Anda di halaman 1dari 29

• Latar Belakang

Budaya merupakan suatu kebiasaan yang mengandung nilai–nilai penting dan


fundamental diwariskan dari generasi ke generasi.Warisan tersebut harus dijaga agar tidak luntur
atau hilang sehingga dapat dipelajari dan dilestarikan oleh generasi berikutnya. Kebudayaan
daerah diartikan sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada wilayah tersebut.
Kebudayaan daerah di Indonesia sangatlah beragam kebudayaan daerah sama dengan konsep
suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya
daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek
perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Jika melihat dari ujung pulau Sumatera sampai ke
pulau Irian tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan agama yang
berbeda.
Dalam bahasa Indonesia kebudayaan berasal dari kata buddhi (budi atau akal). Kata budaya
juga ditafsirkan merupakan perkembangan dari kata mejemuk budi- daya yang berarti daya dari
budi yaitu berupa cipta, karsa dan rasa. Kata “kebudayaan” dan culture berasal dari kata
Sanserketa Buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan: “hal- hal yang bersangkutan dengan akal”. Adapun kata
culture yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan” berasal dari kata
latin colere yang berarti “ mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari
arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah
tanah dan merubah alam (Koentjaraningrat, 2009:144).
Perlu adanya peningkatan akan peran-peran kebudayaan tiap daerah dalam
mempertahankan keutuhan demi ketahanan kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Sehingga
bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa yang utuh dan kuat yang kaya akan kebudayaan.
Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa,
sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bias menampilkan
suatu corak khas terutama terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan.
Sabaliknya terhadap kebudayaan tetangga, dapat melihat corak khasnya. Pola khas tersebut
berupa wujud sistem sosial dan sistem kebudayaan. Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil
karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik
dengan bentuk yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan lain.
Kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang
memiliki sejumlah ekspresi budaya yang bersifat tradisi lisan. Kabupaten Musi Banyuasin
dengan luas wilayah 14.265,96 km2 atau sekitar 15 persen dari luas Propinsi Sumatera Selatan
terletak antara 1,3° sampai dengan 4° Lintang Selatan dan 103° sampai dengan 104° 45’ Bujur
Timur. Batas daerah ini adalah: Di sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Jambi, di sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, disebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Musi Rawas dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin.
Dengan wilayah yang luas membuat Kabupaten Musi Banyuasain kaya dengan kebudayaan.
penelitian Gaffar 1989 dalam (Arif, 2016:1) menunjukkan tradisi-tradisi itu antara lain senjang,
andai-andai panjang, pantun, mantra, serambah dan nyambai. Media penyampaian yang
digunakan dalam tradisi itu adalah bahasa Musi., dari sejumlah tradisi itu, senjang saat ini yang
masih eksis. Senjang adalah salah satu bentuk media seni budaya lisan yang menghubungkan
antara orang tua dengan generasi muda, atau dapat juga antara masyarakat dengan pemerintah
sebagai sarana menyampaian aspirasi yang berupa nasehat, kritik maupun penyampaian strategi
ungkapan rasa gembira. Senjang merupakan salah satu bentuk sastra lisan atau sastra tutur yang
ada dalam masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin (Rusiana, 2001:38).
Sebagai salah satu jenis sastra lisan, Senjang dapat digolongkan ke dalam sastra lama
dianggap milik bersama yakni milik masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin. Sastra lama adalah
sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu masyarakat yang masih sangat sederhana
dan masi kuat oleh adat istiadat. Karya-karya sastra yang dihasilkan selalu berisikan hal yang
bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama. Perkembangan
jaman dan pengaruh globalisasi yang terjadi saat ini, sangat mempengaruhi perilaku masyarakat.
Modernisasi membuat sikap kalangan generasi muda mulai meninggalkan kearifan lokal dan
perlahan melupakan seni budaya warisan leluhur. Sejumlah usaha dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Musi Banyuasin untuk mengangkat tradisi senjang ke permukaan adalah dengan
menyelenggarakan Festival Randik. Salah acara pokok dalam festival tersebut adalah lomba
senjang tingkat Kabupaten Musi Banyuasin. Masyarakat juga memiliki andil besar dalam
mengangkat kembali tradisi lisan senjang ke permukaan. Dukungan masyarakat Musi Banyuasin
terhadap senjang itu dapat dilihat dari seringnya tradisi ini hadir dan ditampilkan masyarakat
seperti dalam acara perkawinan yang penulis saksikan beberapa waktu lalu.
Penelitian ini sangat penting karena Senjang itu sendiri merupakan sastra lisan
Kabupaten Musi Banyuasin berbentuk talibun yang dari dulu sampai sekarang masih dipakai
oleh masyarakatnya dan perlunya pengembangan lebih luas lagi di masyarakat supaya tidak
hilang oleh zaman. Menurut Twilovita (2005:82), kedudukan Senjang masih berkaitan dengan
tradisi kehidupan masyarakat Musi dan sampai saat ini masih kelihatan fungsinya di dalam
lingkungan masyarakat Musi. Selain itu kesenian Senjang merupakan kesenian yang unik, karena
antara lagu dan musik tidak pernah saling bertemu. Kalau syair dilantunkan maka musik akan
berhenti, sementara jika musik ditabuh pesenjang akan diam dan sambil menari (Permatasari,
2012:18).
Prinsip keanekaragaman mengharuskan bahwa keanekaragaman kebudayaan perlu
dipertahankan. Namun demikian budaya tradisional yang memberikan kepada warga masyarakat
rasa memiliki dan identitas harus tetap dipertahankan dan bahkan dikembangkan. Sehingga
pembinaan dan pengembangan kebudayaan tradisional merupakan hal yang terpenting bagi
pemberdayaan masyarakat. Keberadaan paguyuban seni tradisional telah memberi andil besar
dalam rangka pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan pola dan
metode pembinaan seni tradisional yang efektif, efesisien dan menyeluruh, sehingga keberadaan
paguyuban seni tradisional mampu menyaring nilai-nilai globalisasi yang tidak sesuai dengan
kebudayaan asli masyarakat di Kabupaten Musi Banyuasin.
Sanggar adalah suatu wadah, tempat atau perkumpulan baik individu ataupun kelompok
yang pada umumnya program serta tujuan demi munculnya ide-ide baru, kemudian
dikembangkan sehingga hasilnya dapat disampaikan pada masyarakat umum dan diterima serta
dapat dinikmati masyarakat (Setyawati, 2008: 13). Sanggar identik dengan kegiatan belajar pada
suatu kelompok masyarakat yang mengembangkan suatu bidang tertentu termasuk seni
tradisional. Adapun sanggar juga merupakan suatu bentuk lain dari pendidikan nonformal, yang
mana bentuk pendidikan tersebut diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Kegiatan yang diselenggaran
pada sanggar seni tradisional yang terdapat pada masyarakat merupan kegiatan yang
berorientasi pada pengembangan pengetahuan dan ketrampilan, kecakapan hidup, pengembangan
sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi dan bekerja usaha mandiri.
Sanggar Seni Dayang Sandes merupakan sanggar yang menghimpun siswa/siswi yang
berada di Kecamatan Sanga Desa yang berminat untuk mengembangkan bakat seninya. Sanggar
Dayang Sandes salah satu sangganr yang berada di Kecamatan Sanga Desa. Kecamatan Sanga
Desa dengan Ibukota Kecamatan adalah Kelurahan Ngulak I mempunyai wilayah seluas 317 km2
dengan batasan wilayah, sebelah Utara : Kecamatan Batanghari Leko, Sebelah Selatan :
Kecamatan Babat Toman, Sebelah Timur : Kecamatan Babat Toman, Sebelah Barat : Kabupaten
Musi Rawas. Keadaan topografi wilayah Kecamatan Sanga Desa sebagian besar terdiri dari
dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 15 m di atas permukaan laut yang sebagian besar
merupakan pemukiman penduduk di tepian Sungai Musi. Jenis tanah di wilayah Kecamatan
Sanga Desa sebagian besar merupakan satuan jenis Organosol dan tanah Gley Humus terutama
di daerah dataran rendah atau rawa yang tidak jauh dari pengaruh aliran sungai (BPS MUBA,
2018 : 1).
Sangar Dayang Sandes perna beberapa kali menjadi Juara di festival Randik dalam cabang
senjang yaitu pada tahun, 2015, 2016 dan 2017. Sangar seni Dayang Sandes tidak hanya
terfokus pada kegiatan pelatihan seni Senjang saja, namun juga menyelanggarakan kegiatan
pelatihan seni yang lain, meliputi: seni tari dan seni music, tutur, serta olah vokal tembang
Sekayu. Siswa yang ada di sanggar Dayang Sandes merupakan siswa SMA yang ada di
kecamatan Sanga Desa, yang ikut dan berpartisipasi dalam mengembangkan dan menjaga
kebudayaan di kabupaten Musi Banyuasin. Berdasarkan hal itu, maka peneliti tertarik untuk
mengkaji lebih dalam bagaimana peran sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan senjang
di Musi Banyuasain

• Rumusan Masalah
• Bagaimana peran sanggar Dayang sades terhadap perkembangan budaya senjang di Kabupaten
Musi Banyuasain
• Apa saja Faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan budaya senjang
oleh sanggar dayang sandes di Kabupaten Musi Banyuasian

• Tujuan penelitian
Sesuai dengan masalah yang dirumuskan di atasa, maka yang menjadi tujuan penelitian
ini adalah:
• Untuk menganalisis peran sanggar dayang sandes terhadap perkembangan budaya
senjang di Kabupaten Musi Banyuasin.
• Unuk menganalisis faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi sanggar
Dayang Sandes dalam mengembangakan seni senjang di Kabupaten Musi Banyuasin.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai wacana referensi ilmu pengetahuan terutama
yang berhubungan dengan konsep peran sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan
senjang di Kabupaten Musi Babyuasain. Agar kemudian dapat dikembangkan dalam upaya
menambah wawasan keilmuan tentang kesenian terutama seni senjang yang ada di Kabupaten
Musi Banyuasin, yang berhubungan dengan mata kuliah khususnya kajian Pengantar
Antropologi dan Sistem Sosial dan Budaya Indonesia

1.4.2 Manfaat Praktis


Manfaat Praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
• Penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan atau sumbangan bagi pemerintah daerah
dan organisasi seni dibidang budaya tradisional, khususnya sanggar Dayang Sandes agar
dimasa mendatang dapat meningkatkan sanggar terutama dalam mengembangakan seni
tradisional senjang di Kabupaten Musi Banyuasin.
• Membuka pola pokir masyarakat sekitar maupun lingkungannya agar lebih memperhatikan
seni senjang sebagai warisan budaya tradisional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

• Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan acuan dari penelusuran yang terkait dengan tema yang diteliti, peneliti
mencari referensi mengenai hasil penelitian yang dikaji oleh peneliti terdahulu sehingga
membantu dalam proses pengkajian tema yang diteliti. Pada suatu penelitian, tentulah akan
terdapat bahan referensi bagi peneliti, hal ini sangat ditentukan dari konteks penelitian tersebut.
Selain dari pada referensi yang berasal dari bahan literatur seperti buku, jurnal yang berisi
penelitian dari peneliti sebelumnya pun akan sangat bermanfaat sebagai penghubung masalah
penelitian dengan penelitian yang dibuat. Selain itu, penelitian sebelumnya dapat pula menjadi
penopang dari penelitian yang dilaksanakan tersebut. Sebagai bahan tinjauan pustaka dari
penelitian ini, penelitian relevan yang menjadi bahan referensi dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
Pertama, penelitian yang dilakuakan oleh Arif (2016), Yang berjudul “Pemanfaatan
Tradisi Lisan Senjang Musi Banyuasin Sumatra Selatan Sebagai Identitas Kultural”. Penelitian
ini menggunakan model etnografis yang berupaya memahami caracara orang berinteraksi
melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Hasil dalam penelitian ini ditemukan
Ada empat fungsi yang diemban oleh tradisi senjang dalam kehidupan masyarakat Musi
Banyuasin. Fungsi estetis atau keindahan dapat dilihat dari bentuk yang ada pada senjang yang
terdiri dari sampiran dan isi. Tradisi senjang sebagai wadah bagi seniman senjang
mengembangkan ide seni dalam bentuk sampiran dan isi yang syarat mengandung nilai-nilai
keindahan. Fungsi pragmatik terlihat pada pemanfaatkan tradisi senjang yang dijadikan: 1)
sebagai alat untuk menyindir, 2) sebagai alat untuk propaganda, 3) sebagai alat untuk protes atau
kritik sosial, 4) mengeluh, 5) sumber pengetahuan dan kebijaksanaan, 6) alat pengesahan
kebudayaan, 7) solidaritas kolektif, dan 8) penerangan dan hiburan. Sementara fungsi pragmatis
tradisi sebagai pedoman agama, pemenuhan kebutuhan hidup, sebagai superior seseorang, dan
sebagai pencari dana sosial tidak terdapat di dalam tradisi senjang Musi Banyuasin.
Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Apriadi dan Eva (2018), yang berjudul, “ Senjang:
Sejarah Tradisi Lisan Masyarakat Musi Banyuasain”. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah sejarah budaya
Senjang di Musi Banyuasain, dan hasial penelitian ini adalah Senjang sebagai tradisi lisan
masyarakat Musi Banyuasin senjang pertama sekali muncul didaerah sungai Keruh, dengan
berjalannya waktu kesenian senjang menyebar ke daerah yang ada di kabupaten Musi Banyuasin.
Musik pengiring senjang dahulunya memakai kenong dengan masuknya kebudayaan dari luar
maka senjang disampaikan memakai alat musik tanjidor dan sekarang musik tanjidor sudah
digantikan dengan alat musik orgen tunggal sehingga adanya perubahan dari segi alat musik
pengiringnya.
Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh Nurlela (2013), yang berjudul “Kesatuan
Imperatif Pada Talibun Senjang Musi Banyuasain”. Penelitian ini termasuk dalam penelitian
kualitatif bersifat deskriptif. Fokos pada penelitian pada kesantunan imperatif yang terdapat pada
Senjang. Hasil analisis kesantunan imperatif terhadap 55 tuturan imperatif pada talibun Senjang
Musi Banyuasin mengenai penerapan maksim-maksim dan skala kesantunan Leech, ternyata
terdapat lima maksim yang dipatuhi dalam tuturan imperatif pada talibun Senjang Musi
Banyuasin. Diantaranya maksim kemufakatan, kerendahan hati, kecocokan, kesimpatian, dan
penghargaan. Dari kelima maksim tersebut yang paling banyak dipakai yakni maksim
kerendahan hati yang ditandai dengan kata minta dan tolong sedangkan yang paling sedikit
diterapkan adalah maksim kemufakatan yang ditandai dengan kata anggaplah.
Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh Sukma (2015), yang berjudul “ Keberadaan
Kesenian Senjang Pada Masyarakat Kabupaten Musi Banyuasain Sumatera Selatan”. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif. difokuskan pada beberapa hal yakni: bentuk kesenian
Senjang secara tekstual, keberadaan dan fungsi kesenian Senjang secara kontekstual, dan
mengapa kesenian Senjang mampu eksis sampai dengan saat ini. Hasial dalam penelitian ini
menjelasakan bahwa senjang mengalam perkembangan yaitu: Pertama, bentuk kesenian Senjang
Musi Banyuasin mengalamai perubahan dari setiap era, baik bentuk pantun maupun instrumen
musik, mulai dari non instrumen yang hanya berupa pantun bersahut, kemudian menggunakan
instrumen musik Jidor, instrumen musik Senjang sudah diaransmen dengan berbagai jenis alat
musik, sampai pada menggunakan instrumen keyboard. Kedua, fungsi Senjang pada masyarakat
kabupaten Musi Banyuasin mengalami perluasan, jika pada awal mulanya Senjang berfungsi
sebagai sarana hiburan dan komunikasi masyarakat, atau sekedar menyampaikan nasehat, kini
berkembang menjadi media propaganda, dalam pemanfaatan banyak hal, yang pada hakekatnya
bertujuan untuk memperkuat keberadaan kesenian Senjang itu sendiri di tengah-tengah
masyarakat, disamping untuk menambah penghasilan bagi para seniman Senjang. Ketiga,
Senjang mampu menghadapi tantangan zaman dan mampu mengikuti arus globalisasi, terbukti
keberadaannya masih ada sampai saat ini.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2013), yang berjudaul “peran sanggar
Alang-alang Surabaya dalam upaya pemberdayaam anak jalanan”. penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Fokus permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
(1) bagaimanakah peranan sanggar Alang-alang Surabaya dalam upaya pemberdayaan anak
jalanan; (2) kendala apa yang dihadapi pengurus sanggar Alang-alang dalam upaya
pemberdayaan anak jalanan dan bagaimana upaya untuk mengatasinya. Tujuan penelitian ini
yaitu : (1) untuk mengetahui peranan sanggar Alang-alang Surabaya dalam upaya pemberdayaan
anak jalanan; (2) untuk mengetahui kendala apa yang dihadapi oleh pengurus sanggar Alang-
alang dan upaya mengatasi kendala yang terjadi dalam upaya pemberdayaan anak jalanan. Hasil
dalam penelitian ini adalah Peran sanggar Alang-alang Surabaya dalam upaya memberdayakan
anak jalanan di sekitar terrminal Joyoboyo diwujudkan dengan berbagai program kegiatan yang
di selenggarakan di sanggar Alang-alang. Pembelajaran di Alang-alang lebih ditekankan pada
bidang kesenian. Seperti terlihat pada program kegiatan yang diselenggarakan diantaranya yaitu
pertama, program belajar Bimbingan Anak Negeri (BIAN) yang dikhususkan untuk anak-anak
jalanan dengan berbagai kegiatan kesenian di dalamnya. Kedua, program belajar Bimbingan
Anak Perawan (Perempuan Rawan) yang dikhususkan untuk anak-anak jalanan perempuan yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun anak-anak perempuan yang ada di jalanan,
dengan kegiatan keterampilan didalamnya. Ketiga, program belajar Bimbingan Ibu dan Anak
Negeri (BIAN) yang dikhususkan untuk ibu-ibu yang bertempat tinggal di sekitar terminal
Joyoboyo yang mempunyai anak yang masih usia dini ataupun bayi. Kendala-kendala yang
dihadapi para pengurus sanggar Alang-alang yaitu: (1) Anakanak yang belajar di Sanggar
Alang-alang tidak bisa mengikuti peraturan-peraturan yang dibiasakan di sanggar; (2) Tidak
memperhatikan ketika diberi pelajaran di saat kegiatan belajar mengajar berlangsung; (3) Tidak
patuh pada aturan yang diberikan sanggar; (4) Kurang menghormati orang yang lebih tua.
Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Purnama (2015), “peran sanggar dalam
mesestarikan kesenian tradisional Betawi” . Metode penelitian yang digunakan adalah metode
dekriptif, adapun pendekatannya menggunakan pendekatan penelitian kualitati. Hasail dalam
penelitian ini yaitu, berbagai cara dilakukan untuk menyelamatkan kesenian tradisional dari
kepunahan. Hal ini dilakukan oleh berbagai elemen selain pemerintah seperti seniman, LSM, dan
komponen lainnya. Salah satu upaya yang sudah dilakukan oleh seniman dalam rangka
menyelamatkan dan menjaga kesenian tradisional agar tetap hidup adalah dikelola di dalam
sanggar. Selanjutnya di dalam sanggar pembinaan dan pelatihan para pemain terus dilakukan
secara kontinuitas walapun dalam frekuensi yang masih minim dan terbatas, karena mereka
berlatih sekadarnya dan hanya untuk mempersiapkan bila akan manggung. Namun eksistensi
sanggar sangat kursial dan penting sebagai upaya penyelamatan kesenian tradisional seperti
topeng Betawi, topeng blantek, dan tanjidor.
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Rahamat (2007), yang berjudul “strategi
pelestarian dan pengembangan budaya lokal oleh kerukuna keluarga Palembang (KKP) studi
pada organisasi kemasyarakatan kemasyarakatan kerukunan keluarga Palembang”. Penelitian
ini menyatakan bahwa strategi pelestarian dan pengembangan budaya lokal di Palembang
ditentukan oleh tingkat solidaritas sosial di kalangan etnis lokal Palembang. Solidaritas sosial
dalam pelestaraian dan pengebangan budaya lokal di Palembang dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu, moderenitas di Palembang, kesenjangan tradisi antar generasi, dan tantangan budaya luar
yang datang di Kota Palembang.
Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Melati (2004), yang berjudul “pelestarian dan
pengembangan seni tari Daerah Banyuasain studi pada sanggar seni sedulung setuntung
pemerintah Kabupaten Banyuasain”. Penelitian ini lebih menekankan kepada upaya
pelelestarian dan pengembangan masyarakat itu sendiri. Serta secar khusus akan dibahas tentang
dua tarian yang menjadi ciri khas daerah Banyuasain, yaitu tari persembahan sedulung dan tari
tradisi kreasi pegi mantang. Penelitian ini juga melihat bagai mana peran tari daerah Banyuasain
itu sendiri sebagai media penyampaian pesan/informasi (media komunikasi) kepada orang yang
menyaksikannya/penikmat tari. Komunikasi yang dilakukan sebagai upaya bentuk promosi
budaya aset pariwisata yang ada di Banyuasain. Penelitian ini juga kana menjelaskan secara
mendalam tentenag makan-makan dari beberapa tarian yang ada di Banyuasain, yang Merupakan
pesan yang akan di sampaikan kepada penonton/penikmat tari.
Kedelapan, penelitan yang dilakuakan oleh Yunizawati (2004), yang berjudul “sejarah
perkembangan syarofal anam di Palembang”. Penelitian ini mengambarakan bagaimana sejarah
perkembangan seni syarifal anam dan fungsinya bagi masyarakat muslim palembang, sehingga
keberadanya masi tetap ada sampai sekarang. Hasil dalam penelitian ini disimpulkan bahwa seni
syarifal anam merupakan bagian dari hasil kreatifitas manusia yang secara tidak langsung
membentuk moral dan akhlak generasi muda untuk menjadi generasi muda yang beradab,
sealain itu kesenian tersebut menambah keimanan dan ketakwaan pada ALLAH SWT.
Dari berbagai penelitian di atas merupakan penelitaian yang berkaitan tentang budaya
senjang, perang, hingga sanggar. Perbedaan penelitan saya yang berjudul “peran sanggar Dayang
Sandes terhadap perkembangan budaya senjang di Musi Banyuasain” dengan penelitian-
penelitian diatasa, yaitu di dalam penelitan ini lebih menekankan kepada bagaiman peran
sanggar Dayang Sandes dalam mengembangkan senjang di Musi Banyuasin. Sanggar sebagain
suatu wada yang melahirkan para pelaku senjang yang berkualitas yang bertindak sebagi agen
sosialisasi yang akan mengembangakan senjang agar dapat lebih dikenal oleh masyarakat luas
dan Faktor internal dan faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi perkembangan budaya
senjang oleh sanggar dayang sandes di Kabupaten Musi Banyuasian

2.2 Kerangka Pemikiran


2.2.1 Pengertian Sanggar
Sanggar dapat diartikan sebagai sebuah tempat atau sarana yang digunakan oleh suatu
komunitas atau sekelompok orang untuk berkegiatan seni seperti seni tari, seni lukis, seni
kerajinan, seni musik, atau seni peran. Kegiatan yang ada dalam sebuah sanggar berupa kegiatan
pembelajaran tentang seni, yang meliputi proses dari pembelajaran, penciptaan, hingga produksi.
Semua proses hampir sebagian besar dilakukan di dalam sanggar. Pengelolaan sanggar meliputi
kegiatan administrasi, pembelajaran, ujian praktik pentas seni, perekrutan siswa dan
perlengkapan fasilitas. Di dalam manajemen sanggar terdapat fungsi manajemen yaitu
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (motivating), pembinaan
(conforming), penilaian (evaluating), dan pengembangan (developing). Manajemen sanggar yang
baik memiliki indikator–indikator antara lain:
• Keberhasilan dalam mempertahankan dan memajukan sanggar
• Keberhasilan dalam menjaring siswa atau anggota
• Dapat menjalanakan fungsi manajemen
• Keberhasilan dalam prestasi yang diperoleh
• Dapat menonjolkan produk sanggar kepada masyarakat
• Dapat diterima oleh masyarakat
Menurut Yulistio (2011: 38-39), Sanggar seni adalah suatu tempat atau sarana yang
digunakan oleh suatu komunitas atau sekumpulan orang untuk melakukan suatu kegiatan seni
seperti seni tari, seni lukis, seni musik, seni peran, dan sebagainya”. Kegiatan yang ada dalam
sebuah sanggar seni berupa kegiatan pembelajaran yang meliputi proses dari pembelajaran,
penciptaan hingga produksi dan semua proses hampir sebagian besar didalam sanggar
(tergantung ada atau tidaknya fasilitas dalam sanggar). Pujiwiyana (2010: 21) juga mengatakan
bahwa, Sanggar adalah suatu tempat atau sarana yang digunakan oleh suatu komunitas atau suatu
kelompok orang atau masyarakat untuk melakukan kegiatan. Sanggar identik dengan kegiatan
belajar pada suatu kelompok masyarakat yang mengembangkan suatu bidang tertentu termasuk
seni tradisional. Sanggar juga merupakan suatu bentuk lain dari pendidikan nonformal, yang
mana bentuk pendidikan tersebut diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Sanggar seni termasuk ke dalam jenis pendidikan nonformal. Sanggar seni biasanya
didirikan secara mandiri atau perorangan, mengenai tempat dan fasilitas belajar dalam sanggar
tergantung dari kondisi masing-masing sanggar ada yang kondisinya sangat terbatas namun ada
juga yang memiliki fasilitas lengkap, selain itu sistem atau seluruh kegiatan yang terjadi dalam
sanggar seni sangat fleksibel, seperti menyangkut prosedur administrasi, pengadaan sertifikat,
pembelajaran yang menyangkut metode pembelajaran hingga evaluasi, mengikuti peraturan
masing-masing sanggar seni, sehingga antara sanggar seni satu dengan lainnya memiliki
peraturan yang belum tentu sama. Karena didirikan secara mandiri, sanggar seni biasanya
berstatus swasta, dan untuk penyetaraan hasil pendidikannya harus melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah agar bisa
setara dengan hasil pendidikan formal.

2.2.2 Pengertian Sangar Dayang Sandes


Sangar Dayang Sandes merukan kumpulan dari siswa-siswai sederajat yang ada di
Kecamatan Sanga Desa, yang merupakan pendidikan non-formal dalam bidang seni teradisional
dan moderen. Sangar Dayang Sandes berfokos pada pengembangan budaya teradisional khas
Musi Banyuasin, seperti senjang, tutur, tari, nyanyian tradisional Musi Banyuasain, dan ada seni
moderen seperti olah vocal

2.2.3 Pengertian Budaya


Menurut Setiadi (2012: 27), budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang
berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta budhayah
yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. dalam bahasa Inggris, kata budaya
berasal dari kata culture, dalam bahasa Latin berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini
berkembang dalam arti culture, yaitu segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan
mengubah alam. Linton dalam Prasetya (2011: 29) juga mengungkapkan bahwa “kebudayaan
adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsur
pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu”. Dari definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil budi manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup. Hasil buah budi (budaya) manusia itu dapat dibagi menjadi dua yaitu yang
pertama kebudayaan material (lahir) seperti rumah, alat-alat senjata, pakaian dan sebagainya;
yang kedua yaitu kebudayaan immaterial (spiritual = batin) seperti kebudayaan,adat istiadat,
bahasa, dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini
kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang
mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju
tahapan yang lebih kompleks.
a. Wujud Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat dalam Setiadi (2012:29) menguraikan tentang wujud
kebudayaan menjadi 3 macam, yaitu:
• Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan
peraturan.Wujud tersebut adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat
diraba, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ini disebut juga tata kelakuan, hal
ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan
memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat
sebagai sopan santun.
• Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan
dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia
yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu sama lainnya dalam masyarakat
dalam bentuk perilaku dan bahasa.
• Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud tersebut dinamakan
kebudayaan fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik
dari karya semua manusia seperti bangunan candi, kain tradisional, teknik bangunan, dan
sebagainya.
b. Unsur-unsur Kebudayaan
Menurut Prasetya (2011: 33), unsur kebudayaan yang bersifat universal yang dapat kita
sebut sebagai isi pokok tiap kebudayaan di dunia ini, ialah:
• Peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari-hari misalnya: pakaian, perumahan,
alat rumah tangga, senjata, dan sebagainya.
• Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi. Misalnya pertanian, peternakan, sistem
produksi.
• Sistem kemasyarakatan, misalnya: kekerabatan,
sistemperkawinan, sistem warisan.
• Bahasa sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tertulis.
• Ilmu Pengetahuan.
• Kesenian, misalnya seni suara, seni rupa, seni gerak.
• Sistem Religi

2.2.4 Budaya Senjang


Senjang adalah salah satu bentuk media seni budaya lisan yang menghubungkan antara
orang tua dengan generasi muda, atau dapat juga antara masyarakat dengan pemerintah sebagai
sarana menyampaian aspirasi yang berupa nasehat, kritik maupun penyampaian strategi
ungkapan rasa gembira. Disebut Senjang karena antara lagu dan musik tidak saling bertemu,
artinya kalau syair berlagu musik berhenti, kalau musik berbunyi orang yang bersenjang diam
sehingga keduanya tidak pernah bertemu (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007:59-60).
Selain itu, daya tarik atau kekuatan Senjang terletak pada pantun yang dinyanyikan. Pantun
tersebut mempunyai bermacam-macam jenis sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan
kepada audiens. Isi dari Senjang itu sendiri dapat berupa kritikan, sanjungan, permohonan,
masukan atau saran dari rakyat (masyarakat) terhadap pihak pemerintah (pemimpin) tentang
pembangunan daerah atau kritik dan saran yang membangun bidang mental spiritual pribadi atau
kelompok masyarakat, bisa juga hanya sekedar kelakar atau humor (Permatasari, 2012:19).
Kesenian Senjang sudah ada sejak lama, diperkirakan ada sejak zaman kedatuan (pasirah) yang
diangkat dari zaman Kesultanan Palembang, zaman Sultan Mansyur bin Abdul Rahman. Ada
pula yang memperkirakan mulai berkembang sejak zaman depati Sahmad Bin Sahaji Marga
Menteri Melayu, lalu berkembang ke wilayah pedatuan-pedatuan yang lainnya yang ada di
sepanjang aliran sungai musi (Permatasari, 2012:19).
a. Bentuk Senjang
Bila ditinjau dari bentuknya, Senjang tidak lain dari bentuk puisi yang berbentuk pantun
(Talibun). Oleh sebab itu, jumlah Liriknya dalam satu bait selalu lebih dari empat baris. Satu
keistimewaan dari kesenian Senjang ini adalah penyajiannya yang kompleks sehingga menarik.
Dikatakan kompleks karena penyajianya selalu dinyanyikan dan diiringi dengan musik. Akan
tetapi, ketika pesenjang melantunkan Senjang musik berhenti. Pesenjang biasanya menyanyi
sambil menari. Ia dapat membawakan Senjang itu sendirian tetapi tidak jarang pula pesenjang
tampil berdua.
Penampilan Senjang tampaknya mengalami perkembangan. Pada zaman dahulu, musik
pengiring Senjang adalah musik tanjidor. Seiring dengan perkembangan permusikan dewasa ini,
tanjidor sudah nyaris langka digunakan, tetapi penggantinya adalah musik melayu atau organ
tunggal. Pada zaman dahulu, penutur Senjang biasanya menciptakan Senjang secara spontan,
sehingga tema yang akan disampaikan disesuaikan dengan suasana yang dihadapinya. Akan
tetapi, sekarang kepandaian Senjang serupa itu sudah sangat langka. Pesenjang biasanya
menyiapkan Senjangnya jauh hari sebelumnya. Bahkan sering terjadi pesenjang menuturkan
Senjangnya dengan melihat teks yang telah dipersiapkan. Ikatan Senjang juga memiliki pola
tersendiri. Sebuah Senjang biasanya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama merupakan bagian
pembuka. Bagian kedua merupakan isi Senjang yang akan disampaikan. Bagian ketiga
merupakan bagian penutup yang biasanya berisi permohonan maaf dan pamit dari pesenjang.
Adapun contoh Senjang diantaranya adalah sebagai berikut (Apriadi, 2018: 121-122).

Meli kaen ke palembang


Serte pulek meli angkumbang
untuk andon kekarang anyar
andon makai kreto borok
kereto borok peca mangkok

Mintek ejen kami besenjang


rika dan riki numpangbepesan
pesan eee due pengenten anyar
ngingat ke pulek penganten buruk
malang mujur kalu ke ilok

Terjemahan:
Beli kaen ke Palembang
Beli juga salendang
Untuk pesta di Karang Anyar
Pergi naik sepeda tua
Sepeda tua mirip mangkok

Meminta izin kami untuk bersenjang


Rika dan riki permisi berpesan
Pesan ee dua pengantin baru
Mengingat kan juga pengantin lama
Malang beruntung kalaukan enak

b. Karakteristik Senjang
Menurut Rusiana (2001:39-40) Senjang Musi Banyuasin memiliki beberapa
karakteristik, diantaranya yakni:
• Terdiri dari enam, delapan, atau sepuluh baris dalam setiap bait
• Jika terdiri dari enam baris, baris pertama sampai ketiga adalah sampiran, baris keempat
sampai keenam merupakan isi, jika terdiri dari delapan baris maka pembagiannya empat-
empat dan seterusnya.
• Isinya merupakan nasihat, sindirian, dan ungkapan perasaan.
• Pengucapannya dilagukan (diirimakan), dan diiringi alat musik. Notasi musik
yang mengiringi Senjang adalah sebagai berikut.
I6756671I217
1675I432345
3432I
• Musik pengiring Senjang dapat berupa kelompok musik lengkap semacam
tanjidor, rebana, gitar, atau gong saja.
• Bentuknya terdiri atas pembukaan, isi, dan penutup. Pada isi antara bait pertama dengan
bait berikutnya merupakan satu kesatuan, seperti pantun berkait. Pada pembukaan, isi,
dan penutup jumlah barisnya tidak terlalu sama, dapat saja dalam satu Senjang,
pembukaan terdiri atas enam baris, isi terdiri dari sepuluh baris, penutup terdiri atas
delapan baris.
• Dituturkan oleh orang tua dan muda-mudi.
• Ditampilkan pada acara pesta pernikahan, pertemuan muda-mudi, dan musim tanam padi.
• Berfungsi sebagai alat penghibur, menyampaikan nasihat, dan untuk mengungkapkan
perasaan.
c. Fungsi Senjang
Bila dilihat dari penampilan dan isi yang terdapat di dalam sebuah senjang tampak ada
beberapa fungsi yang terdapat di dalamnya, yaitu:
• Menghibur, Fungsi ini dapat dirasakan ketika Senjang itu akan ditampilkan. Ini
dikarenakan penampilan Senjang selalu diiringi oleh musik yang dinamis. Musik dan
penuturan Senjang tampil secara bergantian. Sebelum bagian pembuka ada musik yang
mengiringinya. Antara bagian pembuka dan bagian isi juga diselingi dengan musik.
Antara bagian isi dan bagian penutup pun diselingi oleh musik. Pada bagian akhir musik
akan muncul lagi. Walaupun irama musiknya yang itu - itu juga, penonton akan merasa
terhibur.
• menyampaikan nasihat (didaktis). Nasihat ini tidak hanya ditujukan kepada anak anak,
tetapi juga ditujukan kepada para remaja bahkan orang tua. Oleh sebab itu Senjang sering
dituturkan pada pesta keluarga seperti pesta perkawinan, khitanan dan lain-lain. Pada
kesempatan ini semua keluarga baik tua maupun muda, dewasa maupun anak-anak
berkumpul. Dengan demikian, semua usia tadi dapat mengikuti penuturan Senjang itu.
Pesan moral yang dituturkan oleh pesenjang dengan bernyanyi sambil menari itu cukup
menghibur dan tidak terkesan menggurui.
• Alat kontrol sosial dan politik. Fungsi ini terutama sekali terlihat ketika Senjang
dituturkan pada acara yang dihadiri pejabat, baik acara pemerintahan maupun acara
kekeluargaan. Akan tetapi, karena format penyampaiannya selalu didahului dengan
permohonan izin dan maaf dan diakhiri pula dengan permohonan pamit dan maaf, serta
diiringi dengan musik dan tari yang dilakukan pesenjang, kontrol dan kritik yang
disampaikan oleh pesenjang itu menjadi enak didengar, tidak membuat pihak yang
dikontrol atau dikritik tersinggung. Senjang mengkritik tetapi tidak menyakiti,
mengontrol tetapi tidak menghujat pihak yang dikritiknya (Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, 2007:6-10).

• Teori Peran
Sebelum sampai pada konsep peran terlebih dahulu dibahas tentang konsepstatus atau
kedudukan yang berkaitan dengan peran. Secara sederhana status dapat diartikan kedudukan
seseorang dalam suatu kelompok dan hubunggannya dengan anggota yang lain dalam kelompok
yang sama seseorang yang memiliki setatus tertentu dalam kehidupan masyarakat. Maka akan
timbul suatu harapann-harapan baru, dari harapan-harapan ini seseorang akan bersikap,
bertindak, atau berusah untuk mencapainya dengan cara dan kemampuan yang dimiliki yang
disebut sebagai peranan. Menurut Berry (1995:105), peran mengandung dua harapan, yaitu:
• Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiaban
dari pemegang peran.
• Harapan-harapan oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang
yang berhubungan dengannya dalam menjalakan perannya atau kewajiban-

Dalam beberapa literatur, di sebutkan bahwa peran memiliki berbagai definisi. Peran ini
membarikan kerangka konseptual dalam studi prilaku di dalam organisai. Selain itu melibatkan
pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan. Dalam teorinya Biddle dan
Thomas dalam (Sarlinto, 2002: 224-225) ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya
dengan peran :
• Expection (harapan) adalah harapan-harapan orang pada umumnya tentang prilaku-
prilaku yang pantas ditunjukan olrh seorang yang mempunyai peran tertentu.
• Norm (norma) adalah salah satu bentuk haraoan yang menyertai suatu peran dana
merupakan suatu tuntunan peran (role deman). Tuntunan peran melalui proses
internalisasi dapat menjadi norma bagi peran yang bersangkutan.
• Performance (wujud prilaku) adalah perwujudan prilaku secara nyata dalam suatu oeran
oleh aktor kepada target sasaran.
• Evaluaion (penilaian) dan sanction (sanksi) adalah segala sesuatu yang didasarkan pada
harapan masyarakat tentang norma. Berdasarkan norma tersebut orang memberikan
penilaian berupa kesan positif atau negatif terhadap suatu prilaku. Sedangkan sanksi
adalah usaha orang untuk mempertahankan nilai positif agar perwujudan perilaku dalam
peran di ubah sedimikan rupa sesuai dengan harapan dan norma dimasyarakat.
Dengan demikian expection (harapan), norm (Norma), performance (wujud prilaku),
evalution (penilaian) dan sanction (sanksi) saling berkaitan dalam prilaku peran. Harapan dan
norma merupakan segala sesuatu yang nerisi harapan atau keinginan masyarakat tentang perilaku
yang menyertai suatu peran. Kemudian munculah wujud prilaku sebagai realisasi dari harapan
dan norma tersebut sehingga timbulah penilaian dan sanksi terhadap prilaku yang telah
diwujudkan tersebut.
Ditinjau dari prilaku organisasi, peran ini merupakan salah satu komponen dari sistem
sosial organisasi, sistem norma dan budaya organisasi sehingga strategi dan struktur organisasi
juga terbukti mempengaruhi peran dan presepsi peran atau role perception. Soekanto dalam
bukunya sosiologi Suatu Pengantar (2004:239-240), mengatakan Peranan adalah aspek dinamis
kedudukan (ststus). Peranan adalah suatu aspek interaksi sosial dimana seseorang atau
sekelompok orang atau organisasi dalam badan hukum menjadi aktivitas perilaku atau
melaksanakan usaha-usaha yang sesuai dengan kedudukanaya.

Bagan Kerangka Pemikiran


Sumber : Diolah Peneliti

BAB III

METODE PENELITIAN

• Desain Penelitian
Silalahi (2009:180) menyatakan bahwa desain penelitian ialah rencana dan struktur
penyelidikan yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti akan dapat memperoleh jawaban
untuk pertanyaan-pertanyaan mengenai penelitiannya. Dalam desain terdapat tiga tipe desain
penelitian yaitu desain korelasional, desain eksperimental dan desain studi kasus. Dalam desain
penelitian, terangkum paparan mengenai hal-hal yang akan dilakukan oleh peneliti, mulai dari
penulisan hipotesis dan implikasi operasional hipotesis tersebut sampai pada analisis akhir
terhadap data. Jadi, penelitian kasus atau studi kasus merupakan penelitian yang mempelajari
secara intensif atau mendalam satu anggota dari kelompok sasaran suatu objek penelitian. Yin
(dalam Silalahi, 2009:186) berpendapat bahwa studi kasus merupakan satu strategi penelitian
yang secara umum lebih cocok digunakan untuk situasi bila pokok bentuk pertanyaan suatu
penelitian berkenaan dengan “bagaimana” atau “mengapa”.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain studi kasus, dimana dalam studi kasus
peneliti berusaha menjelaskan secara mendalam banyak ciri dari sedikit kasus melalui satu
durasi waktu karena berhubungan dengan klasifikasi perilaku antara satu area penelitian tetentu.
Peneliti menjelaskan secara mendalam terkait dengan sasaran subjek penelitian yaitu pembina,
pengurus dan panggota yang ada di sanggar Dayang Sandes. Hal ini berkenaan dengan
pertanyaan dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana peran, faktor internal dan faktor
eksternal sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan budaya senjang di Kabupaten Musi
Banyuasain.

3.2 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah Kabupaten Musi Banyuasin
yang berfokus pada kecamatan Sanga Desa, Desa Ngulak I. Kecamatan Sanga Desa dengan
Ibukota Kecamatan adalah Kelurahan Ngulak I mempunyai wilayah seluas 317 km2 (BPS
MUBA, 2018 : 1) Desa Ngulak I Kecamatan Sanga Desa Kabupaten Musi Banyuasin. Daerah ini
dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan pengamatan yang telah peneliti lakukan
bahwa di Desa Ngulak I, Kecamtan Sanga Desa, budaya Senjang masi tetap dipertahankan,
terbuktin masi seringnya ditampilkan Senjang pada acarah pernikahan masyarakat dan acarah
formal, Festival dalam acarah sekolahan, dan disekolaha Senjang dijadikan sebagai
ekstrakulikuler sehingga Senjang tetap dipertahakan dari generasi ke generasi, di Kecamatan
Sanga Desa terdapat dua sanggar, yaitu sanggar Dayang Sandes, sangar dan Talenta. Dari kedua
sanggar tersebut peneliti tertarik pada salah satu sanggar, yaitu sanggar Dayang Sandes yang
berada di Desa Ngulak, Kecamatan Sanga Desa, Musi Banyuasain.. Alasan peneliti memilih
sanggar tersebut karena sanggar Dayang Sandes telaha dikenal oleh masyarakat Sanga Desa dan
Masyarakat Musi Banyuasain, dengan seringnya tampil di acarah pernikaha, Festival Randek,
jadi perwakilan Kabupaten Musi Banyuasain dalam pengisian acarah pembukaan musi tributon
di Jakarta, dan Festival Ragam Seni dan Budaya Indonesia.

• Strategi Penelitian
Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian kualititatif ini adalah strategi studi
kasus instrinstik. Studi kasus instrinsik merupakan usaha peneliti untuk mengetahui “lebih
dalam” tentang suatu hal. Denzin dan Lincoln (2009:301) jenis ini ditempuh oleh peneliti yang
ingin lebih memahami sebuah kasus teretentu. Hal ini merupakan usaha peneliti untuk
mengetahui lebih dalam akan fenomena yang akan diteliti, sehingga studi kasus instrinstik
bermaksud menggali hal yang mendasar (esensi) yang menyebabkan terjadinya atau keberadaan
dari suatu kasus. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggali secara mendasar mengenai bentuk
dan tujuan kegiatan, dan pelaksanaan kegiatan sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan
senjang di Kabupaten Musi Banyuasain.

• Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif berkaitan erat dengan rumusan masalah,
dimana rumusan masalah peneliti dijadikan acuan dalam menentukan fokus penelitian. Bungin
(2003: 41), fokus penelitian mengandung penjelasan mengenai dimensi-dimensi apa yang
menjadi pusat perhatian serta kelak dibahas secara mendalam dan tuntas. Fokus dalam penelitian
ini adalah:
• Bagaimana peran pelaku sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan budaya
senjang di Kabupaten Musi Banyuasain.
• Apa saja faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan budaya
senjang oleh sanggar dayang sandes di Kabupaten Musi Banyuasian.

• Jenis dan Sumber Data


Lofland (dalam Moleong, 2002) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain.
Adapun jenis data dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis data, antara
lain:
• Data Primer
Data primer merupakan data utama yang dikumpulkan dari informan dan merupakan
tokoh kunci dari informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan
langsung atau observasi dan wawancara secara mendalam terhadap informan, tanya jawab
terhadap individu yang terlibat aktif dalam sanggar dayang sandes. Untuk menggali informasi
tentang bagaimana pelaksanaan kegiatan, serta saat dilapangan akan ditanyakan mengenai
kendala-kendala yang dihadapi sangar dayang sandes terhadap perkembangan budaya senjang di
Desa Ngulak, Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin
• Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data pendukung dalam penelitian kualitatif. Sumber
data pendukung berhubungan dengan permasalahan penelitian ini. Data dan informasi yang
berkaitan dengan penelitian ini berupa sumber tertulis yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-
dokumen, halaman-halaman dari internet, skripsi, tesis, artikel dan jurnal yang relevan dengan
penelitian ini serta foto-foto yang dihasilkan oleh peneliti sendiri selama proses penelitian
berlangsung. Data sekunder dalam penelitian ini antara lain untuk memperoleh gambaran umum
dan tinjauan pustaka mengenai penelitian-penelitian terdahulu tentang beberapa contoh peran
sanggar terhadap perkembangan Budaya tradisional.

• Penentuan Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi
dan kondisi latar penelitian Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
purposive yaitu ditetapkan secara sengaja (Cresswell, 2013). Purposive adalah teknik
pengambilan informan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini,
misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga
lebih memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti.
Informan ditentukan oleh peneliti dan diharapkan dapat memberikan informasi terperinci
mengenai penelitian. Informan dipilih sesuai dengan kriteria para pelaksana dalam
keberlangsungannya kegiatan sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan senjang, yang
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
• Pimpinan sekaligus Pembina sanggar dayang sandes. Alasan peneliti menentukan
pimpinanan sanggar dayang sandes sebagai informan yaitu untuk mendapatkan informasi
mengenai sejarah berdirinya.
• Anggota yang berperan serta terselenggaranya kegiatan gerakan sanggar dayang.
Masyarakat di Desa Ngulak. Adapun alasan peneliti menjadikan masyarakat sebagai
informan yaitu untuk mengetahui pandangan mereka dengan adanya sanggar Dayang
Sandes.
• Tokoh adat.
• Pemerintah setempat
• Peranan Peneliti
Menurut Herdiansyah (2010:21) peneliti berperan sebagai instrumen dalam penelitian
yang dilakukannya, instrumen atau alat yang dimaksud ialah sejak awal hingga akhir dari
penelitian, peneliti berfungsi penuh atau peneliti terlibat aktif dalam penelitian yang dilakukan
bukan pihak lain. Peneliti menjadikan dirinya sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan antara
dirinya dengan penelitian yang dilakukannya sejak awal hingga akhir.
Peran peneliti dalam penelitian ini sebagai peran serta, yaitu peranan pengamatan secara
terbuka diketahui oleh pemimpin sangggar, anggota, pemerintah setempat, dan masyarakat
miskin di desa Ngulak, bahkan mendapatkan dukungan dan bantuan dari sanggar Dayang Sandes
sebagai subjek penelitian sehingga mempermudah peneliti mendapatkan informasi rahasia
sekalipun. Peneliti tidak hanya mengamati secara mendalam saja seperti peneliti mengikuti
kegiatan yang dilakukan oleh sanggar Dayang Sandes

• Unit Analisis Data


Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Unit
analisis pada penelitian ini organisasi yaitu, sanggar Dayang Sandes sebagai kesatuan aksi untuk
mengembangkan budaya senjang di Desa Ngulak I Kecamatan Sanga Desa Kabupaten Musi
Banyuasain.

• Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data memiliki peranan penting dalam penelitian yaitu untuk
mendapatkan data yang akurat. Agar data yang diperoleh akurat maka diadakan teknik-teknik
untuk memperoleh data. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut (Moleong, 2012):
• Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung terkait masalah yang diteliti.
Pengamatan ini dilakukan dengan cara peneliti melihat secara langsung ke lokasi penelitian dan
mengamati serta mencatat informasi yang didapat dari pengamatan yang dilakukan. Observasi ini
dilakukan untuk mengetahui peran sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan senjang di
Musi Banyuasain serta faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan senjang
di Musi Banyuasain. Dalam observasi peneliti secara terus menerus melakukan pengamatan atas
perilaku seseorang, cara yang dilakukan dalam observasi serta mengamati tindak perilaku atas
subjek yang diteliti serta ekspresi dari informan.
Observasi juga bisa dikatakan cara untuk memperoleh data dalam bentuk mengamati seta
mengadakan pencatatan dari hasil observasi. Teknik observasi yang peneliti lakukan bersifat
langsung yaitu dengan mendatangi langsung sanggar Dayang Sandes yang bertepatan di Desa
Ngulak I untuk mendapatkan temuan dari informan yang mana terdapat informan sebagai
observer/partisipan.Observasi yang dilakukan dengan cara mengamati kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh anggota-anggota sanggar Dayang Sandes yang bertepatan di Desa Ngulak I.
Sebelum dilakukan pengamatan peneliti mencari informan yang sesuai dengan kriteria informan
yang sudah ditetapkan dan mempersiapkan faktor-faktor yang akan diamati dari informan pada
saat melakukan observasi. Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti mencatat apa yang
dilakukan oleh informan. Kegiatan-kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh informan seperti
kegiatan latihan dan Kegitan pentas. Pada saat melakukan observasi peneliti menggunakan alat-
alat untuk mendukung pengamatan seperti kamera yang digunakan untuk memotret kegiatan
yang dilakukan oleh anggota sanggar Dayang Sandes yang bertepatan di Desa Ngulak I
• Wawancara
Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka dengan maksud tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan yang diwawancara (interview) yang memberikan pertanyaan atas jawaban pertanyaan
itu. Peneliti disini menggunakan wawancara terbuka tak berstruktur dengan mengajukan
pertanyaan yang tidak terikat dan lebih bebas berdasarkan pedoman pertanyaan yang dimiliki
penulis untuk memperluas informasi yang dibutuhkan.

Wawancara ini dilakukan untuk mencari data lebih lanjut dari apa yang telah diamati oleh
peneliti. Wawacara yang akan dilaksanakan oleh peneliti dilakukan dengan dua tahapan yaitu
tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Kedua tahap ini dilakukan agar dapat mendapatkan hasil
wawancara yang lebih mendalam. Wawancara mendalam merupakan suatu cara pengumpulan
data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan dengan maksud
mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti (Bungin, 2003:110).
• Tahap persiapan
Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara, pedoman wawancara yang dibuat oleh peneliti merupakan catatan penelitian tentang
pertanyaan- pertanyaan mengenai tujuan kegiatan, pelaksaan kegiatan dan kendala yang dihadapi
yang akan diberikan kepada informan. Sebelum dilakukan antara peneliti dengan masyarakat
yang sesuai dengan kriteria informan, peneliti akan membuat daftar pertanyaan yang sesuai
dengan fokus kajian penelitian kemudian daftar pertanyaan tersebut disusun agar dapat
melakukan wawancara dan mendapatkan jawaban sesuai dengan tujuan peneliti.
• Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan wawancara dengan cara tatap muka langsung pembina atau pimpinan,
anggota, dan masyarakat. Peneliti langsung bertemu dengan informan yang telah ditentukan.
Kemudian mencari informasi selanjutnya pada saat peneliti selesai melaksanakan wawancara
sehingga dapat mencari informasi lagi yang sesuai dengan kriteria penelitian, serta mencari
informan- informan yang dapat menunjang data-data penelitian. Peneliti yang telah menentukan
informan yang akan diwawancari menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara
disaat masayarakat sendang memiliki waktu luang.
• Dokumentasi
Usman (2008:69) dokumentasi dilakukan dengan mencari data-data yang tertulis, baik
berupa buku, jurnal, ataupun lainnya. Keuntungan menggunakan dokumentasi ialah biayanya
relatif murah, waktu dan tenaga lebih efisien. Teknik ini dilakukan dengan mengkategorikan
(mengklasifikasikan) kemudian mempelajari bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan
masalah penelitian dan mengambil data atau informasi yang dibutuhkan.
Dokumen yang dimaksud adalah jurnal, tesis atau artikel, buku tentang gerakan sosial,
buku metode penelitian kualitatif, buku teori sosiologi dan buku lainya yang berhubungan
dengan fokus penelitian yaitu mengenai peran sanggar Dayang Sandes terhadap perkembangan
senjang di Musi Banyuasain.

