Anda di halaman 1dari 23

TEORI NEIROBIOLOGI DAN PSIKOFARMAKOLOGI

Walaupun masih banyak yang belum kita ketahui tentang penyebab gangguan jiwa, ilmu
pengetahuan dalam 20 tahun terakhir maju dengan pesat untuk membanhr kita memahami
cara otak bekerja dan men- jelaskan alasan yang mungkin mengapa otak bekep'a secara
berbeda dari organ lain. Kemajuan riset neuro- biologi tersebut secara. konstan
mengembangkan dasar pengetahuan di bidang psikia'tri dan sangat memengaruhi praktik
klinis. Perawat kesehatan jiwa harus memiliki pemahaman dasar tentang firngsi otak dan
teori terkini mengenai gangguan jiwa. Bab ini memuat ulasan tentang struktur anatomi utama
sistem saraf dan cara kerjanya proses neuro- transmisi. Pada bab ini, kami menyajikan teori
neuro- biologi terkini yang utama mengenai penyebab gangguan jiwa, termasuk genetika dan
hereditas, stres dan sistem imun, serta penyebab infeksius.

Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa (psikofarmakologi) berkembang dari


penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara
langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. Bab ini
juga membahas lima kategori obat yang diarahkan unhik gangguan jiwa, termasuk peran
perawat, efek samping, dan penjnrluhan klien. Walaupun intervensi farmakologi merupakan
terapi yang paling efektif unhrk banyak gangguan psikiatri, keberhasilan terapi dan hasil yang
dicapai klien sangat meningkat dengan dilakukannya terapi tambahan, seperti terapi perilaku
dan terapi kognitif, terapi keluarga, dan psikoterapi.

SISTEM SARAF DAN CARA KERJANYA

Sistem Saraf Pusat


SSP terdiri dari otak, medula spinalis, dan saraf terkait yang mengontrol gerakan volunter.
Struktur otak dibagi menjadi serebrum, serebelum, batang otak, dan sistem limbik (Lewis,
2000).

SEREBRUM

Serebrum dibagi menjadi dua hemisfer, semua lobus dan struktur ditemukan di kedua belahan
otak kecuali kelenjar pinealis. Korpus kalosum merupakan jalur yang menghubungkan dua
hemisfer dan mengoordinasi fungsi kedua hemisfer tersebut. Hemisfer kiri otak mengontrol
sisi kanan tubuh dan merupakan pusat pemikiran logis dan fungsi analitis seperti membaca,
menulis, dan tugas matematika. Hemisfer kanan otak merupakan pusat berpikir kreatif,
intuisi, dan kemampuan artistik serta mengontrol sisi kiri tubuh.

Hemisfer serebrum masing-niasing dibagi menjadi empat lobus, yakni lobus frontalis,
parietalis, temporalis, dan oksipitalis. Beberapa fungsi lobus berbeda, fungsi yang lain
terintegrasi di antara lobus. Lobus frontalis mengontrol organisasi pikiran, gerakan tubuh,
memori, emosi, dan perilaku moral. Integrasi semua informasi ini membantu mengatur
keinginan, memfokuskan perhatian, dan memungkinkan terjadinya penyelesaian masalah
serta mengambil keputusan. Kelainan pada lobus frontalis dikaitkan dengan skizofrenia,
defisit perhatian/gangguan hiperaktivitas, dan demensia.

Lobus parietalis menginterpretasi sensasi rasa dan sentuhan serta membantu dalam orientasi
ruang. Lobus temporalis merupakan pusat sensasi penghidu, pendengaran, memori, dan
ekspresi emosi. Lobus oksipitalis membantu dalam mengoordinasi penyusunan bahasa dan
interpretasi visual, seperti persepsi yang dalam.
SEREBELUM
Serebelum terletak di bawah serebrum dan merupakan pusat koordinasi gerakan dan
penyesuaian postural. Serebelum menerima dan mengintegrasi informasi dari semua area
tubuh, seperti otot, sendi, organ, dan komponen lain SSP. Riset menunjukkan bahwa
transmisi suatu neurotransmiter, dopamin, yang terhambat pada area ini dikaitkan dengan
tidak adanya gerakan halus dan terkoordinasi pada penyakit seperti penyakit Parkinson dan
demensia.

BATANG OTAK
Batang otak meliputi otak tengah, pons, dan medula oblongata serta nukleus saraf kranial ke-
3 sampai ke- 12. Medula, yang terletak di puncak medula spinalis, berisi pusat vital untuk
hrngsi pernapasan dan kardiovaskular. Di atas medula dan di depan serebrum, pons
menjembatani celah, baik secara struktural maupun firngsional, dengan berperan sebagai jalur
motorik utama. Otak tengah meliputi sebagian besar sistem aktivasi retikular dan sistem
ekstrapiramidal. Sistem aktivasi retikular memengaruhi aktivitas motorik, tidur, kesadaran,
dan kewaspadaan. Sistem ekstrapiramidal mengirim informasi tentang gerakan dan
koordinasi dari otak ke saraf spinal. Lokus yang melekat di membran dendrit, seperh halnya
bentuk kunci tertenhr yang cocok masuk ke lubang kunci. Setelab neurotransnaiter dilepas ke
dalam sinaps dan menyampaikan pesan ke sel reseptor, neurotransmiter dibawa kembali dari
sinaps ke akson unhrk disimpan dan di^makan kemudian {reuptake) atau dimetabolisme dan
dibuat tidak akrif oleh enzim, terutama monoamin oksidase (MAO) (Lewis, 2000).

Neurofransmiter diperlukan dalam proporsi yang benar untuk menyampaikan pesan melalui
sinaps. Penelitian mulai menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah beberapa neurotransmiter
dalam otak penderita gangguan jiwa tertentu dibandingkan dengan individu tanpa tanda-tanda
gangguan jiwa.

Neurotransmiter utama terbukti berperan dalam gangguan psikiatri, begitu juga kerja dan
efekseruleus adalah area batang otak yang terkait dengan stres, ansietas, dan perilaku
impulsif.

SISTEM LIMBIK
Sistem limbik merupakan area otak yang terletak di atas batang otak, yang terdiri dari
talamus, hipotalamus, hipokampus, dan amigdala (walaupun beberapa sumber membedakan
struktur yang terdapat pada sistem ini). Talamus mengakhiri aktivitas, sensasi, dan emosi.
Hipotalamus terlibat dalam pengaturan suhu tubuh, pengontrolan nafsu makan, fungsi
endokrin, dorongan seksual, dan perilaku impulsif yang terkait dengan perasaan marah,
mengamuk, atau gembira. Hipokampus dan amigdala terlibat dalam bangkitan emosi dan
memori. Gangguan sistem limbik menyebabkan berbagai gangguan jiwa, seperti kehilangan
memori pada penderita demensia atau pengontrolan emosi dan impuls yang buruk pada
perilaku manik atau psikotik.

NEUROTRANSMITER
Sekitar 100 miliar sel otak membenhik kelompok neu- ron, atau sel saraf, yang tersusun
dalam bentuk jaringan. Neuron tersebut menyampaikan informasi sahi sama lain dengan
mengirim pesan elektrokimia dari neuron ke neuron, suahi proses yang disebut
neurotransmisi. Pesan elektrokimia dikirim dari dendrit (tonjolan dari badan sel), melalui
badan sel, ke bawab menuju akson (strukhrr yang panjang dan luas), dan menyeberangi celab
di antara sel (sinaps) ke dendrit neuron berikutnya. Pada sistem sara‫؛‬, pesan elektrokimia
menyeberangi celah atau sinaps di antara sel neuron melalui pembawa pesan kimia khusus
yang disebut neurotransmiter.
Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron, yang membantu
transmisi informasi keseluruh tubuh. Neurotransmiter memicu atau menstimulasi aksi di
dalam sel (eksitasi) atau menghambat atau menghentikan aksi (inhibisi). Neurotransmiter
cocok dengan sel reseptor khusus yang melekat di membran dendrit, seperti halnya bentuk
kunci tertentu yang cocok masuk ke lubang kunci. Setelah neurotransmiter dilepas ke dalam
sinaps dan menyampaikan pesan ke sel reseptor, neurotransmiter dibawa kembali dari sinaps
ke akson untuk disimpan dan dimakan kemudian {reuptake) atau dimetabolisme dan dibuat
tidak akrif oleh enzim, terutama monoamin oksidase (MAO) (Lewis, 2000)

Neurotransmiter diperlukan dalam proporsi yang benar untuk menyampaikan pesan melalui
sinaps. Penelitian mulai menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah beberapa neurotransmiter
dalam otak penderita gangguan jiwa tertentu dibandingkan dengan individu tanpa tanda-tanda
gangguan jiwa (Gbr.2-3).

Neurotransmiter utama terbukti berperan dalam ganghuan psikiatri, begitu juga kerja dan efek
samping obat psikotropika. Tabel 2-1 memuat daftar tipe utama neurotransmiter, kerja, dan
efeknya. Dopamin dan serotonin mendapat perhatian yang paling besar dalam penelitian dan
terapi gangguan , psikiatri (Tecott, 2000). Berikut adalah diskusi tentang neurotransmiter
utama pada gangguan jiwa.

DOPAMIN
Dopamin, suatu neurotransmiter yang terutama terdapat di batang otak, diketahui terlibat
dalam pengontrolan gerakan yang kompleks, motivasi, kognisi, dan pengaturan respons
emosional. Dopamin umumnya bersifat eksitasi dan disintesis dari tirosin, suatu asam amino
dalam makanan. Dopamin terlibat dalam menimbulkan skizofrenia dan psikosis lain, juga
gangguan gerakan, seperti penyakit Parkinson. Antipsikotik bekerja dengan menyekat
reseptor dopamin dan menurunkan aktivitas dopamin.

NOREPINEFRIN
Norepinefrin, neurotransmiter yang dominasi pada sistem saraf, terutama terdapat di batang
otak dan berperan dalam perubahan perhatian, belajar dan memori, tidur dan terjaga, serta
pengaturan mood. Norepinefrin dan derivatnya, epinefrin, masing- masing juga dikenal
sebagai noradrenalin dan adrenalin. Norepinefrin yang berlebihan menyebabkan berbagai
gangguan ansietas; norepinefrin yang kurang dapat memengaruhi kehilangan memori,
menarik diri dari masyarakat, dan depresi. Beberapa antidepresan menyekat reuptake
norepinefrin dan antidepresan yang lain mengham- bat-MAO memetabolisme norepinefrin.
Distribusi epinefrin di otak terbatas, tetapi epinefrin mengontrol respons fight-or-flight pada
sistem saraf perifer.

SEROTONIN
Serotonin adalah suatu neurotransmiter yang hanya ditemukan di otak. Fungsinya sebagian
besar adalah inhibisi dan serotonin berperan penting dalam menimbulkan gangguan ansietas
dan mood serta skizofrenia. Serotonin diketahui berperan dalam perilaku waham, halusinasi,
dan menarik diri pada penderita skizofrenia. Serotonin berasal dari triptofan, suatu asam
amino dalam makanan. Serotonin terlibat dalam pengontrolan asupan makanan, tidur dan
terjaga, pengaturan suhu tubuh, pengontrolan nyeri, perilaku seksual, dan pengaturan emosi.
Beberapa antidepresan menyekat reuptake serotonin sehingga serotonin tersedia di sinaps
lebih lama, yang menyebabkan mood membaik.
HISTAMIN
Peran histamin pada gangguan jiwa masih diselidiki. Histamin terlibat dalam memproduksi
respons alergi perifer, mengontrol sekresi lambung, stimulasi jantung, dan kewaspadaan.
Beberapa obat psikotropika menyekat histamin, menyebabkan peningkatan berat badan,
sedasi, dan hipotensi.

ASETILKOLIN
Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang ditemukan di otak, medula spinalis, dan sistem
saraf perifer, khususnya di taut neuromuskular otot skelet. Asetilkolin dapat bersifat eksitasi
atau inhibisi. Asetilkolin disintesis dari kolin yang ditemukan dalam makanan seperti daging
merah dan sayuran dan terbukti memengaruhi siklus tidur/terjaga serta memberi tanda
aktifnya otot, Penelitian menunjukkan bahwa penderita penyakit Alzheimer memiliki jumlah
neuron penyekresi asetilkolin yang menurun, dan penderita miastenia gravis (suatu gangguan
otot karena impuls gagal melewati taut mioneural, yang menyebabkan kelemahan otot)
memiliki jumlah reseptor asetilkolin yang menurun.

ASAM GAMA-AMINOBUTIRAT (GABA)


GABA, suatu asam amino, adalah neuro transmiter inhibisi utama di otak dan terbukti
memodulasi sistem neurotransmiter lain, bukan memberikan stimulus langsung (Shank,
Smith-Swintonky, & Twyman, 2000). Obat-obatan yang meningkatkan fungsi GABA,
misalnya benzodiazepin, digunakan untuk mengobati ansietas dan menginduksi tidur.

Glutamat merupakan asam amino eksitasi yang pada kadar tinggi dapat memiliki efek
neurotoksik utama. Glutamat terlibat dalam kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke,
hipoglikemia, bipoksia atau iskemia yang terus-menerus, dan beberapa penyakit degeneratif
seperti penyakit Huntington atau Alzheimer.

TEKNIK PENCITRAAN OTAK


Pada masa lalu, otak hanya dapat dipelajari melalui pembedahan atau autopsi. Beberapa
teknik pencitraan otak yang dikembangkan selama 25 tahun terakhir, saat ini memungkinkan
dilakukannya visualisasi straktur dan fungsi otak. Teknik ini bermanfaat untuk mendiagnosis
beberapa gangguan otak dan membantu menghubungkan area otak tertentu dengan fungsi
spesifik. Teknik pencitraan otak juga bermanfaat dalam riset untuk menemukan penyebab
gangguan jiwa.

Computed tomography (CT, juga disebut computed axial tomography atau CAT skan) ialah
suatu prosedur pengambilan gambar potongan melintang (irisan) selapis demi selapis dengan
menggunakan pancaran sinar-x yang tepat. Komputer merekonstruksi gambar pada monitor
dan juga menyimpan gambar tersebut pada pita atau film magnetik. CT dapat
memvisualisasikan jaringan lunak otak dan digunakan untuk mendiagnosis tumor, efusi, dan
metastasis, serta untuk menentukan ukuran ventrikel otak. Beberapa penderita skizofrenia
ditunjukkan mengalami pembesaran ventrikel. Hal ini dikaitkan dengan prognosis yang lebih
buruk dan gejala negatif yang teridentifikasi. Individu yang menjalani CT scan harus
berbaring tanpa bergerak di atas meja periksa selama sekitar 20 sampai 40 menit ketika meja
periksa dimasukkan ke dalam "lubang" dan sinar-x serial dilakukan.

Pada magnetic resonance imaging (MRI), suatu tipe skan tubuh, medan energi diciptakan
dengan magnet yang sangat besar dan gelombang radio. Medan energi dikonversi menjadi
gambar atau pemindaian visual. MRI menghasilkan gambar jaringan yang lebib rinci dan
lebib kontras daripada CT dan dapat menunjukkan pola aliran darah dan perubahan jaringan
seperti area edema. MRI juga dapat dimakan untuk memeriksa ukuran dan ketebalan struktur
otak. Selemon dan Goldman-Rakic (1995) menemukan reduksi ketebalan kortikal sebesar 7%
pada penderita skizofrenia. Individu yang menjalani MRl harus berbaring di ruang yang kecil
dan tertutup, dan tidak boleh bergerak selama prosedur, yang berlangsung sekitar 45 menit.
Individu yang merasa klaustrofobia (takut terhadap ruangan yang sempit dan tertutup) atau
mengalami peningkatan ansietas perlu diberikan sedasi sebelum prosedur dilakukan. Individu
yang menggunakan alat pacu jantung atau implan logam seperti katup jantung atau alat
ortopedi, tidak dapat menjalani MRI.

Teknik pencitraan yang lebih maju, seperti positron emission tomography (PET) dan single
photon emission computed tomography (SPECT), juga digunakan untuk memeriksa fungsi
otak. Zat radioaktif disuntikkan ke dalam darah dan aliran zat tersebut di dalam otak dipantau
ketika klien melakukan aktivitas kognitif yang diinstruksikan oleh operator. PET
menggunakan emisi dua foton secara simultan. SPECT menggunakan satu foton. PET
memberikan resolusi yang lebih baik dengan gambar yang lebih tajam dan jelas. PET dan
SPECT digunakan untuk riset, tetapi bukan untuk mendiagnosis dan mengobati penderita
gangguan jiwa (Karson dan Renshaw, 2000; Malison dan Innis, 2000). PETscan berlangsung
sekitar dua sampai tiga jam; SPECT berlangsung satu sampai dua jam. Pemindaian tersebut
menunjukkan bahwa penderita penyakit Alzheimer mengalami penurunan metabolisme
glukosa di otak dan penurunan aliran darah serebral. Beberapa penderita skizofrenia juga
menunjukkan penurunan aliran darah serebral.

Keterbatasan Teknik Pencitraan otak


Walaupun teknik pencitiaan seperti PET dan SPECT telah membantu kemajuan yang luar
biasa dalam studi tentang penyakit otak, teknik tersebut memiliki beberapa keterbatasan:
 Penggunaan zat radioaktif pada PET dan SPECT membatasi frekuensi individu yang
dapat menjalani pemeriksaan tersebut. Klien berisiko mengalami reaksi alergi terhadap
zat tersebut. Beberapa klien dapat merasa takut atau tidak mau menerima pemberian dosis
materi radioaktif melalui intravena.
 Biaya pembelian dan pemeliharaan alat pencitraan mahal sehingga alat tersebut terbatas
jumlahnya. Harga kamera PET sekitar $2,5 juta; harga kamera SPECT sekitar $500,000.
 Beberapa individu tidak dapat menoleransi prosedur ini karena merasa takut atau
klaustrofobia.
 Para peneliti menemukan bahwa banyak perubahan tingkat molekuler dan kimia yang
terjadi pada gangguan seperti skizofrenia dan tidak dapat dideteksi dengan teknik
pencitraan terkini (Karson & Renshaw, 2000; Malison & Innis, 2000)
GENETIKA DAN HEREDITAS
Tidak seperti banyak penyakit fisik yang terbukti herediter, misalnya fibrosis kistik, penyakit
Huntington, dan distrofi muskular Duchenne, asal mula ganggran jiwa tidak sesederhana itu.
Teori dan studi terkini mengindikasikan bahwa beberapa gangguan jiwa dapat dikaitkan
dengan gen tertentu atau kombinasi gen, tetapi sumbernya bukan hanya genetik. Faktor
nongenetik juga berperan penting.

Sampai saat ini, salah sahr penemuan yang paling menjanjikan ialah identifikasi dua gen yang
terkait dengan penyakit Alzheimer: kromosom 14 dan 21.

Riset terus dilakukan untuk menemukan keterkaitan genetik dengan penyakit yang lain,
misalnya skizofrenia dan gangguan mood. Hal ini menjadi fokus riset yang terus dilakukan di
Human Genome Project, yang didanai National Institute of Health dan Department of
Energy di Amerika Serikat. Proyek riset internasional ini, yang dimulai pada tahun 1988,
merupakan proyek riset terbesar dalam bidangnya. Tujuannya ialah mengidentifikasi semua
DNA manusia dan karakteristik manusia serta penyakit yang terkait dengan DNA
(mengodekan). Para peneliti menerbitkan hastinya dalam jurnal Science, informasi lebih
lanjut dapat diperoleh di WWW.nhgri.gov.

Tiga tipe studi yang biasanya dilakukan untuk menyelidiki dasar genetik gangguan jiwa:
1. Studi kembar digunakan untuk membandingkan angka kejadian gangguan jiwa tertentu
atau sifat kembar monozigot atau kembar identik, yang memiliki struktur genetik yang
sama, dan kembar. dizigot atau kembar fraternal, yang memiliki struktur genetik yang
berbeda. Kembar fraternal memiliki kesamaan genetik seperti saudara kandung bukan
kembar.
2. Studi adopsi digunakan untuk menentukan sifat di antara anggota keluarga biologis
versus anggota keluarga adopsi.
3. Studi keluarga digunakan untuk membandingkan,apakah suatu sifat lebih umum
ditemukan .di antara kerabat tingkat pertama (orang tua, saudara kandung, atau anak-
anak) daripada di antara kerabat jauh atau popuJasi umum.

Walaupun beberapa keterkaitan genetik ditemukan pada gangguan jiwa tertentu, studi yang
dilakukan tidak menunjukkan bahwa gangguan tersebut hanya terkait secara genetik.
Pengaruh sifat yang diturunkan versus pengaruh Lingkungan masih diperdebatkan, yakni
debat tentang "alami versus pengasuhan".

STRES DAN SISTEM IMUN (PSIKOIMUNOLOGI)

Para peneliti melakukan banyak cara untuk menemukan penyebab gangguan jiwa yang
mungkin. Psikoimunologi, suatu bidang studi yang relatif baru, mempelajari efek stresor
psikososial pada sistem imun tubuh. Sistem imun yang terganggu dapat menyebabkan
terjadinya berbagai penyakit, khususnya pada populasi yang secara genetik sudah berisiko.
Sejauh ini, upaya untuk mengaitkan stresor spesifik dengan penyakit tertentu tidak berhasil.

INFEKSI SEBAGAI PENYEBAB YANG MUNGKIN

Beberapa peneliti berfokus pada infeksi sebagai penyebab gangguan jiwa. Kebanyakan studi
yang menggunakan teori virus berfokus pada skizofrenia, tetapi sejauh ini tidak ada yang
memberi bukti spesifik atau bukti yang meyakinkan. Teori yang sedang dikembangkan dan
diuji meliputi. keberadaan virus yang memiliki afinitas terhadap jaringan SSP, kemungkinan
bahwa virus sebenarnya dapat menngubah gen manusia, dan ibu terpapar virus selama
perkembangan sistem saraf janin yang kritis.

Susan Swedo, kepala bagian pediatrik dan pengembangan neuropsikiatri di National Institute
of Mental Health, telah mempelajari hubungan bakteri Streptococcus dan gangguan obsesif-
kompulsif (obsessive-compulsive disorder, OCD) pada anak-anak. Dalam suatu studi pada 28
anak penderita OCD tahun 1999, Swedo mengganti plasma darah mereka, yang mengandung
antibodi Streptococcus kadar tinggi dengan plasma donor yang sehat. Dalam satu bulan,
insidensi tic menurun sebesar 50%, dan gejala OCD lain berkurang sebesar 60%
(Washington, 1999). Studi seperti ini terkesan menjanjikan dalam menemukan kaitan antara
infeksi dan gangguan jiwa.

PERAN PERAWAT DALAM RISET DAN PENDIDIKAN

Dari semua laporan riset dalam bidang neurobiologi, genetika, dan hereditas, implikasi untuk
klien dan keluarga mereka masih belum jelas atau spesifik. Laporan di media tentang riset
dan studi yang baru sering kali membingungkan atau tidak dipahami dengan baik oleh klien
dan keluarga. Perawat harus membantu klien dan keluarga mendapat informasi tentang
kemajuan dalam bidang tersebut, tetapi juga harus membantu mereka membedakan antara
fakta dan hipotesis. Perawat dapat menjelaskan apakah atau bagaimana riset yang baru dapat
memengaruhi terapi atau prognosis klien. Perawat merupakan sumber yang baik untuk
memberi informasi dan menjawab pertanyaan.

PSIKOFARMAKOLOGI
Manajemen pengobatan adala isu yang krusial bagi banyak klien penderita gangguan jiwa,
dan manajemen ini sangat memengaruhi hasil terapi. Beberapa kategori obat untuk mengatasi
gangguan jiwa (obat psikotropik) akan didiskusikan: antipsikotik, antidepresan, penstabil
mood, antiansietas, dan stimulan. Penting bagi perawat untuk mengetahui cara kerja, efek
samping, kontra indikasi, interaksi obat tersebut, serta intervensi keperawatan yang
diperlukan untuk membantu klien menatalaksana program pengobatan.

Beberapa istilah yang digunakan dalam menjelaskan obat dan terapi obat penting diketahui
perawat. Keefektifan mengacu pada efek terapeutik maksimal yang dapat dicapai oleh obat.
Potensi menjelaskan jumlah obat yang dibutuhkan untuk mencapai efek maksimal tersebut.
Obat yang berpotensi rendah perlu diberikan dalam dosis tinggi untuk mencapai keefektifan,
sedangkan obat yang berpotensi tinggi mencapai keefektifan pada pemberian dosis rendah.
Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan ,untuk setengah jumlah obat keluar dari aliran
darah. Obat yang memiliki waktu paruh lebih pendek perlu diberikan tiga atau empat kali
sehari, tetapi obat yang memiliki waktu paruh lebih panjang dapat diberikan satu kali sehari.
Waktu yang diperlukan obat untuk meninggalkan tubuh sepenuhnya setelah pemberiannya
dihentikan ialah sekitar lima kali waktu paruhnya (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).

PRINSIP YANG MENJADI PEDOMAN TERAPI FARMAKOLOGI

Berikut adalah beberapa prinsip yang menjadi pedoman penggunaan obat dalam menangani
gangguan psikiatri (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995):
٠ Obat diseleksi berdasarkan efeknya pada gejala target klien, misalnya pikiran waham,
serangan panik, atau halusinasi. Keefektifan pengobatan dievaluasi sebagian besar oleh ke-
mampuanobat untuk mengurangi atau meng- hilangkan gejala target.
٠ Banyak obat psikotropika harus diberikan dalam dosis yang adekuat selama periode waktu
sebelum efek seutuhnya dicapai. Misalnya, antidepresan trisiklik dapat memerlukan empat
sampai enam minggu untuk memberikan manfaat terapeutik yang optimal.
٠ Dosis obat sering kali disertakan sampai dosis terendah yang efektif untuk klien. Kadang
kala dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk menstabilkan gejala target klien dan dosis
yang lebih rendah dapat digunakan untuk mempertahankan efek obat tersebut sepanjang
waktu.
٠ Sesuai aturan, individu lansia memerlukan dosis obat yang lebih rendah untuk
menghasilkan efek terapeutik, dan obat dapat memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mencapai efek terapeutik sepenuhnya.
٠ Obat psikotropik sering dikurangi secara bertahap (berangsur-angsur), bukan secara
mendadak dihentikan. Hal ini dilakukan sehubungan dengan masalah potensial terjadinya
rebound (kembalinya gejala untuk sementara), kambuhnya gejala semula, atau putus obat
(gejala baru yang disebabkan penghentian obat).
٠ Perawatan tindak lanjut sangat penting untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
program pengobatan, melakukan penyesuaian dosis obat, dan menatalaksana efek
samping.

Kepatuhan terhadap program pengobatan seringkali meningkat ketika program tersebut


diberikan sesederhana mungkin, baik dalam jumlah obat yang diprogramkan maupun jumlah
dosis harian.

ANTIPSIKOTIK
Antipsikotik, yang juga dikenal sebagai neuroleptik, digunakan untuk mengobati gejala
psikosis, misalnya waham dan halusinasi. Antipsikotik bekerja dengan menyekat reseptor
neurotransmiter dopamine

Antipsikotik digunakan secara klinis sejak tahun 1950-an. Antipsikotik merupakan terapi
medis utama untuk skizofrenia dan juga digunakan dalam episode psikotik mania akut,
depresi psikotik, dan psikosis akibat penggunaan obat. Penderita demensia yang mengalami
gejala psikotik kadang kala berespons terhadap dosis antipsikotik yang rendah. Terapi
antipsikotikjangka pendekbermanfaat.untuk mengobati gejala psikotik sementara, misalnya
gejala yang terlihat pada beberapa penderita gangguan kepribadian ambang (Hyman, Arana,
& Rosenbaum, 1995).

MEKANISME KERJA
Kerja utama semua antipsikotik pada sistem saraf ialah menyekat reseptor neurotransmiter
dopamin. Akan tetapi, mekanisme kerja obat yang terapeutik hanyansebagian dipahami.
Reseptor dopamin diklasifikasikan ke dalam subkategori (Dl, D2, D3, D4, dan D5),dan D2,
D3, D4 dikaitkan dengan gangguan jiwa. Antipsikotik tipikal merupakan antagonis (bloker)
yang kuat D2, D3, dan D4. Hal ini membuat obat tersebut efektif dalam menangani gejala
target tetapi juga menimbulkan banyak efek samping ekstrapiramidal (didiskusikan di bawah)
karena penyekatan reseptor D2. Yang terbaru, antipsikotik atipikal, misalnya klozapin
(Clozaril), merupakan bloker D2 yang relatif lemah, yang menyebabkan insidensi efek
samping ekstrapiramidal yang rendah, Selain itu, antipsikotik atipikal menghambat reuptake
serotonin, seperti pada beberapa antidepresan sehingga antipsikotik ini menjadi lebih efektif
dalam mengobati aspek depresif skizofrenia.

Dua antipsikotik tersedia dalam injeksi depot, suatu bentuk obat yang melepaskan zat aktif
secara bertahap untuk terapi rumatan. Media injeksi ini ialah minyak wijen sehingga obat
tersebut diabsorpsi dengan lambat. Peinberian obat ini yang tidak terlalu sering diperlukan
untuk mempertahankan efek terapeutik yang diinginkan (Keltaer, 1997). Flufenazin
(Prolixin) memiliki durasi 7 sampai 28 hari dan haloperidol (Haldol) memiliki durasi empat
mingu. Setelah kondisi klien stabil melalui pemberian dosis oral obat ini, pemberian melalui
injeksi depot perlu dilakukan setiap dua sampai empat minggu untuk mempertahankan efek
terapeutik.

EFEK SAMPING
Efek Samping Ekstrapkamidal
Gejala Ekstramidal (GEP) adalah ,gejala neurologi serius, yang merupakan efek samping
utama antipsikotik. Gejala tersebut mencakup distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan
akatisia. Efek samping neurologi ini secara kolektif sering disebut GEP walaupun ada
perbedaan di antara berbagai reaksi obat tersebut. Seorang klien dapat mengalami semua
reaksi dalata rangkaian terapi yang sama. Hal ini membuat reaksi yang spesifik sulit
dibedakan. Penyekatan reseptor D2 pada bagian otak tengah batang otak bertanggung jawab
unbak terjadinya GEP.
Terapi efek sampbtg neurologi distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatisia sama dan
dila-kukan dengan mengurangi dosis antipsikotik, meng- ganti obat dengan antipsikotik yang
berbeda, atau memberi antikolinergik (Egan & Hyde, 2000).
Distonia akut mencakup rigiditas otot akut dan kram, lidah kaku atau tebal disertai
kesulitan menelan, dan pada kasus berat teijadi laringospasme dan kesulitan bemapas.
Distonia paling banyak terjadi pada minggu pertama terapi dan pada klien berusia kurang dari
40 tahun, pada pria, dan individu yang mendapat obat berpotensi tinggi, seperti halo- peridol
dan tiotiksen. Spasme atau kekakuan pada kelompok otot dapat menyebabkan tortikolis
(kepala dan leher terpuntir), opistotonus (ketegangan di selunrh tubuh dengan kepala ke
belakang dan leher melengkung), atau krisis okulogirik (mata berputar ke belakang dalam
posisi terkunci). Reaksi distonia akut dapat menimbulkan nyeri dan menakutkan bagi klien.
Terapi segera dengan antikolinergik, seperti benztropin mesilat intramuskular (Cogentin) atau
difenhidramin intramuskular atau difenhidramin intravena (Benadryl), biasanya meredakan
gejala dengan cepat.
Tabel 2-4 memuat daftar obat unhrk mengatasi GEP beserta cara pemberian dan dosis.
Penambahan antikolinergik oral yang tep'adwal secara terahrr, seperti benztropin,
memungkinkan klien untuk terus mengonsumsi antipsikotik tanpa distonia lebih lanjut.
Reaksi distonia yang berulang perlu diatasi melalui pemberian dosis yang lebih rendah atau
mengganti antipsikotik.
Istilah parkinsonisme yang diinduksi obat, atau pseudoparkinsonisme, sering kali
digunakan unhrk menyebut nama umum GEP. Gejalanya menyerupai ge)ala penyakit
Parkinson dan meliputi postur yang birngkuk, kaku; wajah seperh topeng; ayurran lengan
berkurang; cara be^alan dengan kaki diseret danterburu-buru (iangkah pendek-pendek);
cogwheel ri- gidity (gerakan sendi seperti gerakan roda gigi searah); mengeluarkan air liur;
tremor; bradikardia; dan gerakan kasar menggulung pil dengan menggu- nakan ibu jari dan
jari lain ketika beristirahat. Parkin- sonisme diobati dengap mengganti antipsikotik yang
memiliki insidensi GEP lebih rendah atau dengan menambah agens antikolinergik oral atau
amantadin.
Akatisia dilaporkan klien sebagai kebutuhan besar untuk bergerak. Klien tampak gelisalr
atau cemas dan teragitasi, sering kali disertai postur atau cara berjalan yang kaku dan
ukurannya gestur spontan. Perasaan gelisah di dalam diri dan ketidakmampuan unhrk duduk
tenang atau beristirahat sering kali menyebabkan klien berhenti menggunakan antipsikotik.
Akatisia dapat diobati dengan mengganti antipsikotik atau menambah agens oral seperti
penyekat beta, antikolinergik, atau benzo- diazepin.
Syndrom Maligna Neuroleptik.
Syndrom Maligna Neuroleptik (SMN) ialah reaksi idiosinkratik dan berpotensi fatal terhadap
antipsikotik (atau obat neuroleptik). Walaupun DSM-IV (1994) mencatat bahwa dalam
literatur angka kematian .akibat sindrom ini'dilaporkan sebesar 10% sampai 2%, angka
tersebut mungkin disebabkan oleh laporan yang bias; angka yang dilaporkan saat ini menurun
Gejala utama SMN ialah kekakuan, demam tinggi, ketidakstabilan otonom, seperti tekanan
darah tidak stabil, diaforesis, pucat, delirium, dan peningkatan kadar enzim, terutama CPK.
Klien yang mengalami SMN biasanya bingung dan sering kali bisu. Mereka mengalami
fluktuasi dari agitasi sampai stupor. Semua antipsikotik tampaknya berpotensi menye-
babkan SMN, tetapi dosis tinggi obat-obatan ber- potensi tinggi meningkatkan risiko tersebut.
SMN paling sering terjadi pada dua minggu pertama terapi atau setelah dosis ditingkatkan,
tetapi SMN dapat terjadi setiap waktu.
Dehidrasi, gizi buruk, dan penyakit medis yang terjadi secara bersamaan, meningkatkan
risiko SMN. Terapi SMN meliputi penghentian segera semua antipsikotik dan penrberian
perawatan medis pen- dukung seperti rehidrasi dan hipotermia, sampai kondisi fisik klien
stabil. Setelah SMN diatasi, keprr- trrsa.n untuk mengobati klien dengan antipsrkotik lairr
perlu didiskrtsikan sepenuhnya antara klien dan dokter dengan menimbang risiko relatif dan
manfaat potensialterapi.

Diskinesia Tardif.
Diskinesia Tardif (DT), suatu sindrom gerakan involunter dan permanen, paling sering
disebabkan oleh penggunaan antipsikotik tipikal jangka panjang. Setidaknya 20% individn
yang diobati dengan nenroleptik dalam jangka panjang mengalami DT. Gejala DT meliputi
gerakan involunter lidah, otot wajah dan leher, ekstremitas atas dan bawah, dan otot trnnkus.
Lidah yang masuk dan menjulur bibir yang mengerut, mata berkedip-kedip, wajah
menyeringai dan gerakan wajah lain yang berlebihan dan tidak semestinya adalah
karakteristik DT. Setelah terjadi, DT ireversibel walaupun perkembangannya dapat
dihentikan dengan mengurangi atau menghentikan pemberian antipsikotik. Sayangnya,
antipsikotik dapat menutupi gejala awal DT: yakni, peningkatan dosis antipsikotik akan
menyebabkan gejala awal hilang untuk sementara. Akan tetapi, ketika gejala DT memburuk,
gejala tersebut "menghentikan" efek antipsikotik.
Salah satu tujuan pemberian antipsikotik ialah mencegah terjadinya DT. Hal ini dapat
dilakukan dengan mempertahankan dosis rumatan serendah mungkin, mengganti obat, dan
memantau tanda awal DT pada klien secara periodik dengan menggunakan alat pengkajian
standar, seperti Skala Gerakan Involunter Abnormal (lihat Bab 13), Individu yang
menunjukkan tanda DT tetapi masih perlu mengonsumsi antipsikotik, sering kali diberi
klozapin, yang belum terbukti menyebabkan atau memperburuk DT (Egan & Hyde, 2000).

Efek Samping Antikolinergik.


Efek kolinergik sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik dan meliputi hipotensi
ortostatik, mulut kering, konstipasi, retensi urine atau sulit berkemih, 'rabun dekat, mata
kering, fotofobia, kongesti nasal, dan berkuran^ya ingatan. Efek samping ini biasa- nya
berkurang dalam tiga sampai empat minggu, tetapi tidak sepenuhnya hilang. Klien yang
meng- gunakan agens antikolinergik untuk mengobati GEP mungkin rpengalami masalah
yang lebih berat akibat efek samping antikolinergik, tetapi beberapa nutrisi atau obat yang
dijual bebas dapat meredakan gejala tersebut (lihat di bawah).

Efek Samping Lain. Antipsikotik, kecuali klozapin, juga menyebabkan kadar prolaktin dalam
darah meningkat. Peningkatan prolaktin dapat menyebabkan pembesaran dan nyeri tekan
payudara pada pria dan wanita, penurunan libido, disfungsi ereksi dan orgasme,
ketidakteraturan menstruasi, dan pening- katan risiko kanker payudara.
Klozapin menimbulkan efek samping tradisional yang lebih sedikit daripada sebagian
besar antipsikotik, tetapi klozapin memiliki efek samping agra- nulositosis yang berpotensi
fatal. Efek samping teijadi secara tiba-tiba dan ditandai oleh demam, malaise, faringitis
gangrenosa, dan leukopenia. Efek samping ini mungkin tidak muncul segera dan dapat terjadi
sampai 24 minggu setelah terapi dimulai. Saat ini, individu yang menggunakan klozapin di
Amerika Serikat diambil sampel darahnya setiap minggu untuk memantau hitung sel darah
putih. Mereka harus menyerahkan hasll pemeriksaan tersebut ke apotek sehingga obat dapat
kembali diresepkan. Obat tersebut harus segera dihentikanjika hitung sel darah putih turun
sebesar 50% atau kurang dari 3000 (julien, 1998).

PENYULUHAN KLIEN
Klien yang menggunakan antipsikotik harus diberi informasi tentang tipe efek samping yang
dapat terjadi dan harus didorong untuk melaporkan efek samping tersebut kepada dokter,
bukan menghentikan pengobatan. Perawat harus- mengajari klien metode menatalaksana atau
menghindari efek samping yang tidak menyenangkan dan memper tahankan program
pengobatan (lihat Penyuluhan Klien & Penatalaksanaan Pengobatan: Antipsikotik).
Meminum cairan bebas gula dan memakan permen bebas gnla akan mengatasi mulut kering.
Minuman dan permen berkalori harus dihindari karena keduanya meningkatkan karies gigi
meningkatkan berat badan, dan tidak banyak membantu mengatasi mulut kering. Konstipasi
dapat dicegah atau dikurangi dengan meningkatkan air dan makanan berserat dalam diet dan
dengan olahraga. Pelunak feses boleh digunakan, tetapi laksatif harus dihindari. Penggunaan
tabir surya dianjurkan karena fotosensitivitas dapat menyebabkan klien mudah terbakar.

Klien harus memantau besarnya rasa kantuk yang mereka rasakan. Mereka harus
menghindari mengemudi dan melakukan aktivitas lain yang berpotensi berbahaya sampai
waktu respons dan refleks mereka menjadi normal.

Apabila klien lupa minum satu dosis antipsikotik ia dapat meminum dosis obat tersebut
hanya jika terlambat tiga atau empat jam. Apabila terlambat lebih dari empat jam, atau dosis
berikutaya sudah harus diminum, dosis yang terlupa tersebut dapat diabaikan. Klien yang
sulit mengingat untuk minum obat harus didorong menggunakan catatan dosis,
ataumenggunakan.kotak pil yangsebelumnya dapat diisi dengan dosis yang akurat unhik
beberapa hari atau minggu.

Antidepresan
Antidepresan terutama digunakan dalam terapi gangguan depresif mayor, 'gangguan panik
dan gangguan ansietas lain, depresi bipolar, dan depresi psikotik. Walaupun mekanisme
ke^anya tidak sepe- nuhnya dipahami, antidepresan berinteraksi dengan dua neurotransmiter,
norepinefrin dan serotonin, yang mengahrr mood, keinginan, perhatian, proses sensori, dan
nafsu makan.
Antidepresan dibagi menjadi empat kelompok:
٠ Antidepresan trisiklik dan anhdepresan siklik terkait
٠ Inhibitor reuptake serotonin selektif {selectivese- rotonin reuptake inhibitor, SSRI);
٠ Inhibitor monoamin oksidase {monoamine oxidase inhibitor, MAOl)
٠ Antidepresan lain, misalnya venlafaksin (Effexor), bupropion (Wellbutrin), trazodon
(Desyrel), dan nefazodon (Serzone).
Tabel 2-5 memuat daftar bentuk dosis, dosis harian.yang lazim, dan rentang dosis yang
ekstrem.
Senyawa siklik tersedia pada tahun I950٠an dan selama bertahun-tahun menrupakan obat
pilihan pertama untuk mengatasi depresi walaupun senyawa tersebut menyebabkan berbagai
derajat sedasi, .hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah ketika.bangkit), dan elek
samping antikolinergik. Selain itu, antidepresansiklik berpotensi letal jika dikonsumsi dalam
dosis berlebih.
Selama periode waktu yang sama, MAOI diketahui memiliki efek positif pada penderita
depresi. Walaupun MAOI memiliki insidensi efek sedasi dan antikolinergik yang rendah,
MAOI harus digunakan dengan kewaspadaan besar untuk beberapa alasan:
1. Efek samping yang mengancam jiwa, krisis hipertensi, dapat teq'adi )ika klien
memakan makanan yang mengandung tiramin (suatu asam amino) sementara ia
mengonsumsi MAOI.
2.. Karena risiko interaksi obat yang berpotensi fatal, MAOI tidak dapat diberikan dalam
kombinasi dengan MAOI lain, antidepresan bisiklik, atau meperidin. (Demerol),
depresan SSP, antihipertensi, atau anestesi umum.
3. MAOI berpotensi letal dalam dosis berlebih dan memiliki risiko potensial untuk
penderita depresi yang mungkin memikirkan bunuh diri.
SSRI, yang pertama kali tersedia pada tahun 1987 bersama keluarnya fluoksetin (Prozac),
telah mengganti obat siklik sebagai pilihan pertama dalam mengobati depresi karena
keefektifan keduajenis oba، tersebut setara dan efek samping yang menyulitkan lebih sedikit.
SSRI dan klomipramin juga efektif dalam terapi OCD

OBAT YANG DIPILH UNTUK KLIEN BERISIKO TINGGI BUNUH DIRI


Bunuh diri selalu merupakan pertimbangan utama ketika mengobad penderita depresi. SSRI,
venlafaksin, nefazodon, trazodon, dan bupropion sering kali merupakan piliban yang lebib
baik untuk individu yang berpotensi bunuh diri atau sangat impulsif karena obat tersebut
tida.k berisiko letal akibat overdosis. Hal ini bertolak belakang dengan senyawa siklik dan
MAOI.

Evaluasi risiko bunuh diri harus dilanjutkan bahkan setelah terapi dengan antidepresan
dimulai. Klien mungkin merasa lebih bertenaga tetapi mungkin masih memiliki pikiran
bunub diri. Hal ini meningkatkan kemungkinan upaya bunub diri. Karena obat ini juga sering
kali memerlukan wakhr berminggu-minggu unhrk mencapai efek terapeutik penuh, klien
mungkin berkecil hati dan lelah menunggu unhrk mencapai kondisi yang lebib baik. Hal ini
menyebabkan perilaku bunuh diri.

MEKANISME KERJA
Mekanisme yang tepat antidepresan menimbulkan efek terapeutik tidak diketabui, tetapi
banyak informasi yang diketahui tentang kerja obat ini pada SSP.
Interaksi utamanya ialah dengan sistem neurotransmiter monoamin di otak, khususnya
norepinefin dan serotonin. Kedua neurotransmiter ini dilepas di seluruh otak dan membantu
mengatur keinginan, kewaspadaan, perhatian, mood, proses sensori, dan nafsu makan.

Norepinefrin, serotonin, dan dopamin dikeluarkan dari sinaps setelah dilepas dengan reuptake
ke dalam neuron prasinaptik. Setelab reuptake, tiga neurotransmiter ini dikumpulkan untuk
pelepasan selanjutnya atau dimetabolisme oleh enzim MAO. SSRI menyekat reuptake
serotonin, antidepresan siklik dan venlafaksin terutama menyekat reuptake norepinefrin dan
serotonin sampai derajat tertentu, dan MAOI mengganggu metabOlfsme enzim. Akan tetapi,
hal ini bukan penjelasan yang lengkap: penyekatan reuptake sero- tonin dan norepinefrin
serta inhibisi MAO terjadi dalam hitungan jam, sementara antidepresan jarang yang efektif
sampai empat hingga enam minggu. Diyakini bahwa kerja obat-obatan ini merupakan suatu
“peristiwa awal" dan keefektifan terapeutik akhir terjadi ketika neuron berespons lebih
lambat, yang menyebabkan serotonin tersedia pada sinaps (Hyman, Arana, & Rosenbaum,
1995).

EFEK SAMPING SSRI


SSRIrelatifmemiiikisedikitefeksampingdibanding- kan senyawa siklik. Peningkatan transmisi
serotonin dapabmenimbulkan beberapa efek samping umum seperti ansietas, agitasi, akatisia
(kegelisahan motorik), mual, insomnia, dan disfungsi seksual, khususnya penurunan
dorongan seksual atau kesu- litan mencapai ereksi atau orgasme. Mual biasanya dapat
diminimalkan dengan mengonsumsi obat bersama makanan. Akatisia biasanya diobati
dengan penyekat beta, seperti propranolol (Inderal), atau benzodiazepin. Insomnia dapat
berlanjut menjadi masalah walaupun obat dikonsumsi pada pagi hari; hipnotik-sedatif atau
trazodon dosis rendah mungkin diperlukan.
Efek samping yang kurang umum meliputi sedasi (khususnya pada penggunaan paroksetin
[PaxilJ), berkeringat, diare, tremor tangan, dan sakit kepala Diare dan sakit kepala biasanya
dapat diatasi denganterapi slmt.matik. Berkeringat dan sedasi yang ber- lanjut paling
mnngkin mengindikasikan kebutuhan untuk mengganti antidepresan lain.

EFEK SAMPING ANTIDEPRESAN SIKLIK

Senyawa siklik memiliki lebih banyak efek samping daripada SSRI dan senyawa lain yang
lebih barn. Obat individual dalam kalegori ini bervariasi intensitas efek sampingnya, tetapi
umumnya efek samping berada dalam kategori yang sama. Anti- depresan siklik menyekat
reseptor kolinergik, yang menimbulkan efek antikolinergik seperti mulut kering, konstipasi,
retensi urine atau sulit berkemih, jalan napas kering, dan rabun dekat. Efek anti- kolinergik
yang lebih berat dapat te^adi, khususnya pada lansia, seperti agitasi, delirium, dan ileus. Efek
samping umum lain meliputi hipotensi ortostatik, sedasi, kenaikan berat badan, dan
takikardia. Klien dapat menoleransi efek antikolinergik, tetapi efek samping ini merupakan
alasan umum klien menghentikan terapi obat. Disfungsi seksual sering kali dilaporkan oleh
klien yang menggunakan senyawa siklik, sama dengan masalah yang dialami pengguna
SSRI.

EFEK SAMPING MAOI


Efek samping MAOI yang paling sering muncul meliputi sedasi pada siang hari, insomnia,
kenaikan berat badan, mulut kering, hipotensi ortostatik, dan disfungsi seksual. Sedasi dan
insomnia sulit diobati dan mungkin memerlukan penggantian obat. Masalah khusus pada
penggunaan MAOI ialah potensi krisis hipertensi yang mengancam jiwa jika klien
mengonsumsi makanan yang mengandung tiramin atau mengonsumsi obat simpatomimetik.
Gejala krisis ini ialah hipertensi berat, hiperpireksia, takikardia, diaforesis, tremor, dan
aritmia jantung. Obat-obatan yang dapat menyebabkan interaksi yang berpotensi fatal dengan
MAOI meliputi SSRI, senyawa siklik tertentu, buspiron (BuSpar), dekstro- metorfan, dan
derivai opiat seperti meperidin. Lihat Kewaspadaan Obat: ‫ر‬Interaksi Obat MAOI. Klien harus
mampu memahlhi diet bebas tiramin; Kotak 2-1 memuat daftar makanan yang harus
dihindari.

INTERAKSI OBAT
Interaksi obat yang tidak umum tetapi berpotensi serius yang disebut sindrom .serotonin atau
sindrom serotonergik dapat terjadi akibat menggunakan MAOI dan SSRI pada saat
bersamaan. Hal ini jugadapat terjadi jika salah satu obat tersebut dikonsumsi terlalu dekat
dengan akhir terapi obat yang lain. Dengan kata lain, suatu obat harus keluar dari sistem
individu sebelum terapi obat yang la.in dimulai. Gejala meliputi agitasi, berkeringat, demam,
takikardia, hipotensi, kekakuan, hiperrefleksia, dan bahkan pada reaksi yang ekstrem terjadi
koma dan kematian (Stembach, 1991). Gejala ini sama dengan gejala yang terjadi pada
overdosis SSRI.
EFEK SAMPING ANTIDEPRESAN LAIN

Antidepresan lain atau yang baru, nefazodon, tra- zodon, dan mirtazapin (Remeron)
umumnya menye- babkan sedasi. Baik nefazodon maupun trazodon umumnya menyebabkan
sakit kepala. Nefazodon juga dapat menyebabkan mulut kering dan mual. Bupropion dan
venlafaksin dapat menyebabkan nafsu makan hilang, mual, agitasi, dan insomnia.
Venlafaksin juga dapat menyebabkan pusing, berkeringat, atau sedasi. Disfungsi seksual
lebih jarang terjadi pada penggunaan antidepresan baru, dengan satu pengecualian yang perlu
diperhatikan: trazodon dapat menyebabkan priapisme (ereksi yang nyeri dan terus-menerus,
yang memerlukan terapi segera dan penghentian obat). Priapisme juga dapat menyebabkan
impotensi.

PENYULUHAN KLIEN
SSRI harus dikonsumsi pagi-pagi sekali kecuali jika sedasi merupakan masalah. Umumnya,
paroksetin paling sering menyebabkan sedasi. Apabila sahrdosis SSRI terlupa, dosis tersebut
dapat dikonsumsi sampai 8 jam setelah waktu dosis yang terlupa tersebut. Senyawa siklik
umumnya harus dikonsumsi pada malam hari, sedapat mungkin dalam dosis harian tunggal
untuk meminimalkan efek samping. Apabila satu dosis senyawa siklik terlupa, dosis tersebut
dapat dikonsumsi dalam tiga jam setelah waktu dosis yang terlupa tersebut, atau diabaikan
unhik hari itu. Klien harus berhati-hati ketika menge- mudi atau melakukan aktivitas yang
membutuhkan refleks tajam dan waspada sampai efek sedatif hilang.
Klienyangmengonsumsi MAOIperlu menyadari bahwa krisis hiperadrenergik yang
mengancamjiwa dapat teijadi jika pembatasan diet tertentu tidak diobservasi- Klien harus
menerima daftar tertulis tentang makanan yang harus dihindari ketika mengonsumsi MAOI.
Klien harus diberi tahu tentang risiko interaksi obat yang serius atau bahkan fatal ketika
mengonsumsi MAOI, dan harus di- instruksikan untuk tidak mengonsumsi obat tarn- bahan,
termasuk obat yang dijual bebas, tanpa mendiskusikannya dengan dokter atau ahli farmasi
(julien, 1998).
Penyuluhan Klien dan Penatalaksanaan Peng- obatan: Antidepresan meringkas poin-poin
penyu- luhan klien.
Obat Penstabil Mood
Obat penstabil mood digunakan untuk mengobati gangguan afektif bipolar dengan
menstabilkan mood klien, menghindari atau meminimalkan tinggi rendah mood yang
mencirikan gangguan bipolar, dan mengobati episode akut mania. Litium adalah penstabil
mood yang paling baik; beberapa antikonvulsan, terutama karbamazepin (Tegretol) dan asam
valproat (Depakote, Depakene), merupakan penstabil mood yang efektif. Antikonvulsan lain,
seperti gabapentin (Neurontin) dan lamotrigin (Lamictal), digunakan berdasarkan percobaan
untuk stabilisasi mood. Kadang kala, klonazepam (Klonopin) Juga dimakan untuk mengobati
mania akut. Klonazepam tercakup dalam diskusi tentang agens antiansietas.

MEKANISME KERJA
Walanpun litium memiliki banyak efek neurobiologi, mekanisme kerja yang menghasilkan
efek terapeutik pada gangguan bipolar sedikit dipahami. Litium menormalkan reuptake
neurotransmiter tertentu, seperti serotonin, norepinefrin, asetilkolin, dan dopamin. Litium
juga mengurangi pelepasan norepinefrin melalui kompetisi dengan kalsium. Litium
menimbulkan efeknya di dalam sel, bukan di dalam sbraps neuron, dengan beke^a secara
lang- sung pada protein G dan subsistem enzim tertentu, seperti adenosin monofosfat siklik
dan fosfatidilinositol (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).

Mekanisme kerja antikonvulsan tidak jelas bila berkaitan dengan stabilisasi mood. Asam
valproat diketahui meningkatkan kadar GABA neurotrans miter inhibisi. Baik asam valproat
naaupun karba- mazejain diduga menstabilkan mood dengan meng- hambat kindling process.
Proses ini dapat dijelaskan seperti efek bola salju yang terlihat ketika aktivitas kejang minor
meningkat menjadi lebih berat dan lebih sering. Dalam penatalaksanaan kejang, anti-
konvulsan meningkatkan batas ambang untuk mencegah kejang minor ini. Dicurigai bahwa
kindling process yang sama juga dapat tep'adi pada perkem- bangan mania secara lengkap,
jika distimulasi oleh episode minor yang lebih sering. Hal ini juga dapat menjelaskan alasan
antikonvulsan efektif dalam terapi dan pencegahan mania (Egan & Hyde, 2000). DOSIS
Litium tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, cair, dan bentuk sustain-release, tetapi tidak
tersedia bentuk parenteral. Dosis litium yang efektif ditetap- kan dengan memantau kadar
litium serum dan mengkaji respons klinis klien terhadap obat. Dosis harian umumnya
berkisar dari 900 sampai 3600 mg; lebih penting lagi, kadar litium serum harus sekitar 1,0
mE٩/L. Kadar litium serum kurang dari 0,5 mEq/ L jarang yang terapeutik dan kadar lebih
dari 1,5mE٩/L biasanya dianggap toksik. Kadar litium harus dipantau setiap dua sampai tiga
hari sementara dosis terapeutik ditetapkan, kemudian dipantau setiap minggu. Ketika kondisj
klien sl'abil, kadar tersebut mungkin perlu diperiksa satu kali dalam sebulan atau lebih jarang
(Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995; Julien, 1998).
Karbamazepin tersedia dalam bentuk tablet, cair, dan tablet kunyah. Dosis biasanya
berkisar dari 800 sampai 1200 mg/hari; rentang dosis yang ekstrem ialah 200 sampai 2000
mg/hari. Asam valproat ter- sedia dalam bentuk kapsul, tablet, cair, dan seperti obat tetes,
.dengan rentang dosis dari 1000 sampai 1500 -mg/hari; rentang dosis yang ekstrem ialah 750
sampai 3000 mg/hari. Kadar obat serum, yang di- peroleh 12 jam setelah dosis terakhir obat,
dipantau untuk mengetahui kadar terapeutik kedua antikon- vulsan tersebut (Julien, 1998).

EFEK SAMPING
Efek samping umum terapi litium meliputi mual ringan atau diare, anoreksia, tremor halus
pada tangan, polidipsia, poliuria, rasa logam di mulut, dan keletihan atau letargi. Kenaikan
berat badan dan akne merupakan efek samping yang teijadi kemu- dian dalam terapi litium;
keduanya menyebabkan distres pada klien. Mengonsumsi obat bersama makanan meipbantu
mengatasi mual dan peng- gunaan propranolol sering kali memperbaiki tremor halus. Letargi
dan kenaikan berat badan sulit diatasi atau diminimalkan dan sering kali menyebabkan klien
tidak mematuhi pengobatan.
Efek toksik litium adalah diare berat, muntah, menganhrk, kelemahan otot, dan kurang
koordinasi. Apabila tidak diobati, gejala tersebut memburuk dan dapat menyebabkan gagal
ginjal, koma, dan kema- ban, Apabila muncul tanda toksisitas, pemberian obat harus segera
dihentikan. Apabila kadar litium melebihi 3,0 mE٩/L, dialisis dapat diindikasikan.
Efek samping karbamazepin dan asam valproat meliputi rasa kantuk, sedasi, mulut kering,
dan penglihatan kabur. Selain itu, karbamazepin dapat menyebabkan ruam dan hipotensi
ortostatik, dan asam valproat dapat menyebabkan kenaikan berat badan, alopesia, dan tremor
tangan.
PENYULUHAN KLIEN
Untuk klien yang mengonsumsi litium dan anti- konUulsan, penting untuk memantau kadar
dara.h secara periodik. Waktu pemberian dosis terakhir harus akurat sehingga kadar plasma
dapat diperiksa 12 jam setelah pemberian dosis terakhir. Mengon- sums‫ ؛‬obat-obatan tersebut
bersama makanan akan meminimalkan mual. Mengemudi lidak boleh dila- kukan sampai
letargi, pusing, keletihan, a tail peng- lihatan kabiir berkurang (Julien, .1998). Penyuluhan
Klien Mengenai Penatalaksanaan Pengobatan: Obat Penstabil Mood meringkas poin-poin
penyuluhan klien.

Antiansietas (Ansiolifik)
Antiansietas atau obat ansiolitik, digunakan untuk mengobati ansietas dan gangguan ansietas,
insom- niaOCD, depresi, gangguan stres pascatrauma, dan putus alkohol. Antiansietas
merupakan salah satu obat yang paling banyak diresepkan saat ini. Ber- bagai obat dari
klasifikasi yang berbeda telah di^rna- kan dalam terapi ansietas dan insomnia. Benzo-
diazepin terbukti mempakan obat yang paling efektif dalam mengurangi ansietas dan
merupakan obat yang paling sering diresepkan. Benzodiazepin juga dapat diresepkan karena
memiliki efek antikonvulsan dan relaksan otot. Buspiron merupakan golongan
nonbenzodiazepin yang sering digunakan untuk mengurangi ansietas sehingga obat tersebut
dibahas dalam''bagian ini. Obat lain yang dapat digunakan untuk mengurangi ansietas seperti
propranolol, klonidin (Catapres), atau hidroksizin (Vistaril) sangat kurang efektif dan tidak
dibahas dalam bagian ini.

MEKANlSME KERJA
Benzodiazepin memperantarai keija asam amino GABA, - neurofransmiter inhibisi utama
di otak. Karena saluran reseptor GABA dengan selekh.f memasukkan anion klorida ke dalam
neuron, aktivasi reseptor GABA menghiperpolarisasi neuron sehingga te^adi inhibisi.
Benzodiazepin menimbul- kan efeknya dengan terikat ke tempat khusus di reseptor GABA.
Buspiron dipercaya menimbulkan efek ansiolitiknya dengan- bekerja sebagai agonis parsial
di reseptor serotonin sehingga men^rrangi pergantian serotonin (Hyman, Arana, &
Rosenbaum, 1995). Waktii partih benzodiazepin bervariasi, yakni cara benzodiazepin
dimetabolisme dan keefektifan- nya dalam mengobati ansietas dan insomnia. Tabel 2- 6
memnat daftar dosis, waktu paruh, dan kecepatan awitan setelah dosis tunggal. Frekuensi
pemberian dosis obat dengan waktu paruh yang lebih panjang perlu dikurangi dan obat ini
menghasilkan efek re- bound yang lebih sedikit di antara pemberian dosis obat. Akan tetapi,
obat tersebut dapatberakumulasi di dalam tubuh dan menghasilkan efek "sedasi pada hari
berikutaya." Sebaliknya, obat yang rnemiliki waktu paruh yang lebih pendsk tidak
berakumul'asi di dalam tubuh atau menyebabkan sedasi pada hari berikutaya, tetapi obat
tersebrtt memang rnemiliki efek rebound dan frekuensi pemberiannya perlu diting- katkan.
Temazepam (Restoril), triazolam (Halcion), dan flurazepam (Dalmane) merupakan obat
yang paling sering diresepkan unhrk tidur, bukan untuk mengu- ,rangi ansietas. Diazepam
(Valium), klordiazepoksid (Librium), dan klonazepam sering kali digunakan unhrk mengatasi
putus alkohol, juga diresepkan untuk mengurangi ansietas.

EFEK SAMPING
Walaupun bukan efek samping dalam arti sebenar- nya, salah satu masalah utama yang
ditemukan pada penggunaan benzodiazepin ialah kecenderungan obat tersebut untuk
menyebabkan ketergantungan fisik. Apabila pemberian obat dihentikan, muncul gejala putus
obat yang signifikan. Gejala ini, sering kali menyerupai gejala awal yang menjadi alasan
klien mencari terapi. Hal ini terutama meirjadi masalah pada klien yang menggunakan
benzodia- zepin dalam J'angka panjang, misalnya penderita ganggan panik atau gangguan
ansietas umum. Ketergantungan psikologis pada benzodiazepin biasa te^adi: klien takut
gejala ansietasnya muncul kembali atau yakin bahwa diri mereka tidak mampu mengatasi
ansietas tanpa obat. Hal ini dapat menye- babkan peng^rnaan berlebihan atau penyalahguna-
an obat tersebut. Buspiron tidak menyebabkan tipe keterganhrngan fisik ini.
Efek samping yang palingsering dilaporkan pada penggunaan benzodiazepin ialah efek
samping depresi SSP, seperti mengantuk, sedasi, koordinasi yang buruk, dan gangguan
memori atau gangguan sensorium. Apabila digunakan untuk tidur, klien dapat mengeluh
sedasi pada hari berikutoya atau efek rasa sakit pada pagi hari ketika bangun (hang- over).
Klien sering menoleransi gejala tersebut dan biasanya intensitas gejala berkurang. Efek
samping umum penggunaan buspiron meliputi pusing, sedasi, mual, dan sakit kepala
(Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).
Klien lansia .mengalami lebih.banyak kesulitan mengatasi efek "depresi SSP. Mereka
lebih rentan jatuh akibat efek pada koordinasi dan sedasi. Mereka )riga mengalami defisit
ffiemori yang lebih berat dan masalah inkontinensia urine, terutama pada malam hari.

PENYULUHAN KLIEN
Pen ting bagi kiien untuk mengetahui bahwa agens antiansietas ditujukan untuk mengurangi
gejala, seperti ansietas atau insomnia, tetapi tidak meng- obati penyebab dasar ansietas.
Benzodiazepin menguatkan efek alkohol: satu kali minum memiliki efek tiga kali minum.
Oleh karena itu, klien tidak boleh minum alkohol ketika mengonsumsi benzo- diazepin. Klien
harus menyadari Penurunan waktu respons, refleks lebih lambat,. dan kemungkinan efek
sedatif obat ini ketika melakukan aktivitas seperti mengemudi atauberangkat keija.
Berhenti menggunakan benzodiazepin dapat berakibat fatal: setelah suahi terapi mulai
diberikan, benzodiazepin janganpernah dilrentikan secara tiba- tiba atau tanpa supervisi
dokter ‫؛‬Julien, 1998).
Penyuluhan Klien unhik Penatalaksanaan Peng- obatan: Ansiolitik meringkas poin-poin
penyuluhan klien.

STIMULAN

Obat stimulan, khususnya amfetamin, pertanaa kali digunakan dalam mengobati gangguan
psikiatri pada tahun I930_an karena efek nyata shmulasi SSP. Di masa lalu, obat ini
digunakan unhrk mengatasi depresi dan obesitas, tetapi penggunaan obat tersebut hdak umum
dalam praktik saat ini. Dekshoamfe- tamin (Dexedrine) telah disalahgunakan secara luas
untuk menimbulkan rasa melayang (high) atau untuk tetap terjaga selama periode waktu yang
lama. Saat ini, penggunaan utama stimulan ialah untuk mengatasl gangguan
hiperaktivitas/defisit perhatian- attention disorder, MB') pada anak-anak dan remaja, ganger
an defislt per- hatian sisa pada dewasa, dan narkolepsi (serangan rasa kanhrk pada siang hari
yang tidak diinginkan, tetapi tldak dapat diatasi, yang mengganggu kehi- dupan individu).
Obat-obatan utama yang digunakan untuk meng- atasi ADHD ialah stimulan SSP
metilfenidat (Ritalin), pemolin (Cylert), dan dekstroamfetamin. Di antara obat-obatan ini,
metilfenidat merupakan 90% obat yang diberikan kepada anak-anak pen- derita ADHD
.ulien, 1998). Sekitar 10% sampai 50% penderita ADHD tidak berespons dengan adekuat
terhadap obat-obatan stimulan dan dianggap resisten terhadap pengobatan. Individu ini
diobati dengan antidepresan. Nortriptilin (Pamelor) mem- berikan hasil yang paling baik:
sekitar 76% individu yang diselidiki, melaporkan respons yang positif. Fluoksetin dan
bupropion tidak seefektif nortriptilin atau obat-obatan stimulan (Julien, 1998).

MEKANISME KERJA
Amfetamin dan metilfenidat secara tidak langsung sering.disebut amina aktif karena obat
tersebutbekerja dengan melepaskan neurotransmiter (norepinefrin, dopamin, dan serotonin)
dari terminal saraf.pra- sinaptik, kebalikan dari efek agonis langsung pada reseptor
pascasinaptik. Obat tersebutjuga menyekat reuptake neurofransmiter ini. Metilfenidat menim-
bulkan shmulasi &p yang lebih ringan daripada amfetamin; pemolin terutama memengaruhi
dopamin sehingga kurang berefek pada sistem saraf simpatis. Sebelumnyadidugabahwa
penggunaanmetilfenidat dan pemolin unhik mengobati ADHD, pada anak- anak
menimbulkan efek kebalikan sebagian besar stimulan—aktivitas otak menurun atau
melambat. Akan tetapi, yang te^adi tidak demikian: stimulan tidak menimbulkan efek
penurunan aktivitas otak pada anak-anak yang tidak menderita ADHD.

DOSIS
Untuk terapi narkolepsi pada orang dewasa, baik dekstroamfetamin maupun metilfenidat
diberikan dalam dosis yang terbagi dengan total 20 sampai 200 mg/hari. Dosis yang lebih
tinggi dibutuhkan karena penderita- narkolepsi dewasa menoleransi stimulan sehingga
memerlukan lebih banyak obat untuk mendukung penyembuhan. Toleransi tidak teijadi pada
penderita ADHD.
Dosis yang digunakan untuk mengobati ADHD pada anak-anak sangat bervariasi,
bergantung pada dokter; usia, berat badan, dan perilaku anak; dan toleransi keluarga terhadap
perilaku anak. Tabel 2-7 memuat daftar rentang dosis stimulan yang biasa digunakan.
Rencana harus dibuat agar perawat sekolah atau individu dewasa yang berwenang lain- nya
memberikan stimulan kepada anak di sekolah. EFEK SAMPING
Efek samping stimulan yang paling umum teijadi adalah anoreksia,' penurunan berat badan,
mual, dan iritabiiitas. Kafein, gula, dan cokelat hanrs dihmdari karena zat tersebut dapat
memperburuk gejala- gejala ini. Efek samping yang lebih jarang teijadi meliputi pusing,
mulut kering, penglihatan kabur, dan palpitasi. Masalah jangka panjang yang paling umum
muncul akibat penggunaan stimulan ialah supresi pertumbuhan dan berat badan yang teijadi
pada beberapa anak, Hal ini biasanya dapat dicegah dengan melakukan "libur obat" pada
akhir minggu, hari libur, atau selama liburan musim panas, yang membantu mengembalikan
pola makan dan pola pertumbuhan n'ormal.

PENYULUHAN KLIEN
Potensi penyalahgunaan menyertai penggunaan stimulan, ietapi hal ini jarang menjadi
masalah pada anak-anak. Mengonsumsi dosis stimulan setelab makan dapat meminimalkan
anoreksia dan mual. Minuman bebas kafein dianjurkan; ‫؟‬okelat dan gula berlebihan harus
dihindari. Hal yang paling penting ialah menyimpan obat jauh dari jangkauan anak karena
suplai untuk 10 hari saja dapat berakibat fatal. Penyuluhan Klien dan Keluarga untuk
Penatalak- sanaan Pengobatan: Stimulan meringkas poin-poin penyuluhan unhrk klien dan
keluarga.

Disulfiram (Antabuse)
Disulfiram ialah agens sensitisasi yang menyebabkan reaksi merugikan ketika.dicampur
dengan alkohol di dalam tubuh. Satu-sahmya manfaat agens ini ialah mencegah individu
minum alkohol ketika ia men- dapat terapi alkoholisme. 'Agens ini bermanfaat bagi individu
yang termorivasi, untuk berhenti minum dan tidak impulsif. Lima sampai sepuluh menit
setelah seseorang yang mengonsumsi disulfiram minum akohol, gejala muiai muncul: wajah
dan tubuh kemerahan akibat vasodilatasi, sakit kepala berdenyut, berkeringat, mulut kering,
mual, muntah, pusing, dan kelemahan. Pada kasus yang berat, te^adi nyeri dada, dispnea,
hipotensi berat, kebingungan.dan bahkan kematian. Gejala berkembang dengan cepat dan
berlangsung 30 menit sampai dua jam. Karena disulfiram dimetabolisme oleh hat'i, agens ini
beke^a paling efektif pada individu yang kadar enzim hatinya dalam atau mendekati rentang
normal.
Disulfiram menghamlaat enzim aldehid dehidro- genase yang terlibat dalam metabolisme
etanol. Kadar asetaldehid kemudian meningkat5 sampai 10 kali lebih tinggi dari normal, yang
menyebabkan reaksi di- sulfiram-alkohol. Reaksi ini menguat akibat penurun- an kadar
epinefrin dan norepinefrin pada sistem sarat simpatis yang disebabkan oleh inhibisi dopamin
beta- hidroksilase (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995).
Pendidikan sangat penting untuk klien yang menggunakan disulfiram. Banyak produk
umum, misalnya krim cukur, losion setelali bercukur, kolonye, dan deodoran, serta obat-
obatan yang dijual bebas seperti obat batuk mengandung alkohol; ketika digunakan oleh klien
yang mengonsumsi di- sulfiram, produk tersebut dapat menimbulkan reaksi yang sama
seperti minum alkohol. Klien harus membaca label produk dengan cermat dan memilih
produk yang tida.k mengandung alkohol.
Efek samping lain yang dilaporkan oleh individu yang mengonsumsi disulfiram meliputi
keletihan, mengantuk, halitosis, tremor, atau impotensi. Obat ini juga dapat mengganggu
metabolisme obat lain yang dikonsumsi klien, .seperti fenitoin (Dilantin), isorUazid .(INH),
warfarin (Coumadin), barbiturat, dan •benzodiazepin kerja lambat seperti diazepam dan
klordiazepoksid.
PERTIMBANGANBUDAYA
StLidi telali menunjukkan bahwa individu dengan latar belakang etnik yang berbeda
beresp.ns secara berbeda terhadap obat tertentu yang digunakan untuk mengatasi gangguan
jiwa. Perawat harus mengenal perbedaan budaya ini.
Stndi ،elah menunjukkan baliwa orang Amerika- Afrika berespons lebih cepat terhadap
antipsik.tik dan antidepresan trisiklik daripada orang Kaiikasia. Orang Amerika-Afrika juga
berisiko lebih besar lintuk mengalami efek samping akibat penggrnaan dna kelas obat ini
daripada orang Kaiikasia (Lawson, 1996; Sramek & Pi, 1996). Orang Asia memeta- bolisme
antipsikotik dan antidepresan trisiklik lebih lambat daripada orang Kaiikasia sehingga mereka
niemerlukan dosis yang lebih rendah lintuk men- capai efek yang sama (Ruiz et al., 1996).
Orang Hispanik juga membutuhkan dosis antidepresan yang lebih rendah daripada orang
Kaiikasia untuk mencapai efek yang diinginkan (Klidzma, 1999).
Orang Asia berespons secara terapeutik ‫؛‬.erhadap dosis litium yang lebih rendah daripada
orang Kail- kasia (Sramek & Pi, 1996). Orang Amerika-Afrika memiliki kadar litium dalam
darah lebih tinggi daripada orang Kaiikasia ketika diberi dosis yang sama dan mereka Juga
mengalami lebih banyak efek samping (Sramek & Pi, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa
orang Amerika-Afrika membutuhkan dosis litium yang lebih rendah daripada orang
:Kaukasia untuk menghasilkan efek yang diinginkan (Lawson, 1996). Lihat bagian
pertimbangan budaya di setiap bab tentang gangguan untuk mengetahui perbedaan budaya
tertentu pada penggunaan berbagai obat.

ISU KESADARAN DIRI


Perawat harus mengkaji keyakinan dan perasaan mereka sendiri tentang gangguan jiwa
sebagai "penyakit" dan peran obat dalam mengatasi gangguanjiwa. Beberapa perawat
mungkiiL bersikap skeptis terhadap beberapa gangguanjiwa dan yakin bahwa klien dapat
mengendalikan ketiidupan mereka jik.a mereka cukup berupaya. Perawat yang menangani
klien gangguan jiwa mulai memahami bahwa banyak gangguan sama dengan penyakit fisik
kronis seperti asma atau diabetes, yang memerlukan pengobatan seumur hidup untuk
mempertahankan kesehatan.Tanpamanajemenpengobatan yang tepat, klien gangguanjiwa
tertenhr, sepertiskizofrenia atau gangguan afektif bipolar, tidak dapat-bertahan dan
menghadapi dunia di sekitar mereka. Perawat harus menjelaskan kepada klien dan keluarga
bahwa gangguan jiwa membutuhkan manajemen peng- obatan dan tindak lanjLit yang
berkelanjutan, sama seperti penyakit fisik kronis.

Penting juga bagi perawat untuk mengetahui teori biologi dan terapi terkini. Banyak klien dan
keluarga menanyakan laporan pemberitaan tentang riset atau penemuan. Perawat dapat
membantu mereka membedakan antara fakta dan percobaan. Pentingjuga untuk
mempertahankan SLidutpandang penemuan dan teori.
Klien dan kelnarga membutuhkan Jebih dari sekadar informasi faktual untuk mengatasi
gangguan jiwa dan pengaruhnya pada kehidupan mereka. Banyak klien tidak memahami sifat
gangguan jiwa dan bertanya, "Mengapa hal ini teijadi pada saya?" Mereka memerlukan
penjelasan yang sederhana tetapi menyeluruh tentang sifat gangguan dan cara
menatalaksananya. Perawat harus belajar untuk member‫ ؛‬cukup informasi tentang gangguan
tersebut sambil memberi perawatan dan dukungan yang dipertukan olehsemua yang
menghadapi gangguan jiwa.

Petunjuk yong Bermanfaat untuk Perawat yang Menangani Klien Gangguan Jwa
٠ Gangguanjiwa kronis memilikiperioderemisi dan eksaserbasi, sama seperti penyakit

fisik kronis. Kekambuhan gejala bukan kesalahan klien, bukan juga kegagalan terapi
atau asuhan keperawatan
٠ Riset tentang penyebab neurobiologi gang- guan jiwa masih berkembang. Jangan

lewat- kan ide baru hanya karena ide tersebut mung- kin belum membantu dalam terapi
gangguan ini.
Sering kali ketika klien berhenti mengonsumsi obat atau menggunakan obat secara tidak
tepat, bukan karena mereka bermaksud demi- kian; sebaliknya, hal itu akibat cara pikir yang
salah, yang merupakan bagian gangguanjiwa.

POIN PENTING
 Riset neurobiology secara konstan memperluas pengetahuan kita dalam bidang psikiatri
dan secara signifikan memengaruhi praktik klinis.
 Serebrum menrpakan pusat koordinasi dan integrasi semua informasi yang dibutuhkan
untuk menginterpretasi dan berespons terhadap lingkungan.
 Serebelum merupakan pusat koordinasi gerakan dan penyesuaian postural.
 Batang otak berisi pusat yang mengendalikan fungsi kardiovaskular dan pernapasan,
tidur, kesadaran, dan impuls.
 Sistem limbik mengatur suhu tubuh, nafsu makan, sensasi, memori, dan bangkitan emosi.
 Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron yang membantu
transmisi informasi dari otak ke seluruh tubuh. Beberapa neurotransmiter yang penting,
meliputi dopamin, norepinefrin, serotonin, histamin, asetilkolin, GABA, dan glutamat,
terbukti berperan dalam gangguan jiwa dan merupakan target terapi farmakoiogi.
 Peneliti secara kontinu mempelajari peran genetika, hereditas, dan virus daiam
perkembangan gangguan jiwa.
 Terapi farmakologi didasarkan pada kemampuan obat untuk menghilangkan atau
meminimalkan gejala target yang teridentifikasi.
 Faktor berikut harus dipertimbangkan dalam memilih obat untuk mengatasi
gangguanjiwa: keefektifan, potensi, dan waktu paruh obat; usia dan ras klien; obat lain
yang dikonsumsi; dan efek samping obat.
 Antipsikotik merupakan terapi utama untuk gangguan psikotik seperti skizofrenia, tetapi
obat tersebut menimbulkan sejumlah besar efek samping yang juga membutuhkan
intervensi farmakologi. Efek samping neurologi, yang dapat diobati dengan
antikolinergik, disebut gejala ekstrapiramidal dan mencakup distonia akut, akatisia, dan
pseudoparkinsonisme. Beberapa efek samping neurologi yang lebib serius meliputi
diskinesia tardif (gerakan involunter permanen) dan sindrom maligna neuroleptik, yang
dapat berakibat fatal.
 Karena adanya efek samping serius anti- psikotik, klien harus diberi informasi yang jelas
tentang obat-obatan yang mereka, kon- sumsi, kepatuhan terhadap pengobatan, dan efek
samping obat. Program pengobatan harus diawasi dengan ketat oleh profesional
perawatan kesehatan.
 Antidepresan meliputi senyawa siklik, SSRI, MAOI, dan kelompok obat terbaru.
 Klien yang mendapat MAOI harus diinstruksikan dengan cermat untuk prenghindari
makanan yang mengandung tiramin karena kombinasi kedua agens tersebut menyebab-
kan krisis hipertensi yang dapat mengancam jiwa.
 Risiko bunuh diri dapat meningkat ketika klien mulai mengonsumsi , antidepresan. Obat
tersebut dapat meningkatkan energi klien sementara pikiran bunuh diri masih ada, yang
memungkinkan klien melaksanakan rencana bunuh dirinya.
 Litium dan antikonvulsan yang dipilih digunakan untuk menstabilkan mood, khususnya
pada gangguan afektif bipolar.
 Kadar litium serum harus dipantau secara teratur untuk memastikan kadar tersebut dalam
rentang terapeutik dan untuk meng- hindari toksisitas litium. Gejala toksisitas meliputi
diare berat dan muntah, mengantuk, kelemahan otot, dan kurang koordinasi. Toksisitas
litium yang tidak diobati menyebabkan koma dan kematian.
 Benzodiazepin digunakan untuk mengobati berbagai masalah ansietas dan insomnia.
Alkohol harus dihindari karena dapat me- ningkatkan efek benzodiazepin.
 Penggunaan utama stimulan seperti metilfenidat (Ritalin) ialah untuk terapi anak-anak
penderita defisit perhatian/gangguan hiperaktivitas. Metilfenidat telah terbukti berhasil
membuat anak-anak tersebut memperlambat aktivitas mereka dan berfokus pada tugas di
hadapan mereka dan tugas sekolah. Mekanisme kerja yang tepat tidak diketahui.

REFERENSI
Egan, M. F., & Hyde, T. M. (2000). Schizophrenia: Neurobi- ology. In B.). Sadock & V. A.
Sadock (Eds.). Comprehen- sive textbook ofpsychiatry, 17.2. 1 (7'‫ا‬١ ed., pp. 1129-1147).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Hyman, s. E., Arana, G. w., ‫ ه‬Rosenbaum, ). F, (1995). Handbook of psychiatric drug therapy
(3'٥ ed.). Boston: Little, Brown & Co.
Julien, R. M. (1998). A primer of drug action: A concise, technical guide to the actions, uses
and side egects of psycho- active drugs (8'h ed.). New York: w. H. Freeman & Co..
Karscn, c. N., & Renshaw, p, F. (2000). Principles of neuroimaging: Resonance techniques.
In B.Sadock & V. A. Sadock (Eds.). Comprehensive textbook ofpsychiatry, 17.2. 2 (7‫؛‬h ed.,
pp. 162-172). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Keltner, N. L. & Folks, D. G. (1997). Psychotropic drugs (2"‫ م‬ed). St. Louis: Mosby-Year
Book.
Kudzma, E. c. (1999). Culturally competent drug adminis- tration. American journal
ofNursing, 99(8), 46-52.
Lawson, w. B. (1996). The art and science of psychophar- macology of African Americans.
Mt. Sinai Journal of Medicine, 63(5-6), 301-305.
Lewis, D. A. (2000). Functional neuroanatomy. In B. j. Sadock & V. A, Sadock (Eds.).
Comprehensive textbook of psychiatry, Vol. 2 (7،h ed., pp. 3-32). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Malison, R. T., & Innis, R. B. (2000). Principles 0‫ ؛‬neuro- imaging: Radiotracer techniques.
In B. ). Sadock & V. A. Sadock (Eds.). Comprehensive textbook of psychiatry, Vol. "‫ل‬7‫) إ‬
ed., pp. 154-162). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Ruiz, s., Chu, p., Sramek, j. j., Rotavu, E., ‫ ئ‬Herrera, (1996). Neuroleptic dosing in Asian
and Hispanic out- patients with schizophrenia. Mt. Sinai Journal of Medi- cinc, 65(5-6), 306-
309.
Selemon, L. D, & Goldman-Rakic, p. s. (1995). Prefrontal cortex. American journal of
Psychiatry, 252(1), 5.
Shank, R. p.. Smith Swlntosky, V: L., & Twyman, R. E. (2000). Amino acid
neurotransmitters. In B.). Sadock & N. N.Sa<iotY.(J‫؛‬.ds.y Comprehensive
textbookofpsychiatry, Vol. 2 (7'‫ ال‬ed., pp. 50-59). Philadelphia: Lippincott Wil- liams&
Wilkins.
Spratto, G. R. & Woods, A. L. (2000). PDR: Nurses' Drug Handbook. Montvale, NJ:
Medical Economics Com- pany.
Sramek, j. ),, & Pi, E. H. (1996). Ethnicity and antidepres- samt response. Mt. Sinai lournal
of Medicine, 63،‫؛؛‬،-‫؛‬y32٠- 325.
Sternbach, H. (1991). The serotonin syndrome. American journal ofPsychiatry, 248(6), 705-
712.
Tecott, L. H. (2000). Monoamine transmitters. In B. j. Sadock & V. A. Sadock.(Eds.).
Comprehensive textbook of psychiatry, Poi. 2 (7‫ ا'ا‬ed., pp. 41-50). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Washington, H. (1999). Infection connection. PsyHioioyy Today, 4, 43-44, 74-76.
BACAAN TAMBAHAN
Bailey, K. p. (1998). Psychotropic drug fads. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Gardener, D. M., Shulman, K. Walker, s. E., & Tailor., s. A. N. (1996);The making of a user-
friendly MAOI diet. journal ofClinical Psychiatry, 57, 99-104.
Hsin-Tung, E., & Simpson, G. M. (2000). Medication-in- duced movement disorders. In B.
Sadock & V. A. Sadock (Eds,). Comprehensive textbook of psychiatry, Vol. 2 (7‫؛‬h ed., pp.
2265-2271). Philadelphia: Lippincott Wil- liams & Wilkins.
Mathews, c. A., & Friemer, N. B. (2000). Genetic linkage analysis of the psychiatric
disorders. In B. j. Sadock & V. A. Sadock (Eds.). Comprehensive textbook ofpsychiatry, Vol.
2 (7٥١ ed., pp. 184-198). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
‫>؟‬T\eW٠ IS.7‫!ا‬١. Clinical neuroanatomy for medical students (2"٥ ed.) Philadelphia;
Lippincott-Raven.

Anda mungkin juga menyukai