Banyak sebutan dari sebutan suku Bauzi ini, diantaranya Baudi.
Diantaranya Baudi, Bauri, dan bauji. Menurut Summer Instituie of Linguistics (SIL) amerika serikat, suku ini termasuk kedalam suku terasing di Indonesia .Begitu pula versi Badan Pusat Statistik (BPS), Bauzi dikategorikan sebagai salah satu dari 20 suku terasing di Papua. Suku ini hampir tidak pernah bersentuhan langsung dengan kehidupan modern karena luasnya hutan belantara, lembah, rawa, dan sungai-sungai besar yang membatasinya. Batas batas geografi tersebut mengisolirnya dari pergaulan masyarakat pada umumnya. Suku Bauzi memiliki anggota sekitar 1.500 jiwa. Menyebar di bagian utara dan tengah wilayah mamberamo. Menurut sejarah penyebarannya, suku Bauzi berasal dari daerah Waropen Utara. Tapi dalam kurun waktu yang lama menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi dan tenggara Neao, dua daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Memberamo. Panjang wilayah ini kurang lebih 80 kilometer. Suku Bauzi bisa menyebar karena memiliki kemampuan berpindah menggunakan perahu menyusuri sungai dan berjalan kaki. Sebagai suku yang menempati kawasan terisolir, sebagian lelaki Bauzi masih mengenakan cawat. Ini berupa selembaran daun atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin. Mereka juga memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung. Sedangkan para wanita mengenakan selembaran daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di pinggang untuk menutupi auratnya. Tapi tidak mengenakan penutup dada. Pada acara pesta adat dan penyambut tamu, kaum lelaki dewasa akan mengenakan hiasan di kepala dari bulu kasuari dan mengoles tubuh dengan air sagu. Sebagian besar suku ini masih hidup pad taraf meramu, berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah). Karena itu, mereka membuat sejumlah peralatan seperti panah, tombak, parang, pisau belati, dan lain-lain untuk berburu. Mereka berburu binatang hutan seperti babi, kasuari,kus-kus dan burung. Buruan itu dimasak dengan cara dibakar atau bakar batu. Selain itu, suku Bauzi juga menokok sagu sebagai makanan pokok dan menanam umbi-umbian. Namun jarang mengkonsumsi sayur-sayuran. Itulah sebabnya pada anak-anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui dari suku ini sering mengalami gejala kurang gizi dan animea. Hanya saja, mereka tidak mengenal cara bercocok tanam yang baik. Dengan bantuan para misionaris, suku ini bisa sedikit mengenal cara berkebun. Pada perkampungan kecil tempat bermukim, mereka membangun rumah-rumah gubuk berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia (daun sagu) atau kulit pohon. Karena tergolong suku terasing, sebagian besar suku Bauzi belum bisa berbahasa Melayu (Indonesia), termasuk tidak bisa baca tulis dan berhitung. Mereka hanya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lokal. Orang Bauzi umumnya masih menganut kepercayaan suku dan adat istiadat (animisme). Namun kini sekitar 65 persen telah memeluk Kristen sebagai dampak perjumpaan dengan para misionaris dari Eropa, AS dan Papua. Dalam kehidupan sosial mereka tidak menganut model kepemimpinan koletif yang kuat sehingga bisa menjadi panutan bagi anggota komunitas yang lain. Ketika terjadi konflik diantara mereka, akan sulit diselesaikan. Para ahli bahasa (linguist) yang juga misionaris dari SIL dengan dibantu penterjemah lokal telah berusaha mempelajari bahasa dan dialek suku Bauzi selama bertahun-tahun. Upaya ini berhasil dengan penerbitan berbagai literature tentang suku ini, termasuk penerjemahan Alkitab versi Perjanjian Baru kedalam bahasa Bauzi oleh Dave dan Joice Briley. Dari catatan SIL, bahasa Bauzi memiliki sekitar 1350 kosakata yang terbagi dalam tiga dialek utama, yakni dialek Gesda Dae, Neao dan Aumenefa. Sejak penemuan suku ini pada tahun 1980-an, mereka terus terdidik oleh para misionaris asing dan lokal yang selain bekerja menertawakan Injil Kristen, juga melakukan misi pelayanan sosial. Hasil dari pekerjaan ini melahirkan pembangunan gereja yang digunakan sebagai tempat ibadah, sekaligus menjadi tempat pelayanan sosial bagi suku Bauzi. Pekerjaan penginjilan dan pelayanan kepada suku ini juga dilakukan Yayasan Penginjilan dan Pelayanan Masire (YPPM) sekitar awal 1990-an. Tugas itu kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Bethani selama beberapa tahun. Sejak tahun 1995, Yayasan Amal Kasih juga bekerja secara khusus menangani suku Bauzi di Kampung Fona hingga sekarang.