• Teknik Pemeriksaan dan Keabsahan Data


Setiap penelitian membutuhkan uji keabsahan untuk mengetahui validitas dan
reliabilitasnya. Tujuannya agar temuan atau data dapat dinyatakan valid dan dapat
dipertanggungjawabkan. Data dapat dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang
dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Upaya untuk
menjaga kredibilitas dalam penelitian ini adalah melalui langkah-langkah sebagai berikut
(Moleong, 2012: 178):
• Perpanjangan pengamatan Peneliti kembali melakukan pengamatan ke lapangan untuk
mengetahui kebenaran data yang diperoleh maupun menemukan data baru. Tujuan
dilakukannya perpanjangan pengamatan ini agar data yang diperoleh benar-benar valid
sesuai fakta yang ada. Sehingga data yang diperoleh selama proses penelitian yang
dilakukan dapat dipertanggungjawabkan keabsahan datanya.
• Triangulasi Penelitian yang dilakukan menggunakan triangulasi sumber sebagai teknik
keabsahan data. Triangulasi sumber dipilih agar dapat memperkuat landasan peneliti serta
melengkapi hasil penelitian yang peneliti lakukan. Triangulasi sumber dilakukan untuk
menguji kredibilitas data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui
beberapa sumber baik sumber primer maupun sumber sekunder. Sumber primer
misalnya hasil wawancara yang dilakukan dengan informan seperti wawancara dengan
pengurus sanggar, anggota sanggar, pemerintah setempat, dan masyarakat. Selain
wawancara, cara lainnya yaitu dengan mengamati (observasi) kembali di lokasi penelitian
dan mencatat kembali kejadian-kejadian yang berhubungan dengan penelitian ini.
Adapun data sekunder diperoleh melalui dokumentasi seperti laporan-laporan penelitian
yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.

• Teknik Analisis Data


Bungin (2011: 229) teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisa adalah data
model interaktif, dengan teknik ini setelah data terkumpul dilakukan analisa melalui tiga
komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dengan verifikasinya.
Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dan berkaitan satu sama lain sehingga tidak dapat
diipisahkan dari kegiatan pengumpulan data, oleh karenanya analisa data dapat dilakukan
sebelum, selama dan setelah proses pengumpulan data di lapangan. Untuk lebih jelasnya masing-
masing dapat dijabarkan sebagai berikut :
• Reduksi Data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis
dilapangan. Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti memutuskan kerangka konseptual, tentang
pemilihan kasus, pertanyaan yang diajukan dan tentang tata cara pengumpulan data yang dipakai.
Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung dan
merupakan bagian dari analisis.
Reduksi data pada penelitian ini dilakukan dengan cara setiap data yang diperoleh dari
informan segera dianalisis. Data tersebut kemudian dikategorikan, sehingga diperoleh hasil yang
jelas tentang peran sangar Dayang Sandes terhadap perkembangan senjang di Musi Banyuasain.
• Penyajian Data
Penyajian data yaitu sekumpulan informasi secara tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Informasi disini sudah termasuk
didalamnya matrik, skema, tabel dan jaringan kerja berkaitan dengan kegiatan. Dengan penyajian
data peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan dapat mengerjakan sesuatu pada analisis data
ataupun langkah- langkah lain berdasarkan pengertian tersebut.
Penyajian data yang dipakai dalam laporan ini ialah hasil dari yang di dapatkan ketika
peneliti terjun ke lapangan. Pada tahap ini peneliti melakukan penyajian data melalui teks naratif
terlebih dahulu, artinya data mengenai kegiatan, pelaksanaan kegiatan dan kendala sanggar
Dayang Sandes terhadap perkembangan senjang di Musi Banyuasain akan disajikan dalam
bentuk cerita, kemudian data tersebut akan diringkas dan disajikan dalam bentuk kalimat agar
bisa dimengerti oleh semua pihak. Kemudian data tersebut diolah lebih lanjut oleh peneliti agar
dapat dilihat oleh pembaca, laporan penelitian ini berisi pembahasan yang meliputi hasil
wawancara, tabel untuk memperkuat kebenaran dari penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti.
• Penarikan Kesimpulan Atau Verifikasi
Mencari makna, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi- konfigurasi
yang memungkinkan alur sebab akibat dan proporsi. Kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Singkatnya, makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekokohannya, kecocokannya yaitu yang merupakan validitasnya.
Pada tahap ini, peneliti melakukan uji kebenaran terhadap setiap makna yang muncul dari
data melalui pengecekan ulang kepada informan pendukung terhadap setiap temuan yang di
dapat. Memberikan kesimpulan dari semua data yang sudah direduksi dan kemudian di sajikan
dalam bentuk kata, tabel, bagan, hasil wawancara serta foto di maksudkan agar bisa memberi
suatu fakta kepada pembaca karena telah di uji sebelumnya secara ilmiah terkait peran sanggar
Dayang Sandes terhadap perkembangan senjang di Musi Banyuasain.

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi. 2014. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.


BPS MUBA. 2018. Kecamatan Sanga Desa dalam angka 2018. Sekayu
Bungin, Burhan. 2010. Analisa Data Penelitian Kualitatif :Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Barry, David. 1984. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: CV Rajawali Press.
BPS MUBA. 2018. Kecamatan Sanga Desa dalam angka 2018. Sekayu
Creswell, John W. 2013. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K, dan Lincoln Yvonna S. 2009. Handbook Of Qualitive Research. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2007. Kompilasi Sastra Tutur Sumatera Selatan. Sumatera
Selatan: Percetakan dan Penerbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Sumatera Selatan.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya.
Moleong, J. Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Permatasari, Ria. 2012. “Lebih Jauh Mengenal Kesenian Senjang”. Majalah Permata Muba. (2):
18-20.
Prasetya, Tri Joko. 2011. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Pujiwiyana. 2010. Pembinaan Paguyuban Seni Tradisional. Yogyakarta : Penerbit
Elmatera.
Prasetya, Tri Joko. 2011. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Rusiana. 2001. “Apresiasi Talibun Senjang Daerah Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin:
(Analisis Terhadap Sastra Lisan Daerah)”. Skripsi. Palembang: Universitas PGRI.
Soekanto, Soejono. 2007. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Setiadi, Elly. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada
Grup.
Sarlito, Wirawan. 2002. Teori-teori Psikologi sosial. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Setyawati, Atik Wahyu. 2008. Eksistensi Sanggar Tari Panunggul Sari Kabupaten Jepara.
Skripsi Jurusan Sendratasik. Semarang: FBS Unnes.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Usman, Husainidan Akbar, S. Purnomo. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Twilovita, Nursis. 2005. ”Gambaran Skilas Tentang Sastra Lisan Musi”. Bidar Majalah Ilmiah
Kebahasaan dan Kesastraan. 1 (1): 78-86.

SUMBER- SUMBER LAINNYA :


1. Jurnal Yang Dipublikasikan
Ardiansyah, Arif. 2016. Pemanfaatan Tradisi Lisan Senjang Musi Banyuasin Sumatra
Selatan Sebagai Identitas Kultural. Jurnal Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Diakses Pada tanggal 1 Agustus 2019
Apriadi, B, Dan Chairunisa, E, DIMAS. 2108. Senjang: Sejarah Tradisi Lisan Masyarakat
Musi Banyuasain. Kalpataru, Volume4, Nomor 2, Desember 2018. . Diakses Pada
tanggal 23 Agustus 2019.
Fadila, M, Maulina, dan Suryanto, Tokotok. 2013.Peran Sanggar Alang-alang Surabaya
Dalam Upaya Pemberdayaam Anak Jalanan. Kajian Moral dan Kewarganegaraan
No 1 Vol 1 Tahun 2013. Diakses Pada tanggal 1 Agustus 2019.
Purnama, Yuzar. 2015. Peran Sanggar Dalam Mesestarikan Kesenian Tradisional Betawi.
Patanjala Vol. 7 No. 3 September 2015. Diakses Pada tanggal 5 Agustus 2019.

2. Sekripsi dan Tesis

Sukma, Irawan. 2015. Keberadaan Kesenian Senjang Pada Masyarakat Kabupaten Musi
Banyuasain Sumatera Selatan. Tesis. Surakarta, Institit Seni Indonesia (ISI)
Surakarta.
Melati, Sari. 2004. Pelestarian dan Pengembangan Seni Tari Daerag Banyuasin. Skripsi.
Indralaya : FISIP Universitas Sriwijaya.
Nurlela. 2013. Kesatuan Imperatif Pada Talibun Senjang Musi Banyuasain. Skripsi.
Inderalaya : FKIP UNSRI.
Yunizawati. 2004. Sejarah perkembangan syarofal Anam Di Palembang. Skripsi. Palembang.
Fakultas Adab Dan Humaniora IAIN Raden Fata Palembang

Anda mungkin juga menyukai