1. MUSEUM BALAPUTRADEWA
A. Pendahuluan
Museum Balaputradewa terletak di Km 6,5 tepatnya di Jl. Srijaya Negara I No. 288,
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Lokasi museum ini dibeli oleh Gubernur
Sumsel pada tahun 1976 untuk dijadikan museum. Museum Balaputradewa
dibangun pada tahun 1978 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 5 November
1984. Awalnya museum ini bernama Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan
namun setelah keputusan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
1223/1999 tanggal 4 April 1990 nama museum diganti menjadi Museum Negeri
Sumatera Selatan Balaputradewa.
Museum Balaputradewa memiliki sekitar 3580 buah koleksi yang terdiri dari
barang-barang tradisional Palembang, binatang awetan dari berbagai daerah di
Sumatera Selatan, beberapa miniature rumah pedalaman, replica prasasti dari arca
kuno yang pernah ditemukan di Bukit Siguntang, batu-batu ukir raksasa dari jaman
Megalitikum, dan masih banyak lagi.
Prasasti dari kerajaan Sriwijaya ada yang mencerikan raja yang membawa
pasukan wdan mendirikan kerajaan Sriwijaya. Ada pula yang menceritakan pelayan
dari yang tertinggi sampai terendah harus berbakti pada raja (Telaga Batu). Nama
prasasti dari kerajaan Sriwijaya biasanya memakan huruf palawa dan bahasa Melayu
Kuno.
Selain itu di ruang pamer 1 juga dipamerkan batu-batu raksasa dari jaman
Megalitikum, batu-batu megalit tersebut kebanyakan ditemukan di daerah daataran
tinggi Basemah (Pasemah) yaitu Bengkulu, Muaraenim, Lahat dan
Pagaralam. Batu-batu megalitikum tersebut membuktikan bahwa dahulu teknologi
masa lalu/peradaban nenek moyang kita sudah sangat maju dan berkembang tidak
kalah dengan bangsa lain sehingga kita sebagai generasi penerusnya harus bangga
dengan apa yang telah nenek moyang kita tinggalkan untuk kita maka dari itu kita
harus senantiasa merawat dan menghargainya.
Gambar 8. Fasilitas baru di Museum Balaputradewa.
Gambar 12. Arca Buddha ditemukan di Desa Tingkip, Musi Rawas, Sumsel.
Berdiri di atas asana berbentuk Padmasamaganda mengenakan jubah tipis polos,
serta memperlihatkan sikap tangan Witarkamudra yang melambangkan sang
Buddha sedang mengajar. Berdasarkan kehalusan seni dan gaya pahatan yang
ditampilkan arca ini mengikuti gaya seni Dwarawati tetapi produksi lokal jaman
Sriwijaya.
Gambar 13. Batu Gajah ditemukan di Desa Kotaraya, Pagaralam pada tahun
1930an.
Oleh Van den Hoop arkeolog asal Belanda pada tahun 1930an Batu Gajah
ini dibawah dari Pagaralam ke Palembang. Arca Batu Gajah tidak hanya bernilai
Profan, namun lebih cenderung kepada hal-hal yang bernilai sakral, keberadaan
arca ini menjadi bukti akan tingginya tingkat teknologi seni pahat yang dicapai
masyarakat pada masa Megalitikum. Selain itu Batu Gajah adalah salah satu benda
yang dianggap sebagai korban/bukti dari kutukan “Si Pahit Lidah”, Legenda Si
Pahit Lidah menceritakan seseorang yang dapat mengutuk orang lain menjadi batu.
Di bagian lain luar ruang pamer menampilkan jenis arca yang diperoleh dari
daerah Pagaralam sebanyak 8 buah yang berasal dari jaman pra sejarah sekitar 2000
tahun yang lalu. Terdapat sebuah arca berbentuk patung kepala Budha yang berasal
dari daerah Pagaralam, terdapat juga arca berbentuk lembuh yang dikeraskan dimana
hewan ini dianggap sebagai kendaraan Dewa Shiwa, kemudian terdapat sebuah
patung berupa wadah panjang yang digunakan untuk meletakkan tulang manusia
ataupun tulang-tulang penduduk setempat yang telah mati dimana menurut sumber
cara tersebut dilakukan oleh para penganut Animisme pada masa dahulu kalah,
selanjutnya terdapat patung gajah yang dinamakan Ganesha berupa gajah menutup
kedua telinganya dimana patung ini memiliki bobot 5 ton yang di dapatkan di daerah
Pagaralam dan terakhir terdapat sebuah patung anak muda yang sedang menaiki
seekor binatang. Adapun secara keseluruhan arca-arca Agama Budha yang terdapat
di Museum Balaputradewa adalah:
Di sudut lain dari ruang pamer 2 terdapat berbagai arca peninggalan dari
jaman Agama Hindu yang ditemukan di Bumi Ayu seperti arca Awalokiteswara, lalu
terdapat sebuah wadah guci yang mengisahkan bahwa manusia terdiri dari 4 unsur
yaitu api, air, udara dan tanah dimana pada masa lalu tubuh manusia yang sudah
meninggal dibakar dan abunya dimasukan ke dalam guci tersebut yang diberi nama
Bua Bua. Di sisi lain terdapat lukisan suasana Palembang pada masa Kerajaan
Sriwijaya saat berjaya di abad ke 7 Masehi sampai pertengahan abad 14 Masehi. Di
saat masa kehancuran Sriwijaya, kota Palembang menjadi tempat atau kota tak
bertuan maka datanglah 4 orang perompak dari Cina yang dipimpin oleh Lio
Tauming namun saat itu walaupun dengan kekuatan seadanya tetap dapat digempur
oleh Pangeran Ario Damar untuk mempertahankan kota Palembang dan akhirnya
berhasil. Ario Damar adalah seorang pangeran yang berasal dari
Majahpahit. Pangeran Ario Damar terkenal dengan nama Raden Patah. Raden
Patah ketika mengetahui ayahnya menjadi seorang raja di Majahpahit membuat ia
berniat kembali ke Majahpahit untuk memberitahukan kepada ayahnya tentang
keadaan di Sriwijaya namun menjadi sia-sia karena ayahnya telah meninggal dunia
terlebih dahulu kemudian Raden Patah bertemu dengan Wali Songo. Pada masa
pendudukan Belanda di Palembang, daerah yang dahulu dipertahankan oleh Raden
Patah dari serangan perompak Cina dibumi hanguskan oleh Belanda, daerah tersebut
dahulu di masa Kesultanan Palembang Darussalam dikenal dengan nama Kuto
Gawang dan sekarang menjadi Pabrik Pupuk Sriwijaya. Adapun peninggalan masa
Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam di Palembang adalah:
1. Manik-manik
2. Umpak batu
3. Arca tablet tanah liat
4. Kapak arca Awaloketiswara
5. Fregmen acra perunggu
6. Kaki arca
7. Dan lukisan abad 17 yang mengisahkan perang antara Kesultanan Palembang
Darussalam melawan Tentara Kolonial Belanda di depan Keraton Kuto Gawang
(sekarang Pabrik Pupuk Sriwijaya)
Arca ini aslinya terbuat dari batuan andesit, ditemukan di daerah Musi Ulu
Palembang. Arca digambarkan dalam posisi berdiri di atas asana tetapi sudah
hilang dan jari-jari kaki lurus ke depan. Mempunyai empat buah tangan, tiga di
antaranya telah patah, yang tersisa hanya tangan kiri belakang membawa sesuatu
yang tidak jelas. Menggunakan jubah, rambut ikal keriting, mata setengah tertutup,
hidung mancung, mulut seolah tersenyum dan lubang telinga pangan. Perhiasan
berupa upawita lebar yang berbentuk pita di atas bahunya. Ikat perut berbentuk
gasper juga berbentuk pita. Mahkota yang dikenakan diikat di kepala bagian
belakang dan pada mahkota tersebut terdapat arca Amithaba dalam posisi duduk di
atas padmasana. Pada bagian punggung arca ini terdapat prasasti pendek dengan
bahasa Sansekerta dan huruf jawa kuno, berbunyi: “accarya,, dan seterusnya”.
Arca ini diperkirakan berasal dari abad 9 Masehi.
