbon dioksida terhadap efek rumah
nya stok karbon hutan akibat deforestasi dan degradasi hutan kaca sebesar 48%, yang diikuti oleh sumber emisi emisi lainn-
(perubahan penggunaan lahan) diperkirakan mencapai 65% ya seperti freon 26%, ozon 10%, metan 8%, dinitrogen oksida
dari total emisi karbon nasional. 6%, dan gas lain 2% (Pirkko, 1990). IPCC (2001) juga melapor-
kan bahwa kontribusi karbon dioksida terhadap pemanasan
Karbon hutan tersimpan dalam bentuk biomassa se- global sebesar 60%, metan 20%, dan nitro oksida 6%. Sejak ta-
hingga untuk mengetahui kandungan karbon yang tersimpan hun 1980, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer diperkirakan
dalam hutan dapat diperoleh dengan menghitung kandungan sebesar 367 ppm. Berbagai studi dan laporan menunjukkan
biomassa hutan. Biomassa hutan didefinisikan sebagai jumlah Indonesia emiter ke tiga di dunia (Peace, 2007). Sedangkan
total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk apabila tanpa LULUCF (Land Use, Land Use Change and For-
seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi atau komu- estry) dalam laporan WRI (Baumert et al., 2005) menunjukkan
nitas, dan dinyatakan dalam berat kering per satuan area (ton/ Indonesia diperingkat 15. Untuk itu Indonesia merencanakan
unit area). Kegiatan ini untuk menyiapkan data dan informasi target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020, dengan
mengenai biomassa hutan dalam rangka pembangunan Sistem kontribusi sektor kehutanan ditetapkan sebesar 14%. Upaya
Perhitungan Karbon Nasional Indonesia (Indonesia National penurunan emisi sektor kehutanan dapat dilakukan dengan
Carbon Accounting System/INCAS). berbagai cara. Hal tersebut dapat dilakukan karena pada prin-
sipnya adalah pengurangan emisi dengan menjaga dan mem-
Karbon dioksida merupakan gas-gas yang terdapat pertahankan stok karbon yang ada serta meningkatkan sera-
di atmosfer, dihasilkan sebagai produk sampingan dari pem- pan melalui berbagai program pembangunan salah satunya

168 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 169
adalah pembangunan kebun raya. hutan tanaman dari hasil kegiatan misalnya HTI (Hutan Ta-
naman Industri), HTR (Hutan tanaman Rakyat), HR (Hutan
REDD+ adalah perubahan kerangka kerja ekonomi, Rakyat), serta angka kerusakan hutan seperti logging, keba-
peraturan, tata kelola, termasuk devolusi hak para pengguna lo- karan, dan data lainnya. Tantangan untuk membangun MRV
kal, penghapusan insentif yang merugikan, seperti subsidi dan (Measurable, Reportable, dan Verifiable) adalah bagaima-
konsesi yang mendukung kepentingan ekonomi tertentu dan na masyarakat dan para pihak terkait dapat melakukan pen-
merangsang deforestasi dan degradasi hutan, dan reformasi gukuran yang kredibel dalam pemantauan penurunan cadan-
kebijakan serta peraturan industri kehutanan yang secara efek- gan karbon dan penambahan cadangan karbon dari kegiatan
tif mengurangi pemanenan hasil hutan yang tidak lestari (Kan- REDD+ ( Angelsen, 2010).
ninen, dkk., 2007). REDD+ secara luas didevinisikan sebagai
tindakan-tindakan lokal, nasional dan global yang mengurangi 11.1. Keadaan Umum Lokasi
emisi karena deforestasi dan degradasi hutan, serta mening- Kebun Raya Massenrempulu terletak 25 km dari kabu-
katkan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang paten tepatnya di Desa Batu Mila, Kecamatan Maiwa, Kabupat-
(Angelsen, 2010). en Enrekang, Propinsi Sulawesi Selatan. secara geografis ka-
bupaten Enrekang terletak di posisi 3° 33’ 47,58” LS dan 119°
REDD+ merupakan kerangka kerja REDD atau Re- 45’ 40, 56” BT. Luasnya kurang lebih 300 ha, terletak pada
ducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation ketinggian 70 – 155 m dpl. Daerah kecamatan Maiwa dengan
(pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), curah hujan rendah dan masuk dalam golongan iklim tipe C
yang lebih luas dengan memasukkan konservasi hutan, pen- dengan intensitas sinar matahari penuh sepanjang tahun. Bu-
gelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon agar lan basah jatuh pada Januari – Juni dengan rata-rata bulanan
partisipasi untuk menerapkan REDD semakin luas serta untuk 100 mm, musim kering jatuh pada bulan Agustus - Desem-
memberikan penghargaan kepada negara-negara yang sudah ber dengan rata-rata bulanan 30 mm. Topografi Kebun Raya
berupaya melindungi hutannya (Angelsen, 2010). Massenrempulu berbukit-bukit diwarnai oleh karst sebagai
pegunungan kapur, umumnya kelerengan di atas 45% dan
Salah satu komponen penting untuk pelaksanaan wilayah datarnya sekitar 17%. Jenis tanah berbeda-beda yaitu
REDD+ adalah pengukuran pelaporan dan verifikasi (MRV) tanah Alluvial, Mediteria, dan Podosolik merah kuning.
yang transparan, lengkap, dan akurat. Untuk mendukung MRV
(Measurable, Reportable, dan Verifiable) perhitungan emisi 11.2. Hasil Penelitian
REDD+ harus didasarkan pada data perubahan tutupan hutan a. Biomassa
dari remote sensing, penggunaan faktor emisi dan faktor sera- Dari hasil observasi vegetasi pada tingkat pohon ter-
pan lokal serta tersedianya data kegiatan seperti perubahan dapat 10 jenis yaitu: jambu burung, bitti, gmelina, salam, sipate,
luas berbagai penutupan luas, luas sub kategori hutan, luas aren, jabon, cinnamomun sp, bampu, pokpong, dan beringin.

170 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 171
Adapun jenis yang dominan atau yang berperan besar dalam kat pohon, karena pohon memiliki diameter yang paling besar
penguasaan ekologis pada komunitas hutan di kawasan ini dengan total jumlah biomassanya 127,54 ton/ha. Biomassa
adalah jambu burung, aren (Arenga pinnata), jati putih (Gmeli- pada lokasi penelitian berdasarkan tingkat strata berturut-turut
na arborea), dan jabon (Anthocepalus cadamba). Pada tingkat 127,54 ton/ha untuk tingkat pohon, 31,16 ton/ha untuk tingkat
tiang terdapat 8 jenis yaitu: jambu burung, diospyros makrofIlla, tiang, 27,65 ton/ha untuk tingkat pancang, 1,61 ton/ha untuk
tarrak, bau, kandung, rambutan, gmelina, dan bampu yang di- tingkat tumbuhan bawah dan 4,24 ton/ha. total biomassa pada
dominasi oleh jambu burung, jati putih (Gmelina arborea), dan hutan campuran adalah 192,23 ton/ha. Banyaknaya biomassa
kandung. Sedangkan Untuk tingkat pancang ada 5 jenis, yaitu: pada hutan campuran dalam penelitian ini hampir sama dengan
rotan, tectona grandis, peawan, diospyros makrofila, dan cin- hasil penelitian Yamami (2013) pada Hutan Alam Sekunder di
namomun sp yang didominasi oleh rotan. Desa Mandiangin Kalimantan Barat yaitu 199,76 ton/ha.

