Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Tidak siap di pungkiri bahwa keberadaan Al-Quran di tengah umat Islam merupakan sentral
semua lini kehidupan. Oleh karena itu, piranti untuk membantu memahami pesan ilahiah
tersebut menjadi sebuah keniscayaan seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban umat
yang mengimaminya.

Sejarah intelektual muslim telah mencatat ratusan bahkan ribuan karya kesarjanaan yang
terinspirasi oleh Al-Quran, termasuk juga untuk membantu umat untuk semakin dekat dengan
ajaran-ajaran yang dimuatnya. Wujud dari piranti yang mendekat itu ialah kesarjanaan tentang
aktivitas interpretasi atau penafsiran, mengingat tafsir adalah sesuatu yang memiliki signifikasi
tersendiri dan memberikan dan memberikan pemaknaan terhadap ajaran agar senantiasa
mengikut perkembangan zaman, tafsir juga meniscayakan kontekstualisasi, mengingat pesan
tuhan yang merupakan jalan lurus tersebut acapkali merupakan bahasa simbolik. Oleh karena
itu, kontekstualisasi menjadi bagian penting dalam peradaban keislaman, terutama terkait
dengan perbincangan relasi antara ajaran tuhan dan dimensi kemanusiaan.

Untuk menuju penafsiran dan kontekstualisasi, diperlakukan alat bantu keilmuan yang tidak
sederhana. Pada fase pemula, ara pemerhati dan pengingat kajian Al-Quran tentu sangat
disarankan untuk, banyak bergelut dengan liter atur sekunder yang terkait dengan disiplin
kajian Al-Quran. Salah satunyailmu tafsir yang juga sudah menjadi pakar perhatian pakar kajian
Al-Quran semenjak awal. Hanya saja ketersediaan liter atur tersebut dalam bahasa penutur
peminat pada fase pemula tidak selalu tersedia. Oleh karena itu buku pendukung yang sifatnya
membantu menjadi amat penting.
BAB II

PEMBAHASAN

Surat Al-Baqoroh ayat 177

‫َلْيَس اْلِبر َاْن ُتَو ُّلوا ُوُجْو َهُك ْم ِقَبَل اْلَم ْش ِرِق َو اْلَم ْغ ِرِب َو َلِكَّن اْلِبَّر َم ْن آَم َن ِباِهَّلل َو اْلَي ْو ِم اآْل ِخ ِر َو اْلَم لِئَك ِة َو اْلِكَتِب َو الَّنِبيَن َو أَتى اْلَم اَل‬
‫َع َلى ُحِّبِه َذ ِوي اْلُقْر َبى َو اْلَيَتى َو اْلَم ْس ِكيَن َو اْبَن الَّس ِبيِل " َو الَّساِئِليَن َوِفي الِّر َقاِب َو َأَقاَم الَّصلوَة َو اتى الَّز كوَة َو اْلُم وُف وَن ِبَع ْه ِدِهْم ِإَذ ا‬
‫ن‬ ‫ُع َهُدوا َو ا الُّص ِبِريَن ِفي اْلَبْأَس اِء َو الَّضَّراِء َوِح ْيَن اْلَبْأِس أوَلِئَك اَّلِذ يَن َصَد ُقوا َو ا َو َلْيَك ُهُم اْلُم َّتُقو‬

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan
itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-
orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk
memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan Shalat dan menunaikan zakat, orang-orang
yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan
pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.

1. Tafsir ayat

a. ‫ لين لي أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب‬.. bukankah menghadapkan wajahmu kearah timur ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, Ketika perpindahan kiblat dari Al-Masjid Al-Aqsha ke
Al-Masjid Al-Haram, orang Yahudi dan Nasrani beranggapan bahwa kaum muslimin
mempunyai kiblat yang kurang baik. Sementara kaum muslimin pun beranggapan bahwa kiblat
Yahudi ke barat. dan kiblat nashara ke timur, juga tidak akan mendapat kebajikan. Ayat ini
sebagai penegasan bahwa kebaikan bukan ditentukan oleh arah kiblat. Arah kiblat hanya
berfungsi sebagai kesatuan arah, bukan prinsip ibadah. Dengan demikian hakikat kebaikan
bukan terletak pada arah ke mana menghadap, bukan ditentukan oleh ke mana berkiblat.

b. ‫ لكن البز َم ْن آَم َن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اآلِخ ِر والَم الِئَك ِة َو اْلِكَتاِب َو الَّنِبِّييَن‬.. akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat- malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Iman
merupakan asas yang mendasar dalam kebaikan. Tidak termasuk kebaikan yang sempurna tanpa
didasari iman. Rukun iman pada ayat ini disebut iman pada Allah, hari akhir. malaikat dan kitab
serta para nabi.
c. ‫ المال على حبه ذوي الُقْر َبى َو اْلَيَتاَم ى َو اْلَم َس اِكيَن َو اْبَن الَّس ِبيِل َو الَّساِئِليَن َوِفي الِّر َقاِب‬dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim. orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang- orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, Dasar kebaikan yang kedua adalah menjalin hubungan baik dengan sesama manusia
dengan cara menyisihkan harta untuk kepentingan kerabat, anak yatim, orng miskin, anak
terlantar, yang meminta dan memerdekakan hamba sahaya. Infaq harta merupakan dasar
kebajikan yang kedua setelah beriman. Jika iman sangat erat kaitannya dengan kesehatan
spiritual dan ritual, maka membantu sesama sebagai manifestasi kebaikan yang bersifat sosial.

d. mendirikan Shalat, dan menunaikan zakat; Dasar kebajikan ketiga adalah menegakkan Shalat
dan menunaikan zakat. Shalat dan zakat tidak terpisahkan. Dalam berbagai ayat bila ada
perintah Shalat selalu dirangkaikan dengan perintah zakat. Dalam kalimat sebelumnya

dikemukakan bahwa dasar kebajikan adalah memberikan sebagian harta untuk kepentingan
sosial seperti anak yatim, kerabat, ibn sabil, memerdekakan hamba dan miskin. Kemudian pada
ayat ini ditegaskan kewajiban berzakat. Tegasnya orang yang hanya memenuhi kewajiban
berzakat yang difardukan belum termasuk dermawan bila belum berinfak melebihi zakat.
Seorang mu'min, baru mencapai kebajikan yang sempurna bila telah mengeluarkan zakat yang
wajib, disertai infaq tambahan yang bersifat tathawwu'.

e. ‫ َو اْلُم وُفوَن ِبَع ْهِدِهْم ِإَذ ا َعاَهُدوا‬bukanlah menghadapkan wajahmu berjanji, Dasar kebajikan keempat
adalah memenuhi janji. Bila pada ayat sebelumnya dikemukakan prinsip Aqidah yaitu
keimanan, kemudian prinsip syariah yaitu Shalat dan zakat, serta prinsip muamalah yang
menjalin hubungan baik sesama manusia, maka ayat ini berkaitan dengan prinsip akhlak yaitu
memenuhi janji. Memenuhi janji juga merupakan prinsip utama yang tidak terpisahkan dengan
keimanan.

f. ‫ َو الَّص اِبِريَن ِفي اْلَبْأَس اِء َو الَّض َّراِء َوِح يَن اْلَب ْأِس‬dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Dasar kebajikan kelima adalah sabar menghadapi berbagai
bencana seperti pada penderitaan, kesempitan, kesusahan dan peperangan. Jika prinsip
kebajikan keempat akhlak yang hubungannya dengan sesama manusia, maka pada prinsip ini
akhlak yang ada hubungannya dengan diri sendiri yaitu sabar. Sabar pada dasarnya adalah
pengendalian diri tatkala menghadapi sesuatu yang kurang menyenangkan.

g. ‫ أولئك الذين َص َد ُقوا َو ُأولِئَك ُهُم اْلُم َّتُقوَن‬mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa. Pengunci ayat ini sebagai penegas bahwa orang yang
memenuhi dasar kebaikan; baik dalam kaitan keimanan seperti iman kepada yang enam, dalam
kaitan dengan sosial seperti menjalin hubungan baik pada sesama manusia dan membantu yang
butuh, berkaitan dengan ibadah seperti Shalat dan zakat, kaitan dengan akhlak sesama seperti
memenuhi janji, dan akhlak pada diri sendiri seperti sabar dalammengatasi berbagai musibah
termasuk kriteria mu’min yang benar dan bertakwa.

1. Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata "asbab" dan "nuzul". Secara etimologi
Asbabun Nuzul adalah Sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun
segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu bisa disebut Asbabun Nuzul, namun
dalam pemakaiannya, ungkapan Asbabun Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-
sebab yang melatar belakangi turunnya Alquran, seperti halnya asbab al-wurud yang secara
khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadist.

Dalam hal ini sebagian ulama menyatakan bahwa pengetahuan mengenai Asbabun nuzul itu
tidaklah penting, karena Asbabun nuzul termasuk pengetahuan sejarah Alquran, dan tidak
berhubungan dengan suatu penafsiran. Disisi lain ada pula ulama yang pro terhadap Asbabun
nuzul seba upakan kemestian bagi orang yang ingin mengetahui kandungan Alquran.

2. Balaghah

Alquran bukan kitab sastra dan bukan pula hasil dari karya yang direnungkan oleh
sastrawan, melainkan sebuah kitab suci yang bertujuan membimbing umat ke jalan yang benar
agar manusia hidup dengan selamat dari dunia sampai akhirat. Balaghah mempunyai implikasi
yang besar dalam proses menafsirkan Alquran. Dari itu, tidaklah berlebihan bila Ibn 'Asyur
menjadikannya sebagai salah satu persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh seorang
mufassir. Ibnu Khaldun juga sependapat dengan hal tersebut. Namun, ada beberapa ulama yang
tidak sepakat dengan kesimpulan itu, seperti Ibn Qashsh, dari kalangan ulama Shafi'iyah, Ibn
Khuwayaz Mandad dari Dawud al-Zahiri. Mereka yang menolak ini pada umumnya
berpendapat bahwa pemakaian kata-kata majaz (kiasan) dalam pembicaraan baru digunakan
dalam keadaan terpaksa. Kondisi semacam ini mustahil bagi Tuhan; bahwa dengan sedikit
berlebihan mereka berkata: "majaz adalah saudara bohong, dan Alquran suci dari kebohongan."
Pendapat serupa ini bisa membawa kepada kesimpulan bahwa untuk memahami dan
menafsirkan Alquran tidak diperlukan penguasaan “Ilmu Balaghah" khususnya "Ilmu Bayan".
Mayoritas ulama menolak pendapat ini karena tidak adanya dukungan oleh pengalaman empiris
dalam proses penafsiran tersebut. Bahkan al-Zarkashi dan Al- Suyuti menyatakan bahwa
pendapat itu adalah batal. Seandainya tidak ada majaz dalam Alquran demikian Al-Suyuti
niscahya gugurlah sebagian keindahannya sebab para sastrawan telah sepakat bahwa majaz jauh
lebih indah dan efektif (ablagh) dari makna yang sebenarnya hakiki dalam hal menafsirkan ayat-
ayat Alquran Ibn "Asyur menghindarkan diri dari tafsir dengan akal, dan model tafsir yang
mereka- reka makna Alquran yang juga sempat dilarang Abu Bakar. Di sini dia juga
memaparkan pendapat Al-Ghazali dan al-Qurthubi yang menyatakan, tidak benar bahwa semua
yang dikatakan para sahabat bersumber dari ungkapan Nabi.

Maka dari itu Ibn 'Asyur sangat berhati-hati terhadap hadis dan pendapat ulama mengenai
Asbabun nuzul seperti yang telah terjelas sebelumnya. Dalam pandangan Ibn 'Asyur yang
dimaksud dalam Hadits penafsiran yang dilarang itu adalah penafsiran yang hanya bersifat ide
(khatir) tanpa dilandasi oleh argumen bahasa Arab yang valid, ataupun hanya bersifat
kecenderungan mazhab saja. Selain itu, Ibn 'Asyur mengkritik pendapat yang mengatakan
bahwa tafsir hanya menggunakan nukilan-nukilan dari Rasul saja. Di sini Ibn 'Asyur
mempertanyakan yang diriwayatkan oleh siapa?, kalau nukilan itu hanya sebatas apa yang
pernah disinggung oleh Nabi saja, maka itu akan mempersempit makna dan sumber penafsiran
Alquran. Kalaupun yang masuk kategori nukilan itu juga mencakup para sahabat, tetap saja
bahan itu tidak terlalu memperkaya penafsiran. Sebab, kutipan tafsir dari para sahabat juga tidak
banyak.

3. Munasabah

Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba- yunasibu
munasabah yang berarti musyakalah (keserupaan), dan mugarabah. Lebih jelas mengenai
pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al-Burhan fi ulum al-Qur'an
bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran, dan yang
dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.

Sedangkan secara termonologi definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait
dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu
yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal
umum dan lafal-lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat
dan maʼlul, kemiripan ayat pertentangan (ta arud), Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum
Alquran menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah
segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain
atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddiq membatasi
pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja. Dalam pengertian istilah,
munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Alquran atau
dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia
hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan
ilmu ini dapat menyingkap rahasia Illahi, sekaligus sanggahannya, bagi mereka yang meragukan
Alquran sebagai wahyu.

Dalam kepemimpinan berdasarkan atas penafsiran QS. An-Nisa ayat 34 yang redaksinya
arrijalu qawwamu na 'ala an-nisai. Banyak pendapat atau bahkan penafsir yang mengartikan
lafaz Qawwamun sebagai pemimpin. Kepemimpinan tersebut menurut Muhamad Abduh yaitu
kepemimpinan untuk memimpin yang dipimpin sesuai dengan kehendak dan kemauan sang
pemimpin, namun yang dipimpin tidak serta merta menerima perlakuan pemimpin secara paksa
tanpa ada kemauan selain kehendak sang pemimpin." Quraisy Shihab, mengungkapkan bahwa
orang yang melaksanakan tugas atau apa yang diharapkan darinya disebut dengan qa 'im. Kalau
ia melaksanakan tugas tersebut dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-
ulang maka ia dinamai qawwam.