Gambar 16. Diorama
Gambar 25. Rumah Limas khas Palembang jadikan gambar di mata uang 10 ribu
rupiah.
Pendopo utama berbentuk bangunan Limasan di tengah-tengah pulau Nangka. Pendopo ini menyimpan
replika Prasasti Kedukan Bukit.
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya atau sebelumnya dikenal dengan nama Situs
Karanganyar adalah taman purbakala bekas kawasan permukiman dan taman yang dikaitkan
dengan kerajaan Sriwijaya yang terletak tepi utara Sungai Musi di kota Palembang, Sumatra
Selatan. Di kawasan ini ditemukan jaringan kanal, parit dan kolam yang disusun rapi dan
teratur yang memastikan bahwa kawasan ini adalah buatan manusia, sehingga dipercaya
bahwa pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang terletak di situs ini. Di kawasan ini ditemukan
banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat
permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Lokasi Sunting
B. Lokasi
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya terletak di sebelah barat daya pusat kota Palembang (warna hijau). Situs ini
membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntangdan tepian Sungai Musi.
Situs Karanganyar terbagi atas tiga subsitus, yaitu subsitus Karanganyar 1, 2, dan 3.
Yang terbesar adalah subsitus Karanganyar 1 berupa sebuah kolam berdenah empat persegi
panjang membujur arah utara-selatan berukuran 623 x 325 meter. Di tengah kolam ini
terdapat dua pulau, yaitu Pulau Nangka dan Pulau Cempaka. Pulau Nangka berukuran 462 x
325 meter, sedangkan Pulau Cempaka berukuran 40 x 40 meter. Pulau Nangka dikelilingi
parit-parit berukuran 15 x 1190 meter. Subsitus Karanganyar 2 terletak di sebelah barat daya
kolam 1 dan merupakan kolam kecil, ditengahnya terdapat pulau kecil berdenah bujur
sangkar dengan ukuran 40 x 40 meter. Subsitus Karanganyar 3 berada di sebelah timur
subsitus Karanganyar 1 dengan denah bujur sangkar berukuran 60 x 60 meter.
Ketiga subsitus tersebut dihubungkan oleh parit yang berjumlah tujuh buah. Parit 1
merupakan parit terpanjang, yaitu 3 kilometer dengan lebar 25 sampai 30 meter. Parit ini oleh
penduduk setempat dinamai parit Suak Bujang. Sejajar dengan parit 1 terdapat parit 2 dengan
panjang 1,6 kilometer. Parit ini terletak di sebelah selatan subsitus Karanganyar 1 dan 3.
Ujung parit ini berasal dari subsitus Karanganyar 2, sedangkan ujung timurnya bernuara di
sungai Musi. Parit 1 dan 2 dihubungkan dengan parit 3 yang terletak di antara subsitus 1 dan
3. panjang parit 3 sekitar 700 meter membujur utara-selatan. Masih ada parit lain yang sejajar
dengan parit 3, yaitu parit 4 dan 5 yang terletak di sebelah barat subsitus 1. Ujung selatan
parit 4 dan 5 berakhir di parit 2. Dari parit 2 terdapat dua buah parit yang ujung selatannya
bermuara di sungai Musi, yaitu parit 6 dan 7.
C. Temuan purbakala Sunting
Di lokasi yang dipercaya sebagai sisa taman kerajaan masa Sriwijaya ini dijumpai
artefak yang menampakkan aktivitas keseharian masyarakatnya, seperti manik-manik,
struktur batu bata, damar, tali ijuk, keramik, dan sisa perahu. Temuan-temuan tersebut
diperoleh saat pembangunan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya maupun melalui kegiatan
penyelamatan temuan di sekitar kawasan ini. Rekonstruksi atas fragmen keramik yang
banyak ditemukan memperlihatkan adanya penggunaan, tempayan, guci, buli-buli, mangkuk,
dan piring. Sedangkan berdasarkan rekonstruksi dari sisa gerabah menunjukkan pemanfaatan
berbagai bentuk tungku atau anglo, kendi, periuk, tempayan, pasu, dan bahkan genteng.
Kumpulan temuan-temuan ini menunjukkan betapa padatnya aktivitas keseharian masyarakat
yang hidup di kawasan ini pada masa lalu.
Situs ini utamanya menampilkan struktur bangunan air berupa kolam, pulau buatan, dan
parit yang keberadaannya menjadi bukti kehadiran manusia yang menetap dalam jangka
waktu yang cukup lama. Diperkirakan penduduk yang dulu menghuni kawasan Karanganyar
menggali kanal atau parit seperti parit Suak Bujang, baik untuk saluran drainase tata air
penangkal banjir maupun sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan daerah-daerah
pedalaman di sekitar situs dengan sungai Musi.
Pada tahun 1985 dilakukan penggalian arkeologi dan berlanjut pada tahun 1989. Dari
penggalian ini ditemukan banyak temuan pecahan tembikar, keramik, manik-manik, dan dan
struktur bata. Berdasarkan hasil analisis keramik-keramik China yang ditemukan di kawasan
ini berasal dari dinasti Tang (abad VII-X M), song (abad X-XII M), Yuan (abad XIII-XIV
M), dan dinasti Qing (abad XVII-XIX M) yang umumnya terdiri dari tempayan, buli-buli,
pasu, mangkuk, dan piring. Sedangkan penggalian yang dilakukan di Pulau Cempaka berhasil
menampakkan kembali sisa bangunan berupa struktur bata pada kedalaman 30 cm dengan
orientasi timur-barat. Selain jejaring kanal, kolam dan struktur bata, di situs ini tidak
ditemukan bekas peninggalan bangunan candi atau bekas istana yang signifikan. Hal ini
berbeda dengan situs Muaro Jambi yang memiliki peninggalan berupa bangunan candi
berbahan bata merah. Para ahli arkeologi berpendapat bahwa sedikitnya temuan bangunan
karena lokasi situs ini. Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang berada di tepian sungai
dan hutan lebat di Sumatra. Karena tidak terdapat gunung berapi yang menyimpan batu,
bangunan peribadatan, istana, dan rumah-rumah penduduk dibuat dari kayu atau bahan bata.
Akibatnya, bangunan cepat rusak hanya dalam hitungan paling lama 200 tahun. Ditambah
lagi dengan tingginya tingkat kelembaban serta kemungkinan banjir rutin dari luapan sungai
Musi di dekatnya yang dengan mudah dapat merusak bangunan kayu dan bata.
Pembangunan taman purbakala Sunting
Berdasarkan interpretasi dan temuan dari foto udara tahun 1984 menunjukkan bahwa
situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta
pulau buatan yang disusun rapi. Dapat dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan
air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang,
serta parit dengan luas areal meliputi 20 hektare. Serangkaian kanal, pulau buatan, dan
bagian-bagian lainnya menampilkan situs Karanganyar sebagai karya arsitektur lansekap
yang berkaitan dengan bangunan air.
Oleh pemerintah Sumatra Selatan kawasan ini dipugar, kanal-kanalnya dirapikan untuk
dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang diresmikan oleh presiden Soeharto pada
tanggal 22 Desember 1994. Di dalam taman purbakala ini terdapat Museum Sriwijaya, yaitu
pusat informasi mengenai situs dan temuan Sriwijaya di Palembang. Pada bagian tengah situs
ini terdapat pendopo berarsitektur rumah limas khas Palembang yang ditengahnya disimpan
replika Prasasti Kedukan Bukit dalam kotak kaca. Prasasti ini menceritakan mengenai
perjalanan Siddhayatra Dapunta Hyang yang dianggap sebagai tonggak sejarah berdirinya
kemaharajaan Sriwijaya. Setelah lebih dari satu dasawarsa didirikan, fungsi Taman Purbakala
Kerajaan Sriwijaya sebagai Pusat Informasi Sriwijaya dan sebagai daya tarik wisata budaya
di Palembang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagian besar masyarakat
Palembang sekarang masih belum mengetahui keberadaan taman purbakala ini sebagai
peninggalan masa Sriwijaya, apalagi sebagai pusat informasi tentang Sriwijaya. Selama ini
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan
masyarakat. Sayang sekali kini kompleks taman purbakala ini terbengkalai dan