Anda di halaman 1dari 25

12.

1 Kunci Keberhasilan
Kunci keberhasilan dari semua teknik audit investigatif adalah sebagai berikut:
1. Mengerti dengan baik persoalan yang akan dipecahkan, apa yang akan diaudit
investigatif. Di pembahasan sebelumnya dijelaskan bagaimana akuntan forensik
mengidentifikasi persoalan ini, sejak tahap audit fraud yang proaktif sampai
diterimanya tuduhan, dugaan, keluhan, dan temuan sementara.
2. Kuasai dengan baik teknik-teknik teknik audit investigatif. Penguasaan yang baik
memungkinkan investigator menerapkan teknik yang tepat untuk menyelesaikan
persoalan yang investigator identifikasi. Sama seperti pemancing di atas, atau
seorang seni pahat memilih alat yang tepat dalam setiap tahap pekerjaan
pekerjaannya.
3. Cermat dalam menerapkan teknik yang dipilih. Biarpun tekniknya tepat, apabila
pelaksanaan tidak cermat, hasilnya tidak seperti diharapkan. Itulah sebabnya
mengapa due professional care merupakan standar audit yang penting. Dalam audit
investigatif, kecermatan ini terlihat antara lain dari cara investigator mengajukan
pertanyaan, menentukan kapan pertanyaan tersebut harus diajukan,
menindaklanjuti jawabannya, mempertanyakan sesuatu (ungkapan khas
investigator: “apa iya”, “adakah cara atau jalan lain”, “apakah ini tidak terlalu
bagus untuk benar” atau too good to be true, true dan seterusnya).
4. Cermat dalam menarik kesimpulan dari hasil penerapan teknik yang investigator
pilih. Temuan yang kelihatannya “sepele”, di tangan penyelidik yang mempunyai
pengetahuan dan dan pengalaman yang luas, merupakan bukti yang kuat dalam
proses pengadilan. Kecermatan dalam menafsirkan temuan jelas terlihat dalam
computer forensics

12.2 Teknik-Teknik Audit


Teknik-teknik audit adalah cara-cara yang dipakai dalam mengaudit kewajaran
penyajian laporan keuangan. Hasil dari penerapan teknik audit adalah bukti audit. Oleh
karena itu, ada penulis yang menggunakan istilah teknik audit dan jenis bukti audit
(types of audit evidence) dalam makna yang sama. Ada tujuh teknik, yang dirinci dalam
bentuk kata kerja bahasa Indonesia, dengan jenis bukti auditnya dalam kurung (kata
benda bahasa Inggris), yakni:
1. Memeriksa fisik (physical examination)
2. Meminta konfirmasi (confirmation)
3. Memeriksa dokumen (documentation);
4. Review analitikal (analytic review atau analytical review)
5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditor (inquiries of the auditee)
6. Menghitung kembali (reperformance)
7. Mengamati (observation)
Kalau teknik-teknik itu diterapkan dalam audit umum, maka bukti audit yang
berhasil dihimpun akan mendukung pendapat auditor independen. Dalam audit
investigatif, teknik-teknik audit tersebut bersifat eksploratif, mencari “wilayah garapan”
atau probing (misalnya, dalam review analitikal) maupun pengalaman (misalnya
dalamconfirmation dan documentation). Teknik-teknik audit relatif sederhana untuk
diterapkan dalam audit investigatif. Sederhana, namun ampuh. Tema kesederhanaan
dalam pemilihan teknik audit (termasuk audit investigatif)dikemukakan beberapa
penulis pasca-Sarbanes pasca Sarbanes Oxley. Fraud 101 adalah judul buku yang
dikarang oleh Howard R. Davia. Ia adalah seorang akuntan forensik dari General
Accountability Office di Amerika Serikat (dahulunya bernama General Accounting
Office GAO serupa dengan BPK). Angka 101 (dalam fraud 101) menandakan bahwa
mata kuliah itu adalah mata kuliah pengantar, untuk pemula. Davia sebenarnya ingin
mengingatkan bahwa teknik audit untuk pemula sekalipun, bisa menjadi teknik yang
ampuh kalau digunakan dengan tepat.

Peringatan serupa juga di berikan Thomas P. Houck dalam buku yang berjudul
Why and How Audits Must Change. Salah satu teknik yang diunggulkannya adalah
analytical procedures (atau review analitikal) yang dijelaskannya dengan kata sifat
(adjective) yang serba wah: quality, efficiency, client service, dan staff morale. Berulang
kali Houck menekankan pentingnya―”think pentingnya think analytical first”, dan
bukan langsung terjun ke prosedur audit (atau audit investigatif) yang detail. Mengenai
sifat eksploratif dari teknik audit untuk audit investigatif, Davia dalam bukunya di atas
mengibaratkan orang memancing. Memancing bukan sekedar memasang umpan pada
kail dan melemparkan tali pancing, sambil mengharapkan ikan akan datang. Mungkin
saja ikannya akan ddatangg dan memakan umpan. Banyak auditor mencoba menangkap
fraud dengan cara demikian. Pemancing yang terampil mulai dengan bertanya ada
dirinya, “ikan apa yang akan ku pancing hari ini?” Untuk ikan yang berbeda ada
pancing yang berbeda, ada umpan yang berbeda. Probing atau eksplorasi menemukan
fraud tidak berbeda dengan memancing tadi.

12.3 Memeriksa Fisik dan Mengamati


Pemeriksaan fisik atau physical examination sering diartikan sebagai
penghitungan uang tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas
berharga, persediaan barang, aset tetap, dan barang berwujud (tangible assets) lainnya.
Pemeriksaan fisik dan pengamatan dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Inventarisasi (opname)
Inventarisasi atau opname adalah pemeriksaan fisik dengan menghitung fisik
barang, menilai kondisinya (baik, kurang baik, dan rusak berat), serta
membandingkannya dengan saldo menurut buku (administrasi), kemudian
mencari sebab-sebab terjadinya perbedaan apabila ada. Hasil opname biasanya
dituangkan dalam suatu Berita Acara (BA). Teknik audit inventarisasi dapat
diterapkan misalnya untuk barang inventaris, perabot kantor, kebun ataupun
ternak, kas, persediaan barang, sejauh ada fisiknya.
2. Inspeksi
Inspeksi adalah meneliti secara langsung ke tempat kejadian, yang lazim pula
disebut on the spot inspection, inspection, yang dilakukan secara rinci dan teliti.
Inspeksi sering dilakukan dengan pendadakan. Pendadakan Inspeksi meliputi
pemeriksaan yang rinci terhadap dokumen dan catatan serta pemeriksaan sumber
daya berwujud. Inspeksi seringkali digunakan dalam mengumpulkan dan
mengevaluasi mengevaluasi bukti, baik bottom-up maupun top-down. Dengan
melakukan inspeksi atas dokumen, auditor dapat menentukan ketepatan
persyaratan dalam faktur atau kontrak yang memerlukan pengujian bottom–up
atas akuntansi transaksi tersebut. Pada saat yang sama, auditor seringkali
mempertimbangkan implikasi bukti dalam konteks pemahaman faktor-faktor
ekonomi dan persaingan entitas. Contoh kegiatan inspeksi adalah pemeriksaan
terhadap bukti-bukti transaksi seperti rekening bank, kuitansi atau tanda terima
lainnya untuk mengevaluasi apakah transaksi yang dilakukan telah sesuai atau
menyimpang dari rencana dan anggaran yang telah ditetapkan.
3. Pengamatan (surveillance)
Pengamatan/observasi (surveillance) adalah peninjauan atas suatu objek fakta
fisik, kegiatan, pergerakan seseorang atau sekelompok orang, yang merupakan
bagian dari suatu tindakan fraud, secara hati-hati dan kontinu selama kurun waktu
tertentu untuk membuktikan suatu keadaan atau masalah, masalah yang bersandar
pada penggunaan indera manusia, seperti indera pendengaran dan penglihatan,
kecermatan, dan pengetahuan auditor. Teknik ini sering dilakukan dari jarak jauh
dan tanpa disadari oleh pihak yang diamati. Observasi juga memiliki kelemahan
karena terdapat risiko bahwa karyawan klien yang terlibat pada aktivitas-aktivitas
yang sedang diobservasi telah menyadari kehadiran auditor sehingga pada saat
dilakukan observasi, karyawan akan mengubah perilakunya dengan melaksanakan
tanggungjwabnya sesuai dengan kebijakan perusahaan. Oleh karena itu, auditor
wajib untuk menindaklanjuti berbagai kesan pertama yang didapat dengan
berbagai bukti audit lainnya yang bersifat nyata. Observasi merupakan suatu hal
yang berbeda dengan pengujian fisik. Observasi difokuskan pada aktivitas klien
untuk mengetahui siapa mereka atau bagaimana dan kapan mereka melakukannya
sedangkan pengujian fisik melibatkan penghitungan atas aktiva tertentu.
Terdapat beberapa jenis pengamatan, yaitu:
1. Stationery or fixed points
Pengamatan simple fixed-points atau stationary observations dapat dilakukan
oleh siapa saja. Dalam melakukan pengamatan ini, investigator harus
memastikan lokasi dari kegiatan yang akan diamati, mengantisipasi berbagai
kegiatan yang mungkin terjadi dalam kegiatan tersebut, serta mencatat secara
detail keseluruhan aktivitas yang melibatkan tersangka pelaku fraud atau
merekamnya ke dalam video atau rekaman. Catatan atau rekaman yang detail
(detailed records) harus dilengkapi dengan tanggal dan hari dilaksanakannya
pengamatan, nama dari yang melaksanakan kegiatan pengamatan, nama dari
saksi-saksi yang menguatkan kejadian tersebut, posisi darimana pengamatan
dilakukan, jarak pengamatan terhadap kegiatan, dan waktu dimulainya
pengamatan dan berakhirnya pengamatan, serta catatan mengenai keseluruhan
aktivitas kegiatan yang diamati secara detail, termasuk dengan waktu untuk
setiap aktivitas (detailed time log). Sebagai contoh, pengamatan atas kegiatan
seseorang yang akan menerima kick back dari pengusaha.
2. Moving or tailing
Pengamatan secara mobile atau bergerak (tailing), atau seringkali disebut
dengan membuntuti aktivitas terduga pelaku fraud,, seringkali memiliki risiko
yang lebih besar dibandingkan stationary surveillance. Sebagai contoh, ada
auditor internal yang ditembak pada saat sedang membuntuti (tailing) seorang
terduga pelaku fraud. Risiko kegagalan dari pengamatan jenis ini juga tinggi.
Tailing hanya boleh dilakukan oleh para profesional.
3. Electronic surveillance
Penggunaan alat elektronik untuk pengamatan, menggunakan kamera video
seringkali digunakan. Selain itu, penyadapan (wiretapping), yang merupakan
bentuk lain dari pengamatan, biasanya hanya digunakan oleh para aparat
penegak hukum. Pengamatan menggunakan alat elektronik biasanya terbatas
penggunaannya, karena terkait dengan privasi dari seseorang di tempat kerja.
Walaupun demikian, penggunaan wiretapping juga bermanfaat, terutama
dimana aparat penegak hukum ikut terlibat dalam melakukan pengamatan.
Oleh karena itu, sebelum melakukan metode ini, investigator harus
berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak terkait untuk melihat aspek
legalitas dari penggunaan alat elektronik.
4. Covert or Undercover Operations
Operasi rahasia dan penyamaran (covert or undercover operations) merupakan
kegiatan yang legal dan diperbolehkan untuk mengamati aktivitas seseorang
atau sekelompok orang secara diam-diam. Undercover operations ini sangat
memakan biaya dan waktu dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Undercover operations bisa gagal jika seseorang atau agen yang diberikan
tugas untuk menyamar ternyata diketahui oleh pihak lawan
(operations has been compromised), agen tersebut ketakutan, atau agen
tersebut menjadi terpengaruh di dalam kegiatan kejahatan yang diamati,
sehingga agen menjadi simpati terhadap terduga pelaku fraud. Undercover
operations dilakukan hanya jika:
a. Kolusi atau fraud skala besar terjadi;
b. Berbagai metode investigasi fraud lain gagal;
c. Investigasi dapat dimonitor secara langsung;
d. Terdapat alasan yang logis dan cukup untuk yakin bahwa fraud sedang
terjadi atau akan terjadi kembali;
e. Investigasi yang dilakukan mematuhi hukum yang berlaku;
f. Investigasi tetap berlangsung secara rahasia;
g. Otoritas penegak hukum diberikan informasi secara reguler ketika bukti
yang cukup telah diperoleh.
Bukti fisik (physical evidence) dapat berguna pada berbagai kasus, terutama
kasus yang melibatkan persediaan dimana stok fisik persediaan dihitung dan
persediaan yang hilang dicari. Walaupun demikian, bukti fisik ini sering
diasosiasikan dengan kejahatan non-fraud, seperti penembakan, misalnya
terdapat selongsong peluru yang menjadi bukti bagi aparat terkait kasus
tersebut. Karena fraud terkadang sulit ditemukan dan memiliki sedikit tanda-
tanda, bukti fisik seringkali sulit untuk ditemukan. Pengumpulan bukti fisik
melibatkan proses analisis terhadap objek, seperti persediaan, aset, kunci yang
rusak, zat-zat tertentu sepertiti minyak atau cairan, jejak-jejak (traces) seperti
cat atau noda, luka, jejak roda ban di jalan, sidik jari (fingerprint). Bukti fisik
juga melibatkan proses pencarian data di komputer. Terdapat beberapa contoh
untuk melihat berbagai tingkat pemahaman yang bisa diperoleh dari
pengamatan dan pemeriksaan fisik.
1. Dari kunjungan ke lokasi yang terkena dampak semburan lumpur panas di
Porong Sidoarjo tahun 2006, investigator menyaksikan sendiri apa yang
terjadi dan luasnya musibah. Ini salah satu bentuk pemahaman.
Investigator mempunyai “bayangan”. Pemahaman ini penting ketika nanti
ia membaca laporan para ahli secara rinci tentang luasnya kerusakan dan
besarnya kerugian.
2. Dari kunjungan ke wilayah yang terkena gempa, para relawan dan petugas
dari Dinas Sosial dapat menetukan jumlah kilometer jalan, rumah, sekolah,
rumah ibadah, kantor, pabrik, dan lain-lain yang rusak. Pemahaman ini
lebih dalam dari “bayangan” mengenai intetitas kerugian akibat semburan
lumpur panas tadi. Di sini ada data kuantitatif.
3. Pengamatan tenaga ahli dari maskapai asuransi akan memberikan
kepadanya pemahaman yang lebih mendalam lagi, yakni siapa yang
bertanggung jawab dan siapa yang layak menerima klaim ganti rugi. Ini
pertanyaan yang senantiasa dihadapi maskapai asuransi, dan mereka harus
dapat membuktikan jawabannya. Investigator sering kali menghadapi
situasi yang sama.
4. Pengamatan juga dapat memberi petunjuk adanya fraud. Jika investigator
mengamati jalan, SD Inpres, dan bangunan lain sebelum mereka roboh,
mereka mempunyai petunjuk penting tentang kemungkinan korupsi dalam
pembangunan infrastruktur.

12.4 Meminta Informasi dan Konfirmasi


Meminta informasi baik lisan maupun tertulis kepada auditee, merupakan
prosedur yang biasa dilakukan auditor. Pertanyannya, apakah dalam audit investigatif
hal itu perlu dilakukan? Apakah sebaiknya investigator tidak meminta informasi,
supaya yang diperiksa tidak mengetahui apa yang investigator cari? Yang
bersangkutan yang mempunyai kepentingan dan peluang untuk berbohong.
Permintaan keterangan (inquiry) dapat dilakukan untuk menggali informasi
tertentu dari berbagai pihak yang berkompeten. Pihak yang kompeten bisa berarti
pegawai atau pejabat auditi yang berkaitan dengan permasalahan atau pihak ketiga
termasuk para spesialis atau profesional suatu bidang ilmu. Teknik ini dapat dilakukan
dengan mengajukannya secara tertulis maupun secara lisan. Permintaan informasi
secara tertulis dapat dilakukan dengan wawancara, kuesioner (questioner), atau
menulis surat permintaan informasi.
Wawancara (interview) merupakan teknik yang paling umum digunakan
dalam proses investigasi dan menyelesaikan suatu fraud.. Suatu wawancara
merupakan sesi Tanya jawab untuk memperoleh informasi. Hal ini berbeda dengan
percakapan pada umumnya, karena wawancara merupakan proses yang terstruktur
dan memiliki tujuan tertentu. Wawancara merupakan pertanyaan sistematis terhadap
individu yang memiliki pengetahuan atau kecakapan terhadap suatu kejadian, orang,
dan bukti atas kasus yang sedang diinvestigasi.
Seorang pewawancara yang baik akan secara cepat mengetahui pelaku fraud
dan dapat memperoleh pengakuan dari pihak yang bersalah. Wawancara juga
membantu untuk memperoleh beberapa hal berikut, yaitu:
1. Informasi yang merupakan elemen penting dalam suatu kejahatan;
2. Petunjuk dalam pengembangan kasus dan mendapatkan bukti lain;
3. Kerjasama dengan korban dan saksi-saksi lain
4. Informasi atas latar belakang seseorang (personal background) dan kemungkinan
motif pelaku fraud
Wawancara dilakukan dengan korban, orang-orang yang terkait di dalam suatu
kasus, informan, klien (manajer atau pimpinan perusahaan), pelanggan, terduga
pelaku, saksi ahli, polisi, petugas kebersihan, rekan kerja, supervisor (pengawas),
mantan pasangan atau teman, rekanan perusahaan yang ada saat ini dan rekanan yang
sudah tidak bekerja sama lagi, dan orang lain yang dapat membantu investigas ini.
Wawancara dapat menghasilkan 3 jenis bukti yaitu:
1. Bukti Kesaksian
Merupakan bukti meyakinkan yang didapat dari pihak lain karena diminta oleh
auditor. Biasanya bukti pengujian fisik, bukti dokumen, bukti analisis, atau bukti
lisan telah diperoleh, baru kemudian dilengkapi dengan bukti kesaksian.
2. Bukti Lisan
Merupakan bukti yang diperoleh auditor dari orang lain melalui pembicaraan
secara lisan. Orang lain tersebut mungkin berasal dari luar auditi maupun dari
pihak auditi sendiri. Dalam hal memperoleh bukti lisan, auditor harus mencatat
(menuangkan dalam kertas kerja) dengan seksama termasuk narasumbernya.
3. Bukti Spesialis
Merupakan bukti yang didapat dari tenaga ahli, baik seorang pribadi maupun
instansi atau institusi yang memiliki keahlian yang kompeten dalam bidangnya.
Tenaga spesialis yang dapat digunakan adalah semua profesi seperti ahli
pertambangan, dokter, ahli purbakala, ahli pertanian, ahli hukum, ahli perbankan,
dll. Untuk memenuhi syarat kompetensi bukti audit, maka kompetensi tenaga
spesialis tersebut harus terjamin. Dalam hal ini, jika diputuskan untuk
menggunakan tenaga ahli (spesialis), maka auditor harus mengusahakan ahli yang
diakui oleh umum.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah:
1. Tentukan sumber informasi/objek wawancara
2. Jadwalkan wawancara lebih dahulu
3. Buat persiapan materi dan cara bertanya
4. Mulai dengan suasana yang bersahabat/hangat
5. Perhatikan dan dengarkan
6. Hindarkan pertanyaan yang cenderung jawabannya mengiyakan
7. Tutuplah wawancara dengan catatan positif
8. Dokumentasikan hasil wawancara
9. Mintakan penegasan/persetujuan hasil wawancara dari pihak yang diwawancarai
Dalam wawancara, terdapat tiga jenis interviewee (orang yang diwawancarai)
yang harus disikapi secara berbeda-beda, yaitu:
1. Friendly (akrab)
Interview yang bersikap bersahabat dan baik (walaupun terkadang tampak
berlebihan) seringkali membantu dalam proses wawancara. Walaupun sikap
bersahabat ini dapat membantu, investigator yang berpengalaman akan berhati-
hati dalam menentukan motif dari interviewee yang bersikap baik ini. Pada
beberapa kasus, motifnya memang benar untuk membantu, namun ada pula
motifnya agar mengalihkan kecurigaan investigator terhadap dirinya.
2. Neutral (netral)
Interview yang bersikap netral tidak memperoleh manfaat atau kerugian dari
wawancara yang dilakukan. Tidak ada motif atau agenda khusus yang
disembunyikan, dan biasanya interview yang bersikap netral merupakan interview
yang paling objektif dan membantu investigator.
3. Hostile (bermusuhan)
Interview dengan sikap bermusuhan merupakan wawancara yang paling sulit
untuk dilakukan. Interview ini seringkali diasosiasikan dengan tersangka dari
kejahatan tersebut. Jika interview yang bersikap bersahabat dan netral dapat
dilakukan wawancara kapan saja, maka wawancara dengan hostile interview ini
seringkali harus dilakukan secara mendadak tanpa ada pemberitahuan terlebih
dahulu. Wawancara dadakan akan membuat hostile interview tidak memiliki
persiapan untuk menyiapkan argumentasi menghadapi investigator. Seperti dalam
audit, juga dalam audit investigatif, permintaan informasi harus dibarengi,
diperkuat, atau dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat
(substantiated) dengan cara lain. Permintaan informasi sangat penting, dan juga
merupakan prosedur yang normal dalam suatu audit investigatif.
Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diaudit investigatif)
untuk menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam audit,
teknik ini umumnya diterapkan untuk mendapatkan kepastian mengenai saldo utang-
piutang. Akan tetapi sebenarnya teknik ini dapat diterapkan untuk berbagai informasi,
keuangan maupun nonkeuangan.
Konfirmasi adalah memperoleh bukti untuk meyakinkan auditor, dengan cara
mendapatkan/meminta informasi yang sah dari pihak yang relevan. Dalam
konfirmasi, auditor telah memiliki informasi/data yang akan dikonfirmasikan.
Konfirmasi dapat dilakukan dengan lisan yaitu dengan wawancara langsung kepada
pihak yang bersangkutan, atau dapat dilakukan secara tertulis dengan mengirimkan
surat konfirmasi. Dalam konfirmasi, jawaban harus diterima langsung oleh auditor.
Jika konfirmasi dilakukan secara tertulis, maka harus ditegaskan bahwa jawaban agar
dialamatkan kepada auditor. Surat permintaan konfirmasi kepada responden
sebaiknya ditandatangani oleh auditi. Contoh kegiatan konfirmasi adalah meminta
keterangan kepada bendahara pengeluaran terkait bukti-bukti bukti bukti transaksi
pembelian atau pengalokasian anggaran yang telah dilakukannya. Kegiatan ini
dilakukan untuk melihat apakah bukti transaksi tersebut fiktif atau benar adanya.
Selain keteranagn-keterangan keterangan keterangan lainya terkait bukti tersebut.
Dari hasil wawancara dan konfirmasi, investigator akan memperoleh
informasi yang digunakan investigator dalam proses investigasinya. Namun,
seringkali informasi yang diperoleh tersebut ternyata tidak benar dan merupakan
informasi yang dibuat-buat. Albrecht et al. (2011) menjelaskan untuk menguji hasil
informasi yang diperoleh dari wawancara, dapat digunakan honesty testing yang
terdiri dari beberapa metode, yaitu:
1. Pencil-and-paper
Merupakan pengujian objektif untuk memperoleh informasi mengenai kejujuran
seseorang dan kode etik pribadi seseorang. Biasanya sering digunakan sebagai
screening device bagi pegawai dibandingkan sebagai alat untuk menentukan
apakah seseorang telah melakukan kejahatan atau tidak. Pencil and paper test
memberikan keakuratan sebesar 50-90%. Beberapa jenis penggunaan tes ini antara
lain Reid Report, The Personeel Selection Inventory dan Stanton Survey.
Beberapa contoh pertanyaan tes ini adalah sebagai berikut:
Benar/Salah 1. Merupakan hal yang biasa bagi kebanyakan orang untuk sedikit
tidak jujur
Benar/Salah 2. Orang yang tidak jujur harus masuk penjara
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaanpertanya pertanyaan yang tampak serupa ini
akan menghasilkan profil dari etika seseorang dan dinilai kepribadiannya.
2. Graphology
Grafologi adalah ilmu yang mempelajari tulisan tangan seseorang untuk menilai
karakter atau kepribadian seseorang. Penggunaan grafologi semakin meningkat
belakangan ini. Grafologi digunakan dimana integritas pegawai sangat penting,
seperti perbankan atau manufaktur. Namun, banyak investigator fraud yang
meragukan keandalan dari grafologi.
3. Voice stress analysis and polygraphs
Voice stress analysis menentukan apakah seseorang berbohong atau mengatakan
yang sejujurnya dengan menggunakan peralatan mekanis tertentu yang
dihubungkan kepada orang tersebut. Sedangkan, polygraph lebih kompleks
dibandingkan voice stress analyzers, karena polygraph menilai tingkat stress, serta
kejujuran seseorang dengan mengukur respons fisik seseorang. Teori dasarnya
adalah seseorang yang merasa bersalah ketika mereka berbohong atau tidak jujur.
Perasaan bersalah akan menghasilkan stress, dimana hal ini akan berdampak pada
perubahan perilaku. Polygraph mengukur detak jantung (pulse rate), tekanan
darah, respons kulit, dan respirasi seseorang. Seperti halnya voice stress analyzers,
polygraph terkadang berujung pada hasil yang salah, karena penggunaan tes
polygraph bisa menyebabkan orang jujur menjadi ketakutan dan dianggap
berbohong. Selain itu, polygraph sering gagal untuk mendeteksi kebohongan pada
seseorang yang terbiasa berbohong dan merupakan psikopat (psychopathic liars).
Hal ini disebabkan orang tersebut tidak merasakan stress saat berbohong karena
mereka mampu menekan perasaan mereka ke perasaan tidak bersalah. Dalam
audit investigatif, investigator harus harus memperhatikan apakah pihak ketiga
mempunyai kepentingan dalam audit investigatif. Dalam kasus tender pengadaan
barang, permintaan konfirmasi dari penyuplai yang cenderung melindungi pejabat,
perlu diperkuat. Misalnya dengan konfirmasi dari Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, kalau barang tersebut diimpor.

12.5 Memeriksa Dokumen


Dokumen dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu dokumen internal dan
eksternal. Dokumen internal adalah dokumen yang dipersiapkan dan digunakan dalam
organisasi klien dan disimpan tanpa pernah disampaikan kepada pihak di luar
organisasi, contohnya laporan jam kerja karyawan dan laporan penerimaan
persediaan.
Sedangkan, dokumen eksternal adalah dokumen yang ditangani oleh pihak
luar organisasi yang mewakili pihak klien dalam melakukan transaksi tetapi dokumen
ini dapat dengan mudah diakses oleh klien dengan segera, contohnya faktur dari
pemasok, polis asuransi, dan lain sebagainya. Dokumen eksternal memiliki tingkat
kepercayaan yang lebih tinggi sehingga lebih dapat diandalkan daripada dokumen
internal karena dokumen eksternal pernah berada baik di tangan klien maupun pihak
lain (pihak eksternal) sebagai lawan transaksi klien.
Teknik-teknik audit yang dapat digunakan untuk mengumpulkan bukti
dokumen adalah:

1. Verifikasi
Verifikasi adalah pengujian secara rinci dan teliti tentang kebenaran, ketelitian
perhitungan, kesaksian, pembukuan, pemilikan dan eksistensi suatu dokumen.
Verifikasi ini mencakup teknik-teknik audit lain untuk mengumpulkan dan
mengevaluasi bukti dokumen.
2. Pemeriksaan bukti pendukung / Vouching
Pemeriksaan bukti pendukung meliputi :
a. Pemilihan ayat jurnal dalam catatan akuntansi
b. Mendapatkan serta memeriksa dokumen yang digunakan sebagai dasar ayat
jurnal tersebut untuk menentukan validitas dan ketelitian pencatatan akuntansi.
Dalam melakukan vouching, arah pengujian berlawanan dengan yang
digunakan dalam tracing. Prosedur pemeriksaan bukti pendukung digunakan
secara luas untuk mendeteksi salah saji berupa penyajian yang lebih tinggi dari
yang sebenarnya dalam pencatatan akuntansi. Prosedur ini penting untuk
memperoleh bukti sehubungan dengan penegasan terhadap keberadaan
(existence) dan kejadian (occurrence).
Adapun tujuan dari vouching untuk memastikan bahwa:
a. Bukti tersebut telah disetujui oleh pejabat yang berwenang dan terkait
b. Bukti tersebut sesuai dengan tujuannya
c. Jumlah yang tertera di dalam bukti adalah benar dan sesuai dengan
transaksi
d. Pencatatan dilakukan secara benar
e. Kepemilikan dan keberadaannya sah.
Contoh kegiatan pemeriksaan bukti pendukung adalah auditor memilih ayat jurnal
“Pembelian ATK” di jurnal, kemudian membandingkanya dengan kuitansi
pembelian ATK tersebut atau tanda pembeliannya.
3. Penelusuran / Tracing
Tracing atau Penelusuran adalah teknik audit dengan menelusuri suatu bukti
transaksi/kejadian (voucher) menuju ke penyajian/informasi dalam suatu
dokumen. Teknik audit trasir merupakan cara perolehan bukti dengan arah
pengujian yang terbalik dari teknik audit vouching. Dalam penelusuran seringkali
disebut penelusuran ulang, auditor :
a. Memilih dokumen yang dibuat pada saat transaksi dilaksanakan, dan
b. Menentukan bahwa informasi yang diberikan oleh dokumen tersebut telah
dicatat dengan benar dalam catatan akuntansi (jurnal dan buku besar).
Arah pengujian prosedur ini berawal dari dokumen menuju ke catatan akuntansi,
sehingga menelusuri kembali asal-usul aliran data melalui sistem akuntansi. Salah
satu kelemahan dari teknik audit tracing ini adalah memerlukan waktu yang lama,
karena biasanya dokumen sumber suatu perusahaan sangat banyak jumlahnya dan
hampir setiap transaksi mempunyai satu dokumen sumber. Akan tetapi kelemahan
ini dapat diatasi oleh auditor dengan hanya menguji beberapa saja dengan
menggunakan metode sampling. Contoh kegiatan penelusuran adalah auditor
membandingkan antara angka yang tertera dalam kwitansi transaksi yang telah
dilakukan dan jumlah angka yang tertera dalam jurnal. Hal ini menunjukan apakah
ada kesesuaian penyajian, yaitu penyajian yang lebih rendah atau yang lebih
tinggi.
4. Scanning
Scanning adalah pemeriksaan terhadap dokumen yang kurang terinci untuk
menentukan apakah terdapat hal yang tidak biasa yang memerlukan investigasi
lanjutan. Penggunaan scan pada audit piutang adalah auditor bisa men-scan daftar
piutang untuk melihat piutang setiap pelanggan yang memiliki kejadian piutang
yang tidak biasa, seperti adanya saldo piutang negatif, piutang yang umurnya
lama, dan piutang yang nilainya besar.
5. Rekonsiliasi
Rekonsiliasi adalah mencocokkan dua data yang terpisah, mengenai hal yang
sama yang dikerjakan oleh instansi/unit/bagian yang berbeda. Tujuan teknik audit
rekonsiliasi adalah untuk memperoleh jumlah yang seharusnya atau jumlah yang
benar mengenai suatu hal tertentu. Misalnya rekonsiliasi dilakukan terhadap
catatan bendahara mengenai jumlah saldo simpanan di bank yang dituangkan
dalam Buku Pembantu Bank dengan saldo simpanan di bank menurut rekening
koran yang diterima dari pihak bank. Kedua data tersebut biasanya akan
menunjukkan saldo yang berbeda karena perbedaan waktu pencatatan. Dengan
melakukan teknik rekonsiliasi maka dapat diketahui berapa sesungguhnya saldo
simpanan di bank yang seharusnya.
Selain itu, Albrecht et al (2011) juga menekankan bahwa setelah melakukan
kejahatan, pelaku umumnya menyembunyikan (concealment) fraud mereka dengan
menutupi jejak mereka, mengaburkan bukti, serta menghapus red flag jika
memungkinkan. Penyembunyian fraud ini umumnya dilakukan dengan memanipulasi
bukti dokumen, seperti purchase invoices, sales invoices, credit memos, deposit slips,
checks, receiving reports, bills of lading, lease, titles, sales receipts, money orders,
atau cashier’s checks. Sedangkan, dari sudut pandang digital, penyembunyian
tindakan fraud ini dapat dilakukan dengan memodifikasi atau menghapus catatan di
dalam database perusahaan.
Kebanyakan teknik investigasi terkait concealment ini melibatkan beberapa
cara untuk menemukan dokumen fisik atau catatan komputer yang telah dimanipulasi.
Ketika dihadapkan pada pilihan antara keterangan dari saksi mata atau sebuah
dokumen sebagai bukti, maka kebanyakan ahli forensik fraud akan memilih dokumen.
Hal ini disebabkan dokumen merupakan catatan historis suatu kegiatan, tidak
memberikan ambiguitas, tidak dapat bersumpah palsu, dan tidak dapat memberikan
cerita yang tidak konsisten di dalam kesempatan yang berbeda.
Dokumen mengandung informasi yang sangat penting pada saat dilakukannya
investigasi atas fraud. Sebagai contoh, jika investigator sedang melakuka pemeriksaan
atas adanya kick back atau forgery scheme, maka sebuah cek akan menuntun
investigator kepada teller bank yang memproses transaksi tersebut dan teller tersebut
bisa saja ingat mengenai informasi terkait pelaku fraud. Selain itu, sebuah cek juga
membantu investigator dalam melengkapi paper trail atau jejak dokumen atas
keseluruhan transaksi. Karena dokumen memberikan banyak bukti yang signifikan
pada banyak kasus fraud, investigator harus mengerti aspek-aspek terkait legalitas dan
tata cara dalam penanganan dokumen. Secara spesifik, investigator harus memahami
beberapa aspek berikut dari bukti dokumen:
1. Chain of custody of documents
Dari sejak bukti dokumen telah diterima, maka chain of custody harus dilakukan
dengan baik. Secara umum, chain of custody berarti semua catatan atau dokumen
harus dijaga pada saat dokumen diterima. Pencatatan yang baik harus dilakukan
jika dokumen tersebut dipinjamkan ke pihak lain atau di luar kendali penguji
fraud. Hal ini disebabkan karena pihak pelaku fraud akan terus mencoba
kemungkinan bahwa dokumen yang menjadi bukti tersebut dikatakan sebagai
dokumen palsu. Sebuah catatan atau memo harus dibuat pada saat dokumen
tersebut dipinjamkan ke pihak lain, dan memo lain juga harus dibuat jika terdapat
perubahan di dalam status dokumen.

2. Marking of evidence
Ketika bukti dokumen diterima, maka dokumen tersebut harus ditandai secara
unik (uniquely marked), sehingga dapat diidentifikasi di kemudian hari. Sebagai
contoh, penggunaan amplop transparan yang digunakan untuk penyimpanan
dokumen yang disertai dengan tanggal penerimaan dokumen dan inisial dari
investigator. Selain itu, dokumen tersebut di-copy, kemudian dokumen asli
disimpan di tempat lain yang aman. Dokumenyang telah di-copy inilah yang
digunakan selama proses investigasi. Pada saat persidangan, dokumen asli dapat
dikeluarkan untuk digunakan dalam proses pengadilan.
3. Organization of documentary evidence
Kasus fraud dapat memberikan bukti dokumen dalam jumlah yang sangat banyak.
Selain dokumen dalam bentuk hard copy,, dokumen juga diperlukan dalam bentuk
soft copy. Ini dapat berupa hasil scan, format .PDF, dan format digital lain. Hal ini
akan sangat membantu dalam pemeriksaan investigasi, karena dapat
memudahkan pencarian bukti-bukti yang terkait kasus fraud tersebut. Manfaat dari
format digital ini, yaitu:
a. Menghemat banyak waktu dan tempat;
b. Meningkatkan kemampuan pencarian dokumen;
c. Mampu berbagi informasi pada pihak terkait yang berada di kota lain atau
negara lain;
Selain itu, pengorganisasian dokumen dapat diurutkan sesuai dengan tanggal
dokumen, sumber dari mana dokumen tersebut diperoleh, tanggal dokumen
diperoleh oleh investigator, atau berdasarkan ruang lingkup dokumen.
4. Coordination of evidence
Investigator dapat memutuskan untuk saling berbagi bukti dokumen dengan pihak
lain yang terkait untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang kasus
yang sedang dihadapi.
5. Rules concerning original versus copies of documents
Dokumen original atau dokumen asli selalu lebih dipilih jika dibandingkan dengan
bukti dalam bentuk fotokopi. Faktanya, di dalam suatu persidangan, terdapat
empat situasi dimana penggunaan dokumen hasil fotokopi digunakan (biasanya
dipertimbangkan sebagai bukti kedua atau secondary evidence). Pada empat
situasi berikut, pengadilan harus memiliki bukti bahwa dokumen original benar-
benar ada dan secondary evidence yang digunakan merupakan copy dari dokumen
original.
a. Dokumen asli telah hilang atau hancur tanpa adanya kesengajaan, sehingga
pihak terkait menggunakan secondary evidence;
b. Dokumen asli berada dalam penguasaan pihak lain yang gagal dalam
melakukan pengamanan dokumen (padahal telah diperingatkan untuk
berhati-hati sebelumnya), atau pihak yang mengamankan dokumen tersebut
berada di luar jurisdiksi pengadilan;
c. Dokumen atau catatan berada dalam pengamanan kantor agen khusus;
d. Dokumen original terlalu banyak dan besar untuk dilakukan pengujian,
sehingga sekedar ringkasan dari isi dokumen dapat diterima oleh pengadilan
Tak ada audit investigatif tanpa pemeriksaan dokumen. Hanya saja, dengan
kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi lebih luas, termasuk informasi
yang diolah, disimpan, dan dipindahkan secara elektronis (digital).

12.6 Review Analitikal


Deloitte Haskins & Sells (disingkat DHS, cikal bakal dari Deloitte Touche
Tohmatsu) mencatatat penggunaan teknik ini dalam audit manual mereka di tahun
1930-an. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an, DHS mengembangkan berbagai
perangkat lunak untuk review analitikal, di antaranya Statistical Technique for
Analytical Review (STAR) in Auditing. Judul yang sama digunakan sebagai judul dari
buku yang ditulis kedua pionir dalam bidang ini, Kenneth W. Stringer dan Trevor R.
Stewart.
Dalam review analitikal yang penting bukannya bukannya perangkat
lunaknya, tetapi semangatnya, seperti dikatakan Houck di atas: “think analytical
first”! Ini ciri auditor (dan investigator) yang tangguh. Auditor harus menguasai
gambaran besarnya terlebih dahulu. Stringer dan Steward menulis, Analytical review
is a from of deductive reasoning in which the propriety of the individual details is
inferred from evidence of the reasonableness of the aggregate results. Review
analitikal didefinisikan sebagai a form of a deductive reasoning; sebagai suatu bentuk
penalaran deduktif. Tekanannya adalah pada penalaran, proses berfikirnya. Penalaran
yang membawa seorang auditor atau investigator pada gambaran mengenai wajar,
layak, atau pantasnya suatu data individual disimpulkan dari gambaran yang diperoleh
secara global, menyeluruh atau agregat. Hal ini akan diperagakan dengan contoh-
contoh.
Bagaimana kesimpulan atau inference itu diperoleh? Stringer dan Stewart
melanjutkan, “It involves a comparison of the recorded financial result with results
that my reasonably be expected in the the circumstances. (Review analitikal meliputi
perbandingan antara data keuangan menurut catatan dengan apa yang wajarnya atau
layaknya harus terjadi”). Pada dasarnya seorang investigator secara intuitif terobsesi
dengan “sesuatu yang agaknya tidak benar”, “sesuatu yang melenceg melence dan
bahwa ―something must be wrong because it appears so”. Oleh karena itu, ia
memerlukan patokan atau benchmark untuk membandingkannya dengan apa yang
dihadapinya. Patokan ini lah yang dirumuskan Stringer dan Stewart sebagai result that
may reasonably be expected.
Misalnya, investigator sedang mengaudit investigatif suatu bank yang
berkewajiban memungut pajak penghasilan atas bunga yang diperoleh nasabahnya.
Apakah bank menyetor pajak penghasilan ini sesuai ketentuan, baik dalam jumlah
maupun waktu penyetoran? Apakah audit investigatif ini harus dimulai di cabang-
cabang atau kantor-kantor perwakilan? Menurut review analitikal, tidak. Investigator
dapat memulai dengan mencocokkan angka-angka agregat. Pertama, ditentukan dulu
jumlah pajak penghasilan yang sudah disetorkan untuk bank secara keseluruhan
(kantor pusat dan cabang-cabang), menurut pembukuan bank itu (data A). selanjutnya,
investigator menghitung apa yang dikatakan Stringer dan Stewart sebagai result that
