Anda di halaman 1dari 3

Nama: Hatfina Rustamin

Kelas: IX.5

Suku Bauzi, Papua

Banyak sebutan dari sebutan suku Bauzi ini, diantaranya Baudi.


Diantaranya Baudi, Bauri, dan bauji. Menurut Summer Instituie of
Linguistics (SIL) amerika serikat, suku ini termasuk kedalam suku
terasing di Indonesia .Begitu pula versi Badan Pusat Statistik (BPS),
Bauzi dikategorikan sebagai salah satu dari 20 suku terasing di
Papua.
Suku ini hampir tidak pernah bersentuhan langsung dengan
kehidupan modern karena luasnya hutan belantara, lembah, rawa,
dan sungai-sungai besar yang membatasinya. Batas batas geografi
tersebut mengisolirnya dari pergaulan masyarakat pada umumnya.
Suku Bauzi memiliki anggota sekitar 1.500 jiwa. Menyebar di
bagian utara dan tengah wilayah mamberamo.
Menurut sejarah penyebarannya, suku Bauzi berasal dari
daerah Waropen Utara. Tapi dalam kurun waktu
yang lama menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi dan tenggara
Neao, dua daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Memberamo.
Panjang wilayah ini kurang lebih 80 kilometer. Suku Bauzi bisa
menyebar karena memiliki kemampuan berpindah menggunakan
perahu menyusuri sungai dan berjalan kaki.
Sebagai suku yang menempati kawasan terisolir, sebagian
lelaki Bauzi masih mengenakan cawat. Ini berupa selembaran daun
atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada
ujung alat kelamin. Mereka juga memasang hiasan berupa tulang
pada lubang hidung. Sedangkan para wanita mengenakan
selembaran daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di pinggang
untuk menutupi auratnya. Tapi tidak mengenakan penutup dada.
Pada acara pesta adat dan penyambut tamu, kaum lelaki dewasa
akan mengenakan hiasan di kepala dari bulu kasuari dan mengoles
tubuh dengan air sagu.
Sebagian besar suku ini masih hidup pad taraf meramu,
berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah). Karena itu, mereka
membuat sejumlah peralatan seperti panah, tombak, parang, pisau
belati, dan lain-lain untuk berburu.
Mereka berburu binatang hutan seperti babi, kasuari,kus-kus
dan burung. Buruan itu dimasak dengan cara dibakar atau bakar
batu. Selain itu, suku Bauzi juga menokok sagu sebagai makanan
pokok dan menanam umbi-umbian. Namun jarang mengkonsumsi
sayur-sayuran. Itulah sebabnya pada anak-anak balita, ibu hamil dan
ibu menyusui dari suku ini sering mengalami gejala kurang gizi dan
animea.
Hanya saja, mereka tidak mengenal cara bercocok tanam yang
baik. Dengan bantuan para misionaris, suku ini bisa sedikit
mengenal cara berkebun. Pada perkampungan kecil tempat
bermukim, mereka membangun rumah-rumah gubuk berdinding
kulit kayu dan beratap daun rumbia (daun sagu) atau kulit pohon.
Karena tergolong suku terasing, sebagian besar suku Bauzi belum
bisa berbahasa Melayu (Indonesia), termasuk tidak bisa baca tulis
dan berhitung. Mereka hanya berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa lokal.
Orang Bauzi umumnya masih menganut kepercayaan suku
dan adat istiadat (animisme).
Namun kini sekitar 65 persen telah memeluk Kristen sebagai
dampak perjumpaan dengan para misionaris dari Eropa, AS dan
Papua. Dalam kehidupan sosial mereka tidak menganut model
kepemimpinan koletif yang kuat sehingga bisa menjadi panutan bagi
anggota komunitas yang lain. Ketika terjadi konflik diantara mereka,
akan sulit diselesaikan. Para ahli bahasa (linguist) yang juga
misionaris dari SIL dengan dibantu penterjemah lokal telah
berusaha mempelajari bahasa dan dialek suku Bauzi selama
bertahun-tahun. Upaya ini berhasil dengan penerbitan berbagai
literature tentang suku ini, termasuk penerjemahan Alkitab versi
Perjanjian Baru kedalam bahasa Bauzi oleh Dave dan Joice Briley.
Dari catatan SIL, bahasa Bauzi memiliki sekitar 1350 kosakata yang
terbagi dalam tiga dialek utama, yakni dialek Gesda Dae, Neao dan
Aumenefa.
Sejak penemuan suku ini pada tahun 1980-an, mereka terus
terdidik oleh para misionaris asing dan lokal yang selain bekerja
menertawakan Injil Kristen, juga melakukan misi pelayanan sosial.
Hasil dari pekerjaan ini melahirkan pembangunan gereja yang
digunakan sebagai tempat ibadah, sekaligus menjadi tempat
pelayanan sosial bagi suku Bauzi. Pekerjaan penginjilan dan
pelayanan kepada suku ini juga dilakukan Yayasan Penginjilan dan
Pelayanan Masire (YPPM) sekitar awal 1990-an. Tugas itu kemudian
dilanjutkan oleh Yayasan Bethani selama beberapa tahun. Sejak
tahun 1995, Yayasan Amal Kasih juga bekerja secara khusus
menangani suku Bauzi di Kampung Fona hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai