Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

FISIKA DAN TEKNOLOGI KERAMIK


KERAMIK SUPERKONDUKTOR

Disusun Oleh:
AHMAD ARYADI
160801026

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KERAMIK SUPERKONDUKTOR

A. SUPERKONDUKTOR
Superkonduktivitas suatu bahan bukanlah hal yang baru. Sifat ini diamati untuk yang
pertama kalinya pada tahun 1911 oleh fisikawan Belanda H.K. Onnes, yaitu ketika ia
menemukan bahwa air raksa murni yang didinginkan dengan helium cair (suhu 4,2
K) kehilangan seluruh resistansi listriknya. Sejak itu harapan untuk menciptakan alat-alat listrik
yang ekonomis terbuka lebar-lebar. Bayangkan, dengan resistansinya yang nol itu
superkonduktor dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun, kawat
superkonduktor tidak akan menjadi panas dengan lewatnya arus listrik. Kendala terbesar yang
masih menghadang terapan superkonduktor dalam peralatan praktis sehari-hari adalah bahwa
superkonduktivitas bahan barulah muncul pada suhu yang amat rendah, jauh di bawah 0 °C.
Dengan demikian niat penghematan pemakaian daya listrik masih harus bersaing dengan
biaya pendinginan yang harus dilakukan. Oleh sebab itulah para ahli sampai sekarang terus
berlomba-lomba menemukan bahan superkonduktor yang dapat beroperasi pada suhu tinggi,
kalau bisa ya pada suhu kamar.
B. SUHU KRITIK
Perubahan watak bahan dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor dapat
dianalogikan misalnya dengan perubahan fase air dari keadaan cair ke keadaan padat.
Perubahan watak seperti ini sama-sama mempunyai suatu suhu transisis, pada transisi
superkonduktor suhu ini disebut sebagai suhu kritik Tc, pada transisi fase ada yang disebut titik
didih (dari fase cair ke gas) dan titik beku (dari fase cair ke padat). Pada transisi feromagnetik
suhu transisinya disebut suhu Curie.
Pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, ia memiliki Resistansi
listrik. Transisi ke keadaan normal ini bukan selalu berarti menjadi konduktor biasa yang baik,
pada umumnya malah menjadi penghantar yang jelek, bahkan ada yang ekstrim menjadi
isolator! Untuk suhu T < Tc bahan berada dalam keadaan superkonduktor. Di dalam
eksperimen, pengukuran resistivitasnya dilakukan dengan menginduksi suatu sampel bahan
berbentuk cincin, ternyata arus listrik yang terjadi dapat bertahan sampai bertahun-tahun.
Resistivitasnya yang terukur tidak akan melebihi 10-25 ohm.meter, sehingga cukup beralasan
bila resistivitasnya dikatakan sama dengan nol.
Keluarga superkonduktor yang terdiri dari unsur-unsur tunggal yang dipelopori oleh
temuan Onnes, disebut superkonduktor tipe I atau superkonduktor konvensional, ada kira-kira
27 jenis dari tipe ini. Suatu hal yang menarik, bahwa unsur-unsur yang pada suhu kamar
merupakan konduktor banyak diantara mereka yang tidak memiliki sifat superkonduktor pada
2
suhu rendah, contohnya tembaga, perak dan golongan alkali. Pada tahun 1960-an lahirlah
keluarga superkonduktor tipe II, yang biasanya berupa kombinasi unsur molybdenum (Mo),
niobium (Nb), timah (Sn), vanadium (V), germanium (Ge), indium (In) atau galium (Ga).
Sebagian merupakan senyawa, sebagian lagi merupakan larutan padatan. Sifatnya agak berbeda
dengan tipe I karena suhu kritiknya relatif lebih tinggi, sehingga tipe II ini sering disebut
superkonduktor yang alot. Semua alat yang telah menerapkan superkonduktor dewasa ini
menggunakan bahan tipe II ini, alasannya akan menjadi jelas kemudian. Pada tahun 1985 di
laboratorium riset IBM di Zurich, A.Muller dan G.Bednorz memulai era baru bagi ilmu bahan
superkonduktor. Mereka menemukan bahwa senyawa keramik tembaga oksida dapat memiliki
sifat superkonduktor pada suhu yang relatif tinggi, rekor suhu kritik yang saat ini sudah
mencapai 125 K juga dipegang oleh golongan ini. Perkembangan selanjutnya tampak agak
seret, para ahli sendiri masih meributkan ada tidaknya batas suhu kritik yang mungkin dicapai.
Ahli riset di Institut Teknologi California meramalkan bahwa suhu kritik superkonduktivitas
tidak akan pernah melampaui 250 K, jadi masih cukup jauh di bawah suhu kamar. Apakah
benar demikian, kita tunggu saja hasil-hasil penelitian berikutnya.
C. MEDAN MAGNET KRITIK
Tinggi rendahnya suhu transisi Tc dipengaruhi banyak faktor. Seperti tekanan yang dapat
menurunkan titik beku air, suhu kritik superkonduktor juga bisa turun dengan hadirnya medan
magnet yang cukup kuat. Kuat medan magnet yang menentukan harga Tc ini disebut medan
kritik (Hc).
Jadi pada suhu tertentu ( T < Tc ), bahan superkonduktor memiliki ketahanan yang terbatas
terhadap medan magnet dari luar dan arus listrik yang bisa diangkutnya. Kalau harga-harga
kritik ini dilampaui, sifat superkonduktor bahan akan lenyap dengan sendirinya. Ambil contoh
untuk kawat Pb beradius 1 mm pada suhu 4 K, agar ia tetap bersifat superkonduktor ia tidak
boleh menerima medan magnet lebih besar dari 48000 A/m atau mengangkut arus listrik lebih
dari 300 A. Pada ukuran dan suhu yang sama Nb3 Sn mampu mengangkut 12500 A, oleh sebab
itulah secara teknis superkonduktor tipe II lebih baik pakai. Sebagai perbandingan YBCO pada
suhu 77 K dapat mengangkut arus sebesar 530 A, cukup lumayan! Naiknya suhu operasi
mempunyai nilai ekonomis, karena biaya pendinginan menjadi lebih murah dibandingkan
helium cair (untuk menjaga suhu 4 K). Satu liter He harganya US$ 4 (Rp.7000) sedangkan satu
liter N2 cuma 25 cent (Rp.450), padahal dalam prakteknya penguapan 1 liter N2 setara dengan
penguapan 25 liter He.
D. EFEK MEISSNER
Sifat kemagnetan superkonduktor diamati oleh Meissner dan Ochsenfeld pada tahun 1933,
ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetiksempurna, ia menolak medan
3
magnet sehingga ia pun dapat mengambang di atas sebuah magnet tetap. Jadi kerentanan
magnetnya (susceptibility) c = -1, bandingkan dengan konduktor biasa yang c = -10-5.
Fenomena ini disebut efek Meissner yang tersohor itu.
Jadi satu keunggulan lagi bagi superkonduktor terhadap konduktor biasa. Ia tidak saja
menjadi perisai terhadap medan listrik, tapi juga terhadap medan magnet, artinya medan listik
dan magnet sama dengan nol di dalam bahan superkonduktor. Tetapi pada tahun
1935 London bersaudara melalui penelitian sifat elektrodinamik superkonduktor mendapatkan
bahwa intensitas medan magnet masih dapat menembus bahan superkonduktor walaupun
hanya sebatas permukaan saja, ordenya hanya beberapa ratus angstrom. Sifat rembesan ini
dinyatakan oleh parameter l yang disebut kedalaman rembesan London. Medan magnet
ternyata berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman sesuai dengannya.
Bo adalah medan di luar dan x adalah kedalamannya. l membesar dengan naiknya suhu, di
Tc harga l tak berhingga besar, sehingga medan magnet mampu menerobos ke seluruh bagian
bahan tersebut atau dengan perkataan lain sifat superkonduktor telah hilang digantikan dengan
keadaan normalnya. Teori London ini juga memberikan kesimpulan bahwa dalam bahan
supekonduktor arus listrik akan mengalir di bagian permukaannya saja. Hal ini berbeda dengan
arus listrik dalam konduktor biasa yang mengalir secara merata di seluruh bagian konduktor.
Pada tipe ii terdapat daerah peralihan yaitu antara Hcl dan Hc , pada saat itu struktur bahan
terjadi dari daerah normal yang berupa silinder-silinder kecil, disebut fluksoid karena bisa
diterobos fluks magnet, yang dikelilingi sepenuhnya oleh daerah superkonduktor.
E. TEORI BCS
Teori tentang superkonduktor yang lebih terinci melibatkan mekanika kuantum yang
dalam, diajukan oleh Barden, Cooper dan Schrieffer pada tahun 1975 dikenal sebagai teori
BCS yang akhirnya memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972. Dalam teori ini dikatakan
bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan
seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama, pasangan-pasangan ini disebut
pasangan Cooper. Kita bandingkan dengan elektron konduksi dalam konduktor biasa. Di sini
elektron bergerak sendiri-sendiri dan akan kehilangan sebagian energinya jika ia terhambur
oleh kotoran (impurities) atau oleh phonon, phonon adalah kuantum energi getaran kerangka
(lattice) kristal bahan. Elektron tersebut akan menimbulkan distorsi terhadap kerangka kristal
sehingga menimbulkan daerah tarikan. Tarikan ini dalam superkonduktor pada suhu rendah
bisa mengalahkan tolakan Coulomb antar elektron, sehingga dengan ukar menukar phonon dua
elektron justru akan membentuk ikatan menjadi pasangan Cooper. Oleh karena keadaan
kuantum mereka semuanya sama, suatu elektron tidak dapat terhambur tanpa mengganggu
pasangannya, padahal pada suhu T < Tc getaran kerangka tidak memiliki cukup energi untuk
4
mematahkan ikatan pasangan tersebut. Akibatnya mereka tahan terhadap hamburan, jadilah
bahan tersebut superkonduktor.
F. SUPERKONDUKTOR KERAMIK
Bahan superkonduktor suhu tinggi yang memiliki bahan dasar keramik secara teoritis
belum dapat dijelaskan tuntas. Ia tidak bisa digolongkan ke dalam tipe I maupun II karena ada
beberapa sifatnya yang unik. Bentuk kristalnya termasuk golongan perovskite, suatu bentuk
kristal kubus yang cukup populer. Rumus umum molekul perovskite adalah ABX3 , dimana A
dan B adalah kaiton logam dan X adalah anion non logam. Banyak bahan elektronis yang
memiliki bentuk perovskite ini, misalnya PbTiO3 dan PbZrO3 yang bersifat piezoelektrik kuat
sehingga baik digunakan untuk pressure-gauge. Superkonduktor suhu tinggi ini ternyata berupa
perovskite yang cacat. Misalnya YBCO yang ditemukan oleh Chu Chingwu cs. dari Universitas
Houston berbentuk 3 kubus perovskite dengan rumus molekul YBa2 Cu3 O6,5 , yang
menunjukkan defisiensi atom oksigen sebagai anionnya (mestinya ada 9 atom). Nama lain
untuk YBCO ini adalah 1-2-3, menunjukkan perbandingan cacah atom Y, Ba dan Cu di dalam
kristalnya. Atom-atom tembaganya terletak pada suatu lapisan inilah arus listrik lewat dalam
bahan YBCO. Struktur yang demikian memiliki andil yang besar bagi sifat superkonduktivitas
suhu tinggi, terbukti senyawa barium-kalium-bismuth-oksida buatan AT & T Bell Laboratoies
(1988) cuma memiliki Tc = 30 K, senyawa ini tentu saja tidak memiliki atom tembaga sebagai
lapisan penghantar elektron. Elektron-elektron juga dalam keadaan berpasangan, hal ini telah
dibuktikan dengan dijumpainya flukson yang merembes di dalamnya. Flukson adalah kuantum
fluks magnetik dalam superkonduktor, besarnya kira-kira 2 x 10−15 Wb, dalam perhitungan
besarnya ini bersesuaian dengan kehadiran partikel bermuatan listrik dua kali muatan elektron.
Watak-wataknya yang masih perlu penjelasan teoritis adalah tarikan antar elektron dalam
pasangan Cooper yang ternyata masih cukup kuat walaupun suhu transisinya tinggi. Padahal
suhu yang tinggi menyebabkan bertambahnya cacah phonon, sehingga ikatan elektron itu
seharusnya akan hancur karenanya. dalam kaitan ini peranan kerangka kristal harus kembali
dipertanyakan. Mungkin saja kotoran di dalamnya yang justru mampu meredam interaksi
phonon atau gangguan-gangguan lain termasuk medan magnet yang besar agar ia tetap stabil
sebagai superkonduktor. Sifat lain yang tidak menguntungkan dari YBCO adalah mudahnya ia
melepaskan oksigen ke lingkungannya, padahal dengan berkurangnya atom oksigen sifat
superkonduktornya akan hilang. Lagi pula ia terlalu rapuh untuk dibentuk menjadi kawat. Lebih
jauh lagi Philip W. Anderson (pemenang hadiah Nobel 1977 bidang Fisika) mengemukakan
peranan besaran spin dalam fenomena superkonduktor suhu tinggi ini, pernyataan ini telah
didukung oleh data percobaan MIT oleh RJ Birgeneau. Sungguh merupakan sebuah tantangan
besar bagi para ahli dari berbagai bidang untuk memahami lebih jauh fenomena superkonduktor
5
jenis baru ini. Tampaknya bahan ini akan semakin merajai teknologi pada masa yang akan
datang, yaitu abad XXI.

Gambar 1 : AIB2 Logam Keramik Superkonduktor

Gambar 2 : Logam Keramik pada Keadaan Superkonduktor

Anda mungkin juga menyukai