File PDF
File PDF
Disusun oleh:
SAPTO HARYATMO
1106043223
UNIVERSITAS INDONESIA
Disusun oleh:
SAPTO HARYATMO
1106043223
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan karunia-Nya, saya dapat
menyelesaikan praktik dan membuat laporan Program Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah. Laporan residensi yang berupa Karya Ilmiah Akhir ini ditulis
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis
Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Ilmu
Keperawatan Univesitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, tidak mungkin bagi saya menyelesaikan laporan
ini. Oleh karena itu, saya mengucapakan terimakasih kepada:
1. Bapak Agung Waluyo, S.Kp., MN, Ph.D., selaku Supervisor Utama yang
telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran dan
arahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan praktik dan penyusunan Karya
Ilmiah Akhir ini
2. Bapak Masfuri, S.Kp., MN., selaku Supervisor yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran dan arahan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan praktik dan penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini
3. Ibu Ns. Umi Aisyiyah, M.Kep.,Sp.Kep.MB, selaku pembimbing klinik dan
penguji yang telah memberikan banyak bimbingan selama menjalani praktik
keperawatan spesialis ini
4. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
5. Ibu Henny Permatasari, M.Kep., Sp.Kep.Kom., selaku Ketua Program Studi
Magister dan Spesialis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati yang telah memberikan
kesempatan dan memfasilitasi penulis dalam melakukan praktik
7. Kepala Instalasi Rawat Inap, perawat dan staf Gedung Prof Dr. Soelarto
RSUP Fatmawati yang telah memberikan kesempatan, inspirasi, dan bantuan
selama praktik
8. Istri dan anak tercinta Tuti Lestari dan Laiswaraia Nirwasita serta seluruh
keluarga besar yang menjadi sumber dukungan dan semangat
Semoga Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan
dan pelayanan keperawatan.
Penulis
Karya Ilmiah Akhir ini merupakan laporan akhir setelah praktik residensi
peminatan Keperawatan Medikal Bedah. Laporan akan menguraikan satu kasus
utama dari pengelolaan terhadap 31 kasus yang dikelola, Evidence Based Nursing
Practice (EBNP) dan Inovasi. Perubahan signifikan didapatkan pada hasil
penerapan asuhan keperawatan menggunakan model adaptasi Roy, pasien mampu
beradaptasi lebih baik terhadap masalah yang dihadapi tanpa tergantung pada
keberadaan stimulus sebagai pencetus masalah. EBNP yang akan dilaporkan
adalah penggunaan teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri dan kecemasan post
operasi gangguan muskuloskeletal, dengan hasil tindakan ini efektif untuk
menurunkan nyeri tetapi tidak menunjukkan penurunan besar untuk kecemasan.
Kegiatan inovasi yang dikerjakan yaitu program discharge planning untuk pasien
perioperatif muskuloskeletal memberikan hasil yang baik dalam menurunkan
kecemasan dan kepatuhan terhadap prosedur yang dijalankan.
ix Universitas Indonesia
x Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ............................. vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan ....................................................................................................... 5
1.2.1. Tujuan Umum ................................................................................... 5
1.2.2. Tujuan Khusus .................................................................................. 5
1.3. Manfaat Penulisan .................................................................................... 5
1.3.1. Bagi pelayanan Keperawatan ............................................................ 5
1.3.2. Bagi perkembangan Ilmu Keperawatan ............................................ 5
1.3.3. Bagi Pendidikan Keperawatan .......................................................... 6
BAB 2 STUDI PUSTAKA ..................................................................................... 7
2.1. Konsep fraktur .......................................................................................... 7
2.1.1. Definisi .............................................................................................. 7
2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko Fraktur ................................................... 7
2.1.3. Manifestasi Klinis ............................................................................. 8
2.1.4. Klasifikasi Fraktur........................................................................... 10
2.1.5. Penatalaksanaan Fraktur.................................................................. 11
2.1.6. Penyembuhan Tulang ...................................................................... 12
2.1.7. Komplikasi Fraktur ......................................................................... 13
2.1.8. Fraktur Pinggul ............................................................................... 15
2.1.9. Arthroplasty .................................................................................... 16
2.2. Model Adaptasi Roy ............................................................................... 16
2.2.1. Asumsi Dasar .................................................................................. 16
2.2.2. Manusia Sebagai Sistem Adaptif .................................................... 17
2.2.3. Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy ....................... 18
BAB 3 PROSES RESIDENSI .............................................................................. 21
3.1. Laporan dan Analisis Kasus ................................................................... 21
3.1.1. Data Demografik ............................................................................. 21
xi Universitas Indonesia
Kasus utama yang dijadikan subjek penerapan model adaptasi ini adalah pasien
dengan fraktur patologis collum femur bilateral dan kasus kelolaan yang lain
sebagian besar adalah pasien fraktur. Kejadian fraktur pinggul di dunia cukup
besar karena itu patut menjadi perhatian. Menurut perkiraan, lebih dari 6 juta
orang mengalami fraktur pinggul per tahun. Data US Agency for Healthcare
Research and Quality menunjukkan di US selama 2003 sebanyak 310.000 orang
atau sekitar 30% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit. mengalami
hospitalisasi karena fraktur pinggul (Foster, 2014). Dengan meningkatnya usia
1 Universitas Indonesia
harapan hidup dan banyaknya jumlah usia lanjut jumlah tersebut diperkirakan
akan meningkat mencapai antara 7.3 – 21.5 juta kasus pada tahun 2050. Dengan
pertumbuhan jumlah usia lanjut yang besar diperkirakan 45 – 70% kasus fraktur
pinggul akan terjadi di asia pada tahun tersebut (Soveid, Serati, & Masoompoor,
2005).
Kasus fraktur pinggul yang ditemui selama proses residensi tidak banyak, akan
tetapi dinilai memerlukan penerapan model adaptasi. Alasan ini tidak lepas dari
pentingnya kesadaran untuk melakukan latihan rentang gerak, mobilisasi, aktivitas
sehari-hari dan bekerja dengan aman untuk mengembalikan fungsi fisik maupun
psikologis hampir sepenuhnya merupakan tanggung jawab klien. Dengan sifat
fraktur yang patologis diasumsikan pasien akan selalu berisiko terhadap fraktur
dan penyembuhan yang tertunda. Pasien harus mampu beradaptasi dengan nyeri,
keterbatasan gerak, pengurangan aktivitas dan berbagai keterbatasan lain terkait
kondisi ataupun penatalaksanaan. Pemahaman dan perubahan perilaku yang
mendukung diyakini akan mempercepat penyembuhan, rehabilitasi dan
mengurangi risiko di masa depan.
Pasien fraktur pada umumnya memiliki respon yang beragam terhadap sakitnya
baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini dapat merupakan akibat dari putus
atau terganggunya kontinuitas dari jaringan atau struktur tulang, baik sebagian
maupun total. Terganggunya kontinuitas jaringan tersebut muncul akibat beban
mekanik berlebihan yang memberikan tekanan melebihi kemampuan tulang
menyerapnya ataupun patologis karena proses penyakit dan biasanya berefek pada
kebutuhan mobilisasi dan sensasi baik akibat adanya kerusakan tulang tersebut
atau kerusakan jaringan otot, kulit maupun pembuluh darah yang menyertainya
atau sikap yang muncul sebagai respon terhadap kondisi tersebut (Black &
Hawks, 2009; Ignatavicius & Workman, 2010; Lewis, Dirksen, Heitkemper,
Bucher, & Camera, 2011; Maher, Salmond, & Pellino, 2002; Smeltzer, Bare,
Hinkle, & Cheever, 2010). Pasien dengan kasus fraktur yang sama dapat
menunjukkan perilaku yang berbeda dalam kaitannya dengan perawatan yang
dijalani. Dapat ditemukan pasien yang kurang kooperatif dibandingkan pasien
Universitas Indonesia
lain, atau pasien yang nampak lebih cemas dibanding pasien lain sebagai
manifestasi non fisik.
Asuhan perioperatif baik persiapan operasi maupun aktivitas dan latihan setelah
operasi menjadi hal yang penting karena pasien yang dirawat inap di RSUP
Fatmawati merupakan pasien yang membutuhkan tindakan pembedahan baik cito
maupun elektif. Tindakan pembedahan yang berupa reduksi dan fiksasi tersebut
dilakukan untuk mengembalikan fragmen fraktur ke posisi anatomisnya dan
imobilisasi agar fungsi tulang dapat pulih seperti semula (Smeltzer et al., 2010).
Alat fiksasi yang digunakan untuk mempertahankan fragmen setelah direduksi
dapat merupakan fiksasi internal yaitu pins, plates, intramedullary rods atau
screws maupun fiksasi eksternal di mana pins yang dipasang tersambung ke
batang di luar tubuh untuk stabilisasi (Black & Hawks, 2009; Lewis et al., 2011;
Smeltzer et al., 2010).
Universitas Indonesia
Pemahaman pasien terhadap nyeri akan dapat menurunkan tingkat kecemasan dan
meningkatkan kerjasamanya dalam proses rehabilitasi post operasi. Pasien yang
mampu mengatasi rasa nyeri yang muncul atau memiliki kemampuan untuk
mengabaikan nyeri yang muncul akan meningkatkan ambang nyerinya sehingga
tindakan-tindakan rehabilitasi yang memicu munculnya nyeri tetap dapat
dilaksanakan sesuai jadwal. Sebagai salah satu hasilnya adalah berkurangnya lama
rawat inap atau setidaknya pasien menjalani rawat inap sesuai seharusnya tanpa
mengalami komplikasi dan keterlambatan pemulihan. Beberapa tindakan yang
telah dibuktikan dapat menurunkan nyeri dan kecemasan pasca operasi orthopedi
adalah edukasi, relaksasi, massage, dan penggunaan kompres baik panas maupun
dingin (Büyükyılmaz & Aştı, 2013; Sjöling, Nordahl, Olofsson, & Asplund, 2003;
Wong, Chan, & Chair, 2010a, 2010b). Prosedur relaksasi mudah dijelaskan serta
ekonomis dan pasien dapat melakukannya dengan peralatan yang minimal. Hal ini
menjadi dasar dari dilakukannya praktik keperawatan berbasis bukti.
Universitas Indonesia
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Menjelaskan pelaksanaan peran perawat dan kegiatan residensi program spesialis
keperawatan medikal bedah kekhususan sistem muskuloskeletal di Gedung Prof.
Dr. Soelarto lantai 1 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bab ini akan menguraikan konsep fraktur, fraktur collum femur dan model
adaptasi Roy. Konsep fraktur akan meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis,
klasifikasi, penatalaksanaan fraktur, tahapan penyembuhan tulang dan komplikasi
fraktur.
Kejadian fraktur tidak terlepas dari berbagai faktor risiko internal atau eksternal.
Faktor yang menimbulkan risiko fraktur adalah adanya gangguan integritas dan
penurun kekuatan tulang. Akibat gangguan pembentukan tulang, menopause
(pada wanita) atau neoplasma. Selain itu, aktivitas atau jenis pekerjaan ikut
mempengaruhi risiko untuk terjadi fraktur (Black & Hawks, 2009; Koval &
Zuckerman, 2006; Smeltzer et al., 2010).
7 Universitas Indonesia
Nyeri. Nyeri selalu muncul pada kasus fraktur. Nyeri yang ada bersifat terus
menerus dan meningkat sampai fragmen diimobilisasi. Spasme otot yang terjadi
mengikuti fraktur dapat membantu imobilisasi fragmen sehingga pergeseran
berkurang akan tetapi dapat juga menyebabkan peningkatan nyeri dan
malalignment. Manifestasi nyeri ini biasanya hanya dapat dikaji dengan pasti pada
pasien dengan status neurologis baik. Dengan begitu, nyeri ini merupakan
manifestasi yang selaluada tetapi belum tentu dapat diukur.
Universitas Indonesia
muncul dan pemendekan yang muncul akibat spasme otot juga merupakan
penyebab munculnya deformitas.
Pemendekan. Selain nyeri dan deformitas, spasme otot juga dapat menimbulkan
pemendekan pada fraktur tulang panjang. Pemendekan tulang yang fraktur
muncul sebagai akibat dari lepasnya fragmen tulang atau overlaping karena
spasme otot. Masuknya fragmen tulang ke dalam fragmen yang lain juga dapat
menimbulkan pemendekan.
Krepitasi dan gerakan tidak normal. Gesekan antar fragmen tulang dapat
diperiksa dengan perabaan. Pasien juga seringkali merasakan sensasi atau suara
bergesekan serta gerakan tulang yang tidak normal akibat adanya kehilangan
kemampuan tulang mempertahankan posisi.
Edema dan Ekimosis. Edema dapat muncul akibat adanya perdarahan dan
akumulai serosa pada jaringan sekitar fraktur. Perdarahan yang muncul pada
jaringan subkutan akan menimbulkan memar. Ekimosis seringkali muncul pada
bagian distal dan segera setelah cedera.
Pergeseran atau perubahan posisi baik sebagai akibat fraktur maupun proses
pertolongan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Gerakan yang tidak
perlu dapat menimbulkan kerusakan lebih parah pada jaringan tulang maupun
jaringan lunak sekitarnya. Spasme otot merupakan respon alami yang akan
menahan fragmen tulang sehingga pergerakannya minimal. Akan tetapi, spasme
otot yang berlebihan memiliki risiko yang sama besar untuk menimbulkan
kerusakan yang lebih parah dan rasa nyeri (Black & Hawks, 2009; Lewis et al.,
2011).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3) Grade III luka dengan ukuran besar dan kerusakan luas pada jaringan lunak,
saraf dan tendon serta terjadi kontaminasi (Black & Hawks, 2009; Ignatavicius &
Workman, 2010; Lewis et al., 2011; Smeltzer et al., 2010; Whiteing, 2008).
Berdasarkan tipe patahan, fraktur dibagi menjadi dua yaitu: 1) Fraktur komplit,
yaitu tulang terbagi menjadi dua fragmen atau lebih; 2) Fraktur inkomplit, yaitu
tidak sepenuhnya terputus dan periosteum tulang masih menyambung
(Ignatavicius & Workman, 2010; Solomon et al., 2010). Pembagian lain
berdasarkan tipe, kompleksitas dan lokasi patahan adalah: 1) Transversal, fraktur
yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau
langsung; 2) spiral dan oblik, arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi/terpuntir; 3) impaksi, fraktur komplit dimana salah satu
fragmen fraktur terdorong ke dalam fragmen yang lain; 4) kominutif, fraktur
multifragmen dimana tulang mengalami fraktur menjadi dua atau lebih fragmen
yang biasanya terjadi akibat trauma langsung; 5) greenstick dan torus, fraktur
inkomplit yang biasa terjadi pada anak-anak dimana fraktur hanya terjadi pada
salah satu sisi tulang sementara sisi yang lain tetap intak; 6) avulsi, fraktur akibat
tarikan/kontraksi otot tiba-tiba pada insersinya atau peregangan berlebihan
sehingga memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon ataupun
ligamen; 7) kompresi, fraktur yang terjadi akibat tekanan yang searah dengan
sumbu normal tulang (Black & Hawks, 2009; Whiteing, 2008).
Universitas Indonesia
Fase destruksi dan hematom. Pembuluh darah yang robek akan mengalami
perdarahan dan membentuk hematom dan membeku pada kedua ujung patahan.
Universitas Indonesia
Fase pembentukan kalus. Matriks tulang yang baru dan mineral (kalsium, fosfor
dan magnesium) tertimbun di dalam osteoid dan membentuk kalus. Tulang yang
imatur menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang dalam
4 minggu.
Fase ossifikasi. Dalam 3 - 6 minggu kalus mulai berubah menjadi tulang dan
menyatukan kedua ujung patahan tulang. Proses ini berjalan lambat dan bisa
memakan waktu 3 sampai 6 bulan setelah cedera.
Fase remodelling. Fase ini adalah fase terakhir penyembuhan tulang. Pada fase
ini kelebihan jaringan tulang yang dibentuk mulai diabsorpsi dan fragmen tulang
benar-benar menyatu. Pembebanan tulang dapat dilakukan secara bertahap.
Universitas Indonesia
Komplikasi dapat berupa komplikasi akut atau kronik (Black & Hawks, 2009;
Ignatavicius & Workman, 2010).
Komplikasi akut fraktur dapat berupa akibat dari proses trauma yaitu: 1) Cedera
saraf, fragmen tulang dan edema jaringan dapat menimbulkan cedera saraf
dengan manifestasi dapat berupa gangguan kemampuan menggerakkan jari atau
ekstremitas, paresthesia atau peningkatan nyeri; 2) Emboli lemak, pasien dengan
multiple fracture terutama pada tulang panjang kadang mengalami emboli lemak
yang diduga menyebar dari sumsum tulang ke vaskuler saat terjadi trauma dan
berisiko menyumbat vaskularisasi paru, ginjal, otak dan organ lain; 3) Infeksi,
dapat muncul akibat kontaminasi pada fraktur terbuka atau akibat luka
pembedahan; 4) Syok hemoragik, kebanyakan syok hemoragik adalah pada pasien
fraktur pelvis atau fraktur femur terbuka yang disertai kerusakan arteri femoralis
(Ignatavicius & Workman, 2010; Lewis et al., 2011; Smeltzer et al., 2010).
Selain akibat trauma pada jaringan, komplikasi juga dapat terjadi akibat gangguan
pada vaskularisasi baik karena respon fisiologis, penanganan yang kurang tepat
atau imobilisasi. Masalah yang mungkin timbul adalah: 1) Compartment syndrom,
akibat edema pada otot ekstremitas dibatasi fascia yang inelastis atau pemasangan
cast yang terlalu ketat sehingga ruang menjadi sempit dan membuat tekanan
meningkat, menekan pembuluh kapiler dan menimbulkan ischemia jaringan yang
semakin berat oleh edema sekunder akibat pelepasan histamin oleh otot yang
mengalami ischemia. Akibat yang dapat terjadi apabila tidak diatasi adalah
kehilangan fungsi otot dan saraf, infeksi, myoglobinuria, gagal ginjal, dan
amputasi; 2) Volkmann’s contracture, timbul akibat compartment syndrom yang
tidak diatasi dan menimbulkan destruksi otot sehingga kehilangan myoglobulin
dan digantikan oleh jaringan fibrosa yang menyebabkan tendon dan jaringan saraf
terjepit; 3) Deep Vein Thrombosis, selain cedera pembuluh darah, imobilisasi dan
bed rest lama meningkatkan risiko terjadi deep vein thrombosis karena ada stasis
darah dalam vena dan peningkatan koagulasi (Black & Hawks, 2009; Ignatavicius
& Workman, 2010; Smeltzer et al., 2010).
Universitas Indonesia
sehingga jaringan tulang mati. Akibat proses ini dapat berupa delayed union, mal-
union atau non-union. Delayed union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi
untuk menyambung secara fisiologis sesuai dengan waktu normal. Non-union
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan menyambung dengan lengkap,
kuat, dan stabil setelah 4-6 bulan. Sedikit berbeda, mal-union terjadi ketika
fragmen sembuh dalam alignment yang salah baik akibat tidak ditangani dengan
benar atau karena pembebanan sebelum tulang benar-benar menyatu. Kekakuan
sendi atau joint stiffness/traumatic arthritis dapat terjadi apabila tidak dilakukan
latihan gerak sendi selama pembatasan gerak akibat imobilisasi fraktur (Black &
Hawks, 2009; Ignatavicius & Workman, 2010; Lewis et al., 2011; Schoen, 2000).
Dua macam fraktur yang termasuk fraktur intrakapsular adalah fraktur pada caput
femur dan collum femur. Secara lebih spesifik, berdasarkan lokasinya kedua
macam fraktur ini dibagi menjadi fraktur capital (caput femur), subcapital (tepat
di bawah caput femur) dan transcervical (collum femur). Secara umum, fraktur
ini lebih banyak terjadi pada wanita dan dikaitkan dengan adanya osteoporosis
dan trauma dengan energi minor. Menurut Solomon, et al (2010), tipe fraktur
caput femur sesuai klasifikasi Pipkin dibagi menjadi empat, yaitu: 1) Tipe I, garis
Universitas Indonesia
patahan berada di bawah fovea; 2) Tipe II, garis patahan meliputi fovea; 3) Tipe
III, fraktur tipe I atau II disertai dengan fraktur collum femur; 4) Tipe IV, salah
satu tipe disertai dengan fraktur acetabular. Collum femur memegang peranan
penting pada vaskularisasi caput femur sehingga terjadinya fraktur pada collum
femur beresiko menimbulkan nekrosis avaskuler (Black & Hawks, 2009; Lewis et
al., 2011; Smeltzer et al., 2010).
2.1.9. Arthroplasty
Fraktur pada sendi pinggul seringkali memerlukan arthroplasty untuk
penanganannya. Tindakan operasinya adalah hip arthroplasty yang dibagi
menjadi dua yaitu total hip arthroplasty dan hemiarthroplasty. Pada total hip
arthroplasty, baik bagian proksimal femur maupun acetabulum/mangkok sendi
diganti dengan prostesis sedangkan pada hemiarthroplasty penggantian hanya
dikalukan pada begian proksimal femur sementara acetabulum tidak dilakukan
penggantian (Iwegbu, 2012). Hemiarthroplasty dengan prostesis Austin-Moore,
Bateman, Thompson atau endoprosthesis lain hanya dapat dilakukan pada sendi
yang acetabulumnya masih sehat (Kneale & Davis, 2005).
Universitas Indonesia
Lingkungan. Lingkungan yang dalam hal ini juga menjadi input bagi sistem
manusia maupun stimulus internal dan eksternal adalah semua kondisi, keadaan,
pengaruh sekitarnya dan mempengaruhi perkembangan serta perilaku seseorang
atau kelompok, dengan suatu pertimbangan khusus dari mutualitas sumber daya
manusia dan alam.
Kesehatan. Kesehatan adalah keadaan dan proses menjadi manusia secara utuh
dan integrasi secara keseluruhan. Sehat merupakan suatu kondisi yang
menunjukkan keadaan adaptasi terhadap lingkungan. Sehat bukan berarti
terhindarkan dari masalah tetapi merupakan kemampuan untuk mengatasi masalah
tersebut dengan baik.
Universitas Indonesia
Mekanisme kontrol sebagai bentuk koping dalam model adaptasi ini terdiri dari
regulator dan kognator. Subsistem regulator mempunyai input stimulus berupa
internal atau eksternal dengan cara adaptasi fisiologis yang berbentuk respon
otomatis secara kimia, neural atau endokrin. Subsistem kognator merupakan
adaptasi terhadap stimulus yang berupa respon konsep diri, interdependensi dan
fungsi peran yang dilakukan melalui proses perseptual informasi, penilaian,
proses belajar dan emosi (Alligood & Tomey, 2010; Roy, 2009).
Output perilaku dari subsistem regulator dapat menjadi stimulus umpan balik
untuk subsistem kognator. Proses kontrol subsistem kognator berhubungan
dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian, dan emosi. Persepsi
atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih
perhatian, mencatat dan mengingat.
Tahap Pertama (Pengkajian Perilaku). Perilaku terdiri dari perilaku yang dapat
diobservasi dan perilaku yang tidak dapat diobservasi sehingga perilaku yang
didapat dari pengkajian pada dasarnya merupakan hasil pengamatan, pengukuran
atau dilaporkan oleh pasien. Data perilaku meliputi empat mode adaptif, yaitu: 1)
oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/pengindraan,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
situasi yang ada sehingga menghasilkan perilaku yang adaptif. Intervensi ini
mencakup regulator dan kognator.
Universitas Indonesia
21 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
e. Proteksi
Jaringan kulit klien utuh, tidak terdapat luka, kerusakan jaringan atau sianosis.
Nyeri muncul setiap dilakukan gerakan pada kaki atau badan sehingga kadang
berteriak atau menangis saat dilakukan penggantian linen. Tidak terdapat
tanda-tanda infeksi dan peradangan. Terdapat krepitasi pada kedua femur
klien. Beresiko mengalami mengalami luka dekubitus dengan nilai Norton
scale 15.
f. Penginderaan
Klien merasakan nyeri pada lokasi fraktur dengan skala 3-5 pada saat istirahat
dan meningkat 7-9 saat digerakkan. Tidak terdapat keluhan penglihatan,
penciuman, perasa dan pendengaran. Tidak dirasakan adanya parestese pada
kedua kaki.
g. Cairan dan Elektrolit
Minum klien sekitar 1200 ml dalam 24 jam. Mukosa bibir lembab dan turgor
kulit baik.
h. Fungsi Neurologis
Klien sadar dan berorientasi baik, tidak terdapat gangguan memori. Klien
nampak stress dan khawatir dengan kondisinya maupun anaknya yang
dititipkan ibunya.
i. Fungsi Endokrin
Tidak ada gangguan pada fungsi endokrin klien.
Universitas Indonesia
b. Konsep Diri
Klien merasa kurang berarti karena fraktur dan proses perawatan yang
dijalani. Dengan perawatan yang telah dijalani di rumah sakit dan
dibandingkan dengan ketika dirawat di rumah, klien merasa optimis bahwa
keadaannya akan membaik. Klien percaya bahwa Tuhan akan memberikan
kesembuhan dan merasa yakin perawatan yang dijalani akan membantu
kesembuhannya dan berdoa sesuai keyakinannya untuk hal tersebut.
3.1.2.4. Interdependensi
Klien memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya maupun keluarga suami
dan tetangga serta teman-temannya. Klien sangat terbantu dengan pembiayaan
oleh pemerintah dalam pengobatannya akan tetapi khawatir dengan keadaan
keuangannya karena suami terpaksa tidak bekerja untuk menunggui dan
membantu kebutuhannya di rumah sakit. Sebagai ibu rumah tangga klien terbiasa
melakukan banyak pekerjaan untuk melayani suami dan anaknya sehingga dengan
sakit dan dirawat membuat klien merasa tidak enak terhadap suaminya.
Universitas Indonesia
kadang tidak tertahankan ketika melakukan gerakan atau berubah posisi, hal ini
dirasakan mengganggu.
Universitas Indonesia
Berikut ini adalah daftar diagnosa yang diangkat dalam pengelolaan pasien
dengan diagnosa Risk for infection adalah diagnosa setelah klien menjalani
hemiarthroplasty yang pertama.
a. Acute pain related to physical injury agent
b. Imbalanced nutrition less than body requirements related to psychological
factors
c. Risk for impaired skin integrity related to impaired bed mobility
d. Situational low self esteem related to social role change
e. Ineffective family therapeutic regimen management related to complexity of
therapeutic regimen
f. Risk for infection
Universitas Indonesia
Perubahan pola Stimulus fokal: Imbalanced Tujuan jangka panjang 1. Tanyakan makanan yang disukai klien
nutrisi proses hospitalisasi nutrition less 1. Nutrisi mencukupi kebutuhan 2. Gunakan air minum untuk membantu
(intake dan makanan yang than body metabolisme tubuh menelan makanan
makanan, berbeda dengan requirements 2. Indeks massa tubuh normal 3. Motivasi klien dan keluarga untuk mematuhi
selera makan) yang biasa related to diet yang diberikan
dikonsumsi psychological Tujuan jangka pendek 4. Menyarankan makanan ringan/selingan
factors 1. Intake makan dan minum sesuai untuk menambah intake
kebutuhan tubuh 5. Monitor intake makanan
2. Hematokrit dalam batas normal 6. Diskusikan kebutuhan nutrisi dan cara
3. Tidak terjadi gangguan menelan memenuhinya
Universitas Indonesia
4. Taat terhadap diet yang ditentukan 7. Kaji adanya mual dan muntah
5. Paham tentang diet pentingnya 8. Diskusikan makanan dan minuman yang
menaati diet yang disarankan disukai
Gangguan Stimulus fokal: Risk for Tujuan jangka panjang: 1. Ajak pasien terlibat aktif dalam perubahan
aktivitas dan nyeri pada pinggul impaired skin 1. Mampu mempertahankan body posisi
mobilisasi kanan kiri integrity alignment 2. Pertahankan imobilisasi pada area yang yang
(terputusnya menyebabkan related to 2. Tidak terjadi kerusakan integritas mengalami fraktur
integritas kecenderungan impaired bed kulit 3. Ajarkan pada pasien dan keluarga cara
tulang dan dalam posisi mobility 3. Perfusi jaringan perifer baik lakukan tindakan ROM aktif atau pasif pada
nyeri) terlentang untuk ekstremitas yang sehat
waktu yang lama Tujuan jangka pendek: 4. Anjurkan menggunakan pakaian yang tidak
1. Perubahan posisi secara berkala terlalu ketat
Stimulus 2. Suhu kulit 36,1-37,80C 5. Lakukan perubahan posisi minimal 2 jam
kontekstual: 3. Sensasi kulit tidak berkurang sekali
mengalami fraktur 4. Tidak terdapat kemerahan pada 6. Monitor kemerahan, suhu, edema atau luka
collum femur kulit yang tertekan pada kulit
bilateral 5. Melakukan pergerakan sendi ankle, 7. Kaji skala resiko dekubitus
jari kaki secara mandiri 8. Gunakan pelembab untuk melakukan
backrub
Perubahan Stimulus fokal: Situational low Tujuan jangka panjang: 1. Tunjukkan ketertarikan dan jelaskan tujuan
konsep diri sudah 3 bulan self esteem Beradaptasi terhadap ketidakmampuan interaksi
(klien merasa ketergantungan related to fisik 2. Kaji ekspresi negatif klien tentang dirinya
cemas aktivitas kepada social role 3. Kaji harapan pasien terhadap kondisi yang
mengenai peran suami change Tujuan jangka pendek: dialami
sebagai istri 1. Menerima situasi bahwa 4. Ajak klien mengidentifikasi
dan ibu) Stimulus membutuhkan bantuan fisik kekuatan/sumber daya yang dimiliki
kontekstual: 2. Mendapatkan informasi mengenai 5. Yakinkan bahwa klien mampu mengatasi
penyebab fraktur sakit dan keterbatasan yang dialami situasi
masih belum jelas 3. Menggunakan support sosial yang 6. Kaji respon klien terhadap humor
Universitas Indonesia
Perubahan Stimulus fokal: Ineffective Tujuan jangka panjang: 1. Identifikasi faktor internal atau eksternal
interdependensi sudah 3 bulan family 1. Patuh terhadap prosedur yang yang dapat meningkatkan atau mengurangi
(klien dan ketergantungan therapeutic ditetapkan motivasi
keluarga lebih aktivitas kepada regimen 2. Berpartisipasi dalam membuat 2. Kaji motivasi untuk berubah
mempercayaka suami management keputusan perawatan kesehatan 3. Kaji konteks budaya dan nilai
n penanganan related to pribadi/keluarga dalam perilaku kesehatan
sakitnya pada Stimulus complexity of Tujuan jangka pendek: 4. Kaji pengetahuan kesehatan
dukun patah kontekstual: therapeutic 1. Melaporkan setiap perubahan yang 5. Kaji dukungan keluarga dan komunitas
tulang) memutuskan tidak regimen dirasakan 6. Jelaskan rencana tindakan yang akan
mau operasi saat 2. Melakukan aktivitas sesuai yang dilakukan
pertama masuk disarankan 7. Diskusikan konsekuensi ketidakpatuhan
rumah sakit 3. Memahami prosedur yang akan 8. Diskusikan aktivitas dan pembatasannya
dilakukan pasca operasi
Stimulus residual: 4. Menentukan prioritas utama
kurang pengetahuan mengenai kesehatannya
kesehatan,
keterbatasan
keuangan
Perubahan pada Stimulus fokal: Risk for Tujuan jangka panjang: 1. Monitor adanya tanda infeksi dan
proteksi dan gangguan integritas infection Tidak terjadi infeksi peradangan
sensori kulit karena insisi 2. Kaji intake makanan
(post operasi setelah operasi Tujuan jangka pendek: 3. Monitor nilai pemeriksaan laboratorium
dengan luka pertama, berbaring 1. Suhu tubuh normal terkait
insisi dan Hb dalam waktu lama 2. Nilai leukosit dalam batas normal 4. Lakukan perawatan luka insisi
rendah) 3. Nutrisi adekuat 5. Monitor proses penyembuhan luka dan
Stimulus 4. Tidak ada edema dan kemerahan tanda-tanda infeksi
Universitas Indonesia
Stimulus residual:
kurang pengetahuan
kesehatan
Universitas Indonesia
3.1.7. Evaluasi
Perkembangan dan evaluasi klien selama dirawat di RSUP Fatmawati akan akan
dijelaskan di bawah ini. Klien masuk rumah sakit pada tanggal 16 April 2014 dan
menjalani operasi hemiarthtroplasty pertamanya pada tanggal 26 April 2014.
Pasca operasi klien dirawat secara inyensif di ICU dan kembali dirawat di ruang
rawat GPS pada tanggal 30 April 2014. Tidak terdapat komplikasi operasi yang
dialami klien.
a. Acute pain related to physical injury agent
Nyeri yang dikeluhkan klien dirasakan sejak tiga bulan sebelum masuk rumah
sakit. Pada saat dilakukan pengkajian pertama klien mengatakan nyeri yang
dialami berada pada skala VAS 3-5 sedangkan saat digunakan bergerak
meningkat menjadi 7-9. Pernyataan ini didukung dengan ekspresi yang
muncul saat dilakukan penggantian linen dimana klien diminta untuk
mengangkat badan, klien nampak kesakitan kadang sambil berteriak dan
menangis. Respon kesakitan klien terhadap nyeri mulai berkurang setelah
dilakukan intervensi sehingga klien lebih kooperatif dan ekspresi verbal
maupun non verbal mengenai nyeri yang dirasakan lebih nyaman. Skala nyeri
saat istirahat 3-4 sedangkan saat bergerak 5-7. Dengan menurunnya sensasi
nyeri yang dirasakan, klien mampu lebih mobile dan banyak berkontribusi
dalam asuhan keperawatan yang dilakukan. Klien mengatasi nyeri saat
istirahat dengan cara yang dipilih sendiri yaitu memukul ringan atau
menggaruk kaki dengan kertas koran. Klien juga mengajak ngobrol perawat
saat dilakukan penggantian linen, pengaturan posisi atau perawatan luka.
Klien dinilai mampu menyesuaikan diri dengan nyeri yang dialami.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
keputusan klien dan suami adalah saran keluarga besar dan orang sekitarnya
serta kekhawatiran terhadap biaya operasi yang besar. Klien dan suami
mengatakan bahwa akan mempercayakan pengobatan kepada rumah sakit. Hal
ini didukung faktor pembiayaan yang ditanggung oleh BPJS dan pemahaman
setelah diberikan penjelasan mengenai sakit dan penatalaksanaan yang
dilakukan. Klien menunjukkan perilaku yang patuh terhadap anjuran serta
prosedur tindakan. Penjelasan kepada klien dan suami tidak menemui kendala
karena memiliki kemampuan memahami yang baik.
Regulator: -
Universitas Indonesia
Setelah dilakukan analisa terhadap data yang ada dirumuskan enam diagnosa
keperawatan. Keenam diagnosa tersebut adalah: 1) Acute pain related to physical
injury agent; 2) Imbalanced nutrition less than body requirements related to
psychological factors; 3) Risk for impaired skin integrity related to impaired bed
mobility; 4) Situational low self esteem related to social role change; 5)
Ineffective family therapeutic regimen management related to complexity of
therapeutic regimen; 6) Risk for infection. Keenam diagnosa yang diangkat
dipandang cukup untuk menyusun intervensi yang mencakup perilaku dan
stimulus yang muncul pada klien. Rumusan daiagnosa merujuk pada perumusan
diagnosa NANDA 2012-2014.
Universitas Indonesia
Kasus yang dikelola selama praktik residensi meliputi berbagai tipe fraktur dan
gangguan muskuloskeletal lain. Berikut ini adalah gambaran karakteristik kasus
keseluruhan: Sebanyak 63,33% berupa fraktur ekstremitas bawah, 13,33% fraktur
ekstremitas atas, 10,00% fraktur vertebrae, dan 13,33% kasus lain yang meliputi
kontraktur sendi, gangguan tulang belakang, fraktur scapula, fraktur costae. Dari
keseluruhan kasus 80% merupakan akibat dari trauma dan sisanya muncul akibat
adanya proses degenerasi, patologis, tumor, infeksi serta komplikasi.
Semua pasien yang dirawat merupakan pasien yang akan maupun telah mejalani
operasi. Macam operasi yang dilakukan adalah ORIF, OREF, dekompresi dan
stabilisasi, debridement dan amputasi. Sebagian besar tindakan adalah prosedur
ORIF. Dari seluruh kasus, kasus post operasi memiliki persentase 60% dan
sisanya kasus pre operasi. Dari seluruh kasus pre operasi, 30% adalah pasien
dengan terpasang traksi, baik traksi kulit maupun traksi skelet.
Diagnosa keperawatan yang muncul dari kasus-kasus tersebut adalah: nyeri, risiko
infeksi, gangguan mobilitas fisik, risiko jatuh, kesiapan peningkatan konsep diri,
kurang pengetahuan, risiko cedera, cemas dan harga diri rendah situasional.
Diagnosa yang palin sering muncul adalah nyeri yang muncul pada 80% pasien.
Masing-masing diagnosa yang muncul berikutnya dengan besar persentase
kemunculannya adalah: gangguan mobilitas fisik: 53,33%, risiko infeksi: 40%,
cemas: 33,33%, risiko jatuh: 26,67%, risiko cedera: 16,67%, kurang pengetahuan:
13%, harga diri rendah situasional 10% dan kesiapan peningkatan konsep diri:
3,33%. Intervensi yang dilakukan disesuaikan dengan regulator dan kognator pada
model adaptasi. Pelaksanaan asuhan keperawatan dinilai memberikan hasil yang
positif.
Universitas Indonesia
Salah satu hal yang paling banyak dilaporkan pasien post operasi adalah nyeri.
Dari penelitian yang telah ada didapatkan bahwa 30-80% pasien yang menjalani
pembedahan menderita nyeri karena tidak adekuatnya penanganan nyeri (Sjöling
et al., 2003). Serupa dengan hasil penelitian tersebut, 25-50% pasien orthopedi
melaporkan nyeri berat pasca operasi (Büyükyılmaz & Aştı, 2013). Pada pasien
pembedahan muskuloskeletal nyeri muncul sebagai akibat dari kerusakan dinding
sel baik oleh cedera sebelum operasi maupun proses pembedahan, inflamasi dan
cedera syaraf (Black & Hawks, 2009).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.2.2. Tujuan
Penerapan relaksasi ini dapat menurunkan nyeri dan kecemasan pada pasien post
operasi orthopedi.
Universitas Indonesia
d. http://search.proquest.com
e. http://www.guideline.gov/
Universitas Indonesia
Artikel ini merupakan hasil penelitian yang spesifik dilakukan pada pasien
orthopedi sehingga sesuai dengan situasi yang dihadapi. Selain itu, intervensi
yang dilakukan dalam penelitian ini tidak memerlukan peralatan khusus sehingga
akan lebih mudah diterapkan di ruang rawat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Keseluruhan partisipan akhir dalam penelitian ini adalah 116 pasien dengan 56 di
dalam kelompok intervensi (dua kelompok) dan 60 pasien di dalam kelompok
kontrol (dua kelompok). Sampel dibagi ke dalam empat kelompok secara random
dengan menggunakan sistem penomoran sequential dengan pembagian kelompok
dibuat oleh statistician menggunakan komputer dan diletakkan dalam amplop
tertutup. Pasien dimasukkan ke dalam kelompok sesuai alokasi yang dituliskan di
dalam amplop tersebut. Penggunaan metode ini cukup baik karena baik peneliti
maupun pasien tidak tahu akan berada dalam kelompok yang mana sampai
amplop dengan nomor yang sesuai dibuka. Tidak dijelaskan berapa rumah sakit
yang digunakan sebagai tempat penelitian dan berapa partisipan dari setiap rumah
sakit.
Universitas Indonesia
Tidak cukup penjelasan mengenai situasi ruang rawat dan setting ruang rawat tiap
pasien saat dilakukan intervensi. Ketenangan, jumlah pasien tiap ruang dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Instrumen yang digunakan untuk nyeri adalah visual analog scale (VAS) yang
memiliki rentang 0-100 mm. Pengukuran dengan rentang ini dapat lebih detail
mengukur nyeri karena skala belum dikelompokkan ke dalam angka-angka
pembulatan, misal 1, 2, 3 dan seterusnya. Skala VAS ini diisi dengan pasien
menentukan titik persepsi mereka terhadap nyeri yang ada pada bidang kosong
di antara skala 0-100. Metode ini memberikan kebebasan pasien
mempersepsikan nilai nyeri tanpa dipengaruhi angka-angka yang ada dalam
alat ukur dan menghasilkan variasi data yang lebih luas. Tidak dijelaskan
mengenai ada atau tidaknya kesulitan partisipan mengisi instrumen ini.
b. Kecemasan
Kecemasan dinilai dengan menggunakan VAS berskala 0-100 mm dan
Spielberg State and Trait Anxiety Inventory (STAI) short form. Penggunaan
kedua instrumen secara bersamaan dapat memberikan hasil lebih mendalam.
Masalah yang biasanya muncul pada penggunaan instrumen tunggal yang
panjang atau beberapa instrumen pendek adalah lamanya waktu yang
diperlukan untuk mengisinya yang dapat mempengaruhi tingkat konsentrasi
serta kejenuhan partisipan dalam mengisinya. Tidak dijelaskan dalam
penelitian mengenai kesulitan partisipan dalam menggunakan instrumen ini.
Universitas Indonesia
c. Tingkat relaksasi
Tingkat relaksasi pasien diukur dengan menggunakan VAS dengan rentang 0-
100 mm. Cara pengisian instrumen sama dengan pengisian VAS untuk nyeri
dan kecemasan
Universitas Indonesia
Data yang didapatkan dari pengambilan data dilakukan analisa untuk mengetahui
nilai rata-rata dari nyeri, kecemasan, dan relaksasi sebelum intervensi dan sesudah
intervensi pada keempat kelompok. Nilai rata-rata yang didapatkan dibandingkan
baik antar kelompok intervensi maupun kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol. Dengan cara tersebut, dapat diketahui besar pengaruh intervensi terhadap
variabel yang dinilai maupun perbandingan tingkat keefektifan antar intervensi.
Universitas Indonesia
3.2.6. Aplikabilitas
Peneliti menyampaikan bahwa efek intervensi ini mungkin akan lebih potensial
mengurangi nyeri apabila pasien tidak merasakan nyeri yang terlalu berat pada pre
operasi. Dengan pertimbangan tersebut, hasil penelitian ini dapat diintervensikan
pada pasien yang dihadapi di ruangan. Prosedur yang harus dijalani cukup jelas
dan dapat disesuaikan dengan keadaan klinik sehingga tidak terlalu beresiko
menimbulkan permasalahan. Intervensi relaksasi ini tidak memerlukan banyak
sumber daya sehingga dapat dilakukan tanpa memberikan beban berlebihan.
Relaksasi juga merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan perawat
sesuai dengan fungsi dan peran perawat. Tindakan ini akan memaksimalkan peran
perawat untuk memberikan asuhan keperawatan mandiri secara lebih baik. Hal
yang mungkin perlu menjadi perhatian adalah perawat perlu meluangkan waktu
sedikit lebih banyak bersama pasien. Berdasarkan hal tersebut di atas, tidak
terdapat hambatan yang berarti untuk aplikabilitas intervensi relaksasi ini.
Universitas Indonesia
3.2.7. Pelaksanaan
Subjek dalam pelaksanaan EBNP ini adalah pasien operasi orthopedi yang dirawat
di lantai 1 gedung Prof. DR. Soelarto RSUP Fatmawati dengan kriteria inklusi
pasien merupakan pasien post operasi elektif hari ke 2 dan 3. Kriteria eksklusi
subjek yaitu pasien post operasi elektif dan pasien post operasi hari pertama.
Intervensi relaksasi dilakukan kepada pasien post operasi yang sesuai dengan
kriteria. Relaksasi yang dilakukan adalah jaw relaxation dan total body relaxation.
Untuk intervensi total body relaxation yang digunakan adalah relaksasi dengan
membagi menjadi empat kelompok otot yaitu: 1) tangan; 2) wajah, leher dan
tenggorokan; 3) dada, bahu, punggung atas dan abdomen; 4) kaki (Bernstein et al.,
2000). Berikut ini adalah hasil penerapannya.
Universitas Indonesia
a. Klien 1
Relaksasi diajarkan dan dilakukan kepada Tn. MN, klien dengan open fracture
tibia fibula dextra. Sebelum dilakukan intervensi diukur skala nyeri klien
berada pada skala 47 mm dan kecemasan 24 mm. Setelah melakukan relaksasi
diukur lagi skala nyerinya didapatkan nilai 25 mm dan kecemasan 20 mm.
Klien merasa nyerinya berkurang setelah melakukan relaksasi, ketika
dievaluasi mengenai kecemasannya klien mengatakan masih cemas.
b. Klien 2
Relaksasi diajarkan dan dilakukan kepada Tn. AA, klien dengan closed
fracture tibia sinistra. Sebelum dilakukan intervensi diukur skala nyeri klien
berada pada skala 45 mm dan kecemasan 17 mm. Setelah melakukan relaksasi
diukur lagi skala nyerinya didapatkan nilai 20 mm dan kecemasan 12 mm.
Klien merasa nyerinya berkurang setelah melakukan relaksasi. Klien
mengatakan tidak terlalu mencemaskan kondisinya karena percaya telah
ditangani dengan baik.
c. Klien 3
Relaksasi diajarkan dan dilakukan kepada Tn. MS, klien dengan open fracture
calcaneus dextra. Sebelum dilakukan intervensi diukur skala nyeri klien
berada pada skala 62 mm dan kecemasan 21 mm. Setelah melakukan relaksasi
diukur lagi skala nyerinya didapatkan nilai 27 mm dan kecemasan 11 mm.
Klien mengatakan nyerinya berkurang, selama ini nyeri yang dirasakan
tersebut membuat khawatir penyembuhannya tidak baik.
d. Klien 4
Relaksasi diajarkan dan dilakukan kepada Tn. D, klien dengan closed fracture
tibia dextra. Sebelum dilakukan intervensi diukur skala nyeri klien berada
pada skala 32 mm dan kecemasan 10 mm. Setelah melakukan relaksasi diukur
lagi skala nyerinya didapatkan nilai 27 mm dan kecemasan 7 mm. Klien
mengatakan nyerinya berkurang, klien juga mengatakan tidak merasa cemas.
Universitas Indonesia
Klien adalah pasien yang dirawat pada ruang perawatan yang berisi banyak
pasien. Tidak diketahui perbandingan dengan lingkungan yang digunakan pada
saat penelitian seperti di dalam jurnal acuan. Berdasarkan analisa, penjelasan dan
pelaksanaan relaksasi membutuhkan waktu dan perhatian khusus. Selain waktu,
tempat yang lebih pribadi dan minim distraksi diperlukan untuk memaksimalkan
intervensi dan memastikan hasil pengukuran yang lebih pasti. Dengan situasi dan
kondisi yang ada, intervensi baru dapat dilaksanakan mendekati jam kunjung atau
siang setelah jam kunjung.
Hal lain yang tidak dapat dikontrol dalam pelaksanaan EBN ini adalah analgesik
yang masih diberikan kepada pasien post operasi. Hasil pengukuran VAS untuk
nyeri diduga akan lebih akurat apabila klien tidak mendapatkan analgesik.
Besarnya efek dari relaksasi juga akan lebih terukur.
Menurut penelitian pasien yang masuk rumah sakit untuk menjalani pembedahan
cenderung mengalami cemas dan takut. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya
informasi tentang rencana perawatan beberapa hari ke depan selama dalam
perawatan. Merupakan tugas perawat untuk memastikan bahwa pasien tidak
Universitas Indonesia
Untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi rumah sakit sesuai dengan tuntutan
penerapan BPJS maka perawatan pasien dilakukan dengan kerangka acuan
clinical pathway. Penerapan clinical pathway ini dapat meningkatkan efisiensi dan
prosedur yang pasti pada setiap pasien sesuai dengan diagnosanya. Akan tetapi,
penjelasan kepada pasien kurang sehingga pemahaman mengenai apa yang akan
dikerjakan juga belum jelas. Dengan demikian kecemasan akibat ketidakjelasan
apa yang akan dilakukan terhadap dirinya masih mendorong munculnya
kecemasan pada pasien.
Perencanaan pulang yang dilakukan sejak pasien mulai masuk rumah sakit perlu
dilakukan. Hal ini diperlukan untuk mencegah pasien yang memerlukan bantuan
kesehatan di rumah baik perawatan, edukasi maupun konseling kembali masuk
rumah sakit dengan permasalahan kesehatan yang minor karena tidak disiapkan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Program inovasi discharge planning dibuat dengan sasaran pasien yang akan
menjalani prosedur operasi. Persentase responden yang merupakan pasien remove
implant adalah 33%, responden pemasangan OREF 8% dan responden
pemasangan ORIF 59%.
Universitas Indonesia
Responden yang patuh adalah yang mengikuti aktivitas seperti dalam jadwal pada
lembar kontrol discharge planning. Responden yang mengalami prosedur remove
implant cenderung lebih patuh dibandingkan dengan responden yang menjalani
prosedur OREF dan ORIF. Dari seluruh responden, 42% menunjukkan kepatuhan
sedangkan sisanya kurang patuh. Responden cenderung tidak patuh pada latihan
miring kanan-kiri, latihan duduk serta latihan duduk dan berjalan pada hari
pertama, kedua dan ketiga post operasi.
Universitas Indonesia
58 Universitas Indonesia
ada pada diri dan lingkungan sekitarnya. Terbukti bahwa pendidikan berdasarkan
model adaptasi Roy yang diberikan dapat meningkatkan kemampuan adaptasi
fisiologis dan konsep diri pasien (Afrasiabifar, Karimi, & Hassani, 2013).
Universitas Indonesia
Intervensi yang dilakukan untuk masalah nyeri ini mencakup farmakologis dan
non farmakologis. Pemberian analgesik merupakan terapi kolaborasi untuk
mengatasi nyeri secara farmakologis. Analgesik yang diberikan adalah ketorolac
dengan pemberian 30 mg melalui injeksi intravena dan frekuensi pemberian sehari
3 kali. Sebagai terapi pelengkap farmakologis, terapi non farmakologis memiliki
cara bekerja yang berbeda. Sesuai prinsip dasar bahwa manusia merupakan sistem
terintegrasi yang mampu beradaptasi, terapi non farmakologis pada dasarnya
adalah memanfaatkan energi dan kemampuan yang dimiliki klien untuk
menurunkan nyeri atau meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Roy, 2009).
Nyeri bukan hanya sebuah proses fisiologis, pada dasarnya nyeri merupakan
pengalaman multidimensional yang juga dipengaruhi oleh interpretasi secara
psikologis (Pellino et al., 2005). Hal ini sejalan dengan temuan bahwa kecemasan
juga mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri maupun peningkatan nyeri
yang dibuktikan dengan adanya tingkat nyeri post operasi lebih tinggi pada pasien
yang mengalami kecemasan pre operasi (Sjöling et al., 2003). Oleh sebab itu,
Universitas Indonesia
intervensi yang dapat dilakukan juga meliputi intervensi pada faktor internal
maupun eksternal yang dapat meningkatkan nyeri karena persepsi yang salah.
Metode non farmakologis yang dapat dilakukan meliputi edukasi dan relaksasi.
Intervensi yang dilakukan adalah: Cognitive Behavioural Approach Educational
Intervention (CBEI), edukasi mengenai penyakit dan prosedur yang akan
dilakukan untuk mengatasinya dan relaksasi rahang. Pemberian intervensi CBEI
dapat menurunkan nyeri dengan mengubah persepsi klien tentang nyeri dan
meningkatkan kemampuan manajemen nyeri. Edukasi yang diberikan adalah
mengenai keuntungan manajemen nyeri yang baik, penyembuhan yang lebih cepat
dengan penurunan nyeri, efek psikologis dari nyeri yang muncul, cara-cara yang
dapat dilakukan untuk mengatasi nyeri post operasi dan penilaian yang akan
dilakukan ketika nyeri muncul. Edukasi tersebut dikombinasikan dengan latihan
relaksasi nafas (Wong et al., 2010a). Relaksasi rahang berdasarkan teknik
relaksasi progresf Edmund Jacobson telah dibuktikan dapat menurunkan nyeri
melalui proses pelepasan epinefrin yang akan meningkatkan metabolisme
sehingga tubuh lebih cepat kembali ke keseimbangannya (Jacobson, 1938; Seers
et al., 2008).
Universitas Indonesia
jumlah yang cukup banyak sehingga masalah nutrisi mungkin akan tetap ada
sampai klien keluar dari rumah sakit. Akan tetapi, dapat dilakukan tindakan untuk
meningkatkan intake makanan klien agar berkontribusi terhadap aspek fisiologis
tersebut.
Intervensi yang dilakukan pada dasarnya adalah membuat klien secara sadar
meningkatkan asupan nutrisi sesuai yang diharapkan. Menurut Craven & Hirnle
dalam Roy (2009), asupan nutrisi yang cukup berperan penting dalam
mempertahankan fungsi tubuh, kesehatan jaringan, suhu mempertahankan tubuh,
mempercepat penyembuhan luka dan ketahanan terhadap infeksi. kolaborasi yang
didapatkan klien untuk mengatasi kehilangan darah selama prosedur dan
meningkatkan nilai Hb adalah pemberian transfusi darah.
4.1.1.3. Risk for impaired skin integrity related to impaired bed mobility
Diagnosa ini muncul sebagai akibat adanya ketidakmampuan untuk mobilisasi
secara mandiri di tempat tidur sehingga terjadi penekanan pada area tubuh
posterior yang berpotensi menimbulkan luka dekubitus. Sebagai bagian dari
pertahanan tubuh non spesifik integritas kulit harus dipertahankan (Roy, 2009).
Dari hasil evaluasi nampak bahwa tujuan dari diagnosa ini tercapai. Sampai hari
terakhir dilakukan asuhan keperawatan tidak terjadi masalah gangguan integritas
Universitas Indonesia
kulit. Diagnosa ini penting diangkat karena merupakan hal dapat memperluas
permasalahan dan meningkatkan inefisiensi biaya. Selain itu, terjadinya luka
dekubitus akan membahayakan kondisi pasien dan meningkatkan risiko
komplikasi (Andrychuk, 1998).
Intervensi yang dilakukan pada pasien adalah perubahan posisi berbaring secara
berkala. Perubahan posisi secara berkala mengurangi penekanan secara terus
menerus pada sebagian area tubuh. Penekanan yang melebihi tekanan kapiler (32
mmHg) akan membuat kapiler menutup dan menimbulkan anoksia jaringan
diikuti dengan nekrosis sehingga harus dicegah (Andrychuk, 1998). Perubahan
posisi pada klien harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat fraktur pada
kedua sisi ekstremitas, nyeri yang muncul dan penyebab frakturnya adalah
patologis sehingga sangat berisiko. Perubahan posisi harus dilakukan dengan
mempertimbangkan keamanan dan posisi terapeutik pasien (Griffiths &
Gallimore, 2005).
Intervensi kedua yang dilakukan adalah edukasi mengenai risiko yang dihadapi
pasien yang berbaring dalam waktu lama dan cara pencegahannya. Penelitian
menunjukkan bahwa kerusakan integritas kulit merupakan masalah serius dan
harus diperhatikan pada pasien trauma yang dirawat lebih dari dua hari di rumah
sakit (Watts, Abrahams, MacMillan, Jafar, & et al., 1998). Hal yang didiskusikan
dengan pasien adalah penyebab dekubitus sehingga dapat dilakukan tindakan
untuk mencegahnya. Penyebab dekubitus adalah: 1) tekanan, berbaring pada
posisi sama dalam waktu lama meningkatkan tekanan sehingga perlu dilakukan
perubahan posisi; 2) gesekan, pergesekan antara kulit dengan linen harus dibatasi
yang dapat dilakukan dengan menghindari pergerakan yang diseret; 3)
kelembaban berlebihan, kulit yang terlalu kering berisiko menimbulkan dekubitus
tetapi kelembaban yang berlebihan berisiko serupa karena menimbulkan
kelemahan dinding sel sehingga pemberian pelembab harus mempertimbangkan
kelembaban kulit (Andrychuk, 1998).
Universitas Indonesia
Klien merupakan ibu rumah tangga yang kegiatan sehari-harinya merawat anak
dan suaminya sehingga situasi yang dihadapi saat ini merupakan gangguan
langsung terhadap peran ideal yang dipersepsikan oleh klien. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa harga diri lebih mudah terpengaruh apabila kejadian yang ada
memiliki relevansi dengan hal paling bernilai dalam hidup dan tujuan hidup (Roy,
2009). Fraktur yang terjadi pada klien akan mempengaruhi aktivitas karena
hilangnya fungsi lokomotor dan adanya tindakan imobilisasi. Keterbatasan
aktivitas fisik sebagai akibat fraktur akan menurunkan aktivitas sosial dan
penurunan fungsi fisik dapat menimbulkan penurunan harga diri (Randell et al.,
2000).
Interaksi yang intens dan memotivasi sangat berperan dalam meningkatkan cara
klien memandang situasinya dengan positif dan meningkatkan harga dirinya.
Potensi keluarga dan dukungan dari keluarga yang bersemangat juga menjadi hal
yang berkontribusi besar. Perawat menyediakan waktu untuk mendengarkan
keluhan dan pertanyaan klien. Komunikasi ringan dengan intensitas sering
digunakan untuk membuat klien merasa diperhatikan dan menjadi lebih terbuka.
Penjelasan dan komunikasi yang dilakukan dengan tidak terlalu formal dilakukan
untuk menghindari komunikasi yang kaku kepada klien.
Universitas Indonesia
diri dan cara memandang diri lebih positif di lingkungan klien akan meningkatkan
harga diri klien (Roy, 2009). Adalah peran perawat untuk menjadi partner yang
memberikan pengaruh perasaan positif kepada klien.
Universitas Indonesia
Kenyataan bahwa klien mengalami fraktur dari sebuah proses kronis sangat
memerlukan perilaku perawatan diri dan keluarga yang tepat. Penjelasan
mengenai prosedur tindakan dan kerjasama yang diharapkan dari klien diberikan
sebagai tindak lanjut pengkajian. Perawat juga memberikan kesempatan klien
untuk membandingkan hasil pengobatan saat ini dan sebelumnya. Hal ini akan
memberikan perspektif baru bagi klien untuk menentukan pilihan dalam
mempertahankan dan meningkatkan status kesehatan karena penilaian yang salah
mengenai kondisi dan seriusnya masalah yang dihadapi akan mengakibatkan
keputusan hanya didasarkan pada ketertarikan dan bukan situasi yang dihadapi
(Sharma et al., 2011). Tingkat pengetahuan kesehatan klien akan mempengaruhi
harapan mengenai hasil yang baik dari proses penyembuhan dan rehabilitasi untuk
meningkatkan koping adaptif melalui mekanisme kognator dan pada akhirnya
meningkatkan kerjasama dan kepatuhan terhadap proses yang harus dijalani
sebagai perilaku hasil proses adaptasi (Bhor, 2006; Roy, 2009).
Prinsip aseptik selama perawatan luka insisi tetap dilakukan untuk mencegah
kontaminasi. Terapi kolaboratif yang didapatkan pasien adalah pemberian
antibiotik Ceftriaxone 2x1 gram dan transfusi darah 1500 cc pasca operasi. Klien
dianjurkan untuk mendeteksi dan melaporkan jika ada tanda klien merasakan
demam, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran cairan luka yang
berlebihan dan tidak biasa dari luka (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2009).
Universitas Indonesia
risiko. Kontrol infeksi pada perioperatif berperan penting karena pasien rentan
mengalami infeksi sebagai akibat dari trauma, pembedahan, anestesi atau metode
invasif lain yang diperlukan pasien (Williams, 2008).
4.1.2. Keterbatasan
Terdapat beberapa keterbatasan dalam asuhan keperawatan yang telah diberikan
kepada pasien. Dengan pengkajian yang lebih lengkap dan mendalam, beberapa
diagnosa keperawatan dapat ditegakkan untuk menentukan intervensi keperawatan
yang lebih spesifik. Beberapa intervensi diagnosa keperawatan dapat dimasukkan
ke dalam intervensi pada diagnosa keperawatan yang lain apabila memiliki
kesamaan pada perilaku yang muncul atau stimulus pada pasien.
Diagnosa yang mungkin seharusnya dapat diangkat secara lebih spesifik adalah
kecemasan yang muncul pada klien dan atau keluarga selama dalam proses
perawatan. Berdasarkan bukti-bukti penelitian yang ada, kecemasan yang
dirasakan keluarga seringkali lebih besar dibandingkan kecemasan yang dirasakan
pasien. Banyak hal yang dapat menimbulkan kecemasan tersebut, misalnya:
perasaan tidak dapat mengontrol situasi di rumah sakit, risiko pembedahan,
informasi yang ada dan ketakutan mengenai ketidakmampuan atau perubahan
yang akan dihadapi pasien dan keluarga setelah pelaksanaan prosedur (Silva,
1987). Kecemasan yang muncul seringkali menjadi penanda awal dari keinginan
pasien untuk menawar kepatuhan terhadap pengobatan yang dijalani sehingga
layak mendapatkan perhatian (Herdman, 2012). Meskipun demikian, intervensi
yang sesuai dengan kondisi klien saat ini yang dapat digunakan sebagai intervensi
kecemasan tercakup dalam diagnosa Situational low self esteem related to social
role change dan Ineffective family therapeutic regimen management related to
complexity of therapeutic regimen.
Klien merupakan pasien fraktur collum femur yang belum dilakukan reduksi dan
fiksasi secara lengkap. Keadaan ini meningkatkan kemungkinan untuk terjadi
friksi antar fragmen yang dapat meningkatkan risiko munculnya patahan yang
meluas, kerusakan jaringan otot, dan kerusakan pembuluh darah. Selain itu, klien
juga menjalani beberapa pemeriksaan yang memerlukan perpindahan, dan
perubahan posisi sehingga semakin meningkatkan risiko tersebut. Dengan
Universitas Indonesia
demikian, risiko cedera sebagai hasil dari interaksi antara lingkungan dengan
adaptasi individu dan sumber pertahanan diri merupakan diagnosa yang dapat
diangkat untuk mengatasi masalah yang ada (Herdman, 2012). NOC untuk
diagnosa ini yang sesuai dengan klien adalah gerakan terkoordinasi, pengetahuan:
keamanan diri, mobilitas dan perilaku keamanan diri (Moorhead et al., 2008).
Riwayat fraktur spontan pada klien meningkatkan risiko untuk terjadi cedera lebih
lanjut tanpa melalui mekanisme trauma. Diagnosa ini semula tidak diangkat
dengan pertimbangan bahwa beberapa intervensi yang dilakukan dapat
memberikan keamanan untuk klien. Akan tetapi, beberapa outcomes yang ada
pada diagnosa risiko cedera memiliki target khusus sehingga sebaiknya diagnosa
ini tetap diangkat.
Skala visual sudah terbukti dapat dibaca dan dipahami oleh perawat dan pasien
tanpa perbedaan berarti (Salo et al., 2003). Dengan hasil tersebut, diasumsikan
bahwa penggunaannya pada klien responden EBNP ini juga tidak terlalu
menimbulkan bias. Kemungkinan perbedaan karakteristik kecemasan tersebut
ditimbulkan oleh perbedaan karakteristik pasien. Meskipun demikian, hal ini juga
masih merupakan asumsi karena dalam jurnal rujukan tidak dijelaskan
karakteristik pasien yang menjadi responden penelitian. Tingkat melek kesehatan
dan pengetahuan terhadap penyakit serta prosedur yang dijalani diketahui dapat
mempengaruhi kecemasan pada pasien (Pinar, Kurt, & Gungor, 2011; Tou, Tou,
Universitas Indonesia
Mah, Karatassas, & Hewett, 2013). Kecemasan dapat juga disebabkan oleh
adanya persaaan negatif yang timbul akibat hospitalisasi dan perasaan terisolai
dari sumber koping (Gammon, 1998).
Penurunan kecemasan paling besar 10 mm dan hanya terjadi pada satu klien
sedangkan pada klien yang lain 5 mm atau kurang. Perubahan nilai kecemasan ini
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pada jurnal rujukan yang berada pada
rentang 0,12 – 1,21 mm. Hasil pengukuran pre intervensi juga menunjukkan nilai
yang lebih tinggi yaitu 10,00 – 24,00 mm sedangkan pada penelitian yang menjadi
rujukan adalah 10,10 – 11,14 mm (Seers et al., 2008). Pemberian informasi yang
jelas sebelum dilakukan tindakan mungkin merupakan salah satu faktor yang ikut
menentukan tinggi rendahnya nilai pengukuran, sesuai dengan hasil penelitian
yang menunjukkan bahwa pemberian instruksi pre operasi menurunkan
kecemasan post operasi (Pinar et al., 2011). Semua klien mendapatkan penjelasan
mengenai prosedur yang akan mereka jalani tetapi tidak mengetahui apa yang
dapat mereka lakukan dan bagaimana berperan pada saat operasi dan setelah
operasi. Masalah ini juga patut menjadi perhatian dalam discharge planning yang
dilakukan pada klien.
Terdapat perbedaan intervensi yang diterima oleh keempat klien. Perbedaan ini
menurut penulis tidak akan mempengaruhi hasil karena dalam jurnal yang dirujuk
tidak terdapat perbedaan signifikan antara efek intervensi yang diberikan (Seers et
Universitas Indonesia
al., 2008). Intervensi yang didapatkan oleh seorang klien adalah total body
relaxation dan tiga lainnya adalah jaw relaxation. Intervensi yang diberikan
menyesuaikan dengan pilihan klien setelah diberikan penjelasan cara latihan
kedua jenis relaksasi. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan relaksasi
agar berhasil adalah adanya lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman, dan
fokus konsentrasi (Craven & Hirnle, 2009).
4.2.2. Hambatan
Klien adalah pasien yang dirawat pada ruang perawatan yang berisi banyak
pasien. Tidak diketahui perbandingan dengan lingkungan yang digunakan pada
saat penelitian seperti di dalam jurnal acuan. Selama proses interaksi dan
intervensi dapat diamati bahwa keberadaan pasien lain dan keluarganya sedikit
banyak menimbulkan distraksi atau “gangguan” dalam komunikasi dengan klien.
Berdasarkan analisa, penjelasan dan pelaksanaan relaksasi membutuhkan waktu
dan perhatian khusus. Selain waktu, tempat yang lebih pribadi dengan distraksi
minimal diperlukan untuk memaksimalkan intervensi dan memastikan hasil
pengukuran yang lebih valid. Kondisi ruangan dengan suhu ideal, penerangan
cukup, tidak terlalu berisik dan tidak banyak distraksi dibutuhkan dalam edukasi
terhadap pasien untuk mencapai hasil optimal (Craven & Hirnle, 2009).
Universitas Indonesia
lebih baik karena urutan prosedur persiapan pre operasi dan rehabilitasi post
operasi tersusun jelas. Kedua, struktur lembar kontrol dan edukasi yang diberikan
memberikan kesempatan kepada pasien untuk terlibat dan menguatkan perasaan
memiliki kontrol atas dirinya sehingga menjadi kooperatif. Ketiga, prosedur yang
harus dijalani pasien tidak terlewatkan karena terdapat checklist yang dapat diisi
dan dikontrol oleh pasien. Keempat, kecemasan pasien menurun dengan adanya
kejelasan informasi proses perawatan dan persiapan pulang.
Pemahaman pasien terhadap proses yang akan dijalani berperan penting dalam
keberhasilan proses perawatan. Dalam lembar kontrol discharge planning tercakup
seluruh proses yang akan dijalani selama proses perawatan. Dikombinasikan
dengan media pendidikan berupa brosur atau lembar balik untuk beberapa
tindakan yang diperlukan telah membuat lembar kontrol tersebut menjadi bagian
terintegrasi dari intervensi kognitif. Dengan terlebih dahulu mengkaji tingkat
pendidikan, pengetahuan, pemahaman dan keinginan untuk belajar, penggunaan
lembar kontrol dan brosur penyertanya dapat menjadi sebuah intervensi
pendidikan yang berbasis tujuan (Craven & Hirnle, 2009). Diharapkan dengan
adanya daftar dalam lembar kontrol pasien dapat mengetahui bagian dari
discharge planning yang belum dipahami, belum disampaikan, atau ingin
diketahui lebih dalam sehingga menjadi pembelajar yang lebih aktif.
Sikap kooperatif dapat muncul dari perasaan memiliki kontrol atas apa yang
terjadi pada dirinya yang meningkatkan harga diri serta perilaku adaptif yang
mendukung keberhasilan rehabilitasi. Dalam meningkatkan kualitas hidup
peningkatan kesehatan dan perilaku yang sehat diperlukan partisipasi aktif dari
individu (U.S. Department of Health and Human Services, 2010). Sebagai bagian
dari usaha menciptakan perilaku yang sehat maka diperlukan self awareness
pasien terhadap apa yang terjadi dan yang seharusnya dilakukan sehingga pasien
memahami berada pada level yang mana dan apa yang menjadi tuntutan peran dan
posisi yang harus dilakukan (Craven & Hirnle, 2009).
Prosedur yang lengkap dan sistematis akan memudahkan perawat maupun pasien
dalam melakukan review terhadap tindakan yang sudah dilakukan dan rencana
tindakan lebih lanjut. Checklist yang dibuat disesuaikan dengan bahasa yang
Universitas Indonesia
umum dan struktur sederhana sehingga setiap pasien tidak akan mengalami
kesulitan dalam menggunakannya. Pelaksanaan discharge planning ini akan
membantu pasien menjalani peran dari seorang pasien rumah sakit kembali ke
dalam komunitas dengan lebih siap (Day, McCarthy, Coffey, & Allen, 2009).
Informasi dan edukasi yang diberikan dalam discharge planning ini mampu
menurunkan nilai kecemasan pasien. Discharge planning yang jelas merupakan
bentuk nyata dari pemberian informasi dan edukasi untuk menurunkan kecemasan
pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena telah dibuktikan bahwa dirawat di
rumah sakit dan menjalani operasi dapat menimbulkan kecemasan bagi pasien
(Gammon, 1998; Nickinson, Board, & Kay, 2009). Informasi yang disampaikan
sesuai dengan bahasa, pemahaman dan karakteristik pasien merupakan hal yang
penting bagi pasien yang akan menjalani pembedahan. Informasi yang diberikan
melalui sebuah alat bantu seperti brosur yang digunakan dalam program inovasi
ini mungkin merupakan sebuah informasi yang tidak terlalu spesifik akan tetapi
melalui proses dialog yang sifatnya menguatkan akan dapat lebih dimengerti dan
mampi mengurangi kecemasan pada pasien (Pritchard, 2011a; Wong et al.,
2010b). Hal ini semakin menguatkan bahwa discharge planning yang lengkap dan
terstruktur diperlukan sebagai bagian terintegrasi dari asuhan keperawatan pada
pasien trauma dan pembedahan muskuloskeletal.
4.3.2. Kekurangan
Perubahan jadwal operasi yang terjadi mendadak dan kadang berulang menjadi
catatan bagi inefisiensi tindakan discharge planning. Salah satu penyebabnya
adalah persiapan operasi pada klien seringkali harus dilakukan berkali-kali karena
adanya pembatalan operasi pada pasien yang sudah dilakukan persiapan.
Informasi mengenai pembatalan seringkali tidak jelas sehingga banyak pertanyaan
yang muncul dari pasien dan keluarga. Pembatalan ini juga memiliki efek
terhadap kekhawatiran pasien dan menimbulkan rasa tidak puas pasien.
Discharge planning yang diberikan dalam program inovasi ini kadang tidak dapat
dievaluasi. Kesulitan yang muncul dalam penerapan discharge planning ini adalah
adanya sebagian pasien yang pasca operasi tidak langsung dirawat di ruang rawat
tetapi dirawat di ruang rawat intensif sehingga beberapa program yang
Universitas Indonesia
direncanakan untuk pasca operasi tidak dapat dilakukan. Namun demikian, sisi
lain dari hal ini adalah meningkatnya optimisme pasien ketika dipindahkan dari
ruang rawat intensif yaitu keyakinan bahwa kondisinya sudah menjadi lebih baik.
Universitas Indonesia
Bab ini akan menguraikan simpulan dan saran dari laporan praktik residensi
Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah peminatan Muskuloskeletal yang
telah dilaksanakan.
5.1.Simpulan
Respon adaptif klien sebagai individu merupakan proses yang dinamis sebagai
hasil respon terhadap stimulus yang muncul dengan menggunakan metode koping
regulator dan kognator untuk menghasilkan perilaku yang adaptif. Pada pasien
fraktur, proses asuhan keperawatan merupakan penguatan terhadap proses koping
tersebut yang berwujud intervensi terhadap fraktur yaitu rekognisi, reduksi,
imobilisasi dan rehabilitasi; intervensi terhadap risiko yang muncul; intervensi
untuk mengenali, memunculkan dan menguatkan sumber daya individu, keluarga
dan lingkungan untuk meningkatkan koping adaptif. Penggunaan model adaptasi
Roy ini sebagai kerangka pelaksanaan asuhan keperawatan memberikan hasil
yang positif. Dengan penekanan pendekatan dan evaluasi sesuai model adaptasi
perkembangan klien lebih baik.
74 Universitas Indonesia
5.2. Saran
Bagi pelayanan keperawatan, diharapkan hasil Karya Ilmiah Ahir praktik
Residensi Keperawatan Medikal Bedah kekhususan sistem muskuloskeletal ini
dapat menjadi acuan dan pertimbangan pendekatan dan kerangka berpikir, serta
intervensi untuk memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan
sistem muskuloskeletal khususnya pada kasus klien yang mengalami fraktur
dengan melihat koping individu sebagai kemampuan dasar yang harus dikuatkan
melalui proses keperawatan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Afrasiabifar, A., Karimi, Z., & Hassani, P. (2013). Roy's Adaptation Model-Based
Patient Education for Promoting the Adaptation of Hemodialysis Patients.
Iranian red crescent medical journal, 15(7), 566-572.
Alligood, M. R., & Tomey, A. M. (2010). Nursing theorist and their work (7th
ed.). Missouri: Mosby Inc.
Büyükyılmaz, F., & Aştı, T. (2013). The Effect of Relaxation Techniques and
Back Massage on Pain and Anxiety in Turkish Total Hip or Knee
Arthroplasty Patients. Pain Management Nursing, 14(3), 143-154. doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.pmn.2010.11.001
Closs, J., Briggs, M., & Everitt, V. (1997). Night-time pain, sleep and anxiety in
postoperative orthopaedic patients. Journal of Orthopaedic Nursing, 1(2),
59-66. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S1361-3111(97)80003-9
Coto, B. V., & Iliescu, A. (2013). Patients Adaptation Difficulties to the Hospital
Environment Nurses Part in That Transition. Current Health Science
Journal, 39(4), 259-262. doi: 10.12865/CHSJ.39.04.12
Craven, R. F., & Hirnle, C. J. (2009). Fundamentals of nursing: human health and
function (6th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health-Lippincott
Williams & Wilkins.
Universitas Indonesia
Day, M. R., McCarthy, G., Coffey, A., & Allen, D. (2009). Discharge planning:
the role of the discharge co-ordinator. Nursing Older People, 21(1), 26-31;
quiz 32.
Dubé, L., Paquet, C., Ma, Z., McKenzie, D. S.-A., Kergoat, M. J., & Ferland, G.
(2007). Nutritional implications of patient-provider interactions in hospital
settings: evidence from a within-subject assessment of mealtime
exchanges and food intake in elderly patients. European Journal of
Clinical Nutrition, 61(5), 664-672. doi:
http://dx.doi.org/10.1038/sj.ejcn.1602559
Dufour, A. B., Roberts, B., Broe, K. E., Kiel, D. P., Bouxsein, M. L., & Hannan,
M. T. (2012). The factor-of-risk biomechanical approach predicts hip
fracture in men and women: the Framingham Study. Osteoporosis
International, 23(2), 513-520. doi: http://dx.doi.org/10.1007/s00198-011-
1569-2
Griffiths, H., & Gallimore, D. (2005). Positioning critically ill patients in hospital.
Nursing Standard, 19(42), 56-64; quiz 66.
Universitas Indonesia
Iwegbu, G. (2012). Orthopaedics and trauma for medical students and junior
residents: AuthorHouse.
Jester, R., Santy, J., & Rogers, J. (2011). Oxford handbook of orthopaedic and
trauma nursing: OUP Oxford.
Keen, M., Breckenridge, D., Frauman, A. C., Hartigan, M. F., & et al. (1998).
Nursing assessment and intervention for adult hemodialysis patients:
Application of Roy's adaptation model. ANNA Journal, 25(3), 311-319.
Kneale, J. D., & Davis, P. S. (2005). Orthopaedic and trauma nursing: Churchill
Livingstone.
Kristel, A. N. D. N., de Graaf, C., Siebelink, E., Blauw, Y. H., & et al. (2006).
Effect of Family-Style Meals on Energy Intake and Risk of Malnutrition in
Dutch Nursing Home Residents: A Randomized Controlled Trial. The
Journals of Gerontology, 61A(9), 935-942.
Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., Bucher, L., & Camera, I. M.
(2011). Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of
Clinical Problems (8th ed.). St Louis, Missouri: Mosby Inc.
Maher, A. B., Salmond, S. W., & Pellino, T. A. (2002). Orthopaedic nursing (3rd
ed.). Philadelphia: W.B Saunders Company.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2008). Nursing
outcomes classification (NOC) (4th ed.). St. Louis, Missouri: Mosby.
Mudgalkar, N., Bele, S., Valsangkar, S., Bodhare, T., & Gorre, M. (2012). Utility
of numerical and visual analog scales for evaluating the post-operative
pain in rural patients. Indian Journal of Anesthesia, 56(6), 553-557. doi:
http://dx.doi.org/10.4103/0019-5049.104573
Nickinson, R. S. J., Board, T. N., & Kay, P. R. (2009). Post-operative anxiety and
depression levels in orthopaedic surgery: a study of 56 patients undergoing
hip or knee arthroplasty. [Article]. Journal of Evaluation in Clinical
Practice, 15(2), 307-310. doi: 10.1111/j.1365-2753.2008.01001.x
Pellino, T. A., Gordon, D. B., Engelke, Z. K., Busse, K. L., & et al. (2005). Use of
Nonpharmacologic Interventions for Pain and Anxiety After Total Hip and
Universitas Indonesia
Pinar, G., Kurt, A., & Gungor, T. (2011). The efficacy of preopoerative
instruction in reducing anxiety following gyneoncological surgery: a case
control study. World Journal of Surgical Oncology, 9(1), 38.
Randell, A. G., Nguyen, T. V., Bhalerao, N., Silverman, S. L., Sambrook, P. N.,
& Eisman, J. A. (2000). Deterioration in Quality of Life Following Hip
Fracture: A Prospective Study. Osteoporosis International, 11(5), 460-
466. doi: http://dx.doi.org/10.1007/s001980070115
Roy, S. C. (2009). The roy adaptation model (3rd ed.). New Jersey: Pearson
Education Inc.
Salo, D., Eget, D., Lavery, R. F., Garner, L., Bernstein, S., & Tandon, K. (2003).
Can patients accurately read a visual analog pain scale? The American
Journal of Emergency Medicine, 21(7), 515-519. doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajem.2003.08.022
Schäfer, C., Putnik, K., Dietl, B., Leiberich, P., Loew, T. H., & Kölbl, O. (2006).
Medical decision-making of the patient in the context of the family: results
of a survey. Supportive Care in Cancer, 14(9), 952-959. doi:
http://dx.doi.org/10.1007/s00520-006-0025-x
Seers, K., Crichton, N., Tutton, L., Smith, L., & Saunders, T. (2008).
Effectiveness of relaxation for postoperative pain and anxiety: randomized
controlled trial. [Article]. Journal of Advanced Nursing, 62(6), 681-688.
doi: 10.1111/j.1365-2648.2008.04642.x
Sharma, R. K., Hughes, M. T., Nolan, M. T., Tudor, C., Kub, J., Terry, P. B., &
Sulmasy, D. P. (2011). Family Understanding of Seriously-ill Patient
Preferences for Family Involvement in Healthcare Decision Making.
Journal of General Internal Medicine, 26(8), 881-886. doi:
http://dx.doi.org/10.1007/s11606-011-1717-6
Universitas Indonesia
Sjöling, M., Nordahl, G., Olofsson, N., & Asplund, K. (2003). The impact of
preoperative information on state anxiety, postoperative pain and
satisfaction with pain management. Patient Education and Counseling,
51(2), 169-176. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S0738-3991(02)00191-X
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
suddarth's textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia:
Wolter Kluwer Health / Lippincott Williams & Wilkins.
Solomon, L., Warwick, D., & Nayagam, S. (2010). Apley's system of orthopaedics
and fractures (9th ed.). London: Hodder Arnold.
Soveid, M., Serati, A. R., & Masoompoor, M. (2005). Incidence of hip fracture in
Shiraz, Iran. Osteoporosis International, 16(11), 1412-1416. doi:
http://dx.doi.org/10.1007/s00198-005-1854-z
Tou, S., Tou, W., Mah, D., Karatassas, A., & Hewett, P. (2013). Effect of
preoperative two-dimensional animation information on perioperative
anxiety and knowledge retention in patients undergoing bowel surgery: a
randomized pilot study. Colorectal Dis., 15(5), e256-265. doi:
210.1111/codi.12152.
Watts, D., Abrahams, E., MacMillan, C., Jafar, S., & et al. (1998). Insult after
injury: Pressure ulcers in trauma patients. Orthopaedic Nursing, 17(4), 84-
91.
Wong, E. M.-L., Chan, S. W.-C., & Chair, S.-Y. (2010a). The effect of
educational intervention on pain beliefs and postoperative pain relief
among Chinese patients with fractured limbs. [Article]. Journal of Clinical
Nursing, 19(17/18), 2652-2655. doi: 10.1111/j.1365-2702.2010.03260.x
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk menurunkan tingkat nyeri dan
kecemasan setelah menjalani operasi.
Anda akan dilatih agar dapat melakukan teknik relaksasi. apabila ada hal yang
kurang jelas dapat ditanyakan langsung.
Demikian penjelasan ini, jika Anda memahami dan bersedia berpartisipasi, kami
akan menyediakan lembar persetujuan mengikuti kegiatan ini untuk Anda tanda
tangani. Kami ucapkan terimakasih atas kesediaan Anda menjadi responden
dalam kegiatan ini.
Jakarta, ……………2014
Sapto Haryatmo
enelitian
82 Universitas Indonesia
LEMBAR PERSETUJUAN
MENJADI RESPONDEN PENERAPAN EBNP
(Informed Consent)
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari
pihak mana pun.
Jakarta,…,..………………, 2014
( ………………………………)
83 Universitas Indonesia
Pasien:
Tidak Nyeri
nyeri sangat berat
84 Universitas Indonesia
Pasien:
85 Universitas Indonesia
86 Universitas Indonesia
1. Untuk memulai, tarik nafas dalam tiga kali, keluarkan perlahan sambil
membayangkan ketegangan ikut mengalir ke luar.
2. Kencangkan rahang dengan membuka mulut lebar-lebar, tahan 7-10 detik
kemudian lemaskan 15-20 detik
3. Biarkan bibir dan rahang longgar (tidak perlu mengatup)
87 Universitas Indonesia
88 Universitas Indonesia
89 Universitas Indonesia
90 Universitas Indonesia
91 Universitas Indonesia
92 Universitas Indonesia
Evaluasi
Tn. AH mengeluhkan rasa nyeri dengan skala 3
pada area fraktur femur dan lebih berat kalau
93 Universitas Indonesia
94 Universitas Indonesia
95 Universitas Indonesia
96 Universitas Indonesia
97 Universitas Indonesia
98 Universitas Indonesia
99 Universitas Indonesia
Diagnosa
Terpasang traksi kedua kaki, tidak terdapat tanda
1. Nyeri akut b.d. agen cedera fisik infeksi, Hb 9,9 g/dl, lekosit 21 ribu/ul, nyeri yang
2. Risiko cedera dirasakan skala 4, mobilitas di tempat tidur dengan
bantuan, manipulasi pada kaki meningkatkan
nyeri, luka-luka superficial mulai sembuh
Diagnosa Evaluasi
1. Nyeri akut b.d. agen cedera fisik HB 11,3 g/dl, lekosit 12,5 ribu/ul, luka post
2. Risiko infeksi amputasi dengan granulasi baik, luka luas dan
dibalut kassa. luka amputasi curis kiri kering, tidak
terdapat perdarahan dan tidak rembes, mobilisasi
di tempat tidur mandiri, aktifitas sehari-hari
dibantu.
Evaluasi
Pertumbuhan jaringan luka baik, belum menutup,
fraktur amputasi telah didebridement, tidak terjadi
perdarahan, aktifitas sehari-hari dengan bantuan,
mobilitas di tempat tidur tidak ada hambatan, HB
10,3 g/gl, lekosit 16,1 ribu/ul, klien diijinkan rawat
jalan.