FARMASI SOSIAL
KELAS A
KELOMPOK 4 :
CINTA ZALWA ANISA FASYA 18330080
AAM AMANAH 18330084
DARA RUSTRI ARDANA 18330086
ANGGITA TYAS RAMADHANTI 18330100
DIMAS YUSUF ATTHARIQ 183301
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia serta taufik dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah tentang outcomes
pengobatan. Meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga banyak berterima kasih kepada
Dosen mata kuliah Farmasi sosial yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai outcomes pengobatan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat.
Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya. Dan
sekiranya dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan mohon kritik dan
saran yang membangun demi perrbaikan makalah ini.
Jakarta, 8 Oktober 2019
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien
yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan
kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi
pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien.
Perubahan orentasi ini mengharuskan apoteker untuk memiliki peran yang lebih
luas dari hulu ke hilir mulai dari pembuatan, pengawasan, penyerahan hingga pemastian
bahwa obat yang akan digunakan oleh pasien memenuhi prinsip-prinsip rasionalitas.
Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk
dapat meningkatkan interaksi langsung dengan pasien.
Peran farmasi klinik sendiri memberikan dampak yang baik terhadap berbagai
outcome terapi pada pasien, baik dari sisi humanistic (kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik
(control yang lebih baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan biaya
kesehatan). Hal ini diperoleh terutama dengan melakukan pemantauan resep dan pelaporan
efek samping obat.
Beserta beberapa hal lain yang melatar belakangi adanya outcomes pengobatan itu
sendiri ialah Tanggungjawab sebagai apoteker profesional yaitu memantau/memonitoring
hasil dari pengobatan yang dilakukan oleh pasien.Seorang apoteker harus terlibat dalam
mengidentifikasi dan memonitoring hasil klinis selama beberapa tahun sampai hasil terapi
tercapai, dan meningkatnya kualitas hidup si pasien dari hasil klinisTindakan ini
dinamakan Farmasi Klinik atau Pharmaceutical Care.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimakud dengan outcomes pengobatan ?
1.2.2 Bagaimana pengukuran outcomes terapi ?
1.2.3 Outcomes yang dimaksud ialah ?
1.2.4 Bagaimana peran farmasi klinik itu sendiri?
1.3 Tujuan
1.3.1 Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami definisi dari
outcomes pengobatan.
1.3.2 Agar mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui dan memahami Bagaimana
pengukuran outcome terapi.
1.3.3 Agar mahasiswa/mahasiswi memahami peranan farmasi klinik dalam pengobatan
outcomes itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Outcomes pengobatan adalah Tanggung Jawab professional Apoteker adalah memonitor penggunaan obat
pada pasien.
Apoteker juga memonitoring dan mengidentifikasi luaran klinik untuk beberapa tahun.
Data ini perlu untuk menunjukkan profil yang baik.
Monitoring luaran klinik untuk menggambarkan progress dari suatu program pelayanan
kesehatan/kefarmasian.
Hal ini juga dapat bermanfaat untuk reimbers pendapatan dll.
PROMOTIF,PREVENTIF,KURATIF,REHABILITATIF
A. PROMOSI KESEHATAN DALAM TEORI
Promosi kesehatan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu health
promotion. Penerjemahan kata health promotion atau tepatnya promotion of health kedalam
bahasa Indonesia pertama kali dilakukan ketika para ahli kesehatan masyarakat di Indonesia
menerjemahkan lima tingkatan pencegahan (five levels of prepention) dari H.R.Leavell dan E. G.
Clark dalam buku preventive medicine for the doctor in his community.
Promosi kesehatan adalah upaya meningkatkan kemampuan kesehatan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri, serta mampu berperan secara aktif dalam masyarakat sesuai sosial budaya setempat yang
didukung oleh kebijakan public yang berwawasan. (Depkes RI)
Promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi,
kebijakan dan peraturan perundangan untuk perubahan lingkungan dan perilaku yang
menguntungkan kesehatan (Green dan Ottoson,1998).
Promosi Kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu untuk mencapai derajat kesehatan yang
sempurna, baik fisik, mental, dan sosial, maka masyarakat harus mampu mengenal serta
mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dan mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya
(lingkungan fisik, sosial budaya dan sebagainya). Dalam konferensi ini ,health promotion di
maknai sebagai perluasan dari healt education atau pendidikan kesehatan.
Menurut Leavell dan Clark (1965), dari sudut pandang kesehatan masyarakat, terdapat 5
tingkat pencegahan terhadap penyakit, yaitu :
1. Promotion of healt
2. Specifik protection
3. Early diagnosis and prompt treatment
4. Limitation of disability dan
5. Rehablitation.
Organisasi kesehatan dunia WHO telah merumuskan suatu bentuk definisi mengenai promosi
kesehatan :
“ Health promotion is the process of enabling people to increase control over, and improve,
their health. To reach a state of complete physical, mental, and social, well-being, an individual
or group must be able to identify and realize aspirations, to satisfy needs, and to change or cope
with the environment “.
(Ottawa Charter,1986).
3. Rehabilitasi (Rehabilitation)
Rehabilitasi adalah usaha untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat,
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan
masyarakat, semaksimalnya sesuai dengan kemampuannya.
Rehabilitasi ini terdiri atas :
a. Rehabilitasi fisik
Yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimalnya. Misalnya, seorang yang
karena kecelakaan, patah kakinya, perlu mendapatkan rehabilitasi dari kaki yang patah yaitu
denganmempergunakan kaki buatan yang fungsinya sama dengan kaki yang sesungguhnya.
b. Rehabilitasi mental
Yaitu agar bekas penderita dapat menyusuaikan diri dalam hubungan perorangan dan social secara
memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya cacat badania muncul pula kelainan-
kelaianan atau gangguan mental.untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan bimbingan
kejiwaan sebelum kembali kedalam masyarakat
c. Rehabilitasi social vokasional
Yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan/jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas
kerja yang semaksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya.
d. Rehabilitasi aesthetis
Usaha rehabilitasi aesthetis perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan, walaupun
kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan misalnya: misalnya
penggunaan mata palsu.
Usaha pengembalian bekas penderita ini kedalam masyarakat, memerlukan bantuan dan
pengertian dari segenap anggota masyarakat untuk dapat mengerti dan memahami keandaan
mereka (fisik mental dan kemampuannya) sehingga memudahkan mereka dalam proses
penyesuian dirinya dalam masyarakat dalam keadan yang sekarang ini.
Sikap yang diharapkan dari warga masyarakat adalah sesuai dengan falsafah pancasila yang
berdasarkan unsur kemanusian dan keadailan social. Mereka yang direhabilitasi ini memerlukan
bantuan dari setiap warga masyarakat, bukan hanya berdasarkan belas kasian semata-mata,
melainkan juga berdasarkan hak asasinya sebagai manusia.
Sedangkan peran bidan dalam rehabilitasi (pemulihan) yaitu:
1. Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi dengan melibatkan masyarakat
2. Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali
3. Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga setiap penderita yang telah cacat
mampu mempertahankan diri.
4. Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang setelah ia sembuh
dari suatu penyakit
5. Memberikan konseling pada penderita kecacatan
6. Memberikan keyakinan dalam kesembuhan, menumbuhkan kepercayaan diri untuk bersosialisasi
dgn masyarakat
7. Memberikan pendidikan kesehatan
BAB III
KESIMPULAN
Tindakan ini dinamakan dengan Farmasi Klinik yang dilakukan di Rumah sakit dan
berbasiskan Pharmaceutical Care.
Praktik pelayanan farmasi klinis di Indonesia baru berkembang pada tahun 2000-an
disebabkan konsep farmasi klinik belum diterima sepenuhnya oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit.
Seorang Apoteker harus menambah ilmu dan wawasannya agar ia bisa ikut turut serta
dalam peningkatan kualitas hidup pasien sehingga memperoleh hasil klinis yang
diinginkan.
Apoteker berperan dalam Farmasi Klinik melakukan Pharmaceutical Care. Hasil Klinis
yang diharapkan merupakan Pencegahan DRP dan Peningkatan Kualitas Hidup Pasien
BAB IV
PENUTUP
Dari makalah ini kami mengharapkan agar para pembaca bisa membacanya, memahaminya
dan membuat makalah ini menjadi referensi untuk belajar mengetahui lebih jelas apa dan
bagaimana outcame pengobatan itu. Demi sempurnanya makalah ini kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk
selanjutnya.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Aslam M, Tan, CK dan Prayitno, A., 2003, Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), PT Elex
Media.Jakarta
Herfindal, ET., Gourley, DR.,2000, Textbook of Therapeutic Drug and Disease
Management,W&W Publ., Philadelphia
Hughes, J., Donelly R., Chatgilton, JG., 1998, Clinical Pharmacy : A Practical Approach,
The SHPAus, Sidney
Jones, WN., Campbell S., 1993, Designing and Recomending Pharmacist Care Plan,
Clinical Skill Program, ASHPh ESCP, 1983, The Clinical Pharmacist: education
document, Barcelona
Ikawati, Zullies. 2010. Pelayanan Farmasi Klinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangnan
dan Peluang. Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM
Departemen Kesehatan RI, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor No.436/ MenKes/SK/VI/1993 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek