BAB VI Metoda Workover
BAB VI Metoda Workover
6.2.1. Stimulasi
Stimulasi merupakan suatu metoda workover yang berhubungan dengan
adanya perubahan sifat formasi, dengan cara menambahkan unsur-unsur tertentu atau
material lain ke dalam reservoir atau formasi untuk memperbaikinya. Prinsip
penerapan metoda ini adalah dengan memperbesar harga ko atau dengan menurunkan
harga μo, sehingga harga PI-nya meningkat dibanding sebelum metoda ini diterapkan
sesuai persamaan:
0,00782 k h
PI = ……..………………………………………….. (6-1)
μo Bo ln (re/rw)
Dari persamaan itu terlihat bahwa harga ko dan μo akan mempengaruhi harga PI.
6.2.1.1. Acidizing
Operasi acidizing ini dimaksudkan untuk memperbaiki permeabilitas formasi
di sekitar lubang sumur yang telah mengalami damage. Operasi ini adalah dengan
jalan menginjeksikan zat asam ke dalam formasi produktif yang mengalami
kerusakan. Dengan demikian diharapkan terjadi reaksi kimia antara zat asam dengan
formasi, sehingga akibat dari reaksi tersebut akan terbentuk rongga-rongga pada
batuan formasi di sekitar lubang sumur. Larutan asam yang digunakan adalah asam
hydrochloric (HCl) dan campuran asam hydrochloric dengan hydrofloric (HCl – HF).
Jenis formasi yang dapat diatasi dengan hydrochloric adalah limestone, dolomite, dan
dolomite limestone. Persamaan reaksi antara asam hydrochloric dengan limestone
adalah:
2 HCl + CaCO3 CaCl2 +H2O + CO2
Dan untuk dolomite, persamaan reaksinya adalah:
4 HCl + CaMg (CO3)2 CaCl2 + MgCl2 + 2 H2) + 2 CO2
Formasi limestone dan dolomite pada umumnya mengandung sejumlah kecil pasir,
anhydrit, gypsum, dan impurity lainnya yang pada umumnya tidak mudah larut.
Sebagai perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk suatu perioda adalah satu jam agar
partikel-partikel yang tidak mudah larut membentuk suspensi dan menymbat pori-
pori.
Metoda acidizing dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
Matriks acidizing
Fracturing acidizing
Thermal acidizing
1. Matriks Acidizing
Jenis matriks acidizing ini umumnya dilakukan pada formasi batupasir
(sandstone) yang dikotori oleh calcium, carbonat, clay/shale, dan feldspar, dapat juga
pada formasi limestone. Dalam operasi matriks acidizing ini, larutan asam
dipompakan atau diinjeksikan agar melarutkan batuan formasi dan endapan-endapan
di sekitar lubang sumur. Tekanan yang dipergunakan dalam operasi ini lebih kecil
dari tekanan rekah formasi. Dengan demikian diharapkan zat asam dapat bereaksi
dengan dinding pori-pori batuan sehingga dapat membersihkan kotoran atau endapan
penyumbat matriks batuan (melarutkannya) yang pada akhirnya memperbesar pori-
pori batuan dan fluida reservoir dapat mengalir lebih leluasa.
Maksimum radial penetrasi dari larutan asam ini tergantung pada kecepatan
zat asam di dalam pori-pori batuan dan spending time-nya. Sedang asam yang telah
bersentuhan dengan batuan formasi akan bereaksi pula dan masuk ke dalam pori-pori
batuan (lihat Gambar 6.1.) Apabila dianggap injeksi rate dan spending time untuk
setiap penambahan larutan asamnya adalah konstan, penambahan zat asam berikutnya
tidak akan memperbesar luas penampang pori-pori tersebut.
