Anda di halaman 1dari 6

ARSITEKTUR BANGUNAN MASJID DI ACEH

MASJID NURUL HUDA (kluet utara, aceh selatan)


Masjid ini terletak di Desa Pulo Kameng, Kemukiman Sejahtera, Kecamatan Kluet
Utara, Kabupaten Aceh Selatan, + 3 Km. dari Kota Fajar, ibukota Kecamatan Kluet Utara.
Berdasarkan ukiran kaligrafi di tiang masjid, diyakini bahwa Masjid ini dibangun pada tahun
1282 H, berarti Masjid ini sudah berusia 149 tahun menurut hitungan tahun hijriyah. Masjid
ini didirikan pada masa Keujruen T. Raja Amansyah, namun keasliannya masih tetap
dipertahankan seperti yang tampak pada gambar di atas.
 Sejarah Masjid
Sejarah Ringkas Masjid Nurul Huda adalah Masjid tertua di wilayah Kluet, Masjid
ini terletak di Desa Pulo Kameng, Kemukiman Sejahtera, Kecamatan Kluet Utara,
Kabupaten Aceh Selatan. Berjarak sekitar 3 km dari Kota Fajar, ibukota Kecamatan Kluet
Utara. Masjid ini dibangun pada masa Keujreun T. Raja Amansyah.
Pembangunan masjid ini dimotifasi oleh kenyataan lemahnya pembinaan
keagamaan di tengah masyarakat Kerajaan Kluet kala itu. Maka Keujreun T. Raja
Amansyah berinisiatif mendirikan Masjid. Beliau mengajak masyarakat secara bergotong-
royong untuk membangun masjid. Kerajaan Kluet kala itu meliputi tujuh kampung, maka
masjid ini dibangung di pertengahan tujuh kampung itu. Ketujuh masyarakat kampung
yang terlibat dalam pembangunan masjid ini adalah sebagai berikut: 1. Kampung Paya 2.
Kampung Pulo Kameng 3. Kampung Sawah 4. Krueng Batu 5. Krueng Kluet 6. Kampung
Tinggi 7. Kampung Ruak
Pembangunan masjid ini terwujud pada tahun 1282 H, dan diberi nama Masjid
Nurul Huda. Kini Masjid Nurul Huda Pulo Kameng telah menjadi saksi bisu, sejarah
kejayaan Kerajaan Kluet, dan rekaman perjalanan perkembangan ajaran Islam di wilayah
Kerajaan Kluet. Menurut informasi dari berbagai sumber, terpilihnya Desa Pulo Kameng
sebagai lokasi pendirian Masjid Nurul Huda ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah.
Dalam musyawarah itu dipertimbangkan tiga landasan pemikiran sebagai berikut:
1. Penghormatan dari ketujuh kampung dalam wilayah Kerajaan Kluet, karena Desa Pulo
Kameng merupakan ibukota kerajaan. 25
2. Tempat ini dipandang lebih aman dan nyaman.
3. Letak Desa Pulo Kameng yang berada di tengah-tengah dari ketujuh kampung dalam
wilayah Kerajaan Kluet.
Konstruksi fisik bangunan Masjid Nurul Huda ini berkonstruksi kayu. Gaya
arsitekturnya mengikuti bentuk bangunan masjid tradisional Aceh. Masjid ini berukuran
15 x 15 m dengan 12 tiang penyangga yang besar, dan kokoh setinggi lebih kurang 10 m.
Satu hal yang cukup artistik, empat tiang utama yang berada tepat ditengah-tengah
bangunan masjid dihiasi dengan ukiranukiran kaligrafi Arab.
Kaligrafi itu berupa tulisan kalimat basmalah, kalimat tauhid “La ilaha illallah-
Muhammad Rasulullah” yang diukir berselang-seling dengan tulisan Arab Jawi. Pada dua
tiang depan, diukir nama raja, atau keujruen yang pernah memimpin, sedangkan pada dua
tiang belakang, diukir nama pengurus dan imam masjid. Tidak diketahui kriteria apa yang
dijadikan dasar terpilihnya nama-nama itu untuk diukir pada tiang masjid.
Masyarakat sekitar masjid percaya bahwa masjid ini memiliki kemuliaan tersendiri
(karamah). Indikatornya adalah salah satu tiangnya yang selalu lembab, tapi tidak
melapuk meski telah terjadi ratusan tahun. Banyak masyarakat yang membasuh muka di
tiang ini, atau memandikan anaknya dalam rangkaian upacara turun tanah. Tokoh
masyarakat yang sempat diwawancarai ada yang membenarkan peristiwa pengembunan
pada tiang ini, namun ada juga yang menyatakan cerita ini tidak benar. Pengembunan itu
justru terjadi karena air yang dibawa oleh orang yang membasuh muka, atau memandikan
anak (turuntanah) di tiang itu. Terlepas dari benar tidaknya cerita itu, sekarang ini tiang itu
tidak ada lagi mengembun, setidaknya pada masa tim penulisan buku ini berkunjung.
Selain untuk kegiatan ibadah salat berjamaah, masjid ini juga digunakan untuk
pengajian majelis taklim, dan acara peringatan hari-hari besarIslam. Masjid ini tidak
pernah sepi oleh pengunjung baik dari masyarakat Aceh Selatan maupun masyarakat dari
luar Kabupaten Aceh Selatan. Biasanya mereka datang untuk melepas nazar, memberikan
sedekah, atau kunjungan wisata rohani untuk menyaksikan kemegahan serta keindahan
masjid yang menjadi bukti kejayaan Islam masa Kerajaan Kluet.
Selain itu tidak diperolah informasi tentang peran masjid ini dalam masa-masa
perang melawan penjajahan Belanda atau Jepang. Namun demikian, Masjid Nurul Huda
Pulo Kaeng tidak kurang nilai sejarahnya. Di samping sebagai sarana ibadah, dan sarana
pendidikan, masjid ini telah merekam kegigihan Kerajaan Kluet dalam upaya pembinaan
masyarakat. Masjid ini telah menjadi pusat pengembangan ajaran Islam pada masa
kejayaan Kerajaan Kluet, dan bertahan sampai sekarang.

 Bentuk dan Arsitektur

Masjid Pulo Kambing salah satu bangunan bercorak tradisional


berkonstruksi kayu, berdenah bujur sangkar dengan atap limasan bersusun tiga.
Bangunan masjid berada di pinggir jalan Desa Pulo Kambing dengan orientasi
menghadap ke timur, yang dikelilingi oleh pagar tembok dari susunan beton
lubang angin, pintu masuk halaman masjid terletak di sebelah timur. Bangunan
masjid terdiri dari ruang utama dan serambi. Atap bangunan merupakan atap
tumpang tiga dari bahan seng. Di antara tingkatan atap terdapat dinding dari kayu
dan jendela yang berbentuk oval/bulat terbuat dari kaca seperti jendela kapal.
Pada tingkat ketiga berbentuk segi delapan (oktagonal) dan dilengkapi dengan
selasar. Di setiap sisi dindingnya terdapat jendela dari kayu yang berbentuk
persegi dan bagian atasnya melengkung. Pada bagian puncaknya terdapat mustaka
berbentuk kubah yang dialasi dengan hiasan kelopak bunga delapan tangkai. Pada
ujung mustaka terdapat hiasan bulan bintang.

(Masjid Nurul Huda dari arah belakang) (Meski telah berusia ratusan tahun, masjid ini masih kokoh )

(Pintu masuk utama masjid) ( Foto lama Masjid Nurul Huda, Pulo Kameng )

Untuk masuk ruang utama kita harus melalui pintu masuk ruangan serambi
yang berada di sisi timur. Dalam ruang utama yang berukuran 13,50 x 14,40
meter terdapat 4 buah tiang soko guru dan 12 tiang penyangga dengan bentuk
segi delapan. Pada tiang-tiang soko guru dipenuhi dengan ukiran kaligrafi Arab
dalam bahasa Melayu yang diberi cat kuning emas. Kaligrafi itu bertuliskan
Asma Allah dan tokoh perintis pembangunan,dan angka tahun sejarah pendirian
masjid.
Tiang penyangga berfungsi sebagai penopang atap tumpang satu dan dua,
sedangkan tiang soko guru berfungsi sebagi penopang atap tumpang satu, dua dan
tiga. Dinding terdiri dari papan kasar (tidak diketam) dengan lebar 35 cm dan
tiang kosen 10 x 10 cm. Jendela terdapat pada dinding sisi utara dan selatan
masing-masing 3 buah, sedangkan di dinding sisi barat dan timur masing-masing
terdapat dua buah. Bentuk jendela persegi panjang dan berdaun dua dengan
ukuran panjang 165 cm dengan lebar 112 cm. Di sisi barat ruang utama terdapat
ruangan menjorok ke luar seperti bilik kecil yang berfungsi sebagai mihrab.
Ruangan mihrab ini gerbangnya sudah dipugar (baru). adapun bentuk relifnya
melengkung dengan tumpuan pada dua buah tiang tambahan berbentuk bulat.
Serambi pada bangunan masjid ini letaknya di sisi timur dan selatan dengan
ditopang oleh tiang-tiang kayu yang berukuran kecil. Dinding serambi bangunan
dibuat dari kayu tralis dan lantainya dibuat dari semen. Sementara lantai masjid
pada ruang utama diganti dengan keramik yang berwarna putih. Sarana lain di
dalam kompleks masjid Pulo Kambing adalah bak wudhu’ yang terletak pada sisi
barat mesjid.

 Fungsi masjid
Masjid Nurul Huda hingga saat ini masih difungsikan sebagai tempat shalat
lima waktu secara berjamaah dan shalat Jumat. Selain itu, juga dimanfaatkan
sebagai tempat pengajian. Menurut informasi dari masyarakat setempat, masjid ini
dianggap keramat. Hal ini dengan adanya pancaran air seperti mata air yang keluar
dari salah satu tiang soko guru sehingga di buatlah kran dan bak di sekeliling tiang
itu untuk menampung air tersebut agar tidak merembes ke lantai masjid. Menurut
kepercayaan sebagian masyarakat sekitarnya bahwa air tersebut dapat membawa
berkah, sehingga orang berdatangan ke masjid sekaligus hendak melepaskan
nazar. Nazar dilakukan dengan membaca Surat Yasin berkali-kali dan shalat hajat
kemudian mengambil air yang keluar dari tiang soko guru itu untuk diminum
dengan keyakinan bahwa air tersebut dapat menyembuhkan penyakit yang tentunya
atas izin Allah.
Sebagian masyarakat yang mengunjungi masjid tersebut setelah mereka
menunaikan shalat maka seringkali mereka membawa pulang air tersebut ke
rumahnya. Di antaranya air tersebut untuk diminumkan kepada anak gadis yang
belum mendapatkan jodoh dengan harapan bahwa air dari masjid (rumah Allah)
tersebut dapat membawa berkah sehingga terkabul apa yang dihajatkannya, antara
lain cepat mendapatkan jodoh dan juga untuk kepentingan lainnya.

(Kubah Masjid Nurul Huda, unik dengan gaya arsitektur khasnya (Kubah Masjid Nurul Huda bagian dalam)
yang cukup megah untuk masanya)
(Dinding masjid ini menggunakan papan tebal selebar 40 cm) ( Interior ruang shalat masjid nurul huda)

(Bagian atas masjid ini banyak dihuni oleh burung sehingga tiang ( Pada empat tiang utama terukir basmalah dan kalimat tauhid, serta
bagian atas menjadi putih oleh kotoran burung. Di sini dipasangi nama pengurus dan imam masjid. diselingi oleh ukiran nama raja
jaring agar tidak mengotori lantai ruangan shalat) atau keujruen)

[Di tiang inilah biasanya masyarakat membasuh muka, melepas nazar, atau melaksanakan upacara turun tanah untuk anaknya yang masih
bayi (biasanya saat berusia tiga bulan)]
Daftar pustaka

Arabesk, Banda Aceh : Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Mei 2002.
Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi
dan Informasi Aceh, 1999.

Anda mungkin juga menyukai