Penghitungan biomassa, karbon dan serapan karbon Jenis vegetasi yang mendominasi atau yang berperan pal-
dioksida total vegetasi tingkat pancang, tiang, dan pohon den- ing besar dalam penguasaan ekologis pada lokasi ini adalah
gan kriteria tinggi mulai dari 1,5 m dengan diameter ≥ 10 cm. jenis Melastoma. Untuk nilai persentase biomassa rata-rata
Penempatan plot pengukuran dipilih berdasarkan komposisi pada penutupan lahan semak belukar yaitu sebesar 13,22 ton/
vegetasi dengan memperhatikan keterwakilan kelas diameter. ha untuk tingkat semak belukar dan 3,46 ton/ha untuk serasah.
Total biomassa rata-rata pada lokasi semak belukar adalah
16,68 ton/ha. Biomassa pada lokasi semak belukar dalam pe-
nelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Syam’ani pada
Hutan Alam Sekunder Kalimantan Selatan yaitu 17,36 ton/ha.
Biomassa serasah pada lokasi semak belukar lebih kecil jika
dibandingkan dengan biomassa serasah pada hutan campu-
ran, hal ini diduga karena serasah pada hutan campuran me-
mang lebih banyak daripada serasah pada lokasi semak belu-
Gambar 12.1. Grafik Nilai Persentase Rata-Rata Biomassa kar. Dari hasil observasi biomassa pada lokasi padang rumput
Pada Hutan Campuran Pada Masing-Masing diketahui bahwa jenis yang dominan atau yang berperan besar
Strata. dalam penguasaan ekologis pada komunitas padang rumput
Biomassa pada hutan campuran terdiri dari biomassa po- adalah jenis alang-alang. Berdasarkan Tabel 4, jumlah bio-
hon, tiang, pancang, tumbuhan bawah, serasah, dan akar. massa rata-rata pada lokasi padang rumput dalam penelitian
Pada Gambar 12.1. menunjukkan persentase nilai biomassa ini adalah 13,62 ton/ha. Biomassa pada lokasi padang rumput
tiap strata pada pada hutan campuran. Dari Gambar 12.1. dalam penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Ya-
diketahui bahwa jumlah biomassa terbesar terdapat pada ting- mami (2013) pada Hutan Alam Sekunder di Desa Mandiangin

172 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 173
Kalimantan Barat yaitu 14,75 ton/ha. 1,5 m, termasuk herba, perdu, efifit, liana, dan rumput. jumlah
kandunngan karbon pada tumbuhan bawah sebesar 0,75 ton/
b. Karbon ha. Cadangan karbon pada serasah hutan campuran. Sera-
Cadangan karbon pada hutan campuran ditentukan sah adalah lapisan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan
berdasarkan nilai total semua biomassa vegetasi pada hutan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang bun-
campuran yang dihasilkan dari persamaan nilai koefisien a ga, bunga buah, kulit kayu, serta bagian-bagian lainnya yang
dan b, kemudian melalui pendekatan biomassa dengan asum- menyebar dipermukaan tanah dibawah lantai hutan, sebelum
si bahwa 47 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan bahan-bahan tersebut mengalami dekomposisi. Jumlah cadan-
(SNI 7724, 2011). gan karbon serasah pada hutan campuran adalah 1,99 ton/ha.

Total cadangan karbon rata-rata pada di lokasi hutan


campuran dalam penelitian ini sebesar 90,31 ton/ha. Total
cadangan karbon rata-rata dalam pelitian ini hampir sama
dengan hasil penelitian Yamami (2013) pada Hutan Alam
Sekunder di Desa Mandiangin Kalimantan Selatan yaitu 88,75
ton/ha. Nilai persentase rata-rata kandungan karbon pada lo-
kasi semak belukar diperoleh dengan cara mengeringkan sam-
pel dengan oven, lalu ditimbang, dihitung biomassanya, dan
dikonversikan menjadi nilai karbon dengan faktor konversi 0,47
(SNI 7724, 2011). Total kandungan karbon rata-rata pada lo-
Gambar 12.2. Persentase Rata-Rata Cadangan Karbon Pada kasi semak belukar merupakan penjumlahan dari simpanan
Hutan Campuran Pada Masing-Masing Strata.
karbon semak belukar dengan karbon serasah. Hasil perhitun-
Berdasarkan Gambar 12. 2, jumlah kandungan karbon gan karbon pada lokasi semak belukar yaitu 6,2 ton/ha untuk
rata-rata pada tingkat pohon atau tegakan yang mempunyai semak belukar dan 1,62 ton/ha untuk serasah. Total rata-rata
diameter di atas 20 cm adalah 59,94 ton/ha, yang kandungan cadangan karbon pada semak belukar adalah 7,82 ton/ha. To-
karbon pada tingkat pohon lebih besar jika dibandingkan den- tal cadangan karbon dalam penelitian ini hampir sama dengan
gan tingkat strata yang lainnya. Jumlah kandungan karbon ra- hasil penelitian Syam’ani (2006) di hutan alam sekunder Aman-
ta-rata pada tingkat tiang adalah 14,64 ton/ha, sedang jumlah dit Kalimantan Selatan yaitu 8,35 ton/ha. Nilai persentase ra-
kandungan karbon pada tingkat pancang adalah 12,99 ton/ ta-rata cadangan karbon pada lokasi padang rumput diperoleh
ha. Cadangan karbon pada tumbuhan bawah (understorey). dengan cara mengeringkan sampel dengan oven, lalu ditim-
Tumbuhan bawah dalam hal ini yang dimaksud adalah veg- bang, dihitung biomassa-nya, dan dikonversikan menjadi nilai
etasi yang berdiameter di bawah 10 cm dan tinggi di bawah karbon dengan faktor konversi 0,47 (SNI 7724, 2011). Potensi

174 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 175
cadangan karbon rata-rata pada lokasi padang rumput adalah per tahun untuk serasah. Total serapan karbon dioksida pada
6,37 ton/ha. Cadangan karbon pada lokasi padang rumput da- lokasi hutan campuran adalah 24,03 ton/ha per tahun. Total
lam penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Yamami serapan karbon dioksida rata-rata pada hutan campuran dalam
(2013) pada Hutan Alam Sekunder di Desa Mandiangin Kali- penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Samsoedin
mantan Selatan yaitu 6,75 ton/ha. pada hutan alam sekunder di Batang Totu Sumatra Utara yaitu
sebesar 25,40 ton/ha. Nilai persentase rata-rata serapan kar-
c. Serapan Karbon Dioksida bon dioksida pada lokasi semak belukar diperoleh dengan cara
Serapan karbon dioksida rata-rata pada hutan campu- mengeringkan sampel dengan oven, lalu ditimbang, dihitung
ran diketahui berdasarkan nilai total pertumbuhan biomassa biomassanya, dan dikalikan dengan faktor konversi serapan
per tahun vegetasi pada hutan campuran yang dihasilkan dari karbon dioksida (1,4667), (SNI 7724, 2011).
persamaan nilai koefisien a dan b, kemudian biomassa dika-
likan dengan faktor konversi serapan karbon dioksida (1,4667). Potensi serapan karbon dioksida rata-rata pada lokasi
semak belukar adalah 4,45 ton/ha per tahun untuk semak be-
lukar dan 1,25 ton/ha per tahun untuk serasah. Total serapan
karbon dioksida pada lokasi semak belukar adalah 5,7 ton/ha
per tahun . Total serapan karbon dioksida pada lokasi semak
belukar dalam penelitian ini hampir sama dengan hasil pene-
litian Samsoedin pada hutan alam sekunder di Batang Totu
Sumatra Utara yaitu 6, 05 ton/ha per tahun. Nilai persentase
rata-rata serapan karbon dioksida pada lokasi padang rumput
diperoleh dengan cara mengeringkan sampel dengan oven, lalu
ditimbang, dihitung biomassanya, dan dikalikan dengan faktor
konversi serapan karbon dioksida (1,4667) (SNI 7724, 2011).
Gambar 12.3. Rata-Rata Serapan Karbon Dioksida Pada Padang rumput adalah 5,07 ton/ha per tahun. Serapan karbon
Hutan Campuran Pada Masing-Masing Strata.
dioksida rata-rata pada lokasi padang rumput dalam penelitian
Potensi serapan karbon dioksida rata-rata pada lokasi ini hampir sama dengan hasil penelitian Yamani pada lokasi
hutan campuran berdasarkan tingkat strata dapat dilihat pada padang rumput di Mandiangin Kalimantan Barat yaitu 5,73 ton/
Gambar 13.3. Bersarkan Gambar 12.3 serapan karbon dioksi- ha per tahun.
da rata-rata pada hutan campuran berturut-berturut-turut 9,18
ton/ha per tahun untuk tingkat pohon, 5,62 ton/ha per tahun un- e. Cadangan Energi
tuk tingkat tiang, 4,75 ton/ha per tahun untuk tingkat pancang, Hutan dapat menyimpan energi matahari dari hasil fo-
2,37 ton/ha per tahun untuk tingkat semai dan 2,11 ton/ha tosisntesis dalam bentuk ikatan-ikatan kimia komponen kimia

176 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 177
yang menyusun kayu (biomassa). Tabel 13.1, menunjukkan 11.3. Biomassa Total, Cadangan Karbon dan Serapan
cadangan energi pada masing-masing strata dan total cadangan Karbon Dioksida di Kebun Raya Massenrempulu
energi hutan pada kebun raya Massenrempulu. Total cadan- Enrekang
gan energi yang tersimpan berkisar 963,200,000 kkal atau se- Berdasarkan hasil observasi di Kebun Raya Massenre-
tara 91,733.33 liter BBM dan setara dengan 576.94 SBM. Pada mpulu Enrekang dengan luas 300 hektar didapatkan 3 kelas
penutupan lahan berupa semak belukar menyimpan energi penutupan lahan yaitu hutan campuran, semak belukar, dan
83400000 kkal (49.96 SBM) sedangkan pada penutupan lah- padang rumput. Biomassa total, cadangan karbon dan serapan
an padang rumput menyimpan sekitar 68100000 kkal ( 40.79 karbon dioksida dihitung dengan mengalikan nilai biomassa ra-
SBM). Jika luas penutupan hutan Indonesia saat ini sekitar ta-rata, cadangan karbon dan serapan karbon dioksida dengan
98.56 juta ha (Kementerian Kehutanan 2013) maka cadangan luas setiap penutupan lahan.
energi Indonesia dari hutan berkisar 56863127882.6 SBM dan
total komsumsi energi total Indonesia sekitar 1,016,350,000 Tabel 11.2. Biomassa Total, Cadangan Karbon Dan Serapan
SBM/tahun (Kementerian ESDM, 2013). Hal ini berarti hutan Karbon Dioksida Pada Kebun Raya Massenrem
pulu Enrekang.
saat ini dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia sampai
56 tahun ke depan. Akan tetapi mengingat hutan terus menyer-
ap energi matahari maka cadangan energi Indonesia masih
terus bertambah dengan catatan luas hutan dipertahankan dan
dikelolah secara lestari dan berkelanjutan dengan dimanfaat-
kan berdasarkan nilai maximum suistainable yield (MSY) seh-
ingga ketahanan energi Indonesia dapat dicapai.
Tabel 12.1. Potensi Bionergi Di Tegakan Hutan di Kebun
Raya Enrekang

Biomassa total pada penutupan lahan hutan campu-


ran, semak belukar dan padang rumput pada Kebun Raya

178 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 179
Massenrempulu Enrekang berturut-turut 53341.90 ton; 300.07
ton; 61.56 ton. Total biomassa pada Kebun Raya Massenre-
mpulu Enrekang adalah 53703,53 ton. Cadangan karbon total
pada penutupan lahan hutan campuran, semak belukar dan
padang rumput pada Kebun Raya Massenrempulu Enrekang
berturut-turut 25,060.12 ton; 140.68 ton; 28.79 ton. Total
cadangan karbon pada Kebun Raya Massenrempulu Enrekang
adalah 25,229.59 ton. Serapan karbon dioksida total, pada pe-
nutupan lahan hutan campuran, semak belukar, dan padang
rumput pada Kebun Raya Massenrempulu Enrekang ber-
turut-turut 6668.08 ton/tahun; 102.54 ton/tahun; 22.91 ton/ta-
hun. Total serapan karbon dioksida pada Kebun Raya Massen-
rempulu Enrekang adalah 6793,53 ton/tahun. Cadangan energi
pada penutupan lahan hutan campuran, semak belukar, dan
padang rumput pada Kebun Raya Massenrempulu Enrekang
berturut-turut 160095; 899 dan 184 SBM dengan cadangan
energi total 161,178 SBM. Tabel 12.2., di atas menunjukkan
bahwa cadangan energi pada kawasan konservasi sangat be-
sar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bank energi untuk
mencapai ketahanan dan kedaulatan energi nasional.

180 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim S, Mandang YI, Sutisna U. 2004. Atlas Kayu


Indonesia Jilid III. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehuatanan, |
Departemen Kehutanan.

Angelsen A., 2010. Mewujudkan REDD+: Strategi nasional


dan berbagai pilihan kebijakan. CIFOR, Bogor,
Indonesia.

Alriksson B, Rose SH, Zyl WHV, Sjode A, Nilvebrant NO,


Jonsson L. 2009. Cellulase Production from Spent
Lignocellulose Hydrolysates with Recombinant
Aspergillus niger. USA: American Society for
Microbiology.
Ayako E, Toshihide N, Akira A, Ken T, Jun S. 2008.
Genome-wide Screening of the Genes Required for
Tolerance to Vanillin, which is a Potential Inhibitor
of Bioetanol Fermentation in Saccharomyces
cerevisiae. Biotechnology for Biofuels Journal 1 (1):

BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 181


1-8. Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products
and Wood Science: An Introduction. Edisi Keempat.
Balat M, Balat H, Oz C. 2008. Progress in Bioetanol Iowa: Iowa State Press.
Processing. Progress in Energi and Combustion
Science Journal 34 (5): 551-573. BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 2013.
Outlook Energi Indonesia 2013 : Pengembangan
Ballestros I, Olivia JM, Manzares P, Cabanas A, Navarro Energi Dalam Mendukung Sektor Transportasi
AR, Ballestros M. 1998. Effect of Surfactant and Dan Industri Pengolahan Mineral. Sugiyono, A., A.
Zeolites on Simulatneous Saccharfication and D. Permana, M. S. Boedoyo dan Adiarso, Editor.
Fermentation of Steam Exploded Poplar Biomass to Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya
Ethanol. Appl Biochem Biotechnol 72: 369:381. Energi (PTPSE) Kementerian ESDM dan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.
Ballesteros M, Oliva JM, Negro MJ, Manzanares P, Ballesteros
I. 2004. Ethanol from Lignocellulosic Materials Brown HP, Panshin AJ, Forsaith CC. 1952. Textbook of
by a Simultaneous Saccharification and Wood Technology: The Physical, Mechanical, and
Fermentation Process (SFS) with Kluyveromyces Chemical Properties of the Commercial Woods of
marxianus CECT 10875. Process Biochemistry the United States Volume II. New York:
Journal 39: 1843-1848. McGraw-Hill.

Barnett JR, Jeronimidis G. 2003. Wood Quality and Its Bruce A, Palfreyman W. 1998. Forest Products Biotechnology.
Biological Basis. United Kingdom: Blackwell Salisbury: International Ltd.
Publishing, Ltd.
Campbell IM. 1983. Biomass, Catalysts and Liquid Fuel.
Baumert, K., A. T. Herzog and J. Pershing. 2005. Navigating Pensylvania: Technomic Publishing Co. Inc.
the Number Greenhouse Gas Data and Internasional
Climate Policy. Word Resource Institute. Casey JP. 1980. Pulp and Paper, Chemistry and Chemical
Technology. Edisi Ketiga, Vol I. Willey. John Wiley
Biermann C.J. 1993. Essential of Pulping and Papermaking. & Sons. New York.
California: Academic Press, Inc.
Cetin NS, Ozmen N. 2003. Studies on Lignin-Based Adhesives
Blanco M, Peinado AC, Mas J. 2004. Analytical Monitoring for Particleboard Panels. Turk J Agric For 23: 183-
of Alcoholic Fermentation Using NIR Spectroscopy. 189.
Journal of Biotechnology and Bioengineering 88
(4): 536-542. Conner, 1977. Oxidation. Occurrence, Formation, Struture
and Reactions. New York: Wiley-Intersci.
Boussaid A, Robinson J, Cai YJ, Gregg DJ, Saddler JN.
1999. Fermentability of the Hemicellulose-Exploded Dadi AP, Varanasi S, Schall CA. 2006. Enhancement of
Softwood (Douglas Fir). Journal of Biotechnology Cellulose Saccharification Kinetics Using an Ionic
and Bioengineering 64 (3): 285-289. Liquid Pretreatment Step. Journal of Biotechnology

182 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 183
and Bioengineering 95 (5): 904-910. Springer-Verlag. Berlin pp.33-61.

Daud M. 2010. Produksi Bioetanol Dari Beberapa Jenis [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2011. Peraturan
Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Presiden Nomor 93 tahun 2011 Tentang Kebun
Fermentasi Secara Simultan. Tesis. Sekolah Raya. http://www.dephut.go.id [15 September
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor (Tidak 2013].
Dipublikasikan).
Domingues M, Dantas MM, Lima N, Teixeria JA. 1999.
Daud M, W Syafii dan K. Syamsu. 2012a. Biokonversi Fractionation of Sugar Beet Pulp into Pectin,
Bahan Berlignoselulosa menjadi Bioetanol Cellulose, and Arabinases Combined with Ultra
Menggunakan Aspergillus niger dan Saccharomy filtration. Journal of Biotechnology and
ces cereviciae. Jurnal Perennial 8 (1):43-51. Bioengineering 64 (6): 692-697.

Daud M, W Syafii dan K. Syamsu. 2012b. Produktivitas Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F.
Bioetanol dari Kayu Sengon (Paraserianthes 1956. Colorimetric Method for Determination of
falcataria) dengan Perlakuan Enzimatis. Seminar Sugar and Related Substances. J. Anal Chem. 28 (3):
Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia XV 350-356.
“Hijaukan Bumi untuk Kelestarian Pemanfaatan
Kayu yang Optimal Bagi Kehidupan yang Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood: Decay, Pests and
Berkelanjutan, Makassar 6-7 November 2012. Protection. London: Chapman and Hall.

Daud M, W Syafii and K. Syamsu. 2012c. Bioethanol Edgardo A, Carolina P, Manuel R, Juanita F, Baeza J.
Production from Several Tropical Wood Species 2008. Selection of Thermotolerant Yeast Strains
using Simultaneous Saccharification and Saccharomyces cerevisiae for Bioethanol
Fermentation Processes. Wood Research Journal. Production. Enzyme and Microbial Technology
3 (2): 106-116. Journal. 43 (2): 120-123.

Daud M., W. Syafii dan K. Syamsu. 2013. Pemanfaatan Eliasson A, Hofmeyr JHS, Pedler S, Hägerdal BH. 2001.
Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.) The Xylose Reductase/Xylitol, Dehydrogenase/
Menjadi Bioetanol Dengan Perlakuan Pendahuluan Xylulokinase Ratio Affects Product Formation in
Menggunakan Proses Kraft. Jurnal Matoa. 1 (2): Recombinant Xylose-Utilising Saccharomyces
17-27. cerevisiae. Enzyme and Microbial Technology
Journal 29 (5): 288-297.
Dashtban M., Schraft H, and Qin W. 2009. Fungal Biocon
version of Lignocellulosic Residues; Opportunities Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar
& Perspectives. Int J Biol Sci 2009; 5(6):578-595. Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Dence CW. 1992. Determination of lignin. In: Lin SY, Fardiaz. 1995. Penghitungan Biomasssa: Sebuah
Dence CW (Eds). Method in Lignin Chemistry. Pengantar Untuk Studi Karbon dan Perdagangan

184 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 185
Karbon. Wetlands International Indonesia Paper Making Science and Technology. Book 3.
Programme, Bogor. Helsinki: Finish Paper Engineers’ Association and
TAPPI.
Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur,
Reaksi-Reaksi. Satrohamidjojo, H, editor. Gadja Hagerdal BH, Galbe M, Grauslund MFG, Lidén G, Zacchi
Mada University Press, Yogyakarta. G. 2006. Bio-ethanol: The Fuel of Tomorrow from
the Residues of Today. Trends in Biotechnology
Foody BJ, Tohan S, Bernstein JD. 1999. Pretreatment Journal 24: 549-556.
Process for Conversion of Cellulose to Fuel
Ethanol. U.S. pat. No.6.090.595. Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW,
Hendroko R. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta:
Freudenberg K. 1968. The Constitution and Biosynthesis PT Agromedia Pustaka.
of Lignin. Berlin: Springer-Verlag.
Hairah, K. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai
Frida T. 1998. Pengaruh Cara Delignifikasi terhadap Macam Penggunaan Lahan. World Agroferestry
Sakarifikasi Limbah Lignoselulolitik. [skripsi]. Bogor: Centre – ISRAF- SEA Regional Office University
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian of Brawijaya, Bogor Indonesia.
Bogor.
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’
[FWI] Forest Watch Indonesia dan [GFW] Global Forest Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan.
Watch. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Agroforestry Centre – ICRAF- SEA Regional Office
Forest Watch Indonesia, Bogor, Indonesia dan University of Brawijaya, , Bogor Indonesia.
Global Forest Watch, Washington D.C., USA.
Hamelinck CN, Hooijdonk GV, Faaij APC. 2005. Ethanol
Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan: Untuk from lignocellulosic biomass: technoeconomic
Ilmu-Ilmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik, dan Biologi. performance in short, middle and long term.
Bandung: CV Armico. Biomass and Bioenergi (28):384-410.

Gong CS, Chen CS, Chen LF. 1993. Pretreatment of Sugar Harrison JS, Graham JGJ. 1970. 1970. Yeast in Destilery
Cane Bagasse Hemicellulose Hydrolysate for Practise. New York: Academic Press.
Ethanol Production by Yeast. Journal of Application
Biochemical Biotechnology 39: 83-88. Haygreen JG, Bowyer JL. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu
Kayu: Suatu Pengantar. Hadikusumo SA,
Govindaswamy S, Vane LM. 2007. Kinetics of growth and penerjemah; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta:
ethanol production on different carbon substrates Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:
using genetically engineered xylose-fermenting Forest Products and Wood Science, an Introduction.
yeast. Biores Technol (98):677-685.
http://www.deinove.com [Diakses 27 Maret 2014)
Gullichsen J, Paulapuro H. 2000. Forest Products Chemistry.

186 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 187
http://www.responsiblebusiness.eu/display/rebwp7/ Jorgensen H, Kristensen JB, Felby C. 2007. Enzymatic
Technology [Diakses 27 Maret 2014) Conversion of Lignocellulose into Fermentable
Sugars: Challenges and Opportunities. Biofuels.
Imran, J. 2014. Potensi Cadangan Dan Serapan Karbon Bioproducts and Biorefining Journal 1 (2): 119 – 134.
Dioksida Di Hutan Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar Desa Bissoloro Judoamidjojo RM, Said EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi.
Kabupaten Gowa. Skripsi. Program Studi Bogor:Pusat Antar Universitas Bioteknologi.
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiah Makassar Kanninen, M., D. Murdiyarsono., F. Seymoor., A.
Angelsen., S. Wunder, dan L. German. 2007. Do trees
Ingram LO, Gomez PF, Lai X, Moniruzzaman M, Wood grow on Money ? The Implications of Deforestation
BE, Yamano LP, York SW. 1999. Metabolic Research for Policies to Promote REDD. Forest
Engineering of Bacteria for Ethanol Production. Perspectives. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Journal of Biotechnology and Bioengineering 58 (2):
204-214. [Kementerian ESDM] Kementerian Energi dan Sumber
daya Mineral. 2012. Ketahanan Energi untuk
Irawadi TT. 1990. Selulase. Bogor: PAU-Biotek. Institut Ekonomi Berkelanjutan. Pertemuan Tahunan
Pertanian Bogor. Pengelolaan Energi Nasional. Pusat data dan
Informasi Kementerian ESDM. Jakarta 3-4
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Desember 2012.
The Scientifik basis. Intergovermental Panel on
Climate Change. Hougton, J T., Ding, Y., Griggs, [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Strategi
D.J., Noguer, M., vand der Linden, PJ., Xiaoso, D., REDD- Indonesia: Fase Readiness 2009-2012 dan
Editor. Cambridge University Press Cambridge. Progres Implementasinya. Kementerian Kehutanan,
Jakarta.
Jayme G. And H. Knolle. 1965. Pulp and Paper of Wood.
Holz. Roh-Werkst. Kim H, Hill MK, Friche AL. 1987. Preparation of Kraft Lignin
from Black Liquor.Tappi Journal 70 (12). 1-12.
Jeffries TW. 1994. Biochemistry of Microbial Degradation.
Ratlefge C, editor. Netherland: Kluwer Academic Kimland B, Norin T. 1972. The Hydrolyzable Tannins. New
Publishers. York: Academic Press.

Jeppsson M, Bengtsson O, Franke K, Lee H, Hangerdal Komarayati, S. dan Gusmailina. 2010. Prospek Bioetanol
BH, Grauslund MFG.. 2005. The Expression of a Sebagai Pengganti Minyak Tanah. Pusat Penelitian
Pichia stipitis Xylose Reductase Mutant With Higher dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor
KM for NADPH Increases Ethanol Production from
Xylose in Recombinant Saccharomyces cereviciae. Kosaric H, Wieczorec A, Cosentino GP, Magee RJ,
Journal of Biotechnology and Bioengineering 93 (4): Presonil JE. 1983. Ethanol Fermentation. Di dalam
665-673. H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Weinheim:

188 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 189
Verlag Cheme. LO. 2000. Effects of Ca(OH)2 Treatments
(Overliming) on the Composition and Toxicity of
Kristensen JB, Börjesson J, Bruun MH, Tjerneld F, Bagasse Hemicellulose Hydrolysates. Journal of
Jørgensen H. 2007. Use of Surface Active Additives Biotechnology and Bioengineering 69 (5): 526-536.
in Enzymatic Hydrolysis of Wheat Straw
Lignocelluloses. Enzyme and Microbial Technology Martinez A, Rodriguez ME, Wells ML, York SW, Preston
Journal 40 (4): 888-895. JF, Ingram LO. 2001. Detoxification of Dilute Acid
Hydrolizates of Lignocellulose with Lime. Journal
Kunkee KD, Mardon CJ. 1970. Yeast Wine Making. of Biotechnology Program 17: (287-293).
London: Academic Press.
Miller GL. 1959. Use of Dinitrosalicylic Acid Reagent for
Larsen J, Petersen MO, Thirup L, Li HW, Iversen FK. The Determination of Reducing Sugar. J. Anal Chem 31
IBUS Process: Lignocellulosic Bioetanol Close to a (3): 300-310.
Commercial Reality. Chemical Engineering and
Technology Journal 31 (5): 765 – 772. Miura et al. 2003. Efficient Use of Oil Palm as Renewable
Resource for Energi & Chemical. Project Design
Larsson S, Reinmann A, Nilvebrant NO, Jonsson LJ. 1999. Document.
Comparison of Different Methods for the
Detoxification of Lignocellulose Hydrolizates of Miyafuji H, Danner H, Nauretier M, Thomasser C, Braun
Spruce. Journal of Application Microbiology Bio R. 2003. Effect of Wood Ash treatment Improving
technology 79: 91-103. the Fermentability of Wood Hydrolysate. Journal of
Biotechnology and Bioengineering 84 (3): 390-393.
[Lemhanas] Lembaga Pertahanan Nasional. 2013. Jurnal
Kajian Lemhannas RI. Pengembangan Teknologi Miyafuji H, Danner H, Nauretier M, Thomasser C, Bvochora
Nuklir guna Pemanfaatan Energi terbarukan dalam J, Szolar O, Braun R. 2003. Detoxification of
rangka Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional. Hydrolizates with Wood Charcoal for Increasing
Jurnal Kajian Lemhannas RI. 16:11-23 the Fermentability of Hydrolisates. Journal of Enzime
Microbiology Technology 32: 396-400.
Li A, Ladislao BA, Khraisheh M. 2007. Bioconversion of
Municipal Solid Waste to Glucose for Bioetanol Modig T, Almeida JRM, Grauslund MFG, Lidén G. 2008.
Production. Bioprocess and Biosystems Engineering Variability of the Response of Saccharomyces
Journal 30 (3): 189-196. cerevisiae strains to Lignocellulose Hydrolysate.
Biotechnology and Bioengineering Journal 100 (3):
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, 423-429.
Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Mosier N, Wyman C, Dale B, Elander R, Lee YY, Holtzapple
Indonesia, Departemen Kehutanan. M, Ladisch M. 2005. Features of Promising
Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic
Martinez A, Rodriguez ME, York SW, Preston JF, Ingram Biomass. Bioresource Technology Journal 96 (6):

190 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 191
673-686. Oura E. 1983. Reaction Product of Yeast Fermentation. Di
dalam H. Dellweg, editor. Biotechnology Volume III.
Mtui G, Nakamura Y. 2005. Bioconversion of Lignocellulosic New York: Academic Press.
WastefromSelectedDumpingSitesinDaresSalaam,
Tanzania. Biodegradation Journal 16 (6): 493-499. Padil. 2005. Rancangan Proses Pengolahan Limbah Padat
Sawit Menjadi Asap Cair (Liquid Smoke). Prosiding
Nakasaki K, Adachi T. 2003. Effects of Intermiitent Addition Seminar Teknik Kimia – Teknologi Oleo dan
of Cellulase for Production of Lactic Acid from Petrokimia Indonesia (STK-TOPI). Pekanbaru. 21
Wastewater Sludge by Simultaneous Desember.
Saccharification and Fermentation. Journal of Bio
technology and Bioengineering 82 (1): 263-270. Palmqvist E, Hahn BH, Galbe M, Zacchi G. 1996. The Effect
of Water-Soluble Inhibitions from Steam-Pretreated
Neureiter M, Danner H, Thomasser C, Saidi B, Braun R. Willow on Enzimatic Hydrolysis and Ethanol
2002. Dilute acid Hydrolysis of Sugar Cane Bagasse Fermentation. Journal of Enzime Microbial
at Varying Conditions. Journal of Application Bio Technology 19: 470-476.
chemical Biotechnology 98-100: 49-58.
Pan X, et al. 2006. Bioconversion of Hybrid Poplar to Ethanol
Nilvebrant NO, Reinmann A, Larsson S, Jonsson LJ. 2001. and Co-Products using and Organosolv
Detoxification of Lignocellulosen Hydrolysates Fractionation Process:Optimazion of Process
with Ion-Excange Resin. Journal of Application Yields. Biotechnology and Bioengineering 94 (5):
Biochemical Biotechnology. 91/93: 35-49. 851-860.

Nzelibe HC, Okafoagu CU. 2007. Optimazion of Ethanol Panagiotou G, Christakopoulus P, Olsson L. 2004.
Production from Garcinia kola (Bitter Kola) Pulp Simultaneous Saccharification and Fermentation of
agrowaste. African Journal of Biotechnology. 6 (17): Cellulose by Fusarium oxyporum F3: Growth
2033-2037. Characteristics and Metabolite Profiling. Enzyme and
Microbial Technology. 36 (2005): 693-699.
Ohgren K et al. 2006. Simultaneous Saccharification and
Co-Fermentation of Glucose and Xylose in Panshin AJ, Zeeuw C de. 1980. Textbook of Wood Technology
Steam-Pretreated Corn Stover at High Fiber Content Vol. II. New York: Mc Graw-Hill Book Company Inc.
with Saccharomyces cereviciae TMB3400. J.
Biotechnol 126:488-498. Panshin AJ, Zeeuw C de, Brown HP. 1964. Text Book
of Wood Technology. Structure, Identification,
Okuda N, Ninomiya K, Takao M, Katakura Y, Shioya S. Uses, and Properties of the Commercial Woods of
2007. Microaeration Enhances Productivity of the United States. New York: McGraw Hill Book
Bioetanol from Hydrolysate of Waste House Wood Company.
using Ethanologenic Escherichia coli KO11. Bio
science and Bioengineering Journal 103 (4): 350-357. Paturau JM. 1969. By Product of The Cane Sugar Industry:
An Introduction to their Industrial Utilization.

