Self‐Learning Series.
HIDUP TANPA STRESS
FROM STRESS TO DE‐STRESS
The step by step guides to mental‐spiritual fulfilment
Oleh:
AN. Ubaedy
Human Learning Specialist
bukubagus.com
antique, unique & rare books center
Semua orang berpotensi terkena stress. Ini bisa positif dan bisa negatif. Akan
positif kalau kita bisa menggunakan stress sebagai kekuatan berprestasi. Akan
negatif kalau kita yang digunakan stress itu (victim) sehingga berlanjut menjadi
depresi, distress, dan berbagai gangguan mental, spiritual, intelektual dan
emosional. Tapi bagaimana caranya? Buku ini menawarkan jawaban atas
pertanyaan seperti itu!
PERHATIAN!
Ebook ini belum pernah diterbitkan dalam bentuk buku dan
hak ciptanya sudah dibeli oleh Penerbit MediaSukses
Ebook ini hanya dibisa didapatkan di
www.keberkahanfinansial.com
DAFTAR ISI
Prolog: Dari Stress Ke De‐Stress
Bab I: Gunakan kacamata positif
Berpikir positif adalah jalan
Hambatan untuk berpikir positif
Bagaimana anda mulai berpikir positif?
Jadikan sebagai sumber motivasi
Bagaimana menggunakan ketidakpuasan?
Box 1: Tip berpikir positif
Box 2: Tip menjadi orang yang bahagia
Box 3: Tip meningkatkan kegigihan
Bab II: Perjuangkan target yang bermakna
Kenapa harus target?
Hal‐hal yang menghambat tercapainya target
Hal‐hal yang perlu anda perhatikan dalam membuat target
Hindari meyakini kebohongan
Box 1: Karakteristik para pemimpin
Box 2: Kalimat yang dapat memacu semangat
Box 3: Lima kelompok manusia
Bab III: Temukan Tuhan & orang
Bagaimana menemukan Tuhan?
Cara membangun kedekatan & kebersamaan
Mengapa kita gagal menemukan Tuhan?
Orang seperti apakah yang anda butuhkan?
Melirik “teori” hijroh
Box 1: Ucapan yang bagus & ucapan yang tidak bagus
Box 2: Lima Karakteristik Bahasa yang Bagus
Box 3: Orang‐orang yang dicintai Allah
Epilog:Depresi dan reformasi diri
Daftar bacaan
Sekilas tentang penulis
PROLOG:
DARI STRESS KE DE‐STRESS
Dua Macam Stress
Saya kira sudah maklum bagi banyak orang soal apa itu stress. Stress adalah
tekanan batin yang kita rasakan atau yang kita alami. Menurut definisi yang
dikeluarkan Canadian Centre for Occupational Health & Safety (1997‐2006),
stress adalah tekanan dari luar yang bisa membuat seseorang merasa tertekan.
Tekanan yang digolongkan dapat membuat orang stress adalah tekanan yang
sifatnya mengancam (threaten), tekanan yang sifatnya menakutkan atau
mengerikan (scare), tekanan yang sifatnya mengkhawatirkan (worry), tekanan
yang sifatnya menyakitkan atau menusuk (prod) dan tekanan yang sifanya
menggetarkan atau menggairahkan (thrill).
Stress semacam ini terjadi dalam berbagai wilayah kehidupan kita. Karena itu
ada berbagai istilah yang terkait dengan stress. Orang akan disebut stress
finansial kalau yang bersangkutan mengalami tekanan akibat krisis keuangan,
punya banyak pinjaman yang sudah mengancam, menghadapi sekian tuntutan
atau tagihan. Orang akan disebut stress keluarga (family stress) apabila yang
bersangkutan menghadapi perceraian, hubungan yang tidak harmonis, dan
berbagai kekacauan dalam rumah tangga. Orang akan disebut stress kerja kalau
yang bersangkutan menghadapi sekian tuntutan atau tugas kerja yang tidak atau
belum match dengan skill yang dimilikinya. Orang akan disebut stress
hubungan kalau yang bersangkutan mengalami masalah dalam pergaulan, entah
itu di kampus, di masyarakat atau di tempat kerja. Dan seterusnya dan
seterusnya.
Kalau melihat berbagai temuan, peristiwa yang termasuk paling benyak
mendatangkan stress itu antara lain:
Kematian pasangan
Perceraian
Ketidakharmonisan rumah tangga
Kehilangan kebebasan seperti misalnya dipenjara.
Kematian orang dekat
Penyakit atau luka
Kehamilan
Pernikahan
Masalah‐masalah pekerjaan
Nah, stress dalam arti adanya tekanan batin (tebe) yang kita alami itu tidak bisa
secara serta merta kita katakan jelek. Banyak pakar kesehatan mental yang
mengatakan bahwa stressnya sendiri itu tidak membahayakan. Lalu apa yang
membahayakan? Yang membahayakan kita adalah konsekuensi buruk dari
kegagalan kita dalam menangani stress yang kita alami. Jika kita gagal dalam
menangani tekanan dari luar, maka kegagalan ini akan berbuntut panjang.
Berbagai studi mengungkap bahwa gejala‐gejala yang bisa dikenali itu antara
lain:
Kecemasan dan ketegangan
Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah
Menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas
Bingung, marah, sensitif
Meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin
Penurunan prestasi dan produktivitas
Memendam perasaan
Gangguan gastrointestinal, misalnya gangguan lambung
Meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk
Komunikasi tidak efektif
Mudah terluka
Perilaku sabotase
Mengurung diri
Mudah lelah secara fisik
Meningkatnya frekuensi absensi
Depresi
Kematian
Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan)
Merasa terasing dan mengasingkan diri
Sulit hamil
Kebosanan
Gangguan pernafasan
Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti ngebut, berjudi
Ketidakpuasan kerja
Lebih sering berkeringat
Meningkatnya agresivitas, dan kriminalitas
Lelah mental
Gangguan pada kulit
Penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
Menurunnya fungsi intelektual
Kepala pusing, migrain
Kecenderungan bunuh diri
Kehilangan daya konsentrasi
Kanker
Kehilangan spontanitas dan kreativitas
Ketegangan otot
Kehilangan semangat hidup
Probem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur)
Menurunnya harga diri dan rasa percaya diri
Mungkin ada pertanyaan, kenapa yang jadi masalah bukan stressnya? Kenapa
kok yang menentukan di sini adalah penanganannya? Kenapa diri kita di sini
yang menjadi kunci utama? Kalau melihat praktek hidup, sedikitnya ada tiga
alasan yang bisa menjelaskan pertanyaan itu. Apa itu?
Pertama, tidak bisa dihindari kecuali harus dihadapi. Namanya juga orang
hidup, pasti masalah hidup itu bisa datang dari berbagai sumber. Ada yang dari
kita, ada yang dari orang lain dan ada yang karena memang keadaan. Meski
tidak ada orang yang menginginkan masalah, tetapi toh kenyataannya masalah
itu tetap saja ada. Setiap orang pasti menghadapi masalah yang spesifik untuk
orang itu. Orang miskin punya masalah dengan kemiskinannya. Orang kaya
punya masalah dengan kekayaannya. Orang pintar punya masalah dengan
kepintarannya. Begitu juga dengan orang bodoh, orang tua, orang muda, dan
lain‐lain. Karena sifatanya terkadang tidak bisa dihindari itu, maka yang
menentukan adalah cara menghadapinya. Kalau cara kita negatif maka hasilnya
negatif. Sebaliknya, kalau cara kita positif maka akibatnya positif.
Kedua, peranan perasaan dan opini yang kita ciptakan. Untuk peristiwa hidup
yang tidak terlalu luar biasa dahsyatnya, katakanlah di sini seperti kegagalan,
kemunduran usaha, tugas pekerjaan, dan semisalnya, terkadang yang membikin
seseorang stress bukan kejadiannya atau peristiwanya. Orang akan stress bahkan
distress karena menciptakan opini dan perasaan yang negatif atas kejadian itu.
Sebagai contoh misalnya anda gagal dalam ujian UMPTN atau gagal dalam
usaha. Jika yang anda pahami di situ adalah bahwa kegagalan itu merupakan
adzab Tuhan yang tidak mungkin anda ubah, nasib buruk yang sudah
merupakan takdir anda, Tuhan tidak ramah pada anda, dan lain‐lain, maka
opini demikian akan menimbulkan stress atau distress (kufur). Tetapi jika yang
anda pahami adalah sesuatu yang sebatas perlu anda pelajari, maka pemahaman
demikian tidak sampai menimbulkan stress yang berkelanjutan. Bisa jadi anda
malah mendapatkan “berkah” dari peristiwa buruk itu.
Studi mengungkap bahwa yang menyebabkan seseorang menderita stress kerja
itu bukan hanya karena tugas‐tugas pekerjaan yang terlalu banyak. Sikap
karyawan juga ikut menentukan. Karyawan yang punya sikap hidup positif
akan cenderung melihat banyaknya tugas sebagai tantangan (challenge). Dengan
penyikapan seperti ini mereka tidak mudah menderita stress kerja. Tetapi
karyawan yang punya sikap mental negatif akan cenderung melihat banyaknya
tugas sebagai tekanan yang menyakitkan. Dengan penyikapan seperti ini mereka
mudah terkena stress, distress dan depresi.
Dengan kata lain, karena perasaan dan opini yang kita ciptakan itu ikut andil
dalam menyuburkan atau meringankan stress, maka di sinilah peranan kita
menjadi kunci. Jadi, orang bisa stress terkadang bukan karena peristiwa buruk
yang menimpanya semata, tetapi karena dia menciptakan perasaan yang buruk
dan opini yang buruk atas peristiwa buruk itu.
Ketiga, hukum Tuhan tentang keseimbangan. Tidak semua stressor itu negatif.
Ada juga yang positif (bermanfaat) untuk kita meski kita tidak
menginginkannya. Kalau kita hidup terlalu “santai” tidak berarti ini baik buat
kita. Orang yang berprestasi hebat di dunia ini tidak ada yang memiliki gaya
hidup santai dalam arti tidak ada tantangan dan tekanan. Ini berarti bahwa
tekanan dan tantangan dari luar itu terkadang kita butuhkan. Hanya saja ketika
kadarnya itu berlebih, ya ini memang membahayakan. Makanya ada yang
mengatakan bahwa terlalu sedikit tekanan itu sama bahayanya dengan terlalu
banyak.
Jadi, intinya di sini adalah keseimbangan (life balanca). Bagaimana supaya hidup
kita seimbang? Tentu ini harus diciptakan. Tidak mungkin hidup kita seimbang
tanpa ada usaha untuk menjadikannya supaya seimbang. Salah satu cara supaya
bisa seimbang adalah mengatur emosi atau manajemen emosi. Kemampuan kita
dalam mengatur emosi inilah yang kerap disebut Kecerdasan Emosi (EQ),
proaktif atau orang yang bisa mengatur dirinya dalam menghadapi kenyataan
hidup.
Hubungan Stress & Depresi
Berbagai studi telah membuktikan bahwa stress yang tidak ditangani secara
bagus bisa menjadi pemicu paling besar atas munculnya depresi. Apa itu
depresi? Depresi adalah keadaan batin yang tertekan secara berkelanjutan. Kalau
batin anda hanya merasa tertekan, itu disebut stress. Jika stress ini berkelanjutan,
disebutlah depresi. Jadi, depresi biasanya terjadi saat stress yang dialami
seseorang tidak kunjung reda. Depresi adalah stress berat yang gagal diatasi
secara positif. Phillip L. Rice (1992), menjelaskan bahwa depresi adalah
gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh
proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang.
Kalau melihat definisi di atas dan melihat kenyataan sehari‐hari, ada semacam
keanehan yang bisa kita temukan. Keanehan itu antara lain: banyak orang yang
menderita depresi tetapi tidak tahu atau tidak mau tahu kalau dirinya sedang
depresi. Banyak orang yang menderita depresi tetapi tidak sadar kalau dirinya
sedang depresi. Karena tidak tahu, tidak mau tahu dan tidak sadar, akhirnya
tidak terdorong untuk mengatasinya atau tidak terdorong untuk
menyembuhkannya (recovery). Ada memang yang tahu dan sudah sadar, tetapi
enggan, malas atau malu berkonsultasi atau meminta bantuan untuk
mengatasinya.
Depresi adalah masalah yang bisa dialami oleh siapapun di dunia ini. Menurut
sebuah penelitian di Amerika, 1 dari 20 orang di Amerika setiap tahun
mengalami depresi, dan paling tidak 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi
sepanjang sejarah kehidupan mereka. Bagaimana kalau itu di Indonesia? Ada
kemungkinan itu lebih buruk atau tidak lebih buruk. Kenapa? Dengan
banyaknya masalah‐masalah sosial, seperti misalnya: susah mencari pekerjaan,
PHK di mana‐mana, gap antara biaya hidup dan penghasilan, dan lain‐lain,
tentu ini semua adalah alasan untuk mengatakan kondisinya mungkin akan
lebih buruk.
Terlepas apakah itu akan lebih buruk atau tidak akan lebih buruk, tetapi kita
bisa meyakini bahwa di kita pun banyak orang yang mengalami depresi. Hasil
kajian para ahli mengungkap bahwa penyebab umum depresi itu antara lain:
Kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan, orang dan keadaan.
Kurang mampu menjalin hubungan baru dengan manusia
Kehilangan hubungan yang berarti dengan manusia (keluarga, pacar, dst)
Didera konflik berkepanjangan
Menghadapi kesulitan di tempat kerja atau di sekolah
Menghadapi kesulitan finansial (uang), banyak hutang, dst.
Mengkonsumsi miras (NAPZA)
Punya ekspekstasi atau keinginan yang tidak realistis
Punya kebiasaan negatif (berpikir, berperasaan, bersikap dan bertindak)
Dari berbagai kajian para ahli, depresi itu dapat dikelompokkan menjadi tiga
tipe, yaitu:
Psychotic
Melancholic
Atypical
Para penderita depresi Psychotic umumnya mengidap delusi atau halusinasi.
Kalau mau pakai definisi Pak Prof. Dadang Hawari, halusinasi adalah
pengalaman pancaindera tanpa adanya sumber stimulus (rangsangan) yang
menimbulkannya. Misalnya seseorang mendengar suara‐suara padahal
sebenarnya tidak ada sumber suara itu berasal. Ini disebut halusinasi
pendengaran. Demikian pula halnya dengan halusinasi penglihatan, penciuman
rasa dan raba.
Delusi adalah suatu keyakinan yang tidak rasional meskipun telah diberikan
bukti‐bukti bahwa pikiran itu tidak rasional. Ada orang yang merasa yakin
benar akan ada orang yang berbuat jahat kepadanya padahal pada kenyataannya
tidak ada. Orang semacam ini disebut delusi paranoid. Contoh yang ekstrim
tetapi banyak muncul di sekeliling kita adalah munculnya ketakutan pada masa
depan atau terhantui oleh masa depan yang belum pasti. Bagi semua manusia di
dunia ini, masa depan itu adalah sesuatu yang belum pasti. Hanya Tuhan yang
mengetahui masa depan.
Namun demikian, yang membedakan orang itu depresi atau tidak, bukannya
masa depan yang tidak pasti itu, melainkan bagaimana anda memahami masa
depan. Jika anda takut masa depan tetapi ketakutan itu kemudian membuat
anda melakukan hal‐hal negatif pada hari ini, misalnya malas‐malasan, kosong,
melakukan penyimpangan dan pelanggaran, ingin bunuh‐diri, dan lain‐lain,
maka cara yang anda gunakan untuk memahami masa depan adalah cara yang
“depresif”, cara yang mendekatkan anda pada depresi.
Tapi jika ketakutan itu malah mendorong anda untuk melakukan hal‐hal positif,
misalnya anda mempersiapkan masa depan dengan bekal yang bagus, giat
belajar, giat bekerja, memperkuat keimanan, memperbanyak amal sholeh,
memperbanyak pergaulan, dan lain‐lain, maka cara anda ini adalah cara yang
menjauhkan anda dari depresi. Anda terbebas dari delusi dan halusinasi masa
depan.
“Hai orang‐orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Al‐Hasyr: 18)
Lalu bagaimana dengan depresi Melancholic? Para penderita depresi tipe ini
umumnya mengalami gangguan di sektor biologis. Yang bersangkutan mungkin
tidak bisa menikmati hubungan seksual seperti yang diinginkan. Yang
bersangkutan mungkin malah merasakan hambar atau bahkan hanya menyiksa
atau buang‐buang waktu. Yang bersangkutan mungkin tidak tertarik pada hal‐
hal yang menyenangkan atau yang indah.
Sedangkan untuk depresi yang bertipe Atypical, biasanya yang bersangkutan
cenderung mengeluarkan reaksi secara ekstrim terhadap berbagai stimulan dari
lingkungan atau dari orang lain. Orang tua yang terkena depresi model ini akan
bereaksi secara berlebihan ketika melihat anaknya menjatuhkan sendok makan.
Para pengendara yang terkena depresi ini akan bereaksi berlebihan ketika mobil
atau motornya sedikit diserempet. Dulu di daerah Bekasi, ada orang yang
membunuh tetangganya karena (konon) kambing si tetangga itu memakan daun
singkong miliknya. Ini semua adalah contoh‐contoh reaksi yang ekstrim. Kalau
anda langsung marah dilihat oleh orang, ceklah ke dalam diri anda dulu apakah
anda sedang depresi atau tidak.
Secara umum, gejala munculnya depresi di dalam diri seseorang itu bisa
dijelaskan antara lain:
Memburuknya perasaan dan persepsi seseorang terhadap dirinya.
Memburuknya kemampuan seseorang dalam menanggapi persoalan
Tidak bisa menemukan kesenangan dalam berbagai hal
Munculnya perasaan putus asa, tidak berharga, atau sudah tidak berdaya lagi
Berlebihan dalam menilai diri secara negatif, selalu menyalahkan diri sendiri,
dan selalu menghakimi diri dengan kesimpulan‐kesimpulan yang negatif.
Tidak memilih gairah seksual yang positif
Tidak bisa menciptakan hubungan yang hangat kepada teman atau keluarga
Pesimis dalam melihat masa depan
Tidak menunjukkan rasa bertanggung jawab ketika menyelesaikan tugas
(asal‐asalan)
Cenderung ingin menarik diri dari orang banyak
Memburuknya sikap dan tindakan sehari‐hari
Cepat marah, cepat mengeluh atau menggerutu
Tidak puas dengan kehidupannya (kufur mental)
Ingatannya tidak bagus atau rusak (impaired memory)
Konsentrasinya tidak bagus (inability to concentrate)
Gamang dalam melangkah, tidak memiliki keputusan hidup yang jelas
Gagal dalam mengatasi persoalan hidup harian secara positif dan konstruktif
(baik, bermanfaat dan benar) atau lebih cenderung membiarkan dan
mengabaikan.
Berpikir untuk bunuh diri atau “ingin mati saja”
Selain gejala‐gejala yang terkait dengan gangguan emosi, biologis dan sosial
seperti di atas, ada lagi gejala fisik yang antara lain seperti di bawah ini:
Mudah kelelahan secara tidak wajar
Kurang energi atau tidak produktif
Hilang nafsu makan atau sebaliknya (terlalu berlebihan ingin makan)
Susah tidur, sulit bangun pagi atau tidur terus (berlebihan)
Punya keluhan kesehatan fisik yang tidak wajar, misalnya sedikit‐sedikit
sakit kepala, sakit punggung, dan lain‐lain
Mengalami gangguan pencernaan (digestive problem), seperti mudah sakit
perut, mual‐mual, dan semisalnya.
Antara penyebab yang benar & yang sebenarnya
Dua kali saya bertugas ke Aceh paska tsunami, selalu saya sempatkan ngobrol
dengan orang‐orang yang mengalami lansung peristiwa naes itu. Kebetulan saya
banyak kawan di sana yang bisa membantu saya mengantarkan ke mana‐mana.
Dari sekian orang yang saya ajak ngobrol, ada satu yang menarik buat saya.
Melalui kawan saya ini, saya ngobrol dengan seorang bapak yang usianya kira‐
kira 50‐55 tahun. Bapak itu bercerita bahwa saat kejadian itu ia dan keluarganya
memang sudah beraktivitas. Kebetulan ia dan keluarga punya warung nasi di
depan rumah sakit besar di Ulele. Tapi karena musibah itu terlalu besar untuk
ukuran manusia bisa menyelematkan diri, ia dan keluarganya terbawa ombak
sampai ke tengah laut.
“Lalu gimana Pak kondisinya?”, tanya kawan saya begitu.
“Istri dan anak saya meninggal. Saya hidup sendirian sekarang. Saya selamat
karena waktu itu ada semacam kayu besar yang saya tumpangi. Dari situlah
saya kemudian ditolong orang.”
Karena asyik ngobrol dengan bahasa Aceh, kawan saya ini nyeletuk yang
persisnya mungkin begini: ”Wah, masih syukur dong Bapak selamat”. Tanpa
diduga Bapak itu malah menjawab begini: “Bukannya syukur karena masih
hidup. Bagi saya mungkin lebih baik mati sekalian dari pada hidup begini”,
begitu kira‐kira jawaban Bapak itu. Mengingat situasi obrolan sudah akrab,
jadinya kita bertiga ketawa saja mendengar ucapan kayak gitu.
Nah, seperti yang sudah kita bahas di muka, orang yang punya pendirian lebih
baik mati dari pada hidup, orang yang memilih ingin mati saja, orang yang
sepertinya sudah tidak sanggup menemukan betapa berartinya hidup ini, secara
ilmiyahnya disebut depresi. Tentu saja ini berbeda‐beda tingkatan dan
stadiumnya: ada yang rendah, ada yang menengah, dan ada yang tinggi.
Jadi, kenapa orang menderita depresi? Untuk menjawab ini saya ingin
menggunakan istilah “sebab yang benar” dan “sebab yang sebenarnya”. Sebab
yang benar adalah pemicu (trigger) atau eksternal stimulant. Ini misalnya
perlakuan orang lain yang buruk pada kita atau karena musibah, bencana alam
dan penyakit yang benar‐benar memperburuk hidup kita. Jika anda mengalami
kenyataan pahit semacam itu, anda punya alasan yang benar untuk stress,
depresi, distress dan lain‐lain. Secara fakta hidup, memang hal‐hal buruk yang
muncul dari kehidupan ini bisa membikin kita mengalami berbagai gangguan
batin.
Adapun sebab yang sebenarnya (the real cause) adalah diri kita atau internal
determinant (penentu). Dihantam musibah seperti Bapak di atas, memang mau
tidak mau akan menganggu hidup kita. Hanya saja yang membedakan di sini
bukan soal terganggunya, tetapi adalah: sejauhmana itu akan berlanjut dan
sejauhmana itu akan berdampak. Dua hal ini adalah kita yang menentukan. “We
are the law of ourselves.”
Jika penderitaan itu kita sikapi secara negatif dan membikin hidup kita semakin
bergerak ke arah negatif dalam waktu yang lama, maka yang menegatifkan
hidup kita bukan hanya penderitaan itu. Kita pun ikut‐ikutan menegatifkan diri
kita dengan sikap dan tindakan yang kita ambil. Jika kita menolak belajar untuk
menjadi orang yang lebih cerah, lebih bijak, dan lebih kuat dari penderitaan,
maka yang ikut men‐depresi‐kan hidup kita bukan hanya penderitaan. Kita pun
ikut‐ikutan melakukannya. Kitalah yang menentukan apakah depresi itu akan
sembuh dalam waktu cepat atau akan “kambuh” dalam waktu lama.
Mengingat bahwa manusialah yang menjadi faktor kunci penyembuhan di sini,
makanya Al‐Qur’an itu dari abjad awal sampai akhir selalu berbicara tentang
manusia. Ini masih diperkuat lagi dengan misi Nabi untuk memperbaiki akhlak
manusia. Manusia yang kuat (Berakhlak Qur’ani) tidak berarti tidak merasakan
stress ketika dihantam musibah. Stress dalam pengertian goncang batinnya
dialami oleh semua manusia, terlepas apapun akhlaknya. Bedanya, manusia
yang berakhlak Qur’ani akan menempuh cara yang positif, tetap melakukan hal‐
hal yang positif, dan tetap bisa mengontrol diri agar tidak tergelincir pada hal‐
hal negatif terlalu lama. Dengan ini semua, mereka akhirnya memperoleh hasil
yang positif dari kenyataan hidup yang negatif.
Untuk memperokoh kedudukan manusia di muka bumi ini, Al‐Qur’an
memberikan dua sebutan kepada manusia. Pertama, Al‐Qur’an memberikan
sebutan “abdun” hamba. Sebagai hamba, manusia perlu merasa kecil di hadapan
Tuhan. Dunia dan seisinya serta dengan warna‐warninya ini bisa dibolak‐balik
oleh Tuhan sekehendak‐Nya. Manusia tidak punya kekuasaan sedikit pun jika
dibanding dengan betapa besar kuasanya Tuhan itu. Tugas manusia adalah
meng‐hamba di hadapan Tuhan (beribadah).
Kedua, Al‐Qur’an memberikan sebutan “khalifah” penguasa. Sebagai penguasa,
manusia diberi kebebasan memilih yang tak terbatas dan memiliki potensi yang
tak terbatas. Dalam keadaan seburuk apapun, manusia tetap tidak akan
kehabisan cara, opsi, pilihan, dan alternatif untuk memperbaiki diri. Khalifah
adalah determinant (penentu). Dalam istilah Learning Psychology‐nya, orang
yang sadar bahwa dirinya adalah kholifah, adalah orang yang memiliki orientasi
hidup “autonomy orientation”, menentukan langkahnya, menentukan persiapan
untuk masa depannya, menjadi kholifah bagi dirinya.
Yang menjadi persoalan sendiri di lapangan adalah tidak semua manusia bisa
mampu menyadari dua sebutan itu. Kebanyakan orang, terutama saat tertimpa
hal‐hal buruk, hanya merasa dirinya sebagai hamba. Kalau merasa hamba di
hadapan Tuhan, tentunya ini bagus. Yang tidak bagus adalah merasa sebagai
hamba di hadapan diri sendiri dan di hadapan realitas buruk yang menimpa
kita.
Solusi apakah yang Anda perlukan?
Wajarkah seorang itu strees? Wajarkah orang itu menderita depresi? Kalau
melihat praktek hidup, ini bukan soal urusan wajar atau tidak. Stress, depresi
dan berbagai gangguan kejiawaan lain bisa menimpa siapa saja. Bahkan
terkadang sulit dihindari. Seperti yang sudah saya katakan di muka, kalau usaha
anda gagal bertub‐tubi, anda stress. Ini terlepas apakah anda orang baik atau
orang jahat, terlepas apakah anda orang beriman atau tidak. Kalau anda terkena
musibah seperti yang dialami bapak‐bapak di Aceh yang kehilangan
keluarganya atau ibu‐ibu yang kehilangan keluarganya, andapun mungkin
terkena depresi.
Yang menjadi pembeda seringkali bukan soal stressnya atau depresinya, tetapi
adalah soal bagaimana kita menghadapinya. Ketika sudah bicara
“bagaimananya”, tentu ini mengarah pada cara apakah yang akan kita gunakan.
Apakah kita akan menggunakan cara yang positif dan konstruktif (membangun),
cara yang diinginkan Tuhan, ataukah kita akan menggunakan cara yang negatif
dan destruktif (merusak), cara yang diinginkan setan.
Cara positif dan konstruktif yang akan kita gunakan itulah yang disebut solusi.
Seperti yang sudah sering saya katakan di berbagai kesempatan, bahwa tidak
semua persoalan itu ada solusinya. Ini jika yang kita maksudkan dengan solusi
itu adalah sesuatu yang bisa mengakhiri masalah yang kita hadapi. Artinya, ada
solusi dalam bentuk hasil dan ada solusi dalam bentuk proses. Sebagian besar
masalah “human quality” tidak ditemukan solusi dalam bentuk hasil. Sebagian
besar solusinya adalah proses yang perlu kita lakukan.
Untuk membedakan solusi dalam bentuk proses dan solusi dalam bentuk hasil
itu misalnya anda punya hutang satu juta sama seseorang. Jika anda pada hari
“H” ditagih oleh orang itu dan anda punya uang satu juta untuk membayarnya
lalu anda membayarnya, ini namanya solusi dalam bentuk hasil. Begitu anda
membayarnya, anda sudah tidak punya masalah lagi dengan orang itu.
Tapi ini beda dengan masalah‐masalah seperti stress, depresi, distress, atau
masalah batin manusia lainnya. Jika anda depresi lantaran masalah keluarga
yang terus meruncing, anda tidak bisa berpura‐pura seperti orang yang tidak
punya masalah. Jika anda depresi lantaran di‐PHK dan anda sudah mencari
pekerjaan kemana‐mana tetapi masih belum ketahuan hasilnya, anda tidak bisa
menyembunyikan perasaan anda. Anda tetap bersedih meskipun ada seribu
orang yang mengatakan jangan bersedih, anggap saja itu tidak ada, lupakan saja,
dan seterusnya. Kata para ahlinya, ledakan perasaan itu tidak bisa dihilangkan.
Yang bisa kita lakukan adalah mengelolanya. Apakah kita akan mengelolanya
untuk tujuan positif ataukah kita akan mengelolanya untuk tujuan negatif?
Kegiatan mengelola inilah pilihan kita.
Berdasarkan kenyataan seperti yang dijelaskan di muka, buku ini mengajak anda
semua untuk mengelolanya secara positif dan untuk tujuan positif (memperbaiki
diri). Buku ini menawarkan solusi depresi dalam bentuk proses yang penting
untuk kita lakukan. Secara garis besar, buku ini menyajikan tiga bahasan tentang
proses itu:
Pertama, menciptakan kondisi batin yang positif (menciptakan pikiran positif).
Kenapa kita perlu menciptakan kondisi batin yang positif? Seperti yang
dijelaskan di sini bahwa depresi tidak mungkin diatasi dengan hanya
menciptakan kondisi batin yang positif. Tetapi ada satu hal di sini bahwa untuk
mengatasi depresi dengan cara positif tidak mungkin dilakukan dengan kondisi
batin yang negatif. Jadi, menciptakan kondisi batin yang positif di sini adalah
jalan, bukan tujuan.
Kedua, menciptakan aksi yang positif (memperjuangkan target yang bermakna
untuk diri kita). Setelah kita menciptakan kondisi batin yang positif, berikutnya
adalah menciptakan aksi yang positif dan jelas sasarannya. Aksi yang positif
akan membuat kita punya perasaan positif. Inilah salah satu rahasia kenapa Al‐
Qur’an menyuruh manusia beriman dan beramal sholeh. Tak hanya perasaan
positif saja yang akan kita dapatkan. Aksi positif juga akan membuahkan hasil
yang positif di hari esok. Jadi, meskipun masa lalu kita kacau dan hari ini kita
menderita depresi, namun kalau aksi yang kita lakukan pada hari ini itu positif,
ya hasilnya di kemudian hari adalah hasil yang positif. Ini beda dengan misalnya
kita melakukan aksi yang negatif atau tidak melakukan aksi apa‐apa. Sudah hari
ini kita menderita depresi dan di hari esoknya kita juga tetap depresi. Kita rugi
dua kali.
