Anda di halaman 1dari 15

EKONOMI PEMBANGUNAN

“Pertumbuhan Ekonomi, Distribusi

Pendapatan dan Kemiskinan”

OLEH

NAMA : MIKAEL FERNANDO TAMPI

NIM : 17031104106

JURUSAN SOSIAL EKONOMI FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
EKONOMI PEMBANGUNAN
A. PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara
berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi
dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang
diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan
indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah
perekonomian dalam selang waktu tertentu. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka
semakin cepat proses pertambahan output wilayah sehingga prospek perkembangan wilayah
semakin baik. Dengan di ketahuinya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi maka dapat ditentukan
sektor prioritas pembangunan. Menurut Todaro dan Smith (2004) terdapat tiga faktor atau
komponen utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu akumulasi modal (capital
accumulation), pertumbuhan penduduk (growth in population), dan kemajuan teknologi
(technological progress).
Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur prestasi
ekonomi suatu negara. Dalam kegiatan ekonomi sebenarnya, pertumbuhan ekonomi berarti
perkembangan ekonomi fisik. Beberapa perkembangan ekonomi fisik yang terjadi di suatu negara
adalah pertambahan produksi barang dan jasa, dan perkembangan infrastruktur. Semua hal tersebut
biasanya diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara dalam
periode tertentu.
Pertumbuhan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan
pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,1985)
dalam Afrizal (2013)
Dari definisi tersebut terdapat tiga hal penting yaitu:
1) Suatu proses yang dilakukan secara terus menerus,
2) Usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita
3) Peningkatan pendapatan per kapita yang secara terus menerus dalam jangka waktu yang
panjang.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat diukur dengan cara membandingkan, misalnya
untuk ukuran nasional, Gross National Product (GNP), tahun yang sedang berjalan dengan tahun
sebelum

1. Teori Pertumbuhan Ekonomi


Teori dibangun berdasarkan pengalaman empiris, sehingga teori dapat dijadikan sebagai dasar
untuk memprediksi dan membuat suatu kebijakan. Terdapat beberapa teori yang dikemukakan
beberapa ahli untuk mengungkapkan konsep pertumbuhan ekonomi, secara umum teori tersebut
sebagai berikut:
a. Teori Pertumbuhan Ekonomi Historis

Teori ini dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:


1) Werner Sombart (1863-1947)

Menurut Werner Sombart pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat dibagi menjadi tiga tingkatan:
a) Masa perekonomian tertutup

Pada masa ini, semua kegiatan manusia hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Individu atau masyarakat bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen sehingga tidak
terjadi pertukaran barang atau jasa. Masa pererokoniam ini memiliki ciri-ciri:
 Kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan sendiri
 Setiap individu sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen
 Belum ada pertukaran barang dan jasa
b) Masa kerajinan dan pertukangan

Pada masa ini, kebutuhan manusia semakin meningkat, baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif akibat perkembangan peradaban. Peningkatan kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi
sendiri sehingga diperlukan pembagian kerja yang sesuai dengan keahlian masing-masing.
Pembagian kerja ini menimbulkan pertukaran barang dan jasa. Pertukaran barang dan jasa pada
masa ini belum didasari oleh tujuan untuk mencari keuntungan, namun semata-mata untuk saling
memenuhi kebutuhan. Masa kerajinan dan pertukangan memiliki beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
 Meningkatnya kebutuhan manusia
 Adanya pembagian tugas sesuai dengan keahlian
 Timbulnya pertukaran barang dan jasa
 Pertukaran belum didasari profit motive
c) Masa kapitalis

Pada masa ini muncul kaum pemilik modal (kapitalis). Dalam menjalankan usahanya kaum
kapitalis memerlukan para pekerja (kaum buruh). Produksi yang dilakukan oleh kaum kapitalis tidak
lagi hanya sekadar memenuhi kebutuhanya, tetapi sudah bertujuan mencari laba. Werner Sombart
membagi masa kapitalis menjadi empat masa sebagai berikut:

 Tingkat prakapitalis

Masa ini memiliki beberapa ciri, yaitu:


 Kehidupan masyarakat masih statis
 Bersifat kekeluargaan
 Bertumpu pada sektor pertanian
 Bekerja untuk memenuhi kebutuhan sendiri
 Hidup secara berkelompok
 Tingkat kapitalis

Masa ini memiliki beberapa ciri, yaitu:


 Kehidupan masyarakat sudah dinamis
 Bersifat individual
 Adanya pembagian pekerjaan
 Terjadi pertukaran untuk mencari keuntungan
 Tingkat kapitalisme raya

Masa ini memiliki beberapa ciri, yaitu:


 Usahanya semata-mata mencari keuntungan
 Munculnya kaum kapitalis yang memiliki alat produksi
 Produksi dilakukan secara massal dengan alat modern
 Perdagangan mengarah kepada ke persaingan monopoli
 Dalam masyarakat terdapat dua kelompok yaitu majikan dan buruh
 Tingkat kapitalisme akhir[

Masa ini memiliki beberapa ciri, yaitu:


 Munculnya aliran sosialisme
 Adanya campur tangan pemerintah dalam ekonomi
 Mengutamakan kepentingan bersama
2) Friedrich List (1789-1846)

Menurut Friendrich List, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat dibagi menjadi empat
tahap sebagai berikut:
a) Masa berburu dan pengembaraan
b) Masa beternak dan bertani
c) Masa bertani dan kerajinan
d) Masa kerajinan, industri, perdagangan
3) Karl Butcher (1847-1930)

Menurut Karl Bucher, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat dibedakan menjadi empat
tingkatan sebagai berikut:
a) Masa rumah tangga tertutup
b) Rumah tangga kota
c) Rumah tangga bangsa
d) Rumah tangga dunia
4) Walt Whiteman Rostow (1916-1979)

W.W.Rostow mengungkapkan teori pertumbuhan ekonomi dalam bukunya yang bejudul The
Stages of Economic Growth menyatakan bahwa pertumbuhan perekonomian dibagi menjadi 5 (lima)
sebagai berikut:
a) Masyarakat Tradisional (The Traditional Society)

 Merupakan masyarakat yang mempunyai struktur pekembangan dalam fungsi-fungsi


produksi yang terbatas.
 Belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi modern
 Terdapat suatu batas tingkat output per kapita yang dapat dicapai
b) Masyarakat pra kondisi untuk periode lepas landas (the preconditions for take of)

 Merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi dimana masyarakat sedang berada dalam proses
transisi.
 Sudah mulai penerapan ilmu pengetahuan modern ke dalam fungsi-fungsi produksi baru,
baik di bidang pertanian maupun di bidang industri.
c) Periode Lepas Landas (The take of)

 Merupakan interval waktu yang diperlukan untuk mendobrak penghalang-penghaang pada


pertumbuhan yang berkelanjutan.
 Kekuatan-kekuatan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi diperluas
 Tingkat investasi yang efektif dan tingkat produksi dapat meningkat
 Investasi efektif serta tabungan yang bersifat produktif meningkat atau lebih dari jumlah
pendapatan nasional.
 Industri-industri baru berkembang dengan cepat dan industri yang sudah ada mengalami
ekspansi dengan cepat.
d) Gerak Menuju Kedewasaan (Maturity)

 Merupakan perkembangan terus menerus daimana perekonomian tumbuh secara teratur


serta lapangan usaha bertambah luas dengan penerapan teknologi modern.
 Investasi efektif serta tabungan meningkat dari 10 % hingga 20 % dari pendapatan nasional
dan investasi ini berlangsung secara cepat.
 Output dapat melampaui pertamabahn jumlah penduduk
 Barang-barang yang dulunya diimpor, kini sudah dapat dihasilkan sendiri.
 Tingkat perekonomian menunjukkkan kapasitas bergerak melampau kekuatan industri pad
masa take off dengan penerapan teknologi modern.
e) Tingkat Konsumsi Tinggi (high mass consumption)

 Sektor-sektor industri emrupakan sektor yang memimpin (leading sector) bergerak ke arah
produksi barang-barang konsumsi tahan lama dan jasa-jasa.
 Pendapatn riil per kapita selalu meningkat sehingga sebagian besar masyarakat mencapai
tingkat konsumsi yang melampaui kebutuhan bahan pangan dasar, sandang, dan pangan.
 Kesempatan kerja penuh sehingga pendapata nasional tinggi.
 Pendapatan nasional yang tinggi dapat memenuhi tingkat konsumsi tinggi
b. Teori Klasik dan Neo Klasik

1) Teori Klasik

a) Adam Smith

Teori Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada
adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat
pertambahan output atau hasil. Teori Adam Smith ini tertuang dalam bukunya yang berjudul An
Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations.
b) David Ricardo

Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai
menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan
tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk
membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (statonary
state). Teori David Ricardo ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul The Principles of Political and
Taxation.
2) Teori Neoklasik

a) Robert Solow[sunting | sunting sumber]

Robert Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang
bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau output.
Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh
karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya
yang positif.
b) Harrord Domar[sunting | sunting sumber]

Teori ini beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi
sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang
pendapatan nasional dan kesempatan kerja
2. Faktor-faktor Pertumbuhan Ekonomi
Terdapat beberapa faktor atau hal yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi, di antaranya
adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya,
dan sumber daya modal.

a. Sumber Daya Manusia

Sama halnya dengan proses pembangunan, pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh
SDM. Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam proses pembangunan, cepat
lambatnya proses pembangunan tergantung kepada sejauh mana sumber daya manusianya selaku
subjek pembangunan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses
pembangunan dengan membangun infrastruktur di daerah-daerah.
b. Sumber Daya Alam

Sebagian besar negara berkembang bertumpu kepada sumber daya alam dalam melaksanakan
proses pembangunannya. Namun, sumber daya alam saja tidak menjamin keberhasilan proses
pembanguan ekonomi, apabila tidak didukung oleh kemampaun sumber daya manusianya dalam
mengelola sumber daya alam yang tersedia. Sumber daya alam yang dimaksud dinataranya
kesuburan tanah, kekayaan mineral, tambang, kekayaan hasil hutan dan kekayaan laut.
c. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat mendorong adanya
percepatan proses pembangunan, pergantian pola kerja yang semula menggunakan tangan manusia
digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas
serangkaian aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada
percepatan laju pertumbuhan perekonomian.
d. Budaya

Faktor budaya memberikan dampak tersendiri terhadap pembangunan ekonomi yang


dilakukan, faktor ini dapat berfungsi sebagai pembangkit atau pendorong proses pembangunan
tetapi dapat juga menjadi penghambat pembangunan. Budaya yang dapat mendorong
pembangunan diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet dan sebagainya. Adapun
budaya yang dapat menghambat proses pembangunan diantaranya sikap anarkis, egois, boros, KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dan sebagainya.
e. Sumber Daya Modal

Sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah SDA dan meningkatkan kualitas
IPTEK. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan
kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan
produktivitas
B. DISTRIBUSI PENDAPATAN

1. Pengertian Distribusi Pendapatan


Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian
hasil suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999)
Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincolin Arsyad, 1997) ada 8 hal yang
menyebabkan ketimpangan distribusi di Negara Sedang Berkembang:
1) Pertumbuhan penduuduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
2) Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan
pertambahan produksi barang-barang
3) Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4) Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase
pendapatan modal kerja tambahan besar dibandingkan persentase pendapatan yang berasal dari
kerja, sehingga pengangguran bertambah
5) Rendahnya mobilitas social
6) Pelaksanaan kebijakan industry substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga
barang hasil industry untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7) Memburuknya nilai tukar bagi NSB dalam perdagangan dengan Negara- Negara maju, sebagi
akibat ketidak elastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor NSB
8) Hancurnya industry kerajinan rakyat seperti pertukangan, industry rumah tangga, dan lain-lain
Michael P. Todaro dalam bukunya Pembangunan Ekonomi menjelaskan bahwa pembangunan
dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat dan institusi nasional,
disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan
serta pengentasan kemiskinan.

2. Teori dan Pengukuran Distribusi Pendapatan


Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang
keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif. Kedua ukuran tersebut adalah ukuran
distribusi pendapatan, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing
orang (biasanya menggunakan metode Kurva Lorenz dan Koefisien Gini); dan distribusi fungsional
atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi, yang indikatornya berfokus pada bagian dari
pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (Todaro dan Smith, 2004).
Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang seringdigunakan dalam
penelitian.
 Indikator distribusi pendapatan perorangan.
 Kurva Lorenz.
 Koefisien gini.
Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin jauh kurva
Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu juga
sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan garis diagonal, semakin merata distribusi
pendapatan. Sedangkan untuk koefisien gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang
lebih merata. Demikian juga sebaliknya.Kuznets (1995) dalam penelitiannya di negara-negara maju
berpendapat bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung
memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Penelitian inilah yang
kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets U terbalik. Sementara itu menurut
Oshima (1992) bahwa negara-negara Asia nampaknya mengikuti kurva Kuznets dalam kesejahteraan
pendapatan. Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah
merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan
dalam pembangunan itu sendiri.
a. Distribusi ukuran
Distribusi ukuran adalah besar atau kecilnya pendapatan yang diterima masing-masing orang.
Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran
pendapatan (size distribution of income) merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh
para ekonom.
Berdasarkan pendapatan tersebut, lalu dikelompokkan menjadi lima kelompok, biasa disebut
kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat
pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing
kelompok.Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang diterima olehmasing-masing
kelompok, dan bertolak dari perhitungan ini mereka langsungmemperkirakan tingkat pemerataan
atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat atau negara yang bersangkutan.

b. Kurva Lorenz
Sumbu horizontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase kumulatif.
Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi ataukelompok terendah (penduduk yang paling
miskin) yang jumlahnya meliputi20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60 terdapat 60
persenkelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada sumbu yang paling ujungyang meliputi
100 persen atau seluruh populasi atau jumlah penduduk. Sumbuvertikal menyatakan bagian dari
total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk
tersebut. Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua sumbu (vertikal dan
horisontal)sama panjangnya.
Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang
tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk.Titik yang terletak pada posisi tiga
perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada
75 persendari jumlah penduduk.
c. Indeks atau rasio gini
Adalah suatu koefesien yang berkisar dari angka 0 sampai 1menjelaskan kadar kemertaan
distribusi pendapatan nasional. Semakin kecilkoefesiennya, pertanda semakin baik atau merata
distribusi. Dipihak lain,koefesien yang kian besar mengisyaratkan yang kian timpang atau senjang.

3. Ketidakmerataan distribusi pendapatan


a. Ketidakmerataan pendapatan nasional
Distribusi atau pembagian pendapatan antarlapis pendapatan masyarakat dapatditelaah
dengan mengamati perkembangan angka-angka rasio gini. Koefesiengini itu sendiri, perlu dicatat,
bukanlah merupakan indicator paling idealtentang ketidakmerataan distribusi pendapatan antarlapis.
Namun setidak-tidaknya ia cukup memberikan gambaran mengenai kecendrungan umumdalam pola
pembagian pendapatan.
b. Ketidakmerataan pendapatan spasial
Ketidakmerataan distribusi antarlapisan masyarakat bukan saja berlangsungsecara nasional.
Akan tetapi hal itu dapat terjadi secara spasial.
DiIndonesia pembagian pendapatan relative lebih merata didaerah pedesaan daripada didaera
h perkotaan. Dibandingkan rasio gini antara desa dan kota untuk tahun-tahun yang sama, koefesien
lebih rendah untuk daerah pedesaan.
c. Ketidakmerataan pendapatan regional
Secara regional atau antarwilayah, berlangsung pula ketidakmerataandistribusi pendapatan
antarlaisan masyarakat. Bukan hanya itu, diantarawilayah-wilayah di Indonesia bahkan terdapat
ketidakmerataan tingkat pendapatan itu sendiri.
Jadi dalam perspektif antarwilayah, ketidakmerataanterjadi baik dalam hal tingkat pendapatan
masyarakat antar wilayah yang satudengan yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan
dikalangan penduduk masing-masing wilayah.
Kemiskinan meliputi berbagai aspek. Kemiskinan sangat terkait dengan kepemilikan modal,
kepemilikan lahan, sumber daya manusia, kekurangan gizi, pendidikan, pelayanan kesehatan,
pendapatan per kapita yang rendah, dan minimnya investasi. Masih banyak variable kemiskinan yang
melekat pada orang miskin. Dengan begitu, konsep kemiskinan perlu dikembangi karena akan sangat
berpengaruh bagi program pengurangan kemiskinandi daerah berdasarkan corak dan karakteristik
kemiskinan itu sendiri dan penyatuan gerak program pengurangan kemiskinan perku dilakukan,
mengingat selama ini banyak ukuran-ukuran kemiskinan yang dipakai. Misalnya, Scott (1979:5)
melihat kemiskinan dari sisi pendapatan rata-rata per kapita (income per capite) dan Sen (1981:22)
mengkaji kemiskinan dari sudut pandang kebutuhan dasar (basic needs).
Di Indonesia, ukuran kemiskinan yang terkenal adalah yang dibuat oleh Sayogyo (1977:10)
yaitu Parameter Kemiskinan. Parameter kemiskinan tersebut yang mengukur kemiskinan. Misalnya
pengonsumsi beras per kapita per tahun, yaitu di bawah 420 kg bagi daerah perkotaan dan 320 kg
bagi daerah pendesaan. Perbedaan ini dapat kita ketahui karena jumlah penduduk yang berbeda di
kedua tempat tersebut. Penduduk di perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatife lebih banyak
dibandingkan penduduk di pendesaan sehingga mempengaruhi pola pengeluaran.
Selain itu, terdapat juga pandangan lain dalam melihat kemiskinan di Indonoesia, misalnya
mengukur kemiskinan melalui tingkat pendapatan dan pola waktunya. Kemiskinan juga dapat diukur
dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang diperlukan
untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.
Lembaga pengembangan sumber daya manusia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan hidup. Sementara itu, kemiskinan
relatif didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup sesuai dengan yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kemiskinan absolut ini umumnya
disejajarkan dengan kemiskinan relatif, yang artinya adalah keadaan perbandingan antara kelompok
pendapatan dalam masyarakat. Intinya membandingkan antara kolompok yang mungkin tidak miskin
dengan kelompok yang relatif kaya dengan mengginakan ukuran pendapatan, keadaan ini dikenal
sebagai ketimpangan distribusi pendapatan.
Distribusi pendapatan merupakan masalah perbedaan pendapat antara individu yang paling
kaya dengan individu yang paling miskin. Semakin besar jurang pendapatan semakin besar pula
variasi dalam distribusi pendapatan. Jika ketidakseimbangan terus terjadi antara kelompok kaya dan
kaum miskin, maka perekonomian tersebut benar-benar menggambarkan pertumbuhan yang tidak
merata.
d. Pengaruh ketidakmerataan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan
Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi pendapatan
merupakan salah satu inti masalah pembangunan,terutama di Negara Sedang Berkembang.
Todaro dan Smith (2004), mengatakan penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi
pendapatan merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama
kebijakan pembangunan di banyak daerah.
Menurut Todaro (2000), Pengaruh antara ketimpangan distribusi pendapatan terhadap
kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk
cenderung berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat miskin.
Sebagian besar keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga kondisi
perekonomian mereka berada di garis kemiskinan semakin memburuk seiring dengan memburuknya
ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.
Penyebab dari kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
e. Dampak ketimpangan pendapatan
Adapun dampak rendahnya tingkat pendapatan penduduk terhadap pembangunan adalah:
1) Rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan pembangunan bidang ekonomi kurang
berkembang baik.
2) Tingkat kesejahteraan masyarakat rendah menyebabkan hasil pembangunan hanya banyak
dinikmati kelompok masyarakat kelas sosial menengah ke atas.
Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat (kesejahteraan masyarakat), sehingga dapat
mendukung lancarnya pelaksanaan pembangunan pemerintah melakukan upaya dalam bentuk:
 Menekan laju pertumbuhan penduduk.
 Merangsang kemauan berwiraswasta.
 Menggiatkan usaha kerajinan rumah tangga/industrialisasi.
 Memperluas kesempatan kerja.
 Meningkatkan GNP dengan cara meningkatkan barang dan jasa.

C. KEMISIKINAN
Menurut Friedman dalam Mudrajad Kuncoro (1997), Kemiskinan adalah ketidaksamaan
kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: modal
produktif, sumber keuangan, organisasi sosial dan politik, jaringan sosial, pengetahuan dan
keterampilan, dan informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.
Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandang. Secara umum, kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan dasar standar atas setiap aspek kehidupan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendefinisikan kemiskinan sebagai
kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar antara lain:
1) terpenuhinya kebutuhan pangan;
2) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam
dan lingkungan;
3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan;
4) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Kemiskinan menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/ BKKBN adalah suatu keadaan
dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki
dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk memenuhi
kebutuhannya.

1. Teori Kemiskinan
Teori-teori kemiskinan pada umumnya bermuara pada dua paradigma besar yang juga
berpengaruh pada pemahaman mengenai kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan. Dua
paradigma yang dimaksud adalah Neo-Liberal dan Demokrasi-sosial. Dua paradigma ini memiliki
perbedaan yang sangat jelas terutama dalam melihat kemiskinan maupun dalam memberikan solusi
penyelesaian masalah kemiskinan. Paradigma yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Paradigma Neo-Liberal
Pada paradigma ini individu dan mekanisme pasar bebas menjadi fokus utama dalam melihat
kemiskinan (Eni Febriana, 2010: 25). Pendekatan ini menempatkan kebebasan individu sebagai
komponen penting dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu dalam melihat kemiskinan, pendekatan
ini memberikan penjelasan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang merupakan akibat
dari pilihan-pilihan individu. Bagi pendekatan ini kekuatan pasar merupakan kunci utama untuk
menyelesaikan masalah kemiskinan. Hal ini dikarenakan kekuatan pasar yang diperluas dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menghapuskan kemiskinan. Bagi pendekatan ini strategi
penanggulangan kemiskinan bersifat sementara dan peran negara sangat minimum.
Peran negara baru dilakukan bila institusi-institusi di masyarakat, seperti keluarga, kelompok-
kelompok swadaya, maupun lembaga-lembaga lainnya tidak mempu lagi menangani kemiskinan. 18
Paradima neo-liberal ini digerakan oleh Bank Dunia dan telah menjadi pendekatan yang digunakan
oleh hampir semua kajian mengenai kemiskinan. Teori-teori modernisasi yang menekankan pada
pertumbuhan ekonomi dan produksi merupakan dasar teori-teori dari paradigma ini. Salah satu
indikatornya adalah pendapatan nasional (GNP), yang sejak tahun 1950-an mulai dijadikan indikator
pembangunan. para ilmuwan sosial selalu merujuk pada pendekatan ini saat mengkaji masalah
kemiskinan suatu negara.
b. Paradigma Demokrasi-Sosial
Paradigma ini tidak melihat kemiskinan sebagai persoalan individu, melainkan lebih melihatnya
sebagai persoalan struktural (Cheyne, O’Brien dan Belgrave dalam Eni Febriana, 2010 : 29).
Ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakatlah yang mengakibatkan kemiskinan ada dalam
masyarakat. Bagi pendekatan ini tertutupnya akses-akses bagi kelompok tertentu menjadi penyebab
terjadinya kemiskinan. Pendekatan ini sangat mengkritik sistem pasar bebas, namun tidak
memandang sistem kapitalis sebagai sistem yang harus dihapuskan, karena masih dipandang sebagai
bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif.
Pendekatan ini juga menekankan pada kesetaraan sebagai prasyarat penting dalam
memperoleh kemandirian dan kebebasan. Kemandirian dan kebebasan ini akan tercapai jika setiap
orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber bagi potensi dirinya, seperti pendidikan,
kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan disini bukan sekedar bebas dari
pengaruh luar namun bebas pula dalam menentukan pilihan-pilihan.
Disinilah peran negara diperlukan untuk bisa memberikan jaminan bagi setiap individu untuk
dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan, dimana mereka dimungkinkan untuk
menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Peran negara dalam pendekatan ini cukup penting terutama dalam merumuskan strategi untuk
menanggulangi kemiskinan. Bagi pendekatan ini kemiskinan harus ditangani secara institusional
(melembaga), misalnya melalui program jaminan sosial. Salah satu contohnya adalah pemberian
tunjangan pendapatan atau dana pensiun, akan dapat meningkatkan kebebasan, hal ini dikarenakan
tersedianya penghasilan dasar sehingga orang akan memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya, dan sebaliknya ketiadaan penghasilan dasar tersebut
dapat menyebabkan ketergantungan.