192 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 193
Amsterdam: Elsevier Scientific Publ Co. Sakai S, Tsuchida Y, Okino S, Ichihashi O, Kawaguchi H,
Watanabe T, Inui M, Yukawa H. 2007. Effect of
Peace. 2007. Indonesia and Climate Change : Current Lignocellulose-Derived Inhibitors on Growth of and
Status and Policies. DFID, World Bank. Ethanol Production by Growth-Arrested Coryne
bacterium glutamicum R. Applied and Environmental
Petersen MO, Larsen J, Thomsen MH. 2009. Optimization Microbiology Journal. 73 (7): 2349-2353.
of hydrothermal Pretreatment of wheat straw for
production of bioetanol at low water consumption Salma, S., dan Gunarto, L. 1999. Enzim Selulase dari
without addition of chemicals. Biomass and Bioenergi Trichoderma spp. http://www.indobiogen.or.id.
Journal (Online Journal on 30 Jan 2009). [Diakess 30 Juli 2011]

Piccolo C, Bezzo F. 2008. A Techno-Economic Comparison Samejima M. 2008. Scenario of Technical Innovation for
Between Two Technologies for Bioetanol Production Production of Ethanol as Automobile Fuel from
from Lignocelluloses. Biomass and Bioenergi Cellulosic Biomass in Japan. Proceedings
Journal 33 (3): 478-491. International Symposium on Wood Scienceand
Technology. Harbin, China, 27-29 Sep 2008. Harbin:
Pirkko, S., and T. Nyronen (1990) The carbon dioxide International Association of Wood Products
emission and production. International Converence Societies.
on Peat Production and Use. Jivaskyla. Finland
Sandermann, 1960. Wood Extractives and Their Significance
Prayitno TA. 1995. Bentuk Batang dan Sifat Fisika Kayu to The Pulp And Paper Industries. London: Academic
Kelapa Sawit. Bulletin Fakultas Kehutanan UGM. 28: Press. New York.
43-59.
Sanusi D. 1995. Strategi Pengembangan Industri Pengolahan
[Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kayu di Sulawesi Selatan. Majalah ilmiah Flora
KESDM. 2010. Indonesia Energy Outlook (IEO) Fauna- Media Informasi Agro. Edisi 1 (2). Fakultas
2010. Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Pertanian dan Kehutanan, Ujung Pandang.
Daya Mineral KESDM, Jakarta
Sanusi, D. 1998. Restrukturisasi Industri Hasil Hutan
Prescott SC, Dunn CG. 1981. Industrial Microbiology. New Indonesia memasuki Abad XXI. Majalah Penyuluhan
York: MCGraw-Hill Book Co Ltd. Pertanian Indonesia- Media Informasi Agro dan
Pembangunan. Edisi 1 (1). Perhimpunan
Rowell RM, Young RA, Rowell JK. 1999. Paper and Penyuluhan Pertanian Indonesia, Jakarta,
Composites from Agro-Based Resources. United Indonesia.
State of America: Lewis Publishing.
Saputra E, Bahri S, Edward HS. 2007. Bio-Oil dari Limbah
Saddler JN. 1993. Bioconversion of Forest and Agricultural Padat Sawit. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan
Plant Residues. United Kingdom: C.A.B. 6 (2): 45-49.
International.

194 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 195
Sarman. 2014. Potensi Cadangan Karbon dan Serapan Second Edition. Vancouver: Angus Wilde
Karbon Dioksida pada Kebun Raya Massenrempulu Publications.
Enrekang Esa Batu Mila Kecamatan Maiwa
Kabupaten Enrekang. Skripsi. Program Studi Soerawidjaja, T. 2006. Proses Pembuatan Etanol. Seminar
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Nasional Biofuel, Implementasi Biofuel sebagai
Muhammadiah Makassar Energi Alternatif. Bogor: Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Sceieder D. 2005. Bioethanol Existing Pathways. First
European Summer School on Reneable Motor Fuels. Soerianegara I, Lemmens R.H.M.J. 1994. Plant Resources
Birkenfeld, Germany, 29-31 August 2005. of South-East Asia. No. 5(1) Timber Trees: Major
Commercial Timbers. Prosea Foundation, Bogor,
Selvakumar P, Ashkumary L, Helen A, Ashok P. 1996. Indonesia.
Purification and Characteristic of Glucoamylase
Produced by Aspergillus niger in Solid State Sonderegger M, Jeppsson M, Larsson C, Francoise M,
Fermentation. Appl. Microbiol 23;403-406. Grauslund G, Boles E,. Olsson L, Martins IS, Hagerdal
BH, Sauer U. 2004. Fermentation Ferformance of
Siau JF. 1984. Tranport Processes in Wood. Berlin: Engineered and Evolved Xylose-Fermenting
Springer-Verlag. Saccharomyces cereviciae Strain. Journal of Bio
technology and Bioengineering 87 (1): 90-98.
Shintawaty A. 2006. Prospek Pengembangan Biodiesel
dan Bioetanol sebagai Bahan Baku Alternatif di Spagnuolo M, Crecchio C, Pizzigallo MDR, Ruggiero P.
Indonesia. Economic Review N0. 23 Maret 2006. 1999. Fractionation of Sugar Beet Pulp into Pectin,
Cellulose, and Arabinases Combined with Ultra
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-dasar dan Penggunaan. filtration. Journal of Biotechnology and
Edisi kedua. Terjemahan. Yogyakarta: Gadja Bioengineering 64 (6): 685-691.
Mada University Press.
Stanbury PF, Whitaker A. 1993. Principle of Fermentation
Smith MT, Sommer P, Ahring BK. 2003. Purification of Bio Technology. New York: Pergamon Press.
etanol Effluent in an UASB Reactor System With
Simultaneous Biogas Formation. Journal of Bio Stenberg K, Tengborg C, Gable M, and Zacchi G. 1998.
technology and Bioengineering 84 (1): 8-12. Optimisation of Steam Pretreatment of SO2-
Impregnated Mixed Softwoods for Ethanol
[SNI] Standarisasi Nasional Indonesia. 2011. Pengukuran Production. J Chem Technol Biotechnol. 71:299-308.
dan Penghitungan Cadangan Karbon: Pengukuran
Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Stenber K, Gable M, Zacchi G. 1999. The Influence of Lactic
Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Acid Formation on Simultaneous Saccharification
BSN, Jakarta, Indonesia. and Fermentation (SSF) of Softwood to Ethanol. J
Enzyme Microb Biotechnol. 70:697-708.
Smook GA. 1994. Handbook for Pulp and Paper Technologist.

196 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 197
Stenberg K, Bollok M, Reczey K, Galbe M, Zacchi G. 2000. Delignification Rate of Some Tropical Hardwoods.
Effect of Substrate and Cellulase Concentration Indonesian Journal of Tropical Agriculture. 10 (1)
on Simultaneous Saccharification and Fermentation :9-13.
of Steam-Pretreated Softwood for Ethanol
Production. Journal of Biotechnology and Syafii W, Nawawi DS, Nurhayati D. 2009. Rasio Siringil-
Bioengineering 68 (2): 204-210. Guaiasil Struktur Lignin Beberapa Jenis Kayu
Daun Lebar dan Pengaruhnya Terhadap Laju
Subekti H. 2006. Produksi bioetanol dari Tongkol Jagung Delignifikasi. Simposium Nasional Forum
Menggunakan Hidrolisis Asam dan Hidrolisis Enzim. Teknologi Hasil Hutan. “Peningkatan Peran
skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut FTHH dalam Penelitian dan Pengembangan IPTEK
Pertanian Bogor. untuk Menunjuang Revitalisasi Industri Hasil
Hutan Indonesia”. Bogor,30-31 Oktober 2009.
Sukumaran RK, Singhania RR, Mathew GM, Pandey A.
2009. Cellulase Production using Biomass Feed Syam’ani. 2006. Cadangan Karbon di atas Permukaan
Stock and its Application in Lignocellulose Tanah Pada Berbagai Sistem Penutupan Lahan di
Saccharification for Bioetanol Production. Hutan Alam Sekunder Amandit. Skripsi. Fakultas
Renewable Energi Journal 34 (2): 421-424. Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat,
Banjar Baru.
Sularso, G. N. M., 2011. Pendugaan Perubahan Cadangan
Karbon di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi. Tabka MG, Gimbert IH, Monod F, Asther M, Sigoillot JC.
Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 2006. Enzymatic Saccharification of Wheat Straw
for Bioetanol Production by a Combined Cellulase
Sun Y, Cheng J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials Xylanase and Feruloyl Esterase Treatment. Enzyme
for Ethanol Production: A Review. Bioresource and Microbial Technology Journal 39 (4): 897-902.
Technology Journal 83 (1): 1-11.
TAPPI. 1991. TAPPI Test Method 1991. TAPPI Press, USA.
Suratmadji T. 1994. Kraft Pulping dan Chlorine Bleaching
serta Masalah-Masalah Lingkungan yang Thomsen MH, Thygesen A, Jørgensen H, Larsen J,
Ditimbulkannya. Di dalam: Teknologi Pemutihan Christensen BH, Thomsen AB. 2006. Preliminary
dengan ECF (Elemental Chlorine Free) dalam Results on Optimization of Pilot Scale Pretreatment
Industri Pulp dan Kertas di Indonesia. Seminar, of Wheat Straw used in Coproduction of Bioetanol
Bandung, 21 Juli 1994. and Electricity. Applied Biochemistry and
Biotechnology Journal 30 (3): 448-460.
Suwono, A. 2003. Indonesia’s potential contribution of
biomass in sustainable energi development. Tjitrosoepomo G. 2004. Taksonomi Tumbuhan:
Thermodynamics Laboratory. IURC for Engineering Spermatophyta. Yogyakarta: Gadja Mada University
Science.Bandung Institute of Technology. Bandung. Press.
Syafii, W. 2001. The Effect of Lignin Composition on Trubus 2008. Jutawan Karena Sengon. Majalah Pertanian

198 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 199
Trubus. http://www.trubusonline.co.id/ members/ Zaldifar J, Ingram LO. 1999. Effect of Organic Acids on the
ma/mod.php?mod=publisher&op= Growth and Fermentation of Ethanogenic
viewarticle&cid=1&artid=1409 (Diakses 27 Escheichia coli LY01. Journal of Biotechnology
Desember 2009). and Bioengineering 66 (4): 203-210.

Waluyo L. 2004. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press. Zinkel. 1978. Infrared Spectroscopy of High Polymers.
New York: Academic Press.
Wang Z, Keshwani DR, Redding AP, and Cheng JJ. 2008.
Alkaline Pretreatment of Coastal Bermudagrass
for Bioetanol Production. USA: American Society
of Agricultural and Biological Engineers.

Wahyuni A. 2008. Rekayasa Bioproses Pembuatan


Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L) dengan Menggunakan
Saccharomyces cereviciae. Tesis. Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wardhana, A. W., 2010. Dampak Pemanasan Global.


Andi. Yogyakarta.

Whitmore., 1985. Carbon Budget Accounting at the Forest


Management Unit Level: an Overview of Issues
and Methods. Ottawa. Canada’s Model Forest
Program. Natural Resoruces Canada.

Wyman CE. 1996. Handbook on Bioetanol: Production and


Utilization. Washington: Taylor & Francis, Ltd.

Yamani. 2013. Studi Kandungan Karbon Pada Hutan Alam


Sekunder di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan
Mandiangin Banjar.Skripsi. Fakultas Kehutanan
Universitas Lambung Mangkurat, Banjar Baru.

Yang B, Wyman E. 2005. BSA Treatment to Enhance


Enzymatic Hydrolisis of Cellulose in Lignin
Containing Substrates. Journal of Biotechnology
and Bioengineering 94 (4): 611-617.

200 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 201
terbaik. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan
menengahnya di SLTP Negeri 1 Enrekang yang terletak
di kota Enrekang. Demi tekatnya mengenyam pendidikan
penulis rela berjalan kaki ke sekolah dengan jarak tempuh
10 km per hari dan itu dilakukannya selama 6 tahun sam-
pai tamat SLTA.

Pada tahun 2000, penulis menamatkan pendidikan me-


nengahnya sebagai finalis lulusan terbaik. Setamat SLTP,
penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTA 1
Enrekang. Tahun 2003 penulis lulus dari SMUN 1 Enrekang
dengan predikat lulusan terbaik dengan nilai ujian nasi-
BIOGRAFI PENULIS onal tertinggi di Kabupaten Enrekang. Pada tahun yang
sama, penulis kemudian lulus seleksi masuk Universitas
Hasanuddin melalui jalur penelusuran bakat dan presta-
si (JPBP) Universitas Hasanuddin, dan memilih program
Penulis dilahirkan di
studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama
Bisang-Enrekang,
mengikuti perkuliahan, penulis menjadi seorang rimbawan
Sulawesi Selatan,
(forester) dan aktif pada berbagai organisasi diantaranya
pada tanggal 29 No-
pengurus Jamaah Mushollah Ulil Albab (JMUA), pengurus
vember 1985 dari
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pengurus Biro Khusus
pasangan petani
Belantara Kreatif (BKBK), dan Wakil Ketua Sylva Indone-
Ayah Hammmasa
sia (p.c) UNHAS Fakultas Kehutanan Universitas Hasa-
Baddi dan Ibu Mari-
nuddin, anggota Himpunan Pelajar Mahasiswa Massen-
na Sammani. Penu-
rengpulu (HPMM), anggota Pioneer English Meeting Club
lis merupakan putra
(PEMC) Fort Rotterdam, dan pengurus Al Markaz for Khu-
keempat dari empat bersaudara. Penulis memulai pendi-
di Enlightening Studies (MAKES), serta berbagai organi-
dikan non formal pada masa kecil sebagai santri di kam-
sasi dan perkumpulan non profit lainnya. Berbagai presta-
pung kelahirannya di Enrekang dan menamatkan sekolah
si yang pernah diperoleh di antaranya sebagai Penerima
dasarnya di SDN 40 Lewaja. Bakat kecerdasan penulis
Beasiswa Tanabe Foundation dan Maruki Foundation,
sudah muncul sejak kecilnya di sekolah dasar ketika itu
Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kehutanan Universitas
sering mendapat peringkat pertama di sekolah dan kemu-
Hasanuddin tahun 2007 serta Wisudawan Terbaik Univer-
dian menamatkan pendidikan dasarnya sebagai lulusan
sitas Hasanuddin tahun 2007 dengan IPK (Indeks Prestasi

202 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 203
Kumulatif) 3.98 dengan judul skripsi “Ketahanan Terha- nesia SIOUX, Tree Climber Organization (TCO) dan Sa-
dap Serangan Rayap Tanah (Coptotermes sp.) dari Kayu habat Rimbawan Pencinta Alam (RIMPALA). Pada tahun
yang Diawetkan dengan Silafluofen Menggunakan Kar- 2010, penulis lulus di IPB dengan dengan IPK 3.95 dalam
bon Dioksida sebagai Pelarut Pembawa”. Sebuah proses waktu kurang dari dua tahun dengan judul Tesis “Produksi
meningkatkan kualitas kayu komersil terutama kayu hutan Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Pros-
rakyat dari organisme perusak kayu dengan teknologi pen- es Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan”. Suatu
gawetan ramah lingkungan tanpa adanya perlakuan per- metode baru dalam merekayasa jenis kayu tropis menja-
endaman tetapi merekayasa fase karbon dioksida menjadi di bioenergi generasi kedua (bahan non pangan) sebagai
titik superkitisnya untuk membawa bahan pengawet ma- landasan untuk memanfaatkan limbah-limbah kayu dan
suk ke dalam kayu. Ketika bahan pengawet telah masuk bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol un-
fase karbon dioksida diubah menjadi fase gasnya kembali. tuk mensubstitusi bensin dengan menggunakan metode
rekayasa bioproses sakarifikasi dan fermentasi secara si-
Penulis yang juga merupakan pendiri Hasanuddin En- multan.
glish Community (HEC) di UNHAS ini menjadi assisten
dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin se- Tamat dari IPB pada tahun 2010, penulis yang seder-
jak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 pada beberapa hana dan memiliki selera humor tinggi ini, kemudian men-
mata kuliah seperti Pengantar Ilmu Kehutanan, Anatomi jadi dosen luar biasa di Fakultas Kehutanan Universitas
Kayu, Kimia Kayu, Fisika dan Mekanika Kayu, Hasil Hutan Hasanuddin (UNHAS) (2010-2012), dosen di Universitas
Bukan Kayu, Kayu Lapis, Teknologi Pulp dan Kertas, Pen- Sulawesi Barat (Unsulbar) (2010-sekarang), dan dosen di
geringan dan Pengawetan Kayu, Pengendalian Mutu Ha- Universitas Muhammaddiyah Makassar (2010-sekarang)
sil Hutan, Pengolahan Limbah Industri, Statistika Dasar, pada mata kuliah energi biomassa, ilmu kayu, teknologi
Statistika Terapan dan Ilmu Ukur Kayu. Pada tahun 2008 pengolahan kayu, biodeteriorasi dan perbaikan sifat kayu
penulis mendapatkan kesempatan untuk menempuh pen- kayu, pengawetan kayu, hasil hutan bukan kayu, metodolo-
didikan S-2 pada program studi Ilmu Pengetahuan Ke- gi penelitian, analisis statistika, dan analisis statistika tera-
hutanan Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Sekolah pan dan menjadi asisten peneliti di Puslitbang Lingkungan
Pascasarjana IPB (Institut Pertanian Bogor). Selama men- Hidup UNHAS. Selain mengajar dan membimbing maha-
empuh pendidikan S-2 penulis pernah mendapat penghar- siswa, penulis juga banyak aktif meneliti dan aktif melaku-
gaan mahasiswa berprestasi Sekolah Pascasarjana IPB kan pengabdian kepada masyarakat sebagai perwujudan
(Prestasi Akademik Gemilang). Aktif di berbagai organisasi dari tri darma perguruan tinggi. Selain itu, penulis sering
di antaranya anggota Forum Wacana Sulsel Sekolah Pas- menjadi tenaga ahli di bidang kehutanan, lingkungan dan
casarjana IPB, anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indone- pemberdayaan masyarakat terutama di bidang pengkajian
sia (Indonesian Wood Research Society), anggota Forum kehutanan, bioenergi, hasil hutan bukan kayu (terutama
Teknologi Hasil Hutan, anggota Lembaga Studi Ular Indo- minyak atsiri, lebah, jamur, walet dan gaharu), pemod-

204 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 205
elan dan estimasi biomassa, karbon dan serapan karbon upakan perusahaan yang bergerak di bidang distro, digital
dioksida serta energi hutan, pengkajian kimia hasil hutan, printing dan kuliner (Rimba Corner) yang diinisiasi oleh be-
pengkajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkun- berapa alumni rimbawan kehutanan UNHAS. Disamping
gan), pengkajian KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strat- itu, penulis, juga terjun dalam dunia bisnis gaharu (pen-
egis), pengembangan rumah tradisional, pengembangan gadaan bibit, benih, inokulasi dan kayu gaharu). Setelah
rumah terapung berbasis bahan lokal, pengelolaan pesisir, menjadi direktur Perusahaan Multi Talenta Production
kajian perubahan iklim dan pengkajian pemanfaatan hasil (2013-2014) penulis kemudian pada tahun 2014 diang-
hutan (jasa lingkungan) sebagai ekowisata, serta pemba- kat menjadi direktur Tropical Rain Forest Consultant yang
ngunan rendah emisi serta pemberian pelatihan dan pem- merupakan suatu lembaga riset yang banyak mengkaji
berdayaan kelompok tani dan masyarakat sekitar hutan mengenai bidang kehutanan, lingkungan dan pember-
yang membuatnya banyak keliling di Indonesia seperti ke dayaan masyarakat. Saat ini, penulis juga menjadi dewan
pulau Jawa, Bali, Lombok, Flores, Halmahera, Ternate, pembina media online “medialingkungan.com”. Penulis
Tidore, Bacan, Obi, Ambon, Papua, Sulawesi, Kabaena, aktif mengikuti pelatihan, penelitian dan menjadi penulis,
Kalimantan, dan Sumatera untuk melakukan pengabdian pemateri dan pembicara pada berbagai seminar nasional
kepada masyarakat sambil belajar dan menambah wa- maupun internasional, juga aktif penelitian IbM (IPTEKS
wasan penulis. Pengalaman itu memmbuatnya banyak bagi Masyarakat), Hibah Unggulan yang merupakan pro-
bertemu dengan masyarakat bawah Indonesia yang belum gram tahunan DIKTI.
sejahtera. Hal inilah yang kemudian menggugah penulis
menuangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam be- Buku ini merupakan kumpulan sari beberapa hasil
berapa buku sebagai bentuk rasa nasionalisme dan kecin- penelitian penulis, pengalaman penelitian penulis di be-
taannya pada tanah air Indonesia. berapa laboratorium seperti Laboratorium Sifat Dasar
dan Teknologi Pengolahan Kayu UNHAS, Laboratorium
Tahun 2011 penulis lulus pendidikan dan pelatihan Au- Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratori-
ditor Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) sebagai calon audi- um Rekayasa Bioproses IPB, Laboratorium BIORIN IPB,
tor VLK Bidang Industri yang diselenggarakan oleh Balai Laboratorium Biomolekuler dan Seluler IPB, Laboratorium
Diklat Kehutanan Makassar dan Lembaga Ekolabel Indo- Mikrobiologi Pangan IPB, Pusat Penelitian Sumberdaya
nesia (LEI). Tahun 2013 penulis lulus dalam kursus peny- Hayati dan Bioteknologi IPB, Surfactant and Bioenergi Re-
usunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan search Center (SBRC) IPB dan Laboratorium Afiliasi De-
(AMDAL) yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan partemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia, Laboratori-
Pengembangan Lingkungan Hidup (PUSLITBANG LH), um Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Penelitian dan
Lembaga Penelitian dan pengabdian Masyarakata (LP2M) Pengembangan Hasil Hutan Bogor, Laboratorium Lapang
Universitas Hasanuddin. Tahun 2013 penulis menjadi Program Studi Kehutanan Universitas Muhammadiyah
direktur Perusahaan Multi Talenta Production yang mer- Makassar, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

206 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN 207
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi (PPPTMGB) LEMIGAS, observasi penulis
selama beberapa tahun keliling Indonesia, dan studi liter-
atur yang penulis lakukan, di samping itu, juga merupakan
hasil-hasil penelitian bimbingan penulis.
Guna menerapkan dan mempraktekkan sendiri ilmunya
dan penyalur hobbynya bertani, penulis yang juga hobby
membaca dan traveling ini membangun perkebunan dan
hutan rakyatnya sendiri dalam skala kecil di Enrekang
yang menerapkan konsep agrosylvopastural dan apicul-
ture yang merupakan aplikasi dari pengembangan konsep
pemikiran bidang kehutanannya. Disela-sela kesibukann-
ya, penulis juga memberikan konsultasi pengolahan data
penelitian secara cuma-cuma. Penulis dapat dihubungi
melalui email:mdaudhammasa@gmail.com

208 BIOENERGI DARI BAHAN NON PANGAN


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai