DISUSUN OLEH :
NAMA :
JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
(Kasus 1) Tahun 2017 DSAS menetapkan PSAK 111 tentang wa’d, selain itu DSN MUI
melalui fatwa nomor 85 tentang wa’d juga telah ada. Berikan analisa Anda terkait
implikasi adanya fatwa dan atau/ PSAK ini jika diterapkan secara formal dalam bentuk
perikatan.
Perjanjian dan perikatan memiliki arti yang sama. Perikatan berasal dari perjanjian dan
undang-undang. Perikatan berdasarkan undang-undang dibagi dua, yaitu perikatan yang lahir
dari undang-undang saja dan undang-undang akibat perbuatan manusia. Kemudian perikatan
yang berasal dari undang-undang karena perbuatan manusia dikelompokkan menjadi
perbuatan sesuai ketentuan hukum dan yang melanggar hukum. Dalam bahasa Arab,
perjanjian disebut akad. Pengertian akad sendiri merupakan sebuah perjanjian yang bertujuan
untuk saling menjalin ikatan antara kedua belah pihak mengenai perbuatan yang diperbuat
dalam suatu hal, yang dilakukan dalam penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul). Kegiatan ini
mewujudkan kerelaan antara kedua belah pihak berdasarkan ketentuan dan syarat syariat.
Dalam pelaksanaannya, perjanjian mengandung janji (al-wa’d) atau kesanggupan atas
kesepakatan. Kesimpulannya, janji (al-wa’d) adalah salah satu bagian dari akad.
Wa’d adalah salah satu prinsip dalam muamalah islam yang menempati kedudukan
yang tinggi dalam Islam sehingga ketika seseorang mengingkari janji disebut munafik.
Pengertian wa’d dipaparkan oleh beberapa ulama melalui penjelasan yang berbeda-beda
namun memiliki unsur dan makna yang sama, yaitu merupakan sebuah pernyataan dari pihak
atau seseorang (subyek hukum) yang dilakukan di masa yang akan datang berupa perbuatan
yang baik. DSN MUI mengeluarkan fatwa nomor 85 mengenai janji atau wa’d dalam
transaksi kuangan dan bisnis syariah, yang menghasilkan keputusan pertama, janji atau wa’d
merupakan kehendak seseorang untuk berbuat baik terhadap pihak lain di masa yang akan
datang. Kedua, orang yng menyatakan janji disebut wa’id. Ketiga, pihak yang menerima janji
disebut mau’ud. Keempat, sesuatu yag dijanjikan oleh wa’id disebut ma’ud bih. Dan yang
terakhir, seorang wa’id berkewajiban untuk menunaikan janji yang telah dijanjikan dan boleh
dipaksa oleh ma’ud atau otoritas lain dalam menunaikan janjinya. Sehingga dalam fatwa DSN
MUI menjelaskan bahwa seorang wa’id wajib atau mulzim menunaikan janjinya. Jika satu
pihak tidak melaksanakan kewajibannya karena adanya perselisihan atau keadaan tertentu
lainnya yang mengakibatkan sebuah janji tidak ditunaikan, maka penyelesaiaanya diproses
melalu lembaga penyelesaian sengketa atas dasar syariah. Sesuai penjelasan diatas,
disimpulkan bahwa janji atau wa’d dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah bersifat
mengikat dan wajib disanggupi mengikuti aturan serta ketentuan khusus di dalamnya,
sedangkan tidak wajib ketika janji atau wa’d tersebut tidak dikaitkan atas ketentuan yang
wajib dipenuhi oleh si penerima janji.
Sebagai salah satu contoh, dalam penerapan wa’d dalam menunjang stabilitas
pembiayaan perbankan syariah, dalam hal ini wa’d adalah suatu instrumen perikatan atas
dasar sistem perekonomian islam. wa’d diartikan sebagai janji dari satu pihak kepada pihak
lain yaitu bank dengan nasabahnya. Wa’d tidak hanya salah satu bentuk perikatan yang
strategis yang mengundang banyak perbedaan pendapat dari pada beberapa ulama. Janji atau
wa’d dituangkan dalam fatwa sebenarnya atas dasar beberapa pertimbangan yaitu, bahwa
industri keuangan dan bisnis syariah memerlukan kejelasan hukum syariah mengenai hukum
menunaikan janji atau wa’d untuk menjamin kepastian hukum tersebut sebagai landasan
operasional. Namun dengan demikian, konsep wa’d merupakan salah satu instrumen yang
penting sebagai alternatif perikatan perbankan syariah. Islam adalah agama yang memiliki
pedoman hidup untuk penyelesaian segala permasalahan, baik di dalam perjanjian dan
perikatan antara manusia.
Jika dilihat dari objeknya juga, terdapat beberapa peikatan dalam hukum islam. Seperti
perikatan hutang, hutang dinyatakan sebagai tanggungan seseorang. Sumber-sumbernya
sendiri berasal atas akad, kehendak sepihak, perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
tanggungan seperti pencurian, pembayaran tanpa sebab, dan syarak. Lalu perikatan benda
yaitu sebuah perikatan untuk menyerahkan suatu benda. Kemudian, perikatan kerja atau
melakukan sesuatu yaitu sebuah hubungan hukum antara beberapa pihak untuk melakukan
sesuatu. Sumbernya sendiri seperti akad istisna dan ijarah. Dan yang terakhir perikatan
penjaminan, yaitu bentuk perikatan yang objeknya menjamin suatu perikatan. Semua jenis
perikatan ini ditemui dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah.
(Kasus 2)
Akad kerja antara satu atau beberapa pihak atas suatu usaha tertetu untuk dimana
masing-masing pihak turut serta berkontibrusi berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan
dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai akad disebut akad musyarkah. Dalam hal ini
bank syariah lebih mengembangkan produk musyarakah karena adanya lembaga penjamin
yang memiliki kredibilitas dan amanah dalam memback-up usaha yang dijalankan dengan
sistem musyarakah, lembaga penjamin ini bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu hal yang
tidak diinginkan di masa yang akan datang terhadap usaha yang dijalankan. Keunggulan
lainnya dalam akad musyarakah ketika menjalankan usaha, dilakukan secara bersama atau
kolektif. Tidak mempercayakan suatu usaha pada seseorang atau satu pihak saja. Karena
dengan kebersamaan, banyak manfaat yang berbeda yang akan diperoleh.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana,
barang perdagangan, kewiraswastaan, kepandaian, kepemilikan, peralatan, atau intangible
asset, kepercayaan atau reputasi dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan
atau tanpa batasan waktu yang menjadikan musyarakah sangat fleksibel. Kemudian alasan
lain, manfaat akad musyarakah dalam pembiayaan sistem perbankan lebih menarik perhatian
masyarakat dalam menjalankan usaha mereka melalui pengembalian pokok pembiayaan
disesuaikan dengan cash flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
Dan ketika terjadi masalah ekonomi seperti contohnya inflasi, akad musyarakah dapat
meminimalkan resiko financial cost yang ditanggung bersama.
Di perbankan syariah, jual beli salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat
pertanian, barang-barang industri, dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memerlukan
biaya untuk memproduksi barang-barang industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan
ke bank syariah dengan system jual beli salam. Bank dalam hal ini berposisi sebagai pemesan
(pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nasabah. Untuk itu, bank membayar harganya
secara kontan. Pada waktu yang ditentukan, nasabah menyerahkan barang pesanan tersebut
kepada bank. Yang menjadi masalahnya, bank tidak selalu mudah untuk menjual kembali
barang industri yang dibelinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada nasabah.
Jual beli salam kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan barang telah disepakati
berdasarkan ketentuan sebelumnya. Karena itu dalam akad salam tidak mengenal yang
namanya gharar. Dalam pelaksanaannya di perbankan syaiah, akadsalam dipraktikan melalui
tiga model yaitu, pertama, model akad salam tunggal hakiki, dimana bank benar-benar
melakukan pembelian barang dan kemudian langsung berhubungan dengan penjualan barang
itu. Kedua, model akad salam tunggal hukmi (formal), dimana bank tidak benar-benar
bermaksud membeli barang karena setelah itu bank menjualnya kembali kepada penjual
pertama melalui akad bay’ murabahah bitsaman ajil atau menyuruh menjualnya kepada pihak
lain dengan akad wakalah. Ketiga, model akad salam parallel dimana bank melakukan dua
akad salam secara simultan, yakni akad salam dengan nasabah yang membutuhkan barang dan
akad salam dengan nasabah yang membutuhkan dana untuk memproduksi suatu barang.
Karena permasalahan sebelumnya mengenai akad salam, ketika bank tidak selalu mudah
untuk menjual kembali barang yang telah dibeli, baik kepada nasabah atau pihak ketiga, untuk
itu dilakukan akad salam pararel.
Akad salam pararel adalah dua akad salam yang dilakukan secara simultan antara bank
dengan nasabah di satu pihak dan antara bank dengan pemasok barang di pihak lain.
Penggunaan akad salam ini juga dapat memberikan keuntungan bagi bank serta dapat
membantu para produsen yang kekurangan dana khususnya bagi para petani. Jadi para petani
dapat mengajukan pembiayaan lalu membayar dengan hasil produksi mereka. Jika
pembiayaan lancar tentunya akan membuahkan hasil yang memuaskan serta kualitas dan
kuantitas produk yang lebih bermutu. Hal ini dapat meningkatkan sektor pertanian di
Indonesia dan diharapkan dapat mengurangi angka impor untuk bahan pangan.
(Kasus 3)