Anda di halaman 1dari 3

PERKEMBANGAN TRADISI BARI’AN DI CAKRU TAHUN

1980 - 2009

KERANGKA BERFIKIR

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Antropologi

Oleh :
ARI YOGO PRASETYA
NIM 060210302230

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNEVERSITAS JEMBER
2009
PERKEMBANGAN TRADISI BARI’AN DI CAKRU

TAHUN 1980 - 2009

Tradisi bari’an merupakan tradisi nenek moyang yang telah di wariskan


secara turun temurun pada anak cucu mereka. Pada dasarnya bari’an merupakan
acara kenduri yang di adakan pada waktu hari raya idul fitri tiba, jadi ini
merupakan tradisi orang Islam. Bari’an sendiri ditujukan untuk mengucap syukur
pada Yang Kuasa karena bisa melalui bulan puasa dengan baik dan masih sempat
merasakan hari raya. Selain itu bari’an juga ditujukan untuk berkumpul dengan
masyarakat lain. Bari’an diadakan dalam satu lingkungan biasanya tingkat RT,
yang acaranya dilakukan pada malam hari tepatnya setelah magrib di tempat
terbuka (jalan, lapangan atau yang lain). Ini merupakan salah satu keunikan
bari’an dimana yang biasanya kenduri dilakukan di dalam rumah tetapi bari’an
diadakan di tempat terbuka (diluar rumah). Masing-masing kepala keluarga
membawa berkat yang di sebut ambeng terdiri dari nas, lauk pauk, serta kue
didalamnya. Setelah sampai pada tempat acara ambeng tersebut diletakkan di
tengah, dan kemudian duduk bersila di bawah. Acara inti berlangsung singkat
kurang lebih 15 menit diisi do’a-do’a pada Allah SWT serta ucapan syukur
padaNya yang kemudian dilanjutkan berbincang-bincang biasanya seputar
masalah pekerjaan, ini untuk mengakrabkan diri antar tetangga yang pada siang
harinya tidak sempat untuk berkumpul karena sibuk pada pekerjaannya masing-
masing. Setelah acara selesai para peserta mengambil ambeng orang lain yang ada
di tengahnya sedangkan ambengnya sendiri diambil oleh orang lain begitu
seterusnya pada peserta lain. Jadi pada intinya saling bertukar ambeng, ini untuk
merasakan apa yang dimakan orang lain. Dimana pada kehidupan sehari-hari apa
yang kita makan tidak sama dengan tetangga kita.

Rasa solidaritas yang tinggi muncul dari tradisi bari’an ini. Tidak ada lagi
rasa perbedaan sosial, perbedaan derajat, pangkat atau apapun, semuanya sama
tidak ada yang membedakan, ini merupakan simbol dari duduk bersila dibawah.
Apa yang kita rasakan harus dirasakan oleh orang lain juga, saling berbagi,
meruapakan simbol dari saling tukar menukar ambeng.

Pada perkembangannya bari’an tidak hanya dilakukan pada waktu hari raya,
masyarakat mennggap bari’an penting untuk diadakan pada acara-acara hari besar
lainnya. Tahun 1990 bari’an juga diadakan untuk menyelamati desa yang
waktunya tidak tentu tapi diadakan setahun sekali. Masyarakat berdo’a untuk desa
mereka agar tidak terjadi bencana, atau konflik. Berharap semuanya berjalan
dengan lancar, aman dan tentram tanpa adanya gangguan didalamnya.

Tahun 2000 tradisi bari’an berkembang lagi, kali ini untuk acara hari besar
Islam lainnya, misalnya saja kelahiran Nabi Muhammad SAW, menjelang bulan
puasa, Idul Adha, dll. Masyarakat lebih mengembangkan tradisi bari’an ini
dengan do’a pada Allah SWT, dimana do’a atau ucapan syukur yang diadakan
bersama ini tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Fitri tiba tetapi juga pada hari-
hari besar Islam lainnya.

Selanjutnya bari’an juga diadakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun


Republik Indonesia, tradisi ini mulai dilakukan tahun 2004. Dimana pada waktu
itu banyak sekali terjadi bencana, konflik pada negri ini. Melihat kenyataan ini
masyarakat prihatin terhadap bangsa ini sehingga disiasati dengan bari’an ini.
Mereka berdo’a untuk bangsa ini agar tidak terjadi bencana alam yang
berkelanjutan, konflik,aman, tentram, agar semuanya makmur.

Pada tahun 2007 sampai sekarang bari’an dilaksanakan terus pada cara-acara
tersebut diatas. Tata cara bari’an sendiri tidak mengalami perubahan yang cukup
berarti, hanya saja pada saat ini kue-kue ataupun lauk pauk yang ada di dalamnya
yang dahulu di buat oleh tangan sendiri sekarang di ganti yang lebih efisien,
misalnya saja mie instan, atupun snack-snack yang ada di pasaran. Ini menandai
adanya akulturasi oleh teknologi, masyarakat lebih suka yang efisien tanpa
mengeluarkan biaya yang banya. Tetapi apapun itu tradisi ini tetap berlangsung
dan harus, agar masyarakat lebih akrab satu dengan yang lain selain tujuan intinya
yaitu do’a dan ucapan syukur pada Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai