Anda di halaman 1dari 5

PENAFSIRAN AYAT TENTANG WANITA KARIR

(Dalam Perspektif Penafsiran Buya Hamka)

Guna Memenuhi Tugas Akhir

Mata Kuliah : Studi Tafsir di Indonesia

Dosen : Hasyim Muhammad, M.Ag.

Disusun oleh :

Mutamimatul Khasanah

(1604026032)

DEPARTEMEN ILMU AL-QUR’AN DAN HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia kerja saat ini, tidak hanya seorang laki-laki yang dicari untuk dijadikan pegawai
di salah satu perusahaan mereka. Perempuan pun, dibutuhkan dalam suatu dunia kerja,
meskipun tidak begitu banyak peran yang dibutuhkan dalam suatu perusahaan. SPG
misalnya, pekerjaan ini dibutuhkan untuk menarik minat orang-orang untuk mampir ke
swalayan mereka

B. Rumusan Masalah
Pengertian dan Karakteristik Wanita Karir
Dampak Wania Karir
Penjelasan dan Penafsiran Ayat Al-Qur’an Mengenai Wanita Karir
Islam tidak melarang wanita bekerja di dalam atau diluar rumahnya, secara mandiri
atau bersama-sama, dengan pihak swasta atau pemerintah, siang atau malam, selama
pekerjaan itu dilakukannya dalam suasana terhormat, dan selama mereka dapat
memelihara tuntunan agama, serta dapat menghindarkan dampak-dampak negatif ari
pekerjaan itu terhadap diri dan lingkungannya. Bekerja dapat menjadi wajib bagi
wanita, jika keadaan membutuhkannya, seperti seorang akan melahirkan dantidak ada
bidan yang membantunya kecuali dia, atau dia selaku pekerja membutuhkannya demi
memelihara kelangsungan hidupnya atau anak-anaknya.
Banyak wanita zaman Nabi yang bekerja, baik secara mandiri maupun guna
membantu suami yang tidak mampu memenuhi kewajibannya memberi nafkah
keluarga. pada zaman Nabi dan sahabat beliau, dikenal antara lain, Ummu Salim binti
Malham sebagai perias pengantin, Qilat Ummi Bani Ammar sebagai pedagang.
Zainab bin Jashy yang dikenal terlibat dalam pekerjaan menyamak kulit binatang,
asy-Syaffa’ yang mendapat tugas dari khaliah Umar bin khattab untuk menangani
pasar Madinah, dan masih banyak lagi yang lain. Khusus untuk wanita yang berstatus
istri, harus mendapat izin dari suaminya, seandainya tanpa izinnya, makakewajiban
suami untuk memberi nafkah kepadanya gugur.
Dari segi hukum, istri tidak berkewajiban sedikitpun untuk memenuhi kebuthuhan
sandang pangan keluarga, dan kebutuhan keluarga yang lain walaupun dia memiliki
kemampuan material. Akan tetapi, darisegi pandangan moral, dan esensikehiupan
rumah tangga, suami istri dituntun agar bekerja sama guna menciptakan keluarga
sakinah dan harmonis, yang antara lain lahir dari pemenuhan kebutuhan hidup. Suami
istri masing-masing dinamai oleh al-Qur’an “pakaian” : Mereka (istri-istri) adalah
pakaian untuk kamu (suami-suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka (Q.S al-
Baqarah/2 : 187)
Karena itu, kerja sama dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga-khusunya saat
suami sedang dalam kesulitan-merupakan tuntunan agama. Sekian banyak riwayat
yang menjelaskan bahwa istri para sahabat Nabi sering membantu suami mereka
dalam suatu pekerjaan berat. Tentu saja suami diharapkan pengertiannya serta “terima
kasihnya” atas budi baik sang istri itu. karena jika mengikuti pendapat ibnHazm, istri
berha menerima dari suami pakaian jadidan makanan yang sudah siap. (Quraish
Shihab)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai