E-mail: nessya.nazzala@gmail.com
Abstrak
Anemia adalah kondisi konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel darah merah di bawah normal
berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan kehamilan. Kejadian anemia di Indonesia masih cukup banyak,
terutama pada anak-anak. Tingginya prevalensi anemia di negara berkembang seperti Indonesia berhubungan
dengan tingginya kejadian malnutrisi akibat rendahnya kemampuan ekonomi. Penelitian ini bertujuan
mengetahui prevalensi anemia dan hubungannya dengan risiko wasting pada anak usia 3 sampai 9 tahun di
Pesantren Tapak Sunan, Condet, Jakarta. Rancangan penelitian ini adalah studi cross-sectional. Penelitian
dilakukan pada tanggal 19 Januari 2011 dengan metode pemilihan sampel total sampling. Data yang
dikumpulkan berupa usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan kadar Hb. Data-data tersebut kemudian
diolah menggunakan Epi Info dan SPSS. Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 50 subjek penelitian,
mayoritas berjenis kelamin laki-laki (56%) dan berusia 3-6 tahun (86%). Dari 50 subjek, 13 di antaranya
menderita anemia (26%), dan enam di antaranya mengalami risiko wasting (12%). Satu dari enam anak dengan
risiko wasting juga menderita anemia (16,67%). Uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara risiko wasting dengan prevalensi anemia (p=0,578).
Prevalence of Anemia in 3-9 years old Children and Its Association with Mild Wasting
at Tapak Sunan Islamic Boarding School, Condet, Jakarta, 2011
Abstract
Anemia is a condition when the hemoglobin concentration or the amount of red blood cells is below the
normal level in terms of age cluster, sex, and pregnancy. In Indonesia, anemia is one of the major problem,
especially in children. High number of anemia prevalence in the developing nation such as Indonesia is related
to the high number of malnutrition as the cause of the low economic level. This study aims to find out the
prevalence of anemia and its association with mild wasting in 3-9 years old children at Tapak Sunan Islamic
Boarding School, Condet, Jakarta. The cross-sectional design was used in this research and the sample was
chosen by total sampling. The data, which include age, sex, body weight, body height, and hemoglobin
concentration, was taken on 19th January 2011. After that, the data is processed by using Epi Info and SPSS.
From 50 subjects involved in this study, 56% are male and 86% are 3-6 years old chidren, 13 subjects (26%) are
suffered from anemia while 6 subjects (12%) are suffered from mild wasting. Besides that, one of six children
with mild wasting (16.67%) is also suffered from anemia. The chi-square test shows that there is no significant
association between mild wasting and the prevalence of anemia (p=0.578).
Anemia adalah masalah yang luas dan tersebar di berbagai negara. Lebih dari 50%
penyebab anemia adalah defisiensi zat gizi terutama besi, dan 90% dari semua kasus terjadi
di negara berkembang.1,2 Di Indonesia, anemia menjadi masalah yang penting. Survei Rumah
Tangga yang dilakukan pada tahun 1995 menghasilkan data 40,5% balita dan 47,3% anak
usia sekolah mengalami anemia defisiensi besi.3 Penelitian lain terhadap anak usia 5-14 tahun
di beberapa daerah di Indonesia menghasilkan data prevalensi anemia defisiensi besi pada
anak yang mengalami kekurangan kalori protein (KKP) sebesar 47-64%.4
Kekurangan kalori protein, atau malnutrisi secara umum juga merupakan masalah gizi
yang penting di negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian pada tahun 1999
menunjukkan 36,1% anak usia sekolah mengalami kurang gizi.5 Sedangkan menurut
Riskesdas tahun 2010, prevalensi wasting di Indonesia sebesar 13,3%, dan di DKI Jakarta
sebesar 11,3%.6 Padahal menurut WHO prevalensi wasting lebih dari 10% adalah masalah
gizi yang sangat serius.7
Selain prevalensi yang cukup tinggi, masalah anemia dan malnutrisi menjadi sangat
penting karena dampaknya yang merugikan. Gangguan pertumbuhan, perkembangan mental,
motorik, dan perilaku dapat terjadi jika anemia terjadi pada bayi dan anak-anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan.7 Selain itu, secara umum jumlah zat besi yang kurang
menghambat pertumbuhan sel tubuh dan otak sehingga timbul gejala-gejala lesu, lemah, letih,
mudah lelah, dan cepat lupa. Daya tahan tubuh juga menjadi berkurang sehingga dalam
jangka panjang mengakibatkan penurunan prestasi dan produktivitas.1
Ada sangat banyak kemungkinan penyebab anemia. Golongan sosioekonomi rendah,
anak-anak, dan wanita premenopause cenderung lebih sering mengalami anemia, terutama
anemia defisiensi besi. Golongan sosioekonomi rendah lebih banyak disebabkan
ketidakmampuan memenuhi asupan makanan yang mengandung zat besi heme (pada daging)
yang lebih mudah diabsorpsi daripada zat besi anorganik (pada sayur-sayuran). Pada anak-
anak terjadi karena peningkatan kebutuhan tubuh atas zat besi untuk pertumbuhan yang
kadang tidak bisa diimbangi dengan asupan makanan dan susu, atau karena infeksi parasit
(cacing) yang menghisap darah. Kehilangan darah saat menstruasi juga menyebabkan anemia
lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria seusianya.1,8 Gangguan asupan nutrisi
yang kompleks seperti pada kelaparan serta defisiensi kalori dan protein juga dapat
menyebabkan anemia.9
Tinjauan Teoritis
Anemia didefinisikan sebagai kondisi ketika konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel
darah merah di bawah normal berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan kehamilan.
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan WHO, batasan anemia adalah sebagai berikut:1,11
Anemia pada anak-anak bisa disebabkan oleh terganggunya produksi sel darah merah
atau rusaknya jumlah eritrosit yang bermakna. Meskipun anemia bisa disebabkan kondisi
khusus seperti malaria dan infeksi parasit, namun sebagian besar anemia terjadi karena
defisiensi zat gizi yang penting dalam pembentukan sel darah merah.1,11
Defisiensi vitamin bisa menjadi salah satu penyebab anemia. Vitamin-vitamin
tersebut adalah vitamin A, vitamin B6 (piridoksin), B2 (riboflavin), B9 (folat), B12
(cyanocobalamin), vitamin C, dan vitamin E. Mineral-mineral seperti besi dan tembaga juga
penting dalam proses eritropoiesis. Gangguan asupan nutrisi yang kompleks seperti pada
kelaparan serta defisiensi kalori dan protein juga dapat menyebabkan anemia.9
Anemia umumnya diklasifikasikan menurut kadar Hb menjadi:12
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Keparahan PEM Akut (Wasting) dan PEM Kronis (Stunting) pada Anak-
Anak
Weight for height 90-110 (-1 to 1 80-89 (-1,1 to -2 75-79 (-2,1 to -3 <75, or with
(deficit=wasting) Z) Z) Z) edema (<-3 Z)
Height for age 95-105 (-1 to 1 90-94 (-1,1 to -2 85-89 (-2,1 to -3 <85 (<-3 Z)
(deficit=stunting) Z) Z) Z)
Salah satu dampak dari
keadaan
PEM
adalah berkurangnya konsentrasi hemoglobin
dan massa sel darah merah.
Berkurangnya massa tubuh dan aktivitas anak dengan malnutrisi
menyebabkan kebutuhan oksigen menurun. Kurangnya asupan protein juga menyebabkan
berkurangnya aktivitas hematopoietik, karena asam amino digunakan untuk sintesis protein
tubuh lain yang dianggap lebih penting. Menurunnya jumlah sel darah merah ini tidak bisa
disebut sebagai anemia selama kebutuhan oksigen jaringan masih bisa terpenuhi, karena
keadaan ini adalah suatu respon adaptasi tubuh. Namun ketika sintesis jaringan, massa tubuh,
dan aktivitas fisik kembali normal seiring dengan perbaikan asupan nutrisi, kebutuhan
oksigen akan kembali meningkat sehingga terjadi percepatan proses hematopoiesis. Jika pada
tahap ini zat besi, asam folat, dan vitamin B12 yang dibutuhkan dalam hematopoiesis tidak
tersedia dalam jumlah yang cukup, pasien dapat mengalami anemia dan hipoksia jaringan.19
Penelitian yang dilakukan di Meksiko pada tahun 1999 dengan subjek anak berusia 2-
12 tahun menunjukkan bahwa konsentrasi hemoglobin menunjukkan hubungan yang berbeda
bermakna dengan BB/TB anak yang merupakan indikator wasting (p=0,0001). Namun pada
penelitian ini belum bisa ditentukan apakah anemia yang menyebabkan wasting atau
sebaliknya.20
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional) dengan populasi
terjangkau anak berusia 3-9 tahun di Pesantren Tapak Sunan Condet. Pemilihan sampel
dilakukan menggunakan total sampling yaitu seluruh anak berusia 3-9 tahun di Pesantren
Tapak Sunan Condet yang berjumlah 79 orang. Data yang dibutuhkan berupa nama dan
tanggal lahir untuk menentukan usia diperoleh dari data Tata Usaha Pesantren Tapak Sunan
Condet. Observasi dilakukan untuk menentukan jenis kelamin subjek. Selanjutnya dilakukan
pengukuran untuk mendapatkan data berat badan, tinggi badan, dan kadar hemoglobin
subjek. Risiko wasting ditentukan jika nilai Z-score BB/TB di antara -1,1 sampai -2. Anemia
ditentukan jika kadar hemoglobin subjek berusia 3-6 tahun kurang dari 11 gr/dL dan subjek
berusia 6-9 tahun kurang dari 12 gr/dL.
Data berupa nama, jenis kelamin, tanggal lahir, tanggal pemeriksaan, berat badan,
Hasil Penelitian
Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi berjumlah 55 orang. Tetapi setelah dilakukan pengambilan data, ada 5 subjek yang
datanya tidak lengkap, sehingga tidak diikutkan dalam pengolahan data.
Sebaran subjek berdasarkan usia dan jenis kelamin bisa dilihat pada tabel 2.
Karakteristik N %
3-6 43 86,0
Kelompok Usia
7-9 7 14,0
Laki-laki 28 56,0
Jenis Kelamin
Perempuan 22 44,0
Dari 50 subjek penelitian, mayoritas subjek berusia 3-6 tahun dan berjenis kelamin
laki-laki.
Anemia Normal
Variabel
N % n %
Kelompok Usia
3-6 tahun 11 25,6 32 74,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 4 14,3 24 85,7
.
Prevalensi anemia yang didapatkan dari penelitian ini sebesar 26%. Prevalensi anemia
lebih tinggi pada kelompok usia 7-9 tahun dan jenis kelamin perempuan.
Sebaran risiko wasting berdasarkan usia dan jenis kelamin bisa dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Risiko Wasting berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Kelompok Usia
3-6 tahun 5 11,6 38 88,4
Jenis Kelamin
Prevalensi risiko wasting pada penelitian ini sebesar 12%. Prevalensi risiko wasting
lebih tinggi pada kelompok usia 7-9 tahun dan jenis kelamin laki-laki.
Anemia Nilai p
Ya Tidak
Dari tabel 5 diketahui prevalensi anemia pada anak berisiko wasting adalah 16,67%
dan dari penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara risiko wasting
dengan prevalensi anemia.
Pembahasan
Dari 50 subjek penelitian, mayoritas subjek berusia 3-6 tahun dengan persentase 86%.
Sedangkan menurut Depkes RI, persentase anak usia 3-6 tahun di Indonesia adalah 57,66%
dan anak 7-9 tahun sebesar 42,34%. Di daerah DKI Jakarta khususnya, menunjukkan hasil
58,33% anak berusia 3-6 tahun, dan 41,67% anak berusia 7-9 tahun.21
Pada penelitian ini mayoritas subjek berjenis kelamin laki-laki dengan persentase
56%. Data ini sesuai dengan data Depkes RI bahwa persentase anak laki-laki usia 3-9 tahun
di Indonesia sebesar 51,07% dan anak perempuan sebesar 48,93%. Di DKI Jakarta,
persentase anak laki-laki tidak jauh berbeda yaitu sebesar 50,73% dan anak perempuan
sebesar 49,27%.21
Kesimpulan
Saran
Daftar Referensi
1. Masrizal. Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2007; II: 140-145.
2. Harmatz P, Butensky E, Lubin B. Nutritional anemia. Dalam: Walker WA, Watkins JB,
Duggan C, editor. Nutrition in pediatrics. Edisi 3. London: BC Decker Inc; 2003. h.830-
844.
3. Abdulsalam M. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan defisiensi besi pada bayi dan
anak. Dalam: Triasih R, editor. Anemia defisiensi besi. Yogyakarta: Medika FK-UGM;
2005. h.55-64.
4. Soemantri A. Epidemiology of iron deficiency anemia. Dalam: Triasih R, editor. Anemia
defisiensi besi. Yogyakarta: Medika FK-UGM; 2005. h.11.
5. Hadi H. Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan
kesehatan nasional. Disampaikan pada Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Februari 2005.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2010.
Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010 [dokumen di internet].
[disitasi pada 13 Juli 2011]; Diunduh dari www.diskes.jabarprov.go.id.
7. Agustian L. Penilaian status gizi setelah terapi besi pada anak sekolah dasar yang
menderita anemia defisiensi besi [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
8. Kumar V, Abbas A, Fausto N. Robbins and Cotran’s pathologic basis of disease. Edisi 7.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.
9. Butensky E, Harmatz P, Lubin B. Nutritional anemias. Dalam: Duggan C, Watkins JB,
Walker WA. Nutrition in pediatrics 4. Hamilton: BC Decker Inc.; h.701.
10. Nurcahyo K, Briawan D. Konsumsi pangan, penyakit infeksi, dan status gizi anak balita
pasca perawatan gizi buruk. Journal of Nutrition and Food. 2010; 5: 164-170.
11. Rosdiana N. Pendekatan diagnosis pucat pada anak. Majalah Kedokteran Nusantara 2008;
41: 139-143.
12. Handayani W, Haribowo AS. Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem hematologi. Jakarta: Salemba Medika; 2008. h.37-40.
13. Bread J. Iron deficiency alters brain development and functioning. J.Nutr. 2003; 133: