Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan bahan/obat berbahaya. Selain

narkoba istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan RI

adalah NAPZA yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat

Adiktif lainnya. Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah merambah ke seluruh

tanah air dan menyasar seluruh lapisan tanah air (Kemenkes, 2017).

Berdasarkan pendataan dari aplikasi Sistem Informasi Narkoba (SIN) jumlah

kasus narkotika yang berhasil diungkap selama 5 tahun terakhir dari tahun 2012-

2016 per tahun sebesar 76,53%. Kenaikan paling tinggi pada tahun 2013 ke tahun

2014 yaitu 161,22%. Yang paling banyak shabu 1867 kasus diikuti ganja 128 kasus

dan ekstasi 98 kasus (Kemenkes, 2017). Delapan puluh enam persen penyalahguna

Narkoba berada pada usia produktif. Upaya penanggulangan penyalahgunaan

Narkoba bersifat komprehensif. Bagi pecandu atau penyalahguna, Undang-Undang

telah memberikan hak-hak bagi mereka untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan

sosial (Aryani, 2018).

Rehabilitasi merupakan salah satu cara terbaik untuk mengatasi penyalahgunaan

narkoba. Masuknya pengguna narkoba ke panti rehabilitasi memberi konsekuensi

pentingnya melakukan penyesuaian diri. Hal ini selanjutnya tidak baik bagi

pengguna narkoba yang berada di panti rehabilitasi karena adanya ketidaknyamanan

yang dirasakan oleh pengguna narkoba itu sendiri. Pada saat pengguna memasuki

panti rehabilitasi, masing-masing individu harus berkomitmen pada diri sendiri dan

sesama anggota untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu kehidupan di segala


bidang, yaitu mental, spiritual, sosial dan jasmani, dengan demikian, hidup bersama,

semangat persaudaraan, dan komitmen timbal-balik antara mereka dengan sendirinya

menjadi model sekaligus metode penyembuhan bagi mereka masing-masing

(Syafitri, 2013 dalam Nawangsih, 2016).

Setelah dilakukannya rehabilitasi, pengguna narkoba tentu tidak sepenuhnya

terbebas dari gangguan. Ketua BNN pusat mengatakan pecandu narkoba terancam

mengalami gangguan jiwa berat atau skizofrenia yang apabila menyerang akan sulit

untuk disembuhkan. Gangguan psikologis ini dapat terjadi ketika pasien telah

dilakukan rehabilitasi (Ketua BNN dalam http://lifestyle.bisnis.com, 2016).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian narkoba?


2. Bagaimana cara narkoba mempengaruhi otak?
3. Apakah yang dimaksud dengan rehabilitasi?
4. Bagaimana metode rehabilitasi?
5. Apakah gangguan psikologis yang dialami eks pecandu narkoba post rehabilitasi
?
6. Bagaimana upaya dalam menangani eks pecandu narkoba post rehabilitasi ?
C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian narkoba.


2. Mengetahui cara narkoba mempengaruhi otak manusia.
3. Mengetahui pengertian rehabilitas.
4. Mengetahui metode rehabilitas.
5. Mengetahui gangguan psikologi pasien pengguna Narkoba post rehabilitasi.
6. Mengetahui gangguan psikologi eks-pecandu narkoba.

D. Manfaat

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang gangguan psikologi pasien pengguna

Narkoba post rehabilitasi.

2
3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Narkoba

Narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcois

yang berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika berasal dari Bahasa Yunani

yaitu narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.15 Dari istilah

farmakologis yang digunakan adalah kata drug yaitu sejenis zat yang bila

dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si

pemakai seperti mempengaruhi kesadaran dan memberikan ketenangan, merangsang

dan menimbulkan halusinasi. Secara terminologis narkotika dalam Kamus Besar

Indonesia adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit,

menimbulkan rasa mengantuk dan merangsang (Sasangka, 2003).

B. Cara Narkoba Mempengaruhi Otak

Pemakaian narkoba sangat mempengaruhi kerja otak yang berfungsi sebagai

pusat kendali tubuh dan mempengaruhi seluruh fungsi tubuh. Karena bekerja pada

otak, narkoba mengubah suasana perasaan, cara berpikir, kesadaran dan perilaku

pemakainya. Itulah sebabnya narkoba disebut zat psikoaktif. Ada beberapa macam

pengaruh narkoba pada kerja otak. Ada yang menghambat kerja otak, disebut

depresansia, sehingga kesadaran menurun dan timbul kantuk. Contoh golongan

opioida (candu, morfin, heroin, petidin), obat penenang/tidur (sedativa dan hipnotika)

seperti pil BK, Lexo, Rohyp, MG dan sebagainya, serta alkohol.

Narkoba berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan

perasaan, yang disebut sistem limbus: Hipotalamus pusat kenikmatan pada otak

adalah bagian dari sistem limbus. Narkoba menghasilkan perasaan ‘senang berlebih’

4
dengan mengubah susunan biokimia molekul pada sel otak yang disebut neuro-

transmitter. Otak dilengkapi alat untuk menguatkan rasa nikmat dan menghindarkan

rasa sakit atau tidak enak, guna membantu memenuhi kehidupan dasar manusia,

seperti rasa lapar, haus, rasa hangat, dan tidur. Mekanisme ini merupakan mekanisme

pertahanan diri. Jika lapar, otak menyampaikan pesan agar mencari makanan yang

dibutuhkan. Kita berupaya mencari makanan itu dan menempatkannya diatas segala-

galanya. Kita rela meninggalkan pekerjaan dan kegiatan lain, demi memperoleh

makanan itu. Ada beberapa macam pengaruh narkoba pada kerja otak. Ada yang

menghambat kerja otak, disebut depresansia, sehingga kesadaran menurun dan

timbul kantuk. Contoh golongan opioida (candu, morfin, heroin, petidin), obat

penenang/tidur (sedativa dan hipnotika) seperti pil BK, Lexo, Rohyp, MG dan

sebagainya, serta alkohol.

Ada narkoba yang memacu kerja otak, disebut stimulansia, sehingga timbul rasa

segar dan semangat, percaya diri meningkat, hubungan dengan orang lain menjadi

akrab, akan tetapi menyebabkan tidak bisa tidur, gelisah, jantung berdebar lebih

cepat dan tekanan darah meningkat. Contoh amfetamin, ekstasi, shabu, kokain, dan

nikotin yang terdapat dalam tembakau. Ada pula narkoba yang menyebabkan khayal,

disebut halusinogenika. Contoh LSD. Ganja menimbulkan berbagai pengaruh, seperti

berubahnya persepsi waktu dan ruang, serta meningkatnya daya khayal, sehingga

ganja dapat digolongkan sebagai halusinogenika. Dalam sel otak terdapat bermacam-

macam zat kimia yang disebut neurotransmitter. Zat kimia ini bekerja pada

sambungan sel saraf yang satu dengan sel saraf lainnya (sinaps). Beberapa di antara

neurotransmitter itu mirip dengan beberapa jenis narkoba. Semua zat psikoaktif

(narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lain) dapat mengubah perilaku, perasaan

5
dan pikiran seseorang melalui pengaruhnya terhadap salah satu atau beberapa

neurotransmitter. Neurotransmitter yang paling berperan dalam terjadinya

ketergantungan adalah dopamin.

Menurut Dokter Idrat dari Rumah Sakit Raden Mattaher (RSRM) Jambi

mengatakan penyalahgunaan narkoba memiliki pengaruh terhadap kerja sistem saraf.

Pertama, gangguan saraf sensorik, dimana ada rasa kebas, penglihatan buram hingga

bisa menyebabkan kebutaan. “Kasus buta akibat penggunaan narkoba sudah pernah

saya temukan kasusnya. Kedua gangguan saraf otonom. Gangguan ini menyebabkan

gerakan yang tidak dikehendaki melalui gerak motorik. Sehingga orang yang dalam

keadaan mabuk bisa melakukan apa saja di luar kesadarannya. “Misalnya saat

mabuk, mengganggu orang, berkelahi dan sebagainya,” ujar dr Idrat. Ketiga, gerakan

gangguan saraf motorik. Gerakan tanpa koordinasi dengan sistem motoriknya.

“Orang lagi on, kepalanya goyang-goyang sendiri, pengaruh obat hilang, baru

berhenti. Keempat gangguan saraf vegetatif yakni terkait bahasa yang keluar. Bahasa

yang keluar di luar kesadaran, ngawur, biasanya juga disertai gaya bicara yang pelo.

Pengaruh lain ke otak, timbul rasa takut, kurang percaya diri jika tidak

menggunakannya dan gangguan memori. Dalam jangka panjang secara perlahan bisa

merusak sistem saraf di otak mulai dari ringan hingga permanen. Saat penggunaan

obat, muatan listrik dalam otak berlebihan, jika ini sudah kecanduan, maka lama-

lama kelamaan saraf bisa rusak. Yang terjadi pada ketergantungan adalah semacam

pembelajaran sel-sel otak pada pusat kenikmatan. Jika mengkonsumsi narkoba, otak

membaca tanggapan orang itu. Jika merasa nyaman, otak mengeluarkan

neurotransmitter dopamin dan akan memberikan kesan menyenangkan. Jika

memakai narkoba lagi, orang kembali merasa nikmat seolah-olah kebutuhan batinnya

6
terpuaskan. Otak akan merekamnya sebagai sesuatu yang harus dicari sebagai

prioritas sebab menyenangkan. Akibatnya, otak membuat program salah, seolah-olah

orang itu memerlukannya sebagai kebutuhan pokok. Terjadi kecanduan atau

ketergantungan. Dalam keadaan ketergantungan, pecandu merasa sangat tidak

nyaman dan kesakitan. Baginya, tidak ada lagi yang lebih penting daripada

mendapatkan zat yang menyebabkan dia ketagihan itu. Untuk mendapatkan itu dia

dapat melakukan apa pun, seperti mencuri, bahkan membunuh.

Pada ketergantungan, orang harus senantiasa memakai narkoba, jika tidak,

timbul gejala putus zat, jika pemakaiannya dihentikan atau jumlahnya dikurangi.

Gejalanya bergantung jenis narkoba yang digunakan. Gejala putus opioida (heroin)

mirip orang sakit flu berat, yaitu hidung berair, keluar air mata, bulu badan berdiri,

nyeri otot, mual, muntah, diare, dan sulit tidur. Narkoba juga mengganggu fungsi

organ-organ tubuh lain, seperti jantung, paru-paru, hati dan sistem reproduksi,

sehingga dapat timbul berbagai penyakit. Jadi, perasaan nikmat, rasa nyaman, tenang

atau rasa gembira yang dicari mula-mula oleh pemakai narkoba, harus dibayar sangat

mahal oleh dampak buruknya, seperti ketergantungan, kerusakan berbagai organ

tubuh, berbagai macam penyakit, rusaknya hubungan dengan keluarga dan teman-

teman, rongrongan bahkan kebangkrutan keuangan, rusaknya kehidupan moral, putus

sekolah, pengangguran, serta hancurnya masa depan dirinya.

Konsumsi narkoba secaraterus-menerus dapat menyebabkan peningkatan

toleransi tubuh sehingga pemakai tidak dapat mengontrol penggunaannya dan

cenderung untuk terus meningkatkan dosis pemakaian sampai akhirnya tubuhnya

tidak dapat menerima lagi. Keadaan ini disebut overdosis. Saraf merupakan salah

satu organ penting pada manusia yang mengatur sistem tubuh. Jika ia mengalami

7
kerusakan maka bisa menyebabkan kecacatan yang permanen dan sulit untuk

diperbaiki. Untuk itu diharapkan kepada masyarakat untuk tidak mengonsumsi obat-

obat terlarang ini, karena sangat membahayakan kesehatan (Oscar, 2016).

C. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan

NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan mengubah

perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010). Rehabilitasi

NAPZA juga merupakan upaya terapi (intervensi) berbasis bukti yang mencakup

perawatan medis, psikososial atau kombinasi keduanya baik perawatan rawat inap

jangka pendek ataupun jangka panjang (Kemenkes, 2011). Definisi lain mengatakan

bahwa rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang dilakukan bagi

pencandu narkoba (Psychologymania, 2012). Tujuannya adalah untuk membantu

klien mempertahankan kondisi bebas NAPZA (abstinensia) dan memulihkan fungsi

fisik, psikologis dan sosial (Kemenkes, 2011). Tindakan rehabilitasi ditujukan

kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau

mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.

Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi

para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya

terhadap narkotika (Psychologymania, 2012).

Tujuan rehabilitasi adalah (Haryati, 2011) :

1. Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung

jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan

sosialnya.

8
2. Memulihkan kembali kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya

secara wajar.

3. Selain penyembuhan secara fisik juga penyembuhan keadaan sosial secara

menyeluruh.

4. Penyandang cacat mencapai kemandirian mental, fisik, psikologis dan sosial,

dalam anti adanya keseimbangan antara apa yang masih dapat dilakukannya dan

apa yang tidak dapat dilakukannya

D. Metode Rehabilitasi

Narkotika terdiri dari 2 (dua) Jenis Rehabilitasi menurut Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu:

1. Rehabilitasi Medis

Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara

terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

Rehabilitasi Medis pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang

ditunjuk oleh Menteri Kesehatan yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik

oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan

melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat

diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan

tradisional.

2. Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara

terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika

dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Yang dimaksud dengan bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang

9
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis

(Psychologymania, 2012 dalam Aryani, 2018).

Tindakan rehabilitasi ini merupakan tindakan yang bersifat represif yaitu

penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, dalam hal

ini narkotika, yang berupa pembinaan atau pengobatan terhadap para

pengguna narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan dan pengobatan

tersebut diharapkan nantinya korban penyalahgunaan NAPZA dapat kembali

normal dan berperilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat

(Psychologymania, 2012 dalam Aryani, 2018).

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no 420/MENKES/SKIII/2010,

rehabilitasi pecandu narkotika dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Rehabilitasi jangka pendek

Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai dengan 3 bulan tergantung

dari kondisi dan kebutuhan pasien. Pendekatan yang dapat dilakukan ke

arah medik dan psikososial. Masalah medik masih menjadi fokus utama,

asesmen dilakukan secara lengkap termasuk pemeriksaan penunjang

medis. Asesmen yang perlu dilakukan pada model terapi ini antara lain :

a. Evaluasi masalah penggunaan NAPZA (jenis, jumlah, lama

pemakaian, dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)

b. Evaluasi medis : riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakit-

penyakit-penyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA

c. Evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi

10
d. Evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan , pekerjaan dan

hubungan sosial

e. Evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan

kehidupan pribadi lainnya.

Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik

yang terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut

menjadi acuan untuk terapi selanjutnya. Pengobatan dapat dilanjutkan

dengan rawat jalan atau bila masalah yang dihadapi pasien khususnya

perilaku belum memungkinkan, dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi

jangka panjang.

2. Rehabilitasi jangka panjang

Lama perawatan rehabilitasi jangka panjang adalah 6 bulan atau lebih.

Dalam hal ini modalitas terapi yang dimaksudkan adalah Therapeutic

Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku.

Therapeutic Community (TC) direkomendasikan bagi pasien yang sudah

mengalami masalah penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang

kali kambuh atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas

dari NAPZA.

Berikut ini adalah program-program yang dapat diikuti oleh seorang pecandu

selama menjalani program rehabilitasi yaitu :

1. Terapi substitusi opioda

Terapi substitusi sering juga disebut dengan terapi rumatan

(maintenance). Terapi ini diigunakan untuk pasien-pasien ketergantungan

heroin (opioda). Untuk pengguna opioda hard core addict (pengguna opioda

11
yang telah bertahun-tahun menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya

mengalami kekambuhan kronis sehingga perlu berulang kali menjalani terapi

ketergantungan. Kebutuhan heroin (narkotika ilegal) diganti (substitusi)

dengan narkotika legal. Beberapa obat yang sering digunakan adalah kodein,

bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-obatan ini digunakan sebagai

obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan

pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan. (Husin & Siste,

2015 dalam Aryani, 2018).

Karakteristik obat yang ideal untuk terapi rumatan adalah :

a. Rendah potensi untuk didiversikan

b. Lamanya aksi cukup panjang

c. Potensi rendah menggunakan zat lain selama terapi

d. Toksisitas rendah untuk terjadinya overdose

e. Fase detoksifikasi harus singkat, sederhana dan gejala-gejala rebound

withdrawal minimal

f. Memfasilitasi abstinensia terhadap opioid ilegal lain

g. Pasien menerimanya dengan iklas dan baik

Tidak ada satu obatpun yang memenuhi persyaratan ideal tersebut.

Namun untuk ketergantungan opioid para pakar kedokteran menemukan

beberapa jenis obat yang mendekati kriteria karakteristik tersebut seperti :

a. Agonis : metadon

b. Parsial agonis : buprenorphin

c. Antagonis : naltrekson

2. Therapeutic community/TC

12
Therapeutic community (TC) adalah bentuk umum dari rehabilitasi

jangka panjang untuk gangguan penggunaan zat (NIDA, 2015). Metode ini

mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika Serikat. Tujuan utamanya

adalah menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan

dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif.

Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help

program. Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral

dimana berlaku sistem reward (penghargaan/penguatan) dan punishment

(hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan juga

pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media

untuk mengubah suatu perilaku. Program TC mempunyai suatu aturan yang

tertulis maupun tidak tertulis yang sangat mengikat setiap residen untuk

menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan tersebut

(pasien peserta TC lazim disebut residen). Gambaran dari TC adalah sebagai

berikut :

a. Program dengan struktur yang ketat

b. Umumnya pasien berada dalam program 6-12 bulan

c. Program pengobatan

d. Program pendidikan

e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya

f. Pasien mempunyai riwayat perilaku kriminal

g. Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien

h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien

i. Rehabilitasi vokasional

13
3. 12 (Dua Belas) dalam program Narcotic Anonymous (NA) yaitu :

a. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita, sehingga

hidup kita menjadi tidak terkendali.

b. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri

yang dapat mengembalikan kita kepada kewarasan

c. Kita membuat keputusan menyerahkan kemauan dan arah kehidupan kita

kepada kasih Tuhan sebagaimana kita memahamiNya

d. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, memyeluruh

dan tanpa rasa gentar

e. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang

manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita

f. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter

kita.

g. Kita dengan rendah hati memohon padaNya untuk menyingkirkan semua

kekurangan-kekurangan kita

h. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri

untuk meminta maaf kepada merka semua

i. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut

bilamana memungkinkan kecuali bila melakukannya akan justru melukai

mereka atau orang lain

j. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilaman

kita bersalah segera mengakui kesalahan kita

k. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki

kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa

14
hanya untuk mengetahui kehendaknya atas diri kita dan kekuatan untuk

melaksanakannya

l. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah

ini kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk

menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.

E. Gangguan Psikologis Post Rehabilitasi

Bagi klien yang ingin berhenti dari kecanduannya harus menjalani proses

detoksifikasi untuk membersihkan fisik dari zat-zat adiktif dalam tubuhnya melalui

pendekatan medis. Setelah bersih klien kemudian harus menjalani proses rehabilitasi

untuk melatih perubahan gaya hidup bebas narkoba. Pada tahap ini klien harus

menjalani sejumlah terapi psikologis untuk merekonstruksi fungsi kognitif dan

melepaskan diri dari jeratan adiksi yang dialaminya (UNODC, 2016). Klien akan

dinyatakan boleh kembali ke masyarakat apabila telah menjalani proses ini.

Seseorang bisa dinyatakan bersih dari narkoba jika dalam enam bulan

berdasarkan medical record benar-benar tidak memakai, dan baru bisa dikatakan

berhasil rehabilitasinya.

Program rehabilitasi yang diperuntukkan bagi pecandu narkoba untuk

menghentikan kecanduan bukanlah masalah yang sulit, karena banyak orang yang

dapat berhenti menggunakan narkoba untuk beberapa lama. Hal yang sulit dilakukan

adalah mencegah agar jangan sampai relapse. Ketergantungan secara fisik terhadap

narkoba cenderung mudah diatasi dengan memberikan obat-obatan dengan golongan

sejenis sebagai pengganti zat yang biasa dikonsumsi untuk meminimalisir gejala

putus zat, namun hal yang tersulit adalah mengubah perilaku pecandu yang

berorientasi pada perilaku mencari narkoba. Hal itulah penyebab mantan pecandu

15
yang telah menyelesaikan rehabilitasi kembali relapse menggunakan narkoba. Angka

kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat terapi dan

rehabilitasi semakin tinggi yaitu 60 sampai dengan 80%, (Martono dan Joewana,

2006).

Meskipun dapat dikatakan telah bebas dari adiksi setelah menjalani proses

detoksifikasi dan rehabilitasi, bantuan pada klien eks-pecandu narkoba tidak serta

merta berhenti begitu saja. Data dari Badan Nasional Narkotika (BNN), Rumah Sakit

Ketergantungan Obat (RSKO), dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

menunjukkan bahwa sekitar 65,17% penyalahguna narkoba yang mengikuti program

rawat inap dan rawat jalan adalah para pengguna lama yang mengalami relapse.

Artinya potensi untuk kambuh kembali menggunakan narkoba (relapse) masih

sangat besar. Fakta empiris menunjukkan bahwa kebanyakan dari klien eks-pecandu

narkoba memang masih terbayangi rasa takut akan kambuh (relapse) jika kembali

pada lingkungan mereka yang lama. Rasa takut ini cukup beralasan, sebab telah

ditemukan bahwa faktor interpersonal menunjukkan hubungan kuat dengan

kekambuhan. Jika individu berada di lingkungan sosial yang negatif di mana mereka

berada dalam kontak dengan orang yang menggunakan narkoba, mereka sekitar dua

setengah kali lebih mungkin untuk kambuh menggunakan alkohol atau narkoba

(Chong & Lopez, 2008). Kembali pada lingkungan yang lama mungkin terjadi

karena mereka tidak memiliki efikasi diri yang kuat untuk menghadapi masyarakat.

Proses relapse adalah kembalinya seseorang kepada kecanduan narkoba.

Relapse tidak berarti program pemulihannya gagal, sebab relapse adalah bagian yang

wajar dari proses pemulihan. Marlatt dan Gordon (1985), menjelaskan tiga jenis

pengalaman yang dihubungkan dengan kekambuhan, antara lain adanya downer

16
(merasa tertekan), row (konflik interpersonal), dan join the club (tekanan dari orang

lain untuk melanjutkan kebiasaan mabuk, merokok, dan seterusnya).

Penyebab Gangguan psikologis eks pecandu narkoba :

1. Kurangnya efikasi diri pada klien eks-pecandu narkoba justru juga menjadi salah satu

faktor penyebab kekambuhan Hal ini membuat mereka menjadi pribadi yang sangat

sensitif, mudah emosional dan mudah stres oleh tekanan sosial dari lingkungan.

(Ibrahim & Kumar, 2009). Kejadian yang penuh stres terkait dengan simtom yang

dieksternalisasi, seperti agresi dapat mengarahkan pada alienasi sebaya atau

penerimaan secara sosial dari teman sebaya yang kemudian akan mengarah pada

peningkatan penggunaan narkoba.

2. Tekanan dan hubungan keluarga yang kurang baik juga dapat menjadi penyebab

kambuh menggunakan narkoba. Pada dasarnya keluarga merupakan subsistem

terkecil yang menjadi pusat motivasi seorang eks pecandu untuk mampu membuat

hidupnya kembali berarti. Namun tidak jarang keluarga tidak memberikan motivasi

sebaliknya menjauhkan diri dari eks pecandu. Individu yang mengalami kecanduan

narkoba sangat membutuhkan motivasi hidup yang tinggi dalam dirinya.

3. Tumbuhnya persepsi negatif / stigma di lingkungan akan semakin menurunkan

efikasi diri subyek eks-pecandu sehingga menghambat proses re-integrasinya dengan

lingkungan baru (Ibrahim & Kumar, 2009). Ini merupakan permasalahan stigma

negatif yang mereka hadapi. Stigma ini terus terjadi karena sudah menjadi persepsi

umum masyarakat bahwa individu eks-pecandu narkoba dianggap sebagai kriminal,

sampah masyarakat, atau orang yang menyeramkan. Menurut Teori yang

dikemukakan oleh Hendrik L. Blum lingkungan memiliki pengaruh yang besar

diikuti perilaku. Lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap relapse eks pecandu

17
narkoba merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan,

ekonomi, dan sebagainya. Perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi

sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan teori

yang dikemukakan oleh Snehandu B. Kar yang menyebutkan beberapa tolak ukur

berkaitan dengan perilaku atau relaps

4. Relaps eks pecandu narkoba yaitu niat adanya landasan dalam diri sendiri untuk

kembali mencoba menggunakan narkoba dan situasi yang memungkinkan dimana

kurangnya dukungan, motivasi dan pengawasan oleh keluarga.

Dilihat dari penyebab gangguan rehabilitasi diatas, maka gangguan rehabilitasi yang

dapat terjadi adalah :

1. Stress

Stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika seseorang

mendapatkan masalah atau tantangan dan belum mempunyai jalan keluarnya

atau banyak pikiran yang mengganggu seseorang terhadap sesuatu yang akan

dilakukannya ( Clonninger dalam Safaria, 2012).

Faktor-faktor yang memengaruhi stress, antara lain seperti latar belakang

pengalaman, karakteristik stresor baik personal maupun situasional, serta akibat

stres, antara lain secara subjektif, perilaku maupun fisiologis.

2. Depresi

Depresi adalah gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan afek disforik

(kehilangan kegembiraan/gairah) disertai dengan gejala-gejala lain, seperti

gangguan tidur dan menurunnya selera makan. Depresi biasanya terjadi saat

stress yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, dan depresi yang dialami

18
berkolerasi dengan kejadian dramatis yang baru saja terjadi atau menimpa

seseorang (Lubis, 2009)

F. Upaya Menangani Relapse Eks-Pecandu Narkoba

Proses pemulihan klien ekspecandu narkoba hakikatnya tidak hanya sampai

pada keputusan berhentinya seseorang dari kecanduan, melainkan terus berlangsung

seumur hidup. Peranan profesi konselor sebagai profesional diperlukan sebagai

psikoedukator dalam membantu klien eks-pecandu narkoba sehingga mereka dapat

mempertahankan kondisi abstinen mereka serta kembali menjadi pribadi yang

berfungsi penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya bekerja dalam

lingkup individual, namun juga konselor perlu bekerja dalam lingkup masyarakat.

Konselor pada lingkup komunitas menggunakan strategi yang memfasilitasi

pengembangan kesehatan mental baik klien secara individu pembelaan pada

komunitas yang melingkupinya. Dengan kata lain, idealnya pemberian bantuan pada

klien ekspecandu narkoba tidak hanya terbatas dalam tataran individual yang sempit,

melainkan perubahan lingkungan yang lebih kondusif bagi mereka juga perlu

diusahakan oleh konselor. Konseling komunitas dapat dimaknai sebagai sebuah

kerangka bantuan komprehensif yang didasarkan pada kompetensi multikultural dan

berorientasi pada keadilan sosial (Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2011).

Sejak 2011 telah dilakukan peningkatan ketrampilan terhadap petugas kesehatan

sebanyak 1119 orang yang terdiri pelatih modul asesmen 147 orang, petugas

asesmen 831 orang, pelatih modul konseling adiksi 20 orang dan petugas konseling

adiksi 28 orang. peningkatan ketrampilan ini telah digunakan secara luas, tidak hanya

melalui APBN Kementerian Kesehatan tetapi juga APBD beberapa Dinas Kesehatan

Provinsi / Kabupaten / Kota, APBN Badan Narkotika Nasional, serta lembaga donor.

19
Petugas kesehatan yang dilatih adalah mereka yang bekerja pada Institusi Penerima

Wajib Lapor (IPWL) yang telah ditetapkan dan diusulkan oleh Pimpinan instansi

masing-masing. Latar belakang mereka adalah psikiater, dokter umum, perawat,

psikolog klinis, sarjana psikologi, dan sarjana kesehatan masyarakat, bergantung

pada ketersediaan tenaga di IPWL tersebut. wajib lapor bukan hanya datang untuk

melaporkan diri semata-mata, melainkan menjalani asesmen komprehensif, yang

mengkaji derajat permasalahan seseorang dalam hal riwayat medis, dukungan hidup,

riwayat penggunaan napza riwayat legal riwayat keluarga dan sosial status

psikiatrik.

Sampai tahun 2013 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

293/MENKES/SK/VIII/2013 telah ditetapkan 274 Puskesmas, Rumah Sakit dan/atau

lembaga rehabilitasi medis sebagai IPWL yang terdiri dari 15 UPT (Unit Pelaksana

Teknis) Kementerian Kesehatan dan 259 Puskesmas, Rumah Sakit dan/atau lembaga

rehabilitasi medis milik Lintas Sektor, Pemerintah Daerah dan Swasta yang tersebar

di 33 Provinsi termasuk 46 RS Bhayangkara milik Kepolisian RI. Terapi rehabilitasi

medis bisa dilakukan secara rawat jalan maupun rawat inap. Rawat jalan dapat

berupa rumatan maupun non rumatan (simtomatik dan konseling). Rawat inap terdiri

dari rawat inap jangka pendek maupun jangka panjang termasuk layanan

detoksifikasi. Macam-macam terapi rehabilitasi tertuang dalam Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2415/MENKES/PER/XII/2011 yaitu Rawat

Jalan Rumatan (Metadon/ Buprenorfin) untuk pecandu heroin/opiate, Rawat Jalan

Non Rumatan (terapi simtomatik dan psikososial) untuk pengguna ganja, shabu,

ekstasi tanpa komplikasi fisik/ psikiatris, Rawat Inap Jangka Pendek atau Panjang

20
untuk pengguna atau pecandu dengan komplikasi fisik/psikiatris. Semua IPWL

minimal dapat melayani terapi simtomatik dan konseling dasar adiksi Napza.

Konseling baik untuk individu maupun kelompok, sebagai teknik untuk

membantu klien memahami diri (insight) membujuk (persuasi), serta memberi saran

dan keyakianan sehingga pecandu melihat permasalahannya secara lebih realistis dan

memotivasinya agar terapil mengatasi masalah. Konseling kelompok sangat

bermanfaat dalam proses rehabilitasi ini karena dari konseling kelompok ini klien

dapat mengetahui pengalaman-pengalaman teman sebayanya. Dari Konseling

individu ini konselor dapat mngidentifikasi hal-hal yang bersifat sensitif atau pribadi

yang tidak bisa di bahas dalam diskusi kelompok. Keterlibatan keluarga, sangat

penting dalam terapi. Pecandu tidak mungkin pulih sendiri tanpa dukungan keluarga

dan orang-orang lain. karena dari dukungan keluarga dapat memotivasi pecandu

dalam melakukan rehabilitasi.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Narkoba adalah singkatan Narkotika, Psikotropika, Bahan Adiktif

Berbahaya. Pecandu narkoba adalah seorang yang melakukan penyalahgunaan

narkoba telah mengalami ketergantungan terhadap satu obat atau lebih seperti

narkotik, psikotropika serta bahan adiktif lainnya. Menurut Undang-Undang

Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 pasal 54 mewajibkan semua pecandu

Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika agar menjalani proses

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Seseorang bisa dinyatakan bersih

dari narkoba jika dalam enam bulan berdasarkan medical record benar-benar

tidak memakai, dan baru bisa dikatakan berhasil rehabilitasinya. Meskipun

dapat dikatakan telah bebas dari adiksi setelah menjalani proses detoksifikasi

dan rehabilitasi, bantuan pada klien eks-pecandu narkoba tidak serta merta

berhenti begitu saja. Artinya potensi untuk kambuh kembali menggunakan

narkoba (relapse) dan mengalami gangguan psikologis masih sangat besar.

Kurangnya efikasi diri pada klien eks-pecandu narkoba justru juga menjadi

salah satu faktor penyebab kekambuhan selain itu faktor tekanan dan

hubungan keluarga yang kurang baik juga dapat menjadi penyebab kambuh

menggunakan narkoba. Peranan profesi konselor sebagai profesional

diperlukan sebagai psikoedukator dalam membantu klien eks-pecandu narkoba

sehingga mereka dapat mempertahankan kondisi abstinen.

22
B. Saran

Bagi eks pecandu narkoba diharapkan dapat merangkul pecandu narkoba

untuk keluar dari lingkar hitam narkoba dikarenakan narkoba sangatlah

merugikan setiap individu. Kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga

sebagai pecandu, bantulah untuk memotivasi dan mengajaknya untuk

rehabilitasi. Hindari stigma negatif terhadapnya. Untuk masyarakat diharapkan

bersedia untuk membantu pemerintah dalam upaya memberantas penyebaran

narkotika di Indonesia guna menyelamatkan kemajuan bangsa. Bagi

pemerintah untuk memperketat akses masuk Indonesia melalui udara, darat

maupun laut. Mengecek ulang setiap produk luar negeri yang akan di pasarkan

di Indonesia dan memperketat pengecekan agar tidak ada lagi narkoba yang

diselundupkan di berbagai jenis barang lainnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Annisa, 2018. 5,9 Juta Anak Menjadi Pecandu Narkoba. Tersedia dalam
https://news.okezone.com/read/2018/03/06/337/1868702/5-9-juta-anak-
indonesia-jadi-pecandu-narkoba diakses pada 03 Desember 2018 pukul
12.31 wita
Aryani 2018. Metode Rehab Gangguan Penggunaan Napza. Denpasar : Universitas
Udayana.
Chong, J. and Lopez, D., 2008. Predictors of Relapse for American Indian women after
Substance abuse Treatment. American Indian and Alaska native mental
health research (Online).
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk
Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 35.
Haryadi Rudi, 2018. Prospek Konseling bagi Individu Eks-Pecandu Narkoba:
Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin.
Ibrahim & Kumar, 2009. Factors Effecting Drug Relapse in Malaysia: An Empirical
Evidence. Asian social sains. www.ccsenet/journal.html
Jannah Ul Luly, 2018. Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Narkotika Di Badan Narkotika
Nasional Kabupaten Banyumas. Purwokerto: Institut Agama Islam Negeri
Purwokerto
Narwangsih, 2016. Stres Pada Mantan Pengguna Narkoba Yang Menjalani Rehabilitasi.
Jurnal Psikologi Undip Vol.15. Jawa Tengah : Uni Semarang.
Kelly, J. F., 2011. Addiction Recovery Management. British: Humana Pres.
Kemenkes, 2010. Pedoman layanan terapi dan rehabilitasi komprehensif pada
penggunaan Napza berbasis rumah sakit. Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
Kementerian kesehatan RI.
Kemenkes, 2011. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan
NAPZA. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan
RI.
Kemenkes, 2014. Buletin Data dan Jendela Informasi. Jakarta: Pusat Data dan
informasi Kementerian Kesehatan RI
Lina Haryati, 2011. Tahap-Tahap Pemulihan Pecandu narkotika avaiable from : URL
:http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/08/24/514/tahap-
tahap-pemulihan-pecand unarkoba.htm, diakses tanggal 2 Desember 2016
Marlatt, Alan. G dan Gordon, J. R. (Eds.) (1985). Relapse Prevention. New York:
Guilford Press

24
Martono dan Joewana. (2006b) Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis
Masyarakat. Jakarta: Balai Pustaka
Priyasmoro, 2018. BNN : Pemakai Narkoba di Indonesia Capai 35 Juta Orang tersedia
dalam https://www.liputan6.com/news/read/3570000/bnn-pemakai-narkoba-
di-indonesia-capai-35-juta-orang-pada-2017 diaskes pada 03 Desember
2018 pukul 12.31 wita.
Psychologymania, 2012. Pengertian Rehabilitasi Narkoba. [Online] Available at:
www.psychologymania.com.
Saeno, 2016. Pecandu Narkoba Berisiko Alami Gangguan Jiwa Berat Dan Tak Bisa
Disembuhkan tersedia dalam
http://lifestyle.bisnis.com/read/20160905/106/581361/pecandu-narkoba-
berisiko-alami-gangguan-jiwa-berat-dan-tak-bisa-disembuhkan diakses pada
tanggal 03 Desember 2018 pukul 12.31 wita.
Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia. Jakarta:2005, hlm 6
UNODC, 2016. World Drug Report tersedia dalam www.undoc.org diakses pada 2
Desember 2018 pukul 22.05.

25

Anda mungkin juga menyukai