Anda di halaman 1dari 4

Cerpen “ MENGGAPAI CITA-CITA “

Cerita pendek berjudul “Menggapai Cita-Cita “ ini di susun untuk


melengkapi Tugas Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI Semester
1 Tahun Pelajaran 2016/2017 yang diampu Oleh Ibu T.S
Susetianingsih,S.Pd.,M.Pd.

Oleh :

Nama : Ahmad Taufik Dwi Saputra


Kelas : XI IPS 3
Nomor : 01/7760

SMA NEGERI 3 SRAGEN


TAHUN 2016
TUGAS

MEMBUAT CERPEN

MENGGAPAI CITA-CITA
Seperti biasa ayam jantannya Putra berkokok jam 4 pagi, tidak punya jam alarm, ayam jantan
pun jadi, Putra bangun menurut kokokan ayamnya.
Teng! Teng! Teng! suara pintu seng Putra, yang diketok Ibunya.
“Putra? Putra? Ada apa nak? Ibu dengar ada suara yang jatuh”
Putra, “gak apa ada bu, hehe” tersenyum sambil berdiri
“apa? Ngomong yang bener nak,” jelas Ibunya lagi.
“ups maksudnya tidak ada apa-apa bu,” jawab Putra yang menjelaskan.
Ibu “apa? Buah jambu? Mana–mana? Ibu suka buah jambu. Nanti Ibu bikini rujak.”
Putra pun meninggalkan Ibunya keluar rumah mengambil kayu bakar yang dikumpulkan
kemarin sore untuk dipakai memasak hari ini.

“Sialaaaan, masa sih? dalam rumah ada jambu, udah tua, budek lagi” dalam hati Putra yang
kecewa memiliki Ibu yang budek, tapi Putra selalu berdoa kepada Tuhan, walaupun Ibunya
sudah tua tapi ia selalu mendoakan semoga Ibunya selalu selamat dalam lindungan Tuhan dan
diberikan umur yang panjang untuk selalu menemani Putra.

Putra adalah anak yang miskin tinggal di bawah lereng bukit yang berbatuan, walaupun itu
sangat berbahaya, tetapi apalah, itu tempat tinggal Putra satu satunya. Putra sebenarnya adalah
anak yang sangat cerdas dalam bidang apapun, Putra juga memiliki semangat yang sangat luar
biasa untuk menjadi anak yang sukses, dan bisa membuat keluarganya bahagia. Hanya Putralah
harapan bagi keluarganya untuk merubah nasib.

Putra lulusan anak SMP, sewaktu ia masih duduk di SMP, ia selalu mendapat juara umum dan
termasuk murid yang berprestasi di provinsi. Tetapi karena faktor ekonomi yang tidak
mendukung, akhirnya Putra tidak melanjutkan sekolah lagi. Dan kini Putra menjadi anak petani
yang meniru jejak Ayahnya. Kini umur Putra adalah 16 tahun.

Walaupun dia hidup 1 keluarga di rumah itu dan tidak ada tetangga, tetapi Putra tidak pernah
merasa kesepian. Karena Putra anak yang pintar pastinya memiliki banyak cara untuk menghibur
dirinya, yaitu antara lain, bermain seruling di pinggir sungai sambil memancing dan
menggembala sapinya. Putra pulang sore hari dengan membawa ikan pancingannya di sungai
dan membawa kayu bakar untuk besok.

Putra pulang ke rumah biasanya tampak kelihatan ceria, tetapi kali ini Ayahnya melihat ada
sesuatu yang disembunyikan oleh Putra.
“Putra anakku? Kemarilah!” suruh Ayahnya.
“Ada apa yah?” Jawab Putra lemas.
“kemari mendekatlah nak. Ayah dan Ibu mau berbicara denganmu nak..” sahut Ibunya
menjelaskan. Putra pun mendekati kedua orangtuanya dengan langkah yang amat lesu.
“ada apa denganmu hari ini nak?” Tanya Ayahnya.
“tidak ada apa yah, aku hanya kecapean aja yah, jadi aku butuh istirahat.”
“tapi Ibu lihat kamu tampak lesu yang tak mempunyai semangat. Ingat tra? Hanya kamu anak
Ibu satu-satunya, jika ada masalah sampaikan kepada Ibu atau Ayah nak, jangan seperti ini.”

Putra mengerti perkataan Ibunya yang khawatir dengan tindakan dirinya itu. Putra sendiri tidak
mengerti kenapa dia berbeda seperti hari sebelumnya. Dan secara kebetulan pendengaran Ibunya
baik.
“nak?” Panggil Ayahnya lagi.
“iii, ii, iyaa yah. A-ak.. akuu memikirkan sesuatu yah”
“apa itu nak? Katakan pada Ayah”
“aku ingin sekolah yah,” dengan berat hati dia menjawab pertanyaan Ayahnya dengan sejujurnya
dan tidak disengaja mengeluarkan perkataan seperti itu.

Ibu Putra langsung menangis dan memeluk Putra. Sebenarnya Ibunya tidak setuju kalau Putra
bersekolah. Karena tidak mempunyai biaya sekolahnya. Dan Ayahnya pun langsung bengong
dengan keinginan anaknya yang begitu bersemangat untuk sekolah.
“maafkan Ayah nak? Bukan Ayah tidak memberimu sekolah, tetapi pandanglah Ayah dan Ibu
nak? Setiap hari banting tulang mencari kerja, hanya untuk makan. Dan itu pun belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan harian kita. Tolonglah nak? Mengerti dengan keadaan.” jawab
Ayahnya dengan meneteskan air mata karena tidak mampu mendorong anaknya untuk maju.

“Mana tanggung jawab Ayah menjadi kepala keluarga? Aku bosan jadi anak bukit yah? Aku
ingin jadi anak sekolahan seperti dulu yah?” jawab Putra dengan lancang dan sambil menangis
menuntut Ayahnya sebagai kepala keluarga.
“jika kamu ingin bersekolah silakan nak? Jual semua sapi, babi, ayam, dan burung Ayah, jika itu
akan mendukungmu untuk sekolah, Ayah tidak punya uang sedikit pun untuk membekalimu nak.

Keesokan harinya. Putra seperti biasa bangun lebih pagi, dan mempersiapkan alat-alat yang akan
dibawa ke tempat umum. Namun Putra tidak memiliki rasa kasihan kepada kedua orangtuanya
yang sudah bekerja keras, dan kini hasilnya ia bawa semua demi bisa sekolah.

Matahari pun mulai terbit. Ayah dan Ibu Putra telah menyiapkan saran pagi, dan sebelum Putra
berangkat mereka sekeluarga makan bareng dan saling tersenyum bahagaia walaupun semua
miliknya akan habis terjual demi anaknya. Selesai sarapan Ayah dan Ibu mengantarkan Putra ke
luar daerah bukit itu yang jauh dari tempat umum.
“tra? 1 pesan Ibu padamu, jangan kau jadikan uang foya-foya dari hasil penjualanmu nanti,”
“iya bu saya janji” sahut Putra.

Sesampai di pasar. Sapi dan yang lainnya laku terjual. Dan kini uangnya seperempat diberikan
untuk Ibu dan Ayahnya untuk membeli makanan. Namun kedua orangtuanya menolak itu dan
diberikan sepenuhnya kepada anaknya agar tidak kekurangan uang di perjalanan nanti. Mereka
bertiga berpelukan sambil bersedih akan berpisah.
“yah? Jaga Ibu baik-baik! aku akan kembali setelah aku sudah menjadi orang sukses,”
“jangan nak! jika kamu sudah gagal, kembalilah ke rumah, Ayah tak kan marah padamu. Pintu
rumah selalu terbuka untukmu”.
Mereka pun berpisah, dan Putra menaiki bus untuk menuju ke kota. Di perjalanan Putra berpikir,
dengan uang sedikit itu, tidak akan mampu mencukupi kehidupannya di kota. Putra meneteskan
air mata dan mengingat Ayah dan Ibunya di rumah yang tak bisa berpisah. Putra menyesal telah
menjual semua punya orangtuanya. Dia merenung sambil menangis dengan perpisahan ini. Ayah
dan Ibunya pun merasakan hal yang sama seperti Putra. Biasanya setiap hari mendengar alunan
seruling yang dimainkan oleh Putra. Dan kini sepi dan sunyi di dalam rumah itu, Ayah dan Ibu
Putra berdoa agar Putra berada dalam lindungan tuhan.

Belum sampai di kota Putra berhenti di tengah perjalanan, dan menyetop bus untuk kembali
pulang. Dia sadar bahwa dirinya tak akan mampu sendiri di tengah kota. Sampai di desanya ia
segera kembali ke rumah. Sampai di rumah Putra melihat kedua orangtuanya bersedih karena
berpisah dengan anak kesayangannya.
“Bu? Yah? aku kembali..” suara dari pintu, Ayah dan Ibu Putra pun menoleh ke arah pintu itu,
dan dilihatnya Putra yang berdiri dengan raut wajah yang bersedih dan air matanya yang
berlinang. Mereka pun kembali berpelukan.
“Ayah? Ibu? Aku kembali karena aku tak akan sanggup menanggung hidup sendirian di tengah
kota. Aku mau menjadi pengusaha di sini saja yah? Bu? aku ingin selalu di dekat Ayah dan Ibu”
kata Putra.

Putra mulai membangun pondok dekat sungai yang di kelilingi pohon yang sejuk dan hijau.
Selesai membuat pondok itu, Putra meniup serulingnya yang sangat merdu dan ditemani suara
air yang mengalir. Kemudian selanjutnya Putra dan Ayahnya membuat kandang yang sangat
besar karena akan melakukan jual beli sapi.

Satu minggu. Kandang sudah penuh dengan sapi, Putra pergi ke pasar untuk menawarkan sapi
yang gemuk dan bersih. Semakin hari semakin banyak yang membeli sapi dan ayam di rumah
Putra, kemudian salah satu saudagar sapi ke rumah Putra untuk melihat suasana di perbukitan,
ternyata saudagar itu memiliki kesan yang sangat bagus di daerah itu dan mencari suara seruling
yang merdu, dan itu adalah Putra. Saudagar itu tertarik dengan pemandangan dan suasana daerah
itu, sehingga dia memberikan sumbangan kepada Putra untuk mendirikan sebuah kost kecil.

Bukan hanya ternak saja yang dijual oleh keluarga Putra, tetapi juga menjual berbagai tanaman
obat, makanan, atau tanaman hias lainnya. Dengan penghasilan yang sedikit demi sedikit. Putra
mampu mendirikan sebuah hotel di tepi sungai dan dikerumbuni banyak pepohonan. Setelah
hotel itu jadi banyak turis yang berdatangan ke sana, karena sejuk dan tenang.

Semua turis meraskan kenyamanan di sana, dan Putra kembali membangun rumah makan dan
memperbanyak ruangan tidur untuk para turis, dan pada akhirnya mereka sekeluarga menjadi
pengusaha yang sangat kaya. Kini nama Putra sudah tersebar ke seluruh desa dan wilayah.

Jadikan kelemahan sebuah kunci utama meraih kesuksesan dan menggapai semua impian atau
cita-cita yang diinginkan. Belajar adalah awal meraih impian, dan impian adalah sebuah
keyakinan diri sendiri untuk bisa maju dengan sempurna.

Anda mungkin juga menyukai