Ketiga, menciptakan hubungan yang positif (menemukan Tuhan dan orang). Ini
berfungsi untuk memperkuat langkah kita yang pertama dan yang kedua.
Memperkuat hubungan dengan Tuhan, akan membuat langkah kita tidak
gampang diserang keputusasaan dan kepasrahan. Memperkuat hubungan
dengan Tuhan akan melindungi kita dari penyimpangan dan pelanggaran akibat
godaan setan.
Begitu juga dengan peranan orang lain. Kita memang tidak bisa mengandalkan
orang lain, tetapi kita membutuhkan orang lain untuk mengatasi depresi ini.
Nah, hanya saja masalahnya adalah tidak semua orang lain itu kita butuhkan. Ini
mengingat bahwa ada orang lain yang malah bikin kita depresi dan ada orang
lain yang bisa membantu kita menyembuhkan depresi. Yang kita butuhkan
adalah orang lain yang bisa membantu.
Itulah sekilas apa yang akan dibahas dalam buku ini. Mudah‐mudahan buku ini
bisa menambah dan melengkapi jurus‐jurus yang sudah anda miliki dalam
menangani depresi. Kepada pihak penerbit, pembaca dan orang‐orang yang
terlibat dalam penyelesaian buku ini, saya ucapkan terima kasih. Komentar dan
pertanyaan bisa dikirim ke: bismika@dnet.net.id
AN. Ubaedy
Human Learning Specialist.
I
GUNAKAN KACAMATA POSITIF
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.” (an‐Nahl: 78)
BERPIKIR POSITIF ADALAH JALAN
Kita bisa mulai menaklukkan stress dan depresi dengan mengambil contoh
seperti yang dilakukan seorang mahasiswa yang saya ceritakan di sini. Awalnya
ia berbahagia setelah diwisuda tetapi kemudian kenyataan hidup ini
merenggut kebahagiannya. Sebut saja namanya di sini si A. Awalnya, si A ini
benar‐benar bahagia setelah dirinya diwisuda. Kebahagiannya ini antara lain
disebabkan: dirinya bisa menamatkan kuliah sampai sempurna, dirinya akan
segera bisa menghadapi suasana baru (bekerja), dirinya bisa membantu
orangtua, dirinya akan segera bisa merencanakan pernikahan, dan lain‐lain dan
seterusnya.
Seiring dengan proses waktu, kenyataan mulai pelan‐pelan dirasakan merenggut
kebahagiannya. Ini dimulai dari betapa sulitnya ia mencari pekerjaan. Sudah
melamar ke sana ke mari tetapi tak ada yang nyantol. Setelah enam bulan
nganggur, baru ada satu perusahaan yang menawarkan pekerjaan kepadanya.
Sejujurnya ia akui bahwa tawaran inipun tak begitu menarik. Ini disebabkan
karena, pertama, perusahaan itu bergerak di bidang yang tidak sesuai dengan
panggilan jiwanya. Kedua, kondisi kerja secara keseluruhan di perusahaan itu
masih jauh dari harapan yang diinginkan. Gajinya kecil, fasilitasnya tidak cukup,
lingkungan kerjanya tidak seperti yang diinginkan, dan lain‐lain. Boro‐boro buat
membantu orangtua, buat dipakai sendiri aja harus ngirit.
Tapi apa boleh buat. Daripada nganggur lebih baik menerima pekerjaan yang
sudah ada. “Telor hari ini itu lebih baik dari ayat hari esok”, itu yang diingatnya.
Selain untuk menghindari pengangguran, ia juga berpikir bahwa dengan
menerima tawaran pekerjaan yang ada, ia masih bisa mengirim surat lamaran ke
tempat lain untuk pekerjaan yang diimpikannya.
Satu tahun sudah ia menjalani pekerjaan yang sebetulnya tidak pernah ia
bayangkan itu. Sambil tetap mencari terobosan untuk bisa mendapatkan
pekerjaan yang ia sebut dengan istilah pekerjaan ideal itu, ia mulai berkenalan
dengan lawan jenisnya di tempat kerja. Mulailah ia merasakan madunya cinta
pertama. Hari‐hari ini benar‐benar ia lalui seperti seorang yang baru lahir. Untuk
sesaat, ia bisa melupakan pahitnya perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan
yang cocok.
Tapi, entah pada hari apa dan tanggal berapa, kehidupannya tiba‐tiba seperti
sebuah kapal Titanic yang menabrak gunung es yang hancur dan tenggelam.
Hubungan asmaranya kandas. Ibunya yang selama ini ia jadikan sebagai sumber
spirit, meninggal dunia karena penyakit. Pekerjaan yang pas yang ia cari‐cari
selama ini juga belum ketemu. “ Tuhan dimanakah Engkau pada hari naes itu?”,
kenangnya begitu.
Saya yakin tidak ada satu orang pun di dunia yang sanggup mengatakan
persoalan yang dihadapi pemuda itu ringan. Kalau dijelaskan dengan meminjam
istilah‐istilah ilmiyah, pemuda itu sudah pantas untuk mengidap penyakit
mental yang disebut depresi, stress, distress, mental disorder, trauma, kepanikan
berkepanjangan, dan seterusnya. Bahkan untuk menjadi “gila” sekalipun
sepertinya ada alasan.
Bagaimana solusinya? Solusi dalam pengertian sebuah penyelesaian seperti kita
membayar hutang, jelas tidak ada. Kalau kita punya hutang sama si B satu juta,
lalu hutang itu kita bayar pada saat si B menagih, persoalan kita dengan si B
selesai (solusi). Tapi bagaimana dengan persoalan seperti yang dihadapi si
pemuda di atas? Dia harus bekerja di tempat yang tidak cocok, dia mendapatkan
pekerjaan dengan kondisi yang tidak cukup, ibunya meninggal, cintanya putus,
plus ditambah lagi dia belum mendapatkan pekerjaan yang ia cari?
Tentu tidak ada solusi dalam pengertian seperti orang membayar hutang yang
begitu dibayar lantas selesai semua urusan. Yang ada adalah solusi dalam
pengertian cara menghadapi kenyataan. Ketika sudah bicara soal cara ini, berarti
ada dua, yaitu: a) ada cara positif dan b) cara negatif. Cara yang kita pilih itulah
yang akan menentukan hasilnya di kemudian hari. Bila kita memilih cara yang
positif, maka hasilnya akan positif. Sebaliknya, jika kita memilih cara yang
negatif, maka hasilnya akan negatif.
“Pikiran positif dan tindakan positif hampir tidak pernah memproduksi hasil
yang negatif. Pikiran negatif dan tindakan negatif juga tak pernah melahirkan
hasil yang positif.” (James Allen)
Cara positif seperti apa yang kemudian diambil oleh si A? Setelah dirasakan
capek menolak realitas yang ada, mulailah ia menggunakan mata lahir dan mata
batinnya untuk melihat hal‐hal positif di tempat kerja, melihat hal‐hal positif di
dirinya dan melihat hal‐hal positif di orang‐orang sekelilingnya. Ia mulai mau
melihat kelebihan di dalam dirinya di antara sekian kelemahan yang ia lihat
selama ini. Ia mulai melihat peluang dan kesempatan yang bagus di pekerjaan
yang ia terima sepenuh hati itu di antara sekian ketidakcocokan dan himpitan. Ia
mulai melihat celah‐celah yang memungkinkan untuk bekerjasama dengan
orang‐orang yang sudah ada di sekelilingnya.
Untuk tahap selanjutnya, ia mulai belajar bagaimana menggunakan kelebihan
yang ia miliki untuk digunakan sebagai nilai plus di tempat kerjanya. Ia mulai
belajar mendalami pengetahuan, menambah pengalaman dan memperdalam
keahlian dari pekerjaan yang dulunya ia terima setengah hati. Ia mulai belajar
menerapkan ajaran sinergi dalam dunia kerja.
Tanpa disadari, lama kelamaan ada beberapa hal positif yang ia rasakan muncul
dari dalam diri. Ia mulai merasakan adanya citra diri yang positif. Ia tidak selalu
melihat dirinya sebagai orang yang hanya memiliki kekurangan dan
kenestapaan. Ia mulai tahu bahwa ia pun memiliki kelebihan. Ia pun mulai
merasakan adanya manfaat dari pekerjaan yang ada. Ia tidak lagi bekerja asal
mendapatkan gaji bulanan, bekerja asal berangkat kerja, bekerja tanpa spirit,
bekerja tanpa harapan. Ia mulai merasakan adanya manfaat riil dari usahanya
untuk menjalin keakraban dengan orang‐orang sekitar. Pendek kata, hidupya
mulai berubah ke arah yang lebih positif.
“Tidak semua perubahan menghasilkan perbaikan tetapi semua perbaikan
menuntut perubahan.” (Petuah bijak)
“Perubahan berawal dari keputusan. Meski anda tidak bisa menciptakan
perubahan dalam satu malam, tetapi keputusan anda untuk berubah bisa anda
mulai malam ini.” (Petuah Bijak)
“Sebelum melihat perubahan pada hidup anda, haruslah lebih dulu anda
menciptakan perubahan di dalam diri anda.” (Petuah Bijak)
Seperti yang saya katakan di muka bahwa kita pun bisa menaklukkan stress dan
depresi dengan cara seperti itu. Cara seperti itu bagaimana? Cara yang bisa kita
tempuh adalah menggunakan kacamata positif. Seperti yang sudah kita bahas di
muka, bahwa salah satu yang membuat depresi itu semakin terasa dan semakin
berat adalah adanya kesimpulan yang negatif tentang apa saja. Kesimpulan
negatif ini muncul karena kita menggunakan kacamata negatif dalam melihat
diri sendiri, dalam melihat keadaan yang ada, dalam melihat orang lain, dalam
melihat Tuhan, dan seterusnya.
Karena kacamata yang kita pakai negatif, maka kesimpulan yang tercetak di
kepala kita adalah negatif pula. Apakah dengan menggunakan kacamata positif
lantas persoalan kita selesai? Apakah dengan berpikir positif lantas hidup kita
berubah? Apakah dengan berpikir positif lantas masalah kita selesai. O, tentu
tidak. Tidak ada masalah yang selesai dengan hanya menggunakan pikiran
positif. Masalah tidak selesai dengan anda menemukan kelebihan dan
keunggulan yang anda miliki. Apalagi jika masalah itu harus sesulit yang
dihadapi si A di atas.
Jadi apa gunanya berpikir positif? Apa alasannya menggunakan kacamata positif
ketika dalam kondisi depresi? Berpikir positif atau menggunakan kacamata
positif ini adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jalan yang kita tempuh lebih
penting dari tujuan yang kita inginkan. Jika anda punya tujuan ke Surabaya
tetapi jalan yang anda tempuh adalah jalan ke Medan, maka anda akan sampai
ke Medan, meski anda menginginkan Surabaya sebagai tujuan.
Begitu juga dengan berpikir positif atau menggunakan kacamata positif ini. Jika
anda menginginkan kebahagian sebagai tujuan, tetapi jalan yang anda tempuh
adalah jalan yang akan mengantarkan anda ke arah kenestapaan, maka riilnya
anda akan nestapa meski anda menginginkan kebahagian. Dalam kasus si A di
atas, tidak berarti masalah pekerjaannya akan selesai dengan berpikir positif,
tidak berarti urusan cintanya selesai dan tidak berarti ibunya yang sudah
meninggal dunia akan kembali dengan berpikir positif. Tetapi, dengan berpikir
positif telah membuat dirinya menjadi orang yang lebih bagus dari hari kemarin.
Kalau hari ini dia sudah berhasil menjadi orang yang lebih bagus, maka di hari
esok dia akan menjadi orang yang mendapatkan hasil yang lebih bagus. Inilah
perbedaan antara jalan dan tujuan. Mayoritas orang punya tujuan hidup yang
bagus tetapi karena jalan yang ditempuhnya tidak bagus, akhirnya hanya
sedikit orang yang punya kehidupan bagus. Ingat, jalan yang kita tempuh lebih
menentukan ketimbang tujuan yang kita inginkan. Berpikir positif adalah jalan
positif.
ʺAku selaras dengan sangkaan hamba‐ku terhadap aku, dan aku bersama
dengan hambaku ketika dia mengingat aku (berzikir).ʺ (Hadits Qudsi)
Terkait dengan alasan berpikir positif di atas, saya ingin mengutip teori milik
Karl Albretcht & Walt Boshear tentang “Life Planning Model” (LPM). Teori ini
bisa kita gunakan sebagai acuan untuk membuat hidup kita menjadi lebih hidup.
Bagaimana caranya? Teori ini memperkenalkan tiga istilah yang menurut saya
sangat relevan dengan bahasan kita ini. Ketiga istilah itu adalah:
Self Assessment (penilaian‐diri)
Self Motivation (motivasi‐diri)
Self Management. (manajemen‐diri)
Merujuk pada ketiga istilah di atas berarti kalau kita ingin memiliki rencana
hidup yang positif, maka harus diawali dengan membuat penilaian yang positif.
Ini misalnya anda mulai belajar melihat sisi‐sisi positif pada diri sendiri, mulai
melihat sisi‐sisi positif pada orang‐orang sekitar, mulai belajar melihat sisi‐sisi
positif dari dunia ini. Contoh yang paling riil adalah seperti yang dilakukan
pemuda si A di atas.
Setelah itu, kita perlu belajar menemukan sumber motivasi yang positif. Sumber
motivasi positif itu misalnya anda perlu memiliki target, perlu memiliki tujuan,
perlu memiliki visi hidup yang jelas, dan semisalnya. Kata Anthony Robbin, di
dunia ini sebetulnya tidak ada orang yang malas. Yang ada hanyalah orang‐
orang yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Karena tujuannya tidak jelas,
akibatnya malas‐malasan.
Penilaian dan motivasi saja tentu tidak cukup. Anda membutuhkan manajemen.
Ini antara lain mencakup: program pelaksanaan, cara melaksanakan, komitmen
pelaksanaan, alat yang anda gunakan untuk melaksanakan rencana, strategi,
tehnik, taktik pelaksanaan, orang‐orang yang bisa anda mintai bantuan untuk
melaksanakan rencana itu, dan seterusnya.
Al‐Qur’an menjelaskannya begini:
“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu
(bermacam‐macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasn
terhadap apa yang mereka kerjakan. Maka apakah orang yang beriman seperti
orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (As‐Sajdah: 17‐18)
Kalau melihat penjelasan Al‐Qur’an, proses yang dijalani si A di atas adalah
proses transformasi dari Kufur Thingking Model (KTM) ke Syukur Thingking
Model (STM). Kufur dan syukur ini adalah ajaran Al‐Qur’an tentang bagaimana
kita berpikir. Kufur adalah sebuah model berpikir yang dilandasi oleh
pengingkaran dan penolakan (kafaro, yakfuru, kufron). Kita mengingkari nikmat
Tuhan yang sudah ada atau yang sudah kita miliki atau mengingkari adanya
nikmat Tuhan yang bisa kita olah. Menurut pendapat Al‐Ghazali, kufur juga
mengandung pengertian ketika kita menggunakan nikmat yang sudah ada itu
dengan cara yang melanggar hukum‐hukum Tuhan.
Nikmat Tuhan seperti apa yang diingkari? Masihkah kita bisa menghitung
nikmat Tuhan dalam kondisi depresi? Menurut Al‐Ghazali dalam Ihya Uluumud
Diin, nikmat Tuhan itu pada dasarnya bisa dibagi menjadi dua macam:
Nikmat berupa hasil yang kita inginkan (ghooyatun mathluubathun
lidzaatihaa)
Nikmat berupa alat untuk mencapai hasil (mathluubatun liajlil ghooyah).
Kehidupan yang baik adalah nikmat dalam arti hasil yang kita inginkan. Pikiran
yang kita miliki adalah nikmat dalam arti alat untuk mencapai hasil. Pada kasus
si A di atas, pekerjaannya hari ini adalah nikmat dalam pengertian hasil dan juga
nikmat dalam pengertian alat untuk mencapai hasil yang diinginkan.
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat
menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat
mengingkari nikmat.” (Ibrahim: 34)
Kalau meminjam istilah yang kerap dipakai pakar SDM, nikmat itu ada yang
bisa disebut potensi (potential resource) dan ada yang disebut prestasi (actual
resource). Supaya potensi itu menjadi prestasi, maka harus ada apa yang disebut
dengan istilah “aktualisasi” atau realisasi. Syukur adalah proses yang kita
jalankan untuk mengaktualisasikan potensi yang kita miliki supaya menjadi
prestasi yang kita inginkan dengan cara yang tidak melanggar ketentuan. Kufur
adalah proses membiarkan, mengabaikan, mengingkari atau menolak
menggunakan potensi itu.
Di dalam Al‐Qur’an ada sejumlah ayat yang menjelaskan akibat buruk dari
penerapan model berpikir kufur ini. Antara lain adalah:
Kufur akan mengundang siksaan yang pedih. Ini dijelaskan Al‐Qur’an dalam
surat Ibrohim: 7: ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan
menambah (nikmatKu) kepadamu dan jika kamu mengingkarinya, maka
sesungguhnya azab‐Ku sangat pedih.ʺ
Kufur akan mendatangkan belenggu. Ini dijelaskan Al‐Qur’an dalam surat al‐
Insan: 2‐4: “ Sesunguhnya Kami menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan)
karena itu kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami
telah menunjukkan jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada yang
kufur. Sesungguhnya kami menyediakan bagi orang‐orang yang kufur itu
rantai, belenggu, dan neraka yang menyala‐nyala.”
Ada satu hal yang perlu kita sadari di sini bahwa siksa dan belenggu itu kerap
kita pahami sebagai balasan yang akan kita terima di akhirat nanti. Pemahaman
ini memang tidak salah. Hanya saja, kalau melihat praktek hidup, tidak
demikian yang kerap terjadi. Siksa dan belenggu itu sudah ada sejak kita
memilih untuk kufur, sejak kita mulai menggunakan kacamata negatif, sejak kita
membiarkan kesimpulan negatif tentang diri sendiri, tentang orang lain, tentang
dunia dan tentang Tuhan. Salah satu bentuk siksa dan belenggu itu adalah
depresi yang semakin mendalam.
Para pakar kesehatan mental karena itu menegaskan bahwa berpikir negatif,
(kufur dan semacamnya) adalah bagian dari depresi. Jika anda depresi karena
pekerjaan, anda hanya punya satu sumber depresi. Jika anda mengatasi depresi
ini dengan cara kufur atau berpikir negatif, berarti anda punya sumber depresi
dua, yaitu pekerjaan dan kufur. Depresi terjadi tidak harus didahului dengan
kejadian tragis dan dramatis. Depresi bisa timbul karena kufur yang kita biarkan
terlalu lama.
HAMBATAN UNTUK BERPIKIR POSITIF
Apakah berpikir positif itu? Sederhananya bisa dikatakan bahwa berpikir positif
itu adalah mengisi muatan pikiran positif ke dalam ruang pikiran kita (the
mind). Tujuannya adalah supaya bisa membuat hidup kita menjadi positif. Apa
saja ruangan yang ada di dalam pikiran kita? Jumlahnya banyak. Napoleon Hill
mencatat ada sembilan yang ia sebut dengan istilah The Faculty of the mind.
Kesembilan ruangan atau fakultas itu adalah seperti di bawah ini:
Imajinasi
Memori
Kemauan atau dorongan
Nalar
Emosi
Kesadaran
Panca Indera
Indera Keenam
Bawah Sadar
Imajinasi kita bisa berisi benda negatif dan bisa pula berisi benda positif. Jika
anda selalu membayangkan masa lalu yang penuh penderitaan dan kekalahan,
yang membuat anda kehilangan momentum untuk mengisi hari ini dengan
kegiatan positif, berarti secara tidak sadar anda telah mengisi benda negatif ke
ruang imajinasi anda. Agar hidup anda lebih “hidup”, gunakan imajinasi untuk
membayangkan masa lalu yang dipenuhi kemenangan, gunakan imajinasi untuk
membayangkan masa depan yang masih terbuka untuk anda ciptakan.
Memori kita juga begitu. Bisa berisi kenangan yang mematikan gairah untuk
maju (negatif) dan bisa pula berisi kenangan yang membangkitkan tekad untuk
mencapai prestasi (positif). Kemauan kita bisa berbentuk kemauan keras untuk
maju (will power) dan bisa pula berbentuk kemauan keras untuk menolak maju
(keras kepala). Dan begitu seterusnya.
“Pikiran adalah sebuah tempata di mana anda bisa menciptakan neraka dan
surga untuk hidup anda.” (John Milton,1608‐1674)
Jadi, berpikir positif adalah usaha kita untuk mengisi ruangan‐ruangan itu
dengan muatan yang positif dan mempositifkan diri kita. Lalu apa perbedaan
antara berpikir positif dan berpikir negatif? Perbedaannya adalah, jika anda
ingin berpikir positif, anda harus menciptakannya. Tetapi jika anda ingin
berpikir negatif, maka anda tidak usah menciptakannya. Anda cukup
membiarkannya.
Hal‐hal positif itu tidak mendapatkan dukungan dari ʺsetanʺ, sehingga ia perlu
diusahakan. Inipun terkadang tidak cukup hanya sekali. Butuh pembiasaan
(habituation) supaya bisa menjadi kebiasaan (habit). Sementara, untuk hal‐hal
yang negatif, tidak kita usahakan pun sudah datang sendiri dan sulit kita usir.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, Nabi bersabda
bahwa ajakan ke neraka itu dibungkus dengan hiasan yang menggiurkan
(syahawat). Sementara, ajakan untuk ke surga itu dibungkus dengan hiasan yang
berbau kurang menyenangkan, membosankan (makaarih).
Ada alasan ilmiyah kenapa berpikir positif itu harus diciptakan. Dalam teori
Cognitive Behavior (CBT) dijelaskan bahwa pemikiran manusia itu umumnya
memiliki tiga struktur, seperti berikut:
Strukutur pertama disebut dengan istilah NAT (Negative Automatic Thought).
Ketika kita sudah melamar kerja kemana‐mana tetapi tidak mendapatkan, ketika
kita harus bekerja di lingkungan yang tidak cocok, ketika kita harus menghadapi
kenyataan pahit, dan lain‐lain, memang yang muncul secara otomatik adalah
pemikiran, perasaan atau reaksi yang negatif. Ini umum dan manusiawi. Al‐
Qur’an punya bahasa seperti di bawah ini:
ʺSesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia
amat kikir. Kecuali mereka yang mengerjakan sholat. Yang mereka itu tetap
(fokus) mengerjakan sholat.ʺ (al‐Maʹarij: 19‐23).
Struktur kedua sudah berupa pemikiran atau penyikapan yang didasari oleh
pengetahuan, nilai‐nilai hidup yang anut, pilihan‐pilihan yang sudah disadari,
atau filsafat hidup. Memang manusiawi untuk bereaksi negatif terhadap hal‐hal
yang menurut kita merugikan atau menghambat usaha. Memang manusiawi
untuk kesal ketika usaha kita gagal. Memang manusiawi untuk depresi ketika
kita menghadapi masalah yang cukup pelik. Bedanya adalah, ada orang yang
depresi terus dan terlalu lama atau malah makin rusak dan ada orang yang
depresi sebentar kemudian sembuh dan bangkit atau menjadi orang yang lebih
kuat, lebih bagus dan lebih bijak.
Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana seseorang menggunakan
struktur pemikiran kedua ini. Kalau struktur pertama berada di level
permukaan, maka struktur kedua ini berada di level yang lebih dalam. Dalam
bahasa yang lebih umum, saya pernah membaca sebuah refleksi seorang
pengusaha besar. Di situ dijelaskan bahwa perbedaan antara pengusaha yang
tangguh dan pengusaha yang tidak tangguh dalam menghadapi kenyataan
buruk adalah: pengusaha yang tangguh menggunakan ilmu pengetahuannya
(akal sehatnya) untuk melakukan sesuatu yang positif. Ini berbeda dengan
pengusaha yang tidak tangguh. Mereka lebih kerap menggunakan nafsunya
untuk mengatasi hal‐hal buruk. Seperti yang dijelaskan Al‐Qur’an bahwa nafsu
itu lebih cenderung pada hal‐hal negatif.
“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Yusuf: 53)
“Ada tiga hal mendasar untuk mencapai segala yang anda inginkan: a) usaha
sungguh‐sungguh, b) konsentrasi memfokus, dan c) menggunakan akal sehat.”
(Edison)
Struktur ketiga adalah sebuah pemikiran yang sudah mendalam dan sudah
mampu membentuk jatidiri, karakter dan kepribadian (the heart of self‐esteem).
Biasanya, pemikiran seperti adalah berbagai pemikiran yang sudah kita
jalankan, sudah kita jadikan kebiasaan, sudah kita jadikan budaya hidup atau
sudah kita jadikan akhlak hidup. Makanya ada yang mengatakan bahwa nasib
yang kita terima hari ini adalah hasil dari pemikiran yang kita miliki di masa
lalu. Tentu kita sudah paham bahwa yang dimaksud pemikiran di situ bukan
pemikiran yang hanya melintas atau sebatas wacana, melainkan sebuah
pemikiran yang sudah menjadi budaya hidup.
Konon, studi para ahli menemukan bahwa pikiran manusia dalam seharinya
memercikkan muatan pikiran (thought) sebanyak 60.000 kali. Anehnya, menurut
temuan itu, dari jumlah yang sebanyak itu ternyata 80 % sama dan hanya 20 %
yang berbeda, tergantung orangnya. Kalau orang itu positif maka 80 % dari
muatan pikirannya positif dan hanya 20 % yang negatif. Sebaliknya, kalau orang
itu negatif, maka 80 % dari muatan pikirannya negatif dan hanya 20 % yang
positif. Bisa kita lihat di sini bahwa 80% adalah bilangan yang dapat digunakan
untuk menjelaskan adanya “kebiasaan”, budaya atau akhlak.
Intinya, untuk memunculkan pikiran positif itu tidak bisa menunggu atau tidak
bisa muncul secara otomatis. Karena itu harus diciptakan melalui usaha
berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan kesadaran (self awareness). Syukur‐
syukur kita sanggup menjadikannya sebagai budaya hidup secara pelan‐pelan.
Meski kita sudah tahu bahwa berpikir positif adalah jalan menuju ke arah
kebahagian dan juga sudah tahu bahwa berpikir negatif adalah jalan menuju ke
arah kenestapaan, tetapi dalam prakteknya pengetahuan ini kerapkali mandul.
Apalagi pada saat‐saat menghadapi depresi. Kenapa kita tidak menjalankan apa
yang sudah kita ketahui itu? Ada beberapa hal yang perlu dipahami sebagai
hambatan untuk berpikir positif. Ini antara lain adalah:
1. Kalah oleh dorongan setan
Kita kalah oleh godaan setan yang mendorong kita untuk melakukan hal‐hal
buruk. Untuk menandai apakah itu godaan setan atau bukan, ini simpel. Nabi
pernah menjelaskan ini, seperti yang dikutip Al‐Ghazali dalam Syarkh Ajaaibul
Quluub, bahwa di dalam diri manusia itu ada dua dorongan. Dorongan pertama
disebut dorongan malaikat yang mengajak manusia pada kebaikan dan
dorongan kedua adalah dorongan setan (musuh) yang mengajak manusia untuk
menjauhi kebaikan.
Dorongan setan inilah yang kerap mengajak kita untuk melakukan dan
memikirkan hal‐hal yang tidak baik, merugikan atau melanggar kebenaran.
Sebaliknya, dorongan malaikat adalah dorongan yang mengajak kita untuk
melakukan hal‐hal yang baik, yang bermanfaat atau yang benar. Berpikir negatif
adalah dorongan setan mengingat ini akan membawa kita jauh dari kebaikan,
dekat dengan kerugian dan pelanggaran.
Setan adalah ruh halus yang kerjaannya ingin menjauhkan kita dari kebaikan.
Setan ini menggoda manusia dengan caranya yang sangat halus, fleksibel dan
adaptatif. Saya ingin mencontohkan misalnya saja anda bernasib buruk seperti di
si A di atas. Kalau anda berpikir bahwa anda punya alasan yang sangat kuat
untuk menjadi orang berpikir negatif terus dan anda merasa tidak punya alasan
untuk berpikir positif, maka di sini anda perlu waspada jangan‐jangan anda
sudah masuh ke perangkap setan. Meski anda sudah tahu kalau berpikir negatif
itu jelek dan anda pun sudah tahu kalau berpikir positif itu baik, namun
pengetahuan ini tidak berguna jika anda kalah oleh godaan setan.
Al‐Qur’an karena itu mengingatkan begini:
“Hai manusia sesungguhnya janji Allah adalah benar maka sekali‐kali janganlah
kehidupan dunia ini memperdayakanmu dan sekali‐kali janganlah setan yang
pandai menipu itu memperdayakanmu. Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan‐
syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni
neraka yang menyala‐nyala.” (Fathir: 5)
Watak pendekatan setan:
Adaptatif. Adaptatif mengandung pengertian sesuai dengan keadaan diri
kita. Setan itu sangat pandai beradaptasi dengan keadaan kita. Setan yang
menggoda orang yang sedang kaya berbeda dengan setan yang menggoda
orang yang sedang miskin. Setan yang menggoda orang kaya biasanya boros,
sementara setan yang menggoda orang miskin biasanya malas bekerja.
Fleksibel. Fleksibel mengandung pengertian banyak cara yang digunakan
setan untuk menggoda dan merayu kita. Bila satu cara gagal, ia akan
mencoba cara lain seperti yang pernah digambarkan dalam kisah Adam dan
Hawa di surga.
Halus. Halus artinya sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang salah
karena saking kecilnya perbedaan itu. Sepertinya benar kalau kita enggan
bersodakoh ketika dalam keadaan miskin atau sulit. Sepertinya benar kalau
kita takut miskin gara‐gara shodaqoh, dan lain‐lain.
Jadi, meski anda ingin berpikir positif atau anda sudah tahu manfaat berpikir
positif, namun jika anda kalah oleh godaan setan yang mengajak anda untuk
berpikir negatif, maka riilnya anda tidak bisa berpikir positif. Mungkin inilah
rahasia kenapa kita diperintahkan untuk banyak‐banyak mengucapkan kalimat
tasbih, “Subhaanallah”, yang artinya adalah Maha Suci Allah. Kalimat ini
mengajarkan agar kita berpikir positif tentang Tuhan. Tuhan itu bebas dari
berbagai sifat‐sifat yang kita opinikan negatif. Tuhan itu suci dari hal‐hal negatif
yang kita persepsikan.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, orang yang bertasbih
(mengucapkan subhaanallah) sebanyak tiga puluh tiga kali di penghujung
sholatnya ditambah tahmid (ucapan al‐hamdulillah) sebanyak tiga puluh tiga
kali, ditambah takbir (ucapan Allahu akbar) sebanyak tiga puluh tiga kali, maka
diampunilah kesalahannya. Al‐Qur’an menyuruh begini:
“Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Besar”, (al‐
Waaqiah: 74)
2. Mengandalkan solusi dari luar
Dari pengalaman selama ini, saya melihat ada beberapa hal yang kerap
dilakukan oleh para penderita depresi, dan itu sama sekali tidak mendukung
upaya perbaikan atau penyembuhannya. Ini misalnya adalah:
Hanya mencari‐cari tip, saran atau tehnik yang jitu untuk mengatasi depresi.
Tip dari buku, saran dan tehnik dari orang lain itu sangat kita butuhkan
tetapi posisinya di sini bukan sebagai penentu, melainkan sebagai pembantu
(bantuan). Kita membutuhkan semua itu tetapi tidak boleh mengandalkan
pada semuanya. Artinya, tip dan saran itu akan berguna ketika kita dalam
keadaan sedang berusaha untuk mengatasi depresi dan tidak berguna kalau
kita duduk dan diam saja (mengandalkan).
Hanya menyalahkan keadaan atau orang. Mungkin saja yang membuat kita
depresi itu adalah dunia ini yang terlalu kejam atau orang lain. Tetapi akan
malah berbahaya kalau yang kita ingat dan yang kita lakukan adalah hanya
mengutuk dunia dan mengutuk orang lain. Harus ada inisiatif dari dalam
diri kita untuk mengobati diri sendiri
Kurang kreatif dalam menemukan cara atau terlalu “taat” pada rutinitas
yang biasa‐biasa. Ini juga bisa membuat depresi itu makin mendalam. Ada
saran agar kita membagi aktivitas menjadi tiga: a) aktivitas positif yang wajib,
b) aktivitas yang untuk fun atau pleasurable, dan c) aktivitas yang untuk
menabur kebajikan pada orang lain seperti membantu atau menyambung
hubungan.
Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa untuk berpikir positif ini tidak
bisa menunggu, kecuali harus kita ciptakan, lebih‐lebih lagi pada saat‐saat
menghadapi depresi. Kalau kita menunggu keadaan berubah atau orang
berubah, ini biasanya malah menghambat. Ciptakan sekarang juga. Anda
mampu menciptakan pikiran positif dalam keadaan apapun atau kapanpun.
Seperti yang dialami si A di atas, dia bisa menciptakan pikiran positif dari
tempat yang dulu ia gunakan untuk menciptakan pikiran negatif.
“Manusia itu bukan dimana ia berada tetapi apa yang dipikirkannya” (Petuah
Bijak)
Selain menunggu solusi dari luar seperti yang sudah kita bahas, ada beberapa
hal yang juga perlu dihindari. Bandura (1980) menyebutnya dengan istilah
“Escaping mechanism”, mekanisme melarikan‐diri. Dari yang saya amati,
menggunakan mekanisme ini justru akan memperlambat atau menghambat
kesadaran untuk berpikir positif saat‐saat depresi. Bentuk‐bentuk “melarikan‐
diri”itu antara lain adalah:
Pembenaran moral: “Saya terpaksa minum minuman karas karena saya
depresi.” (Anda bisa tidak minum minuman keras meski anda depresi.
Depresi tidak memaksa anda untuk minum minuman keras. Andalah yang
memaksa diri anda untuk minum minuman keras)
Membungkus kelemahan: “Saya malas‐masalan kerja karena saya tidak
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan yang saya inginkan”. (Semakin
lama anda malas‐malasan, maka semakin tertutuplah kemungkinan anda
untuk mendapatkan pekerjaan yang anda inginkan. Semakin rajin anda,
semakin terbuka kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan yang anda
inginkan)
Membandingkan kebaikan diri sendiri. “Dibanding dengan Si Anu yang
menjadi gila gara‐gara depresi ditinggal mati suami‐istrinya, berpikir negatif
itu masih belum seberapalah parahnya”. (Berpikir negatif itu berbahaya bagi
kesehatan jiwa dan kalau kita terus membuat perbandingan dengan cara
seperti itu, maka usaha kita untuk memperbaiki diri akan terhambat).
Mengingkari tanggung jawab hidup. “Semua orang yang terkena depresi
pasti akan sesat atau gelap seperti saya.” (Depresi memang bisa dipincu oleh
berbagai hal, tetapi untuk memperbaiki diri harus bersumber dari dalam diri.
Perbaikan diri adalah tanggung jawab yang tidak bisa dilemparkan kepada
siapapun, meski kita melemparkannya. Depresi anda tidak akan hilang
selama anda menolak untuk bertanggung jawab atas perbaikan diri)
Menempatkan diri sebagai korban (the victim). “Yang membuat saya hancur
adalah musibah takdir Tuhan yang kejam itu. Yang membuat saya nggak
karu‐karuan itu adalah mantan pasangan saya.” (Anda bisa saja mengatakan
itu, tetapi ini malah menempatkan posisi anda sebagai orang lemah atau
“menjadi korban”. Anda punya pilihan lain untuk mengatakan, misalnya:
“Meski ada musibah yang menghantam hidup saya, tetapi saya berjuang
keras untuk menjadi tegar” atau “Meski pasangan saya telah berlaku dholim
pada diri saya, tetapi saya tidak mau hidup saya hancur karenanya”, dan
lain‐lain).
“Seseorang tidak terluka hatinya oleh apa yang terjadi, tetapi oleh opini yang ia
ciptakan atas apa yang terjadi menimpanya.” (Michel de Montaigne, 1533‐1592)
“Manusia itu sama dengan logam. Oleh karena itu yang terbaik dari mereka
semasa jahiliyah (zaman kegelapan) akan menjadi orang terbaik dalam Islam
asalkan mereka sampai pada pemhaman Islam yang benar.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
3. Menganut paham atau keyakinan perfeksionis yang tidak rasional.
Al‐kisah, seperti yang dipaparkan Al‐Ghazali dalam kitab Ihya Uluumuddin,
Nabi melihat seseorang yang berdoa dengan redaksi seperti di bawah ini:
“Allohumma inni as’aluka tamaaman nikmah?” (Ya Allah aku minta kepada‐Mu
nikmat yang sempurna)
Nabi kemudian bertanya balik kepada orang itu: “Tahukah kamu nikmat yang
sempurna itu?. Orang itu menjawab: “Tidak”. Nabi kemudian menjelaskan
bahwa nikmat yang sempurna itu adalah masuk surga.
Pelajaran apa yang penting diingat di sini? Baik kita dalam keadaan depresi atau
tidak, yang penting untuk diingat adalah, dunia ini bukan tempat yang
sempurna (perfect). Ini jika yang kita maksudkan itu adalah sempurna dalam
arti tidak ada masalah, tidak ada kekurangan, tidak ada problem dan seterusnya.
Sempurna seperti ini hanya ada di surga. Sempurna yang ada di dunia ini adalah
sempurna seperti yang dikatakan Cak Nur: “Manusia yang sempurna adalah
manusia yang selalu menyempurnakan dirinya”. Nikmat yang sempurna adalah
nikmat yang selalu kita sempurnakan dengan cara mensyukurinya.
Untuk orang yang sedang depresi atau stress (stress kerja atau stress apapun),
distress atau gangguan kejiwaan lain, para pakar kesehatan mental atau
psikologi menyarankan agar kita tidak memeluk paham hidup perfeksionis yang
tidak rasional. David Burn (Burns: 1980) menyebutnya dengan istilah “Self‐
Defeating Beliefs” (SDB) atau keyakinan yang mematikan. Bentuk‐bentuk
keyakinan yang mematikan itu antara lain:
“Saya tidak mau hidup saya ada masalah”.
(Kita mau atau tidak mau, hidup ini tetap ada masalah. Masalah bisa digunakan
untuk memperkuat hidup dan bisa pula digunakan untuk menghancurkan.
Pilihan ditawarkan kita).
“Saya tidak mau lagi ada orang yang melukai saya. Saya mau setiap orang harus
bisa menerima saya dengan cinta dan kasih sayangnya”
(Selama kita masih ingin bergaul dengan manusia, pasti akan ada manusia yang
tindakannya bisa membahagiakan dan bisa menyengsarakan kita, terlepas itu
kadarnya kecil atau besar. Di dunia ini pasti ada orang yang bisa menerima kita
dan pasti pula ada orang yang tidak suka menerima kita. Jika realitas ini kita
tolak, hidup kita bukan malah bahagia tetapi malah bertambah sengsara)
“Saya takut gagal atau takut salah lagi kalau saya berusaha. Lebih baik saya
diam saja atau menunggu sampai benar‐benar ada jaminan tidak akan ada
gagal”
(Kalau kita ingin memperbaiki hidup, dalam arti yang seluas‐luasnya, ini mutlah
membutuhkan usaha. Dalam usaha itu hanya ada dua kemungkinan, yaitu:
antara gagal dan berhasil. Seringkali dua hal ini bukan terpisah, melainkan
proses yang saling menyatu. Kalau kita menolak kegagalan dalam berbagai
bentuknya, ya hidup kita bukan berarti akan jauh dari gagal, melainkan lebih
sering dekat dengan gagal. Yang lebih pasti lagi adalah lebih dekat stress).
Dari pengalaman sejumlah ahli dalam menangai penderita depresi, konon yang
menghambat upaya recovery adalah ketika seseorang berpikir bahwa dia harus
bebas dari depresi seketika itu dan langsung, tidak usah repot‐repot. Mengatasi
depresi butuh proses yang berkelanjutan, dan jika kita menolak proses itu bukan
malah cepat, tetapi malah semakin lama.
Menurut Susan Dunn, MA, perfeksionis dapat mengakibatkan hal‐hal buruk
yang antara lain adalah: a) dapat mengantarkan kita pada isolasi diri, b)dapat
mengantarkan kita menjadi orang yang takut menghadapi resiko hidup, c) dapat
mengantarkan kita pada kesulitan dalam membuat keputusan atau sasaran
hidup yang tepat, d) dapat mengantarkan kita pada kesalahan dalam menilai
diri (over), e) dapat mengantarkan kita menjadi orang kerdil yang sulit
mempercayai orang lain.
Dengan kata lain, berpikir positif itu lebih tergantung pada bagaimana kesiapan
kita untuk menghadapi realitas dunia ini. Jadi lebih tergantung pada kitanya dan
bukan tergantung pada dunianya. Kalau kita mengharapkan dunia ini harus
sempurna seperti yang kita inginkan padahal realitanya tidak begitu, ini
membahayakan kita. Saya setuju dengan ungkapan pak Salim, pemilik Country
Donut, “Jangan pernah merasa diri beriman bila belum bisa menerima
kenyataan.”
Saya setuju dengan ungkapan seorang pakar yang mengatakan kepada saya
dalam sebuah percakapan bahwa pemahaman agama yang tidak memperkuat
kita dalam menghadapi realitas, itu perlu dicurigai jangan‐jangan itu bukan
pemahaman keagaman yang diajarkan Al‐Qur’an atau sunnah Nabi. “Nabi
dulu”, katanya kepada saya, “mengajarkan agama untuk menghadapi realitas
dengan cara yang baik, benar dan bermanfaat.”
Karena realitas ini tidak tetap (mu’rob, bukan mabni), maka jurus yang dipakai
Nabi juga mu’rob (berubah sesuai keadaan): ada asbabun nuzul (turunnya ayat
berdasarkan masalah yang muncul), terkadang harus siap perang, terkadang
harus siap menghindari perang, terkadang harus menghukum orang, terkadang
harus memaafkan orang, dan seterusnya.
BAGAIMANA ANDA MULAI BERPIKIR POSITIF?
Dilihat dari pekerjaannya, berpikir positif ini merupakan pekerjaan yang enteng,
tidak butuh tenaga fisik dan gratis sekaligus bisa dilakukan kapanpun dan
dimanapun. Namun demikian, prakteknya tidak semua orang bisa
melakukannya. Kenapa? Ini karena ada beberapa hal yang kerap kita abaikan.
Berpikir positif tidak bisa kita lakukan dengan hanya berpikir positif. Berpikir
positif membutuhkan sesuatu yang lebih mendasar. Beberapa hal yang
mendasar itu antara lain adalah:
1. Menerima diri anda
Menerima diri di sini berbeda dengan menempatkan diri pada posisi yang
pasrah pada realitas buruk (depresi). Menerima diri adalah sebuah tekad untuk
mempersiapkan diri anda dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik,
perbaikan, atau penyembuhan. Menerima diri adalah kemampuan anda untuk
memahami dan menyadari bahwa anda perlu perubahan dan perlu perbaikan
dari depresi yang melanda diri anda. Menerima diri di sini adalah sebuah
kesimpulan batin yang anda ciptakan bahwa anda bisa berubah dan bisa
memperbaiki diri dengan apa yang sudah anda miliki hari ini.
Kenapa kita perlu memahami “penerimaan‐diri” (self acceptance) dalam
pengertian seperti di atas? Alasannya adalah bahwa semua orang akan menolak
atau mengingkari hal‐hal buruk yang membuatnya depresi. Penolakan dan
pengingkaran ini kita lampiaskan melalui berbagai bentuk, seperti misalnya:
kesal, kecewa, marah, frustasi, sedih, keluh kesah, dan lain‐lain. Ini semua
adalah penolakan atau pengingkaran. Penolakan dan pengingkaran ini tidak bisa
dihapus atau dihilangkan dalam waktu sekejab. Penolakan dan pengingkaran ini
dialami oleh semua manusia, terlepas adanya perbedaan tingkatan atau stadium.
Lalu apa yang bisa dilakukan terhadap penolakan dan pengingkaran itu? Yang
bisa dilakukan adalah mengelolanya. Dalam kasus si A di atas, ia mulai
merasakan adanya perbaikan di dalam dirinya ketika dia mulai mengelola
penolakan dan pengingkarannya selama ini untuk melakukan hal‐hal yang
positif buat dirinya. Ini misalnya saja ia mulai berpikir untuk menjadikan
pekerjaannya hari ini sebagai jalan atau pintu untuk mendapatkan pekerjaan
yang diinginkan, mulai belajar mendalami keahlian tertentu, mulai melihat sisi‐
sisi positif dari orang‐orang sekitar, dan seterusnya.
Nah, mengelola berbagai ledakan emosi seperti penolakan dan pengingkaran
agar tidak sempai mencelakakan diri sendiri atau agar bisa menjadi dorongan
untuk berbuat positif pada diri sendiri itulah yang disebut menerima diri. Jadi,
menerima diri bukanlah pasrah apa adanya, melainkan menerima diri anda atau
menerima segala bentuk kenyataan yang menimpa diri anda lalu anda jadikan
sebagai alasan untuk memperbaiki.
“Ketika anda mulai bisa menerima diri anda seperti apa adanya sekarang ini
maka anda mulai bisa membangun kehidupan baru dengan kemungkinan baru
yang belum pernah ada sebelumnya.” (Mandy Evans)
“Pemenang adalah orang yang bisa menerima dan memedomani kekalahan atau
kesalahan, kemudian melanjutkan perjuangan meraih tujuan.” (Dexter Yager)
“Belajarlah menjadi orang yang bahagia dengan apa yang anda miliki sementara
anda tetap berusaha untuk mendapatkan apa yang masih belum anda miliki.”
(Jim Rohn)
Agama, karena itu, mengajarkan sifat Qona’ah. Secara lughowi (bahasa),
Qona’ah artinya kepuasaan atau puas. Namun, puas di sini bukan puas dalam
pengertian pasrah, lemah, atau kalah. Puas di sini adalah sebagai benteng agar
kita tidak rakus atau agar kita tidak menolak kenyataan dengan cara yang bisa
merusak diri kita, seperti kufur, kecewa pada diri sendiri, kecewa pada Tuhan,
kecewa pada kenyataan, dan seterusnya.
Selain untuk melindungi penyakit rakus (tidak ada puas‐puasnya) dan
penolakan (tidak ridho), Qona’ah adalah sebuah konsep untuk berpikir positif,
untuk membuat orang menjadi bahagia dengan dirinya dan kehidupannya, dan
yang lebih penting lagi, agar orang merasa ringan dalam memperbaiki dirinya.
Kalau perasaan anda sudah dipenuhi kekecewaan, kekufuran, frustasi dan lain‐
lain, anda akan merasa berat untuk melangkah ke mana‐mana.
Dengan kata lain, dasar yang perlu anda bangun untuk bisa berpikir positif saat
menghadapi depresi adalah menerima diri dalam pengertian seperti yang sudah
kita bahas di atas. Ada pesan dari Abraham Maslow yang penting untuk diingat:
“Saat ini juga anda sudah berada di dalam posisi yang tepat untuk melakukan
apapun. Di dalam diri anda sudah terdapat kapasitas, bakat, misi, arah hidup
dan panggilan yang menyadarkan.”
2. Mengajukan pertanyaan positif dan “motivatif”
Untuk memudahkan menyebut, para ahli membagi model pertanyaan yang
muncul dari benak kita menjadi dua, yaitu:
Pertanyaan positif
Pertanyaan negatif
Pertanyaan positif adalah jenis pertanyaan, tanda tanya, unek‐unek dan bisikan
yang positif yang mendorong kita untuk memutuskan dan melakukan tindakan‐
tindakan positif, terlepas apakah kita saat ini sedang dalam keadaan buruk atau
dalam keadaan baik. Contoh dari pertayaan positif itu misalnya saja kita
memunculkan unek‐unek yang bunyinya adalah: ʺApa yang bisa saya lakukan
untuk memperbaiki diri saya dari keadaan yang sudah berantakan seperti ini?ʺ
ʺSiapa saja yang bisa saya minta tolong kepadanya untuk membantu saya keluar
dari kemelut akibat badai? Dan lain‐lain yang bisa kita kembangkan sebanyak
mungkin dan seluas mungkin.
Pertanyaan negatif adalah jenis pertanyaan, bisikan, unek‐unek, yang bentuknya
negatif dan akan mendorong kita untuk memutuskan dan melakukan tindakan
negatif dari mulai kemalasan, kepasrahan, kebrutalan, kesesatan, kesimbongan,
keminderan, dan seterusnya. Contoh dari pertanyaan negatif di sini misalnya
saja ketika kita memunculkan unek‐unek yang bunyinya adalah: ʺ Ada apa ini?,
Apa salah saya, apa dosa saya kok sampai sedemikian berat cobaan yang
menimpa saya?ʺ, dan lain‐lain yang bisa kita kembangkan sebanyak mungkin
dan seluas mungkin. Intinya, pertanyaan negatif adalah tanda‐tanya yang
menjurus pada jawaban negatif, jawaban yang tidak mendorong kita untuk
melakukan sesuatu, jawaban yang malah memperkeruh keadaan.
Pertanyaan positif disebut ʺmukjizatʺ (miracle), sedangkan pertanyaan negatif
sering disebut killer (pembunuh). Studi ilmu pengetahuan sudah bertahun‐
tahun membuktikan bahwa pertanyaan positif yang kita ajukan kepada diri kita
pada saat kita melakukan percakapan dengan diri kita (self‐dialog) memiliki arti
penting bagi kebangkitan diri kita setelah hidup kita diporak‐porandakan badai.
Di antara manfaat yang bisa kita jelaskan di sini adalah:
Keputusan Maju. Setiap orang (terutama pada saat tertimpa nasib buruk,
katakanlah seperti terkena depresi) diberi pilihan tiga hal, yaitu: apakah dia akan
terus menerus statis, apakah dia akan hancur, ataukah dia akan bangkit. Dengan
memunculkan pertanyaan‐pertanyaan positif akan mendorong kita untuk
bangkit.
Undangan Kreativitas. Mengajukan pertanyaan positif dan terus mengajukan
pertanyaan seperti ini juga akan memancing munculnya ide‐ide kreatif tentang
apa yang bisa kita lakukan dan tentang cara apa yang paling cocok untuk kita
tempuh. Terkadang yang membuat kita buntu bukanlah karena tidak ada jalan,
tetapi karena kurang ide.
Pencerahan. Mengajukan pertanyaan‐pertanyaan positif akan membuat batin
kita lapang. Kalau batin ini sudah lapang, mata pikiran kita juga bisa melihat
yang benar sebagai kebenaran dan yang batil sebagai kebatilan. Ini berbeda
dengan ketika batin kita gelap oleh pertanyaan‐pertanyaan negatif. Kita tidak
sanggup melihat kebenaran sebagai kebenaran dan tidak pula sanggup melihat
kebatilan sebagai kebatilan. Karana itu kita dianjurkan untuk berdo’a seperti
berikut:
“Ya Allah, tunjukkan kepada kami yang benar sebagai kebenaran dan berilah
kami kemampuan untuk mengikutinya. Tunjukkanlah kami kebatilah sebagai
kebatilan dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya”
3. Melakukan aksi positif
Berpikir positif tidak cukup dengan hanya menerima diri secara positif dan tidak
cukup dengan hanya mengajukan pertanyaan positif. Anda harus melakukan
hal‐hal positif untuk diri anda. Jika anda tidak melakukan apapun, maka segala
bentuk kenyataan buruk tentang diri anda akan mengalahkan kesimpulan anda
tentang diri anda. Melakukan hal‐hal positif akan memberikan perasaan positif
pada diri sendiri. Inilah salah satu rahasia ajaran amal sholeh. Lebih lanjut
tentang hal ini, lihat di Bab II.
4. Melawan opini negatif
Sudah pasti terkadang muncul unek‐unek negatif dari dalam diri kita tentang
diri kita pada saat‐saat depresi. Terkadang kita takut, terkadang kita merasa
sudah putus asa, terkadang kita membuat opini negatif yang bermacam‐macam
tentang diri sendiri. Karena itu, kita harus awas dan waspada. Para ahli
menyarankan beberapa hal berikut:
Lakukan afirmasi positif. Afirmasi positif ini prakteknya sama seperti dzikir. Jadi
kita mengatakan sesuatu yang positif kepada diri kita tentang diri kita pada saat
kita sendirian, misalnya saja anda mengatakan kepada diri sendiri seperti ini:
“bangkitlah”, “lawanlah”, dan seterusnya.
Lakukan substitusi. Subsititusi artinya mengganti langsung. Jadi, anda
mengganti kesimpulan atau opini negatif tentang diri sendiri dengan opini yang
positif. Jika anda berkesimpulan bahwa hidup anda telah hancur, gantilah segera
dengan yang sebaliknya. Hidup anda masih berguna untuk diri anda dan orang
lain yang membutuhkan anda.
Lakukan labelisasi. Labelisasi artinya memberi tanda. Anda memberi tanda
berbagai opini atau kesimpulan atau unek‐unek yang muncul dari diri anda agar
segera dapat diketahui mana yang negatif dan mana yang positif. Labelisasi ini
berguna untuk melakukan afirmasi dan substitusi.
Kalau melihat pesan Al‐Qur’an, baik afirmasi, substistusi dan labelisasi,
ketiganya termasuk proses tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa). Jiwa kita ini
rentan sekali terkena kotoran, sama juga seperti badan kita. Kotoran itu bisa
berasal dari diri kita langsung atau dari kotoran yang dikirim orang lain. Kalau
badan kita tidak cukup dengan hanya dibersihkan sekali dalam satu hari, maka
begitu juga mestinya jiwa kita. Ia membutuhkan upaya yang disebut
tazkiyatunnafs setiap saat. Al‐Qur’an menyatakan:
“Sesungguhnya beruntunglah orang‐orang yang mensucikan jiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (asy‐Syams: 9‐10)
5. Menemukan buku dan orang
Ada dua hal yang sangat penting untuk anda temukan saat‐saat hendak
mengatasi depresi. Pertama, anda harus menemukan buku yang bisa
membangkitkan anda. Terserah dari mana pun buku itu anda dapatkan, yang
penting jangan melewati hari‐hari anda tanpa membaca buku. Jangan
melewatkan hari‐hari anda dengan hanya merasakan penderitaan batin.
Membaca adalah pintu untuk mendapatkan pencerahan. Paslah jika kemudian
Al‐Qur’an menjadikan perintah membaca ini sebagai perintah yang pertama kali
turun.
Kedua, anda harus menemukan orang atau lingkungan yang positif, konstruktif
atau yang mendukung keadaan anda. Jangan dekati orang‐orang yang malah
membuat hidup anda makin depresi. Jangan dekati orang‐orang yang
omongannya, pendapatnya, atau ucapannya malah membuat batin anda sempit
dan sakit. Temukan sebanyak mungkin orang‐orang yang bisa membangkitkan
anda, mencerahkan anda, atau yang bisa memperkuat jiwa anda. Kalau
mengikuti nasehat pakar di bidang karir, orang‐orang yang harus kita temukan
adalah berikut ini:
Orang yang menginginkan kesuksesan kita.
Orang yang memiliki bakat (keunggulan) dan bisa menyempurnakan
kelemahan kita.
Orang yang bisa mengoreksi kekurangan kita dengan cara yang kita
inginkan, bukan mengkritik atau menyalahkan dengan spirit menjatuhkan
atau melemahkan.
Orang yang bisa membimbing kita dengan keahlian yang dimiliki (guru
personal, penasehat, dll)
Orang yang mengikuti gagasan kita atas kemauan sendiri
Orang yang bisa kita ajak berbicara atau berteman
Orang yang bisa membicarakan keunggulan kita dengan orang lain.
Orang yang mengakui perbedaan dan tidak mempersoalan
(mempertentangkan)
Orang yang kita ketahui mengetahui kita dan mengetahui apa yang kita tahu.
“Jauhilah orang yang mencoba menggembosi semangatmu. Orang kecil biasanya
melakukan itu tetapi orang besar akan memberimu semangat bahwa dirimu pun
bisa menjadi orang besar.” (Mark Twain)
“Secara umum manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu:
orang yang meyakini pedoman hidupnya, orang yang berjiwa membangun dan
orang berjiwa syukur. Golongan kedua adalah orang yang tidak meyakini,
berjiwa merusak (destroyer) dan orang yang hanya punya semangat mengkritik
(critical spirit).” (Jhon Ruskin)
JADIKAN SEBAGAI SUMBER MOTIVASI
Imam Al‐Ghazali pernah menulis bahwa di dalam diri manusia itu ada dua
kecenderungan yang terus aktif. Kecenderungan pertama adalah kecenderungan
untuk mendapatkan sesuatu (al‐muyuul ilan nail). Semua orang ingin karirnya
naik. Semua orang ingin prestasi akademisnya bagus. Semua orang ingin
keluarganya harmonis. Semua orang ingin diperlakukan orang lain seperti yang
dingginkannya. Ini semua adalah termasuk kecenderungan yang pertama.
Kecenderungan kedua adalah kecenderungan untuk menghindar dari sesuatu
yang membahayakan, merugikan atau mengancam (al‐muyuul ilal huruub).
Ekspresi dari kecenderungan ini bisa bermacam‐macam, misalnya takut, panik,
marah, dan lain‐lain. Semua orang cenderung ingin terhindar dari bahaya
kemiskinan, penderitaan, atau tekanan. Semua orang akan takut gagal, takut
kalah, takut hancur. Semua orang akan marah kalau dihina atau diperlakukan
secara tidak fair. Ini semua adalah termasuk kecenderungan yang kedua.
Bahkan oleh kajian sibernitika diungkap bahwa di dalam diri manusia itu
sebenarnya sudah dipasang semacam perangkat yang disebut “an automatic
response to external stimuli”, atau bisa diterjemahkan sebagai alat yang bisa
mendeteksi langsung terhadap hal‐hal yang membahayakan kita. Contoh yang
paling riil adalah ketika kulit kita bersentuhan dengan benda panas. Apa yang
terjadi? Diri kita langsung melakukan penghindaran secara otomatik, tidak ada
yang mengajari dan tidak ada yang menyuruh. Ini juga berlaku untuk hal‐hal
yang sifatnya batin, seperti ketakutan itu.
Nah, kalau dikaitkan dengan perkembangan teori motivasi, dua kecenderungan
yang terus aktif itu bisa disebut sumber motivasi. Mativasi adalah dorongan
untuk melakukan sesuatu. Teorinya, motivasi inilah yang kemudian akan
berlanjut menjadi “motive – to – action”. Karena si A itu ingin sukses di
bisnisnya, makanya dia bekerja dengan keras. Karena si B itu takut dikatakan
gagal oleh orang tuanya, makanya dia belajar sungguh‐sungguh. Saya pernah
berkenalan dengan seorang pengusaha muda. Katanya kepada saya, yang
memotivasi dia adalah ketakutannya kalau dikatakan lebih rendah prestasinya
dibanding dengan orang tuanya dulu. Ada lagi yang mengatakan bahwa
kegigihannya dalam membangun bisnis itu dilandasi karena kedendamannya
terhadap kemiskinan yang melilitnya bertahun‐tahun.
Dengan kata lain, sumber motivasi itu bisa berbentuk sesuatu yang enak
menurut kita dan sesuatu yang tidak menurut kita. Dengan kata lain, motivasi
itu bisa datang dari hal‐hal yang kita inginkan dan bisa pula dari hal‐hal yang
tidak inginkan. Dengan kata lain, motivasi untuk berbuat positif itu bisa diolah
dari kehidupan yang sedang OK dan bisa pula diolah dari kehidupan yang
sedang tidak OK, termasuk ketika saat sedang mengalami depresi, apapun
penyebabnya.
Dari berbagai kasus yang amati langsung dan tidak langsung, kebanyakan para
penderita depresi tidak tahu atau tidak sadar bahwa kehidupannya saat ini bisa
digunakan sebagai motivator untuk menjadi orang yang lebih bagus, lebih kuat,
lebih matang dan lebih positif. Umumnya, mereka hanya punya perspektif
tunggal tentang apa yang sedang dialaminya. Perspektif tunggal itu adalah
bahwa yang membuatnya mengalami penderitaan seperti sekarang ini adalah
karena ada penderitaan. Mereka tidak tahu atau lupa kalau penderitaan itu bisa
dijadikan motivator.
ʺPerubahan adalah hasil akhir dari pembelajaran. Perubahan itu melibatkan tiga
langkah, yaitu: pertama, ketidakpuasan. Kedua keputusan untuk berubah guna
memenuhi penolakan atau kebutuhan. Ketiga,kesadaran untuk mengabdikan
diri pada proses perkembangan.ʺ
(Dr. Felice Leonardo Buscaglia, American Professor of Education)
Mereka hanya merasakan adanya ketidakpuasan terhadap hidupnya hari ini
tetapi tidak melihat sisi lain bahwa ketidakpuasan itu bisa digunakan untuk
menjadi pemacu. Mereka dikalahkan oleh ketidakpuasan. Kalau melihat temuan
di bidang karir, ketidakpuasan yang kita biarkan itu akan menimbulkan
konsekuensi buruk yang disebut kelumpuhan karir (Career Paralys) atau
kelumpuhan hidup. Untuk anda yang bekerja, entah itu karyawan, pengusaha
atau profesional, anda bisa mengecek diri anda melalui pertanyaan‐pertanyaan
berikut:
Apakah anda sudah benar‐benar merasa tidak bahagia dengan pekerjaan
atau profesi yang ada?
Apakah anda merasakan adanya depresi berat meski sudah menduduki
berbagai jabatan, posisi atau sudah pindah kemana‐mana?
Apakah anda punya kecenderungan untuk melakukan kritik‐diri pada
tingkat yang sudah tidak wajar atau tidak normal?
Apakah anda memiliki motivasi dan semangat berkompetisi yang sangat
rendah (sudah tidak bergairah lagi)?
Apakah anda memiliki kepercayaan‐diri yang sangat rendah?
Apakah anda tidak memiliki tujuan yang jelas dan jelas‐jelas kita
perjuangkan (ngelantur)?
Kelumpuhan ini sebetulnya hanya sebuah istilah untuk menggambarkan adanya
dinamika karir seseorang yang sudah tidak bergerak lagi, entah itu ke atas atau
ke samping. Meminjam istilah dari banyak literatur, orang yang terkena ini
langkahnya seperti orang yang terpenjara (trapped), putus asa atau tidak punya
harapan lagi ketika berbicara soal karir atau profesi. Wilayah kehidupan lain di
luar karir juga terkena imbas‐buruk, tertekan oleh perasaan tidak aman atau
tidak layak.
Kalau dijabarkan secara lebih detail, kelumpuhan terjadi karena adanya
pengabaian yang berproses dari titik tertentu ke titik yang lain. Untuk koreksi‐
diri, marilah kita lihat proses di bawah ini:
Dissatisfaction (Ketidakpuasan)
Demotivation (Kehilangan sumber motivasi)
Paralys (Kelumpuhan)
Awalnya, kelumpuhan itu berawal dari ketidak‐puasan yang diabaikan. Kita
merasa tidak puas dengan keadaan sekarang tetapi ketidakpuasan itu kita
biarkan menjadi energi negatif. Atau juga kita menjumpai hal‐hal yang membuat
kehilangan alasan untuk bersyukur tetapi itu kita biarkan atau tidak kita
transfromasikan menjadi energi positif.
Dalam hitungan yang ke sekian juta kali, ketidak‐puasan itu muncul dari batin
kita dan selalu kita biarkan, maka lahirlah sel‐sel baru. Jadilah ia demotivator
dalam bentuk: tidak ada gairah berprestasi ke tingkat yang lebih tinggi,
kehilangan visi pribadi ke depan, bekerja dengan niat asalkan gaji bulanan
lancar, dan seterusnya.
Sampai pada tahap di mana sebagian besar kebiasaan kerja kita didominasi oleh
ketidakpuasan dan demotivasi, maka sangat masuk akal jika yang terjadi adalah
kelumpuhan. Ibarat kata, biarpun ilmu manajemen kita segunung, tetapi kalau
batin ini bermasalah, kemungkinan besar ilmu yang segunung itu tak bisa
berbuat banyak. Biarpun jaringan kita banyak, tetapi kalau batin kita
bermasalah, maka jaringan yang banyak itu tak bisa berbuat banyak untuk
kemajuan karir kita.
Saya kira temuan di atas bisa dijadikan pedoman bahwa ketika kita tidak bisa
mengelola ketidakpuasan sebagai motivator, maka langkah hidup kita akan
lumpuh. Inilah yang membuat orang yang terkena depresi itu semakin dalam
depresinya. Kelumpuhan langkah ini bisa kita jelaskan dengan bahasa‐bahasa
yang sudah dipakai pakar kesehatan mental. Misalnya bahwa orang yang
menderita depresi itu kehilangan mood, kehilangan makna hidup, kehilangan
kepercayaan‐diri, dan seterunya.
Jadi, jangan membiarkan ketidakpuasan itu membunuh anda. Sebaliknya,
jadikan ketidapuasan itu sebagai pemacu anda. Ini juga pernah dilakukan Pak
Puspo Wardoyo, pemilik restoran Wong Solo, yang bisa kita lihat di sejumlah
kota besar itu. Konon, sebelum memutuskan untuk menjadi pengusaha restoran,
Pak Puspo aslinya berprofesi sebagai guru negeri. Namun, seperti yang
diakuinya, menjadi pegawai negeri saat itu gajinya tidak cukup. Pak Puspo tidak
puas dengan keadaannya. Dari sinilah Pak Puspo kemudian mengambil
keputusan untuk menjadikan ketidakpuasannya sebagai pemacu untuk
mendapatkan penghasilan yang lebih besar.
Anda memang tidak harus memilih jalan hidup seperti jalan yang dipilih Pak
Puspo. Tetapi anda perlu memodamani prinsip bahwa ketidakpuasan itu bisa
kita gunakan sebagai pemacu untuk melakukan sesuatu yang lebih bagus.
Seperti kata Aristotle, di antara yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu itu adalah: perubahan, keadaan alam, paksaan, kebiasaan, visi (alasan
mendasar), dorongan dari dalam (semangat atau motivasi, keinginan atau
kemauan).
“90 % penyebab kegagalan manusia adalah kepasrahannya terhadap realitas.”
(Washington Irvin)
BAGAIMANA MENGGUNAKAN KETIDAKPUASAN?.
Bagaimana menggunakan ketidakpuasan itu sebagai motivator pada saat kita
menderita depresi? Anda bisa melakukan hal‐hal di bawah ini:
Pertama, menyadari bahwa ketidakpuasan itu bisa kita gunakan sebagai pemacu
dan menggunakannya untuk memacu diri. Seperti yang sudah kita bahas,
ketidakpuasan itu netral gunanya meski rasanya sama. Karena netral (bisa killer
dan bisa builder), maka jangan heran bila ada sebagian orang yang semakin
terpacu dan ada lagi yang malah menjadi paralis. Ini bukti bahwa perbedaan ini
tidak diciptakan dari ketidakpuasan itu, melainkan diciptakan dari bagaimana
orang itu menggunakan ketidakpuasannya. Jangan heran bila dalam satu
realitas, ada orang yang mendapatkan pencerahan dan ada orang yang
mendapatkan kegelapan.
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk
atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang‐orang yang beriman, maka
mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka
yang kafir mengatakan: ʺApakah maksud Allah menjadikan ini untuk
perumpamaan?ʺ Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah,
dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi‐Nya petunjuk.
Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang‐orang yang fasik.” (Al‐
Baqoroh: 26)
Dengan menjadikan ketidakpuasan itu sebagai pemacu atau pendorong
kemajuan maka di sini posisi kita secara mental bukan menjadi korban atas
ketidakpuasan tapi sebagai penguasa atas ketidakpuasan itu. Selain Anthony
Robbins, Saya kira di dunia ini sudah banyak orang yang sanggup
menggunakan ketidakpuasannya untuk meraih prestasi yang lebih tinggi atau
untuk memperbaiki dirinya. “Rahasia untuk berprestasi adalah belajar
bagaimana menggunakan kesengsaraan dan kesenangan, bukan menjadi korban
kesengsaraan atau kesenangan. Jika kamu melakukan ini maka kamu akan bisa
mengontrol hidupmu dan sebaliknya jika kamu tidak melakukannya, maka
kamu akan dikontrol,” begitu kesimpulan Robbins
Kedua, realisasikan ke dalam program perbaikan. Seperti kita tahu, untuk
meraih kemajuan atau perbaikan tentu tidak cukup dengan hanya memiliki
dorongan yang kuat atau keinginan yang kuat. Yang dibutuhkan selain itu
adalah merealisasikan keinginan yang keras itu ke dalam sebuah program
perbaikan yang spesifik dan riil. Kenapa harus spesifik? Biasanya, program
perbaikan yang kita inginkan itu jumlahnya se‐abrek. Apalagi dalam kondisi
ketidakpuasan. Inginnya kita adalah mengubah diri secara total (total
improvement) dan sekaligus.
Meski sedemikian rupa keinginan itu, tapi bila kemampuan kita tidak sampai,
keinginan itu pasti gagal. Untuk menghindari ini harus ada perbaikan yang
spesifik berdasarkan prioritas. Inilah yang bisa disebut dengan istilah target
bermakna. Anda bisa membaca hal ini di bab berikutnya.
Kemudian yang ketiga adalah mengontrol emosi (lupa dan ingat terhadap masa
lalu). Seperti kita alami, perasaan ketidakpuasan itu dinamis sifatnya. Untuk
satu hal, untuk satu keadaan dan satu tempat, bisa saja terkadang kita merasa
tidak puas, dan terkadang kita puas. Jadi, selain dinamis juga temporer. Karena
itu, tidak terlalu tepat juga kalau kita menggunakan setiap ketidapuasan itu
untuk menyusun program perbaikan baru..
Nah, di sini saya melihat bahwa kontrol emosi itu penting. Kontrol akan
mengajarkan kapan kita menggunakan ketidakpuasan sebagai pemacu untuk
merumuskan program perbaikan baru (target) dan kapan kita menggunakan
ketidakpuasan itu sebagai spirit untuk menjalankan program yang sudah kita
rumuskan. Kalau kita sedikit‐sedikit bongkar pasang rencana, judul akhirnya
malah tidak karu‐karuan. Tetapi kalau kita tidak merumuskan rencana baru atau
memiliki standar prestasi yang baru, ini biasanya malah membikin kita mandek
yang berujung pada apa yang disebut dengan kelumpuhan karir itu.
BOX
TIP BERPIKIR POSITIF
Betindak, berjalan, berbicara, dan berpikirlah seperti orang yang anda
kagumi
Tanamkan dalam‐dalam pikiran positif dan sukses dalam benak anda
Pancarkanlah sikap yang baik, perasaan yang baik, keyakinan yang kuat
dan tujuan hidup yang jelas.
Perlakukanlah setiap orang yang anda jumpai sebagai orang yang
penting (menghormati)
Usahakan orang yang anda temui merasa dibutuhkan, diperlukan dan
dihargai
Lihatlah hal‐hal yang baik dalam diri setiap orang
Jangan ungkapkan kondisi kesehatan anda kecuali anda sedang dalam
kondisi yang baik
Carilah yang terbaik dalam setiap gagasan baru yang muncul
Hindari hal‐hal yang sepele
Kembangkanlah dalam diri anda sikap mental untuk memberi (memberi
pertolongan, memberi kemudahan, memberi bantuan, dst)
TIP MENGHENTIKAN PIKIRAN NEGATIF
Hentikan opini negatif.
Gantilah opini negatif dengan opini positif
Tanyakan kepada diri anda tentang apa untungnya memiliki opini negatif
Membaca buku yang bisa mendidik kita untuk beropini positif
Bergaul dengan orang‐orang yang punya opini positif
* Dari berbagai sumber
BOX
TUJUH PRINSIP MENJADI ORANG YANG BAHAGIA
Prinsip 1: Anda adalah hukum.
Kita adalah hukum bagi diri kita ‐ wa are the law of ourselves. Bahagia dan tidak
bahagianya kita akan tergantung pada kita. Kitalah yang menentukan itu.
Bahagia dan tidak bahagianya kita bukan tergantung pada dunia dan orang lain.
Orang lain dan dunia memang bisa merugikan kita, namun untuk menjadi orang
bahagia tidak bisa mengandalkan dunia dan orang lain, tetapi harus kita yang
menentukan. “Tempat dan keadaan tidak menjamin kebahagiaan, karena
kebahagiaan itu kita yang bisa menentukan.” (Robert J. Hasting)
Prinsip 2: Pikiran adalah makhluk hidup.
Bahagia dan tidak bahagianya kita tergantung pada bentuk muatan pikiran yang
kita ciptakan. Kalau anda menciptakan muatan positif, maka anda bahagia.
Sebaliknya, kalau anda menciptakan muatan negatif, anda tidak bahagia.
“Bahagia dan sengsara tergantung isi pikiran” (Dale Carnegie)
Prinsip 3: Memaafkan
Kalau anda ingin menjadi orang yang bahagia, anda harus berani memaafkan
lebih dulu. Maafkan diri anda. Maafkan orang lain. Tidak bisa menerima diri
atau dendam sama orang lain atau mudah terluka oleh perbuatan orang lain,
justru akan menghambat usaha kita untuk menjadi orang yang bahagia. Ada
pesan bijak yang patut kita renungkan seputar kebahagiaan itu. Kebahagian itu
bisa kita ciptakan dengan cara, antara lain:
Bebaskan hatimu dari kebencian
Bebaskan pikiranmu dari kekhawatiran
Hiduplah sederhana
Jangan berharap terlalu banyak
Ulurkan tanganmu untuk memberi orang lain
Isilah hidupmu dengan cinta
Lakukan sesuatu seperti kamu mengharapkan orang lain melakukan
“Maafkan mereka tetapi jangan lupakan namanya” (Mandela)
Prinsip 4: Energi Cinta.
Kita akan bahagia kalau energi yang kita gunakan untuk menjalani hidup adalah
energi cinta, energi positif, dan energi untuk menginginkan sesuatu. Kita tidak
bisa bahagia dengan energi membenci dan menghindari sesuatu. Seperti kata
Tom Bodett: “Orang hanya membutuhkan tiga hal untuk benar‐benar menjadi
bahagia di dunia ini: seseorang yang dicintai, sesuatu yang dilakukan, dan
sesuatu yang diinginkan.”
Prinsip 5: Menerima.
Kita tidak bisa mengubah sesuatu yang tidak menyenangkan menjadi sesuatu
yang menyenangkan dengan cara menolak. Kita juga tidak bisa mengubah
keadaan yang tidak kita inginkan menjadi keadaan yang kita inginkan dengan
cara menolak, tetapi harus diterima lebih dulu (ridlo bil qodlo’) baru kemudian
diubah. Menerima dan memperbaiki inilah yang bisa membuat kita menjadi
bahagia.
Prinsip 6: Kesaling‐bergantungan (Interdependence).
Kalau anda bahagia dengan orang lain, anda harus menjadi orang yang bahagia
dengan diri anda lebih dulu. Kalau anda ingin bahagia dengan realitas anda,
anda harus lebih dulu menjadi bahagia dengan diri anda lebih dulu. Anda tidak
akan bahagia dengan orang lain, selama anda tidak bisa bahagia dengan diri
anda.
Prinsip 7: Melakukan sesuatu yang positif
Anda tidak bisa menjadi bahagia dengan cara tidak melakukan sesuatu. Anda
tidak bisa bahagia dengan cara diam, mengkhayal, melamun, malas‐malasan
atau yang semisalnya. Anda akan bahagia dengan cara melakukan sesuatu yang
positif untuk diri anda atau untuk orang lain
* Dari berbagai sumber
BOX
TIP MENINGKATKAN KEGIGIHAN
Di bawah ini adalah tujuh kiat yang dapat membantu anda untuk meningkatkan
kegigihan:
1. Tujuan yang Pasti. Yang pertama‐tama yang harus anda miliki sekaligus
langkah awal paling penting untuk mengembangkan sikap gigih adalah
memiliki tujuan yang pasti. Motivasi yang tinggi amat sangat membantu
Anda untuk megatasi‐mengatasi kesulitan.
2. Niat. Untuk mengembangkan serta memelihara sikap gigih dalam
mengejar apa yang ingin anda raih akan lebih mudah jika dilakukan
dengan niat.
3. Target. Dengan telah ditentukanya target serta rencana, maka akan
berkembang pada diri anda sikap gigih.
4. Pengetahuan yang Akurat. Tugas pertama yang wajib anda lakukan
adalah mewujudkan rencana. Berdasarkan pengalaman dan hasil studi,
dengan mengetahui bahwa rencana sudah terpola, keinginan untuk
mewujudkan akan lebih terarah. Jika rencana belum terpola hasil yang
didapat pasti berbeda.
5. Kerjasama. Kegigihan akan senantiasa terpupuk jika kita juga
menunjukkan sikap simpati, pengertian serta mau bekerjasama dengan
orang‐orang lain.
6. Tekad. Tekad untuk mengarahkan seluruh rencana agar bisa terwujud
akan semakin memantapkan sikap gigih.
7. Kebiasaan. Sikap bisa terbentuk karena faktor kebiasaan. Munculnya
sikap terwujud karena didapatkan dari pengalaman hidup sehari‐hari.
* Dikutip dari: Strategy for Success, Jhon Maxwell & Jim Donan.
BAB II
PERJUANGKAN TARGET YANG BERMAKNA
KENAPA HARUS TARGET?
Seperti yang sudah kita singgung di muka, mengatasi stress apalagi depresi itu
tidak cukup dengan hanya berpikir positif, tidak cukup dengan mengatakan
ucapan mulut “alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk hidup”. Lebih
parah lagi kalau kita hanya merasakan dan memikirkan terlalu lama (hanyut dan
larut di dalamnya) kenapa kita menderita depresi atau nasib buruk. Kenapa
bukan orang lain saja yang menderita? Apa dosa saya? Dan seterusnya.
Untuk mengatasi depresi dibutuhkan tindakan yang riil dan terarah. Tidak bisa
dengan tindakan yang asal tindakan tetapi harus dengan tindakan yang terarah.
Ini juga berarti bahwa mengatasi depresi tidak bisa dilakukan dengan tindakan
yang melawan perasaan, seperti ngamuk, meluapkan amarah secara berlebihan,
ingin lari dari masalah sejauh‐jauhnya, dan lain‐lain.
Memang benar bahwa perasaan ngamuk, jengkel, tak berdaya, goncang, dan
semisalnya itu tidak bisa dihindari. Cuma, yang perlu diingat di sini bukan
persoalan tidak bisa dihindarinya, melainkan bagaimana kita menguasainya.
Kalau kita sampai dikuasai perasaan‐perasaan semacam itu, kemungkinan besar
tidak banyak hal positif yang bisa diharapkan dari diri kita. Akan tetapi, jika kita
sanggup menguasainya, so pasti masih banyak hal positif yang bisa kita
kerjakan.
Orang yang bisa menguasainya ini diberi julukan orang kuat (strong people)
oleh Nabi. “Orang yang kuat bukanlah orang yang sanggup menaklukkan orang
lain, orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai dirinya saat‐saat marah
(ledakan emosi).” Karena kita masih sanggup menguasainya, maka ledakan
emosi seperti apapun tidak sampai mencelakakan kita dan orang lain. Marah
dan jengkel itu manusiawi asalkan kita tahu kapan berhenti, untuk apa
tujuannya dan kapan memperbaiki. Ini semua dibutuhkan penguasaan‐diri.
Untuk melakukan tindakan yang terarah dan teratur itu dibutuhkan apa yang
kita sebut target. Istilah lain yang semakna dengan target itu adalah:
Sasaran
Tujuan hidup
Cita‐cita jangka pendek
obsesi yang riil
Dan lain‐lain terserah Anda
Apapun istilah yang ingin anda pakai, itu tidak ada masalah. Yang penting di
sini adalah anda memiliki sesuatu yang benar‐benar ingin anda wujudkan, ingin
anda capai, ingin anda realisasikan. Sesuatu itu bisa berbentuk hasil, seperti
misalnya anda harus mendapatkan pekerjaan, anda harus meraih gelar, anda
harus mendapatkan orang yang bisa membimbing anda, dan seterusnya. Atau,
sesuatu itu bisa berbentuk aktivitas, seperti misalnya anda menyusun program
perbaikan diri.
Jika anda seorang pelajar atau mahasiswa, tetapkan target untuk mendalami
bidang tertentu dari mulai sekarang untuk kebaikan anda di masa mendatang,
misalnya meningkatkan penguasaan bahasa asing, mengingkatkan penguasaan
komputer, meningkatkan penguasaan dan pendalaman keagamaan, dan lain‐
lain. Intinya, anda perlu meningkatkan prestasi yang akan menjadi karakteristik
atau kualitas diri anda atau memperbaiki profil anda.
Jika anda seorang karyawan yang sedang mengalami depresi, apapun
penyebabnya itu, anda perlu menyusun target baru yang bisa dijadikan bukti
bahwa di dalam diri anda ada perbaikan yang terus meningkat. Anda bisa
menyusun target untuk meningkatkan skill tehnis (skill kerja), anda bisa
menyusun target untuk meningkatkan jaringan, anda bisa menyusun target
untuk meningkatkan leadership (soft skill), dan lain‐lain. Intinya, anda perlu
membekali diri dengan pengetahuan, pengalaman, keahlian, keimanan dan
jaringan supaya kualitas diri anda meningkat.
Jika anda seorang pengusaha yang sedang mengalami depresi, seberapa pun
beratnya depresi itu, cepatlah tetapkan target baru yang kira‐kira bisa anda
perjuangkan sebagai bukti adanya perbaikan di dalam diri anda. Anda bisa
menyusun target baru itu dari misalnya pemasaran, perbaikan produk,
perbaikan manajemen, perbaikan skill orang‐orang yang anda miliki, perbaikan
penggunaan uang, perbaikan sumber keuangan, dan lain‐lain.
Konon, Pak Bob Sadino pernah merasa hatinya “hancur”. Setelah pulang dari
kerja di Eropa, Pak Bob membeli kendaraan dari tabungannya. Kendaraan itu
disewakan tetapi ternyata pulang‐pulang bukan membawa uang. Kendaraan itu
mengalami kecelakaan. Padahal kendaraan itu adalah sumber nafkahnya. Pak
Bob kemudian merumuskan agenda baru untuk memperbaiki hidupnya.
Mulailah ia bekerja sebagai sopir, bekerja di bangunan, lalu berdagang telor.
Dari berdagang telor inilah pintu kemajuan usahanya terbuka dan berkembang
sampai sekarang menjadi raksasa di bisnis makanan, sayur mayur, dan lain‐lain.
“Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi.
Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati.
Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan
mengatasi masalah.” (Bob Sadino)
Jika anda seorang pemimpin keluarga yang sedang mengalami depresi berat,
cepat tentukan target. Anda bisa menentukan target perbaikan dari masalah
yang muncul. Atau juga anda bisa menentukan terget perbaikan dari keinginan
untuk meraih sesuatu yang lebih bagus. Ada teori Ushul Figh yang bisa anda
pedomani dalam membuat target. Teori itu berbunyi begini: “Upaya untuk
mengantisipasi bahaya itu lebih perlu diutamakan ketimbang upaya mengambil
manfaat.” “Dar‐ul mafaasid muqoddam ala jalbil mashoolih.”
Kenapa harus target? Kalau melihat praktek hidup, pertanyaan ini bisa
dijelaskan seperti di bawah ini:
1. Target akan membimbing langkah
Seperti yang sudah kita bahas di muka, depresi itu artinya kumpulan dari sekian
masalah yang membuat batin tertekan. Saking banyaknya masalah yang kita
batin itu, sampai‐sampai kita tidak bisa menjelaskan satu persatu. Yang ada
biasanya hanya sebuah istilah yang mewakili keruwetan, misalnya kehilangan
makna hidup, kehilangan gairah, kehilangan mood, merasa tak berdaya, dan
lain‐lain.
Karena kita merasa punya banyak masalah, maka muncul pula keinginan yang
jumlahnya banyak. Saking banyaknya keinginan itu sampai‐sampai kita tidak
tahu dari mana memulainya. Karena kita tidak tahu dari mana memulainya,
maka wajarlah kalau kemudian muncul malas, tak berdaya, dan semisalnya. Kita
tidak melakukan sesuatu karena kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan.
Kita lebih memilih menunggu karena kita tidak tahu dari mana kita harus
memulai melangkah.
Nah, dengan merumuskan target baru berarti kita memiliki semacam
pembimbing. Target akan membimbing dari mana kita memulai, apa yang harus
dilakukan, apa yang belum bisa dilakukan hari ini, dan seterusnya. Target akan
membuat kita menjadi orang yang tidak terlalu menyesali masa lalu dan juga
tidak terlalu hanya menghayalkan masa depan.
“Kalau anda berkhayal tentang masa depan atau menyesali masa lalu, maka
masa sekarang yang anda sedang jalani akan lepas begitu saja dari anda.”
(John C. Maxwell & Jim Dorman)
Selain dapat membimbing langkah dalam pengertian di atas, target juga dapat
membimbing langkah dalam pengertian supaya lebih produktif. Produktif
artinya menghasilkan sesuatu. Jika anda bekerja tanpa target, produktivitas anda
tidak bisa diukur. Bahkan seringkali terjebak pada apa yang disebut aktivitas.
Kita melakukan banyak aktivitas tetapi hasilnya sedikit. Kita menjadi orang yang
terkesan super sibuk tetapi kesibukan itu kurang menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat untuk kita. Ini karena kita tidak memiliki target yang bagus.
2. Tehnik melepaskan belenggu masa lalu
Target merupakan tehnik yang bisa kita gunakan untuk melepaskan belenggu
masa lalu. Target merupakan tehnik yang bisa kita gunakan untuk melepaskan
diri dari rantai besi masa lalu. Masa lalu memang penting buat kita, tetapi
penting di sini artinya sejauh kita bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Masa
lalu akan membatasi langkah kita hari ini dan langkah kita di masa depan
apabila kita terbawa arus untuk hidup di dalam masa lalu.
“Jangan hidup di masa lalumu, hiduplah dengan imajinasimu” (Petuah Bijak)
“Orang yang dibatasi masa lalunya akan kehilangan kesempatan untuk melihat
peluang hari ini dan hari esok” (Petuah Bijak)
Masalah sekolah bisa membuat kita depresi. Masalah pekerjaan bisa membuat
kita depresi. Masalah usaha bisa membuat kita depresi. Masalah keluarga bisa
membuat kita depresi. Masalah itu kerapkali menyisakan rasa pahit di batin.
Bagaimana mengubah rasa pahit ini? Kalau kita bernafsu untuk melupakan
masa lalu atau mengubah masa lalu, jelas ini tidak mungkin. Masa lalu yang
sudah terjadi tidak bisa diubah dan tidak bisa dilupakan.
Seperti yang sering ditulis dalam syair cinta, katanya, semakin kuat kita
berusaha untuk melupakan masa lalu itu, justru semakin kuat kita
mengingatnya. Yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu adalah mengelolanya
agar rasa pahit itu tidak sampai membuat hidup kita pahit seumur hidup. Cara
mengelolanya ini adalah dengan mendapatkan gantinya.
Kegagalan akademis anda di masa lalu akan terobati apabila anda sanggup
memperjuangkan target akademis baru yang nilainya bagus atau lebih bagus.
Kegagalan anda di pekerjaan akan segera terobati apabila anda sanggup
menghasilkan prestasi yang lebih bagus di pekerjaan lain. Banyak orang yang
gagal menjadi karyawan atau pegawai negeri tetapi kemudian terobati oleh
keberhasilannya di wirausaha. Banyak remaja yang gagal cintanya dengan si
Anu tetapi kemudian terobati oleh kehadiran orang lain yang lebih
mencintainya.
ʺSebagian besar kesuksesan muncul dari kegagalan. Saya menjadi seorang
kartunis karena saya gagal meraih tujuan saya untuk menjadi eksekutif.ʺ
(Scott Adams, American cartoonist)
“Seringkali kita mendapatkan sesuatu dari jalan yang semula kita tolak.”
(Pepatah Perancis)
Dengan adanya obat itu, anda akan berani mengatakan kepada diri sendiri:
“Saya tidak merasa menyesal karena ternyata semua itu ada hikmahnya.”
Meminjam istilah Al‐Qur’an, kalau anda sudah menemukan pengganti dari apa
yang anda derita, anda akan sanggup menyatakan: “Robbanaa maa kholaqta
haadza baathilaa”. Ternyata semua yang pernah terjadi tidak ada yang sia‐sia,
Tuhan. Maha Agung Engkau ya Tuhan. Ternyata saya salah menduga “rencana‐
Mu” Tuhan atas diriku. Dan lain‐lain dan seterusnya.
“(yaitu) orang‐orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): ʺYa Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia‐sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(Ali Imron: 191)
“Terkadang tersesat itu adalah langkah yang bermanfaat”
Ini akan lain kalau anda hanya mengisi hari‐hari anda dengan mengenang
pahitnya masa lalu, mengutuk masa lalu, merasakan pahitnya masa lalu, dan
tidak melakukan apapun untuk mewujudkan apa yang anda inginkan. Hidup
kita bukan malah berubah ke arah yang lebih baik melainkan berubah ke arah
yang lebih buruk dan lebih buruk lagi.
“Target tidak saja amat penting untuk memotivasi kita, tetapi juga amat berguna
agar kita bisa terus hidup.” (Robert H. Schuller)
“Bukan beban hari ini yang bisa membuat orang menjadi gila. Yang membuat
orang menjadi gila adalah penyesalan masa lalu dan ketakutan akan hari esok.”
(Pepatah)
3. Merombak masa depan.
Terget memang tidak bisa mengubah masa lalu yang kelam, yang hitam, dan
yang menyakitkan itu. Tetapi target yang diperjuangkan dan benar‐benar
diperjuangkan akan mengubah masa depan anda. Dengan berubahnya masa
depan kita, berarti depresi yang kita derita juga berubah.
“Trauma yang akan abadi di dalam diri kita adalah penderitaan yang tidak kita
ikuti dengan perubahan diri kita ke arah positif.” (Dr. Felice Leonardo
Buscaglia).
“Hal terbesar di dunia ini bukan pada tempat di mana kita berada, tetapi pada
arah mana kita melangkah.” (John C. Maxwell & Jim Dorman)
Sebuah penelitian membuktikaan bahwa yang membikin seseorang semakin
parah merasakan depresi adalah karena “impersonal orientation” (tidak
memiliki orientasi hidup yang lebih baik). Artinya, kita membiarkan diri kita
merasa tidak bermakna, merasa tidak memiliki keahlian, merasa tidak memiliki
kualitas yang patut dibanggakan, memilih terombang‐ambing dalam
kebingungan. Supaya ini tidak berlangsung lama, maka saran para ahli adalah
membuat orientasi hidup baru yang lebih bagus dan lebih terkendali. Istilahnya
disebut “an autonomous orientation”. Nah, membuat target termasuk bagian
penting dari orientasi yang kedua ini.
Kalau melihat ke Al‐Qur’an, ada penjelasan yang bisa kita jadikan pedoman.
Penjelasan itu termaktub dalam surah Alam Nasyroh berikut ini:
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu. Dan Kami telah
menghilangkan darimu bebanmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya
sesudah kesulitasn itu ada kemudahan. Maka jika kamu sudah selesai dari satu
urusan, kerjakanlah dengan sungguh‐sungguh urusan yang lain. Dan hanya
kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Qs. Alam Nasyroh: 1‐8).
Terkait dengan soal depresi, ada sedikitnya tiga hal yang perlu dijadikan catatan
dari petunjuk ayat di atas:
Pertama, kita harus siap menghadapi perubahan realitas yang terkadang
menyulitkan dan terkadang memudahkan. Sebab, suka atau tidak suka, siap
atau tidak siap, perubahan realitas itu pasti terjadi. Seperti yang dipesankan
dalam ajaran Spiritual Jawa: “Setiap orang harus mengantisipasi datangnya dua
hal yaitu: nasib buruk dan perubahan mendadak.” Dengan persiapan mental
yang bagus akan membuat kita tidak terlalu mudah terkena depresi atau
gangguan kesehatan lainnya.
Kedua, meski realitas dunia ini berubah‐ubah terus, tetapi ada satu prinsip yang
harus dipedomani. Apa itu? Jika kita sanggup menghadapi hari‐hari buruk itu
dengan jurus yang selalu lebih bagus, maka hidup kita akan semakin mudah.
Mudahnya hidup kita itu bukan terletak pada dunia di luar diri kita, melainkan
terletak di dunia di dalam diri kita.
Sebagai contoh misalnya anda melakukan sesuatu berkali‐kali. Pertama kali
anda akan merasakan kesulitannya tetapi lama kelamaan kesulitan itu semakin
tidak terasakan seiring dengan bertambahnya keahlian anda. Kesulitan itu
menjadi bukan kesulitan, melainkan menjadi kebiasaan yang mudah kita
lakukan. Apa yang membuat perubahan ini? Dunianya kah ataukah diri anda?
Jawabnya adalah diri kita. Dengan kemampuan yang lebih bagus, kita akan
merasakan kemudahan yang terus bertambah. Jadi, kata kuncinya di sini adalah
meningkatnya kemampuan kita. Karena itu, pesannya adalah: “Maka jika kamu
sudah selesai dari satu urusan, kerjakanlah dengan sungguh‐sungguh urusan
yang lain.. . . . . .. .”
Ketiga, agar kita bisa menghadapi hari‐hari susah dengan energi yang kuat,
maka hendaknya kita memiliki harapan yang tinggi. “Hanya kepada
Tuhanmulah kamu berharap”. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Tinggi. Punya
harapan yang tinggi artinya kita menggantungkan harapan hanya kepada
Tuhan. Menggantungkan harapan kepada Tuhan ini memiliki dua pengertian,
yaitu:
Berpikir positif atas apa yang diizinkan Tuhan untuk terjadi
Lawan dari menggantungkan harapan pada realitas.
Musibah apapun yang menimpa kita, bencana apapun yang menimpa kita, atau
perlakuan buruk apapun yang menimpa kita, itu semua terjadi atas izin Tuhan.
Kalau tanpa izin Tuhan, mana mungkin itu terjadi? Kira‐kira begitu logika
tauhidnya. Jangankan itu, daun yang jatuh pun atas izin Tuhan. Karena sesuatu
itu terjadi atas izin Tuhan, maka sudah pasti di dalamnya ada sesuatu yang bisa
kita gunakan untuk memperbaiki diri. Munculnya dorongan untuk memperbaiki
diri dari apa yang menimpa kita itulah yang dikehendaki Tuhan atas diri kita.
Tuhan menghendaki kita menjadi manusia yang selalu lebih baik. Sementara,
setan selalu menghendaki kita menjadi orang yang senantiasa lebih buruk.
Nah, berpikir positif seperti ini akan membuat harapan kita panjang ke depan,
tidak patah arang di tengah jalan atau tidak pasrah pada realitas buruk. Orang
yang pasrah pada realitas buruk berarti dirinya menggantungkan harapan pada
realitas yang selalu berubah. Jika realitas sedang OK, harapannya juga OK. Tapi
jika realitas sedang tidak OK, harapannya pun berubah menjadi tidak OK. Ini
namanya menggantungkan harapan pada realitas. Al‐Qur’an menjelaskan ini
antara lain seperti di bawah ini:
ʺSesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia
amat kikir. Kecuali mereka yang mengerjakan sholat. Yang mereka itu tetap
(fokus) mengerjakan sholat.ʺ (al‐Maʹarij: 19‐23).
Dari penelitian terungkap bahwa orang yang memiliki harapan optimisme akan
membuat seseorang antara lain sebagai berikut:
Punya fokus langkah yang selektif, punya sasaran usaha yang jelas
Bisa menerima fakta hidup dengan kesadaran, tanpa banyak mengeluh atau
memprotes yang hanya menghabiskan energi mental
Memiliki bentuk‐bentuk keyakinan yang membangkitkan
Punya perasaan diberkati rahmat Tuhan
Punya kemampuan untuk menikmati kehidupan ini
Punya kemampuan dalam menggunakan akal sehatnya dalam menghadapi
tantangan hidup
Punya kemampuan untuk menjalankan agende perbaikan diri secara terus
menerus
Punya penghayatan yang bagus terhadap praktek hidup yang dijalankan
sehingga bisa membedakan praktek yang salah dan praktek yang benar;
praktek yang tepat dan praktek yang menyimpang
Punya kepercayaan yang bagus terhadap kemampuannya
Punya perasaan yang bagus terhadap dirinya
“Dunia orang buta terbatas oleh sentuhannya. Dunia orang bodoh ditandai
dengan keterbatasan pengetahuannya. Dunia orang besar tak terhalang oleh
keterbatasan pandanganyaʺ (E. Paul Hovey)
HAL‐HAL YANG MENGHAMBAT TERCAPAINYA TARGET
Meski anda sudah menulis target di agenda harian, tidak berarti ini akan
langsung menjadi jaminan. Ada beberapa masalah yang kerap menghambat
proses atau upaya pelaksanaan target itu. Kalau kita hanya punya pernyataan
target (tulisan atau ucapan) tetapi tidak memiliki pembuktian (pelaksanaan), ya
sama aja bohong. Target yang kita tulis tidak bisa menyelesaikan masalah
depresi. Yang bisa menyelesaikan masalah depresi adalah target yang kita
perjuangkan.
Nah, beberapa masalah yang kerap menghambat itu antara lain adalah:
1. Hanya menulis target tetapi tidak diperjuangkan
Ini artinya anda belum memiliki kemauan yang keras untuk memperjuangkan
target itu. Anda perlu ingat bahwa yang membuat kita malas dalam hidup ini
banyak dan saking banyaknya sehingga tidak bisa dihitung. Tetapi, yang bisa
membuat kita punya kemauan keras hanya satu, yaitu: diri kita. Seperti yang
dipesankan oleh petuah pejuang, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang bisa
menghentikan kemauan orang yang memiliki kemauan keras. Dihadang seperti
apapun ia tetap melangkah maju. Sebaliknya juga tidak ada orang yang bisa
membangkitkan kemauan orang yang malas. Diapa‐apakan tetap saja malas.
Kemauan untuk memperjuangkan target itu pada dasarnya bisa dibagi menjadi
tiga:
Pertama, kemauan yang sifatnya masih di permukaan (superficial). Anda
menulis di buku agenda, misalnya saja: saya ingin meningkatkan kemahiran
berbahasa asing, saya harus meningkatkan prestasi karir di bidang saya, dan
lain‐lain. Tetapi prakteknya, anda tidak menjalankannya. Atau anda
menjalankannya asal‐asalan atau “hangat‐hangat tahi ayam”, tidak memiliki
alasan dan dasar‐dasar yang kuat.
Kedua, kemauan yang sifatnya mendasar (underlying). Anda sudah
merumuskan target berdasarkan masalah yang anda hadapi dan anda juga
sudah menjalankan sekian aktivitas untuk mewujudkan target itu. Hanya saja,
target yang anda bikin dan aktivitas yang anda jalankan masih bersifat jangka
pendek, sehingga begitu anda sudah merasa terbebas dari depresi, anda
menghentikan usaha anda. Begitu nanti muncul depresi lagi, anda membuat
target lagi, dan seterusnya.
Ketiga, kemauan yang mendasar dan berkelanjutan (sustaining). Anda
merumuskan target yang besar dan bermakna dalam hidup anda, lalu anda
pecah‐pecah (break‐down) menjadi target‐target kecil, dan anda melakukan
aktivitas berdasarkan target‐target itu dalam periode yang cukup panjang. Anda
bisa merasakan perubahan positif sepanjang waktu yang ditandai dengan
accomplishment (penyelesaian target) dan achievement (prestasi).
Meminjam istilah para ulama hadis, kemauan yang mendapatkan pahala itu
(baca: kemauan yang dicatat sebagai kebaikan) bukanlah kemauan yang asal
kemauan, melainkan kemauan yang sudah sampai pada tingkat “hamma” (al‐
hammu). Apa itu al‐hammu? Al‐hammu adalah kecenderungan batin yang
sudah mengandung unsur kepastian untuk dilaksanakan. Di atasnya lagi ada
“al‐‘azmu” (planning), yaitu kecenderungan untuk melaksanakan sesuatu yang
sudah kita rumuskan strateginya, tehniknya, peralatannya dan lain‐lain. Ibarat
anda mau pergi, anda sudah menyiapkan tiket, uang, dan sudah menelpon
orang untuk memberitahukan rencana kepergian anda. Yang paling atas adalah
“al‐jazmu” (eksekusi: pelaksanaan rencana) kecenderungan yang sudah anda
lakukan tanpa ragu‐ragu lagi. Kalau hanya terlintas ingin menjadi orang baik,
ingin mencapai sesuatu, ingin memiliki sesuatu, tetapi semua itu kita ucapkan
hanya dengan mulut, ya tentu saja ini gampang dan bisa dilakukan semua
orang.
Merujuk pada petunjuk Al‐Qur’an, orang yang sanggup memperjuangkan target
yang mendasar dan berkelanjutan adalah orang yang sudah mengisi batinnya
dengan tiga hal, yaitu: a) iman, b) ilmu, dan c) amal sholeh (ya’maluunash
shoolihaat). Iman tidak memiliki batas. Ilmu tidak memiliki batas. Dan begitu
juga amal sholeh.
ʺ…… niscaya Allah akan meninggikan orang‐orang yang beriman di antaramu
dan orang‐orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.ʺ (al‐
Mujadalah: 11)
2. Terlalu tinggi atau tidak jelas ukurannya
Konon, ada tiga keistimewaan yang dimiliki oleh Thomas Alva Edison.
Keistimewaan itu bisa dibilang sebuah “rahasia” kenapa Edison bisa
menghasilkan karya demi karya atau temuan demi temuan. Ketiga keistimewaan
itu adalah:
Pertama, Edison bisa memilih tujuan atau target yang sesuai dengan
kemampuannya. Sesuai di sini artinya tidak terlalu tinggi sehingga tidak bisa
diwujudkan.
Kedua, Edison bisa mengelola konsentrasi pikirannya hanya untuk tujuan atau
target yang sudah dibuatnya. Tidak mudah tergoda oleh hal‐hal yang tidak
penting di luar tujuannya.
Ketiga, Edison mengembangkan berbagai cara untuk mewujudkan tujuannya
atau cara dalam mengatasi masalah.
Saya kira ketiga hal di atas penting juga untuk orang yang sedang depresi dan
ingin membebaskan diri dari depresi. Satu hal yang penting di sini adalah
hendaknya kita jangan sampai membuat target yang terlalu tinggi, target yang
tidak sesuai dengan kemampuan kita. Target yang terlalu tinggi akan membuka
kemungkinan yang besar untuk gagal. Kalau kita sudah sering gagal dalam
keadaan kita sedang depresi maka kegagalan itu malah memperberat depresi
yang kita alami. Pilihlah target yang bisa anda lakukan atau bisa anda raih
dengan kemampuan yang anda miliki hari ini dan itu punya tingkat
keberhasilan yang bagus.
Target yang terlalu tinggi (menurut ukuran kita) dapat mengganggu
produktivitas. Kita akan menjadi orang yang produktif (menghasilkan sesuatu
yang bermanfaat), kalau kita bisa memenuhi persyaratan di bawah ini:
Memilih sasaran yang sesuai dengan kemampuan, pengetahuan,
pengalaman, sumberdaya, atau alat yang kita miliki.
Punya energi, semangat atau spirit yang tinggi untuk berprestasi atau
menyelesaikan pekerjaan yang sudah kita targetkan
Punya kemampuan untuk membersihkan jiwa atau batin dari kotoran
negatif, misalnya pikiran negatif atau perasaan negatif supaya bisa tetap
fokus dan istiqomah.
Dari sekian pembicaraan dengan orang‐orang yang menurut saya berprestasi di
bidangnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa produktivitas adalah kunci
berprestasi. Produktivitas di sini artinya bagaimana mereka sanggup
berproduksi dengan cara yang selalu lebih baik, lebih cepat, dan lebih banyak.
Saya melihat pengertian inilah yang lebih tepat untuk menjelaskan istilah “kerja
cerdas”. Orang sering memahami bahwa kerja cerdas adalah sebuah model
kerja di mana orang bekerja seminimal mungkin namun mendapatkan hasil
seoptimal mungkin. Secara teori, pengertian seperti ini memang sah‐sah saja
dipakai. Tetapi dalam prakteknya sangat jarang kita temukan. Yang kerap
terjadi, kerja cerdas adalah bagaimana seseorang menjadi semakin produktif dari
waktu ke waktu.
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain yang
diusahakanya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
kepadanya. Kemudian akan diberikan balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna. “ (An‐Najm:39‐41)
3. Hanya memiliki satu target
Kalau anda sedang depresi gara‐gara di PHK atau kehilangan pekerjaan, lalu
anda hanya punya satu target untuk mendapatkan pekerjaan, maka
kemungkinannya ada dua. Pertama, anda malah semakin depresi jika target
anda itu belum kelihatan tanda‐tanda keberhasilannya. Anda menunggu sesuatu
yang belum bisa dipastikan. Kedua, depresi anda akan segera tersembuhkan jika
anda bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan rencana anda.
Untuk menghindari kemungkinan pertama, ciptakan target yang berbeda‐beda
di sejumlah wilayah hidup anda (wilayah pekerjaan, wilayah studi, wilayah
usaha, wilayah keluarga, wilayah hubungan, dan lain‐lain). Ciptakan target
utama dan target pendukung. Misalnya saja, selain anda punya target untuk
menemukan pekerjaan, anda juga punya target lain yang membuat anda tidak
bertambah stress dan depresi saat‐saat menunggu realisasi target utama. Ini bisa
anda buat sesuai dengan keadaan anda.
Jadi, jangan “menuhankan” satu target. Bukalah diri anda dengan target‐target
kreatif yang bisa membuat hidup anda lebih dinamis. “Ternyata faktor
terpenting yang ditemukan di antara manusia yang berumur panjang adalah
pandangan mereka akan masa depan yang dipenuhi dengan target‐target”,
begitu kesimpulan John C. Maxwell & Jim Dorman.
HAL‐HAL YANG PERLU ANDA PERHATIKAN
DALAM MEMBUAT TARGET
Sebagai bantuan untuk membuat target yang bermakna, anda bisa memilih cara
seperti di bawah ini:
1. Gambarkan masa depan yang anda inginkan
Kenapa semua anak kecil dianjurkan memiliki cita‐cita? Kenapa seorang
pengusaha perlu memiliki visi dan misi? Kenapa kita dianjurkan memiliki
harapan optimisme? Kenapa Nabi mengajarkan doa untuk meminta kehidupan
dunia dan akhirat yang bagus? Alasannya tentu banyak. Satu dari sekian yang
banyak itu adalah agar pikiran kita selalu terprogram untuk ingat pada apa yang
kita inginkan dari diri kita untuk MENJADI atau MEMILIKI.
Lantas, apa manfaatnya? Ini juga banyak. Salah satunya adalah agar kita
memiliki daya juang yang tinggi. Kalau anda punya cita‐cita yang tinggi, anda
akan tidak mudah dikalahkan oleh masalah‐masalah kecil yang mengganggu
dalam kehidupan anda hari ini. Kalau anda punya cita‐cita yang tinggi, anda
akan terdorong untuk meraihnya. Kalau anda punya cita‐cita tinggi, anda akan
merasa tidak puas dengan apa yang anda raih saat ini. Tidak puas di sini artinya
anda masih ingin memperbaiki dan menyempurnakan lagi.
Lalu, sejauhmana itu akan berpengaruh terhadap depresi? Kalau anda punya
gambaran masa depan yang anda inginkan atau kalau anda punya cita‐cita dan
tujuan jangka panjang yang jelas, maka pikiran anda dapat dengan mudah
dialihkan untuk mengingat hal itu. Pikiran anda akan berkonsentrasi untuk
mengingat cita‐cita, gambaran masa depan, atau harapan anda. Anda memiliki
sesuatu yang sangat penting untuk diingat. Ini manfaatnya ada tiga:
Anda terhibur. Mohammad Ali menggunakan imajinasinya untuk
menghibur diri saat‐saat menghadapi kekalahan.
Anda memiliki energi baru. Ingat pada cita‐cita akan menumbuhkan
semangat baru untuk memperjuangkannya.
Anda tidak terlalu lama hanyut dan larut mengingat‐ingat masalah yang
membuat anda depresi. Masalah memang tidak bisa dibuang atau
dilupakan, tetapi ini akan membahayakan jika anda sudah larut dan hanyut
di dalamnya.
Jadi, langkah pertama adalah ciptakan gambaran di pikiran anda tentang masa
depan yang anda inginkan. Perjelas lagi apa cita‐cita anda? Apa yang anda
inginkan dari diri anda untuk MENJADI ATAU MEMILIKI? Apakah anda ingin
menjadi dosen, guru, pengusaha, pemusik, psikolog, penulis, profesional, atau
apa? Apakah anda ingin memiliki suami atau istri, rumah, bisnis, kendaraan,
gelar, atau apa?
2. Buatlah target‐target kecil
Setelah anda membuat gambaran masa depan yang menurut anda OK, langkah
berikutnya adalah memecah‐mecahnya menjadi target‐target kecil atau sasaran‐
sasaran kecil. Sekali lagi, ini bisa berbentuk hasil atau aktivitas. Buatlah target
atau sasaran yang bisa anda gunakan untuk mewujudkan gambaran masa depan
yang anda inginkan.
Beberapa hal yang sangat penting untuk diingat adalah:
Buatlah target yang bisa anda lakukan atau yang bisa anda raih. Jangan
terlalu tinggi atau terlalu banyak (tapi jangan hanya satu. Ada yang
menyarankan maksimalnya tiga).
Yakini alasan anda. Ciptakan alasan yang bisa anda yakini dan yakinilah
alasan itu benar. Kalau anda tidak memiliki alasan yang anda yakini atau
anda tidak meyakini alasan anda, mungkin saja anda akan gampang pasrah
atau kalah.
Lakukan evaluasi konstruktif. Yang anda lakukan cukup meng‐evaluasinya
setiap saat. Pasti dong ada masalah atau ada hal‐hal yang menghambat di
tengah jalan yang mengakibatkan target anda belum bisa tercapai. Cukup
evaluasi apa yang kurang lalu sempurnakan. Jangan melakukan penilaian
diri yang malah membuat anda down atau malas‐malasan. Ini misalnya saja:
wah, saya kayaknya tidak kuat, saya tidak memiliki alat atau fasilitas yang
mendukung, saya tidak tahan menghadapi omongan orang lain, dan
seterusnya.
“Kebanyakan kita membuat penilaian‐penilaian yang malah menjadikan kita
down atau malas‐malasan untuk melakukan sesuatu.”
3. Jalani hidup seperti seorang musafir
Sekilas akan tekesan bahwa memiliki target atau mentargetkan hidup itu
sepertinya kita berusaha untuk memate‐matikakan hidup. Padahal, seperti yang
kita tahu, hidup ini tidak bisa dimate‐matikakan. Jadi, gimana dong? Saya ingin
menjelaskan sedikit tentang hal ini bahwa tujuan membuat target itu idealnya
ada dua:
Menciptakan atau memperjuangkan masa depan seperti yang kita inginkan
dengan persiapan yang positif. Tetapi di sini perlu ingat bahwa kehendak
Allah itu jauh lebih berkuasa dari pada kehendak kita. Karena itu, Nabi Daud
berpesan kita harus kreatif tetapi juga harus tawakkal. Kreatif artinya kita
perlu memperjuangkan keinginan dengan berbagai cara dan jalan yang
mungkin kita lakukan. Tawakkal artinya memasrahkan pada kehendak Allah
setelah kita menempuh perjuangan (hasil yang sudah terjadi). Masa depan itu
seratus persen ditentukan oleh usaha kita dan seratus persen ditentukan oleh
kehendak Allah. Artinya di sini adalah seimbang.
ʺDan Yaʹkub berkata: ʺHai anak‐anakku, janganlah kamu bersama‐sama
memasuki dari satu pintu gerbang dan masuklah dari pintu‐pintu gerbang yang
berlain‐lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang
sedikitpun dari takdir Allah. Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak
Allah. Kepada‐Nya‐lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada‐Nya saja orang‐
orang yang bertawakkal berserah diri.ʺ (Yusuf: 67)
“Masa depan itu adalah seperti kertas kosong (blank). Apa yang membuatnya
memiliki makna tertentu bagi kita adalah apa yang kita tulis di atas kertas itu.”
(C. Frankland)
Mengisi hari‐hari kita dengan tindakan atau aktivitas yang positif dan
terencana. Dalam prakteknya, anda memang terkadang belum atau tidak
mendapatkan kebaikan yang anda inginkan. Tetapi perlu diingat bahwa jika
anda mengisi hari‐hari anda dengan aktivitas yang positif, maka anda akan
mendapatkan hasil yang baik (kebaikan) dalam bentuk lain. Untuk orang
yang beriman diperintahkan agar memiliki opini kedua di mana tidak semua
kebaikan yang kita inginkan itu baik buat kita. Adakalanya kita menilai
sesuatu itu tidak baik buat kita hari ini tetapi ternyata baik buat kita di masa
mendatang. Adakalanya kita menilai sesuatu itu tidak baik buat kita karena
keterbatasan pengetahuan kita tetapi ternyata baik buat kita
Untuk menyikapi seni dunia yang seperti itu, makanya kita dianjurkan untuk
menjalani hidup ini seperti seorang musafir. Seorang musafir akan selalu
merencanakan agenda perjalanan berikutnya. Seorang musafir tidak berhenti
selama‐lamanya di satu terminal. Seorang musafir menganggap terminal sebagai
tempat berhenti untuk sementara waktu.
Menjalani hidup seperti seorang musafir berarti kita harus tetap merumuskan
agenda‐agenda perbaikan diri. Menjalani hidup seperti seorang musafir berarti
kita tidak menyimpulkan kenyataan hidup hari ini atau nasib hidup kita hari ini
sebagai akhir segala‐galanya. Menjalani hidup seperti seorang musafir berarti
kita melihat kenyataan hidup hari ini sebagai kenyataan sementara yang masih
bisa diubah.
“Tidak dapat disangkal bahwa seorang Muslim diwajibkan menyusun rencana
dan memiliki target menyangkut masa depannya serta berusaha sekuat tenaga
untuk menepisnya. Tetapi, pada saat yang sama, ia harus ingat bahwa sistem
kerja alam raya ini saling berkaitan, yaitu, seseorang tidak hidup sendiri, apa
yang dikehendaki belum tentu dikehendaki pihak lain. Dan di atas semuanya,
ada Tuhan pemelihara alam raya, yang Maha bijaksana yang mengatur
kepentingan semua mahluk. Karenanya, kaitkanlah target dengan kehendak‐
Nya!” (Quraish Shihab)
ʺKebiasaan untuk tidak biasa diam dan kebiasaan untuk tidak menerima sesuatu
dengan pasrah adalah kebutuhan utama bagi kemajuan.ʺ (Thomas Alva Edison)
HINDARI KEBOHONGAN
Ketika anda dalam keadaan depresi, apapun yang menyebabkannya, ada satu
hal yang harus anda hindari. Apa itu? Anda memiliki harapan dan keyakinan
yang tidak rasional dalam bentuk harapan untuk menciptakan perubahan
seketika, langsung dan sekaligus. Ini bisa membuat anda patah arang dan akan
membuat anda semakin depresi. Untuk mengatasi depresi diperlukan proses
perbaikan diri secara berkelanjutan, terlepas anda suka atau tidak suka.
Menginginkan penanganan depresi tanpa proses, itu sama artinya dengan
kebohongan. Kathy Gate menulis sejumlah kebohongan yang kerap kita yakini
sebagai kebenaran. Di antara kebohongan itu adalah:
Meyakini pembalasan usaha yang instan. Melakukan usaha untuk
mendapatkan hasil yang lebih cepat, lebih efektif dan lebih efisien, tentu saja
sangat diperlukan. Tetapi hal ini hendaknya tetap didasari oleh keyakinan
pada kebenaran Hukum Pembalasan Akhir. Bentuk keyakinan yang tidak
sejalan dengan kenyataan (sunnatulloh) ini, justru malah membuat kita cepat
putus asa dalam berusaha. Kita kerap mengharap adanya balasan yang
instan tetapi kenyataan dunia ini seringkali tidak begitu.
Menggunakan jurus komplain, menggerutu atau menolak. Kita kerapkali
kesal, marah, menggerutu atas apa yang menimpa kita dengan
mengharapkan datangnya sesuatu yang lebih baik. Padahal untuk
mendapatkan sesuatu yang lebih baik seringkali yang dibutuhkan bukan
jurus seperti itu. Lowell menyimpulkan: ʺPrestasi besar tidak bisa dihasilkan
oleh orang yang tidak bisa menerima dirinya secara utuh.
Menunda perbaikan (fix it later). Nanti sajalah kita perbaiki kesalahan dan
kekurangan ini. Kata “nanti” yang kita ucapkan untuk tujuan memperbaiki
sesuatu seringkali menjadi kata lain dari tidak akan atau tidak pernah terjadi
(kebohongan belaka).
Memunculkan ide tetapi tidak memunculkan rencana pelaksanaan yang riil
dan membumi. Semua prestasi pada akhirnya diciptakan oleh aksi. Kalau
kita hanya punya ide tapi tak punya aksi, ini namanya kebohongan.
Mengabaikan keunggulan yang kita miliki karena sudah kalah oleh dorongan
kepentingan sesaat. Kita bisa melakukan sesuatu dengan baik kalau kita tahu
apa yang terbaik dari kemampuan kita. Jika kita ingin melakukan yang
terbaik tetapi kita tidak peduli dengan keunggulan kita, ini namanya
kebohongan.
Punya keinginan yang didasarkan supaya bisa seperti orang lain alias
mengumbar khayalan. Orang lain mendapatkan keinginan karena
kemampuan yang dimilikinya sehingga jika kita ingin punya hasil seperti
orang lain tetapi lupa kemampuan kita, ini namanya kebohongan.
Kurang mampu mensyukuri hasil dari kreasi atau karya kita. Hasil yang kita
syukuri akan menjadi semangat yang tepat untuk mengundang nikmat.
Kalau kita menolak mensyukuri hasil sementara kita menginginkan hasil
yang lebih bagus, ini namanya kebohongan. Al‐Qurʹan menyuruh kita untuk
bersyukur karena dengan syukur, nikmat yang akan kita terima akan
bertambah.
Daftar kebohongan di atas ada baiknya juga kita jadikan catatan pribadi saat‐saat
menghadapi depresi. Sebagai gantinya, pilihlah model perbaikan yang
berkelanjutan (sustainable improvement). Seperti apa bentuknya? Anda bisa
memilih cara berikut ini:
Pertama, naikkan target anda apabila sudah tercapai. Seperti yang sudah kita
bahas sebelumnya, anda perlu merumuskan target yang sangat berarati, perlu
membuat tujuan yang realistis, perlu membuat agenda perbaikan diri. Jika ini
semua terwujud maka anda akan memiliki kebanggaan terhadap diri anda (self‐
pride). Kebanggaan‐diri ini berbeda dengan kesombongan (self‐arrogance).
Kebanggaan diri adalah positif, sedangkan kesombongan adalah negatif.
Kebanggaan‐diri adalah sebuah perasaan positif yang dibangun berdasarkan
landasan prestasi yang bisa kita wujudkan.
Al‐Qur’an menyuruh kita membangun kebanggaan‐diri dan melarang kita
menyombongkan diri.
Kedua, bila apa yang anda tergetkan itu belum terwujud, maka anda bisa
membuat model perbaikan berkelanjutan seperti di bawah ini:
Tambahlah pengetahuan, wawasan, informasi, atau teori yang anda
butuhkan untuk mewujudkan target itu.
Perbaikilah cara anda dalam menangani masalah hidup. Ini bisa anda
lakukan dengan cara melihat orang lain yang menurut anda bisa dijadikan
contoh.
Tingkatkan kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain,
misalnya memperbaiki cara bergaul, belajar bekerjasama, belajar melibatkan
diri dalam berbagai kegiatan sosial, dan lain‐lain
Tingkatkan keahilan kerja atau keahlian tehnis. Ini bisa anda lakukan dengan
cara memperdalam sendiri atau menambah pendidikan, atau mengikuti
kursus tambahan
Kenapa keempat hal ini penting anda lakukan? Ini terkait dengan target yang
hendak anda wujudkan. Jika anda hanya menetapkan target atau tujuan, tetapi
ilmu anda tidak bertambah, pengetahuan anda tidak bertambah, wawasan anda
tidak bertambah, dan informasi anda tidak bertambah, maka cara yang akan
anda gunakan juga tidak bertambah. Jika anda hanya memiliki satu cara yang
jelas‐jelas gagal, maka ini justru malah akan membuat depresi anda semakin
berat. Karena itu, tambahlah pengetahuan, wawasan, informasi, dan seterusnya.
Begitu juga dengan cara anda dalam menangani masalah‐masalah batin. Jika
anda menetapkan target tetapi anda gagal dalam membersihkan kotoran yang
mengganggu jiwa anda, maka bukan tidak mungkin target itu gagal anda
wujudkan karena di dalam batin ada sejumlah kotoran. Ini sudah terbukti dalam
praktek hidup di mana kita terkadang gagal bertindak dengan bagus hanya
karena kita sedangan memiliki perasaan yang tidak bagus, seperti pikiran
negataf, panik, ketakutan, depresi, stress, dan lain‐lain.
Selain perlu memperbaiki cara dalam menangani masalah‐masalah batin, kita
pun perlu memperbaiki dan memperluas hubungan dengan orang lain. Tidak
mungkin kita bisa mewujudkan target yang kita buat tanpa bantuan atau
keterlibatan orang lain. Cuma saja di sini perlu kita catat bahwa ada orang lain
yang mendukung keberhasilan kita, tetapi juga ada orang lain yang mendukung
kegagalan kita. Tugas kita adalah menemukan sebanyak mungkin orang yang
mendukung keberhasilan kita.
Keahlian kerja atau keahlian tehnis juga berperan penting dalam mewujudkan
target. Kalau melihat literatur CBHRM (Competency Based Human Resource
Management), kita temukan istilah yang bisa dijadikan pedoman. Di sana ada
istilah TC dan DC. Apa itu TC dan apa itu TC?
TC (thereshold competency) adalah kompetensi dasar yang dimiliki seseorang
dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi kompetensi ini belum bisa dibilang
sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris baru bisa menyalin surat ke
komputer, jika seorang operator hanya bisa mengangkat telepon, jika seorang
sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon orang atau mengirim fak
penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu tugas dasarnya.
Sedangkan DC adalah Differentiating Competencies (DC). DC adalah
karakteristik yang dimiliki oleh orang‐orang yang berkinerja tinggi (high
performer) dan yang tidak dimiliki oleh orang‐orang yang berkinerja rendah
(low) atau kurang (poor). DC adalah kompetensi yang sudah menjadi
keunggulan seseorang. Kita bisa ambil contoh misalnya seorang sales yang
sudah menguasai keahlian‐keahlian yang dibutuhkan untuk memelihara
pelanggan yang menghasilkan hubungan kausalitas dengan penjualan. Sales
seperti ini bisa dikatakan orang yang berkinerja tinggi dengan kompetensi yang
dimiliki. Dalam kaitannya dengan target yang kita buat, ya hendaknya kita perlu
memiliki keahlian sampai ke tingkat DC (Differentiating Competency). Semakin
tinggi DC yang kita miliki, semakin tinggi pula hasil yang kita dapatkan.
Ketiga, kalau anda sudah melakukan beberapa hal dan sudah menggunakan
berbagai cara tetapi hasilnya masih belum ketahuan, liriklah opsi lain yang lebih
bagus atau yang sama bagusnya. Seorang kawan pernah mengalami depresi
akibat keputusannya mengundurkan diri dari jabatannya di kantor. Alasannya
karena sudah tidak tahan menghadapi bos yang sulit. Lama menganggur dan
sudah melamar kemana‐mana tapi hasilnya belum ketahuan, maka tertekanlah
batinnya. Terdorong untuk menangani depresi yang dialami, ia kemudian
melirik ke hal lain. Ia mulai buka toko. Sambil menjalankan kiat‐kiatnya untuk
mendapatkan pekerjaan, ia mengurusi toko. Tak lama kemudian, ia diterima di
pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuannya lalu toko yang bangunnya dulu
didelegasikan pada orang lain.
Nah, cara seperti itu juga bisa anda lakukan. Anda sudah tahu tentunya bahwa
untuk menjalankan opsi di atas memang tidak semudah membalik tangan. Tapi,
yang perlu dipersoalkan di sini bukannya mudah atau susah (karena pasti tidak
mudah), melainkan jangan sampai anda menatap pintu yang masih tertutup,
sementara sudah ada pintu lain yang terbuka untuk anda.
BOX
SEMBILAN KARAKTERISTIK PARA PEMIMPIN DUNIA
1. Mereka punya mimpi (visi yang jauh ke depan) yang bisa menempus
kenyataan hari ini.
2. Mereka punya sasaran atau target‐target yang pasti dari setiap usahanya.
3. Mereka punya keyakinan‐keyakinan yang beralasan (keyakinan dengan
logika)
4. Mereka punya fokus pikiran yang teratur rapi (tidak ngacak dan ngawur)
5. Mereka bisa menemukan orang lain yang mempercayai mimpinya
(pendukung)
6. Mereka bisa melihat masalah sebatas sebagai hal yang perlu diselesaikan,
bukan hantu‐gaib yang dipandang sebagai sesuatu yang tidak bisa
diselesaikan
7. Mereka punya kebiasaan meng‐evaluasi dan melakukan lagi
8. Mereka punya kemampuan dalam menangani kritik orang lain secara positif
9. Mereka bisa mencintai tantangan (menerima, mengakui dan memperbaiki
diri ), bukan menolak dan terus menolak lalu dijadikan alasan untuk putus
asa.
* Dikutip dari Roy Banks, Living in Action’s Mind Power, 2004
BOX
SEJUMLAH KALIMAT YANG DAPAT MEMACU SEMANGGAT ANDA
Saya tidak akan pernah menyerah jika saya tahu bahwa apa yang saya
lakukan itu benar
Saya yakin dapat mengatasi semua rintangan jika saya terus berusaha
sampai berhasil
Saya tetap berani dan tak gentar walaupun berbagai rintangan
menghadang
Tak seorang pun yang saya biarkan mempengaruhi dan menghalangi
saya
Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi kelemahan‐
kelemahan fisik saya
Saya akan berusaha terus dengan gigih untuk menggapai apa yang saya
inginkan
Saya berusaha memperbaiki dan memperbaharui sikap saya untuk
mengatasi kegagalan
Saya akan pantang mundur dan putus asa sesulit apapun rintangan yang
harus saya hadapi.
* Dikutip dari John Maxwell & Jim Dorman
BOX
LIMA KELOMPOK MANUSIA
1. Manusia yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang apa yang
diinginkan dari dirinya (orang lemah). Mereka menginginkan agar orang
lain atau Tuhan menghendaki sesuatu untuk dirinya (tangan di bawah).
2. Manusia yang tahu dan mau tahu tentang apa yang diinginkan dari
dirinya tetapi tidak tahu atau tidak mau tahu tentang cara yang harus
ditempuh (frustasi)
3. Manusia yang sudah tahu apa yang diinginkan dan cara apa yang harus
ditempuh tetapi ujung‐ujungnya tidak mau melakukan (pecundang).
4. Manusia yang sudah tahu apa yang diinginkan, tahu cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkan, melakukan sesuatu dengan cara itu
tetapi spirit yang digunakan untuk melakukan itu masih setengah‐
setengah alias terkadang mau dan terkadang tidak mau (pemalas yang
rugi)
5. Manusia yang sudah tahu apa yang diinginkan, tahu cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkan, dan melakukan sesuatu dengan cara
itu dengan spirit yang penuh (fulfilled) atau selalu berusaha untuk
membuat spiritnya menyala terus (orang beruntung).
* Dari berbagai sumber
BAB III
TEMUKAN TUHAN & ORANG
BAGAIMANA MENEMUKAN TUHAN?
Tentu kita sudah tahu bahwa kita tidak mungkin menemukan Tuhan dengan
cara mencari‐cari‐Nya untuk bisa menemukan. Tuhan tidak bisa dicari seperti
layaknya kita mencari‐cari orang atau barang lalu kemudian itu kita temukan.
Kenapa? Ada ulama yang berpendapat bahwa Tuhan itu sudah saking jelasnya
bagi kita. Karena sudah sedemikian jelas dan sudah sedemikian dekat, untuk
apa lagi dicari‐cari dan untuk apa lagi ditemukan? Dia ada dimana‐mana dan
juga di dalam dirim kita. Ada lagi yang berpendapat bahwa untuk menemukan
Tuhan itu tidak butuh teori yang canggih, tidak butuh konsep yang ruwet, atau
tidak butuh logika yang ribet. Tuhan bahkan bisa ditemukan dan bisa dilihat
oleh seorang anak kecil yang belum masuk sekolah.
Dengan kata lain, menemukan Tuhan adalah sebuah proses yang kita ciptakan
untuk meyakini seyakin‐yakinnya akan adanya Tuhan di mana‐mana. Yakin
seyakin‐yakinnya inilah yang disebut iman. Samakah iman ini dengan misalnya
halusinasi atau delusi? O, tentu beda. Mari kita lihat definisi halusinasi dan
delusi. Di sejumlah buku‐buku kesehatan mental, halusinasi adalah pengalaman
pancaindera tanpa adanya sumber stimulus (rangsangan) yang
menimbulkannya. Misalnya seseorang mendengar suara‐suara padahal
sebenarnya tidak ada sumber suara itu berasal. Ini bisa disebut sebagai
halusinasi pendengaran. Demikian pula halnya dengan halusinasi penglihatan,
penciuman rasa dan raba.
“Kebiasaan yang paling merusak diri kita adalah kecurigaan. Kebiasaan yang
paling menyenangkan kita adalah memberi. Kehilangan yang paling
menyakitkan adalah hilangnya harga diri. Pekerjaan yang paling banyak
memuaskan kita adalah membantu orang lain. Problem hidup yang paling harus
segera diatasi adalah takut. Alat yang lebih canggih dari seluruh komputer
adalah otak. Obat yang paling mujarab adalah ketenangan pikiran. Aset paling
berharga dalam menghadapi hidup adalah keimanan. Emosi yang paling banyak
memperburuk diri kita adalah merasa perlu diberi belas kasihan.” (Petuah Bijak)
Sedangkan delusi adalah suatu keyakinan yang tidak rasional, meskipun telah
diberikan bukti‐bukti bahwa pikiran itu tidak rasional namun yang
bersangkutan tetap meyakininya. Orang yang mengidap delusi merasa yakin
akan ada orang yang akan berbuat jahat kepadanya padahal dalam
kenyataannya tidak ada. Ini contohnya. Biasanya ini diakibatkan karena
mengkonsumsi narkoba atau NAPZA. Para penderita ini biasanya selalu was‐
was, ngoceh tidak karuan, lari menjauhi orang, dan seterusnya.
Lalu, dimana letak inti perbedaannya? Iman adalah sebuah kesimpulan batin
yang kita yakini dengan menggunakan akal sehat (intelek) tentang hidup ini dan
berfungsi sebagai pendorong untuk berpikir positif, bersikap positif dan
bertindak positif dalam menghadapi realitas kehidupan ini. Karena itu, dalam
Ilmu Tauhid, yang disebut iman itu bukanlah meyakini atau mengakui dengan
ucapan mulut, melainkan keyakinan yang sifatnya “lahir‐batin” dan ada bukti
dari keyakinan itu.
“Tidak benar iman tanpa ilmu atau ilmu tanpa iman.” (Cak Nur)
Kalau orang mengaku beriman namun tidak ada bukti dalam bentuk pikiran,
sikap dan tindakan positif, mungkin saja keimanannya masih tercampuri oleh
delusi atau halusinasi. Iman yang tidak atau belum membuahkan bukti ini oleh
agama kerap disebut iman lemah. Mulutnya mengatakan beriman tetapi hati dan
prilakunya tidak demikian.
Untuk orang yang sedang dilanda depresi, proses menciptakan keyakinan itu
perlu diriilkan dalam bentuk:
Pertama, menghadirkan kebersamaan dan kedekatan. Para penderita depresi
kerap merasa telah kehilangan Tuhan, merasa telah ditinggalkan Tuhan, atau
merasa jauh dari Tuhan. Kenapa perasaan ini muncul? Kalau melihat keterangan
hadis Qudsi, yang terjadi sebetulnya bukan Tuhan telah meninggalkan dirinya
atau Tuhan telah menjauhi darinya. Yang terjadi adalah dirinya yang jauh dari
Tuhan. Karena kita jauh maka Tuhan pun jauh dari kita. Karena kita
mempersepsikan Tuhan itu jauh maka yang muncul adalah perasaan telah
ditinggalkan Tuhan.
ʺ Aku selaras dengan sangkaan hamba‐Ku terhadap Aku, dan Aku bersama
dengan hamba‐Ku ketika dia mengingat Akuʺ (Hadits Qudsi)
Pada tingkat yang paling berbahaya, orang yang jauh dari Tuhan, orang yang
menjauhkan dirinya dari Tuhan, atau orang yang melupakan Tuhan, tak hanya
berakibat pada buruknya hubungan antara dirinya dengan Tuhan, tetapi akan
berakibat pada buruknya hubungan antara orang itu dengan dirinya. Orang
yang sudah kehilangan kontak dengan dirinya ini akan mudah melanggar,
mudah tergoda, mudah menjalani kehidupan tanpa tujuan (ngambang, sesat,
gelap), mudah terjerumus dalam kehidupan nista.
Kalau melihat praktek hidup sehari‐hari, fenomena di atas bisalah kita sebut
semacam “hukum alam.” Orang yang jauh dari Tuhan tidak hanya jauh dari
Tuhan tetapi yang lebih parah adalah jauh dari dirinya, kehilangan kendali‐diri,
kehilangan kontrol‐diri, kehilangan visi diri, kehilangan komunikasi‐diri, tidak
punya alasan untuk menciptakan penilaian‐diri secara positif, dan seterusnya.
Al‐Qur’an menjelaskan:
“Dan janganlah kamu seperti orang‐orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang‐orang
yang fasik.” (Al‐Hasyr: 19)
Dengan kata lain, apa yang penting untuk dilakukan oleh para penderita depresi
adalah menciptakan keyakinan bahwa Tuhan itu dekat, bahwa Tuhan itu selalu
bersamanya. Keyakinan semacam ini tentu tidak bisa dibuat‐buat tetapi harus
diciptakan dengan tindakan. Apa saja yang perlu dilakukan untuk menciptakan
keyakinan semacam itu? Anda bisa menempuh cara‐cara seperti yang saya tulis
di bagian akhir dari bab ini.
Kedua, pelakasaan dan ketakwaan. Untuk orang yang dilanda depresi, proses
mencipatakan keyakinan (iman) itu harus diriilkan sampai pada pelaksaan
ajaran‐ajaran Tuhan. Ajaran Tuhan di sini bisa kita golongkan menjadi dua,
yaitu: a) ajaran Tuhan yang sifatnya spesifik, seperti sholat, puasa, atau lainnya,
dan b) ajaran Tuhan yang sifatnya universal atau kebaikan‐kebaikan
kemanusiaan, seperti membantu orang, berbuat baik pada orang lain, dan
seterusnya.
Kenapa anda perlu melaksanakan ajaran Tuhan yang spesifik dan yang
universal? Alasannya tentu bukan supaya anda mendapatkan pujian dari orang
lain. Bukan pula supaya anda kelihatan tidak seperti orang depresi. Alasan yang
paling mendasarnya adalah agar anda memiliki perasaan positif, pikiran positif,
atau keyakinan positif pada diri anda. Hal‐hal yang positif ini akan
memudahkan kita melakukan tindakan positif dan akan mengundang balasan
positif yang bermacam‐macam bentuk dan jenisnya.
Dalam kaitannya dengan depresi, para penderita depresi umumnya memiliki
perasaan yang negatif, pikiran yang negatif dan keyakinan yang negatif atas
dirinya. Hal‐hal negatif inilah yang mengundang munculnya berbagai masalah
kejiwaan seperti minder, takut menghadapi hidup, tidak percaya diri, gampang
kalap, isolasi diri, dan lain‐lain. Karena itu, seperti yang sudah saya kutip di
muka, para pakar kesehatan mental menyarankan tiga hal, yaitu:
Melakukan tindakan yang konstruktif (membangun)
Melakukan tindakan yang altruistik (kebaikan bagi orang lain)
Melakukan tindakan positif yang menyenangkan (pleasurable), seperti
olahraga, berorganisasi, mengikuti perlombaan, mengasah hobi atau interest,
berwisata, dan lain‐lain
Singkatnya, kita perlu memperbaiki hubungan dengan diri kita (intrapersonal).
Caranya adalah dengan menambah nilai plus pada diri kita (menghiasai diri
dengan hal‐hal positif). Selanjutnya, kita perlu memperbaiki hubungan kita
dengan orang lain. Caranya adalah dengan menciptakan kebaikan‐kebaikan,
shodaqoh, empati, dan lain‐lain. Kebaikan ini tidak selalu harus kita tafsirkan
dengan memberi uang, benda atau tenaga. Kebaikan ini mencakup memberikan
senyuman tanda kebaikan dan persahabatan, seperti yang dianjurkankan Nabi.
“Jangan kau anggap remeh kebaikan itu meski hanya berupa tampilan muka
yang menyenangkan di hadapan saudaramu.” (HR. Muslim)
CARA MEMBANGUN KEDEKATAN & KEBERSAMAAN
Seperti yang saya katakan di muka, kebersamaan dan kedekatan ini tidak bisa
dicipatakan dengan cara dibuat‐buat (pretensi) Menempuh cara ini akan
memudahkan kita terperosok dalam delusi atau halusinasi. Lantas, apa yang
bisa kita lakukan untuk memunculkan kebersamaan dan kedekatan itu?
Berdasarkan petunjuk Al‐Qur’an dan hadis Nabi, kita bisa mulai menciptakan
kebersamaan dan kedekatan itu sebagai berikut:
1. Memunculkan kesadaran bahwa kita ini milik Tuhan
Dari pertanyaan‐pertanyaan yang diajukan ke saya, entah itu langsung atau via
email, saya akhirnya berkesimpulan bahwa ada satu hal yang kerap kita lupakan
saat‐saat menghadapi depresi. Kita lupa bahwa kita ini milik Allah, dimiliki oleh
Allah. Karena kita lupa akan hal ini akhirnya kita mudah menyimpulkan bahwa
kita ini sendirian, tidak ada yang memiliki kita, sebatang kara, kosong dan sedih
melebihi batas (empetiness and sadness).
Karena itu, yang penting untuk dimunculkan adalah kesadaran bahwa kita ini
ada yang memiliki, bahwa kita ini milik Allah. Tentu, supaya kita punya
kesadaran seperti itu, kita pun perlu menciptakan persepsi dan tindakan yang
bisa mendekatkan kita pada Allah. Kalau hanya perasaan semata, tentu ini
kurang ada manfaatnya. Al‐Qur’an menjelaskan hal ini sebagai berikut:
“ . . . (yaitu) orang‐orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan
“Innaa lillahi wa innaa ilaihi roaaji’uun” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah
dan kepada‐Nya‐lah kami kembali)” (al‐Baqoroh: 156)
Menurut petunjuk Al‐Qur’an di atas, pertama kali kita perlu sadar bahwa kita ini
milik Allah, kita ini dimiliki oleh Allah, atau Inna Lillah. Secara Psikologi bisa
dijelaskan bahwa kalau kita ini sedang sadar bahwa diri kita ini ada yang
memiliki atau ada yang punya, maka seburuk apapun kenyataan hidup yang
kita hadapi, tidak sampai akan membuat kita merasa sendirian atau merasa
tidak ada yang memiliki kita. Beberapa penelitian menemukan tingkat depresi
yang lebih rendah pada orang‐orang yang berdoa, meditasi atau berdzikir. Ini
karena aktivitas semacam itu bisa menumbuhkan kesadaran atau perasaan
bahwa mereka ada yang memiliki, mereka bukan sebatangkara atau mereka
merasa tidak sendirian.
Sadar bahwa kita ini dimiliki oleh Tuhan atau milik Tuhan akan menumbuhkan
keyakinan bahwa tidak mungkin Tuhan akan membiarkan kita menghadapi
kenyataan buruk sendirian. Kesadaran semacam inilah yang di dalam ajaran
keimanan disebut “Kebersamaan Dengan Tuhan” (Ma’iyyatullah). Orang yang
memiliki kesadaran semacam ini akan memiliki keberanian yang jauh lebih
bagus dibanding dengan orang yang tidak memiliki kesadaran demikian dalam
menghadapi kenyataan hidup.
“Jadi, iman menghasilkan harapan. Maka tidak adanya harapan adalah adanya
indikasi tidak beriman. Orang yang tidak beriman adalah orang yang tidak
menaruh kepercayaan kepada Allah. Atau, di balik orang yang tidak menaruh
kepercayaanya kepada Allah akan tidak mempunyai harapan kepada‐Nya.
Maka kita diingatkan dalam kitab suci melalui lisan Nabi Yaʹqub as ketika dia
berpesan kepada anak‐anaknya dalam mencari Yusuf dan Bunyamin di
Mesir:ʺjanganlah kamu berputus asa atas kasih Allah, sebab sesungguhnya
tidaklah berputus asa dari kasih Allah, kecuali kaum kafir.ʺ (Cak Nur)
Setelah itu, yang penting untuk kita lakukan adalah kembali pada Tuhan
(rooji’uun: orang yang kembali). Seperti yang diajarkan Al‐Qur’an di atas,
setelah kita menyadari bahwa kita ini milik Allah, selanjutnya adalah kembali
kepada Allah. Apa artinya kembali di sini? Secara prinisp, pengertian kembali
adalah kembali kepada apa yang diperintahkan dan kembali pada apa yang
dilarang. Apa yang diperintahkan Tuhan ketika menghadapi musibah? Apa
yang dilarang Tuhan ketika menghadapi musibah?
Kalau kita detailkan satu persatu, tentu tidak akan habis kita tulis dengan
menggunakan tinta air laut. Meski begitu, ada satu hal yang perlu kita sadari di
sini, yaitu kita perlu menyadari perbedaan antara perintah Tuhan dan perintah
setan ketika menghadapi musibah. Bagaimana membedakan perintah Tuhan dan
perintah setan di sini?
Pendeknya bisa dikatakan bahwa semua yang baik yang akan kita lakukan,
semua yang benar yang akan kita lakukan atau semua yang bermanfaat yang
akan kita lakukan, adalah perintah Tuhan. Sebaliknya, semua yang salah yang
akan kita lakukan, semua yang merugikan yang akan kita lakukan atau semua
yang jelek yang kita lakukan, adalah perintah setan.
Di antara hal-hal yang diperintahkan Tuhan ketika menghadapi musibah adalah berikut
ini:
Berpikir positif
Berpandangan positif
Berharapan positif (optimisme)
Berperasaan positif
Bersabar
Bersikap positif
Berikhtiyar (memilih usaha yang positif)
Itu semua bisa dikatakan perintah Tuhan, karena kalau kita menjalankannya
pasti akan berdampak baik, pasti akan benar menurut siapapun, dan pasti akan
melahirkan manfaat bagi kita, bagi orang lain dan bagi dunia. Kembali kepada
Tuhan akan membuat kita untung. Kembali kepada setan akan membuat kita
buntung.
2. Mengajukan do’a dengan penghayatan (Tadlorru’an wa khofyah)
Kita sudah tahu apa itu doa dan bagaimana berdoa. Di sini ada satu hal yang
perlu diingat bahwa meskipun semua orang bisa berdoa tetapi efek dari doa itu
bukan karena do’anya atau bukan karena redaksi doa yang kita gunakan. Anda
bisa berdoa dengan bahasa apapun. Lalu karena apanya? Yang menentukan efek
doa seseorang adalah bagaimana orang itu berdoa.
Kata “bagaimana” di sini artinya adalah kualitas. Kalau anda berdoa setengah
hati, efeknya juga setengah. Kalau anda berdoa dengan hanya mulut, efeknya
tidak kelihatan. Kalau anda berdoa hanya untuk mengikuti seremoni, efeknya
juga kurang. Do’a yang efeknya kuat adalah doa yang kita ucapkan dengan
sepenuh hati, penuh harapan, penuh konsentrasi, penuh penghayatan dan
menciptakan kondisi‐diri seperti seolah‐olah “meng‐iba”. Istilah yang dipakai
Al‐Qur’an adalah tadlorru’ dan khofyah:
“Berdo`alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang‐orang yang melampaui batas.” (Al‐
‘Arof: 56)
Ada praktek yang bisa kita contoh dari film‐film yang menggambarkan kisah
kekaisaran atau kerajaan. Apa yang anda lihat ketika seorang pejabat atau rakyat
jelata (hamba sahaya) diminta menghadap raja atau akan dihukum oleh raja?
Mereka mengajukan permohanan atau kemurahan seperti seolah‐olah “meng‐
iba” dengan penuh harapan, penuh “ketakutan” dan sepenuh hati. Bahkan
terkadang harus dengan diiringi air mata. Kalau dengan manusia saja orang bisa
menciptakan kondisi‐diri secara tadlorru’ dan khofyah dalam memohon, maka
mestinya kita bisa menciptakan kondisi‐diri yang lebih tadlorru dan khofyah lagi
pada Tuhan.
Selain karena kualitas, efek doa juga diciptakan dari apa yang kita lakukan
setelah berdoa. Jika kita berdoa agar terhindar dari bahaya, terhindar dari
depresi atau semisalnya, tetapi yang kita lakukan adalah praktek‐praktek yang
malah membuat kita dekat dengan bahaya dan dekat dengan depresi, tentu saja
ini tidak bisa. Ini artinya di dalam diri kita belum ada taufik (keserasian) antara
doa yang kita panjatkan dan praktek yang kita jalankan.
3. Membaca buku‐buku yang menyadarkan
Bacalah kitab suci Al‐Qur’an. Seperti yang dijelaskan oleh Al‐Qur’an sendiri,
membaca Al‐Qur’an itu tidak saja berfungsi untuk menambah pengetahuan. Al‐
Qur’an bisa menjadi obat (syifa’), petunjuk (hidayah), atau penghalang (hijab).
Hanya saja perlu disadari bahwa dampak bacaan Al‐Qur’an bagi seseorang itu
bukan Al‐Qur’annya tetapi karena orangnya. Semua orang membaca Al‐Qur’an
yang sama, tetapi dampaknya berbeda‐beda. Ini tergantung pada bagaimana
kualitas orang itu.
Kalau melihat penjelasan Ibnu Katsir, kata “orang” di sini bisa kita masukkan ke
dalam istilah kategori hatinya. Ibnu Katsir berpendapat bahwa hati manusiai tu
bisa dikelompokkan menjadi tiga: a) hati yang sadar, al‐waaiyah, b) hati yang
bergejolak, dan c) hati yang mati, al‐mayyitah. Kalau hati sudah mati, tentu saja
pengaruhnya kurang, meski berkali‐kali diperdengarkan ayat‐ayat Al‐Qur’an.
Hati yang cepat tersentuh oleh Al‐Qur’an adalah hati yang sadar, sensitif.
Hanya orang‐orang yang mendengar saja yang mematuhi (al:Anʹan: 36)
Selain Al‐Qur’an, kita juga perlu membaca buku‐buku lain, seperti buku
Psikologi, buku tentang kisah manusia yang berhasil mengatasi depresi, buku
sejarah, majalah, dan lain‐lain. Intinya, kita harus menjadi suplier inspirasi dan
motivasi bagi diri sendiri. Jangan membiarkan diri ditemani setan dalam
keadaan depresi.
4. Menghindari dosa
Dosa itu bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a) dosa batin dan b) dosa lahir,
dosa fisik, atau dosa tindakan. Yang termasuk dosa batin adalah hal‐hal negatif
yang kita simpan di batin kita dan itu tidak ingin diketahui orang lain karena
kita sendiri tahu bahwa itu jelek. Dalam bahasa agamanya, anda berpikir negatif
pada diri sendiri, orang lain atau tentang Tuhan, itu dosa. Dosa batin menurut
agama ini sudah banyak dijelaskan efek negatifnya oleh temuan‐temuan ilmu
pengetahuan. Anda bisa mengetahuinya dengan membaca buku‐buku tentang
berpikir negatif dan berpikir negatif.
Kalau anda mengembangkan pikiran negatif terhadap diri sendiri, anda akan
kehilangan kesempatan untuk menemukan sisi positif pada diri anda. Anda
akan kehilangan kesempatan untuk mengungkap kelebihan dan kekuatan yang
anda miliki. Kalau anda mengembangkan pikiran negatif tentang orang lain,
anda akan mengalami kesusahan bergaul dengan orang lain. Kalau anda
berpikir negatif tentang Tuhan, anda akan kehilangan kesempatan untuk
memanfaatkan nikmat Tuhan sebanyak‐banyaknya di dunia ini.
Sedangkan yang termasuk dosa fisik itu misalnya saja kemungkaran, kejahatan,
kekejian, penganiayaan, dan lain‐lain. Intinya, hal‐hal yang kita lakukan dan itu
melanggar kebenaran atau akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri dan
orang lain, itu termasuk dosa fisik. Baik dosa fisik atau dosa batin, ada yang
disebut dosa kecil dan dosa besar. Yang termasuk dosa besar adalah
kemusyrikan, pembunuhan dan semisalnya.
Kenapa kita harus menghindari dosa? Alasannya adalah karena dosa itu disebut
kedzaliman. Artinya, perbuatan dosa yang kita lakukan, entah itu dosa batin
atau dosa lahir, akan mendatangkan kegelapan di batin kita. Dalam keadaan
depresi, munculnya kegelapan baru adalah sesuatu yang sangat menyulitkan
penyembuhan. Contoh yang paling riil di di sini adalah seorang ibu yang tega
membunuh anaknya karena depresi akibat tekanan ekonomi. Dimana‐mana,
yang namanya tekanan ekonomi itu bisa membuat orang depresi. Tapi, yang
menyebabkan si ibu itu membunuh anaknya bukan depresi ekonomi. Yang
menyebabkannya adalah reaksinya terhadap depresi ekonomi ditambah dengan
pengembangannya terhadap berbagai pikiran negatif di dalam dirinya. Depresi
ekonomi tidak sampai menyebabkan orang melakukan tindakan brutal apabila
orang itu sanggup mengembangkan pikiran positif dan usaha yang positif
(menjauhkan diri dari dosa batin dan dosa lahir).
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al
Qurʹan), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah
yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Al‐Zuhrif: 36)
5. Mendekatkan diri pada hal‐hal yang baik.
Anda tentu sudah tahu apa saja hal‐hal yang baik itu. Yang perlu anda sadari di
sini adalah mengalahkan kemalasan. Bagaimana caranya? Anda harus memiliki
kemauan keras, memiliki target, memiliki program perbaikan berkelanjutan dan
lain‐lain. Semua ini sudah kita bahas di bagian depan. Yang kita butuhkan saat‐
saat depresi sebenarnya bukanlah hanya motivasi atau inspirasi, tetapi yang
lebih mendesak adalah edukasi‐diri (pendidikan‐diri). Pendidikan‐diri artinya
anda membiasakan diri untuk melawan kemalasan yang menghalangi anda
untuk berbuat baik, entah pada diri sendiri, orang lain atau lingkungan.
Paksa diri anda untuk melakukan hal‐hal yang baik bagi diri sendiri dan orang
lain meskipun itu kecil. Jangan malas melakukan kebaikan untuk diri sendiri
dan orang lain
Paksa diri anda untuk melihat tontotan yang baik dan bermanfaat. Jangan hanya
menonton tayangan yang hanya anda maksudkan untuk membunuh waktu
sesaat
Paksa diri anda untuk bisa dekat dengan orang yang baik, entah siapapun dia.
Jangan menjauhi orang yang positif dan takut sama orang yang negatif
Paksa diri anda untuk mendengarkan nasehat yang baik. Jangan alergi
mendengarkan nasehat yang baik dari siapapun. Ada cerita menarik dari Pak
Prof. Sartono Mukadis, pakar Psikologi Indonesia itu. Konon, sehabis kakinya
diamputasi, ada seorang satpam rumah sakit yang mengejar beliau sampai ke
mobilnya. Satpam itu mendekat dan mengatakan sesuatu yang baik: “Pak, kalau
Bapak down, maka akan ada banyak orang yang down. Bapak adalah tokoh
panutan banyak orang.” Kira‐kira seperti itulah bahasanya. Menurut pengakuan
Pak Sartono, nasehat itulah yang telah menyumbang sekian persen kenapa Pak
Sartono tetap tegar dan bisa menjalankan aktivitas seperti biasa. Kalau dilihat
dari isi nasehatnya, tentu Pak Sartono sudah tidak butuh nasehat semacam itu.
Dan lagi, pekerjaan beliau sehari‐harinya adalah memberi nasehat orang lain.
Cuma karena beliau mau mendengarkan nasehat yang baik, ya dampaknya juga
baik.
Paksa diri anda untuk menghadiri acara yang baik dan bermanfaat
Paksa diri anda untuk membaca bacaan yang baik dan bermanfaat
Ada beberapa hal yang menurut saya kerap dilakukan oleh para penderita
depresi. Ini adalah antipati terhadap hal‐hal yang baik, menutup diri dari
pergaulan dengan orang‐orang yang baik, menganggap nasehat sebagai barang
murahan, bahkan terkadang membencinya. Jika kita tetap ingin melakukan
penyembuhan, tentu itu semua adalah kontradiksi dengan apa yang kita
inginkan. Ibarat kata, kita ingin sempuh tetapi yang kita lakukan malah
mengundang penyakit. Jadi, gimana bisa sembuh?
MENGAPA KITA GAGAL MENEMUKAN TUHAN?
Ada satu kata kunci yang menjadi penyebab paling mendasar kenapa kita gagal
menemukan Tuhan itu. Kata kunci itu adalah “al‐jahlu”. Al‐Qur’an
menyebutnya dengan istilah “Al‐Jaahiliin”. Nabi pernah diperintahkan untuk
mengabaikan atau berpaling dari oran‐orang yang jahil ini. Kita tidak tahu apa
rahasia sebenarnya. Namun begitu, logika kita bisa mengatakan bahwa ajakan
yang disampaikan kepada orang‐orang yang jahil ini tidak ada gunanya.
Apa itu “al‐jahlu”? Dalam bahasa Arab formal yang dipakai saat ini, al‐jahlu
adalah kebodohan. Orang yang jaahil adalah orang yang bodoh. Tapi kalau
melihat pengertiannya yang lebih luas, sebetulnya al‐jahlu bukan hanya bodoh
seperti kita mendefinisikan kata bodoh itu. Bodoh dalam pengertian kita adalah
orang yang sedikit ilmu, orang tidak sekolah, orang tidak tahu, orang yang IQ‐
nya rendah, dan seterusnya. Bodoh dalam pengertian ini baru bisa mewakili
sebagian pengertian dari “al‐jahlu”.
Pengertian bodoh yang bisa mewakili arti al‐jahlu adalah menutup diri dari
berbagai pencerahan, menolak menjadi pembelajar (learner). Ini berarti bisa
menimpa siapa saja, bisa menimpa orang yang berpendidikan tinggi atau
rendah, bisa menimpa orang yang berilmu banyak atau berilmu sedikit, bisa
menimpa orang kelas atas atau kelas rendah.
Dalam kaitannya dengan upaya menemukan Tuhan ini, kejahilan yang menurut
Al‐Ghazali sebagai penghalang, antara lain adalah:
Pertama, pengamatan yang dangkal. Ada orang yang gagal menemukan Allah
lewat pengamatan. Ia kemudian bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia
yang penuh keajaiban‐keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari
keabadian. Mereka bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf yang tertulis
dengan indah kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya
tanpa ada penulisnya, atau memang sudah selalu ada. Orang‐orang dengan cara
berpikir semacam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan
mereka akan sedikit sekali manfaatnya.
Kedua, menolak berbagai doktrin terhadap kehidupan akhirat. Ada sejumlah
orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang sebenarnya, menolak doktrin
kehidupan akhirat, tempat manusia akan diminta pertanggungjawabannya dan
diberi balasan atas perbuatannya. Mereka menganggap dirinya sama seperti
hewan atau sayur‐sayuran yang sama‐sama akan musnah begitu saja.
“Dan sesungguhnya orang‐orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat itu
benar‐benar menyimpang dari jalan yang lurus.” (al‐Mukminuun: 74)
Ketiga, iman yang lemah, iman yang hanya di mulut. Ada orang yang percaya
pada Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka
berkata kepada dirinya: ʺAllah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita;
kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting
bagi Dia.ʺ Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi
peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: ʺYah, saya ikuti atau tidak,
apa urusannya dengan dokter itu.ʺ
Tentunya hal ini tidak berakibat apa‐apa terhadap dokter tersebut, tetapi pasien
itu bisa merusak dirinya akibat ketidaktaatannya. Sebagaimana pasien penyakit
jasad yang apabila tak terobati akan berakhir dengan kematian jasad, begitu pula
penyakit jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan di masa
datang.
Keempat, kafir (mengingkari atau menolak). Orang kafir berkata: ʺSyariah
mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal
ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan
kualitas‐kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu
meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih.ʺ
Orang‐orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bahwa syariah tidak
mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu‐nafsu ini, melainkan untuk
meletakkan mereka di dalam batas‐batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari
dosa‐dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa‐dosa kita yang lebih
kecil. Bahkan, Nabi saw. berkata: ʺSaya adalah manusia seperti kamu juga, dan
marah seperti yang lain‐lain.ʺ Dan di dalam al‐Qurʹan tertulis: ʺAllah mencintai
orang‐orang yang menahan amarahnya,ʺ bukan orang‐orang yang tidak punya
marah sama sekali.
Kelima, memahami Tuhan secara tidak fair atau tidak objektif. Ada orang yang
menonjol‐nonjolkan kemurahan Allah tapi mengabaikan keadilan‐Nya,
kemudian berkata kepada dirinya sendiri: ʺYa, apa pun yang kita kerjakan, Allah
Maha Pemaaf.ʺ Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat
pemaaf, tapi beribu‐ribu manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan
dan penyakit. Mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menginginkan suatu
kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekedar berkata, ʺTuhan
Maha Pemaaf,ʺ tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras. Meskipun al‐Qurʹan
berkata: ʺSemua makhluk hidup rizkinya datang dari Allah,ʺ di sana tertulis
pula: ʺManusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha.ʺ
Kenyataannya adalah: ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang‐orang
seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam, merasa sudah suci atau paling suci. Ada kelompok manusia yang
mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga
dosa tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian, jika anda
perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak hormat, dia akan
menaruh dendam terhadap anda selama bertahun‐tahun. Dan jika salah seorang
di antara mereka tidak mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan
haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada
di antara mereka benar‐benar bisa menaklukkan nafsu‐nafsunya, mereka tidak
punya hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi ‐ jenis
manusia yang tertinggi ‐ terus‐menerus mengakui dan meratapi dosa‐dosa
mereka.
Dengan kata lain, agar kita tidak terhalang untuk menemukan Tuhan, beberapa
hal yang perlu kita lakukan adalah:
Membuka pikiran (Iqra) yang mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa
semua ini berasal dan kembali pada Yang Satu (Tauhid), tidak ada yang
terpisah di dunia ini.
Meyakini adanya Hukum Pembalasan Akhir. Usaha apapun yang kita
lakukan, entah itu positif atau negatif, besar atau kecil, pasti akan ada
balasannya. Balasan ini ada yang sudah diwujudkan dalam kehidupan dunia
dan ada juga yang diwujudkan dalam kehidupan akhirat. Punya keimanan
terhadap kehidupan akhirat akan membuat langkah kita terkontrol. Kalau
anda sudah tidak mengimani kehidupan akhirat, anda akan mudah berbuat
apa saja tanpa rim. Ini tidak merugikan Tuhan sedikit pun tetapi akan
merugikan anda.
Memperkuat keimanan dengan bukti‐bukti nyata dalam menjalani hidup ini.
Meski anda depresi tetapi kalau masih ditopang dengan keimanan, anda
akan kuat menghadapinya, dan anda pun tidak berhenti berbuat baik karena
depresi. Atau minimalnya, anda tidak menjadi gelap mata karena depresi.
Menerima kebenaran sebagai kebenaran dan berusaha untuk menaati
kebenaran itu. Terkadang, apalagi dalam kondisi depresi, kita sulit menerima
kebenaran sebagai kebenaran. Kita tahu sesuatau itu benar, tetapi kita tidak
mau menerimanya. Ada lagi juga misalnya kita tahu itu benar, mau
mengakuinya sebagai kebenaran tetapi tidak mau menjalaninya.
Menerima sunnatullah sebagai kenyataan yang tidak bisa diganggu‐guat.
Mungkin saja yang membuat kita menjadi depresi itu adalah perubahan,
kondisi alam, orang lain, dan lain‐lain, tetapi kita perlu ingat bahwa
penyembuhannya harus datang pertama kali dari kita. Kita tidak bisa
menunggu disembuhkan atau menggandalkan penyembuhan kepada pihak
luar. Pihak luar hanya membantu. Tanggung jawab ini adalah sunnatullah
yang tidak bisa diingkari.
Berusaha untuk membersihkan jiwa tetapi berusaha pula untuk tidak merasa
paling bersih. Berusaha untuk menjadi benar tetapi berusaha pula untuk
tidak merasa yang paling benar.
“Walaupun kita benar tetapi kalau merasa paling benar, ini bisa membuat kita
salah.” (Petuah Bijak)
ORANG SEPERTI APAKAH YANG ANDA BUTUHKAN?
Ada cerita dari seorang kawan yang mungkin bisa anda teladani. Suatu hari
kawan ini bercerita bahwa dirinya hampir mau putus asa dan tak tahan lagi
menghadapi serangan realita yang menurutnya sudah terlalu brutal dan kejam.
Benar‐benar ia merasa depresi berat. Pasalnya, si pacar yang ingin dinikahinya
ternyata berselingkuh dan orangtuanya bermaksud menikahkan dengan lelaki
yang baru dikenalnya itu. Tidak hanya itu yang membuat si teman ini tak tahan.
Pada saat yang sama, ia terkena PHK dari kantornya.
Di tengah situasi sulit seperti ini, si teman memutuskan untuk pulang kampung.
Keputusan ini diambil bukan karena ia sudah punya rencana yang pasti di
kampung. Keputusan ini diambil hanya karena dia tidak tahu lagi apa yang akan
dilakukannya di Jakarta. Si kawan ini hanya ingin lari dari masalah karena
sudah tidak tahan merasakannya.
Tanpa di sangka‐sangka, di bus yang mengantarkannya ke kampung, ia duduk
berdampingan dengan seseorang yang ternyata sedang mengalami peristiwa
yang jauh lebih buruk dari dirinya. Orang itu bahkan lebih tua dari dirinya.
Lewat obrolan ngalor‐ngidul di bus, bapak itu menceritakan masalahnya. Ia baru
saja kehilangan istri dan anaknya. Ia juga kehilangan harta benda dan uang yang
ia kirim selama bekerja di laut dua tahun lamanya. Kini, ia juga menanggur. Ia
sedang mencari pekerjaan lain.
Lewat obrolan ngalor‐ngidul di bus, si kawan ini berkesimpulan bahwa si bapak
yang dikenalnya di bus ini ternyata memiliki rencana, tekad dan keputusan
hidup yang jauh lebih bagus. Si teman kemudian berpikir bahwa ternyata saya
ini masih belum ada apa‐apanya dibanding dengan bapak yang di samping saya.
Ia kemudian memilih untuk balik lagi ke Jakarta, membatalkan rencananya
pulang kampung dan memilih untuk memutuskan hal lain yang lebih bagus.
Lewat sekelumit cerita di atas, saya ingin menambahkan bahwa langkah
berikutnya adalah anda perlu menemukan orang‐orang yang kira‐kira tipenya
dapat dijelaskan dengan kalimat‐kalimat berikut ini:
Pertama, anda membutuhkan orang yang bisa anda contoh atau bisa anda
teladani karena keberhasilannya dalam mengatasi kesulitan atau karena
kegigihannya dalam menghadapi kenyataan yang brutal. Sudah banyak
ungkapan ahli hikmah yang menyarankan kita untuk melakukan hal demikian.
“Kalau anda ingin naik, jangan melihat orang yang jatuh, tetapi lihatlah orang
yang sudah berhasil naik.” Artinya, anda perlu mencontoh orang yang lebih
positif.
“Kita bisa memperbaiki dari pengalaman hidup yang kita jalani dan dari orang
lain yang kita jadikan contoh.” (Petuah Bijak)
Dengan kata lain, kalau anda ingin segera dapat mengatasi depresi, jangan
meniru orang yang dikalahkan depresi karena ketidatangguhannya atau karena
kelamahannya. Sebaliknya, tirulah orang lain yang sanggup mengatasi depresi
dengan cara yag lebih bagus dan lebih tangguh. Ini bisa anda gunakan untuk
hal‐hal lain, misalnya anda ingin punya kepercayaan‐diri dan lain‐lain. Jika anda
ingin memiliki kepercayaan‐diri yang bagus, belajarlah dari orang yang punya
PD bagus.
Seperti yang sudah saya singgung di muka, kesalahan umum yang dilakukan
para penderita depresi, begitu kalau boleh menyebutnya, adalah enggan melihat
kisah, cerita atau langkah orang lain yang sudah berhasil. Kebanyakan malah
memilih menyendiri menjauhi manusia atau memilih manusia yang tidak
memiliki pengalaman hidup yang ia butuhkan. Lebih berbahaya lagi kalau dia
justru mendekati orang yang sama‐sama depresi dan mengajaknya untuk
melakukan hal‐hal negatif.
Ada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Susan Lark dan Paul
Scheele. Penelitian ini memang dirancang untuk mengetahui atau menjelaskan
kehidupan orang‐orang yang berhasil dan orang‐orang yang gagal. Setelah
melakukan studi selama kurang lebih dua puluh tahunan, mereka kemudian
merumuskan apa yang mereka sebut dengan Model Orang Gagal (Failures
models). Secara model, seluruh orang gagal di dunia ini memiliki kesamaan atau
kemiripan, antara lain:
Mereka mengenal orang yang jenisnya atau tipenya sama atau tidak jauh
berbeda. Orang‐orang yang dikenalnya itu melakukan kesalahan yang sama
atau serupa.
Mereka tidak memiliki kebiasaan membaca.
Mereka tidak bisa mencintai pekerjaan atau profesinya sepenuh hati. Ingin
pindah tetapi tidak pindah‐pindah.
Mereka tidak menjalankan apa yang mereka ketahui
Mereka selalu menambah kebutuhan tetapi tidak pernah menambah
kemampuannya.
Mereka punya kehidupan yang berantakan. Rumah, kamar mandi, dan file
kerjanya tidak terurus secara rapi.
Nah, bagi anda yang sedang depresi, anda perlu sadar bahwa yang anda
butuhkan adalah orang yang berbeda. Tentunya di sini adalah yang positif.
Jangan bergaul dengan orang‐orang yang depresi juga. Cari orang lain yang
kira‐kira punya pengelaman hidup yang bermanfaat untuk anda. Temukan buku
yang bermanfaat untuk anda. Jauhkan hidup anda dari kondisi yang berantakan.
Anda tentunya sudah mendengar sebuah buku yang judulnya sudah akrab di
telinga sebagian besar kita. Buku itu ditulis oleh Mark Victor Hansen dan
sahabatnya. Buku itu diberi judul “The Chicken Soup for the soul”. Konon, buku
itu sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Ada
pelajaran menarik dari kehidupan Mark terkait dengan soal kemampuannya
dalam mendengarkan nasehat seseorang.
Sebelum akhirnya Mark memutuskan untuk menulis buku itu, Mark memiliki
sejarah hidup yang unik. Memulai usaha di bidang konstruksi milik keluarganya
pada usia 20 tahun. Ketika usianya 26 tahun, usaha itu bangkrut total sampai
membuat Mark hidup menggelandang. Hingga menjelang usia Mark sampai ke
40 tahun, perjumpaan dengan seorang kawan lama terjadi, namanya Jack
Canfield. Dari Jack inilah Mark punya kesempatan untuk mendengarkan kaset
berisi pidato tokoh kenamaan saat itu, namanya Cavertt Robert. Apa yang
menarik dari pidato itu? Pidato yang berjudul “Are you the cause or are you the
effect” (apakah anda sebagai penyebab atau sebagai akibat?) benar‐benar
membuat Mark sadar bahwa selama ini dirinya merasa bukan sebagai penyebab.
Saking tertariknya dengan isi pidato itu, Mark memutarnya sebanyak 287 kali.
Dalam sebuah wawancara tahun 1994 yang dikutip oleh majalah Entreprenur,
mantan gelandangan itu buka bicara bahwa salah satu alasan dominan mengapa
90 % ummat manusia gagal merealisasikan gagasannya adalah karena mereka
menyadari sebagai akibat bukan sebagai penyebab. Kebanyakan orang
memasrahkan nasibnya pada kenyataan buruk. Kebanyakan orang tidak
memiliki kesadaran bahwa yang bisa memperbaiki hidupnya adalah dirinya
sendiri.
Karena Mark sadar bahwa di dunia ini masih banyak orang yang tidak merasa
dirinya sebagai penyebab, maka bersama Jack Canfield, Mark menulis buku
berseri itu. Inipun tidak langsung membuat Mark berubah nasibnya. Konon,
sebelum buku‐buku tersebut dinobatkan menjadi daftar unggulan, best seller,
penolakan dari 33 penerbit sempat dialami. Bahkan dalam expo buku‐buku,
lebih dari 134 pengunjung mengatakan NO. Hingga ada penerbit kecil yang mau
mencetak bukunya lalu dari sinilah ia memulai
Karena Mark tidak menyerah maka tibalah saat di mana buku Mark meledak di
pasaran. Saking hebatnya buku itu, konon Mark pernah menerima penghargaan
Horatio Alger Award yang setara dengan hadiah nobel. Meskipun cerita adalah
cerita, tetapi pesan yang dikandung dari sekelumit cerita di atas menawarkan
kepada kita untuk memilih bentuk kesadaran antara kita menjadi penyebab dan
menjadi akibat. Menjadi penyebab adalah merebut tanggung jawab untuk
berusaha lebih dulu dari dalam diri kita.
“Jika kita mengenal orang yang itu‐itu saja, menjalankan kebiasaan hidup yang
itu‐itu saja dan menaati pedoman hidup yang itu‐itu saja, maka yang akan kita
lakukan adalah hal yang itu‐itu saja dengan cara yang itu‐itu saja. Dengan
begitu, hasil yang akan kita terima juga itu‐itu saja.” (Petuah Bijak)
ʺ…dan tolong‐menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong‐menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa‐Nya.ʺ (Al‐
Maidah: 2)
Kedua, anda membutuhkan orang yang mendukung upaya anda untuk
mengatasi masalah yang sedang anda hadapi. Studi mengungkap bahwa
peranan orang yang mendukung ini menduduki porsi paling besar melebihi
yang lain. Orang yang mendukung ini bisa orangtua, keluarga, bisa sahabat, bisa
seorang pembimbing, konselor, kyai, ustadz, dan lain‐lain.
Contoh‐contoh yang bisa kita lihat sudah tak terhitung. Saya pribadi sudah
beberapa kali melihat tayangan di teve tentang keberhasilan seseorang dalam
melepaskan dirinya dari jeratan narkoba. Satu pengakuan yang saya ingat bagus
adalah tentang bagaimana peranan lingkungan atau orang. Hampir semua
penderita narkoba ingin sembuh. Sayangnya, mereka hanya ingin sembuh tetapi
tidak menemukan orang baru yang bisa membantunya. Bahkan ada yang tetap
terlibat pergaulan dengan orang‐orang lama atau lingkungan lama. Cara seperti
ini, menurut pengakuan orang yang berhasil, hampir mustahil bisa efektif.
Nah, dari teori‐teori yang ada, saya melihat bahwa kisah perjuangan seperti
yang diceritakan itu dapat pula kita terapkan untuk menyembuhkan depresi.
Jadi, temukan orang yang mendukung anda, terimalah orang yang mendukung
anda, dekatilah orang yang mendukung anda. Ciri‐ciri orang yang mendukung
anda itu adalah antara lain:
Orang yang menginginkan keberhasilan atau kebaikan anda. Jangan
mendekati orang yang sebetulnya tidak senang atau tidak ingin melihat anda
baik atau berhasil.
Orang yang memberikan pendapat, saran, atau dorongan pada anda untuk
melakukan hal‐hal positif dan menjauhi hal‐hal negatif. Jangan mendekati
orang yang omongannya, pendapatnya atau dorongannya malah
menjatuhkan anda. Apalagi orang yang mengajak anda untuk merusak diri.
Orang yang enak untuk menjadi pendengar anda. Jangan mengadukan
persoalan kepada orang yang tidak peduli atau tidak menanggapi secara
positif keluhan anda. Atau juga, jangan mendekati orang yang kira‐kira
malah akan mengkomoditaskan masalah anda.
Orang yang memberikan bantuan anda secara riil, misalnya tempat, uang,
barang, fasilitas, dan lain‐lain.
Orang yang bisa membimbing dan membina anda atau orang yang bisa
bersama dengan anda.
Anda mungkin sudah kerap mendengarkan lagu atau tembang (Jawa: Pujian)
Tombo Ati (Obat Hati) yang dinyanyikan oleh para dai atau penyanyi. Syair lagu
yang konon awalnya ditulis oleh walisongo itu mengandung pesan bahwa salah
satu obat hati adalah berkumpul dengan orang‐orang soleh (orang‐orang
positif). Kalau anda ingin menjadi orang baik, berkumpullah dengan orang baik.
Syarat untuk bisa berkumpul atau bertemu atau ditemukan dengan orang‐orang
yang baik adalah: anda harus lebih memperbaiki diri anda lebih dulu. Dari
kebiasaan, sulit sekali kita kedatangan orang yang baik kalau kita sendiri belum
menginginkan diri kita menjadi yang baik. Keinginan adalah pintu pembuka.
Karena itu Nabi bersabda: “Ibda’ min nafsik”. Mulailah dari dalam dirimu dulu.
MELIRIK “TEORI” HIJROH
“Jangan takut meninggalkan orang yang hanya memanfaatkanmu. Seorang
teman yang tidak bermanfaat ketika kesempitan melanda, jaraknya lebih dekat
dibanding dengan orang yang kamu anggap musuh.” (Imam Syafeʹi)
Kalau membaca siroh Nabi, ada satu istilah yang akrab kita kenal sampai
sekarang, yaitu hijroh. Oleh Sayyidina Umar, peristiwa penting itu kemudian
diabadikan dengan merumuskan Tahun Hijriah. Sepanjang perjuangan Nabi,
hijroh dilakukan sebanyak tiga kali.
Pertama, hijrah ke Habasyah (Ethiopia), di masa Raja Najasy (Negus) yang
dikuti 78 orang, termasuk di dalamnya: Usman ibn Affan dan istrinya, Abu
Huzaifah dan istrinya, Zubair ibn Awwam, Masʹab ibn Amir, Abdul al‐Rahman
ibn Auf dan Jaʹfar ibn Abi Thalib
Kedua, hijrah ke Taif. Hijrah kedua ini dilakukan oleh Nabi ditemani oleh Zaid
ibn Haritsah, dan menemui tokoh‐tokoh bani Tsaqif.
Ketiga, hijrah ke Yastrib (Madinah). Hijrah ketiga ini pertama kali diikuti oleh 70
orang sahabat, kemudian dengan cara sembunyi‐sembunyi susul‐menyusul
hingga akhirnya Nabi Muhammad dengan didampingi Abu Bakar Sidik
meninggalkan Mekah juga.
Apa alasan Nabi untuk menempuh cara hijroh ini? Secara kronologis, fenomena‐
fenomena yang mengantarkan Nabi pada keputusan hijrah ini adalah sebagai
berikut:
Embargo ekonomi, intimidasi, penyiksaan, pembegalan dan perlakuan buruk
lainnya yang dilakukan oleh kelompok mapan di Mekah terhadap Nabi dan
pengikut‐pengikutnya
Belum memiliki kekuatan (resources) yang secara rasional dapat digunakan
untuk menghadang berbagai perlakukan buruk itu
Kesungguhan pengikut Nabi dalam mempertahankan agamanya sampai
mereka bersedia menempuh perjalanan jauh dan berat
Munculnya peluang baru yang lebih bagus di tempat yang baru
Memberikan akses yang lebih mudah bagi orang luar yang ingin mendalami
islam
Hijrah ke Habasyah merupakan anjuran Nabi kepada para sahabatnya karena
beliau merasa tidak mampu melindungi mereka dari intimidasi kelompok
Mapan Makkah. Hijrah Nabi ke Taif juga dilatarbelakangi oleh intimidasi
kelompok Mapan yang sudah sangat melampaui batas kepada beliau, terutama
sejak wafatnya Khadijah (istrinya) dan Abu Thalib (pamanya). Kita tahu bahwa
Khadijah dan Abu Thalib adalah dua orang yang selama ini, karena wibawa
sosialnya yang tinggi, bisa melindungi Nabi dari teror fisik yang dilakukan oleh
orang kafir Mekah. Khadijah disegani oleh orang Mekah karena hartanya, dan
Abu Thalib disegani karena jiwa sosialnya.
Jika 70 orang sahabat Nabi yang ikut hijrah ke Ethiopia disambut secara
terhormat oleh raja Negus, meski provokator Mekah berusaha menghasut Raja
Negus untuk mengusir mereka, tapi hijrah Nabi ke Taif disambut dengan
cemoohan dan gangguang fisik dan bahkan membuat rasul berdarah. Sementara,
hijrah Nabi dan kaum Muslimin dari Mekah ke Madinah, di samping
dilatarbelakangi oleh intimidasi dari kaum Musyrik Mekah, pun juga didorong
oleh faktor‐faktor yang memberikan harapan akan terwujudnya ʺdunia baruʺ
yang lebih menjanjikan dibanding di Mekah.
Mungkin ada pertanyaan, apa hubungan antara hijrah dan mengatasi depresi?
Dua kalimat yang bisa menjelaskan ini adalah lingkungan dan keadaan. Seperti
yang sudah kita bahas, depresi itu timbul tidak harus selalu karena ulah kita.
Depresi timbul karena ulah orang lain dan juga karena “ulah” keadaan. Di
samping itu, keinginan kita untuk menyembuhkan diri dari depresi pun
terkadang terhalang oleh lingkungan (orang‐orang) dan keadaan. Apa yang
harus kita lakukan kalau begitu?
Dalam posisi di mana kita berada di tengah‐tengah lingkungan atau keadaan
yang benar‐benar depresif dan pada saat yang sama kita belum memiliki
kekuatan, power, atau resource untuk menghadangnya, ya saatnya untuk
memikirkan hijroh. Tidak ada untungnya kita mempertahankan diri di tempat
yang kira‐kira tidak memberikan ruang untuk memperbaiki diri. Sayyidina Ali
pernah berpesan seperti berikut:
“Merantaulah dari negerimu untuk mencari ketinggian dan berpergianlah. Di
dalam safar (bepergian) itu ada lima keuntungan yang akan anda dapatkan.
Pertama, menghilangkan keresahan atau depresi, kedua, mencari penghidupan
yang lebih bagus, ketiga, menambah ilmu, keempat, memperbaiki adab atau
peradaban hidup, dan kelima, menambah sahabat. Jika ada yang mengatakan
bahwa di dalam safar itu terdapat kehinaan, bencana, dan kesulitan, maka
kematian bagi seorang pemuda itu lebih baik dibandingkan dia tetap tinggal di
negeri hina diantara pendengki dan pengadu domba.”
Mempertahankan diri dalam posisi yang buruk dan itu kita jadikan sebagai dalih
untuk memperburuk diri sendiri, selain tidak menguntungkan, pun juga tidak
dibenarkan. Cak Nur pernah menulis pesan bahwa dalam keadaan bagaimana
pun kita tetap dituntut bertanggung jawab atas segala perbuatan kita, dan kita
tidak dibenarkan dengan gampang mencari dalih untuk tidak mencoba hal yang
terbaik dalam hidup ini. Sebab, dengan adanya akal dan pikiran yang telah
dikaruniakan Allah kepada kita, maka wajiblah kepada kita untuk selalu
berikhtiar mencari kemungkinan yang terbaik dalam hidup ini, biarpun untuk
itu kita harus berhijrah dari tempat asal kita. Dan ini menjadi salah satu sumber
dinamika orang yang benar‐benar beriman, yang tidak pernah berputus asa dari
Rahmat Allah.
“Nabi Ibrahim berkata: Tidak ada orang yang putus asa dari rahmat Tuhannya
kecuali orang‐orang yang sesat” (Qs. Al‐Hijr: 56).
Pertengahan tahun 2006, saya kebetulan menerima email dari seorang ibu di
Surabaya. Ibu ini adalah karyawan sebuah perusahaan besar di kota itu. Entah
gimana awalnya, Ibu ini lama‐kelamaan menghadapi lingkungan yang benar‐
benar dirasakan depresif. Ibu ini merasa dipojokkan sana‐sini. Perkembangan
karirnya dihambat. Atasan yang pro ke dia dan bisa melindungi dia sudah
dipindah‐tugaskan. Ada memang sebagian orang yang pro ke dia, tetapi orang‐
orang ini tidak memiliki kekuatan untuk mengubah lingkungan kerja. Sering
saya ingin hengkang saja tetapi belum tahu kemana. Sering juga saya berpikir
bahwa kalau tidak cabut dari tempat yang menyusahkan, saya tidak akan tahan
menghadapinya sendirian.
“Pak, apa yang sebaikanya saya lakukan?”, begitu Ibu itu mengakhiri kalimat
dalam suratnya.
Jika anda menghadapi situasi seperti yang dihadapi Ibu di atas, ada dua pilihan
yang bisa anda pertimbangkan. Berdasarkan teori hijroh dan teori karir, kedua
pilihan itu adalah:
SOBBO (Staying On But Building Option). Kita tetap menjalaninya atau tetap
bertahan di tempat itu tetapi kita membangun opsi‐opsi lain, mencari cara
lain, mencari pendekatan lain, mengatasi dengan cara yang lain,
berkompromi dengan cara yang lain, dan seterusnya.
POBBO (Push Out But Better Off). Kita keluar untuk mendapatkan yang lebih
baik, bukan asal keluar untuk lari dari masalah. Hijroh adalah strategi untuk
menemukan dunia baru yang lebih positif.
“Wah, Pak, itu kan tidak semudah membalik tangan?” Ini tidak usah kita bahas.
Kenapa? Tentu sudah pasti tidak semudah membalik tangan. Pasti akan ada
kendala atau hambatan yang tidak mudah. Hanya saja, ini adalah pilihan positif
yang bisa anda lakukan saat menghadapi situasi yang depresif. Imam Syafei
berpesan: “pergilah niscaya akan kau dapatkan pengganti dari apa yang hilang.”
Kebanyakan kita terlalu lama mempertahankan diri di tempat yang sudah
tertutup, padahal sudah ada tempat lain yang terbuka untuk kita.
Namun demikian, kalau melihat siroh Nabi lagi, meski Nabi pernah menempuh
cara hijroh ini, tapi Nabi hanya melakukannya sebanyak tiga kali semasa
perjuangan beliau yang dua puluh tiga tahun itu. Artinya di sini adalah, Nabi
tidak sedikit‐sedikit hijroh, tidak gampang memutuskan pindah atau mudah
bongkar‐pasang rencana. Hijroh diambil setelah dipikirkan masak‐masak dan
telah dilakukan berbagai cara untuk memperbaiki keadaan dengan tanpa hijrah.
Inipun pelajaran buat kita. Jangan sampai kita sedikit‐sedikit pindah, sedikit‐
sedikit meninggalkan tempat apalagi jika sampai meninggalkan masalah. Selain
merugikan, ini juga kurang bagus untuk kesehatan batin kita.
Untuk anda yang sedang menghadapi depresi, silahkan mempertimbangkan
kemungkinan hijroh dari tempat anda sekarang atau dari orang‐orang yang
mengelilingi anda sekarang. Tapi harus diingat beberapa hal di bawah ini:
Jangan sampai hanya dengan niat untuk lari dari masalah. Tujuan anda berhijroh
adalah untuk memperbaiki diri, untuk merebut peluang yang lebih bagus, untuk
menciptakan dunia baru yang lebih bagus. Kalau niat anda hanya ingin lari dari
masalah, biasanya malah akan banyak didatangi masalah.
Jangan sedikit‐sedikit hijroh. Hijrah adalah tahapan akhir setelah
menggunakan berbagai cara untuk memperbaiki keadaan atau hubungan.
Jangan sampai yang hijroh hanya badannya atau lahirnya semata. Banyak
orang yang hijroh ke tempat lain tetapi hidupnya tidak berubah. Ini karena
yang hijroh hanya badannya, bukan pikirannya atau batinnya. Jika anda
memutuskan untuk hijroh, putuskan juga progam perbaikian diri yang lebih
bagus. Perbaiki pengetahuan anda, tambahlah pengalaman anda, perbaiki
filsafat hidup anda, ubahlah kebiasaan anda, perluas pergaulan anda.
Jangan sampai anda berhijroh atas dasar keputusan yang salah. Ciri‐ciri
keputusan yang salah adalah keputusan yang kita ambil karena hawa nafsu,
karena ikut‐ikutan orang lain, atau karena kedangkalan pengetahuan anda
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul‐Nya, maka hijrahnya
kepada (keridhaan) Allah dan Rasul‐Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena
dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR Bukhari Muslim)
BOX
UCAPAN YANG BAGUS
UCAPAN YANG TIDAK BAGUS
Ini bukan untuk orang yang menderita depresi, tetapi untuk orang yang
didatangi oleh orang yang sedang depresi. Ada ucapan yang bagus kita katakan
pada mereka tetapi ada juga yang malah tidak bagus kita katakan. Berdasarkan
hasil studi, ucapan yang bagus itu adalah ucapan yang seperti di bawah ini atau
yang semakna dengan yang di bawah ini:
Ucapan yang bagus adalah ucapan yang mengajak si penderita untuk bisa
menerima kenyataan pahit ini dan mendorongnya untuk menempuh cara yang
positif dalam menghadapinya. Ini antara lain seperti berikut:
“Saya peduli pada anda”
“Saya sayang anda”
“Anda tidak sendirian menghadapi ini. Ada saya yang siap membantu anda”
“Saya tidak akan meninggalkan anda seperti itu.”
“Kita bisa menghadapi ini bersama.”
“Anda tidak pantas menjadi orang lemah.”
“Jika kita berhasil menghadapi situasi ini dengan cara yang positif, maka ke
depannya ini akan bagus buat kita.”
“Anda masih punya banyak pilihan dan alternatif yang bisa anda lakukan”
“Saya bisa memahami perasaan anda, saya bisa memahami apa yang telah anda
lakukan, tapi saya juga siap membantu anda jika itu anda inginkan.”
‘Saya merasa senang bisa berbagi dengan anda.”
“Anda adalah orang penting atau berguna.”
“Pilihan‐pilihan apa saja yang masih bisa anda lakukan?”
“Siapa saja yang masih mungkin untuk anda mintai bantuan?”
“Apa saja yang masih bisa anda lakukan?”
Dan lain‐lain.
Adapun ucapan yang tidak bagus adalah ucapan yang mengajak si penderita
untuk menolak kenyataan, mengabaikan kenyataan atau “me‐ninabobok‐kan” si
penderita dengan kalimat‐kalimat yang tidak realistis. Ini misalnya saja seperti
berikut ini:
“Ah, gitu aja sedih”
“Kenapa anda murung dan sedih kayak begitu?”
“Tenang aja, sabar aja, anggap aja itu sepele” (Ini tidak mengajak orang untuk
ikhtiyar, memilih yang bagus)
“Memang hidup ini begini”
“Maafkan aja dia”
“Saya dulu menghadapi situasi yang sulit juga tapi saya tidak seperti kamu.”
“Ada banyak orang yang masalahnya lebih berat dari anda.”
“Kamu sih dulunya begitu”
“Saya sudah banyak nolong kamu tapi kamunya masih gitu‐gitu aja” (Kalau
anda tidak mau membantu ya sebaiknya tidak usah mengatakan seperti itu)
“Berhentilah merasakan kesedihan yang anda alami (kesedihan tidak bisa
dihentikan)
“Kamu harus cepat bangkit dong”
“Itu salahmu sendiri”
“Itu karena kamu jauh dari Tuhan”
“Kamu tidak salah tetapi dia yang salah.”
‘Kayaknya hidup kamu selalu begitu deh”
“kapan hidupmu akan berubah?”
Dan lain‐lain
BOX
LIMA KARAKTERISTIK BAHASA YANG BAGUS
1. Bahasa dan ungkapan yang jelas maksudnya dan sasarannya, tidak abu‐abu,
tidak membingungkan, tidak berupa ungkapan kamuflase belaka, dan
seterusnya.
2. Bahasa dan ungkapan yang benar, akurat, tidak mengandung tipuan atau
kebohongan belaka (tanpa bukti nyata, bukti dalil aqly atau naqly)
3. Bahasa dan ungkapan yang pantas untuk orang tertentu, situasi tertentu atau
efek tertentu. Pantas di sini juga mengandung pengertian sesuai dengan etika
sopan santun antarmanusia.
4. Bahasa dan ungkapan yang lembut, bukan lemah. Lembut di sini artinya
“sampai ke hati” orang yang kita ajak bicara, penuh perhatian dan
kepedulian, tidak kasar, tidak bernada menggertak atau mengancam orang
lain. Kelembutan adalah jalan untuk bisa dipahami orang lain. Kelembutan
mengalahkan kekerasan.
5. Bahasa dan ungkapan yang memuliakan orang lain, bukan yang menghina,
bukan yang bernada merendahkan, meremehkan, menyakiti, dan
menganggap orang lain tidak penting atau rendah.
BOX
ORANG‐ORANG YANG DICINTAI ALLAH
Berdasarkan hadis Nabi, berikut ini adalah orang‐orang yang dicintai Allah:
1. Orang yang teliti dan tekun
2. Orang yang selalu memberikan bantuan kepada orang yang malang
3. Orang yang lembut (lawan kasar)
4. Orang yang Peramah
5. Orang yang taat
6. Orang yang mempunyai pekerjaan
7. Orang yang rendah hati
8. Orang yang selalu mengulangi do’anya
9. Orang yang menunaikan fardlu dan sunnat
10. Orang yang mensyukuri nikmat
11. Orang yang kuat keyakinannya
12. Orang yang tidak rewel
13. Orang yang penyantun
14. Orang yang mengutamakan hal‐hal yang penting
15. Orang yang memuji syukur kepadan‐Nya
16. Orang yang mencintai anaknya
17. Orang yang berakhlak tinggi
18. Orang yang kuat imanya
19. Orang pemaaf
20. Orang yang kekal dalam kebiasaanya yang baik
21. Orang yang suka memberi nasihat
22. Orang yang suka berbuat kebajikan
23. Orang yang adil dalam mengelola kekuasaan (penguasa yang adil)
24. Orang yang shalat, berbakti kepada orangtua dan jihad (bekerja keras)
25. Orang yang selalu dzikir kepada Allah
26. Orang yang suka menolong sesama manusia
27. Orang yang selalu menggembirakan sesamanya
28. Orang yang tidak lancang berbicara
29. Orang yang mendasarkan perbuatanya karena Allah
30. Orang yang diberi nama “hamba Allah”
31. Orang yang ucapan dan kata‐katanya baik
32. Orang yang memiliki keterampilan
33. Orang yang memberikan bantuan belajar
34. Orang yang berakhlak luhur
35. Orang yang menampung dan mendidik anak yatim
* Dari berbagai sumber
EPILOG
DEPRESI DAN REFORMASI DIRI
Darimana depresi muncul?
Apa yang menyebabkan kita sampai menderita depresi? Sejauh depresi itu
diartikan sebagai sebuah kondisi batin yang tertekan dalam waktu panjang
(stress berkelanjutan) dan mengakibatkan hilangnya harapan hidup, makna
hidup, motivasi berprestasi, dan kepercayaan‐diri (losing mood and confidence),
tentu saja sebab‐sebabnya banyak. Namanya juga orang hidup. Realitas
kehidupan ini terkadang lebih kejam dari kekejaman yang sanggup kita
bayangkan.
Secara garis besar kita bisa mengatakan bahwa depresi bisa terjadi karena ada
stimuli dari keadaan eksternal yang berubah ke arah yang lebih buruk dan itu di
luar kontrol kita. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kondisi emosi atau
psikologis masing‐masing orang turut menentukan apakah sesuatu itu dapat
menyebabkan depresi, sejauh mana tingkat depresinya serta seberapa besar
kemampuan orang itu untuk mengatasi masalah (hingga tidak sampai depresi)
atau seberapa besar kemampuan orang itu untuk mengatasi depresinya.
Katakanlah di sini misalnya kematian orang‐orang tercinta atau bencana alam
yang menyisakan kenangan‐kenangan traumatik. Bila ini berlanjut ke tingkat
yang lebih tinggi dan menyebabkan kita kehilangan mood, kehilangan gairah
untuk melangkah, kehilangan kepercayaan diri, maka trauma itu berubah
menjadi depresi. Kita kehilangan daya tarik untuk menjadikan hidup kita
menjadi lebih hidup dan kehilangan semangat untuk menjalankan aktivitas
positif.
Depresi juga bisa muncul akibat perlakuan orang lain yang buruk pada kita.
Seorang karyawan akan merasa tertekan apabila mendapati kondisi kerja dan
gaya manajemen di tempat kerja yang menekan (stressful). Jika dia sudah
berusaha untuk mencari pekerjaan lain ke mana‐mana namun belum
mendapatkan dan ditambah lagi dengan cara yang tidak kreatif dalam
menghadapi realitas semacam itu, mungkin saja si karyawan itu akan terkena
depresi. Depresi bisa tumbuh dari stress kerja yang berlangsung lama.
Depresi bisa juga terjadi pada seseorang setelah dianiaya orang lain, misalnya
pemerkosaan atau kekerasan rumah tangga. Peristiwa buruk itu akan membuka
kemungkinan terhadap depresi. Atau juga bisa terjadi pada orang yang sehabis
terkena kebijakan PHK. Kehilangan pekerjaan dapat membuat kita stress
(kehilangan status, kehilangan sumber penghasilan, dst) dan bila kita sudah
mencari pengganti pekerjaan itu kemana‐mana dan ternyata belum
membuahkan hasil, stress itu akan berubah menjadi depresi. Depresi di sini
adalah tekanan batin yang serius ditandai dengan kesedihan dan kekosongan
(feeelings of sadness or emptiness).
Depresi juga muncul karena ulah kita sendiri. Ulah di sini ada yang berbentuk
penyimpangan / pelanggaran atau ada yang berbentuk pengabaian. Hampir
seluruh tindak penyimpangan atau pelanggaran atas apa yang benar di dunia ini
dalam skala / ukuran yang besar, umumnya akan melahirkan konsekuensi yang
“uncontrollable”. Bila konsekuensi buruk itu terjadi dan merembet kemana‐
mana dan semuanya menjadi pilihan buruk buat kita, ini juga bisa menimbulkan
depresi. Karena itu banyak penderita NAPZA yang berkesimpulan bahwa
kesembuhannya itu berkat mukjizat. Ini karena sedemikian sulitnya
membayangkan bagaiman melepaskan diri dari ketergantungan dan dari
konsekuensi buruk lainnya yang terkait dengan itu.
Demikian juga dengan pengabaian. Pengabaian terhadap diri sendiri, misalnya
punya potensi tetapi tidak dikembangkan, punya pekerjaan tetapi tidak
disyukuri (dijadikan lahan untuk meningkatkan diri), punya resource tetapi
tidak digunakan, dan lain‐lain, ini juga bisa menimbulkan depresi. Jadi, bukan
pengabaiannya yang menyebabkan depresi tetapi konsekuensi pengabaian
itulah yang membuat orang menjadi depresi. Kita mulai merasa tidak ada
artinya bagi diri sendiri dan orang lain. Ketika perasaan ini terus menggunung,
ya lama kelamaan akan menimbulkan depresi. Karena itu ada pendapat ahli
yang menyatakan bahwa depresi bisa saja terjadi tanpa harus didahului
peristiwa buruk yang tragis dan dramatik. Problem personal yang kecil‐kecil
namun diabaikan bisa saja akan mengundang depresi..
Hindari Tujuh Hal
Meski kita ingin segera dapat mengatasi depresi, tetapi tak jarang kita malah
mempraktekkan hal‐hal yang memperparah depresi itu. Ini antara lain bisa
dijabarkan sebagai berikut:
1. Hanya mencari‐cari tip, saran atau tehnik yang jitu untuk mengatasi depresi.
Tip dari buku, saran dan tehnik dari orang lain itu sangat kita butuhkan
tetapi posisinya di sini bukan sebagai penentu, melainkan sebagai pembantu
(bantuan. Kita membutuhkan semua itu tetapi tidak boleh mengandalkan
pada semuanya. Artinya, tip dan saran itu akan berguna ketika kita dalam
keadaan sedang berusaha untuk mengatasi depresi dan tidak berguna kalau
kita duduk dan diam saja.
2. Tidak percaya, menolak atau skeptis terhadap saran, pendapat atau bantuan
orang lain. Ini adalah bentuk padanan yang ekstrim dari yang pertama.
Menutup diri, menutup‐nutupi, melecehkan semua orang atau menjauhi
orang kerapkali justru akan membuat kita semakin ‘depressed’ dengan
keadaan kita.
3. Hanya menyalahkan keadaan atau orang. Mungkin saja yang membuat kita
depresi itu adalah dunia ini yang telalu kejam atau orang lain. Tetapi akan
malah berbahaya kalau yang kita ingat dan yang kita lakukan adalah hanya
mengutuk dunia dan mengutuk orang lain. Harus ada inisiatif dari dalam
diri kita untuk mengobati diri sendiri.
4. Kurang kreatif dalam menemukan cara atau terlalu “taat” pada rutinitas
yang biasa‐biasa. Ini juga bisa membuat depresi itu makin mendalam. Ada
saran agar kita membagi aktivitas menjadi tiga: a) aktivitas positif yang wajib,
b) aktivitas yang untuk fun atau pleasurable, dan c) aktivitas yang untuk
menabur kebajikan pada orang lain seperti membantu atau menyambung
hubungan.
5. Membiarkan munculnya definisi diri negatif, misalnya saja: saya sudah tidak
punya apa‐apa lagi, saya muak melihat diri saya, hidup saya sudah hancur
dan tidak bisa diperbaiki lagi, dan seterusnya. Ini adalah definisi atau
kesimpulan atau label tentang diri sendiri yang kita buat sendiri. Jika ini
terus berlanjut akan mempersulit upaya recovery.
6. Menolak realitas dengan cara yang merugikan. Realitas itu kalau ditolak
dengan tujuan menolak yang asal menolak (denial), ini akan memperparah
pertengkaran yang membuat depresi itu makin mencengkeram. Tetapi bila
kita terima dengan pasrah dan kalah (larut dan hanyut), ini juga tidak
menyembuhkan. Yang diharapkan adalah menerima untuk memperbaiki.
Seperti yang ditulis Dr. Felice Leonardo Buscaglia, “ Trauma yang abadi di
adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan.”
7. Menganut paham perfeksionis yang tidak rasional. Dari pengalaman
sejumlah ahli dalam menangai penderita depresi, konon yang menghambat
upaya recovery adalah ketika seseorang berpikir bahwa dia harus bebas dari
depresi seketika itu dan langsung, tidak usah repot‐repot. Mengatasi depresi
butuh proses yang berkelanjutan, dan jika kita menolak proses itu bukan
malah cepat tetapi malah semakin lama.
Tujuh hal di atas dapat kita gunakan untuk menjelaskan realitas di mana ada
orang yang semakin buruk langkahnya, makin buruk hubungannya dan makin
buruk caranya dalam menghadapi hidup saat depresi. Anda mungkin punya
teman, keluarga atau tetangga yang malah semakin tertutup, semakin tidak
persuasif, semakin tidak bijak, semakin sempit, semakin tertutup dan sejumlah
“semakin” yang negatif lainnya.
Tetapi ada juga sekelompok orang yang mulai menunjukkan bukti‐bukti
perbaikan diri, perbaikan hubungan dan perbaikan cara dalam menghadapi
realitas. Semakin jelas langkah yang ditempuh, semakin open dan bijak, semakin
bisa memilih orang, semakin ramah, semakin soleh hidupnya, dan seterusnya.
Sebisa mungkin kita perlu berjuang untuk menjadi manusia kelompok kedua.
Agenda Reformasi
Secara umum, agenda reformasi itu bisa kita buat berdasarkan poin‐poin berikut
ini:
1. Membangun citra diri positif
Citra diri berasal dari bagaimana kita menyimpulkan diri sendiri atau beropini
tentang diri sendiri. Yang positif membuahkan citra positif. Untuk membangun
yang positif ini diperlukan tiga hal:
Anda perlu menciptkan definisi, opini atau kesimpulan yang positif
Anda perlu melawan munculnya opini, definisi atau kesimpulan negatif
dengan cara menghentikan, mengganti atau membatalkan
Anda perlu menciptakan alasan‐alasan faktual, bukti nyata untuk
mendukung kesimpulan positif yang Anda ciptakan
Sedikit tentang alasan faktual itu, saya ingin memberi contoh misalnya saja Anda
berkesimpulan bahwa hidup Anda memang masih bermakna (untuk diri sendiri
dan untuk orang lain). Kesimpulan ini lebih positif ketimbang Anda punya
kesimpulan yang sebaliknya. Tetapi jika yang Anda lakukan hanya sebatas
merasa atau menyimpulkan (tanpa diiringi dengan perbuatan dan hasil atau
pembuktian bertahap), lama kelamaan kesimpulan Anda ini akan kalah oleh
fakta yang ada tentang diri Anda. Jangan pernah berpikir bahwa perbaikan diri
itu bisa ditempuh dengan cara tidak melakukan sesuatu. Forget it.
2. Menjalankan agenda perbaikan berkelanjutan yang realistis
Kesalahan kita saat terkena depresi adalah: kita hanya merasakan bagaimana
depresi itu tetapi kurang berpikir tentang apa saja yang masih bisa kita lakukan
untuk memperbaiki diri di masa depan. Kita tenggelam ke dalam masa lalu yang
buruk dan lupa meng‐imajinasi‐kan masa depan yang lebih bagus. Padahal,
masa lalu itu sudah tidak bisa diubah. Padahal, masa depan itu masih “open”
buat kita. Agar ini tidak terjadi, Anda boleh memilih agenda perbaikan di bawah
ini:
Anda merencanakan program atau jadwal tentang apa yang perlu anda
lakukan dan apa yang perlu Anda hindari agar hidup Anda menjadi lebih
bagus di hari esok berdasarkan keadaan Anda.
Anda mencanangkan target yang benar‐benar ingin Anda raih sebagai bukti
adanya perbaikan dalam diri Anda, misalnya mendapatkan pekerjaan,
mendapatkan orang yang lebih bagus, mendapatkan tempat yang lebih
bagus, dan seterusnya.
Anda merumuskan tujuan jangka pendek atau panjang yang ingin Anda
wujudkan, seperti misalnya menyelesaikan kuliah, meningkatkan
penguasaan bidang, menambah pengetahuan atau skill, dan lain‐lain
Tiga hal di atas perlu dilakukan dengan catatan harus realistis: bisa dilakukan
dari mulai hari ini, dengan menggunakan sumber daya yang sudah ada, dan
dari lokasi hidup di mana Anda saat ini berada. Hindari membuat program atau
target yang “mengkhayal” atau hanya berfantasi atau terlalu tinggi sehingga
tidak bisa dilakukan dan tidak bisa diraih.
3. Menggunakan ketidakpuasan
Saat depresi, pasti kita tidak puas dengan hidup kita. Ini bisa positif dan bisa
negatif, tergantung bagaimana kita menggunakan. Bagaimana supaya bisa
positif? Salah satu caranya adalah dengan menggunakan ketidakpuasan itu
sebagai dorongan / motivasi unntuk melakukan sesuatu (menjalankan program,
meraih target atau tujuan). Anda bisa menggunakan ketidakpuasan atas masa
lalu dan hari ini sebagai pemacu untuk memperbaiki atau mengubah hari esok.
Jika PHK telah membuat Anda depresi, jadikan itu sebagai motivasi untuk
memperluas jaringan, memperbaiki skill, membangun karakter yang lebih
positif, dan seterusnya. Ini jauh lebih positif ketimbang kita hanya merasakan
depresi, mengasihani diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
4. Memperbaiki / memperluas hubungan
Wilayah hubungan yang perlu diperbaiki adalah: a) hubungan dengan diri
sendiri: control diri, meditasi, dialog diri, dll, b) hubungan dengan orang lain
dan c) hubungan dengan Tuhan (meningkatkan iman). Memperbaiki hubungan
dengan diri sendiri akan membuat kita cepat mengontrol atau menarik diri dari
keadaan yang tidak menguntungkan kita. Kalau kita sadar bahwa kita sedang
depresi dan sadar bahwa kita harus segera mengambil tindakan, tentunya ini
akan beda persoalannya.
Memperbaiki hubungan dengan manusia akan membantu usaha yang kita
lakukan dalam mengatasi depresi. Kita tetap harus ingat bahwa manusia itu bisa
digolongkan menjadi dua: a) ada manusia yang menjadi sumber depresi buat
kita, dan b) ada manusia yang menjadi bantuan solusi atas depresi. Yang kita
butuhkan (sebanyak‐banyaknya) adalah manusia kelompok kedua. Jangan
sampai kita menjauhi semua manusia, trauma kepada semua manusia, atau
tidak percaya pada semua manusia.
Bagaimana memperbaiki hubungan dengan Tuhan? Ada banyak cara untuk
memperbaikinya, antara lain: a) meningkatkan iman, b) menjalankan ajaran
agama yang kita pilih (formal dan non‐formal) sampai benar‐benar kita merasa
dan meyakini ada semacam “kebersamaan”. Kebersamaan di sini bukan
kebersamaan yang “halusinasi” (tidak berdasar dan tidak berefek), tetapi
kebersamaan yang mendorong kita untuk melakukan hal positif dan
menghindari hal negatif. Kebersamaan seperti ini akan memperkuat dan
mencerahkan.
5. Mengganti paham “perfection” menjadi “excellence”
Dengan bahasa yang sederhana dapat dijelaskan bahwa perfection adalah
menuntut kesempurnaan (dari orang lain, dari diri sendiri dan dari dunia ini).
Sementara, excellence adalah mengusahakan kesempurnaan secara bertahap,
perbaikan berkelanjutan. Perfection lebih dekat pada keyakinan yang tidak
rasional. Keyakinan seperti ini lebih mudah terkena depresi pada saat kita ingin
mengatasi depresi, misalnya saja kita tidak mau gagal lagi (kemungkinan untuk
gagal itu selalu ada), kita anti toleransi terhadap kelemahan orang lain (semua
orang punya kelemahan), dan seterusnya.
Menurut Susan Dunn, MA, perfeksionis dapat mengakibatkan hal‐hal buruk
yang antara lain adalah: a) dapat mengantarkan kita pada isolasi diri, b)dapat
mengantarkan kita menjadi orang yang takut menghadapi resiko hidup, c) dapat
mengantarkan kita pada kesulitan dalam membuat keputusan atau sasaran
hidup yang tepat, d) dapat mengantarkan kita pada kesalahan dalam menilai
diri (overestimate), e) dapat mengantarkan kita menjadi orang kerdil yang sulit
mempercayai orang lain. Selamat mempraktekkan! (AN. Ubaedy, www.e‐
psikologi.com, 11/11/06)
DAFTAR BACAAN
1. Al‐Qur’anul karim
2. Attitude of a Muslim towards Depression, Muhammad Zafar Adeel,
http://www.renaissance.com.pk/, July 2002
3. Competency‐Based Human Resource Management, David D. Dubois,
William J.Rothwell, Deborah Jo King Stern, Linda K.Kemp, Davies‐Black
Publishing, 2004
4. Fathurrohaman Lithoolibi aayatil Qur’an, maktab Dahlan, Indonesia
5. Feeling Good: The new mood therapy, David Burns, Avon Books. (1980).
6. Ihya Uluumud Din, Al‐Ghazali, vol 1‐ 4, Maktabah al‐ʹIlmiyah, Beirut, 1998
7. IQ, EQ, CQ, & SQ, Kriteria Sumberdaya Manusia Berkualitas, Prof. Dr. dr,.H.
Dadang Hawari, Psikiater, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
8. Kumpulan artikel Psikologi, www.e‐psikologi.com, PT. Harmawan
Consulting, Jakarta.
9. Lentera Hati, Prof. Quraish Shihab, MA, Penerbit Mizan, Bandung, 1994
10. Meraih Hidup Bermakna, Hanna Djumhana Bastman, M.Psi, Paramadina,
1996
11. Business Revolution, Khoerussalim Ikhs., Pustaka Al‐Kautsar, 2006
12. Meraih Kebahagiaan Dengan Bertasyawuf, Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA,
Paramadina, 2005
13. Menyingkirkan Belenggu Diri, You can do more, you can be more, you can
have more, AN. Ubaedy, Khilafa, Jakarta, 2006
14. Min Akhlaaqin Nabi, Al‐Haufi, Lajnah at‐Taʹriifil Islam, 1996
15. Overcoming Depression and Finding Happiness, Chuck T. Falcon, Get
Mental Help, Inc., 2001‐2003
16. Psychology & Life, Philip G. Zimbardo, Scott, Foresman & Company, 1979
17. Renungan Renungan Sufistik, Membuka Tirai Kegaiban, Jalaluddin Rahmat,
Penerbit Mizan, Bandung, Cet. Ke‐III, 1995
18. Riyadussholihin, Imam Abu Zakariya Yahya, Mu’assasah Risalah, 1992:
Beirut
19. Six Simple Steps to Help Fight Depression, Richard OʹConnor, PhD, Get
Mental Help, Inc., 2001‐2003
20. Strategy for Success, Jim Dorman & Jhon Maxwell, Injoy, Inc, 1998
21. Tips for Managing Your Depression, Josepha Cheong, M.D., Michael Herkov,
Ph.D., and Wayne Goodman, M.D., Get Mental Help, Inc., 20 Nov 2000
22. The Career Depression Syndrome, The 3 stages of the Career Depression
Syndrome, Friedland & Marcus, Chicago, 2004
23. Taisiir al‐‘Aly al‐Qodiir, Ikhtishor Tafsiir Ibn Katsiir, Muhammad Nasiib al‐
Rifaa’I, Maktabah al‐Ma’aarif, 1988, Riyad
24. The Unblocked Manager, Dave Francis and Mike Woodcock, Gower
Publishing, 1982
25. The Alchemy of Happiness, Kimiya‐e‐Saʹadat, Al‐Ghazali, Ashraf
Publication, Lahore, 1979.
26. Understanding People: model & concept, Walton C. Boshear & Karl G.
Albrecht, Unicersity Associates, Inc, California, 1977
27. Up is Not the Only Way, Beverly L. Keys, American Society for Training &
Development: 1996
28. What Is Depression (Major Depression)?, Derek Wood, RN, BC, MS, Get
Mental Help, Inc., 2001‐2003
29. When Perfect Isnʹt Good Enough, Susan Dunn, MA., www.selfgrowth.com
30. Conscience and Escape From Oneʹs Own Conscience, www.mhnnet.org,
31. You Can Work Your Own Miracle”, Napoleon Hill, Napoleon Hill
Foundation (NHF), USA 1971
TENTANG PENULIS
AN. Ubaedy, lahir di Bojonegoro Jawa Timur. Memulai pendidikan dari
pesantren di daerahnya dan terakhir di Pondok Modern Gontor (1993).
Melanjutkan di International Corresspondence Schools (ICS), Singapore, in
Business Management (1996). Aktif mengikuti berbagai kajian tentang
pembelajaran‐diri (Self‐learning) di dalam dan di luar negeri. Mulai berkarir di
perusahaan “Career ‐ Study Consulting” sejak tahun 1996‐2003 di Jakarta. Saat
ini, bergabung dengan beberapa perusahaan konsultan ternama di Jakarta dan
menulis buku berseri, antara lain tentang: Serial Seni Pembelajaran Diri (self
learning series), Serial Refleksi Qur’ani (Qur’anic reflection), Serial Kajian
Orang‐orang Berprestasi.
Aktif menulis kolom tentang SDM di beberapa media, antara lain di:
www.e‐psikologi.com,
www.jimsfoundation.com,
Majalah Manajemen
Majalah Intra
Majalah SWA
Majalah Eksekutif
Majalah Pengusaha
Majalah HRD
Majalah MDI (Management Development International)
Majalah Modal
Majalah Amanah
Majalah Noor
Majalah Human Capital
Dan lain‐lain
Aktif juga menjadi nara sumber siaran, ceramah pengembangan diri, seminar
SDM dan pelatihan. Bersama tim, melakukan survei, riset, dan studi tentang
pembelajaran mental terhadap sejumlah profesi: eksekutif, pengusaha, atlet,
musisi, dan tokoh publik.