Terlepas dari perbedaan arti di atas, ayat ini tetap saja sering dijadikan legitimasi untuk menolak
perempuan menjadi pemimpin, di ruang domestik maupun publik. Sebab, pangkal
permasalahannya ternyata bukan terletak pada kata rijal. Tetapi qawwam yang sering diartikan
pemimpin. Didin Hafidhuddin dalam karyanya yang berjudul Tafsir al-Hijr, memberi arti
pemimpin dalam kasus ayat ini. Dalam uraian yang lebih luas, Tafsir Al-Misbah meletakkan arti
pemimpin dalam pengertian kebutuhan, perhatian, pemeliharaan pembelaan dan pembinaan,
mirip dengan yang dipersepsikan oleh Zaitunah dalam Tafsir Kebencian. Agar pemahaman
terhadap Qs. An-Nisa' ayat 34 ini tidak terjadi suatu pemahaman yang salah maka peneliti akan
menjelaskan arti kepemimpinan sendiri menurut mufassir dalam Qs. An-Nisa' ayat 34.

‫الرجال قومون على اإلمناء بما فضل هللا َبْع َض ُهْم َع َلى َبْع ٍض َوِبَم ا َأنَفُقوا ِم ْن َأْمَوِلِهم فاكملت قبلك بطلت الغيب بما فظ هللا والتي‬
٢٤ ‫تخافون لشوز هن فعظوهن واقع ُروُهَّن في المضاجع واالرُبوُهَّن فإن أطعنكم فال تَبُعوا َع َلْيِهَّن َس ِبياًل ِإَّن َهَّللا َك اَن َع‬

"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (Istri), karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang
taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri
nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan
untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah maha tinggi, Maha besar. (Q.S An- Nisa: 34).

Pernikahan dalam hubungan kesetaraan antara suami istri dalam rumah tangga. Mereka sama
memiliki kewajiban dan tanggung jawab. Mereka harus duduk sama rendah dan berdiri sama
tinggi. Mereka harus bermusyawarah dalam mengambil keputusan, walaupun keputusan
terakhir berada ditangan suami, jika tidak ditemukan kata sepakat, untuk menjalankan
kewajiban dan tanggungjawab tersebut harus diiringi dengan komunikasi untuk mencapai tujuan
bersama. Jika istri membangkang dan menempatkan dirinya di atas tempat suami, sikapnya
ketika itu dinamai nusyuz. Karena itu, perbedaan pendapat tidak secara otomatis menjadikan
seorang istri menyandang sifat tersebut. Dan semua hal itu bisa diselesai dengan menjalin
komunikasi yang baik.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasan Al-Basri berkata "seorang wanita mendatangi
Rasulullah SAW dan mengadukan kepada beliau bahwa suaminya telah menamparnya.
Beliaupun bersabda balaslah sebagai hasiatnya'. Lalu Allah menurunkan firmannya laki-laki
(suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)'. Maka wanita itu kembali ke rumah tanpa
mengqishash suaminya".

Di dalam ayat 34 surah An-Nisa ini akan disajikan sebab-sebab Allah melebihkan kaum laki-
laki. Pada ayat ini masih dalam kaitan larangan agar manusia tidak berangan-angan dan iri hati
atas kelebihan yang Allah berikan kepada siapa pun, laki-laki maupun perempuan. Ayat ini
membicarakan secara kongkrit fungsi dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan.

FirmanNya arrijalu qawwamuna 'ala an-nisai adalah asal pensyariatan secara menyeluruh yang
bercabang pada hukum-hukum di dalam ayat-ayat setelahnya, seperti keterangan terdahulu.
Selain berbicara mengenai kelebihan kaum laki-laki ayat 34 dan 35 membahas mengenai
permasalahan, yakni nusyuz dan syiqaq. Pada ayat 35 menjelaskan apabila 13/28 diajarkan pada
ayat sebelumnya tidak dapat meredakan sengketa yang d 29 sebuah rumah tangga maka
lakukanlah tuntunan yang diberikan oleh ayat ini,2 yakni wainkhiftum shiqaqa bainihima.
Abtaghu hakaman min ahlihi wa hakaman min ahliha "Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan" abtaghu hakaman min ahlihi wa hakaman min ahliha.
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan".

Anda mungkin juga menyukai