Gambar 6.1
Matriks Acidizing pada Batuan 15)
Beberapa asumsi yang dipakai dalam melaksanakan metoda matriks acidizing ini
adalah:
Formasinya homogen
Ukuran pori-porinya seragam
Penetrasi larutan asam secara uniform dan radial
Kecepatan reaksi menurun secara uniform dengan berkurangnya konsentrasi asam
Berat limestone yang terlarut pada setiap pertambahan jarak menurun secara
uniform sampai seluruh asam terpakai
Berdasarkan asumsi di atas, jarak radial larutan asam akan menembus formasi
sebelum larutan asam dipakai seluruhnya. Persamaannya dapat ditulis sebagai
berikut:
Volume asam yang diinjeksikan, ft3 = volume pori-pori batuan yang terinvasi
qi t = π h (ra2 – rw2) ...…...………………………………………… (6-2)
Jika qi dinyatakan dalam barrel per menit dan t dalam detik, maka:
5,615 qi t
ra = + rw2 ……...……………………………………. (6-3)
60 π h
atau
0,0936 qi t
ra = + rw2 ……....…………………………………… (6-4)
60 π h
dimana:
ra = Jarak radial penetrasi zat asam, ft
ø = Porositas, fraksi
qi = Laju injeksi zat asam, bbl/menit
t = Spending time, detik
rw = Jari-jari sumur, ft
h = Ketebalan formasi,ft
Dari Persamaan (6-4) tersebut faktor yang tidak diketahui adalah spending time (t),
yang harus ditentukan di laboratorium. Spending time ini tergantung pada
perbandingan luas batuan dengan volume larutan asamnya yang disebut ”specific
surface area”. Untuk matriks acidizing, specific surface areanya dapat ditulis:
108
k = …………………………………………………………. (6-5)
2
2 F Sq
atau
Sq = 104 √ ½ F k .…………………………………………………… (6-6)
dimana:
k = Permeabilitas, Darcy
Sq = Specific surface area, cm2/cm3
F = Faktor resistivity (tahanan) formasi, fraksi
Sedangkan faktor tahanan formasi (F) dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:
F = –m
dimana:
m = Faktor sementasi yang besarnya bervariasi
Gambar 6.2
Operasi Matriks Acidizing di Lapangan 14)
Faktor m bervariasi dari 1,3 untuk consolidated sand dan oolitic limestone sampai 2,2
untuk dense limestone (lihat Tabel VI-1). Untuk mendapatkan hasil penetrasi dari
fluida asam yang lebih baik, perlu dilakukan pengurangan kecepatan reaksi dan
menaikkan rate injeksi dari larutan asam ke dalam formasi.
Spending time dari larutan asam tergantung pula pada tekanan, temperatur, kecepatan
asam dalam batuan, dan konsentrasi dan retarding additivenya. Kerana banyaknya
faktor yang mempengaruhi spending time, maka pengukuran spending time hanya
mungkin dilaksanakan di laboratorium.
Tabel VI-1
Cementation Factor dan Lithologi 5)
2. Fracturing Acidizing
Di dalam operasi acidizing jenis ini larutan zat asam dialirkan melalui rekahan
atau fracture. Operasi fracturing acidizing ini dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu
acidizing melalui rekahan yang sudah ada dan acidizing dengan tekanan yang tinggi
melalui rekahan.
Gambar 6.3
Hubungan Gradien Hidrostatik Asam HCl 10)
Terhadap Konsentrasi Asamnya 15)
Gambar 6.4
Hubungan Viscositas Asam HCl dengan
Temperatur pada Berbagai Konsentrasi Asam 10)
3. Thermal Acidizing
Pada batuan dolomit yang padat dengan permeabilitas rendah dan adanya
beberapa sisipan batuan lainnya, biasanya tidak dapat larut dengan cepat dalam asam
dingin. Kadang-kadang endapan parafin, resin, dan asphalt di dasar lubang
menghalangi reaksi antara asam dan batuan, sehingga diperlukan penggunaan asam
panas.
Dalam hal ini, asam dipanaskan secara kimiawi dengan reaksi eksothermal
antara asam dengan regentnya (biasanya digunakan magnesium atau campurannya).
Jika magnesium dilarutkan dalam asam HCl maka akan timbul panas 46662,5 kkal/kg
Mg dengan reaksi sebagai berikut:
Mg + 2 HCl MgCl2 + H2 ↑
Keberhasilan proses acidizing ini ditentukan oleh seberapa jauh larutan asam
menembus ke dalam formasi produktif sedangkan jarak penembusan tergantung pada
kecepatan pemompaan, kecepatan reaksi asam, dan perbandingan luas penetrasi
terhadap volume reservoir. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan asam yang
digunakan serta zat-zat tambahan (additive) untuk mempercepat terjadinya reaksi dan
mencegah reaksi yang berlebihan antara asam dengan logam-logam peralatan dalam
sumur.
Dalam pelaksanaan proses acidizing ini ada 4 (empat) tahap, yaitu:
a. Pertama-tama unsur dibersihkan dengan fluida pembersih, lalu diturunkan
peralatan yang diperlukan ke dalam sumur disertai pengisian lubang sumur
dengan crude oil.
b. Selanjutnya asam yang dipilih diinjeksikan ke dalam sumur (dengan laju dan
tekanan yang direncanakan) dengan menggunakan pompa.
c. Menginjeksikan crude oil (sebagai fluida pendesak) setelah asam masuk ke dalam
sumur (flushing).
d. Dengan masuknya asam dan berakhirnya flushing ini selanjutnya dapat diperoleh
crude oil dari lapisan reservoir yang dikenai proses acidizing
Gambar 6.5
Peralatan Permukaan dalam Proyek Hydraulic Fracturing 15)
a. Tekanan peretak
Tekanan peretak merupakan besarnya tekanan yang diperlukan agar batuan
formasi dapat retak. Retakan batuan terjadi karena batuan tersebut tidak bersifat
plastis. Dalam hal ini tekanan peretak dipengaruhi oleh:
Kekuatan batuan
Tekanan overburden
Keseragaman permeabilitas batuan
Penetrasi fluida peretak
Besarnya tekanan peretak diberikan oleh persamaan:
Pf = Ph + Pw – Pf – Ppf ..…………………………………………… (6-16)
Bila batuan ditekan dengan cairan peretak hingga retak, maka arah retakan yang
terjadi akan tegak lurus pada gaya yang terkecil. Arah retakan yang terjadi
dipengaruhi oleh tiga jenis stress seperti diperlihatkan pada Gambar 6.7. Retakan-
retakan yang terbentuk akibat injeksi fluida ke dalam formasi dapat berbentuk:
Vertikal fracture
Horizontal fracture
Angle fracturing
Gambar 6.6
Konsentrasi Sand Dipakai (lb Sand per gal Liquid) serta
Mekanisme Fluida Injeksi Dalam Sumur 15)
Jika vertikal stress lebih kecil dari horizontal stress ditambah rock strength, maka
arah retakan akan horizontal. Sedangkan bila vertikal stress lebih besar dari
horizontal stress ditambah rock strength, maka arah retakannya vertikal.
b. Fluida Peretak
Fluida peretak berguna sebagai medium penyalur tekanan untuk meretakkan
formasi produktif dan mengangkat pasir dalam bentuk suspensi. Fluida peretak yang
baik harus mempunyai sifat:
Sepadan (compatible) dengan cairan lapisan produktif
Pengangkatan pasir yang baik
Kehilangan tekanan akibat gesekan kecil
Mempunyai sifat flitrat loss yang rendah
Gambar 6.7
Triaxial Loading Pada Batuan 9)
Productivity Ratio
Productivity ratio merupakan perbandingan antara productivity indeks sumur
setelah fracturing terhadap productivity indeks sumur sebelum fracturing (PIf/PI).
Setiap retakan akan memberikan pola tersendiri, maka harga productivity ratio tidak
dapat ditentukan secara tepat, tetapi dengan menganggap bahwa retakan yang terjadi
adalah menurut pola yang seragam radial dapat diperkirakan harga productivity ratio
untuk retakan vertikal dan horizontal.
Untuk tipe retakan horizontal dan dengan menganggap permeabilitas vertikal
= 0, maka productivity ratio dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan:
kavg
PR = …...…………………………………………………….. (6-17)
k
dimana:
kavg = Permeabilitas rata-rata dari formasi yang diretakkan, mD
k = Permeabilitas dari formasi yang tidak mengalami peretakan, mD
Gambar 6.8 memperlihatkan bahwa permeabilitas rata-rata dari zona retakan adalah
sama dengan permeabilitas rata-rata yang diperkirakan untuk aliran radial dalam
lapisan paralel. Dapat juga ditulis sebagai berikut:
kf w + k h
kfz = ………….……………………………………….. (6-18)
h
dimana:
kfz = Permeabilitas rata-rata dari zona retakan, mD
kf = Permeabilitas retakan, mD
k = Permeabilitas, mD
h = Ketebalan formsi, ft
w = Ketebalan retakan, ft
Gambar 6.8.
Skema Zona Retakan 8)
Bila lapisan tersusun secara seri, maka penentuan permeabilitas rata-rata dari
formasi yang diretakkan dapat ditentukan dengan persamaan dibawah ini:
K kfz ln (re/rw)
kavg = ………...………………………. (6-19)
kfz ln (re/rw) + k ln (re/rw)
dimana:
re = Jari-jari pengurasan, ft
rw = Jari-jari sumur, ft
Bila Persamaan (6-18) disubstitusikan ke dalam Persamaan (6-19), maka akan
diperoleh persamaan berikut:
kf w + k h
k ln (re/rw)
h
kavg = ………………………… (6-20)
kf w + k h
ln (re/rw) + ln (re/rw)
h
Persamaan (6-20) disubstitusikan ke dalam Persamaan (6-17), maka akan diperoleh:
(kf w + k h) ln (re/rw)
PR = ……..……………………. (6-21)
(kf w + k h) ln (re/rw) + ln (re/rw)
atau
k.h
+1 ln (re/rw)
kf w kf w
PR = ………………….. (6-22)
kh kh
+1 ln (re/rw) + ln (re/rw)
kf w
Harga PR untuk retakan horizontal dapat juga dicari dengan menggunakan
grafik pada Gambar 6.9. Sedangkan untuk retakan vertikal harga PR ditentukan
secara grafis dengan menggunakan grafik pada Gambar 6.10. Dari grafik tersebut
memperlihatkan hubungan antara productivity ratio untuk setiap harga fracture
penetration dengan faktor C, dimana besarnya C adalah kf.w/k.
Penetrasi Retakan
Secara tepat penetrasi retakan belum dapat ditentukan, akan tetapi arah
retakan bisa diketahui. Ini disebabkan oleh adanya bentuk-bentuk dan pola yang tidak
menentu waktu terjadinya peretakan. Untuk memperlihatkan besarnya penetrasi
retakan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
μt t ½
rf = c’ qi ……….………………………………………. (6-23)
k
dimana:
rf = Jari-jari retakan, ft
qi = rate injeksi, gpm
t = Waktu pemompaan, menit
μf = Viscositas fluida peretak, cp
k = Permeabilitas formasi, D
c’ = Konstanta yang tergantung pada tekanan reservoir, kekuatan batuan,
dan porositas batuan
Gambar 6.9
Penentuan Productivity Ratio Untuk Retakan Horizontal 8)
Gambar 6.10
Penentuan Productivity Ratio Untuk Retakan Vertikal 8)
Luas Retakan
Persamaan untuk menghitung luas daerah retakan yang dapat digunakan untuk
retakan vertikal maupun retakan horizontal adalah sebagai berikut:
qi wf 2X
Af = e(X) erfc (X) + –1 ...……………………….. (6-28)
2
4c √π
dimana:
X = 2 c √ π t / wf
erfc (X) dapat dilihat pada Tabel VI-2
qi = Rate injeksi, cuft/menit
wf = Lebar retakan, ft
c = Koefisien fluida peretak, ft/menit ½
t = Total pumping unit, menit
Efisiensi Retakan
Efisiensi retakan dinyatakan sebagai perbandingan antara volume fluida
peretak yang dipakai. Efisiensi retakan dinyatakan dalam persamaan:
Vf wf Af
Af = = ………..……………………………………… (6-29)
Vi qi t
Kemudian Persamaan (6-28) disubstitusikan ke dalam Persamaan (6-29), maka
efisiensi retakan menjadi:
1 2X
(X)
Eff = e erfc (X) + –1 ..……………………….. (6-30)
X2 √π
Operasi yang sering digunakan pada teknik squeeze cementing adalah operasi
block squeeze dan operasi plug back.
a. Operasi Block Squeeze
Operasi ini dimaksudkan untuk mencegah migrasi air atau gas ke dalam zona
produksi dengan jalan mengisolasi lapisa di atas atau di bawah lapisan produktif
sebelum sumur dikomplesi. Teknik ini akan melibatkan dua kali perforasi dan dua
kali squeeze, yaitu untuk lapisan di atas lapisan produktif dan squeeze di bawah
lapisan produktif dan kemudian baru diadakan perforasi pada zona produktif.
b. Operasi Plug Back
Operasi ini dimaksudkan untuk menyumbat zona lost circulation, menutup zona
abandonment, sebagai whipstock plug pada pemboran berarah, dan testing
formasi (karena jarak di bawah zona yang akan ditest tidak mungkin dipasang
bridge plug).
