Anda di halaman 1dari 2

Tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al- "Kitab Jihad.

Maksudnya adalah (jihad) di jalan


Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az- Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap
zain menjelaskan hal yang senada dengan yang tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri
dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun,
menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak
tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak
kwajiban. Beliau berkata[42]: dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum
Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu
dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau
‫باب الجهاد أي القتال في سبيل‬ wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir)
dengan tentara untuk memerangi mereka atau
‫هللا هو فرض كفاية كل عام إذا‬ dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau
sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang
‫كان الكفار ببلادهم وأقله مرة في‬ kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka,
orang-orang kafir tersebut, bermaksud (menyerang)
‫كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم‬ kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah
kendali para pemimpin yang tidak diragukan, yang
‫تدع حاجة إلى أكثر من مرة وإلا‬ masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas
kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah,
‫وجب لبعض طلب الجهاد بأحد‬ karena apabila siapa saja yang memiliki kafa’ah
mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang
‫أمرين إما بدخول الإمام أو نائبه‬ diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau
bahkan sukarelawan maka gugurlah beban
‫دارهم بالجيش لقتالهم وإما‬ (kwajiban) tersebut dari yang diwajibkan.
Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta

‫بتشحين الثغور أي أطراف بلادنا‬


keringanan. Fardhu ‘ain itu lebih utama dibanding
fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh
(Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …"
‫بمكافئين لهم لو قصدونا مع‬
Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama’
‫إحكام الحصون والخنادق وتقليد‬ diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua
kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan
‫ذلك للأمراء المؤتمنين المشهورين‬ layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus
dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki "kifayah".
‫بالشجاعة والنصح للمسلمين‬ Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap
terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna
‫وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله‬ ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah
seorang Muslim yang dibebankan pada suatu
‫من فيهم كفاية وإن لم يكونوا من‬ komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah
tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila
‫أهل فرضه كصبيان وإناث‬ jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani,
dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang
‫ومجانين سقط الحرج عنه إن كان‬ meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa,
dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup
‫من أهله وعن الباقين رخصة‬ kemungkinan dilaksanakan oleh yang tidak
diwajibkan.
‫وتخفيفا عليهم بفرض العين أفضل‬ Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama’
‫بفرض الكفاية كما قاله الرملي‬ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban
tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka

‫وفروض الكفاية كثيرة‬


kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak
seluruh mukallafdari kaum Muslimin, dan
meninggalkan kwajiban yang masuk kategori
fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
Kitab “Nihayatu Az-Zain” (‫ )نهاية الزين‬adalah salah satu Romli, “Fathu Al-Jawad” karya Ibnu Hajar Al-Haitami,
kitab fikih bermazhab Asy-Syafi’i yang cukup dikenal “An-Nihayah” karya Waliyyuddin Al-Bashir, dan juga
oleh kaum muslimin terutama di Indonesia. Dalam sejumlah hasyiyah. Jadi, berdasarkan fakta ini, kitab
forum-forum “bahtsul masa-il” yang diadakan NU “Nihayatu Az-Zain” sesungguhnya adalah hasil
maupun tanya jawab yang diasuh oleh para ustaz kompilasi bacaan berbagai kitab yang disusun ulang,
ASWAJA, kitab ini biasa dikutip sebagai salah satu bukan mensyarah langsung dari Al-Jawi. Karena seperti
rujukan. Mungkin karena kitab ini memiliki kedudukan ini metode penyusunannya, maka Al-Jawi memberi
yang mendalam pada sebagian kyai, akhirnya nama kitab penekanan terkait validitas isinya. Al-Jawi mengingatkan
ini diadopsi menjadi nama pesantren. Di kampung Tebon bahwa jika ada konten yang benar dalam kitab “Nihayatu
Teki, Desa Tegalangus, Kecamatan Teluknaga, Az-Zain” ini, maka keutamaan itu semua kembali penulis
Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia berdiri kitab yang dijadikan rujukan Al-Jawi. Jika ada yang
pondok pesantren yang diberi nama “Ma’had Nihayatuz salah, maka hal itu adalah murni kesalahan beliau
Zein Al-‘Ashri”. sehingga beliau berharap ada yang berkenan
mengoreksinya.
Nama lengkap kitab ini sebagaimana disebut pengarang
dalam muqoddimah adalah “Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi Hanya jadi, jika dilihat isi “Nihayatu Az-Zain”,
Al-Mubtadi-in” (‫)نهاية الزين في إرشاد المبتدئين‬. Lafaz nampaknya Al-Jawi tidak hanya menelaah kitab-kitab
“nihayah” bermakna puncak/ujung sesuatu. “Zain” fikih sebagai referensi. Hipotesis ini bisa kita jadikan
bermakna hiasan. “Irsyad” bermakna membimbing. pertimbangan pada saat menelaah sebagian syarah beliau.
“Mubtadi-in” bermakna para pemula. Jadi, dengan judul Saat Al-Jawi mensyarah makna “isim” pada lafaz
ini seakan-akan pengarang berharap kitabnya bisa “bismillah” di awal kitab misalnya, beliau menjelaskan
membimbing para pemula dalam bentuknya yang paling bahwa “isim” itu ada 9 macam. Sembilan macam “isim”
indah. ini kemudian dijelaskan definisi maisng-masing oleh Al-
Jawi dengan uraian definisi yang bersifat filosofis.
Kitab ini adalah syarah dari kitab “Qurrotu Al-‘Ain” Membaca syarah yang ditulis dengan cara seperti ini,
karya Al-Malibari (resensi Qurrotu Al-‘Ain bisa dibaca kesan yang tertangkap adalah Al-Jawi mempelajari
dalam catatan saya yang berjudul “Mengapa Kitab karya-karya Fakhruddin Ar-Rozi, ilmu kalam dan juga
Qurrotu Al-‘Ain Terkenal Di Indonesia?”). Dari sisi filsafat secara umum.
posisinya sebagai syarah “Qurrotu Al-‘Ain” berarti kitab
ini sama seperti kitab “Fathu Al-Mu’in”, hanya saja Sebelum memulai mensyarah lafaz pertama pada topik
“Nihayatu Az-Zain” sedikit lebih tebal sehingga bisa tertentu, secara umum Al-Jawi akan menjelaskan
digolongkan syarah “mutawassith” (pertengahan). sejumlah informasi permulaan penting yang terkait
dengan topik secara ringkas. Misalnya saat beliau hendak
Pengarangnya bernama Nawawi Al-Jawi. Nama lengkap mensyarah bab salat, beliau awali dulu dengan penjelasan
beliau, Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar singkat macam-macam salat, posisi salat sebagai syariat
Al-Jawi. Asalnya dari kampung Tanara wilayah Banten yang “ma’lum minad din bidh dhoruroh”, kapan
di pulau Jawa negara Indonesia. Beliau adalah salah satu diwajibkan, dan hubungannya dengan salat para nabi.
faqih besar mazhab Asy-Syafi’i, mutashowwif dan juga Saat menjelaskan tentang topik ilmu waris, beliau awali
seorang mufassir. Karya terkenal beliau di Indonesia dulu dengan urain singkat tentang hak-hak tarikah seperti
cukup banyak. Wajar, beliau adalah ulama “pribumi”. “tajhiz”, membayar utang, pelaksanaan wasiat dan lain-
Secara psikologis ini sangat mudah dimengerti jika kaum lain. Kemudian beliau jelaskan siapa saja ahli waris itu,
muslimin satu negeri akan memberi perhatian lebih bagaimana kondisi-kondisi yang membuat sebagian ahli
tinggi. Apalagi karya-karya Nawawi Al-Jawi memang waris gugur, bagaimana kondisi-kondisi yang mana
bermutu. Di antara karya terkenal tersebut adalah tafsir warisan yang berlebih bisa dikembalikan kepada ahli
Al-Qur’an yang bernama “Maroh Labid”, ‘Uqudu Al- waris. Pada saat membahas lafaz, Al-Jawi menguraikan
Lujain” untuk fikih rumah tangga, “Nur Azh-Zholam” lafaz yang diperkirakan memerlukan penjelasan detail
yang mensyarah manzhumah “Aqidatu Al-‘Awam”, baik secara bahasa maupun makna syar’inya. Sesekali
“Mirqotu Shu’udi At-Tashdiq” yang mensyarah kitab jika diperlukan, Al-Jawi menjelaskan analisis nahwu
“Sullamu At-Taufiq”, “Kasyifatu As-Saja” yang sebagian ungkapan matan yang dirasa berpotensi ambigu.
mensyarah kitab “Safinatu An-Naja”, dan lain-lain.
Penghargaan para ulama atas kedalaman dan keluasan Adapun manuskripnya, di antaranya bisa kita ditemukan
ilmu beliau sampai membuatnya digelari “alimul hijaz” di “Al-Maktabah Al-Azhariyyah” di Kairo; Mesir.
(‫)عالم الحجاز‬/ orang alimnya Hijaz. Akhlaknya rendah hati Beberapa muhaqqiq yang pernah mentahqiqnya di
(tawadhu’). Saat mengarang kitab “Nihayatu Az-Zain” antaranya ‘Alawi Abu Bakr Muhammad As-Saqqof
ini, beliau menyebut dirinya sebagai “qoshir” (pelajar (Assegaf), Abdullah Mahmud Muhammad Umar, dan
pemula). lain-lain.

Kitab “Nihayatu Az-Zain” ditulis Al-Jawi dengan lafaz Di antara penerbit yang tercatat pernah mencetaknya
yang singkat, bahasa yang cukup renyah dan padat isi. adalah “Al-Mathba’ah Al-Wahbiyyah” tahun 1297 H,
Daftar isinya mengikuti susunan dalam kitab “Qurrotu “Mathba’ah Syarof” 1299 H, “Musthofa Al-Baby Al-
Al-‘Ain”, yaitu diawali bab salat dan diakhiri bab Halaby”, “Sulaiman Mar’i”, “Syarikatu Al-Mustaqbal
pembebasan budak. Ar-Roqmi”, “Syarikatu At-Turots Li Al-Barmajiyyat”,
“Dar Al-Fikr”, “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah”, “Dar Al-
Referensi yang digunakan oleh Al-Jawi saat menyusun Kutub Al-Islamiyyah”, “Dar Al-Basho-ir”, dan lain-lain.
kitab ini -sebagaimana diterangkan beliau sendiri dalam
muqoddimah- terutama sekali banyak mengutip dari “Dar Al-Fikr” di Beirut menerbitkan kitab “Nihayatu Az-
kitab “Nihayatu Al-Amal Liman Roghiba Fi Shihhati Al- Zain” dalam satu jilid dengan ketebalan sekitar 400-an
‘Aqidah Wa Al-‘Amal’ karya Abu Khudhoir Ad- halaman. “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah” menerbitkannya
Dimyathi. Dari kitab ini, Al-Jawi banyak mengambil tahun 1422 H/2002 dalam ketebalan 399 hlm dengan
kutipan terutama untuk syarah pada bagian awal kitab muhaqqiq Abdullah Mahmud Muhammad Umar.
sampai bab “bai’” (jual beli). Selain itu, Al-Jawi juga
mengambil rujukan dari kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” karya An-Nawawi Al-Jawi wafat pada tahun 1317 H / 1316 H.
Ibnu Hajar Al-Haitami, “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar- Mokhamad Rohma Rozikin

Anda mungkin juga menyukai