Anda di halaman 1dari 15

Prevalensi Anemia pada Anak Usia 3 sampai 9 Tahun dan

Hubungannya dengan Risiko Wasting di Pesantren Tapak Sunan, Condet,


Jakarta, tahun 2011

Nessya Nazzalaa dan Saptawati Bardosonob


a
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan bDepartemen Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

E-mail: nessya.nazzala@gmail.com

Abstrak

Anemia adalah kondisi konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel darah merah di bawah normal
berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan kehamilan. Kejadian anemia di Indonesia masih cukup banyak,
terutama pada anak-anak. Tingginya prevalensi anemia di negara berkembang seperti Indonesia berhubungan
dengan tingginya kejadian malnutrisi akibat rendahnya kemampuan ekonomi. Penelitian ini bertujuan
mengetahui prevalensi anemia dan hubungannya dengan risiko wasting pada anak usia 3 sampai 9 tahun di
Pesantren Tapak Sunan, Condet, Jakarta. Rancangan penelitian ini adalah studi cross-sectional. Penelitian
dilakukan pada tanggal 19 Januari 2011 dengan metode pemilihan sampel total sampling. Data yang
dikumpulkan berupa usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan kadar Hb. Data-data tersebut kemudian
diolah menggunakan Epi Info dan SPSS. Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 50 subjek penelitian,
mayoritas berjenis kelamin laki-laki (56%) dan berusia 3-6 tahun (86%). Dari 50 subjek, 13 di antaranya
menderita anemia (26%), dan enam di antaranya mengalami risiko wasting (12%). Satu dari enam anak dengan
risiko wasting juga menderita anemia (16,67%). Uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara risiko wasting dengan prevalensi anemia (p=0,578).

Prevalence of Anemia in 3-9 years old Children and Its Association with Mild Wasting
at Tapak Sunan Islamic Boarding School, Condet, Jakarta, 2011

Abstract

Anemia is a condition when the hemoglobin concentration or the amount of red blood cells is below the
normal level in terms of age cluster, sex, and pregnancy. In Indonesia, anemia is one of the major problem,
especially in children. High number of anemia prevalence in the developing nation such as Indonesia is related
to the high number of malnutrition as the cause of the low economic level. This study aims to find out the
prevalence of anemia and its association with mild wasting in 3-9 years old children at Tapak Sunan Islamic
Boarding School, Condet, Jakarta. The cross-sectional design was used in this research and the sample was
chosen by total sampling. The data, which include age, sex, body weight, body height, and hemoglobin
concentration, was taken on 19th January 2011. After that, the data is processed by using Epi Info and SPSS.
From 50 subjects involved in this study, 56% are male and 86% are 3-6 years old chidren, 13 subjects (26%) are
suffered from anemia while 6 subjects (12%) are suffered from mild wasting. Besides that, one of six children
with mild wasting (16.67%) is also suffered from anemia. The chi-square test shows that there is no significant
association between mild wasting and the prevalence of anemia (p=0.578).

Keywords: anemia; boarding school; children; Jakarta; mild wasting

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Pendahuluan

Anemia adalah masalah yang luas dan tersebar di berbagai negara. Lebih dari 50%
penyebab anemia adalah defisiensi zat gizi terutama besi, dan 90% dari semua kasus terjadi
di negara berkembang.1,2 Di Indonesia, anemia menjadi masalah yang penting. Survei Rumah
Tangga yang dilakukan pada tahun 1995 menghasilkan data 40,5% balita dan 47,3% anak
usia sekolah mengalami anemia defisiensi besi.3 Penelitian lain terhadap anak usia 5-14 tahun
di beberapa daerah di Indonesia menghasilkan data prevalensi anemia defisiensi besi pada
anak yang mengalami kekurangan kalori protein (KKP) sebesar 47-64%.4
Kekurangan kalori protein, atau malnutrisi secara umum juga merupakan masalah gizi
yang penting di negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian pada tahun 1999
menunjukkan 36,1% anak usia sekolah mengalami kurang gizi.5 Sedangkan menurut
Riskesdas tahun 2010, prevalensi wasting di Indonesia sebesar 13,3%, dan di DKI Jakarta
sebesar 11,3%.6 Padahal menurut WHO prevalensi wasting lebih dari 10% adalah masalah
gizi yang sangat serius.7
Selain prevalensi yang cukup tinggi, masalah anemia dan malnutrisi menjadi sangat
penting karena dampaknya yang merugikan. Gangguan pertumbuhan, perkembangan mental,
motorik, dan perilaku dapat terjadi jika anemia terjadi pada bayi dan anak-anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan.7 Selain itu, secara umum jumlah zat besi yang kurang
menghambat pertumbuhan sel tubuh dan otak sehingga timbul gejala-gejala lesu, lemah, letih,
mudah lelah, dan cepat lupa. Daya tahan tubuh juga menjadi berkurang sehingga dalam
jangka panjang mengakibatkan penurunan prestasi dan produktivitas.1
Ada sangat banyak kemungkinan penyebab anemia. Golongan sosioekonomi rendah,
anak-anak, dan wanita premenopause cenderung lebih sering mengalami anemia, terutama
anemia defisiensi besi. Golongan sosioekonomi rendah lebih banyak disebabkan
ketidakmampuan memenuhi asupan makanan yang mengandung zat besi heme (pada daging)
yang lebih mudah diabsorpsi daripada zat besi anorganik (pada sayur-sayuran). Pada anak-
anak terjadi karena peningkatan kebutuhan tubuh atas zat besi untuk pertumbuhan yang
kadang tidak bisa diimbangi dengan asupan makanan dan susu, atau karena infeksi parasit
(cacing) yang menghisap darah. Kehilangan darah saat menstruasi juga menyebabkan anemia
lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria seusianya.1,8 Gangguan asupan nutrisi
yang kompleks seperti pada kelaparan serta defisiensi kalori dan protein juga dapat
menyebabkan anemia.9

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Penanganan anemia di Indonesia hingga saat ini masih cenderung ditujukan untuk ibu
hamil.1 Sedangkan penanganan wasting untuk anak-anak sudah dilakukan oleh Departemen
Kesehatan melalui operasi timbang badan. Balita dan anak-anak yang dideteksi mengalami
wasting akan dirujuk ke rumah sakit atau puskesmas untuk menjalani perawatan. Namun
menurut penelitian yang dilakukan Karlina Nurcahyo dan Dodik Briawan, balita dan anak-
anak yang telah menjalani perawatan, sebagian besar (81,5%) masih dalam kategori gizi
buruk.10 Padahal masalah anemia dan wasting pada anak tidak bisa dianggap sepele karena
dampaknya yang sangat merugikan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui hubungan
anemia dan risiko wasting pada anak-anak usia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan Condet
agar ke depannya dapat dilakukan upaya untuk menangani masalah-masalah gizi ini.

Tinjauan Teoritis

Anemia didefinisikan sebagai kondisi ketika konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel
darah merah di bawah normal berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan kehamilan.
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan WHO, batasan anemia adalah sebagai berikut:1,11

Laki-laki dewasa : Hb < 13 gr/dl


Perempuan dewasa tidak hamil : Hb < 12 gr/dl
Perempuan hamil : Hb < 11 gr/dl
Anak usia 6-14 tahun : Hb < 12 gr/dl
Anak usia 6 bulan-6 tahun : Hb < 11 gr/dl

Anemia pada anak-anak bisa disebabkan oleh terganggunya produksi sel darah merah
atau rusaknya jumlah eritrosit yang bermakna. Meskipun anemia bisa disebabkan kondisi
khusus seperti malaria dan infeksi parasit, namun sebagian besar anemia terjadi karena
defisiensi zat gizi yang penting dalam pembentukan sel darah merah.1,11
Defisiensi vitamin bisa menjadi salah satu penyebab anemia. Vitamin-vitamin
tersebut adalah vitamin A, vitamin B6 (piridoksin), B2 (riboflavin), B9 (folat), B12
(cyanocobalamin), vitamin C, dan vitamin E. Mineral-mineral seperti besi dan tembaga juga
penting dalam proses eritropoiesis. Gangguan asupan nutrisi yang kompleks seperti pada
kelaparan serta defisiensi kalori dan protein juga dapat menyebabkan anemia.9
Anemia umumnya diklasifikasikan menurut kadar Hb menjadi:12

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Ringan sekali : Hb 10 gr/dl – 13 gr/dl
Ringan : Hb 8 gr/dl – 9,9 gr/dl
Sedang : Hb 6 gr/dl – 7,9 gr/dl
Berat : Hb < 6 gr/dl
Anemia terutama anemia defisiensi besi menjadi dasar penyebab gangguan kognitif
pada anak-anak dan menurunkan daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar
dengan:13,14

1. Mengganggu pembentukan myelin: Oligodendrosit tidak bisa melakukan proses


myelinisasi dengan baik apabila tidak terdapat besi yang cukup. Myelin berperan
penting dalam penghantaran rangsang.
2. Mengganggu metabolisme neurotransmiter: Terjadi karena gangguan pada sintesa
serotonin, nor-epinefrin, dan dopamin yang mempunyai efek pada perhatian,
penglihatan, daya ingatan, motivasi, dan kontrol motorik.
3. Mengganggu metabolisme energi protein: Besi merupakan kofaktor ribonukleotide
reduktase yang berperan dalam fungsi dan metabolisme lemak dan energi otak.

Jika terjadi pada masa kritis perkembangan otak mengakibatkan keterlambatan


perkembangan karena kerusakan yang terjadi bersifat menetap.13,14
Selain itu, defisiensi besi juga mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh karena
gangguan pembentukan limfosit-T yang disebabkan berkurangnya sintesis DNA karena
gangguan enzim reduktase ribonukleotida yang membutuhkan besi.15
Defisiensi besi juga memengaruhi pertumbuhan karena besi berperan dalam
proliferasi sel khususnya produksi protein siklin D1 (CD1).16
Prevalensi anemia di dunia bervariasi, bergantung pada geografi dan taraf sosial
ekonomi masyarakat. Menurut Husaini, dkk. prevalensi anemia di Indonesia cukup tinggi,
yaitu:12
Anak prasekolah : 30-40%
Anak usia sekolah : 25-35%
Perempuan dewasa tidak hamil : 30-40%
Perempuan hamil : 50-70%
Laki-laki dewasa : 20-30%
Pekerja berpenghasilan rendah : 30-40%

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Kurus atau wasting adalah keadaan turunnya berat badan dengan cepat sehingga
menjadi tidak proporsional dengan tinggi badannya, diukur dengan indikator BB/TB.17 Anak-
anak dengan nilai BB/TB rendah disebut kurus (thinness). Proses patologisnya disebut
dengan wasting. Proses ini terjadi karena kegagalan memperoleh berat badan yang
proporsional dengan tinggi badan atau karena kehilangan berat badan.18
Wasting adalah status gizi yang bersifat akut, penyebabnya berlangsung dalam waktu
yang pendek seperti menurunnya nafsu makan akibat sakit atau karena diare.17 Wasting dapat
terjadi dengan sangat cepat tetapi juga bisa disembuhkan dengan cepat dengan penanganan
yang tepat. BB/TB lebih mudah berubah daripada TB/U, sehingga sering menjadi acuan
untuk menentukan keberhasilan program perbaikan gizi.18
Masalah wasting bukan masalah kecil karena Teori Barker mengatakan bahwa
kerentanan terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia dewasa diakibatkan oleh
masalah kekurusan pada usia dini.17
Pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB) dapat digunakan untuk
menentukan apakah seorang anak gemuk, normal, kurus, atau sangat kurus. Berat badan anak
ditimbang dengan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg. Tinggi badan diukur
dengan menggunakan microtoise dengan presisi 0,1 cm. Kemudian angka berat badan dan
tinggi badan setiap anak dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score).1
Indikator BB/TB menurut standar WHO diklasifikasikan menjadi:1
Kategori Sangat Kurus Z-score < -3,0
Kategori Kurus Z-score >= -3,0 s.d. Z-score <= -2,0
Kategori Normal Z-score >= -2,0 s.d. Z-score <= 2,0
Kategori Gemuk Z-score > 2,0

Wasting juga dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan tingkat


keparahannya, seperti pada Tabel 1.19

Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Keparahan PEM Akut (Wasting) dan PEM Kronis (Stunting) pada Anak-
Anak

Normal Mild Moderate Severe

Weight for height 90-110 (-1 to 1 80-89 (-1,1 to -2 75-79 (-2,1 to -3 <75, or with
(deficit=wasting) Z) Z) Z) edema (<-3 Z)

Height for age 95-105 (-1 to 1 90-94 (-1,1 to -2 85-89 (-2,1 to -3 <85 (<-3 Z)
(deficit=stunting) Z) Z) Z)

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Sumber: National Center for Health Statistic

Salah satu dampak dari   keadaan   PEM   adalah berkurangnya konsentrasi hemoglobin
dan massa sel darah merah.  Berkurangnya massa tubuh dan aktivitas anak dengan malnutrisi
menyebabkan kebutuhan oksigen menurun. Kurangnya asupan protein juga menyebabkan
berkurangnya aktivitas hematopoietik, karena asam amino digunakan untuk sintesis protein
tubuh lain yang dianggap lebih penting. Menurunnya jumlah sel darah merah ini tidak bisa
disebut sebagai anemia selama kebutuhan oksigen jaringan masih bisa terpenuhi, karena
keadaan ini adalah suatu respon adaptasi tubuh. Namun ketika sintesis jaringan, massa tubuh,
dan aktivitas fisik kembali normal seiring dengan perbaikan asupan nutrisi, kebutuhan
oksigen akan kembali meningkat sehingga terjadi percepatan proses hematopoiesis. Jika pada
tahap ini zat besi, asam folat, dan vitamin B12 yang dibutuhkan dalam hematopoiesis tidak
tersedia dalam jumlah yang cukup, pasien dapat mengalami anemia dan hipoksia jaringan.19  
Penelitian yang dilakukan di Meksiko pada tahun 1999 dengan subjek anak berusia 2-
12 tahun menunjukkan bahwa konsentrasi hemoglobin menunjukkan hubungan yang berbeda
bermakna dengan BB/TB anak yang merupakan indikator wasting (p=0,0001). Namun pada
penelitian ini belum bisa ditentukan apakah anemia yang menyebabkan wasting atau
sebaliknya.20

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional) dengan populasi
terjangkau anak berusia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan Condet. Pemilihan sampel
dilakukan menggunakan total sampling yaitu seluruh anak berusia 3-9 tahun di Pesantren
Tapak Sunan Condet yang berjumlah 79 orang. Data yang dibutuhkan berupa nama dan
tanggal lahir untuk menentukan usia diperoleh dari data Tata Usaha Pesantren Tapak Sunan
Condet. Observasi dilakukan untuk menentukan jenis kelamin subjek. Selanjutnya dilakukan
pengukuran untuk mendapatkan data berat badan, tinggi badan, dan kadar hemoglobin
subjek. Risiko wasting ditentukan jika nilai Z-score BB/TB di antara -1,1 sampai -2. Anemia
ditentukan jika kadar hemoglobin subjek berusia 3-6 tahun kurang dari 11 gr/dL dan subjek
berusia 6-9 tahun kurang dari 12 gr/dL.
Data berupa nama, jenis kelamin, tanggal lahir, tanggal pemeriksaan, berat badan,

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


tinggi badan, dan kadar hemoglobin dikumpulkan dan dicatat di formulir saat hari
pemeriksaan. Data berat badan dan tinggi badan kemudian dimasukkan ke program Epi Info
untuk mengetahui Z-score berat badan terhadap tinggi badan tiap subjek. Setelah didapatkan
Z-score, semua data dimasukkan ke program SPSS 11.5 untuk dihitung dan dikategorikan
menjadi kelompok subjek berdasarkan umur, jenis kelamin, berisiko wasting dan tidak
berisiko wasting, anemia dan tidak anemia. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
anemia dan risiko wasting digunakan uji Chi-square.

Hasil Penelitian

Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi berjumlah 55 orang. Tetapi setelah dilakukan pengambilan data, ada 5 subjek yang
datanya tidak lengkap, sehingga tidak diikutkan dalam pengolahan data.
Sebaran subjek berdasarkan usia dan jenis kelamin bisa dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Sebaran Subjek berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Karakteristik N %

3-6 43 86,0
Kelompok Usia
7-9 7 14,0

Laki-laki 28 56,0
Jenis Kelamin
Perempuan 22 44,0

Dari 50 subjek penelitian, mayoritas subjek berusia 3-6 tahun dan berjenis kelamin
laki-laki.

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


 
Sebaran anemia berdasarkan usia dan jenis kelamin bisa dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Sebaran Anemia berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Anemia Normal
Variabel
N % n %

Kelompok Usia
3-6 tahun 11 25,6 32 74,4

7-9 tahun 2 28,6 5 71,4

Jenis Kelamin
Laki-laki 4 14,3 24 85,7

Perempuan 9 40,9 13 59,1

.
Prevalensi anemia yang didapatkan dari penelitian ini sebesar 26%. Prevalensi anemia
lebih tinggi pada kelompok usia 7-9 tahun dan jenis kelamin perempuan.

Sebaran risiko wasting berdasarkan usia dan jenis kelamin bisa dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Risiko Wasting berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Risiko Wasting Normal


Variabel
N % N %

Kelompok Usia
3-6 tahun 5 11,6 38 88,4

7-9 tahun 1 14,3 6 85,7

Jenis Kelamin

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Laki-laki 5 17,9 23 82,1
Perempuan 1 4,5 21 95,5

Prevalensi risiko wasting pada penelitian ini sebesar 12%. Prevalensi risiko wasting
lebih tinggi pada kelompok usia 7-9 tahun dan jenis kelamin laki-laki.

Tabel 5. Hubungan Risiko Wasting dan Anemia

Anemia Nilai p

Ya Tidak

Risiko wasting 1 5 0,578

Tidak berisiko wasting 12 32

Dari tabel 5 diketahui prevalensi anemia pada anak berisiko wasting adalah 16,67%
dan dari penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara risiko wasting
dengan prevalensi anemia.

Pembahasan

Dari 50 subjek penelitian, mayoritas subjek berusia 3-6 tahun dengan persentase 86%.
Sedangkan menurut Depkes RI, persentase anak usia 3-6 tahun di Indonesia adalah 57,66%
dan anak 7-9 tahun sebesar 42,34%. Di daerah DKI Jakarta khususnya, menunjukkan hasil
58,33% anak berusia 3-6 tahun, dan 41,67% anak berusia 7-9 tahun.21
Pada penelitian ini mayoritas subjek berjenis kelamin laki-laki dengan persentase
56%. Data ini sesuai dengan data Depkes RI bahwa persentase anak laki-laki usia 3-9 tahun
di Indonesia sebesar 51,07% dan anak perempuan sebesar 48,93%. Di DKI Jakarta,
persentase anak laki-laki tidak jauh berbeda yaitu sebesar 50,73% dan anak perempuan
sebesar 49,27%.21

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Prevalensi anemia sebesar 26% sesuai dengan penelitian yang dilakukan Husaini, dkk.
yang mengatakan prevalensi anemia pada anak usia sekolah di Indonesia adalah 25-35%.12
Penelitian lain yang dilakukan di Meksiko menghasilkan data prevalensi anemia pada anak 5-
6 tahun sebesar 19,9%, 7-8 tahun sebesar 22,8%, dan 9-10 tahun sebesar 17,9%.20 Pada
penelitian ini perbedaan prevalensi anemia pada kelompok usia 3-6 tahun dan 7-9 tahun tidak
terlalu jauh (25,6% dan 28,6%).
Penelitian di Maroko menghasilkan data bahwa prevalensi anemia pada anak
perempuan lebih tinggi (77,6%) dibandingkan anemia pada anak laki-laki (73,6%).22 Pada
penelitian ini prevalensi anemia pada anak perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan anak
laki-laki bisa disebabkan faktor perbedaan asupan makanan.
Prevalensi risiko wasting pada penelitian ini sebesar 12%. Penelitian Riskesdas tahun
2010 di daerah DKI Jakarta menghasilkan prevalensi wasting sebesar 11,3% dan di Indonesia
sebesar 13,3%.6
Wasting dapat terjadi di semua umur, namun lebih sering pada anak-anak karena
pertumbuhannya membutuhkan banyak nutrisi. Anak-anak yang berusia lebih muda juga
cenderung lebih sering mengalami wasting dibandingkan anak-anak yang berusia lebih tua
karena daya tahan tubuh yang masih lemah sehingga sering terkena penyakit infeksi.19 Pada
penelitian Riskesdas 2010 mengenai status gizi balita (BB/TB), prevalensi anak yang wasting
menurun seiring peningkatan umur.6 Namun dalam penelitian ini prevalensi risiko wasting
pada kelompok usia 7-9 tahun justru lebih tinggi (14,3%) dibandingkan kelompok usia 3-6
tahun (11,6%). Hal ini mungkin disebabkan persebaran usia subjek yang tidak merata.
Penelitian di Maroko menunjukkan prevalensi wasting anak laki-laki sebesar 10,3%
dan anak perempuan sebesar 7,5%.22 Penelitian Riskesdas 2010 juga menunjukkan prevalensi
wasting pada anak laki-laki lebih tinggi (13,6%) dibandingkan pada anak perempuan
(12,9%).6 Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama bahwa prevalensi risiko wasting pada
anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini bisa disebabkan faktor perbedaan
penggunaan energi karena aktivitas fisik cenderung lebih tinggi pada anak laki-laki.
Dari tabel 5 bisa diketahui prevalensi anemia pada anak berisiko wasting adalah
16,67%. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05)
antara risiko wasting dengan prevalensi anemia. Penelitian yang dilakukan di Meksiko pada
tahun 1999 menunjukkan bahwa konsentrasi hemoglobin memiliki hubungan yang berbeda
bermakna dengan BB/TB anak yang merupakan indikator wasting (p=0,0001).21 Penelitian
ini tidak menemukan hubungan yang bermakna antara anemia dan risiko wasting bisa
disebabkan adanya faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini seperti penyebab-

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


penyebab anemia lain (infeksi parasit, malaria, kehilangan darah, kelainan ginjal, dan lain-
lain). Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian di atas karena penelitian ini membahas
risiko wasting dengan defisiensi protein yang mungkin belum cukup parah untuk
menyebabkan gangguan proses hematopoiesis.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa:


1. Subjek penelitian mayoritas berjenis kelamin laki-laki (56%) dan berusia 3-6 tahun
(86%).
2. Prevalensi anemia pada anak usia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan Condet sebesar
26%.
3. Prevalensi risiko wasting pada anak usia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan Condet
sebesar 12%.
4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara risiko wasting dengan prevalensi
anemia (p=0,578).

Saran

Dari hasil penelitian di atas, peneliti menyarankan:


1. Asupan nutrisi terutama mineral dan vitamin yang berperan dalam eritropoiesis perlu
lebih ditingkatkan. Selain itu, anemia juga bisa disebabkan infeksi parasit sehingga
pesantren dan orangtua perlu menjaga kebersihan agar anak terhindar dari infeksi
parasit.
2. Asupan nutrisi terutama makronutrien seperti karbohidrat dan protein perlu dijaga
bahkan ditingkatkan agar anak tidak sampai mengalami tingkat wasting yang lebih
parah.

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


3. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai asupan nutrisi baik
makronutrien maupun mikronutrien yang cukup untuk anak-anak dalam masa
pertumbuhan sebagai tindakan pencegahan.

Daftar Referensi

1. Masrizal. Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2007; II: 140-145.
2. Harmatz P, Butensky E, Lubin B. Nutritional anemia. Dalam: Walker WA, Watkins JB,
Duggan C, editor. Nutrition in pediatrics. Edisi 3. London: BC Decker Inc; 2003. h.830-
844.
3. Abdulsalam M. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan defisiensi besi pada bayi dan
anak. Dalam: Triasih R, editor. Anemia defisiensi besi. Yogyakarta: Medika FK-UGM;
2005. h.55-64.
4. Soemantri A. Epidemiology of iron deficiency anemia. Dalam: Triasih R, editor. Anemia
defisiensi besi. Yogyakarta: Medika FK-UGM; 2005. h.11.
5. Hadi H. Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan
kesehatan nasional. Disampaikan pada Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Februari 2005.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2010.
Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010 [dokumen di internet].
[disitasi pada 13 Juli 2011]; Diunduh dari www.diskes.jabarprov.go.id.
7. Agustian L. Penilaian status gizi setelah terapi besi pada anak sekolah dasar yang
menderita anemia defisiensi besi [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
8. Kumar V, Abbas A, Fausto N. Robbins and Cotran’s pathologic basis of disease. Edisi 7.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.
9. Butensky E, Harmatz P, Lubin B. Nutritional anemias. Dalam: Duggan C, Watkins JB,
Walker WA. Nutrition in pediatrics 4. Hamilton: BC Decker Inc.; h.701.
10. Nurcahyo K, Briawan D. Konsumsi pangan, penyakit infeksi, dan status gizi anak balita
pasca perawatan gizi buruk. Journal of Nutrition and Food. 2010; 5: 164-170.
11. Rosdiana N. Pendekatan diagnosis pucat pada anak. Majalah Kedokteran Nusantara 2008;
41: 139-143.
12. Handayani W, Haribowo AS. Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem hematologi. Jakarta: Salemba Medika; 2008. h.37-40.
13. Bread J. Iron deficiency alters brain development and functioning. J.Nutr. 2003; 133:

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


1468-1472.
14. Yager JY, Hartfield DS. Neurologic manifestation of iron deficiency in childhood. Pediatr
Neurol. 2002; 27: 85-92.
15. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Edisi 1. Jakarta: Gramedia; 2003. h.249-257.
16. Tjendraputra EN, Fu D, Phang JM, Richardson DR. Iron chelation regulates cyclin D1
expression via the proteasome: a link to iron deficiency-mediated growth suppression.
Blood. 2007; 109: 4045-4054.
17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2007 [dokumen di internet]. Desember 2008 [disitasi pada 8
Januari 2011]. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/25886294/Riskesda-
laporanNasional.
18. Gibson RS. Principles of nutritional assesment. Edisi 2. New York: Oxford University
Press; 2005. h.255-256.
19. Toran B. Protein-energy malnutrition. Dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B,
Cousins RJ, editor. Modern nutrition in health and disease. Edisi 10. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h.881-891.
20. Villalpando S, Shamah-Levy T, Ramirez-Silva CI, Mejia-Rodriguez F, Rivera JA.
Prevalence of anemia in children 1 to 12 years of age: results from a nationwide
probabilistic survey in Mexico. Salud Publica de Mexico. 2003; 45: 490-498.
21. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Data penduduk sasaran program
pembangunan kesehatan 2007-2011. Jakarta: Depkes RI; 2009. h.39,94.
22. Hioui ME, Farsi M, Aboussaleh Y, Ahami AOT, Achicha A. Prevalence of malnutrition
and anemia among preschool children in Kenitra, Morocco. Nutritional Therapy &
Metabolism. 2010; 28 (2): 73-76

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


 

Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012


Prevalensi anemia..., Nessya Nazzala, FK UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai