Arsitektur Bangunan Masjid Di Aceh
Arsitektur Bangunan Masjid Di Aceh
(Masjid Nurul Huda dari arah belakang) (Meski telah berusia ratusan tahun, masjid ini masih kokoh )
(Pintu masuk utama masjid) ( Foto lama Masjid Nurul Huda, Pulo Kameng )
Untuk masuk ruang utama kita harus melalui pintu masuk ruangan serambi
yang berada di sisi timur. Dalam ruang utama yang berukuran 13,50 x 14,40
meter terdapat 4 buah tiang soko guru dan 12 tiang penyangga dengan bentuk
segi delapan. Pada tiang-tiang soko guru dipenuhi dengan ukiran kaligrafi Arab
dalam bahasa Melayu yang diberi cat kuning emas. Kaligrafi itu bertuliskan
Asma Allah dan tokoh perintis pembangunan,dan angka tahun sejarah pendirian
masjid.
Tiang penyangga berfungsi sebagai penopang atap tumpang satu dan dua,
sedangkan tiang soko guru berfungsi sebagi penopang atap tumpang satu, dua dan
tiga. Dinding terdiri dari papan kasar (tidak diketam) dengan lebar 35 cm dan
tiang kosen 10 x 10 cm. Jendela terdapat pada dinding sisi utara dan selatan
masing-masing 3 buah, sedangkan di dinding sisi barat dan timur masing-masing
terdapat dua buah. Bentuk jendela persegi panjang dan berdaun dua dengan
ukuran panjang 165 cm dengan lebar 112 cm. Di sisi barat ruang utama terdapat
ruangan menjorok ke luar seperti bilik kecil yang berfungsi sebagai mihrab.
Ruangan mihrab ini gerbangnya sudah dipugar (baru). adapun bentuk relifnya
melengkung dengan tumpuan pada dua buah tiang tambahan berbentuk bulat.
Serambi pada bangunan masjid ini letaknya di sisi timur dan selatan dengan
ditopang oleh tiang-tiang kayu yang berukuran kecil. Dinding serambi bangunan
dibuat dari kayu tralis dan lantainya dibuat dari semen. Sementara lantai masjid
pada ruang utama diganti dengan keramik yang berwarna putih. Sarana lain di
dalam kompleks masjid Pulo Kambing adalah bak wudhu’ yang terletak pada sisi
barat mesjid.
Fungsi masjid
Masjid Nurul Huda hingga saat ini masih difungsikan sebagai tempat shalat
lima waktu secara berjamaah dan shalat Jumat. Selain itu, juga dimanfaatkan
sebagai tempat pengajian. Menurut informasi dari masyarakat setempat, masjid ini
dianggap keramat. Hal ini dengan adanya pancaran air seperti mata air yang keluar
dari salah satu tiang soko guru sehingga di buatlah kran dan bak di sekeliling tiang
itu untuk menampung air tersebut agar tidak merembes ke lantai masjid. Menurut
kepercayaan sebagian masyarakat sekitarnya bahwa air tersebut dapat membawa
berkah, sehingga orang berdatangan ke masjid sekaligus hendak melepaskan
nazar. Nazar dilakukan dengan membaca Surat Yasin berkali-kali dan shalat hajat
kemudian mengambil air yang keluar dari tiang soko guru itu untuk diminum
dengan keyakinan bahwa air tersebut dapat menyembuhkan penyakit yang tentunya
atas izin Allah.
Sebagian masyarakat yang mengunjungi masjid tersebut setelah mereka
menunaikan shalat maka seringkali mereka membawa pulang air tersebut ke
rumahnya. Di antaranya air tersebut untuk diminumkan kepada anak gadis yang
belum mendapatkan jodoh dengan harapan bahwa air dari masjid (rumah Allah)
tersebut dapat membawa berkah sehingga terkabul apa yang dihajatkannya, antara
lain cepat mendapatkan jodoh dan juga untuk kepentingan lainnya.
(Kubah Masjid Nurul Huda, unik dengan gaya arsitektur khasnya (Kubah Masjid Nurul Huda bagian dalam)
yang cukup megah untuk masanya)
(Dinding masjid ini menggunakan papan tebal selebar 40 cm) ( Interior ruang shalat masjid nurul huda)
(Bagian atas masjid ini banyak dihuni oleh burung sehingga tiang ( Pada empat tiang utama terukir basmalah dan kalimat tauhid, serta
bagian atas menjadi putih oleh kotoran burung. Di sini dipasangi nama pengurus dan imam masjid. diselingi oleh ukiran nama raja
jaring agar tidak mengotori lantai ruangan shalat) atau keujruen)
[Di tiang inilah biasanya masyarakat membasuh muka, melepas nazar, atau melaksanakan upacara turun tanah untuk anaknya yang masih
bayi (biasanya saat berusia tiga bulan)]
Daftar pustaka
Arabesk, Banda Aceh : Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Mei 2002.
Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi
dan Informasi Aceh, 1999.