Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF CARE

PADA PASIEN HIV

MAKALAH
Disusun oleh kelompok V
Cika Alinda 17172025
Riski Triharyono 17172023
Nur Abidah 17172024
Rabiatul Hadawiyah 17172039
Miftahul Amalia 17172043
Elianur Juwita 17172030
Zikra Nuzuli 17172001
Muhammad Taufiq 17172037
Muhammad Irvan 17172026

Dosen Pebimbing:
Ns. Maimun Tharida, M.Kes

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah serta kesempatan kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah keperawatan dasar sasbel “Asuhan Keperawatan Paliatif Care Pada Pasien HIV”
ini tepat pada waktunya. Tidak lupa pula kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
Ns. Maimun Tharida, M.Kes yang telah membimbing kami serta mengajarkan kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”, demikian pula dengan makalah ini,
tentu masih banyak kekurangan, maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami sampaikan, semoga makalah ini dapat berguna dan membantu proses
pembelajaran bagi kita, terutama bagi kami sebagai penyusun.

Penyusun

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 3
C. Rumusan masalah ........................................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 4
A. Pengertian HIV ............................................................................................................................ 4
B. Sejarah HIV AIDS ....................................................................................................................... 5
C. Etiologi HIV AIDS ...................................................................................................................... 6
D. Manifestasi Klinis HIV AIDS ..................................................................................................... 7
F. Peran perawat dalam manajemen penyakit HIV/AIDS ............................................................. 10
G. Patofisiologi HIV AIDS ............................................................................................................ 11
F. Cara Penularan HIV AIDS ........................................................................................................ 12
G. Pemeriksaan Laboratorium HIV AIDS ..................................................................................... 13
H. Cara Pencegahan dan Penanganan HIV AIDS .......................................................................... 14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF CARE PADA PASIEN HIV/AIDS ............... 16
A. Pengkajian Keperawatan ........................................................................................................... 16
B. Diagnosa Keperawatan .............................................................................................................. 18
C. Intervensi Keperawatan ............................................................................................................. 19
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................................. 28
A. Kesimpulan ................................................................................................................................ 28
B. Kritik dan saran ......................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama, AIDS adalah suatu penyakit yang belum ada
obatnya dan belum ada vaksin yang bisa mencegah serangan virus HIV, sehingga
penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia baik sekarang maupun waktu yang datang. Selain itu AIDS juga dapat
menimbulkan penderitaan, baik dari segi fisik maupun dari segi mental. Mungkin kita
sering mendapat informasi melalui media cetak, elektronik, ataupun seminar-seminar,
tentang betapa menderitanya seseorang yang mengidap penyakit AIDS. Dari segi fisik,
penderitaan itu mungkin, tidak terlihat secara langsung karena gejalanya baru dapat kita
lihat setelah beberapa bulan. Tapi dari segi mental, orang yang mengetahui dirinya
mengidap penyakit AIDS akan merasakan penderitaan batin yang berkepanjangan.
Semua itu menunjukkan bahwa masalah AIDS adalah suatu masalah besar dari
kehidupan kita semua. Dengan pertimbangan-pertimbangan dan alasan itulah kami
sebagai pelajar, sebagai bagian dari anggota masyarakat dan sebagai generasi penerus
bangsa, merasa perlu memperhatikan hal tersebut. (Widoyono, 2005)
Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang
mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak
ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat
dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian
penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana
sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit
pasien. Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan
pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut
dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar
mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Pada stadium lanjut,
pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti
nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami
gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/ pengobatan gejala fisik,, namun juga pentingnya dukungan terhadap

1
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukandengan pendekatan interdisiplin
yang dikenal sebagai perawatan paliatif. (Doyle & Macdonald, 2003: 5)
Karena pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien
paliatif care, maka masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam
kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif
menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik,
psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik Perawatan paliatif adalah pelayanan
kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi
dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik
sampai akhir hayatnya. (Doyle & Macdonald, 2003: 5).
Sedangkan saat ini hanya beberapa rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 6 (enam) ibu kota propinsi
yaitudimulai pada tanggal 19 Februari 1992 di RS Dr. Soetomo (Surabaya), disusul RS
Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta), RS Wahidin
Sudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito (Yogyakarta), dan RS Sanglah (Denpasar)..
Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata
sedangkan pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu,
komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia
yang memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan
pelayanan perawatan paliatif. (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007
tantangan yang kita hadapi pada di hari-hari kemudian nyata sangat besar. Meningkatnya
jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan
anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic
fibrosis,stroke, Parkinson, gagal jantung /heart failure, penyakit genetika dan penyakit
infeksi seperti HIV/ AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Oleh sebab itu, penulis membahas tentang ruang lingkup perawatan paliatif care
karena pelayanan kesehatan di Indonesia terutama perawat belum menyentuh kebutuhan
pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, atau penyakit yang termasuk
dalam lingkup perawatan paliatif.

2
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum:
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang konsep HIV AIDS.
2. Tujuan khusus:
a. Agar mahasiswa mengetahui, memahami pengertian HIV AIDS
b. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah HIV AIDS
c. Agar mahasiswa dapat memahami bagaimana etiologi HIV AIDS
d. Agar mahasiswa dapat memahami peran perawat dalam manajemen penyakit
HIV/AIDS ?
e. Agar mahasiswa dapat memahami patofisiologi HIV AIDS
f. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui bagaimana cara penularan dari
HIV AIDS
g. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui pemeriksaan laboratorium
HIV AIDS
h. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui cara pencegahan dan
penanganan HIV AIDS

C. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HIV AIDS ?
2. Bagaimana sejarah penyakit HIV AIDS ?
3. Bagaimana etiologi dari HIV AIDS ?
4. Bagaimana Peran perawat dalam manajemen penyakit HIV/AIDS ?
5. Bagaimana manifestasi klinis pasien HIV AIDS ?
6. Bagaimana patofisiologi HIV AIDS ?
7. Bagaimana cara penularan HIV AIDS pada seorang pasien ?
8. Bagaimana pemeriksaan laboratorium pasien dengan HIV AIDS ?
9. Bagaimana cara mencegah dan menangani HIV AIDS ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan


AIDS. HIV termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang memasukan materi genetiknya
ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro),
yaitu dari RNA menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah,
membentuk pro virus dan kemudian melakukan replikasi.
Sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan
gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah
kita lahir dan disebabkan oleh HIV virus. AIDS bukan penyakit turunan, oleh sebab itu
dapat menulari siapa saja. Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus,
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus
ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih
yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang
pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan
sekalipun.

4
Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak
Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah
putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka
ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah
kita dapat meninggal dunia akibat terkena pilek biasa.
Fase HIV adalah fase dimana virus masuk ke dalam tubuh dan tubuh mulai
melakukan perlawanan dengan menciptakan antibodi. Pada fase ini, sebagian besar orang
tidak merasakan gejalanya sehingga disebut fase tanpa gejala.
Fase AIDS adalah kondisi saat tubuh tidak mampu melawan penyakit-penaykit
yang masuk dan menginfeksi tubuh. Biasanya dikatakan fase AIDS setelah muncul 2 atau
lebih gejala. Misalnya flu yang sulit sembuh diiringi mencret dan menurunnya berat
badan hingga >10%.

B. Sejarah HIV AIDS


Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun
1983 dan virusnya di temukan Luc Montagnier pada tahun 1983. AIDS pertama kali
dilaporkan pada tanggal 5 juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention
Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasi
sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Peneumocystis Jirovecii) pada lima laki-
laki homoseksual di Los Angeles.
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit hampir setiap didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat
sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta dewasa dan 1,7 anak-anak.
Di Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jendaral P2M dan
PLP Depertemen Kesehatan RI sampai dengan 1Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS
sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 provinsi di Indonesia. Data jumlsh penderita
yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es” dimana penderita yang
kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan
bahwa 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV
yang belum diketahui.
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat
terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan
pula bahwa epidemic yang terjadi tidak saja mengenal penyakit (AIDS), virus (HIV)
tetapi juga reaksi/dampak negative berbagai bidang seperti kesehatan, social, ekonomi,

5
politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus diharapi
baik oleh negara maju maupun negara berkembang.

C. Etiologi HIV AIDS


Orang yang telah mengidap virus AIDS akan menjadi pembawa dan penular AIDS
selama hidupnya, walaupun tidak merasa sakit dan tampak sehat. AIDS juga dikatakan
penyakit yang berbahaya karena sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang bisa
mencegah virus AIDS. Selain itu orang terinfeksi virus AIDS akan merasakan tekanan
mental dan penderitaan batin karena sebagian besar orang di sekitarnya akan
mengucilkan atau menjauhinya. Dan penderitaan itu akan bertambah lagi akibat
tingginya biaya pengobatan. Bahaya AIDS yang lain adalah menurunnya sistim
kekebalan tubuh. Sehingga serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun akan
menyebabkan sakit atau bahkan meninggal.

Secara etiologi, HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel-T manusia tipe III
(HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik
dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah
lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia.
Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup
virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa protein
HIV-1,Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein Vpx pada
HIV-2. Vpx meningkatkan infeksi-vitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi
dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang
pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan Afrika Barat (warga Senegal)
pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tampaknya kurang patogenik
dibandingkan dengan HI.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek dari
perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan
waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya.
Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh
yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh
Virus HIV.

6
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi
AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS
yang mematikan. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat
menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS.

D. Manifestasi Klinis HIV AIDS


HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti
jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan makan
dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban
yang sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA
yaitu pengidap HIV atau AIDS. Sedangkan OHIDA (Orang hidup dengan HIV atau
AIDS) yakni keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu) atau teman-teman pengidap HIV
atau AIDS.

Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-
laki, tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi
dan anak, 90 % terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap
HIV tidak menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut
dapat menularkan kepada orang lain. Setelah itu, AIDS mulai berkembang dan
menunjukkan tanda-tanda atau gejala-gejala.Tanda-tanda klinis penderita AIDS :
1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari1 bulan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis
5. Dimensia/HIV ensefalopati
Gejala minor :
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Adanya Herpes zoster multisegmental dan berulang
4. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok rawan
mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu :
1. Orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan
kondom

7
2. Pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama
3. Pasangan seksual pengguna narkoba suntik
4. Bayi yang ibunya positif HIV
Para ahli menjelaskan bahwa Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang
terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala
yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung
daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik,
orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan
kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang
berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV
terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus
HIV.
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya
adalah seperti dibawah ini :
1. Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk,
nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak
jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
2. Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala
seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur
pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.
3. Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome,
yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan
pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai
Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada
sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah
kurang bertenaga.
4. System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang
mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak
kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung
(Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki,
reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
5. System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air
(herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit
yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi

8
jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar
retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.
6. Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami
penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka
pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka
wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah
penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic
dikenal sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid
yang tidak teratur (abnormal).

E. Perawatan paliatif care


Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan
dukungan spiritual dan spiritual psikososial mulai saat diagnosis ditegakkan sampai akhir
hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan/berduka.
Perawatan ini bertujuan untuk mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala-gejala
suatu penyakit, namun bukan berupaya penyembuhan. Paliatif care juga suatu perawatan
yang bertujuan mencapai kualitas hidup optimal bagi ODHA dan keluarganya, dengan
meminimalkan penderitaan dengan perawatan klinis, psikologis, spiritual, dan social
sepanjang seluruh perjalanan penyakit HIV.
Paliatif care juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
yang hidup dengan HIV dan penyakit lainnya yang membutuhkan perawatan paliatif.
Adapun peran perawat dalam perawatan paliatif :
1. Penatalaksanaan penyakit kronis, termasuk pemantauan kesehatan dan manajemen
gejala
2. Perawatan akut
3. Promosi dan Pendidikan kesehatan
4. Pencegahan penyakit
5. Perawatan paliatif
6. Dukungan kesehatan mental
7. Dukungan dan advokasi pasien
8. Manajemen rujukan

9
F. Peran perawat dalam manajemen penyakit HIV/AIDS
HIV adalah penyakit kronis yang bisa dikelola, namun tidak sembuh. Aspek
penting dari manajemen penyakit kronis meliputi :
1. Pengujian dan konseling
2. Pemantauan kesehatan
3. Manajemen gejala
4. Pemantauan kepatuhan pengobatan
5. Promosi kesehatan/Pendidikan pasien
6. Memberdayakan pasien untuk membuat pilihan sendiri
Beberapa perawat mungkin merasa peran mereka tidak begitu penting atau mereka
“hanya perawat”, namun peran perawat dalam merawat ODHA dan keluarga pasien sangat
penting yakni untuk perawatan pasien berkualitas tinggi dan kesejahteraan keluarga,
perawat adalah garis depan petugas kesehatan terlatih untuk ODHA.
Manajemennya yaitu memberikan terapi non-farmakologis seperti distraksi,
relaksasi dan imajinasi terbimbing. Terapi non farmakologis berfokus pada penanganan
tanda gajala dimana kenyamanan menjadi tujuan utama. (Seow dan Tanaseptro, 2016)
1. Peran perawat dalam pencegahan untuk pasien HIV/AIDS
a. Menilai, indentifikasi risiki infeksi HIV
b. Campur tangan, yaitu sebagai penasehat tentang manfaat tes HIV, mendidik
tentang penularan HIV dan pengurangan risiko dan merujuk untuk tes HIV-positif
untuk perawatan dan dukungan.
c. Mendidik mereka yang menguji HIV-Negatif tentang pencegahan
2. Peran perawat dalam kesehatan mental pasien HIV/AIDS
a. Gangguan psikologis atau mood sering terjadi pada pasien HIV
b. Perawat dapat menilai dan melakukan intervensi pada berbagai masalah
kesehatan mental
3. Peran keperawatan dalam dukungan/advokasi pasien HIV/AIDS
a. Identifikasi kebutuhan (bersama dengan pasien dan keluarga) dan rujuk ke
layanan yang sesuai dalam lingkungan klinis atau komunitas
b. Advokat untuk pasien saat dibutuhkan
c. Dukugan pencapaian kebutuhan pasien, misalnya menginformasikan pasien
tentang skema pembagian biaya
4. Peran keperawatan dalam perawatan paliatif dan end-of-life-care

10
a. Perawatan paliatif dimulai pada saat diagnosis dan memberikan kenyamanan dan
manajemen gejala sepanjang hidup
b. Perawatan akhir hidup difokuskan untuk membantu pasien dan keluarga memiliki
kualitas hidup tertinggi.
5. Peran perawat direalisasikan: Empat langkah untuk “Getting it right”
a. Luangkan waktu untuk pasien
b. Gunakan pendekatan yang terbuka, mendukung dan tidak menghakimi
c. Pertahankan pengetahuan terkini
d. Percaya pada pentingnya peran anda

G. Patofisiologi HIV AIDS

Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel dan materi genetik virus
dimasukkan ke dalam DNA sel sehingga terjadi infeksi. Di dalam sel, Virus berkembng
biak pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan pertikel virus yang baru.
Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki satu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor biasanya,
disebut sel CD4+ atu disebut limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi
mengaktifkan dan menagatur sel-sel lain pada sistem kekebalan.(misalnya limfosit B,
makrofag dan limfosit T stitostik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel
ganas dan organisme asing.

11
Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga teradi
kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infksi dan kanker. Seseorang
yang terinfeksi HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberpa
bulan atau tahun.
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada
beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV sejumlah sel menurun sebanyak 40-
50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena
banyak partikel virus yang terdapat dalam luar darah. Meskipun tubuh berusaha
melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus didalam darah mencapai kadar yang
stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan
penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dak kadar
Limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter mendapati orang-orang yangberisiko
tinggi menderita AIDS.
3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis.
Jika kadarnya turun hingga 200 sel/Ml darah, maka penderita menjadi rentan terhadap
infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B. Limfosit B
adalah limfosit yang menghasilkan antibodi. Seringkali HIV meyebabkan produksi
antibodi berlebihan. Antibodi yang diperuntukkan melawan HIV dan infeksi lain ini
banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS.
Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan
berkurangnya kemampuan Sistem kekebalan tubuh dalam mengenali dan sasaran baru
yang harus diserang.

F. Cara Penularan HIV AIDS


Cara penularan HIV ada tiga :
1. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, ataupun anal dengan seorang pengidap.
Ini adalah cara yang paling umum terjadi,. Lebih mudah terjadi penularan bila terdapat
lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis,
sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Resiko pada seks anal lebih
besar disbanding seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada yang reseptive dari
pada yang insertive.
2. Kontak langsung dengan darah / produk darah / jarum suntik.

12
a. Transfusi darah yang tercemar HIV
b. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya
pada para pencandu narkotik suntik.
c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
3. Secara vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selam hamil, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan.
Infeksi HIV kadang-kadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini
belum diketahui dengan pasti frekuensi kejadian seperti ini atau mengapa hanya terjadi
pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak
virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi dan ibu-ibu yang telah
memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS.
Setelah 6 bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan
infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan memberikan makanan
tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih kecil
untuk terkena HIV.

G. Pemeriksaan Laboratorium HIV AIDS


Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Yang pertama, enzymelinked immunosorbent assay(ELISA), bereaksi terhadap adanya
antibodi dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi
antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan
dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila
keduanya positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik, Western blot. Uji Western blot
juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya memberi hasil positif-
palsuatau negatif-palsu. Juga dapat terjadi hasil uji yang tidak konklusif, misalnya saat
ELISA atau Western blot bereaksi lemah dan agak mencurigakan. Hal ini dapat terjadi
pada awal infeksi HIV, pada infeksi yang sedang berkembang (sampai semua pita
penting pada uji Western blot tersedia lengkap), atau pada reaktivitas-silang dengan titer
retrovirus tinggi lain, misalnya HIV-2 atau HTLV-1. Setelah konfirmasi, pasien
dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik
lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha-usaha untuk mengendalikan
infeksi.
HIV juga dapat dideteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya virus atau
komponen virus sebelum ELISA atau Western blot dapat mendeteksi antibodi. Prosedur-

13
prosedur ini mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24, dan pengukuran DNA dan
RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai polimerase (PCR) dan RNA HIV-1
plasma. Uji-uji semacam ini bermanfaat dalam studi mengenai imunopatogenesis,
sebagai penanda penyakit, pada deteksi dini infeksi, dan pada penularan neonatus. Bayi
yang lahir dari ibu positif-HIV dapat memiliki antibodi anti-HIV ibu dalam darah mereka
sampai usia 18 bulan, tanpa bergantung apakah mereka terinfeksi atau tidak.

H. Cara Pencegahan dan Penanganan HIV AIDS


1. Cara pencegahan
a. Hindarkan hubungan seksual diluar nikah. Usahakan hanya berhubungan dengan
satu orang pasangan seksual, tidak berhubungan dengan orang lain.
b. Pergunakan kondom bagi resiko tinggi apabila melakukan hubungan seksual.
c. Ibu yang darahnya telah diperiksa dan ternyata mengandung virus, hendaknya
jangan hamil. Karena akan memindahkan virus AIDS pada janinnya.
d. Kelompok resiko tinggi di anjurkan untuk menjadi donor darah.
e. Penggunaan jarum suntik dan alat lainnya ( akupuntur, tato, tindik ) harus dijamin
sterilisasinya.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam usaha untuk
mencegah penularan AIDS yaitu, misalnya : memberikan penyuluhan-penyuluhan
atau informasi kepada seluruh masyarakat tentang segala sesuatau yang berkaitan
dengan AIDS, yaitu melalui seminar-seminar terbuka, melalui penyebaran brosur atau
poster-poster yang berhubungan dengan AIDS, ataupun melalui iklan diberbagai
media massa baik media cetak maupun media elektronik.penyuluhan atau informasi
tersebut dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, kepada semua
lapisan masyarakat, agar seluarh masyarakat dapat mengetahui bahaya AIDS,
sehingga berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan
virus AIDS.
2. Penanganan HIV/AIDS
a. Penanganan Umum
1) Setelah dilakukan diagnosa HIV, pengobatan dilakukan untuk memperlambat
tingkat replikasi virus. Berbagai macam obat diresepkan untuk mencapai
tujuan ini dan berbagai macam kombinasi obat-obatan terus diteliti. Untuk
menemukan obat penyembuhannya. Pengobatan-pengobatan ini tentu saja

14
memiliki efek samping, namun demikian ternyata mereka benar-benar mampu
memperlambat laju perkembangan HIV didalam tubuh.
2) Pengobatan infeksi-infeksi appertunistik tergantung pada zat-zat khusus yang
dapat menginfeksi pasien, obat anti biotic dengan dosis tinggi dan obat-obatan
anti virus seringkali diberikan secara rutin untuk mencegah infeksi agar tidak
menjalar dan menjadi semakin parah
b. Penanganan Khusus
1) Penapisan dilakukan sejak asuhan antenatal dan pengujian dilakukan atas
permintaan pasien dimana setelah proses konseling risiko PMS dan
hubungannya dengan HIV, yang bersangkutan memandang perlu pemeriksaan
tersebut.
2) Upayakan ketersediaan uji serologic
3) Konseling spesifik bagi mereka yang tertular HIV, terutama yang berkiatan
dengan kehamilan da risiko yang dihadapi
4) Bagi golongan risiko tinggi tetapi hasil pengujian negative lakukan konseling
untuk upaya preventif (penggunaan kondom)
5) Berikan nutrisi dengan nilai gizi yang tinggi, atasi infeksi oportunistik.
6) Lakukan terapi (AZT sesegera mungkin, terutama bila konsentrsi virus
(30.000-50.000) kopi RNA/Ml atau jika CD4 menurun secara dratis
7) Tatalaksana persalinan sesuai dengan pertimbangan kondisi yang dihadapi
(pervaginanm atau perabdominam, perhatikan prinsip pencegahan infeksi).

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF CARE
PADA PASIEN HIV/AIDS

A. Pengkajian Keperawatan
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-
saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang
dan damai. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam
hidup kedalam empat fase, yaitu :
1. Fase prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau factor resiko penyakit
2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
3. Fase kronis : klien bertempur dengan penyakit dan pengobatnnya, Pasti terjadi. Klien
dalam kondisi terminal akan mengalami masalah baik fisik, psikologis maupun
social-spiritual.
Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :
1. Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne
stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan darah
menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.
2. Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic,
kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia
fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis Ca Colon),
retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi
penyakit misalnya : Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake
cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.
3. Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
4. Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
5. Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati
kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun,

16
kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi
menurun.
6. Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra
vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.
7. Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah
pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
8. Problem Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak
respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang
control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.
9. Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian
sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya
dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan
perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan
sepanjang hidup.
Faktor-faktor yang perlu dikaji :
1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai
masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada
penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital,
mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien, klien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulan sebelum terjadi
kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien
terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan
kemampuan klien dalam pemeliharaan diri.
2. Faktor Psikologis
Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat
harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.

17
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-
tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,
karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak
ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.
Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat
harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan
dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu
menemani klien.
4. Faktor Spiritual
Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,
bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran
tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.
5. Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang
mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi
individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau
menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien terminal
berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus dihindari.
6. Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan.
Perawat harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan
spiritual. Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan
menghadapi kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat
terpenuhi.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Biologi :
a. Ketidakefektifan termogulasi b.d penurunan imunitas tubuh
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan asupan oral

18
c. Intoleransi aktivitas b.d keadaan mudah letih, kelemahan, malnutrisi dan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Psikologi :
a. Ansietas b.d ancaman nyata terhadap kesejahteraan diri
b. Harga diri rendah b.d penyakit kronis, krisis stuasional
3. Sosial :
a. Isolasi soaial b.d stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran infeksi
b. Tidak efektifnya mekanisme koping keluarga b.d kemampuan dalam
mengaktualisasi diri
4. Spiritual : Distress spiritual b.d penyakit infeksi kronis

C. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Tujuan dan


Intervensi
O Keperawatan Kriteria Hasil
1. Ketidakefektifan NOC : NIC :
termoregulasi 1. Hidration Temperature regulation
2. Adherence Behavior (pengaturan suhu)
3. Status Imun 1. Monitor suhu tubuh
4. Risk control minimal tiap 2 jam
5. Risk detection 2. Rencanakan monitor
suhu secara continue
KriteriaHasil : 3. Monitor TD, nadi, RR
1. Keseimbangan antara 4. Monitor warna dan
produksi panas, panas suhu kulit
yang diterima, dan 5. Monitor tanda-tanda
kehilangan panas. hipotermi dan
2. Seimbang antara hipertermi.
produksi panas, panas 6. Tingkatkan intake
yang diterima, dan cairan dan nutrisi
kehilangan panas 7. Selimuti pasien untuk
selama 28 hari mencegah hilangnya
pertama kehidupan. kehangatan tubuh

19
3. Keseimbangan asam 8. Ajarkan pada pasien
basa bayi baru lahir cara mencegah
4. Temperature stabil : keletihan akibat panas
36,5-37 C 9. Diskusikan tentang
5. Tidak ada kejang pentingnya
6. Tidak ada perubahan pengaturan suhu dan
warna kulit kemungkinan efek
7. Glukosa darah stabil negative dan
8. Pengendalian risiko : kedinginan
hipertermia 10. Beritahu tentang
9. Pengendalian risiko: indikasi terjadinya
hyporthermia keletihan dan
10. Pengendalian risiko: penanganan
Proses menular emergency yang
11. Pengendian risiko: diperlukan
paparan sinar matahari 11. Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan
penanganan yang
diperlukan
12. Berikan anti piretik
jika perlu

2. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya alergi


nutrisi kurang dari keperawatan selama 3x24 makanan.
kebutuhan b.d jam diharapkan nutrisi 2. Monitor adanya
penurunan asupan kurang teratasi dengan penurunan berat badan.
oral kriteria hasil: 3. Yakinkan diet yang
1. Adanya peningkatan dimakan mengandung
berat badan sesuai tinggi serat untuk
dengan tujuan mencegah konstipasi.
2. Berat badan ideal 4. Berikan informasi
sesuai dengan tinggi tentang kebutuhan
badan. informasi.

20
3. Tidak ada tanda-tanda 5. Kolaborasi dengan ahli
malnutrisi. gizi untuk menentukan
4. Menunjukkan jumlah kalori dan
penigkatan fungsi nutrisi yang
pengecapan dan dibutuhkan pasien.
menelan.
5. Tidak terjadi
penurunan berat badan
yang berarti

3. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Bantu klien untuk


b.d keadaan mudah keperawatan selama 3x24 mengidentifikasi
letih, kelemahan, jam diharapkan Pasien aktivitas yang mampu
malnutrisi dangan bertoleransi terhadap dilakukan.
gangguan aktivtas dengan kriteria 2. Bantu klien untuk
keseimbangan cairan hasil: membuat jadwal
dan elektroit 1. Berpartisipasi dalam latihan diwaktu luang.
aktivitas fisik tanpa 3. Sediakan penguatan
disertai peningkatan yang positif bagi yang
tekanan darah, nadi aktif beraktivitas.
dan RR. 4. Monitor responfisik,
2. Mampu melakukan emosional, social dan
aktivtas sehari-hari spiritual..
(ADLs) secara 5. Kolaborasi dengan
mandiri. Tenaga Rehabilitasi
3. Keseimbangan Medik dalam
aktivitas dan istirahat merencanakan
program terapi yang
tepat.

4. Ansietas b.d Setelah dilakukan tindakan Anxiety Reduction


ancaman nyata keperawatan 3 x 24 jam (peneurunan kecemasan)
diharapkan ansietas dapat

21
terhadap teratasi dengan Kriteria 1. Gunakan pendekatan
kesejahteraan diri Hasil: yang menyenangkan
1. Klien mampu 2. Nyatakan dengan jelas
mengidentifikasi dan harapan terhadap
mengungkapkan ejala pelaku pasien
cemas 3. Jelaskan semua
2. Mengidentifikasi, prosedur dan apa yang
mengungkapkan, dan dirasakan
menunjukkan teknik 4. Pahami prespektif
mengontrol cemas pasien terhadap situasi
3. Vital sign dalam batas stress
normal 5. Temani pasien untuk
4. Postur tubuh, ekspresi mengurangi takut
wajah, bahasa tubuh 6. Dengarkan dengan
dan tingkat aktivitas penuh perhatian
menunjukkan 7. Instruksikan pasien
kurangnya kecemasan menggunakan teknik
relaksasi
8. Berikan obat untuk
mengurangi
kecemasan

5. Harga diri rendah b.d Setelah dilakukan tindakan Self extem enhancement
penyakit kronis, keperawatan 3x24 jam 1. Tunjukkan rasa
krisis stuasional diharapakan masalah percaya diri terhadap
harga diri rendah teratasi kemampuan pasien
dengan Kriteria Hasil : untuk mengatasi situasi
1. Adaptasi terhadap 2. Dorong pasien
ketidakdayaan fisik : mengidentifikasikan
respon adaptif klien kekuatan dirinya
terhadap tantangan 3. Ajarkan keterampilan
fungsional penting. perilaku yang positif
melalui

22
2. Menunjukkan 4. Buat steatment positif
penilaian pribadi terhadap pasien
tentang harga diri 5. Dukung pasien untuk
3. Mengungkapkan menerima
penerimaan diri 6. Kaji alasan-alasan
4. Komunikasi terbuka untuk mengkritik atau
5. Menggunakan strategi menyalahkan diri
koping efektif sendiri
7. Kolaborasi dengan
sumber-sumber lain (
petugas dinas sosial,
perawat specialis
klinis, dan layanan
keagamaan )
Body image enhancement
counseling
1. Mengguakan proses
pertolongan interaktif
yang berfokus pada
kebutuhan, masalah
atau perasaan pasien
dan orang terdekat
untuk meningkatkan
atau mendukung
koping pemecahan
masalah
6. IsolasiSosial NOC : Socialization enhacement
Definisi : 1. Social interactive 1. Fasilitasi dukungan
Kesepian yang skills. kepada pasien oleh
dialami individu dan 2. Stress level. keluarga, teman
dirasakan saat 3. Social support. dankomunitas.
didorong oleh 4. Post-trauma syndrome. 2. Dukung hubungan
keberadaan orang dengan orang lain yang

23
lain dan sebagai KriteriaHasil : mempunyai minat dan
pernyataan negative 1. Iklim social keluarga tujuan yang sama.
atau mencengkam. :lingkungan yang 3. Dorong pasien
mendukung yang melakukan kegiatan
Batasan karakteristik bercirikan hubungan social dan komunitas.
: dan tujuan anggota 4. Berikan uji
Objektif : keluarga. pembatasan
1. Tidak ada 2. Partisipasi waktu interpersonal.
dukungan orang luang: menggunakan 5. Berikan umpan balik
yang dianggap aktivitas yang menarik, tentang peningkatan
penting menyenangkan, dan dalam perawatan dan
2. Perilaku yang menenangkan untuk penampilan diri atau
tidak sesuai meningkatkan aktivitas lain.
dengan kesejahteraan. 6. Hadapkan pasien pada
perkembangan 3. Keseimbangan pada hambatan penilaian,
3. Afek tumpul perasaan: mampu jika memungkinkan.
4. Bukti kecacatan menyesuaikan emosi 7. Dukung pasien untuk
(mis:fisik, sebagai respon mengubah lingkungan
mental) terhadap keadaan seperti jalan-jalan
5. Ada didalam tertentu. 8. Fasilitasi pasien yang
subcultural 4. Keparahan kesepian: mempunyai penurunan
6. Sakit, tindakan mengendalikan sensory seperti
tidak berarti keparahan penggunaan kaca mata
7. Tidak ada kontak responemosi, social dan alat pendengaran.
mata atau eksistensi 9. Fasilitasi pasi enpasien
8. Dipenuhi dengan terhadap isolasi. untuk berpartisipasi
pikiran sendiri 5. Penyesuaian yang tepat dalam diskusi dengan
9. Menunjukkan terhadap tekanan group kecil.
permusuhan emosi sebagai respon 10. Membantu pasien
10. Tindakan terhadap keadaan mengembangkan atau
berulang tertentu. meningkatkan
11. Afek sedih, ingin 6. Tingkat persepsi keterampilan social
sendirian positif tentang status interpersonal.

24
12. Menunjukan kesehatandan status 11. Kurangi stigma isolasi
perilaku yang hidup individu. dengan menghormati
tidak dapat 7. Partisipasi dalam martabat pasien.
diterima oleh bermain, penggunaan 12. Gali kekuatan dan
kelompok aktivitas oleh anak usia kelamahan pasien
kultural yang 1-11 tahun untuk dalam berinteraksi
dominan meningkatkan social.
13. Tidak kesenangan, hiburan,
komunkati, dan perkembangan.
menarik diri 8. Meningkatkan
Subjektif : hubungan yang efektif
1. Minat yang tidak dalam perilaku pribadi,
sesuai dengan interaksi social dengan
perkembangan orang, kelompok atau
2. Mengalami organisasi.
perasaan berbeda 9. Ketersediaan dan
dari orang lain peningkatan
3. Tidak percaya pemberian actual
diri saat bantuan yang andal
berhadapan dari orang lain.
dengan public 10. Menungkapkan
4. Mengungkapkan penurunan perasaan
perasaan atau pengalaman
kesendirian yang diasingkan.
didorong oleh
orang lain.
5. Mengungkapkan
perasaan
penolakan.
6. Mengungkapkan
nilai yang tidak
dapat diterima

25
kelompok
cultural dominan.

Factor yang
berhubungan :
1. Perubahan status
mental
2. Gangguan
penampilan fisik
7. Tidak efektifnya Setelah dilakukan tindakan Coping Enhancement
ekanisme koping keperawatan 1 x 24 jam 1. Kaji koping keluarga
keluarga b.d diharapakan Keluarga terhadap sakit pasein
kemampuan dalam dapat mempertahankan dan perawatanny
mengaktualisasi diri suport sistem dan adaptasi 2. Biarkan keluarga
terhadap perubahan akan mengung -kapkan
kebutuhannya dengan perasaan secara verbal
Kriteria hasil : 3. Ajarkan kepada
1. Pasien dan keluarga keluaraga tentang
berinteraksi dengan penyakit dan
cara yang konstruktif transmisinya.
2. Keluarga bisa
menerima keadaan
klien

8. Distress spiritual b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Bina hubungan saling


penyakit infeksi keperawatan 3 x 24 jam percaya dengan pasien
kronis diharapkan masalh distress 2. Kaji factor penyebab
spiritual dengan gangguan spiritual
Kriteria hasil : pada pasien
1. Mampu membina 3. Bantu pasien
hubungan saling mengungkapkan
percaya dengan perasaan terhadap
perawat spiritual yang di yakini

26
2. Mampu 4. Bantu klien mengem -
mengungkapkan bangkan skill untuk
penyebab gangguan mengatasi perubahan
spiritual spiritual dalam
3. Mengungkapkan kehidupan
perasaan dan pikiran 5. Fasilitasi pasien
tentang spiritual yang dengan alat-alat ibadah
diyakininya sesuai keyakinan atau
4. Aktif melakukan agama yang di anut
kegiatan spiritual atau oleh pasien
keagamaan 6. Bantu pasien untuk
5. Ikut serta dalam ikut serta dalam
keadaan keagamaan kegiatan keagamaan
7. Bantu pasien
mengevaluasi perasaan
setelah melakukan
kegiatan ibadah atau
kegiatan spiritual
lainnya.

27
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
HIV (Human Immuno–Devesiensi) adalah virus yang hanya hidup dalam tubuh
manusia, yang dapat merusak daya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acguired Immuno–
Deviensi Syndromer) adalah kumpulan gejala menurunnya gejala kekebalan tubuh
terhadap serangan penyakit dari luar.
Tanda dan Gejala Penyakit AIDS seseorang yang terkena virus HIV pada awal
permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya
mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat
mendapat kontak virus HIV tersebut.
Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin
yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS yang ada
hanyalah pencegahannya saja.
Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang
mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak
ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat
dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian
penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana
sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit
pasien.

B. Kritik dan saran


Guna penyempurnaan makalah ini, saya duta dari kelompok 4 sangat
mengharapkan kritik serta saran dari Dosen Pembimbing beserta teman-teman
kelompok lainnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan


pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series
2. Muhajir. 2007. Pendidkan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Bandung: Erlangga
3. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993. Mikrobiolog
Kedokteran. Jakarta Barat: Binarupa Aksara
4. Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
5. Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series

29

Anda mungkin juga menyukai