Menurut Stenberg, cinta adalah sebuah kisah yang dituliskan oleh setiap
orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat, dan perasaan seseorang
terhadap suatu hubungan. Kisah ini memengaruhi bagaimana orang bertindak dan
bersikap dalam sebuah hubungan. Sedangkan menurut Sir Cary Cooper, seorang
psikolog dari University of Manchester, Jatuh cinta merupakan sebuah peristiwa
hidup yang penting dan memiliki efek fisiologis dan emosional yang mendalam
bagi individu. Dalam hal ini system kekebalan tubuh, hormon serta faktor lain ikut
terlibat (Murray DR, 2018). Sedangkan cinta dalam (Hendrick, 1992), tidak ada
satupun fenomena yang dapat menggambarkan bagaimana itu cinta. Pada akhirnya
cinta merupakan seperangkat keadaan emosional serta mental yang kompleks, dan
pada dasarnya tipe cinta yang dialami tiap individu berbeda bentuk dan kualitasnya.
Ada empat macam hormon yang aktif setelah menerima feromon, yaitu
phenyletilamine (PEA), dopamin, serotonin, dan norepinephrine. Hormon
phenyletilamine (PEA) merupakan hormon yang paling berperan dalam
menumbuhkan ketertarikan terhadap objek yang dicintai. PEA merupakan
semacam amphetamine yang diproduksi oleh tubuh dari hasil sekresi melalui sistem
saraf dan aliran darah yang menciptakan respon yang setara dengan narkotika.
Hormon phenyletilamine (PEA) berperan dalam membuat jantung berdebar-debar,
tangan berkeringat, dan hati merasakan kegembiraan ketika bertemu dengan orang
yang dicintai. Sekresi hormon PEA bersamaan dengan sekresi dopamine dan
neropinephrine yang terjadi pada saat orang jatuh cinta (Susanto, 2017).
Cinta diatur oleh sisitem endokrin. Faktor yang berperan dalam cinta dan
keromantisan ialah sistem oksitosin, serotonin, kortisol, dan hormon lainnya.
Faktor pertumbuhan saraf dan testosteron. Hormon dopamin berinteraksi dengan
hormon lain seperti oksitosin dan vasopresin dan menjadikan cinta sebagai
pengalaman yang menyenangkan. Neuropeptida Oksitosin dan vasopressin
berkontribusi pada pemrosesan isyarat sosial yang diperlukan untuk pengakuan
individu. Zat lain yang terlibat dalam cinta dan keromantisan adalah neurotrasmitter
serotonin. Penipisan tingkat sentral serotonin ditemukan pada tahap awal cinta dan
keromantisan seperti yang terjadi pada gangguan OCD, depresi, dan kecemasan.
Faktor-faktor neuroendokrin, oksitosin dan vasopresin memainkan peran penting
dalam ikatan pasangan dan cinta. Neuropeptide oksitosin secara evolusioner
dikaitkan dengan pembentukan ikatan pasangan pada beberapa spesies melalui
interaksi dengan sistem penghargaan dopamin otak. Vasopresin dikaitkan dengan
mobilisasi fisik dan emosional, dan mendukung kewaspadaan yang dibutuhkan
untuk saling menjaga pasangan. Vasopresin dan oksitosin ini dilepaskan secara
bersamaan di otak (Francesco & Cervone, 2014).
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, jatuh cinta tidak dapat dipandang
sebelah mata hanya dari produktivitas hormon, prinsip pengukuran aktivitas selama
cinta berlangsung juga dapat dilihat dengan mengukur aktivasi otak. Pada saat
individu jatuh cinta, otak semakin aktif, maka semakin banyak darah yang mengalir
ke daerah otak tersebut dan semakin banyak pula oksigen yang dibawa akan terjadi
peningkatan pengambilan oksigen dalam darah di dua daerah visual pada otak yaitu
insula sebelah tengah dan di bagian kirinya yang merupakan bagian dari sistem
limbik dan berasosiasi dengan pengalaman yang bersifat emosional dan mungkin
juga berkaitan dengan kesadaran untuk kebutuhan dan keinginan (B.Kiranadi,
2010). Pada saat darah mengalir lebih banyak maka maka sel darah merah juga
bekerja lebih cepat karena sel darah merah yang membawa oksigen dan
mengedarkannya dari paru-paru ke jaringan lain (Sa'adah, 2018). Sementara itu,
ketika individu menahan, memperlambat atau mempercepat napasnya, hal tersebut
berarti reflex napas juga di control oleh korteks serebri atau lapisan otak paling luar.
Pusat pernapasan yang sangat peka terhadap kelebihan kadar karbon dioksida
dalam darah dan kekurangan oksigen dalam darah (Prasetyo, 2016).
Dalam proses peredaraan darah terbagi menjadi dua yaitu proses peredaraan
darah besar dan proses peredaraan darah kecil. Dimana proses peredaraan darah
besar dimulai dari bilik kiri jatung,menuju seluruh tubuh kecuali paru-paru dengan
membawa oksigen, lalu kembali ke jantung melalui serambi kanan dengan
membawa karbon dioksida. Proses peredaraan darah kecil,darah mengalir dari bilik
kanan jantung membawa karbon dioksida, menuju paru-paru lalu kembali ke
serambi kiri jantung dan kaya oksigen (Husma,2016).
Pada cinta romantik terjadi peningkatan blood oxygen level in the blood
pada insula sebelah tengah dan umunya di bagian kirinya yang merupakan bagian
dari sistem limbik dan berasosiasi dengan pengalaman yang bersifat emosionil,
kenikmatan yang aktif dan mungkin juga berhubungan dengan kesadaran untuk
kebutuhan dan keinginan memproses hal-hal interpersonal, terjadi pula aktivitas
bilateral pada interior singulat korteks (pembentukan emosi, bagian dari sistem
limbik) (Kiranadi, 2010).
Deaktivasi juga terjadi dalam aktivitas otak selama cinta romantik. Terjadi
deaktivasi di daerah prefrontal korteks sebelah kanan, bilateral parietal dan
temporal. Depresi dan sedih juga terdeaktivasi selama proses cinta berlangsung.
Daerah lain otak yang mengalami dektivasi ketika seseorang sedang jatuh cinta
adalah daerah permukaan kortikal. Secara umum, aktivasi otak pada saat cinta
romantik terlihat jelas pada daerah hypothalamus (regulasi sex) dan dentate gyrus
(bagian dari hippocampus) (B.Kiranadi, 2010). Saat jatuh cinta, seringkali unsur
fisiologis lain yang terjadi ialah dihasilkannya keringat dingin. Pengeluaran
keringat dipengaruhi oleh pusat pengatur suhu, yaitu hipotalamus (otak).
Hipotalamus menghasilkan enzim bradikinin yang mempengaruhi kelenjar
keringat. Ketika pusat pengatur suhu memperoleh rangsangan, rangsangan tersebut
diteruskan pada kelenjar keringat melalui saraf simpatetik. Berikutnya, kelenjar
keringat menyerap air garam dan urea dari kapiler darah untuk kemudian dikirim
ke permukaan kulit dalam bentuk keringat. Keringat akan menguap dan menyerap
panas tubuh sehingga suhu tubuh kembali dalam kondisi normal (Sudjadi, 2006).
Tidak hanya itu, jatuh cinta juga dapat membawa pengaruh signifikan
terhadap sistem imun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Departement of Psychology di Tulane University dan Departement of
Communication studies UCLA pada tahun 2018, yang diterbitkan dalam jurnal
psychoneuroendocrinology yang berjudul Falling in Love is Associated with
Immune System Gene Regulation, telah ditemukan bahwa pada wanita yang sedang
jatuh cinta terdapat peningkatan aktivitas Myeloid sel, termasuk neutrofil, monosit,
makrofag, myeloid dendritik sel (mdcs), serta gen yang memproduksi senyawa
interferon-protein dalam darah yang berperan dalam melawan virus dan infeksi.
Sementara itu produksi interferon mengalami penurunan ketika seseorang
mengalami putus cinta. Hal ini didasari oleh penelitian yang dilakukan selama 2
tahun dan melibatkan sekitar 47 responden wanita muda yang berada pada tiga
tahap hubungan yang berbeda, yakni not in love, newly in love, and out of love
(Murray DR, 2018).
Daftar Pustaka