Gambar 6.13
Lumpur Mengisi Perforasi Untuk Menjaga
Semen Filter – Cake Formation 9)
6.2.3. Reperforasi
Perforasi dilakukan pada zona-zona produktif yang ada dalam sumur dan
sesuai dengan target kedalaman yang telah ditentukan. Pada pengerjaannya ternyata
sering pula terjadi di bawah target tersebut tidak terpenuhi (lubang perforasi terletak
diatas sebelum zona yang seharusnya diperforasi) atau bahkan target yang ditetapkan
terlampau (perforasi dilakukan terlalu dalam dari target yang telah ditentukan).
Dengan demikian maka perlu dilakukan perforasi ulang sesuai dengan target yang
telah ditentukan.
Selain target yang ditentukan tersebut, terdapat beberapa alasan yang
memungkinkan dilakukannya perforasi ulang, yaitu:
Adanya sumbatan pada lubang perforasi yang sudah ada oleh material yang
berasal dari formasi, seperti pasir atau shale.
Pemindahan target perforasi, karena perforasi pada lapisan produktif yang lama
sudah tidak dianggap ekonomis lagi dan perlu ditutup, kemudian dipindahkan ke
lapisan produktif lain yang lebih ekonomis.
Menambah lubang perforasi baru yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah
aliran fluida ke dalam lubang sumur.
Jenis-jenis perforasi:
a. Bullet Perforating
Pada metoda ini, alat perforatornya terdiri dari beberapa pucuk/laras senapan
api yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat diturunkan ke dalam lubang bor
dan dapat ditembakkan secara elektris dari permukaan. Peluru-peluru tersebut akan
menembus casing dan semen formasi dengan kecepatan sangat tinggi.
Bagian bullet perforating gun utamanya terdiri dari :
Fluid seal disk (untuk menahan masuknya fluida sumur ke alat)
Gun barrel dan gun body, dimana barrel disekrupkan dan tempat igniter (sumbu),
propelant (peluru) dengan shear disk didasarnya untuk memegang bullet
ditempatnya sampai tekanan maksimum karena terbakarnya powder.
Kawat yang meneruskan arus listrik untuk mekanisme kontrol pembakaran
powder charge.
Gun body terdiri dari silinder besi panjang dan sejumlah gun yang diturunkan ke
dalam sumur melalui kabel logging.
Adapun keuntungan bullet perforating adalah:
Umumnya lebih murah dan jumlah peluru yang ditembakkan dapat diatur sesuai
dengan kebutuhan.
Dapat menaikkan permeabilitas formasi akibat rekahan yang dibuatnya (terutama
dibagian ujung).
Pada formasi lunak, penetrasi bullet dapat sama dan bisa lebih tajam dibanding
dengan jet perforating.
Sedangkan kerugian bullet perforating adalah:
Tidak dapat digunakan untuk lubang sumur yang bertemperatur tinggi (lebih dari
275ºF).
Penembusan pada formasi sedang – keras kadang lebih dangkal dibanding dengan
jet perforating (tidak baik untuk casing berlapis).
Perekahan yang dihasilkan dapat menyebabkan terproduksinya air atau gas dari
formasi yang bersangkutan.
b. Jet perforating
Pada metoda ini, penembusan target (casing, semen, dan formasi) dihasilkan
oleh suatu arus jet berkecepatan tinggi sekitar 30.000 ft/dtk dan dengan tekanan ± 4
juta psi bersamaan dengan hancurnya bagian dalam liner.
Prinsip kerja jet perforating bukan gaya powder yang melepaskan bullet, tetapi
powder yang eksplosif diarahkan powder chargenya sendiri menjadi arus yang
berkekuatan tinggi yang dapat menembus casing.
Terlihat liner pecah dan ikut arus jet berkecepatan 30 ribu ft/detik dengan tekanan
sampai 4 x 106 psi, sedang gumpalan liner yang pecah (carrot) yang dapat menutup
perforasinya, dapat dicegah dengan design retrieveablenya.
Adapun keuntungan jet perforating adalah:
Dapat digunakan untuk temperatur lubang sumur ± 400ºF.
Cocok untuk formasi keras karena penetrasinya lebih dalam.
Rekahan yang dibuat tidak besar sehingga cocok untuk formasi yang tipis dan
kemungkinan terproduksinya air/gas dapat dihindari secara lebih baik.
Penetrasinya lebih banyak dipengaruhi oleh standoff (jarak yang harus ditempuh
jet atau bullet sebelum mencapai target), semakin besar standoff, maka penetrasi
jet semakin pendek.
Sedangkan kerugian jet perforating adalah:
Kurang memberikan fracture sehingga kurang baik untuk formasi-formasi tebal.
Jet akan memberikan lubang yang runcing di bagian dalam (tidak bulat) maka
tidak dapat menggunakan klep-klep bola, sedang penggunaan packer memerlukan
kehalusan dinding casing.
Jika standoff besar, maka jet terhalang lumpur.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka diciptakan jenis jet perforating yang baru,
yaitu Tubing Conveyed Perforating (TCP) dimana sistem gunnya diturunkan melalui
tubing produksi atau drillpipe. Gun perforasi dapat disusun untuk variasi panjang
sesuai formasi yang akan di perforasi serta kerapatannya.
Keuntungan sistem TCP ini adalah:
Untuk interval sangat panjang atau multiple interval bisa di perforasi satu trip,
sehingga rig timenya hemat.
Gun perforasinya dapat diturunkan pada sumur-sumur miring dimana wireline
gun tidak dapat diturunkan.
Untuk kepentingan gravel pack, metoda ini lebih efisien karena adanya big hole
charge dari TCP, serta sumur dapat langsung di flow test pada laju aliran hingga
stabil.
TCP gun dapat diturunkan bersama rangkaian DST.
Kerapatan penembakan (shoot densities)nya 4 – 12 spf
Gambar 6.14
Interval Perforasi Baru Pada Zona Dangkal 7)
Begitu juga apabila kita ingin meningkatkan produksi sumurnya dengan jalan
membuka zona-zona atau lapisan-lapisan yang belum pernah diproduksikan untuk
dikembangkan bersama-sama dengan zona lapisan sebelumnya, maka usaha inipun
harus memerlukan suatu operasi kerja ulang, dimana akan dilakukan komplesi
kembali (recompletion) sumur, apakah itu dengan dual completion atau dengan multi
completion.
Recompletion juga dapat dilakukan untuk menghindari terproduksinya air
akibat dari kenaikan water oil contact, seperti yang terlihat pada Gambar 6.15 berikut
ini.
Gambar 6.15
Komplesi Sumur Dengan Interval
Perforasi Yang Baru 7)
Tabel VI-3
Ukuran Gravel Yang Tersedia 9)
2. Kualitas gravel
Kualitas gravel tergantung pada besar butir, kekuatan butir, dan kelarutan butir
dalam asam. Ketika sifat butiran gravel ini harus diperiksa dahulu sebelum gravel
digunakan. Kehadiran gravel diluar ukuran (kebesaran atau kekecilan) akan
menyebabkan penurunan permeabilitas gravel pack.
Gravel terdapat dalam tiga jenis, yaitu:
Gravel kuarsa bersih dengan ketepatan ukuran paling baik (kekuatan butirnya
baik).
Gravel yang mengandung banyak konglomerat dan kelihatan seperti gravel
multi warna yang terdapat di sungai-sungai daerah pegunungan.
Gravel seperti kuarsa dengan permukaan kasar, mengandung banyak butiran-
butiran yang retak dan sedikit konglomerat (paling rendah kekuatannya).
3. Angularitas dan distribusi besar butir gravel
Permeabilitas dan kompaksi gravel dapat dipengaruhi oleh angularitas dan
distribusi besar butir.
Tabel VI-4
Beberapa Kriteria Desain Ukuran Butir Gravel
Terhadap Ukuran Butir Pasir 9)
Dimana:
Di = besar gravel pada titik persentile i dalam kurva distribusi besar butir gravel
(Gambar 6.16.)
C = koefisien keseragaman butir pasir formasi (Gambar 6.16.)
= d40 / d90
– C ≤ 3 untuk well sorted (pemilahan baik)
– C > 5 untuk poor sorted (pemilahan buruk)
Dimana:
Di = besar butir pasir pada titik persentile ke I dalam kurva distribusi besar butir
pasir formasi (Gambar 6.17)
Gambar 6.17
Distribusi Ukuran Pasir Untuk Berbagai Sampel 9)
Gambar 6.19
Instalasi Screen Liner 6)
Keterangan gambar:
(A). Pada open hole completion
(B). Pada perforated completion
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa dari analisa PBU dapat dihasilkan
beberapa parameter penting, yaitu permeabilitas effektif, tekanan reservoir mula-
mula, dan derajat kerusakan formasi. Permeabilitas effektif minyak ditentukan
berdasarkan grafik linier dari Gambar 6.21, dengan cara menentukan slope dari grafik
tersebut yang besarnya sama dengan koefisien logaritma Persamaan (6-35) tersebut,
yaitu:
qo μo Bo
m = 162,6 ………………….…….…………………….. (6-36)
kh
Tekanan awal reservoir (P*) ditentukan dengan cara ektrapolasi grafik yang linier dari
Gambar 6.21 terhadap perioda penutupan yang tidak terbatas atau (t + ∆t) / ∆t = 1.
Pada umumnya di lapangan bentuk kurva buildup ini tidaklah lurus melainkan terjadi
penyimpangan (deviasi) pada garis lurus tersebut dan diplot menjadi tidak linier lagi.
Contoh hasil kurvanya seprti terlihat pada Gambar 6.23.
Gambar 6.23
Pengaruh Kerusakan Formasi dan After Production
pada Kurva Pressure Buildup 4)
Garis yang menyimpang ini diperoleh pada tingkat mula-mula buildup, hal ini
disebabkan oleh adanya kerusakan formasi (formation damage) atau after production.
Kerusakan formasi (skin effect) ini disebabkan oleh berkurangnya permeabilitas
formasi disekitar lubang sumur akibat adanya invasi filtrat lumpur serta partikel-
partikel padatan yang terkandung di dalam lumpur pemboran sewaktu berlangsung
operasi pemboran ataupun dalam tahap komplesi. Sedangkan after production ini
merupakan akibat masih adanya aliran dari formasi menuju lubang sumur
(recompression) setelah sumur ditutup (shut in). Periode after production dari kurva
buildup merupakan fungsi dari laju aliran fluida dari faktor volume formasi lubang
sumur, kompresibilitas, dan viskositas fluidanya.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya permeabilitas formasi di
sekitar lubang sumur secara terperinci adalah:
Invasi filtrat lumpur dan partikel-partikel padatan ke dalam formasi.
Mengembangnya (swelling) partikel-partikel clay di dalam formasi.
Gaya adhesi mud cake di dalam lubang bor karena pembersihan yang kurang
baik.
Penyumbatan lubang perforasi.
Saturasi gas yang tinggi disekitar lubang bor, dsb.
Untuk mengetahui apakah formasi di sekitar lubang sumur mengalami kerusakan
dapat diperkirakan dengan Persamaan (6-37) yang dikemukakan oleh Horner sebagai
berikut:
P1jam – Pwf k
S = 1,151 – log + 3,23 ……………. (6-37)
m μ C rw 2
dimana:
S = Skin factor, suatu konstanta
P1jam = Tekanan pada waktu penutupan (∆t)
= 1 jam yang diambil pada garis lurus dari buildup, psig
Pwf = Tekanan sesaat sebelum perioda penutupan (bottom hole flowing
pressure), psig
m = Kemiringan garis lurus (slope ) buildup, psig/cycle
k = Permeabilitas efektif formasi, fraksi
= Porositas batuan formasi, fraksi
μ = Viskositas, cp
C = Kompresibilitas fluida, psi-1
rw = Jari-jari sumur, ft
Pernyataan kualitatif dari harga-harga S yang dihitung dengan Persamaan (6-37)
dapat dinyatakan sebagai berikut:
S ≥ 0, menunjukkan adanya kerusakan permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur.
S ≤ 0, menunjukkan tidak adanya kerusakan permeabilitas formasi di sekitar lubang
sumur, bahkan bisa menunjukkan adanya perbaikan.
S = 0, kerusakan permeabilitas formasi di sekitar lubang sumur dapat diabaikan,
produktivitas formasi yang rendah dapat dinaikkan dengan stimulasi.
Dari hasil yang diperoleh melalui perhitungan tersebut maka apabila terjadi
kerusakan formasi yang sangat parah segera harus dilakukan pekerjaan stimulasi
untuk mencegah formation damage lebih lanjut.