2. Indikator Kemiskinan
Kemiskinan sendiri memiliki beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan
yang dialami oleh seseorang atau kelompok. Indikator itu sendiri adalah indikator kemiskinan yang
digunakan oleh Bappenas (Eni Febriana, 2010 : 27). Indikator kemiskinan yang dimaksud adalah :
a. Keterbatasan pangan, merupakan ukuran yang melihat kecukupan pangan dan mutu pangan
yang dikonsumsi. Ukuran indikator ini adalah stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori
penduduk miskin, dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan ibu.
b. Keterbatasan akses kesehatan, merupakan ukuran yang melihat keterbataan akses kesehatan dan
rendahnya mutu layanan kesehatan. Keterbatasan akses kesehatan dilihat dari kesulitan
mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya
layanan reproduksi, jauhnya jarak fasilitas layanan kesehatan, mahalnya biaya pengobatan dan
perawatan. Kelompok miskin umumnya cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas
dibandingkan dengan rumah sakit.
c. Keterbatasan akses pendidikan. Indikator ini diukur dari mutu pendidikan yang tersedia,
mahalnya biaya pendidikan, terbatasnya fasilitas pendidikan, rendahnya kesempatan
memperoleh pendidikan.
d. Keterbatasan akses pada pekerjaan dan kurangnya pendapatan. Indikator ini diukur dari
terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap asset usaha,
perbedaan upah, kecilnya upah pekerja, lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja
anak dan pekerja perempuan.
e. Keterbatasan akses terhadap air bersih. Indikator yang digunakan adalah sulitnya mendapatkan
air bersih, terbatasnya penguasaan sumber air, dan rendahnya mutu sumber air.
f. Keterbatasan akses terhadap tanah. Indikator yang digunakan adalah struktur kepemilikan dan
penguasaan tanah, ketidakpastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Akses terhadap tanah ini
merupakan persoalan yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga petani.
g. Keterbatasan akses terhadap sumber daya alam. Indikator yang digunakan adalah buruknya
kondisi lingkungan hidup, rendahnya sumber daya alam. Indikator ini sangat terkait dengan
penghasilan yang bersumber dari sumber daya alam, seperti daerah perdesaan, daerah pesisir,
dan daerah pertambangan.
h. Tidak adanya jaminan rasa aman, indikator ini berkaitan dengan tidak terjaminnya keamanan
dalam menjalani kehidupan baik sosial maupun ekonomi.
i. Keterbatasan akses untuk partisipasi. Indikator ini diukur melalui rendahnya keterlibatan dalam
pengambilan kebijakan.
j. Besarnya beban kependudukan, indikator ini berkaitan dengan besarnya tanggungan keluarga,
dan besarnya tekanan hidup.

3. Skema Terbentuknya Perangkap Kemiskinan


Skema terbentuknya kemiskinan yang didasarkan pada konsep yang dikemukakan oleh
Chambers (dalam Sasumbar Saleh 2002:46) menerangkan bagaimana kondisi yang disebut miskin di
sebagian besar negara-negara berkembang dan dunia ketiga adalah kondisi yang disebut
memiskinkan. Kondisi yang sebagian besar ditemukan bahwa kemiskinan selalu diukur/diketahui
berdasarkan rendahnya kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
berupa pangan, kesehatan, perumahan atau pemukiman, dan pendidikan. Rendahnya kemampuan
pendapatan diartikan pula sebagai rendahnya daya beli atau kemampuan untuk mengkonsumsi.
Kemampuan pendapatan yang relatif terbatas atau rendah menyebabkan daya beli seseorang
atau sekelompok orang terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok menjadi rendah . Konsumsi ini
terutama ditujukan 22 untuk memenuhi kebutuhan akan gizi dan kesehatan standar. Akibatnya,
kemampuan untuk mencapai standar kesejahteraan menjadi rendah seperti:
a. Ketersediaan pangan tidak sesuai atau tidak mencukupi standar gizi yang disyaratkan sehingga
beresiko mengalami mal gizi atau kondisi gizi rendah yang selanjutnya sangat rentan terhadap
resiko penyaki menular.
b. Kesehatan relatif kurang terjamin sehingga rentan terhadap serangan penyakit dan
kemampuan untuk menutupi penyakit juga relatif terbatas sehingga sangat rentan terhadap
resiko kematian.
c. Perumahan atau pemukiman yang kurang/tidak layak huni sebagai akibat keterbatasan
pendapatan untuk memiliki/mendapatkan lahan untuk tempat tinggal atau mendapatkan
tempat tinggal yang layak. Kondisi ini akan berdampak mengganggu kesehatan.
d. Taraf pendidikan yang rendah. Kondisi ini disebabkan karena keterbatasan pendapatan untuk
mendapatkan pendidikan yang diinginkan atau sesuai dengan standar pendidikan.

4. . Ukuran Kemiskinan
Menurut William A (dalam Rahmawati Futurrohmin 2011 :14) kemiskinan adalah konsep yang
relatif, bagaimana cara kita mengukurnya secara obyektif dan bagaimana cara kita memastikan
bahwa ukuran kita dapat diterapkan dengan tingkat relevasi yang sama dari waktu ke waktu.
Untuk mengukur kemiskinan ada tiga indikator yang diperkenalkan dalam Foster dkk (dalam
Tambunan 2003: 96) yang sering digunakan di dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of
poverty : persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per
kapita di bawah garis kemiskinan. Kedua, the depth of poverty yang menggambarkan dalamnya
kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan
sebutan poverty gap index. Ketiga, the severity of poverty yang diukur dengan indeks keparahan
kemiskinan (IKK). Secara umum ada dua macam ukuran kemiskinan yang biasa digunakan yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
a. Kemiskinan Absolut
Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan
kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Bila pendapatan tidak dapat
mencapai kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin, dengan demikian kemiskinan
diukur dengan memperbandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang
dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan
pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering 24 disebut sebagai garis batas
kemiskinan. (Todaro,1997 dalam Lincolin Arsyad 2004:238).
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi
kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang
diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran
finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan
istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan
sebagai penduduk miskin.
b. Kemiskinan Relatif
Miller dalam Lincolin Arsyad (2004:239) berpendapat bahwa walaupun pendapatan sudah
mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan
keadaan masyarakat disekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Hal ini
terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya daripada lingkungan
orang yang bersangkutan. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu
negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya
20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
Maka ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran
penduduk. Ukuran kemiskinan juga bisa dihitung melalui pendekatan pendapatan. Pendekatan
pendapatan untuk mengukur kemiskinan ini mengasumsikan bahwa seseorang dan rumah tangga
dikatakan miskin jika pendapatan atau konsumsi minimumnya berada di bawah garis kemiskinan.
Ukuran-ukuran kemiskinan ini dihitung melalui (Coudouel, et.al, 2001 dalam Akhmad Daerobi 2007
8:9) adalah:
1) Head Count Index , menghitung presentase orang yang ada di bawah garis kemiskinan dalam
kelompok masyarakat tertentu.
2) Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index) yang memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin
tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
3) Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index ), mengukur besarnya distribusi
pendapatan orang miskin terhadap garis kemiskinan. Pembilang pada pendekatan ini
menunjukkan jurang kemiskinan (poverty gap), yaitu penjumlahan (sebanyak individu) dari
kekurangan pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan penyebut adalah
jumlah individu di dalam perekonomian (n) dikalikan dengan nilai garis kemiskinan, dengan
ukuran ini, tingkat keparahan kemiskinan mulai terakomodasi. Ukuran kemiskinan akan turun
lebih cepat bila orang-orang yang dientaskan adalah rumah tangga yang paling miskin
dibandingkan bila pengentasan kemiskinan terjadi pada rumah tangga miskin yang paling
tidak miskin.

5. Kriteria Kemiskinan
Ada berbagai macam kriteria yang digunakan untuk mengukur kemiskinan, salah satunya
kreteria miskin menurut Sayogyo. Komponen yang digunakan sebagai dasar untuk ukuran garis
kemiskinan Sayogyo adalah pendapatan keluarga yang disertakan dengan nilai harga beras yang
berlaku pada saat itu dan rata anggota tiap rumah (lima orang) Berdasarkan kriteria tersebut,
Sayogyo (1978 : 34) membedakan masyarakat ke dalam beberapa kelompok yaitu :
a. Sangat Miskin Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pendapatannya
dibawah setara 250 kg beras ekuivalen setiap orang dalam setahun penduduk yang tinggal
diperkotaan.
b. Miskin Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang berpendapatan setara dengan
240 kg beras sampai 320 kg beras selama setahun untuk penduduk yang tinggal didesa, dan
360 kg beras sampai 480 kg beras pertahun untuk tinggal diperkotaan.
c. Cukup Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pendapatannya setara dengan
lebih dari 480 kg beras setiap orang dalam setahun untuk penduduk yang tinggal dipedesaan,
dan di atas 720 kg beras setiap orang pertahun untuk yang tinggal diperkotaan.
Sedangkan kreteria penduduk miskin Badan Pusat Statistik (BPS), rumah tangga dikatakan
miskin (BPS, 2008:17), apabila:
a. Luas lantai hunian kurang dari 8 m² per anggota rumah tangga.
b. Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya.
c. Fasilitas air bersih tidak ada.
d. Fasilitas jamban atau WC tidak ada.
e. Kepemilikan aset tidak tersedia.
f. Konsumsi lauk-auk dalam seminggu tidak bervariasi.
g. Kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun tidak ada.
h. Pendapatan (total pendapatan per bulan) kurang dari atau sama dengan Rp 350.000,-

Anda mungkin juga menyukai