Anda di halaman 1dari 40

SOP SUCTION

PENGERTIAN Melakukan tindakan penghisapan lendir di jalan nafas


TUJUAN 1. Mengeluarkan secret/ cairan pada jalan nafas
2. Melancarkan jalan nafas
PETUGAS Perawat
PERALATAN 1. Bak instrument berisi: pinset anatomis 2, kassa secukupnya
2. NaCl atau air matang
3. Perlak dan pengalas
4. Kanul sucton
5. Mesin suction
6. Kertas suction
PROSEDUR A. Tahap pra interaksi
PELAKSANAAN1. Mengecek program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menyiapkan alat
B. Tahap orientasi
1. Memberikan salam kepada pasien dan sapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien
C. Tahap kerja
1. Membeikan posisi yang nyaman pada pasien kepala sedikit
ekstensi
2. Memberikan oksigen 2-5 menit
3. Meletakan pengalas dibawah dagu pasien
4. Memakai sarung tangan
5. Menghidupkan mesin, mengecek tekanan dan botol
penampung
6. Masukan kanul section dengan hati-hati (hidung: ±5cm, mulut
±10 cm)
7. Menghisap lendir dengan menutuplubang kanul menarik
keluar secara perlahan sambil memutar (±5 detik bagi anak-
anak, ±10 detik bagi dewasa)
8. Membilas kanul dengan NaCl, berikan kesempatan pasien
bernafas
9. Mengulangi prosedur tersebut 3-5 kalli suctioning
10. Mengobservsai keadaan umum pasien dan status
pernapasannya
11. Mengobservasi secret tentang warna, bau, dan volumenya
D. Tahap terminasi
1. Mengevaluasi tindakan
2. Merapikan pasien dan lingkungan
3. Berpamitan dengan pasien
4. Membereskan alat
5. Mencuci tangan
6. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
SOP SUCTION

Pengertian Suction adalah :


Tindakan menghisap lendir melalui hidung dan atau mulut.
Kebijakan :
Sebagai acuan penatalaksanaan tindakan penghisapan lendir, mengeluarkan lendir,
melonggarkan jalan nafas.
Persiapan Alat :

Perangkat penghisap lendir meliputi :


1. Mesin penghisap lendir (suction)
2. Slang penghisap lendir sesuai kebutuhan
3. Air matang untuk pembilas dalam tempatnya (kom)
4. Cairan desinfektan dalam tempatnya untuk merendam slang
5. Pinset anatomi untuk memegang slang
6. Spatel / sundip lidah yang dibungkus dengan kain kasa
7. Sarung tangan
8. Bak instrumen
9. Kasa
10. Bengkok
11. Formulir Persetujuan Tindakan Medik
Prosedur :

PERSIAPAN PASIEN :
1. Bila pasien sadar, siapkan dengan posisi setengah duduk
2. Bila pasien tidak sadar ;
a. Posisi miring
b. Kepala ekstensi agar penghisap dapat berjalan lancar
PELAKSANAAN :
1. jelasakan pada pasien/ keluarga + inform concern
2. Alat didekatkan pada pasien dan perawat cuci tangan
3. Perawat memakai sarung tangan
3. Pasien disiapkan sesuai dengan kondisi
4. Slang dipasang pada mesin penghisap lendir
5. Mesin penghisap lendir dihidupkan
6. Sebelum menghisap lendir pada pasien, cobakan lebih dahulu untuk air bersih yang tersedia
7. tekan lidah dengan spatel
8. Hisap lendir pasien sampai selesai. Mesin/pesawat dimatikan
9. Bersihkan mulut pasien kasa
10. membersihakan slang dengan air dalam kom
11. Slang direndam dalam cairan desinfektan yang tersedia
12. Perawat cuci tangan.
1 PEMBERIAN NEBULIZER
1.1 Pengertian
Suatu tindakan keperawatan dengan memberikan tindakan penguapan agar lendir lebih encer
sehingga lendir lebih mudah dihisap
1.2 Tujuan
Memberikan tindakan penguapan agar lebih encer atau untuk pengobatan
1.3 Manfaat
1) Mengencerkan lendir
2) Mengurangi distress nafas
1.4 Indikasi
1) Penderita tidak dapat mengeluarkan secret secara fisiologis
2) Penderita dengan depresi pernafasan
3) Penderita sesak dengan penumpukan sekret
1.5 Persiapan
1.5.1 Persiapan alat
PZ 0,9 %
Obat bronkodilator kalau perlu
Nebulizer dengan berbagai bentuk
Sarung tangan steril
Kain penutup mata
1.5.2 Persiapan pasien
Inform consern
1.6 Pelaksanaan
1) Cuci tangan
2) Memberikan penjelasan pada klien dan keluarga tentangprosedur nebulizer
3) Memakai sarung tangan
4) Posisikan klien sesuai dengan kebutuhan
5) Melakukan penguapan selama 10-15 menit di saluran jalan nafas
6) Lepas sarung tangan dan cuci tangan
2 MENGHISAP LENDIR (SUCTION)
2.1 Pengertian
Melaksanakan pembersihan saluran pernafasan lebih kedalam dengan menggunakan alat
penghisap lendir (sekresi) baik melalui hidung, mulut, maupun trakea
2.2 Tujuan
Saluran pernafasan bebas dari sumbatan semua kotoran atau lendir sehingga pasien dapat
bernafas secara normal
2.3 Indikasi
1) Klien dengan retensi sputum
2) Klien dengan respirator atau endotrakeal tube
3) Klien dengan trakeostomi
2.4 Kontra indikasi
1) Klien dengan TIK meningkat
2) Klien dengan odema paru
2.5 Persiapan
2.5.1 Persiapan alat
1) Mesin penghisap lendir
2) Selang penghisap lendir
· Neonatus 6-8 Fr
· Bayi sampai 6 bulan 6-8 Fr
· 18 bulan 8-10 Fr
· 24 bulan 10 Fr
· 2-4 tahun 10-12 Fr
· 4-7 tahun 12 Fr
· 7-10 tahun 12 Fr
· 10-12 tahun 14 Fr
· Dewasa 12-16 Fr
3) Air steril dan PZ dalam tempatnya
4) Pinset anatomi untuk memegang selang
5) Spatel atau sudip lidah yang terbungkus kasa
6) Sarung tangan
7) Pengalas
2.5.2 Persiapan pasien
1) Bila sadar dan reflek gag berfungsi, baringkan klien pada posisi semi fowler dengan kepala
miring ke satu sisi untuk penghisapan oral. Baringkan klien pada posisi fowler dengan leher
ekstensi untuk penghisapan nasal
2) Bila tidak sadar, baringkan klien dengan posisi lateral menghadap pada anda untuk
penghisapan oral atau nasal
2.6 Pelaksanaan
2.6.1 Siapkan peralatan di samping tempat tidur
2.6.2 Cuci tangan
2.6.3 Berikan penjelasan pada klien dan keluarganya
2.6.4 Tempatkan handuk pada bantal atau di bawah dagu klien
2.6.5 Berikan oksigen terlebih dahulu sebelum dilakukan suction
2.6.6 Tuangkan air steril atau normal salin ke dalam wadah yang steril
2.6.7 Gunakan tangan yang telah memakai sarung tangan, sambungkan kateter ke mesin penghisap
2.6.8 Basahi ujung keteter dengan larutan steril, pasang penghisap dengan ujungnya terletak dalam
larutan

2.6.9 Penghisapan :
1) Orofaringeal:
Dengan perlahan masukkan kateter ke dalam mulut klien dan arahkan ke orofaring. Jangan
lakukan penghisapan selama pemasangan
Nasofaringeal:
Dengan perlahan masukkan kateter ke salah satu lubang hidung. Arahkan ke arah medial
sepanjang dasar rongga hidung. Jangan dorong paksa kateter, dan jangan lakukan penghisapan
selama pemasangan.
2) Sumber port penghisap dengan ibu jari. Dengan perlahan rotasi kateter saat anda menariknya.
Keseluruhan prosedur tidak boleh lebih dari 15 detik.
3) Bilas kateter denagn larutan steril dengan meletakkannya dalam larutan dan lakukan
penghisapan
4) Bila klien tidak mengalami distress pernafasan, biarkan istirahat 20-30 detik sebelum
memasukkan ulang kateter
5) Bila klien mampu minta klien untuk bernafas dalam dan batuk diantara penghisapan
6) Hisap secret pada mulut atau di bawah lidah setelah penghisapan orofaring atau nasofaring
7) Buang kateter dengan membungkusnya dalam tangan anda yang menggunakan sarung tangan
dan lepaskan sarung tangan untuk membungkus kateter
8) Cuci tangan
9) Catat jumlah, konsistensi, warna, dan bau secret serta respon klien terhadap prosedur
Diposting oleh Unknown di 07.09
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
ASUHAN KEPERAWATAN

Terapi Suction

TERAPI SUCTION

1. Pengertian
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas sehingga
memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara mengeluarkan secret
pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri. (Ignativicius, 1999). Suction jangan
dilakukan bila kita akan melakukan pemeriksaan analisa gas darah 15-20 menit sebelumnya dan
hindarkan bila hemodinamik tidak stabil.

2. Indikasi
Indikasi dilakukannya penghisapan adalah adanya atau banyaknya secret yang menyumbat jalan
nafas, ditandai dengan :

 Terdengar adanya suara pada jalan nafas


 Hasil auskultasi : ditemukan suara crackels atau ronkhi
 Kelelahan
 Nadi dan laju pernafasan meningkat
 Ditemukannya mukus pada alat Bantu nafas
 Permintaan dari klien sendiri untuk di suction
 Meningkanya peak airway pressure pada mesin ventilator

3. Keteter Suction
Kateter suction yang akan digunakan untuk membersihkan jalan nafas biasanya mempunyai
bentuk dan ukuran yang berbeda, idealnya kateter suction yang baik adalah efektif menghisap
sekret dan resiko trauma jaringan yang minimal. Diameter kateter suction bagian luar tidak boleh
melebihi setengah dari diameter bagian dalam lumen tube, diameter kateter yang lebih besar
akan menimbulkan atelectasis sedangkan kateter yang terlalu kecil kurang efektif untuk
menghisap sekret yang kental. Yang penting diingat adalah setiap kita melakukan suction, bukan
sekretnya saja yang dihisap tapi O2 di paru juga dihisap dan alveoli juga bisa collaps.
Ukuran kateter suction biasanya dalam French Units (F)
Dihitung dengan rumus :
Qa x 3
Qs = ———— = F kateter
2

QS = ukuran diameter eksternal kateter suction yang diperlukan.


Qa = diameter internal artificial airway dalam millimeter.
Contoh :
misalnya Qa = 8 mm
8x3
Qs = ———– = 12 F
2
Jadi ukuran kateter suction yang digunakan adalah nomor 12 F

4. Prosedur dan Teknik Melakukan Suction


Hudak (1997) menyatakan persiapan alat secara umum untuk tindakan penghisapan adalah
sebagai berikut :

 Kateter suction steril yang atraumatik


 Sarung tangan
 Tempat steril untuk irigas
 Spuit berisi cairan NaCl steril untuk irigasi trachea jika diindikasikan

Ignativicius (1999) menuliskan langkah-langkah dalam melakukan tindakan penghisapan adalah


sebagai berikut :

 Kaji adanya kebutuhan untuk dilakukannya tindakan penghisapan.


 (usahakan tidak rutin melakukan penghisapan karena menyebabkan kerusakan mukosa,
perdarahan, dan bronkospasme).
 Lakukan cuci tangan, gunakan alat pelindung diri dari kemungkinan terjadinya penularan
penyakit melalui secret.
 Jelaskan kepada pasien mengenai sensasi yang akan dirasakan selama penghisapan
seperti nafas pendek, batuk, dan rasa tidak nyaman.
 Check mesin penghisap, siapkan tekanan mesin suction pada level 80-120 mmHg (sesuai
kebutuhan) untuk menghindari hipoksia dan trauma mukosa.
 Siapkan tempat yang steril.
 Lakukan pre oksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3 menit untuk
mencegah terjadinya hipoksemia.
 Secara cepat dan gentle masukkan kateter, jangan lakukan suction saat kateter sedang
dimasukkan.
 Tarik kateter 1-2 cm, dan mulai lakukan suction. Lakukan suction secara intermitten,
tarik kateter sambil menghisap dengan cara memutar. Jangan pernah melakukan suction
lebih dari 10 – 15 
 Hiperoksigenasi selama 1-5 menit atau bila nadi dan SpO2 pasien normal.
 Ulangi prosedur bila diperlukan (maksimal 3x suction dalam 1 waktu).
 Tindakan suction pada mulut boleh dilakukan jika diperlukan, lakukan juga mouth care
setelah tindakan suction pada mulut.
 Catat tindakan dalam dokumentasi keperawatan mengenai karakteristik sputum (jumlah,
warna, konsistensi, bau, adanya darah) dan respon pasien.

a. Suction Melalui Artificial Airway


Setiap melakukan suction melalui artificial airway harus steril untuk mencegah kontaminasi
kuman dan dianjurkan memakai sarung tangan yang steril. Karakter suction harus digunakan
satu kali proses suction misalnya setelah selesai suction ETT dapat dipakai sekalian untuk
suction nasofaring dan orofaring dan sesudah itu harus dibuang atau disterilkan kembali. Ingat
jangan sekali-kali memakai kateter suction untuk beberapa pasien. Peralatan lain yang perlu
disediakan cairan antiseptik, vacuum suction, spuit 5-10 ml untuk spooling (lavage sollution) dan
ambu bag (hand resusitator) untuk oksigen 100%. Vacum Suction harus dicek dan diatur jangan
terlalu tinggi karena dapat menyebabkan trauma jaringan dan jangan terlalu rendah karena dapat
mengakibatkan penghisapan jadi tidak efektif.
Lihat tabel I
Tabel 1 : Vacuum Setting for Suctioning Patients Based on age
Setting Patient
60 – 80 mm hg
Infant
80 – 120 mm Hg
Children
120 – 150 mm Hg
Adult

Cairan antiseptik untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah suction untuk mengurangi
kontaminasi kuman. Sebelum suction, pasien harus diberi oksigen yang adekuat (pre oxygenasi)
sebab oksigen akan menurun selama proses pengisapan. pasa pasien-pasien yang berat dengan
segala akibatnya, sebab proses suction dapat menimbulkan hiposemia.Pre oksigenasi dapat
diberikan memakai ambu bag dengan O2 100 % (0-10 liter) atau dengan memakai alat ventilator
mekanik dengan FiO2 100%. Setelah pre oksigensi yang cukup, masukan kateter suction ke
dalam airway sampai ujungnya mentok tanpa hisap, kemudian tarik kateter suction sedikit,
lakukan penghisapan dan pemutaran berlahan dan sambil menarik keluar untuk mencegah
kerusakan jaringan dan memudahkan penghisapan secret. Proses suction tidak boleh melebihi
10-15 detik di lumen artificial airway, total proses suction jangan melebihi 20 detik. Bila hendak
mengulangi suction harus diberikan pre-oksigenasi kembali 6-10 kali ventilasi dan begitu
seterusnya sampai jalan nafas bersih. Jangan lupa monitor vital sign, ECG monitor ,sebelum
melanjutkan suction, bila terjadi disritmia atau hemodinamik tidak stabil, hentikan suction
sementara waktu. Suction harus hati-hati pada kasus-kasus tertentu misalnya penderita dengan
odema paru yang berat dengan memakai ventilator dengan PEEP, tidak dianjurkan melakukan
suction untuk sementara waktu sampai oedem parunya teratasi. Bila sputum kental dan sulit
untuk dikeluarkan dapat dispooling dengan cairan NaCl 0,9% sebanyak 5-10 ml dimasukkan ke
dalam lumen artificial airway sebelum di-suction, untuk bayi cukup beberapa tetes saja.

b. Suction Melalui Naso Tracheal


Penghisapan melalui naso tracheal biasanya lebih sulit dan berbahaya bila dibanding dengan
yang memakai atau via artifical airway dan tidak dianjurkan untuk rutin prosedur pada
pembersihan jalan nafas, sebab dapat menyebabkan spasme taring, iritasi nasal dan perdarahan.
Pada kasus tertentu dimana artificial airway tidak ada, sedangkan retensi sputum banyak dapat
dilakukan perlahan dengan memakai kateter suction yang sebelumnya diolesi pelcin (water
soluble lumbricant) dan vacum dilepaskan, sambil mendengar suara nafas melalui kateter bila
sudah sampai di depan trachea kateter suction diteruskan pada saat inspirasi sambil menghisap,
biasanya timbul rangsangan batuk sehingga sputum dapat keluar melalui suction atau ke rongga
jalan natas bagian atas (nasofaring atau orofaring) sehingga mudah dikeluarkan melalui kateter
suction dapat dilakukan spooling untuk mengencerkan sputum bila dilakukan berulang dapat
dibantu dengan nasofaringeal tube untuk mengurangi trauma, jangan lupa memberikan
reoksigenasi dan monitor vital sign sesudah melakukan suction.
Ingat : Bila terjadi spasme faring pada waktu suction naso tracheal segera cabut kateter suction
dan bantu dengan memakai ambu bag dengan O2 100%.

5. Komplikasi
a. Hipoxemia
Oleh karena suction melalui artificial airway dapat menghisap oksigen yang di alveoli dan
menurunkan oksigen pada darah arteri yang dapat menimbulkan takikardi, aritmia/PVC,
bradikardi.
Pencegahan :
 Oksigenasi yang baik sebelum dan sesudah suction
 Suction jangan melebihi 15 detik
 Ukuran diameter suction yang benar

b. Trauma Jaringan
Suction dapat menyebabkan trauma jaringan, iritasi dan perdarahan.
Pencegahan :
 Pakai karakter suction dengan jenis dan ukuran yang benar
 Teknik suction yang baik dan benar

c. Atelektasis atau Collaps Paru


Atelektasis dapat terjadi bila pemakaian kateter suction yang terlalu besar dan vacum suction
yang terlalu kuat sehingga terjadi collaps paru atau atelektasis dan bisa terajdi persistent
hipoxemia.
Pencegahan :
 Pakai kateter suction dengan jenis dan ukuran yang benar
 Teknik suction yang baik dan benar
 Auskultasi pre dan post suction

d. Hipotensi
Hipotensi yang terjadi sewaktu suction biasanya oleh karena : vagal
stimulasi, batuk dan hipoxemia. Vagal stimulasi menyebabkan bradicardi, batuk menyebabkan
penurunan venous return, sedangkan hipoxemia menyebabkan aritmia dan pheperial vasodilatasi.
Walaupun tekanan darah sistemik menurun, namun tekanan intra cranial tetap naik pada waktu
silakukan suction.
Pencegahan :
 Cek darah sebelum dan sesudah suction
 Moditor yang ketat vital sign dan ECG.

e. Airways Contriction
Airway Contriction terjadi olah karena adanya rangsangan mekanik langsung dari suction
terhadap mukosa saluran nafas sehingga terjadi broncho contriction dengan tanda adanya
wheezing. Bila terjadi broncho contriction berikan broncho dilator, pada naso tracheal suction
dapat terjadi spame laring.

REFERENSI

 Eliastam, M., Sternbach, G., & Bresler, M. (1998). Buku saku : Penuntun kedaruratan
medis. ( edisi 5 ). Jakarta ; EGC.
 Hudak & Gallo.(1994). Critical care nursing : a holistic approach. (7th edition).
Lippincott : Philadelphia.
 Thelan, et.al. (1994). Critical care nursing ; Diagnosis and management. (2nd edition).St.
louis : Mosby Company.
TERAPI OKSIGEN (O2)

I PUTU GEDE NOVA INDRA MAYA


dr. I Gusti Agung Gede Utara Hartawan,SpAn.MARS
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADIA
BAGIAN/ SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR. ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1 Pengantaran Oksigen (O2) ...................................................................... 3
2.2 Hipoksia ................................................................................................. 4
2.3 Definisi Terapi Oksigen (O2) ................................................................. 7
2.4 Indikasi Terapi Oksigen (O2) ................................................................. 8
2.4.1 Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek ............................................ 8
2.4.2 Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang ........................................... 9
2.5 Kontraindikasi Terapi Oksigen (O2) .................................................... 10
2.6 Teknik Pemberian Terapi Oksigen (O2) ............................................... 11
2.6.1 Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah ..................................... 12
2.6.2 Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Tinggi ....................................... 17
2.7 Pedoman Pemberian Terapi Oksigen (O2) ........................................... 19
2.8 Efek Samping Pemberian Terapi Oksigen (O2) ................................... 19
2.9 Perhatian terkait Terapi Oksigen (O2) .................................................. 21
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 23
4
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Indikasi Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek .......................................... 9
Tabel 2.2 Indikasi Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang ....................................... 11
Tabel 2.3 Fraksi Oksigen (O2) (FiO2) pada Alat Terapi Oksigen (O2)
Arus Rendah dan Arus Tinggi ............................................................... 18
5
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Nasal Kanul ..................................................................................... 13
Gambar 2.2 Nasal Kateter ................................................................................... 13
Gambar 2.3 Sungkup Muka Tanpa Kantong Penampung ................................... 14
Gambar 2.4 Sungkup Muka Partial Rebreathing ................................................ 15
Gambar 2.5 Sungkup Muka Nonrebreathing ...................................................... 15
Gambar 2.6 Oksigen (O2) Transtrakeal ............................................................... 16
Gambar 2.7 Sungkup Venturi .............................................................................. 17
6
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah organisme hidup yang terdiri atas sel sebagai unit kehidupan
dasarnya. Setiap organ yang menyusun sistem tubuh manusia terdiri atas
sekelompok sel yang berbeda yang disatukan oleh struktur pendukung interseluler
dan setiap jenis sel secara khusus disesuaikan untuk melakukan satu atau beberapa
fungsi tertentu. Meski berbeda jenis dan fungsinya, semua sel memiliki karakteristik
atau sifat yang sama yaitu pada setiap sel, oksigen (O2) akan bereaksi dengan
karbohidrat, lemak, protein serta vitamin dan mineral untuk menghasilkan energi
yang diperlukan untuk fungsi sel yang kemudian digunakan untuk melakukan aktivitas
manusia sehari-hari.1
Proses metabolisme pada manusia sebagian besar melibatkan gas oksigen
(O2) untuk dapat menghasilkan energi yang akan digunakan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari melalui berbagai proses reaksi kimia. Dari berbagai proses reaksi
kimia tersebut nantinya akan dihasilkan pula gas karbon dioksida (CO2) sebagai
produk sisa yang perlu dikeluarkan oleh sel. Respirasi atau pernapasan dapat didefinisikan
sebagai proses pertukaran gas-gas (memeroleh oksigen atau O2 untuk digunakan
oleh sel-sel tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida atau CO2 yang dihasilkan
oleh sel-sel tubuh) antara organisme hidup dan lingkungan sekitarnya.2
Terdapat dua macam respirasi pada manusia yaitu pertama, respirasi internal
dan kedua, respirasi eksternal. Respirasi internal adalah pertukaran gas-gas
(oksigen atau O2 dan karbon dioksida atau CO2) antara darah dan jaringan. Pertukaran
ini meliputi beberapa proses yaitu efisiensi kardio-sirkulasi dalam menjalankan
darah kaya oksigen (O2), distribusi kapiler, difusi (perjalanan gas ke ruang interstisial
dan menembus dinding sel) dan metabolisme sel yang melibatkan enzim.
Respirasi eksternal adalah pertukaran gas-gas (oksigen atau O2 dan karbon dioksida
atau CO2) antara darah dan udara sekitar. Pertukaran ini meliputi beberapa proses
yaitu ventilasi (proses masuknya udara sekitar dan pembagian udara tersebut ke
alveoli), distribusi (distribusi dan pencampuran molekul-molekul gas intrapulmoner),
difusi (proses masuknya gas-gas menem-bus selaput alveolo-kapiler) dan
perfusi (pengambilan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang adekuat).2
7
Pada kondisi normal, manusia mampu menghirup udara atmosfir yang
me-ngandung sebanyak 21% oksigen (O2) dengan tekanan parsial sebesar 150
mmHg melalui sistem respirasi yang selanjutnya ketika sampai di alveoli tekanan
parsial-nya akan turun menjadi 103 mmHg akibat pengaruh tekanan uap air yang
terjadi pada jalan napas. Pada alveoli, oksigen (O2) akan segera berdifusi ke dalam
aliran paru melalui proses aktif akibat perbedaan tekanan. Di dalam darah, sebagian
be-sar (97%) oksigen (O2) akan terikat dengan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil
(3%) akan larut dalam plasma yang selanjutnya akan diedarkan ke seluruh jaringan
tubuh untuk keperluan metabolisme.3
Sejak penemuan penting mengenai molekul oksigen (O2) oleh Joseph Priestley
pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses pernapasan
oleh Lavoisier, oksigen (O2) menjadi suatu cara pengobatan dalam perawatan pasien.
Sebelum tahun 1920, suplementasi oksigen (O2) dievaluasi oleh Baruch dkk
dan akhirnya pada tahun 1920, ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen (O2) dapat
digunakan sebagai terapi. Pemberian oksigen pada pasien-pasien dengan hipoksemia
dapat memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru dan kapasitas latihan
selain itu, pemberian oksigen (O2) pada pasien-pasien dengan penyakit paru membawa
dampak meningkatnya jumlah perawatan pasien.4
Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen (O2), di antaranya pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dengan pemberian konsentrasi
oksigen (O2) yang tepat dapat mengurangi sesak napas saat aktivitas, dapat meningkatkan
kemampuan beraktivitas dan dapat memerbaiki kualitas hidup. Keuntungan
lainnya dari pemberian oksigen (O2) di antaranya dapat memperbaiki kor
pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memerbaiki fungsi neuropsikiatrik dan
pencapaian latihan, mengurangi hipertensi pulmonal dan memerbaiki metabolisme
otot.4 Tujuan dari pembuatan tinjauan pustaka ini adalah memberikan pemahaman
terkait pengantaran oksigen (O2), hipoksia, indikasi, jenis pemberian dan efek terapi
oksigen (O2) serta perhatian dalam pemberian terapi oksigen (O2) sehingga
terapi oksigen (O2) tetap berada dalam batas aman dan efektif.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengantaran Oksigen (O2)
Pengantaran oksigen (O2) menuju jaringan sangat dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu (1) kandungan oksigen (O2) yang terdapat di dalam
darah arteri dan (2) aliran darah atau curah jantung. Pengantaran oksigen
(O2) menuju jaringan dapat dijabarkan melalui rumus:
DO2 = CO x CaO2
dengan DO2 merupakan nilai pengantaran oksigen (O2), CO merupakan nilai
aliran darah atau curah jantung dan CaO2 merupakan kandungan oksi-gen
(O2) di dalam darah arteri.5
Kandungan oksigen (O2) yang terdapat di dalam darah arteri sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu (1) konsentrasi hemoglobin, (2)
derajat saturasi hemoglobin dengan oksigen (O2) dan (3) jumlah fraksi oksigen
(O2) yang terlarut di dalam plasma. Jumlah oksigen (O2) yang terikat
dengan hemoglobin dan yang terlarut dalam plasma sangat berkaitan dengan
tekanan parsial oksigen (O2) di dalam darah arteri dan koefisien solubilitas
oksigen (O2) sehingga kandungan oksigen (O2) di dalam darah arteri
(CaO2) dapat dijabarkan melalui rumus:
CaO2 = (Hb x 1,34 x SaO2) + (PaO2 x 0,0031)
dengan CaO2 merupakan kandungan oksigen (O2) yang terdapat di dalam
darah arteri, Hb merupakan konsentrasi hemoglobin, 1,34 merupakan kapasitas
hemoglobin dalam membawa oksigen (O2), SaO2 merupakan derajat
saturasi hemoglobin dengan oksigen (O2), PaO2 merupakan tekanan parsial
oksigen (O2) dalam darah arteri dan 0,0031 merupakan koefisien solubilitas
oksigen (O2).5
Aliran darah atau curah jantung sangat dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yaitu (1) isi sekuncup dan (2) laju jantung sehingga aliran darah atau
curah jantung dapat dijabarkan melalui rumus:
CO = SV x HR
9
dengan CO merupakan aliran darah atau curah jantung, SV merupakan isi
sekuncup dan HR merupakan laju jantung.6
Isi sekuncup (SV) yang merupakan selisih antara end diastolic volume
(EDV) dengan end systolic volume (ESV) sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor utama, yaitu (1) beban awal (pre-load) yang merupakan jumlah
darah yang mengisi ventrikel pada akhir fase diastol, (2) beban akhir (after-
load) yang merupakan tahanan atau resistensi oleh dinding pembuluh
darah yang harus dihadapi oleh ventrikel ketika berkontraksi dan (3) kontraktilitas
atau daya kontraksi jantung yang merupakan kekuatan dan efisiensi
dari satu kontraksi jantung.6
Melalui rumus-rumus di atas dapat diketahui bahwa transport oksigen
(O2) dari udara atmosfir menuju mitokondria jaringan membutuhkan
fungsi yang adekuat dari sistem respirasi, kardiovaskuler dan hematologi di
mana sistem respirasi menentukan tekanan parsial oksigen (O2) dalam darah
arteri, sistem kardiovaskuler menentukan curah jantung dan distribu-si
aliran darah serta sistem hematologi menentukan konsentrasi hemoglo-bin.
Nilai normal dari pengantaran oksigen (O2) menuju jaringan yaitu se-kitar
1000 ml/ menit dengan penggunaan oksigen (O2) sekitar 25% dan se-kitar
75% sisanya akan masuk ke dalam sirkulasi jantung dan paru.5
2.2 Hipoksia
Metabolisme aerob membutuhkan keseimbangan antara pengantaran
dan penggunaan oksigen (O2). Ketika pengantaran oksigen (O2) menurun
di bawah nilai normal atau penggunaan oksigen (O2) meningkat di atas
nilai normal, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara pengantaran oksigen
(O2) dan penggunaan oksigen (O2) yang menyebabkan pengantaran
oksigen (O2) menjadi tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
5 Apabila hal ini berlangsung selam kira-kira 4-6 menit, maka jaringan
akan mengalami hipoksia.4 Berdasarkan mekanismenya, penyebab hipoksia
jaringan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu (1) hipoksemia arteri, (2)
berkurangnya pengantaran oksigen (O2) karena adanya kegagalan transport
10
tanpa adanya hipoksemia arteri dan (3) penggunaan oksigen (O2) yang berlebihan
pada jaringan.4,5
Hipoksemia arteri dapat didefinisikan sebagai penurunan tekanan
parsial oksigen (O2) di dalam darah arteri. Penyebab paling sering dari terjadinya
hipoksemia arteri di antaranya penurunan daya ambil oksigen (O2)
seperti pada kasus ketinggian, ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi serta
hipoventilasi alveolar seperti pada kasus penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), shunt seperti pada kasus defek septum atrium dan defek difusi seperti
pada kasus pneumonitis interstisial.5 Hipoksia jaringan yang disebabkan
oleh karena penurunan tekanan parsial oksigen (O2) di dalam darah arteri
disebut juga sebagai hipoksia hipoksik.7
Dalam keadaan tekanan parsial oksigen (O2) yang normal, hipoksia
jaringan juga bisa terjadi sebagai akibat dari adanya gangguan pada beberapa
faktor yang turut memengaruhi pengantaran oksigen (O2) seperti adanya
gangguan sirkulasi, gangguan transport oksigen (O2) dalam darah dan
maldistribusi aliran darah. Hipoksia sirkulasi terjadi ketika darah yang sudah
teroksigenasi diantarkan menuju jaringan dalam jumlah yang tidak adekuat
untuk dapat menunjang kebutuhan metabolisme jaringan. Hal ini
bisa disebabkan oleh karena curah jantung yang rendah dan hipovolemia
sistemik.5 Hipoksia jaringan yang disebabkan oleh karena penurunan aliran
darah disebut juga sebagai hipoksia hipoperfusi atau stagnant.7
Hipoksia jaringan juga bisa terjadi akibat gangguan transport oksigen
(O2) dalam darah oleh karena berkurangnya kapasitas pengangkutan
oksigen (O2). Hal ini bisa disebabkan oleh karena penurunan konsentrasi
hemoglobin pada kasus anemia, ketidakmampuan hemoglobin untuk mengikat
oksigen (O2) pada kasus hemoglobinopati dan ketidakmampuan hemoglobin
untuk melepas oksigen (O2) ke jaringan pada kasus penurunan
2,3-difosfogliserat. Selain itu, gangguan transport oksigen (O2) dalam darah
juga bisa disebabkan oleh karena terikatnya gas-gas lain dengan afinitas
yang lebih kuat daripada oksigen (O2) dengan hemoglobin seperti karbon
monoksida (CO) ataupun terjadinya perubahan struktur hemoglobin
seperti pada terbentuknya methemoglobin. Hipoksia jaringan yang dise11
babkan oleh karena penurunan kuantitas dan kualitas hemoglobin disebut
juga sebagai hipoksia anemik.7
Hipoksia jaringan juga bisa terjadi akibat maldistribusi curah jantung
yang normal. Hal ini bisa disebabkan oleh karena gangguan perfusi
mikrovaskuler pada kasus syok sepsis atau sindrom respon inflamasi sistemik
(SIRS).5 Selain itu, hipoksia jaringan juga bisa terjadi oleh karena adanya
hambatan baik pada enzim intraseluler ataupun molekul pembawa
oksigen (O2) yang terlibat pada metabolisme intermediet dan pembentukan
energi seperti pada kasus kecarunan sianida di mana sianida akan berikatan
dengan enzim sitokrom oksidase dan menghambat terjadinya fosforilasi
oksidatif dan transport elektron di dalam mitokondria yang berakibat pada
terhambatnya pembentukan adenosin trifosfat (ATP) sehingga memicu aktivasi
jalur metabolisme anaerob yang berakibat pada asidosis laktat.5,7 Hipoksia
jaringan yang disebabkan oleh karena kegagalan sel dalam menggunakan
oksigen (O2) sebagai sumber energi disebut juga sebagai hipoksia
histotoksik.7 Penggunaan oksigen (O2) yang berlebihan pada jaringan juga
dapat berakibat pada terjadinya hipoksia jaringan. Penyebab paling sering
dari terjadinya penggunaan oksigen (O2) yang berlebihan di jaringan di antaranya
pada kasus olahraga yang berlebihan dan keadaan hipermetabolik
seperti pada kasus tirotoksikosis.5
Hipoksia jaringan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan
yang bersifat ireversibel atau bahkan kematian jaringan. Hasil akhir dari
hipoksia jaringan sangat bergantung pada beberapa faktor, di antaranya apakah
hipoksia jaringan terjadi secara generalisata atau terlokalisir, tingkat
keparahan hipoksia jaringan, kecepatan terjadinya hipoksia jaringan serta
durasi terjadinya hipoksia jaringan. Setiap jenis sel memiliki kecenderungan
yang berbeda untuk mengalami hipoksia namun yang paling cepat untuk
mengalami hipoksia yaitu sel-sel pada otak dan jantung.7
Manifestasi klinik dari hipoksia tidaklah spesifik dan sangat bervariasi
di mana sangat bergantung pada lamanya hipoksia (akut atau kronis),
kondisi kesehatan pada masing-masing individu dan biasanya timbul pada
keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi klinik dapat berupa peru12
bahan status mental atau bersikap labil, pusing, dispneu, takipneu dan aritmia.
Sianosis dianggap sebagai tanda hipoksia namun hal ini hanya dapat
dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.4,5 Oleh karena tanda dan gejala
hipoksia sangat bervariasi dan tidak spesifik, maka untuk dapat menentukan
hipoksia diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan tekanan parsial oksigen
(O2) arteri atau saturasi oksigen (O2) arteri melalui pemeriksaan invasif yaitu
analisa gas darah ataupun non-invasif yaitu oksimetri dengan menjepitkan
alat oksimetri pada ujung jari atau daun telinga. Pada pemeriksaan analisis
gas darah, spesimen darah diambil dari pembuluh darah arteri yang
bisa melalui arteri radialis ataupun femoralis di mana dapat dilihat nilai tekanan
parsial oksigen (O2), saturasi oksigen (O2) dan parameter lainnya sedangkan
pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen
(O2) saja. Bila nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 90% maka diperkirakan
hipoksia dan membutuhkan terapi oksigen (O2).4
2.3 Definisi Terapi Oksigen (O2)
Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya
pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memerbaiki
hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar
tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam
sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi
dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan.3,8
Dalam penggunaannya sebagai modalitas terapi, oksigen (O2) dikemas
dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan tidak mudah terbakar. Oksigen (O2) sebagai
modalitas terapi dilengkapi dengan beberapa aksesoris sehingga pemberian
terapi oksigen (O2) dapat dilakukan dengan efektif, di antaranya pengatur
tekanan (regulator), sistem perpipaan oksigen (O2) sentral, meter aliran, alat
humidifikasi, alat terapi aerosol dan pipa, kanul, kateter atau alat pemberian
lainnya.3
13
2.4 Indikasi Terapi Oksigen (O2)
Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan
bayi (usia di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang
dari 60 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 90% saat
pasien beristirahat dan bernapas dengan udara ruangan. Pada neonatus, terapi
oksigen (O2) dianjurkan jika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang
dari 50 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 88%. Terapi oksigen
(O2) dianjurkan pada pasien dengan kecurigaan klinik hipoksia berdasarkan
pada riwayat medis dan pemeriksaan fisik. Pasien-pasien dengan
infark miokard, edema paru, cidera paru akut, sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS), fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbon
monoksida (CO) semuanya memerlukan terapi oksigen (O2).9
Terapi oksigen (O2) juga diberikan selama periode perioperatif karena
anestesi umum seringkali menyebabkan terjadinya penurunan tekanan
parsial oksigen (O2) sekunder akibat peningkatan ketidaksesuaian ventilasi
dan perfusi paru dan penurunan kapasitas residu fungsional (FRC). Terapi
oksigen (O2) juga diberikan sebelum dilakukannya beberapa prosedur, seperti
pengisapan trakea atau bronkoskopi di mana seringkali menyebabkan
terjadinya desaturasi arteri.9 Terapi oksigen (O2) juga diberikan pada kondisi-
kondisi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan jaringan terhadap
oksigen (O2), seperti pada luka bakar, trauma, infeksi berat, penyakit keganasan,
kejang demam dan lainnya.3
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi
oksigen (O2) jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang
(long-term oxygen therapy). Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam
jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.4,5
2.4.1 Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek
Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di
antaranya pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
14
dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskuler
dan emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen (O2) harus segera
diberikan dengan adekuat di mana pemberian oksigen (O2) yang tidak
adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya kecacatan tetap ataupun
kematian. Pada kondisi ini, oksigen (O2) diberikan dengan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) berkisar antara 60-100% dalam jangka
waktu yang pendek sampai kondisi klinik membaik dan terapi yang
spesifik diberikan.4 Adapun pedoman untuk pemberian terapi oksigen
(O2) berdasarkan rekomendasi oleh American College of Che-st
Physicians, the National Heart, Lung and Blood Institute ditunjukkan
pada tabel 2.1.4,5
Tabel 2.1.
Indikasi Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek
Indikasi yang sudah direkomendasi:
Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
Henti jantung dan henti napas
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik
(bikarbonat < 18 mmol/ L)
Distress pernapasan (frekuensi pernapasan > 24 kali/ menit)
2.4.2 Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang
Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling
banyak menggunakan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Terapi
oksigen (O2) jangka panjang pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) selama empat sampai delapan minggu bisa
menurunkan hematokrit, memerbaiki toleransi latihan dan menurunkan
tekanan vaskuler pulmoner.4,5 Pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) dan kor pulmonal, terapi oksigen
(O2) jangka panjang dapat meningkatkan angka harapan hidup sekitar
enam sampai dengan tujuh tahun. Selain itu, angka kematian
15
bisa diturunkan dan dapat tercapai manfaat survival yang lebih besar
pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila terapi oksigen
(O2) diberikan lebih dari dua belas jam dalam satu hari dan berkesinambungan.
4
Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan
pemberian terapi oksigen (O2) jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan
untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau Sa-
O2 < 88%), terapi oksigen (O2) diberikan secara terus menerus selama
dua puluh empat jam dalam satu hari. Pasien dengan PaO2 56
sampai dengan 59 mmHg atau SaO2 89%, kor pulmonal dan polisitemia
juga memerlukan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Pada
keadaan ini, awal pemberian terapi oksigen (O2) harus dengan konsentrasi
rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan
hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan tujuan mengoreksi
hipoksemia dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26.
Terapi oksigen (O2) dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang sudah mengalami
gagal napas tipe II akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk
pemicu gerakan bernapas dan meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi
dan perfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan
menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal.4
Pasien yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang
harus dievaluasi ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia
menetap atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan
terapi oksigen (O2). Sekitar 40% pasien yang mendapat terapi
oksigen (O2) akan mengalami perbaikan setelah satu bulan dan tidak
perlu lagi meneruskan terapi oksigen (O2). Adapun indikasi terapi
oksigen (O2) jangka panjang yang telah direkomendasi ditunjukkan
pada tabel 2.2.4,5
2.5 Kontraindikasi Terapi Oksigen (O2)
Terapi oksigen (O2) tidak direkomendasi pada:
16
Tabel 2.2.
Indikasi Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang
Pemberian oksigen (O2) secara kontinyu:
PaO2 istirahat < 55 mmHg atau SaO2 < 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau SaO2 89% pada salah satu
keadaan:
Edema yang disebabkan karena CHF
P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3
mm pada lead II, III dan aVF)
Polisitemia (hematokrit > 56%)
Pemberian oksigen (O2) secara tidak kontinyu:
Selama latihan: PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%
Selama tidur: PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen dan aritmia
a. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama
dispeneu tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan
tidak mempunyai hipoksia kronis.
b. Pasien yang tetap merokok karena kemungkinan prognosis yang buruk
dan dapat meningkatkan risiko kebakaran.4
2.6 Teknik Pemberian Terapi Oksigen (O2)
Sangat banyak teknik dan model alat yang dapat digunakan dalam
terapi oksigen (O2) yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan
oleh kondisi pasien yang akan diberikan terapi oksigen (O2).3
Teknik dan alat yang akan digunakan dalam pemberian terapi oksigen
(O2) hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (O2) (FiO2) udara
inspirasi.
b. Tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida (CO2).
c. Tahanan terhadap pernapasan mininal.
17
d. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen (O2).
e. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien.3
Cara pemberian terapi oksigen (O2) dibagi menjadi dua jenis, yaitu
(1) sistem arus rendah dan (2) sistem arus tinggi. Pada sistem arus rendah,
sebagian dari volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) 21%-90%, tergantung dari aliran gas
oksigen (O2) dan tambahan asesoris seperti kantong penampung. Alat-alat
yang umum digunakan dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter,
sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung dan oksigen (O2)
transtrakeal. Alat ini digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, volume
tidalnya berkisar antara 300-700 ml pada orang dewasa dan pola napasnya
teratur. Pada sistem arus tinggi, adapun alat yang digunakan yaitu
sungkup venturi yang mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada
perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu memberikan
aliran total gas yang tinggi dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang tetap.
Keuntungan dari alat ini adalah fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang diberikan
stabil serta mampu mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi
sedangkan kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat apabila
ingin mengubah fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan tidak nyaman bagi
pasien.3,4
2.6.1 Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah
a. Nasal kanul dan nasal kateter.
Nasal kanul dan nasal kateter merupakan alat terapi oksigen
(O2) dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal
kanul terdiri dari sepasang tube dengan panjang + dua cm yang dipasangkan
pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan secara
langsung menuju oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif
bila tidak terdapat sungkup muka, terutama bagi pasien yang
membutuhkan konsentrasi oksigen (O2) rendah oleh karena tergolong
sebagai alat yang sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya.
Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring
dengan aliran 1-6 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O2) (Fi-O2)
18
antara 24-44%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan fraksi
oksigen (O2) (FiO2) secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Adapun keuntungan
dari nasal kanul yaitu pemberian oksigen (O2) yang stabil
serta pemasangannya mudah dan nyaman oleh karena pasien masih
dapat makan, minum, bergerak dan berbicara. Walaupun nasal kanul
nyaman digunakan tetapi pemasangan nasal kanul dapat menyebabkan
terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah lepas, tidak
dapat memberikan konsentrasi oksigen (O2) lebih dari 44% dan
tidak dapat digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal.3,4,9 Nasal
kateter mirip dengan nasal kanul di mana sama-sama memi-liki sifat
yang sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya serta
tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia dan jenis kelamin
pasien. Untuk pasien anak-anak digunakan kateter nomor 8-10 F,
untuk wanita digunakan kateter nomor 10-12 F dan untuk pria
digunakan kateter nomor 12-14 F. Fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang
dihasilkan sama dengan nasal kanul.3 Adapun gambar nasal kanul
dan nasal kateter secara berturut-turut ditunjukkan pada gam-bar 2.1
dan 2.2.
b. Sungkup muka tanpa kantong penampung.
Sungkup muka tanpa kantong penampung merupakan alat
terapi oksigen (O2) yang terbuat dari bahan plastik di mana penggunaannya
dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien de-
Gambar 2.1.
Nasal Kanul
Gambar 2.2.
Nasal Kateter
19
ngan ikat kepala elastis yang berfungsi untuk menutupi hidung dan
mulut. Tubuh sungkup berfungsi sebagai penampung untuk oksi-gen
(O2) dan karbon dioksida (CO2) hasil ekspirasi. Alat ini mam-pu
menyediakan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sekitar 40-60% dengan
aliran sekitar 5-10 liter/ menit. Pada penggunaan alat ini, direkomendasikan
agar aliran oksigen (O2) dapat tetap dipertahankan sekitar
5 liter/ menit atau lebih yang bertujuan untuk mencegah karbon
dioksida (CO2) yang telah dikeluarkan dan tertahan pada sungkup
untuk terhirup kembali. Adapun keuntungan dari penggunaan
sungkup muka tanpa kantong penampung adalah alat ini mampu
memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih tinggi daripada
nasal kanul ataupun nasal kateter dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan
melalui pemilihan sungkup berlubang besar sedangkan
kerugian dari alat ini yaitu tidak dapat memberikan fraksi oksigen
(O2) (FiO2) kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan karbon
dioksida (CO2) jika aliran oksigen (O2) rendah dan oleh karena
penggunaannya menutupi mulut, pasien seringkali kesulitan untuk
makan dan minum serta suara pasien akan teredam. Sungkup muka
tanpa kantong penampung paling cocok untuk pasien yang membutuhkan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal
kanul ataupun nasal kateter dalam jangka waktu yang singkat, seperti
terapi oksigen (O2) pada unit perawatan pasca anestesi. Sungkup
muka tanpa kantong penampung sebaiknya juga tidak diguna-
Gambar 2.3.
Sungkup Muka Tanpa Kantong Penampung
20
kan pada pasien yang tidak mampu untuk melindungi jalan napas
mereka dari resiko aspirasi.3,9 Adapun gambar sungkup muka tanpa
kantong penampung ditunjukkan pada gambar 2.3.
c. Sungkup muka dengan kantong penampung.
Terdapat dua jenis sungkup muka dengan kantong penampung
yang seringkali digunakan dalam pemberian terapi oksigen
(O2), yaitu sungkup muka partial rebreathing dan sungkup muka
nonrebreathing. Keduanya terbuat dari bahan plastik namun perbedaan
di antara kedua jenis sungkup muka tersebut terkait dengan adanya
katup pada tubuh sungkup dan di antara sungkup dan kantong
penampung.9 Sungkup muka partial rebreathing tidak memiliki
katup satu arah di antara sungkup dengan kantong penampung
sehingga udara ekspirasi dapat terhirup kembali saat fase inspirasi
sedangkan pada sungkup muka nonrebreathing, terdapat katup satu
arah antara sungkup dan kantong penampung sehingga pasien hanya
dapat menghirup udara yang terdapat pada kantong penam-pung
dan menghembuskannya melalui katup terpisah yang terletak pada
sisi tubuh sungkup.5 Sungkup muka dengan kantong penam-pung
Gambar 2.4.
Sungkup Muka
Partial Rebreathing
Gambar 2.5.
Sungkup Muka
Nonrebreathing
21
dapat mengantarkan oksigen (O2) sebanyak 10-15 liter/ menit
dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sebesar 80-85% pada sungkup
muka partial rebreathing bahkan hingga 100% pada sungkup muka
nonrebreathing.5,9 Kedua jenis sungkup muka ini sangat dianjurkan
penggunaannya pada pasien-pasien yang membutuhkan terapi
oksigen (O2) oleh karena infark miokard dan keracunan karbon
monoksida (CO).9 Adapun gambar sungkup muka partial rebreathing
dan nonrebreathing secara berturut-turut ditunjukkan melalui
gambar 2.4 dan 2.5.
d. Oksigen (O2) transtrakeal.
Oksigen (O2) transtrakeal dapat mengalirkan oksigen (O2)
secara langsung melalui kateter di dalam trakea. Oksigen (O2) transtrakeal
dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk menggunakan
terapi oksigen (O2) secara kontinyu selama 24 jam dan seringkali
berhasil untuk mengatasi hipoksemia refrakter. Oksigen (O2) transtrakeal
dapat menghemat penggunaan oksigen (O2) sekitar 30-
60-%. Keuntungan dari pemberian oksigen (O2) transtrakeal yaitu tidak
ada iritasi muka ataupun hidung dengan rata-rata oksigen (O2)
Gambar 2.6.
Oksigen (O2) Transtrakeal
22
yang dapat diterima pasien mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan
alat ini yaitu biayanya yang tergolong tinggi dan resiko terjadinya
infeksi lokal. Selain itu, ada pula berbagai komplikasi lainnya
yang seringkali terjadi pada pemberian oksigen (O2) transtrakeal
antara lain emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksismal
dan infeksi stoma.4 Adapun gambar dari oksigen (O2) transtrakeal
ditunjukkan pada gambar 2.6.
2.6.2 Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Tinggi
Terdapat dua indikasi klinis untuk penggunaan terapi oksigen
(O2) dengan arus tinggi, di antaranya adalah pasien dengan hipoksia
yang memerlukan pengendalian fraksi oksigen (O2) (FiO2)
dan pasien hipoksia dengan ventilasi yang abnormal. Adapun alat
terapi oksigen (O2) arus tinggi yang seringkali digunakan, salah satunya
yaitu sungkup venturi. Sungkup venturi merupakan alat terapi
oksigen (O2) dengan prinsip jet mixing yang dapat memberikan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) sesuai dengan yang dikehendaki. Alat ini
sangat bermanfaat untuk dapat mengirimkan secara akurat konsentrasi
oksigen (O2) rendah sekitar 24-35% dengan arus tinggi, terutama
pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
dan gagal napas tipe II di mana dapat mengurangi resiko terjadinya
retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus juga memerbaiki hipokse-
Gambar 2.7.
Sungkup Venturi
23
mia. Alat ini juga lebih nyaman untuk digunakan dan oleh karena
adanya pendorongan oleh arus tinggi, maka masalah rebreathing akan
dapat teratasi. Adapun sungkup venturi ditunjukkan pada gambar
2.7 dan tabel 2.3 menunjukkan fraksi oksigen (O2) (FiO2) pada
alat terapi oksigen (O2) arus rendah dan arus tinggi ditunjukkan pada
tabel 2.3.4,5
Tabel 2.3.
Fraksi Oksigen (O2) (FiO2) pada
Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah dan Arus Tinggi
Aliran Oksigen (O2) 100% Fraksi Oksigen (O2) (FiO2)
Sistem Arus Rendah
Nasal Kanul
1 Liter/ menit 24
2 Liter/ menit 28
3 Liter/ menit 32
4 Liter/ menit 36
5 Liter/ menit 40
6 Liter/ menit 44
Transtrakeal
0,5-4 Liter/ menit 24-40
Sungkup Oksigen (O2)
5-6 Liter/ menit 40
6-7 Liter/ menit 50
7-8 Liter/ menit 60
Sungkup dengan Reservoir
6 Liter/ menit 60
7 Liter/ menit 70
8 Liter/ menit 80
9 Liter/ menit 90
10 Liter/ menit > 99
Nonrebreathing
4-10 Liter/ menit 60-100
24
Sistem Arus Tinggi
Sungkup Venturi
3 Liter/ menit 24
6 Liter/ menit 28
9 Liter/ menit 40
12 Liter/ menit 40
15 Liter/ menit 50
2.7 Pedoman Pemberian Terapi Oksigen (O2)
Adapun pemberian terapi oksigen (O2) hendaknya mengikuti langkah-
langkah sebagai berikut sehingga tetap berada dalam batas aman dan
efektif, di antaranya:
a. Tentukan status oksigenasi pasien dengan pemeriksaan klinis, analisa
gas darah dan oksimetri.
b. Pilih sistem yang akan digunakan untuk memberikan terapi oksi-gen
(O2).
c. Tentukan konsentrasi oksigen (O2) yang dikehendaki: rendah (di
bawah 35%), sedang (35 sampai dengan 60%) atau tinggi (di atas
60%).
d. Pantau keberhasilan terapi oksigen (O2) dengan pemeriksaan fisik
pada sistem respirasi dan kardiovaskuler.
e. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah secara periodik dengan selang
waktu minimal 30 menit.
f. Apabila dianggap perlu maka dapat dilakukan perubahan terhadap
cara pemberian terapi oksigen (O2).
g. Selalu perhatikan terjadinya efek samping dari terapi oksigen (O2)
yang diberikan.3
2.8 Efek Samping Pemberian Terapi Oksigen (O2)
Seperti halnya terapi dengan obat, pemberian terapi oksigen (O2)
juga dapat menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem pernapasan,
susunan saraf pusat dan mata, terutama pada bayi prematur. Efek
25
samping pemberian terapi oksigen (O2) terhadap sistem pernapasan, di
antaranya dapat menyebabkan terjadinya depresi napas, keracunan oksigen
(O2) dan nyeri substernal.3
Depresi napas dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) dengan hipoksia dan hiperkarbia kronis.
Pada penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kendali pusat napas
bukan oleh karena kondisi hiperkarbia seperti pada keadaan normal,
tetapi oleh kondisi hipoksia sehingga pabila kada oksigen (O2) dalam darah
meningkat maka akan dapat menimbulkan depresi napas. Pada penderita
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), terapi oksigen (O2) dianjurkan
dilakukan dengan sistem aliran rendah dan diberikan secara intermiten.
3
Keracunan oksigen (O2) terjadi apabila pemberian oksigen (O2)
dengan konsentrasi tinggi (di atas 60%) dalam jangka waktu yang lama.
Hal ini akan menimbulkan perubahan pada paru dalam bentuk kongesti
paru, penebalan membran alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasis. Pada
keadaan hipoksia berat, pemberian terapi oksigen dengan fraksi oksigen
(O2) (FiO2) yang mencapai 100% dalam waktu 6-12 jam untuk penyelamatan
hidup seperti misalnya pada saat resusitasi masih dianjurkan namun
apabila keadaan kritis sudah teratasi maka fraksi oksigen (O2) (FiO2)
harus segera di turunkan. Nyeri substernal dapat terjadi akibat iritasi pada
trakea yang menimbulkan trakeitis. Hal ini terjadi pada pemberian oksigen
(O2) konsentrasi tinggi dan keluhan tersebut biasanya akan diperpa-rah
ketika oksigen (O2) yang diberikan kering atau tanpa humidifikasi.3
Efek samping pemberian terapi oksigen (O2) terhadap susunan saraf
pusat apabila diberikan dengan konsentrasi yang tinggi maka akan dapat
menimbulkan keluhan parestesia dan nyeri pada sendi sedangkan efek
samping pemberian terapi oksigen (O2) terhadap mata, terutama pada bayi
baru lahir yang tergolong prematur, keadaan hiperoksia dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan pada retina akibat proliferasi pembuluh darah
yang disertai dengan perdarahan dan fibrosis atau seringkali disebut
sebagai retrolental fibroplasia.3
26
2.9 Perhatian terkait Terapi Oksigen (O2)
Oleh karena deteksi terhadap efek samping dari terapi oksigen (O2)
tergolong tidak mudah, maka perlu dilakukan pencegahan terhadap timbulnya
efek samping dari terapi oksigen (O2) melalui cara pemberian oksigen
(O2) yang harus dilakukan dengan dosis serta cara yang tepat. Pemberian
oksigen (O2) yang paling aman dilakukan pada fraksi oksigen (O2) (FiO2)
0,5-1. Menggunakan terapi oksigen (O2) juga sangat beresiko terhadap api,
oleh karena itu sangat perlu untuk mengedukasi pasien untuk menghindari
merokok serta tabung oksigen (O2) harus diyakinkan aman agar tidak mudah
terjatuh dan meledak.4
27
BAB III
PENUTUP
Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan
dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memerbaiki hipoksia
jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan
cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi, meningkatkan
daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan
atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan.3,8
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah pasien
benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi oksigen (O-
2) jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy).
Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus
dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.4,5 Terapi
oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pesien-pa-sien
dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia, penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskuler
dan emboli paru sedangkan terapi oksigen (O2) jangka panjang merupakan
terapi yang dibutuhkan pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia kronis,
di antaranya penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kor pulmonal dan polisitemia.
4
Cara pemberian terapi oksigen (O2) dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) sistem
arus rendah dan (2) sistem arus tinggi. Alat-alat yang umum digunakan dalam
sistem arus rendah adalah: nasal kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau
dengan kantong penampung dan oksigen (O2) transtrakeal sedangkan alat yang digunakan
dalam sistem arus tinggi adalah sungkup venturi.4 Terapi oksigen (O2) juga
dapat menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem pernapasan, su-sunan
saraf pusat dan mata. Adapun efek samping tersebut di antaranya dapat menyebabkan
terjadinya depresi napas, keracunan oksigen (O2), nyeri substernal, parestesia,
nyeri pada sendi dan retrolental fibroplasia pada bayi prematur.3
22
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Edisi XI. Philadel-phia.
W. B. Saunders Company. 2006.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan, MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.
3. Mangku G, Senapathi TGE. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi II.
Jakarta. Indeks. 2017.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. InternaPublishing. 2009.
5. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI. Fishman’s
Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York. McGraw-Hill
Companies. 2008.
6. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Edisi I. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
7. Levitzky MG. Pulmonary Physiology. Edisi VII. New York. McGraw-Hill
Companies. 2007.
8. Widiyanto B, Yasmin LS. Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi Oksigen
melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut (IM-A).
Prosiding Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah. 2014; 1(1): 138-43.
9. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
Edisi V. New York. McGraw-Hill Companies. 2013
TATALAKSANA CHOKING

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang...................................................................................... 1
Plan of Action....................................................................................... 7
BAB II LANDASAN TEORI
Definisi.................................................................................................. 8
Gejala.................................................................................................... 9
Penanganan........................................................................................... 9
Pencegahan........................................................................................... 12
BAB III HASIL KEGIATAN........................................................................ 14
BAB IV KESIMPULAN
Manfaat................................................................................................. 15
Saran..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 16
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tersedak merupakan keadaan gawat napas yang masih sering
dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Menurut data, angka kematian yang
disebabkan oleh obstruksi jalan napas khususnya tersedak masih tinggi di
kalangan bayi (Dwiadhi, 2013 dalam Utami, 2014). Riset yang dilakukan
oleh Dr.Gary Smith di Nationwide Children’s Hospital menjelaskan bahwa
dalam satu dekade terdapat 34 anak dibawah 1 tahun di Amerika dibawa ke
IGD karena tersedak makanan dan ASI (RahmaLillahi, 2013 dalam Utami,
2014).
Penyebab bayi tersedak adalah posisi menyusui yang salah dan terlalu
banyak susu yang masuk ke dalam mulut bayi yang tidak seimbang dengan
kemampuan bayi menyedotnya, sehingga membuat bayi kesulitan bernapas,
dan menghalangi keluar masuknya udara, sehingga pada saat inspirasi, laring
terbukadan minuman atau benda asing masuk kedalam laring, kemudian
benda asing itu terjepit di sfingter laring (Shelov, 2005 dalam Utami, 2014).
Pada anak-anak, penyebab tersedak adalah tidak dikunyahnya makanan
dengan sempurna dan makan terlalu banyak pada satu waktu. Selain itu, anakanak
juga sering memasukkan benda-benda padat kecil ke dalam mulutnya
(Tim Bantuan Medis BEM IKM FKUI, 2015).
Bahaya dari tersedak bila tidak tahu tanda-tanda dari tersedak dan tidak
dengan segera dilakukan penanganan dini dapat menyebabkan kesulitan
bernapas, kebiruan dan hilang kesadaran. Oleh karena itu, mengetahui tandatanda
tersedak seperti batuk tanpa suara, kebiruan, ketidakmampuan untuk
berbicara atau bernapas (Tim Bantuan Medis BEM IKM FKUI, 2015). Selain
itu, bila ditemukan tanda-tanda penyumbatan ringan dan korban dapat batuk,
jangan menghalangi proses batuk dan usaha bernapas spontan dari korban.
Penanganan yang dilakukan biasanya berhasil dan tingkat kelangsungan
hidup dapat mencapai 95%. Penanganan dini untuk tersedak terbagi menjadi
2
3 macam, yaitu meliputi back blow (tepukan di punggung), abdominal thrust
(hentakan pada perut) disebut juga dengan maneuver Heimich dan chest
thrust (hentakan pada dada). Berdasarkan penelitian dari Utami tahun 2014
didapatkan 19 responden (45,24%) didapatkan ibu yang memiliki bayi kurang
efektif tentang teknik menyusui dan menyendawakan bayinya ketika tersedak.
Penangan tersedak pada bayi biasanya karena ASI sehingga sedikit berbeda
penangananya yaitu dengan cara memperhatikan cara menyusui yang baik
dan benar sesaat sebelum menyusui. Tersedak memang sepintas terlihat
sepele, namun jika di lakukan dengan penanganan yang salah akan
menyebakan fatal. Sebagai tenaga kesehatan harus benar-benar dapat
menjelaskan di dalam melakukan edukasi tentang penanganan tersedak, lebih
baik mencegah dari pada menangani (Diane M, 2009 dalam Utami, 2014).
1. Hasil Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian di dukuh Kanoman kecamatan
Gamping didapatkan tipe pedesaan adalah semi usaha karena mayoritas
warga di dukuh Kanoman memiliki usaha warung dan kos-kosan,
sedangkan lingkungan tempat tinggal adalah rumah tunggal. Bangunan di
dukuh Kanoman merupakan bangunan baru dan bangunan lama tetapi
terpelihara bagus. Sarana dan prasarana di dukuh Kanoman, meliputi
masjid, mushola, PAUD dan TK. Selain itu, terdapat posyandu balita dan
lansia yang diadakan 2 bulan sekali setiap tanggal 14. Mayoritas warga
sudah memiliki kendaraan bermotor, yaitu sepeda motor. Tempat belanja
warga dukuh Kanoman adalah pasar Gamping atau pasar Tlogorejo.
Terdapat 185 kepala keluarga dan merupakan warga asli atau
warga pendatang yang sudah menjadi warga asli dukuh Kanoman.
Terdapat 60 balita, 70 lansia dan 70 remaja dengan tingkat pendidikan
terendah, yaitu SD sebanyak 2 orang dan putus sekolah sebanyak 2 orang.
Mayoritas pekerjaan warga di dukuh Kanoman adalah petani dengan
tingkat penghasilan < 1 juta.
Menurut penjelasan kepala dukuh, angka kelahiran di dukuh
Kanoman lebih tinggi daripada angka kematian. Terdapat masalah
3
kesehatan berupa demam berdarah sebanyak 2 orang pada tahun 2016,
diabetes mellitus sebanyak 10 orang dan stroke sebanyak 1 orang.
Terdapat pula kejadian tersedak pada bayi usia 3 bulan dan menyebabkan
bayimeninggal. Penyuluhan dari puskesmas Gamping II diadakan setiap
2 bulan sekali dan penyuluhan tersebut lebih berkaitan pada penyakit
yang sudah terjadi di dukuh Kanoman, tetapi penyuluhan mengenai
tersedak belum ada. Akibatnya pengetahuan tentang tersedak pada warga
masih kurang. Menurut keterangan salah satu ibu yang memiliki balita,
cara yang dilakukan bila balita tersedak hanya menepuk bagian
punggung saja, tetapi tidak tahu secara pasti cara penanganan tersedak
pada balita yang benar dan tepat. Terdapat pula ibu yang mengatakan
cara menangani tersedak adalah dengan diberi air minum agar sumbatan
bisa masuk ke dalam perut (sistem pencernaan). Dalam hal ini, terdapat
Kesalahan persepsi tentang letak sumbatan. Saat tersedak, benda asing
menyumbat di bagian saluran pernapasan, bukan saluran pencernaan.
4
2. Analisa Data Komunitas
Kategori Data Pernyataan Kesimpulan
Demografi:
a. Usia
- Warga berusia balita
sebanyak 60 orang
- Warga berusia remaja
70 orang
- Warga berusia lansia
70 orang
Warga Dukuh Kanoman
memiliki usia yang
bervariasi
Kesenjangan data: dibutuhkan data terkait usia bayi
dan balita setiap tahun
b. Tingkat
pendidikan
Terdapat 2 warga di
dukuh Kanoman yang
putus sekolah dan 2
warga yang lulusan SD
Rendahnya tingkat
pendidikan
Kesenjangan data: dibutuhkan data yang spesifik
mengenai warga yang tidak bersekolah, putus sekolah
hingga pendidikan yang tinggi
c. Status
pekerjaan
Mayoritas warga di
dukuh Kanoman adalah
petani.
Status pekerjaan warga
dukuh Kanoman adalah
cukup
Kesenjangan data: dibutuhkan data jumlah status
pekerjaan selain petani
5
3. Rumusan Diagnosa
Masalah Etiologi Tanda dan Gejala
Kurangnya pengetahuan
ibu-ibu tentang
tersedak pada balita di
dukuh Kanoman
Rendahnya
pengetahuan
ibu-ibu
tentang
tersedak
- Belum pernah ada penyuluhan
tentang tersedak
- Terdapat kejadian tersedak
pada bayi usia 3 bulan dan
menyebabkan bayi meninggal
- Warga memberi air minum
pada warga yang tersedak
- Terdapat kesalahan persepsi
tentang letak sumbatan
4. Diagnosa Keperawatan
Kurangnya pengetahuan ibu-ibu tentang tersedak pada balita di dukuh
Kanoman b/d rendahnya pengetahuan ibu-ibu tentang tersedak d/d belum
pernah ada penyuluhan dari puskesmas tentang tersedak, terdapat
kejadian tersedak pada bayi usia 3 bulan dan menyebabkan bayi
meninggal, warga memberi air minum pada warga yang tersedak, dan
terdapat Kesalahan persepsi tentang letak sumbatan.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. DEFINISI
Choking (tersedak) adalah tersumbatnya saluran napas akibat benda
asing secara total atau sebagian, sehingga menyebabkan korban sulit bernapas
dan kekurangan oksigen, bahkan dapat segera menimbulkan kematian
(Bagian Diklat RSCM, 2015). Tersedak merupakan pembunuh tercepat, lebih
cepat dibandingkan gangguan breathing dan circulation. Pada orang dewasa,
tersedak paling sering terjadi ketika makanan tidak dikunyah sempurna, serta
makan sambil berbicara atau tertawa. Pada anak-anak, penyebab tersedak
adalah tidak dikunyahnya makanan dengan sempurna dan makan terlalu
banyak pada satu waktu. Selain itu, anak-anak juga sering memasukkan
benda-benda padat kecil ke dalam mulutnya (Junha, 2014 dalam Tim Bantuan
Medis BEM IKM FKUI, 2015). Penyebab bayi tersedak diantaranya adalah
posisi menyusui yang salah dan terlalu banyak susu yang masuk kedalam
mulut bayi yang tidak seimbang dengan kemampuan bayi menyedotnya,
sehingga membuat bayi kesulitan bernapas, dan menghalangi keluar
masuknya udara, sehingga pada saat inspirasi, laring terbuka dan minuman
atau benda asing masuk kedalam laring, kemudian benda asing itu terjepit di
sfingter laring (Shelov, 2005 dalam Utami 2014).
Tersedak merupakan suatu kegawat daruratan yang sangat berbahaya,
karena dalam beberapa menit akan terjadi kekurangan oksigen secara general
atau menyeluruh sehingga hanya dalam hitungan menit klien akan kehilangan
reflek nafas, denyut jantung dan kematian secara permanen dari batang otak,
dalam bahasa lain kematian dari individu tersebut. Ketika tersedak, anak
mungkin sudah tidak bisa mengeluarkan suara dengan jelas untuk
mengatakan sakitnya, anak merasa tercekik dan berusaha untuk batuk dan
kemudian akan membuat usaha napas tersengal-sengal. Sianosis akan terjadi,
kepala dan leher terlihat kongesti/membengkak, disertai penurunan kesadaran
(Shelov, 2004 dalam Sumarningsih, D., 2015).
9
B. GEJALA
Pengenalan tanda-tanda tersedak merupakan kunci dari keberhasilan
penanganan. Benda asing dapat menyebabkan penyumbatan yang ringan atau
berat. Penyelamat harus segera melakukan penanganan jika korban tersedak
menunjukkan tanda-tanda penyumbatan yang berat, yaitu tanda-tanda
pertukaran udara yang buruk dan kesulitan bernapas, antara lain batuk tanpa
suara, kebiruan, dan ketidakmampuan untuk berbicara atau bernapas (Berg, et
al., 2010 dalam Tim Bantuan Medis BEM IKM FKUI, 2015). Korban dapat
sambil memegang atau mencengkeram lehernya. Hal itu merupakan tanda
umum dari tersedak. Segera tanyakan, “Apa anda tersedak?” Jika korban
mengiyakan dengan bersuara dan masih dapat bernapas, ini dapat
menunjukkan korban mengalami sumbatan saluran napas yang ringan. Jika
korban mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya tanpa berbicara, ini
dapat menunjukkan korban mengalami sumbatan saluran napas yang berat
(ECC Guidelines, 2000 dalam Tim Bantuan Medis BEM IKM FKUI, 2015).
Pada bayi yang tersedak, harus diperhatikan apakah ada perubahan
sikap menyebabkan bayikarena mereka belum bisa melakukan tanda umum
tersedak. Perubahan yang mungkin terlihat adalah kesulitan bernapas, batuk
yang lemah, dan suara tangisan lemah. (Berg, et al., 2010 dalam Tim Bantuan
Medis BEM IKM FKUI, 2015).
C. PENANGANAN
1. Penanganan tersedak pada anak-anak dan orang dewasa
Terdapat beberapa manuver yang terbukti efektif untuk menangani
tersedak, antara lain back blow (tepukan di punggung), abdominal thrust
(hentakan pada perut) disebut juga dengan manuver Heimlich, dan chest
thrust (hentakan pada dada) (Berg, et al., 2010 dalam TBM, 2015).
a. Tepukan di punggung (back blow)
Tepukan di punggung (back blow) dilakukan dengan
memberikan lima kali tepukan di punggung korban. Berikut cara
melakukan tepukan di punggung (back blow):
10
1) Berdiri di belakang korban den sedikit bergeser kesamping.
2) Miringkan korban sedikit ke depan dan sangga dada korban
dengan salah satu tangan.
3) Berikan lima kali tepukan di punggung bagian atas di antara
tulang belikat menggunakan tangan bagian bawah.
b. Manuver hentakan pada perut (abdominal thrust)/manuver Heimlich
Manuver hentakan pada perut hanya boleh dilakukan untuk
anak berusia diatas 1 tahun dan dewasa. Manuver hentakan pada
perut dapat membuat korban batuk yang diharapkan cukup kuat
untuk menghilangkan sumbatan pada saluran napas. Manuver