may reasonably be expected. Ini adalah hasil perkalian antara tariff pajak (misalnya
10%) dengan jumlah bunga yang dibayarkan bank itu kepada para nasabahnya (data
B). perbedaan antara data A dan data B bisa merupakan perbedaan waktu (timing
difference) saja. Yakni, perbedaan antara saat memotong dan saat menyetor pajak
penghasilan. Timing difference ini juga mudah dilokalisasi.
Tetapi mungkin juga ada perbedaan yang bersifat tetap (permanent difference)
misalnya dalam hal deposan dalam dalam negeri yang mendapat pembebasan pajak
penghasilan dan deposan di cabang-cabang di luar negeri di mana bank tidak
berkewajiban memungut pajak penghasilannya. Perbedaan ini mudah diketahui
karena umumnya jumlah deposan dalam negeri yang dibebaskan, tidak banyak.
Sedangkan untuk deposan di cabang-cabang di luar negeri, investigator dapat
mengabaikan seluruh data bunga luar negeri (bagian dari data B semula). Dengan
contoh ini, maka investigator menguji mulai dari belakang. Pertama, evidence of the
reasonableness of the aggregate results, dimana hal ini diperoleh dari data B yang di-
adjust untuk deposan dalam negeri yang dikecualikan pemungutan pajak
penghasilannya dan bunga di cabang-cabang luar negeri.
Kedua, a from of deductivve reasoning. Di sini investigator membuat deduksi
dari data agregat, data global, data menyeluruh, yang dalam hal ini adalah data A dan
data B. Deduksi ini berkenaan dengan the propriety of the individual details.
Kelayakan, kewajaran atau kepantasan (propriety) dari individual details. Individual
details di sini adalah pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan oleh bank secara
transaksi demi transaksi, cabang demi cabang, atau mungkin per pejabat bank sesuai
dengan kewenangannya. Ada bermacam-macam variasi dari teknik review analitikal,
namun semuanya didasarkan atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa
yang layaknya harus terjadi, dan berusaha menjawab sebabnya terjadi kesenjangan.
Apakah ada kesalahan (error), fraud,, atau salah merumuskan patokannya. Di bawah
ini disajikan beberapa teknik review analitikal untuk memudahkan pemahaman.
1. Betriebs Vergleich dan Zeit Vergleich
Buku teks ekonomi perusahaan tahun 1850-an memberi dua contoh perbandingan
dengan menggunakan istilah Jerman: Betriebs Vergleich dan Zeit Vergleich.
Dalam Betriebs Vergleich, Vergleich investigator membandingkan perusahaan
(Betriebs) yang diaudit investigatif dengan saingannya yang seukuran. Terutama
kalau Betriebs lainnya cukup banyak, investigator bisa mempunyai rata-rata
industri yang andal. Pada dasarnya Betriebs Vergleich ini dimanfaatkan akademisi
seperti untuk menganalisis kompetisi atau persaingan. Dalam Zeit Vergleich,
investigator membandingkan perusahaan yang diaudit investigatif pada saat
sekarang dengan hal yang sama di masa (Zeit) lalu. Dalam Zeit Vergleich,
investigator mencoba memahami bagaimana perusahaan yang akan diaudit
investigatif ini berbeda dengan masa lalunya, dan mengapa. Investigator
menggunakan teknik yang sama untuk melihat indikasi fraud, karena fraud
mengancam kesinambungan laba tadi. Dari contoh Betriebs Vergleich dan Zeit
Vergleich tadi, dapat dilihat pentingnya menentukan patokan atau benchmark..
Patokan ini harus seukuran dan sejenis, dan harus comparable. Patokan yang
betul-betul comparable merupakan sesuatu yang sangat langka. Perbandingan
(comparison, Vergleich) tidak otomatis berarti bahwa patokan atau benchmark-nya
yang benar, atau kalau ada penyimpangan yang signifikan pastilah penyimpangan
itu merupakan kesalahan data yang sedang diaudit investigatif. Itulah sebabnya
judgement sangat penting, kecermatan sangat mutlak. Jika diperlukan, cari data
perbandingan lainnya. Hal yang utama adalah pemahaman kenapa berbagai data
itu bisa berbeda.
2. Membandingkan Anggaran dengan Realisasi
Membandingkan data anggaran dengan realisasi dapat mengindikasikan adanya
fraud. Hal yang perlu dipahami di sini adalah mekanisme pelaksanaan anggaran,
evaluasi atas pelaksanaan anggaran, dan insentif (keuangan maupun
nonkeuangan) yang terkandung dalam system anggarannya. Dalam entitas yang
merupakan profit center atau revenue center, pejabat tertentu menerima insentif
(bonus) sesuai dengan ―keberhasilan yang diukur dengan pelampauan anggaran.
Investigator perlu mengantisipasi kecenderungan realisasi penjualannya dibuat
tinggi (overstated). Penjualan kredit dan pengiriman barang secara besar-besaran
pada akhir tahun merupakan indikasi mengenai hal itu. Pengembalian barang
sesudah akhir tahun memperkuat indikasi adanya fraud. Di sektor publik tahun
2005 dan 2006 terlihat hal sebaliknya. Pemerintah “mengeluh” soal rendahnya
penyerapan anggaran. Kambing hitamnya kali ini adalah sistem anggaran yang
berubah, kinerja KPK dan pengadilan kasus-kasus korupsi yang menggebu-gebu
membuat para pejabat enggan menjadi pimpinan proyek. Meskipun contoh ini
terbalik dari contoh sebelumnya, penjelasannya sama, ada atau tidak adanya
insentif. Insentif tidak perlu berupa insentif keuangan seperti bonus.
Mempertahankan (atau menggoyahkan jabatan) seseorang bisa menjadi insentif.
Dalam perusahaan yang berkecimpung di bidang teknologi, dewan komisaris
berupaya menjatuhkan anggota direksinya dengan mempertanyakan kenapa
anggaran modal untuk mendatangkan peralatan berteknologi tinggi belum juga
direalisasi.
3. Analisis Vertikal dan Horizontal
Analisis vertikal dan horizontal merupakan analisis rasio laporan keuangan.
Analisis vertikal menunjukkan rasio antara satu akun dengan akun lainnya dalam
laporan keuangan untuk tahun yang sama. Contoh analisis vertikal dalam laporan
laba rugi: rasio antara biaya penjualan dengan penjualan, rasio antara biaya
administrasi dengan penjualan, dan seterusnya. Analisis ini disebut analisis
vertikal karena angka-angka yang dibandingkan terletak secara vertikal dalam
laporan keuangan. Misalnya dalam contoh laporan laba rugi di bawah ini :

Tabel 12.1.
Contoh Analisis Vertikal

Akun Laba Rugi Jumlah Persentase

Penjualan 1.000.000 100,0%


Harga pokok penjualan 400.000 40,0%
Laba kotor 600.000 60,0%
Biaya penjualan 100.000 10,0%
Biaya administrasi 75.000 7,5%
Biaya lain (termasuk penyusutan) 25.000 2,5%
Jumlah biaya 200.000 20,0%
Laba sebelum pajak penghasilan 400.000 40,0%
Pajak penghasilan 120.000 12,0%
Laba bersih 280.000 28,0%
Dalam contoh di atas, semua akun laba-rugi dibandingkan dengan akun penjualan.
Dalam struktur laporan laba rugi, akun-akun ini tersusun secara vertikal. Analisis
vertikal dapat dilakukan untuk neraca. Akun-akun neraca dapat dibandingkan,
misalnya, dengan jumlah aset. Dengan analisis vertikal, investigator dapat
mengubah angka-angka laporan keuangan dari nilai (dalam rupiah atau mata uang
lain) menjadi angka-angka dalam persentase (%). Laporan keuangan dalam
persentase ini disebut laporan keuangan berukuran sama (commom-size financial
statement). Ada neraca berukuran sama (common-size balance sheet), laporan laba
rugi berukuran sama (common-size income statement), statement dan laporan arus
kas berukuran sama (common-size cash-flow statement). Apa gunanya laporan
keuangan berukuran sama? Atau, apa guna analisis vertikal? Manfaatnya adalah
dalam membandingkan perusahaan sejenis yang mempunyai ukuran berbeda.
Misalnya, investigator ingin membandingkan perusahaan obat-obatan. Perusahaan
A mempunyai omzet (nilai peredaran atau penjualan) Rp100 miliar, sedangkan
Perusahaan B Rp10 triliun. investigator bisa mengabaikan nilai rupiah dari kedua
perusahaan ini, karena yang ingin diketahui, misalnya, apakah laba kotor sebagai
persentase dari penjualan untuk Perusahaan A lebih besar atau kecil dari
Perusahaan B. Analisis horizontal menunjukkan perubahan (kenaikan atau
penurunan) suatu akun untuk suatu tahun (periode) dibandingkan tahun (periode)
sebelumnya atau tahun (periode) berikutnya. Analisis ini tidak lain dari
Zeitvergleich yang dibahas diatas. Angka-angka untuk akun yang sama dari tahun
(periode) sebelumnya atau tahun (periode) berikutnya, dalam penyajian laporan
keuangan, disajikan berdampingan. Oleh karena itu, analisis ini disebut analisis
horizontal.
4. Hubungan antara Satu Data Keuangan dengan Data Keuangan Lain
Beberapa akun, baik dalam suatu maupun beberapa laporan keuangan, bisa
mempunyai keterkaitan yang dapat dimanfaatkan untuk review analitikal. Contoh:
angka penjualan dengan piutang dan persediaan rata-rata, angka penjualan dengan
bonus bagian penjualan, penghasilan bunga dengan saldo rata-rata tabungan, dan
seterusnya.
5. Menggunakan Data Nonkeuangan
Contoh-contoh di atas menggunakan data keuangan. Ini dari review analitikal
adalah mengenal pola hubungan, relationship pattern. Pola hubungan ini tidak
mesti hanya antara satu data keuangan dengan data keuangan lain. Pola hubungan
nonkeuangan pun bisa bermacam-macam bentuknya. Dalam bisnis perkebunan
ada hubungan antara jumlah pupuk yang dipergunakan dengan hasil produksi atau
panen; angka masukan maupun keluaran dinyatakan dalam satuan nonkeuangan,
seperti jumlah ton untuk pupuk dan sawit. Di pabrik gula ada ukuran antara
jumlah ton tebu yang masuk ke pabrik dan jumlah ton gula yang dihasilakn. Pola
hubungan antara masukan dan keluaran ini dinyatakan dalam suatu rasio yang
dalam industry gula dikenal sebagai rendemen. Perhitungan serupa dapat dlihat di
industri kayu lapis (blockboard), dengan nama recovery. Bermacam rasio
digunakan untuk berbagai industri. Bahkan industri-industri atau perusahaan
pemeringkat mengembangkan dan menyebarkan rasio industri (industry ratios).
Perusahaan penerbangan Garuda mendapatkan hasil yang sangat signifikan dari
perjalanan haji. Data yang penting, jumlah calon haji yang diterbangkan, dapat
diperoleh dari sumber intern maupun ekstern Garuda. Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) di konsulat-konsulat Indonesia di luar negeri, mempunyai
hubungan linear dengan banyaknya visa yang diterbitkan. Review analitikal sering
dilakukan dengan hitungan cepat (dalam bahasa Inggris disebut sebagai back-of-
the-envelope computation) untuk menunjukkan keganjilan. Seorang banker
mencatat informasi yang diterimanya dari calon nasabah kreditnya. Dengan cepat
ia menentukan bahwa pabrik pulp berkapasitas besar di lokasi yang terisolasi,
tidak akan bisa beroperasi karena bahan bukunya tidak akan cukup. Semua data
untuk membuat kesimpulan itu ia peroleh selama makan siang dengan calon
debiturnya.
6. Regresi atau Analisis Trend
Dengan data historikal yang memadai (makin banyak makin baik, ceteris paribus),
review analitikal dapat mengungkapkan trend. Berbagai perangkat lunak
mempermudah hitungan dan grafiknya, misalnya STAR, perangkat lunak Deloitte
yang disebut di atas.
7. Menggunakan Indikator Ekonomi Makro
Ada hubungan antara besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dalam suatu
tahun dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, tingkat pengangguran,
cadangan devisa, indikator ekonomi negara-negara yang menjadi partner
perdagangan Indonesia, harga minyak mentah, dan komoditi lain, dan lain-lain.
Keandalan perumusan ekometri akan membantu auditor atau investigator melalui
data agregat, tanpa harus memasuki pemeriksaan SPT sebagai langkah pertama.
Kalau ada indikasi kuat, baru dilanjutkan ke dalam pemeriksaan SPT dengan Net
Worth Method atau Expenditure Method.

12.7 Menghitung Kembali


Menghitung kembali atau reperformance tidak lain dari mengecek kebenaran
perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang, dan lain-lain). Ini prosedur yang sangat lazim
dalam audit. Biasanya tugas ini diberikan kepada seseorang yang baru mulai bekerja
sebagai auditor; seorang junior auditor di kantor akuntan. Dalam audit umum,
menghitung kembali atau reperformance dapat dilakukan dengan:
1. Footing
Footing adalah penjumlahan kolom angka untuk menentukan apakah totalnya
sama dengan nilai yang diperoleh klien. Teknik audit foot akan menghasilkan
bukti audit berupa rekalkulasi, dimana rekalkulasi ini merupakan bagian dari
reperformance. Reperformance yaitu metode pengumpulan bukti audit di mana
auditor melakukan proses pengulangan aktivitas klien, kemudian hasil yang
diperoleh auditor dari pengulangan aktivitas tersebut dibandingkan dengan hasil
yang diperoleh oleh klien untuk mendapatkan bukti audit. Reperfomance
melibatkan pengujian kembali atas berbagai perhitungan dan pengujian kembali
atas berbagai transfer informasi. Contoh penerapan foot pada audit akun piutang
adalah melakukan footing atas nilai-nilai dalam buku jurnal piutang usaha salah
satu debitur untuk periode selama satu bulan dan membandingkan semua total
nilai yang terdapat dalam buku jurnal piutang usaha tersebut dengan nilai yang
terdapat dalam buku besar.
2. Recompute
Recompute adalah perhitungan yang dilakukan untuk menentukan apakah
perhitungan klien sudah benar. Sama seperti foot, recompute juga merupakan
bagian dari reperformance. Contoh penerapan recomputed pada audit akun
piutang adalah melakukan recompute atas perhitungan penyisihan piutang usaha
akhir tahun, apakah telah diterapkan benar sesuai dengan kebijakan aging
schedule piutang. Dalam audit investigatif, perhitungan yang dihadapi umumnya
sangat kompleks, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang rumit, mungkin
sudah terjadi perubahan dan renegosiasi berkali-kali dengan pejabat yang berbeda.
Sebagai contoh, perhitungan atas nilai potensi kerugian negara dalam proyek jalan
raya yang melibatkan perhitungan hitungan material bahan, volume kurang,
ketebalan aspal yang tidak sesuai spesifikasi, unsur aspal yang tidak sesuai setelah
diuji di lab, dan sebagainya. Perhitungan ini dilakukan atau disupervisi oleh
investigator yang berpengalaman karena perhitungan yang dihadapi dalam audit
investigatif umumnya sangat kompleks, didasarkan atas kontrak yang sangat
rumit, dan kemungkinan terjadi perubahan (adendum kontrak) atau renegosiasi
berkali-kali. Beberapa contoh perhitungan kembali semacam itu yang berpotensi
triliunan rupiah.
1. Perhitungan cost recovery oleh kontraktor bagi hasil (production sharing
contractor). Cost recovery ini sangat besar jumlahnya. Kalau tidak dihitung
kembali oleh counterpart PSC atau lembaga pemeriksa independen, cost
recovery rawan penyalahgunaan.
2. Biaya yang dikeluarkan BUMN di mana mempunyai kewajiban memberikan
pelayanan umum (public service obligation). Keterlambatan pembayaran PSO
mempunyai dampak yang besar terhadap likuiditas BUMN yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/document/355602116/13-audit-Investigatif-Dengan-Teknik-Audit
AUDIT INVESTIGATIF DENGAN TEKNIK AUDIT

Kelompok 5

Euvemia S Emiliani Midy (01)


I Kadek Agus Aditya Dwi Permana Putra (06)
I Kadek Putra Dwijaya Andika (11)
Kadek Nuryadi Dwi Anugerah (16)
I Wayan Cakra Yudha (23)
Ni Luh Putu Pasek Anggreni (26)
I Dewa Gede Hadi Wiradhika (29)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

2019

Anda mungkin juga menyukai