hentakan pada perut membuat tekanan (penekanan) pada paru-paru
dan memaksa udara keluar. Udara yang dipaksa keluar juga akan
memaksa keluar benda yang membuat korban tersedak.
Berikut cara melakukan manuver hentakan pada perut:
1) Miringkan korban sedikit ke depan dan berdiri di belakang
korban dan letakkan salah satu kaki di sela kedua kaki korban.
2) Buat kepalan pada satu tangan dengan tangan lain
menggenggam kepalan tangan tersebut. Lingkarka tubuh korban
dengan kedua lengan kita.
3) Letakkan kepalan tangan pada garis tengah tubuh korban tepat
di bawah tulang dada atau di ulu hati.
4) Buat gerakan ke dalam dan ke atas secara cepat dan kuat untuk
membantu korban membatukkan benda yang menyumbat
saluran napasnya. Manuver ini terus diulang hingga korban
dapat kembali bernapas atau hingga korban kehilangan
kesadaran.
5) Jika korban kehilangan kesadaran, baringkan korban secara
perlahan sehingga posisinya terlentang dan mulai lakukan RJP.
Setiap saluran napas dibuka saat RJP, penyelamat harus
memeriksa apakah terdapat benda asing pada mulut korban dan
mengambilnya apabila menemukannya.
11
c. Manuver hentakan pada dada (chest thrust)
Apabila korban tersedak sedang hamil atau mengalami
kegemukan, manuver hentakan pada perut mungkin tidak efektif.
Pada keadaaan-keadaan tersebut, dapat dilakukan manuver hentakan
pada dada.
1) Letakkan tangan di bawah ketiak korban
2) Lingkari dada korban dengan lengan kita
3) Letakkan bagian ibu jari pada kepalan di tengah-tengah tulang
dada korban (sama seperti tempat melakukan penekanan dada
pada RJP)
4) Genggam kepalan tangan tersebut dengan tangan satunya dan
hentakan ke dalam dan ke atas.
2. Penanganan tersedak pada bayi:
Perlu diketahui bahwa manuver hentakan pada perut tidak
direkomendasikan untuk bayi dengan usia di bawah 1 tahun karena dapat
menyebabkan cedera pada organ dalamnya sehingga untuk mengatasi
tersedak dilakukan manuver tepukan di punggung dan hentakan pada
dada (Pusponegoro, et al., 2012).
Berikut langkah-langkah manuver tepukan punggung dan hentakan
dada pada bayi:
a. Posisikan bayi menelungkup dan lakukan tepukan di punggung
dengan menggunakan pangkal telapak tangan sebanyak lima kali.
b. Kemudian, dari posisi menelungkup, telapak tangan kita yang bebas
menopang bagian belakang kepala bayi sehingga bayi berada
diantara kedua tangan kita (tangan satu menopang bagian belakang
kepala bayi, dan satunya menopang mulut dan wajah bayi).
c. Lalu, balikan bayi sehingga bayi berada pada posisi menengadah
dengan telapak tangan yang berada di atas paha menopang belakang
kepala bayi dan tangan lainnya bebas.
12
d. Lakukan manuver hentakan pada dada sebanyak lima kali dengan
menggunakan jari tengah dan telunjuk tangan yang bebas di tempat
yang sama dilakukan penekanan dada saat RJP pada bayi.
e. Jika korban menjadi tidak sadar, lakukan RJP
f. Jika penyelamat tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan,
segera aktivasi SPGDT, jangan ditunda. Penyelamat mungkin dapat
berhasil menghentikan korban tersedak sebelum bantuan datang
namun akan lebih baik jika korban ditangani oleh tenaga medis. Jika
masih terdapat benda asing pada saluran napas, tenaga medis yang
datang dapat melakukan penanganan segera dan membawa korban
ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
D. PENCEGAHAN
Menurut Sabrina (2008) dalam Sumarningsih, D., (2015), setengah
dari orang-orang dewasa tidak tahu apa yang harus dilakukan agar anak tidak
tesedak. Selain itu, survey yang dilakukan The Home Safety Council
menemukan banyak masyarakat Amerika Serikat yang tidak peduli dan tidak
tahu penyebab tersedak bisa terjadi, dikarenakan pendidikan yang ibu miliki,
pengetahuan yang kurang tentang perawatan anak serta informasi yang
kurang dan didukung umur ibu. Penanganan berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki dapat juga menyelamatkan nyawa seseorang dengan masalahmasalah
medis akut. Informasi dan edukasi dibutuhkan, karenanya, tidak
hanya keamanan dan pencegahan kecelakaan, tapi juga penanganan yang
cepat dan tepat.
Salah satu upaya agar informasi dapat dipahami dan dapat memberikan
dampak perubahan perilaku masyarakat khususnya keluarga adalah dengan
menggunakan edukasi sebagai salah satu metode tersampainya informasi. Hal
ini dikarenakan edukasi merupakan salah satu cara pendekatan pada keluarga
yang baik dan efektif dalam rangka memberikan atau menyampaikan pesan
atau informasi kesehatan dengan tujuan untuk mengubah perilaku dengan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga. Sehingga masyarakat
13
tidak hanya sadar, tahu, dan mengerti tetapi juga mau dan bisa melakukan
suatu anjuran yang ada hubungan dengan kesehatan yaitu tentang pencegahan
dan pelaksananaan tersedak pada anak sehingga adakan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam melakukannya (Sumarningsih,
D., 2015).
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah bayi tersedak,
diantaranya dengan memperhatikan cara menyusui yang baik dan benar sesaat
sebelum menyusui. Tersedak memang sepintas terlihat sepele, namun jika di
lakukan dengan penanganan yang salah akan menyebabkan fatal. Sebagai
tenaga kesehatan harus benar-benar dapat menjelaskan di dalam melakukan
edukasi tentang penanganan tersedak, lebih baik mencegah dari pada
menangani (Diane M, 2009 dalam Utami). Menyendawakan bayi adalah salah
satu upaya mengeluarkan gas yang ikut masuk ke dalam perutnya saat ia
menyusu. Biasanya, bayi baru lahir belum tahu cara menyusu yang benar atau
masih bingung cara menyusu dari botol, sehingga, saat mengenyot puting
susu ibunya atau dot, terdengar suara atau mengecap. Saat hal itu, udara dari
luar ikut masuk ke dalam mulutnya. Jika tidak disendawakan, maka bayi akan
gumoh (muntah), atau bahkan dapat tersedak air susunya sendiri (Erin, 2013
dalam Utami).
14
BAB III
HASIL KEGIATAN
No
Hari, Tgl,
Jam
Implementasi
Paraf
pelaksana
Evaluasi
1 Selasa, 14
Juni 2016
pukul
11.00 WIB
1. Menjelaskan tentang
definisi penyebab,
gejala, penangan
dan pencegahan
tersedak, khususnya
pada balita
2. Mendemonstrasikan
cara penanganan
tersedak, khususnya
pada balita
3. Berdiskusi (tanya
jawab) mengenai
tersedak, cara
penanganan dan
pencegahannya
S: Ibu-ibu di posyandu
Dukuh Kanoman mengatakan
mengerti tentang definisi,
penyebab, gejala, penangan
dan pencegahan tersedak
O:
- Ibu-ibu di posyandu
Dukuh Kanoman terlihat
antusias mengikuti
penyuluhan
- Ibu-ibu di posyandu
Dukuh Kanoman mampu
menjawab pertanyaan
yang diberikan pemateri
- Ibu-ibu di posyandu
Dukuh Kanoman
memberikan feedback
positif terhadap
penyuluhan
A: kurang pengetahuan
teratasi sebagian
P: dilakukan tanya jawab
setelah penyuluhan selesai
15
BAB IV
KESIMPULAN
A. Manfaat
1. Menambah informasi kepada warga Dukuh Kanoman, khususnya ibu-ibu
yang memiliki balita tentang tersedak.
2. Menambah pengalaman dan meningkatkan pengetahuan ibu-ibu di
posyandu Dukuh Kanoman mengenai cara penanganan dan pencegahan
tersedak pada bayi maupun orang dewasa.
3. Menambah pengetahuan dan pengalaman secara langsung dalam
memberikan asuhan keperawatan komunitas di Dukuh Kanoman.
B. Saran
1. Bagi masyarakat tetap pelajari dan latih cara penangan tersedak serta
melakukan pencegahan tersedak.
2. Bagi Puskesmas dapat melakukan penyuluhan atau pendidikan kesehatan
mengenai kasus-kasus yang terlihat sepela, tapi besar dampaknya, seperti
tersedak.
3. Bagi mahasiswa dan institusi pendidikan keperawatan dapat lebih
memantapkan penggunaan proses keperawatan dalam pemecahan
masalah keperawatan komunitas.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Diklat RSCM. (2015). Tersedak. Pelatihan Internal RSCM Bantuan Hidup
Dasar 2015.
Pusponegoro, A.D., et al. (2012). Basic Trauma Life Support & Basic Cardiac
Life Support. Edisi kelima. Jakarta : Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118.
Sumarningsih, D. (2015). Pengaruh Edukasi Keluarga Tentang Pencegahan Dan
Penanganan Tersedak Pada Anak Terhadap Pengetahuan Dan
Keterampilan Keluarga Dukuh Ngebel Rt 09 Tamantirto Kasihan Bantul.
Diakses dari: http://opac.say.ac.id/201/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf,
pada tanggal 9 Juni 2016.
Tim Bantuan Medis BEM IKM FKUI. (2015). Modul bantuan hidup dasar dan
penanganan tersedak. Jakarta: Universitas Indonesia.
Utami, D.S. (2014). Teknik mencegah bayi tersedak pada ibu menyusui di
puskesmas pembantu Desa Demung Kecamatan Besuki Situbondo. Laporan
Penelitian. Situbondo.
LAMPIRAN
SATUAN ACARA PENGAJARAN
(SAP)
Pokok Pembahasan : Penanganan Choking (Tersedak) pada Balita
Instansi : Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiya Yogyakarta
Tugas : Komuda
Waktu : 40 Menit
Hari/Tanggal : Selasa, 14 Juni 2016
Pukul : 11.00 WIB
Tempat : Ruang Serba Guna Dukuh Kanoman
Target/Sasaran : Ibu-ibu yang mengantar balita ke Posyandudi Dukuh
Kanoman Bayuraden Gamping
A. Tujuan Intruksional Umum
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan selama 40 menit tentang
penanganan choking (tersedak) pada balita diharapkan ibu-ibu posyandu
Dusun kanoman Rt 04 menetahui cara penanganan dan pencegahannya
B. Tujuan intruksional Khusus
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan selama 40 menit diharapkan
ibu-ibu yang mempunyai balita dapat :
1. Mengetahui pengertian tersedak
2. Mengetahui tanda-tanda balita tersedak
3. Mengetahui penyebab balita tersedak
4. Mengetahui cara penanganannya balita tersedak
5. Mengetahui dampak tersedak balita tersedak
C. Materi Pembahasan
1. Definisi Choking
Choking (tersedak) adalah tersumbatnya saluran napas akibat
benda asing secara total atau sebagian, sehingga menyebabkan korban
sulit bernapas dan kekurangan oksigen, bahkan dapat segera
menimbulkan kematian (Bagian Diklat RSCM, 2015).
2. Tanda-tanda Balita Tersedak
a. Balita kesulitan bernafas
b. Batuk yang lemah
c. Suara tangis yang lemah
3. Penyebab Balita Tersedak
a. Posisi menyusui yang salah
b. Terlalu banyak susu yang masuk ke dalam mulut bayi
c. Benda asing yang pada yang masuk kedalam mulut bayi
4. Penanganan Balita Tersedak
a. Penanganan tersedak pada bayi:
b. Berikut langkah-langkah manuver tepukan punggung dan hentakan dada
pada bayi:
1) Cara yang pertama
a) Posisikan bayi menelungkup dan lakukan tepukan di
punggung dengan menggunakan pangkal telapak tangan
sebanyak lima kali.
b) Kemudian, dari posisi menelungkup, telapak tangan kita
yang bebas menopang bagian belakang kepala bayi
sehingga bayi berada diantara kedua tangan kita (tangan
satu menopang bagian belakang kepala bayi, dan satunya
menopang mulut dan wajah bayi).
2) Cara yang kedua
a) Lalu, balikan bayi sehingga bayi berada pada posisi
menengadah dengan telapak tangan yang berada di atas
paha menopang belakang kepala bayi dan tangan lainnya
bebas.
b) Lakukan manuver hentakan pada dada sebanyak lima kali
dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk tangan yang
bebas di tempat yang sama dilakukan penekanan dada
5. Dampak Apabila Tersedak Tidak
Segera Diatasi
a. Bibir atau kulit membiru
b. Tidak mau menelan
c. Tidak bisa menangis atau bersuara
d. Sulit bernafas
e. Hilang kesadaran
D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab/diskusi
E. Kegiatan Pembelajaran
No Kegiatan Pengajaran Waktu Kegiatan ibu-ibu posyandu
1 Mengucapkan salam, mempersilahkan
berdoa, dan memperkenalkan diri
3 Menjawab salam, berdoa,
dan memperhatikan
2 Apersepsi tentang Choking (tersedak)
pada balita
5 Menanggapi dan menjawab
pertanyaan
3 Menjelaskan tujuan kegiatan secara
verbal
2 Memperhatikan penjelasan
pengajar
4 Berdiskusi dengan peserta dan
menjelaskan tentang choking
(tersedak) pada balita
15 Menanggapi dan memperhatikan
penjelasan
pengajar
5 Mendorong dan memberi kesempatan
untuk bertanya, redemonstrasi,
10 Redemonstrasi, bertanya,
menanggapi dan atau
menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
6 Evaluasi secara lisan 3 Menjawab pertanyaan
7 Menutup pertemuan dan mengucapkan
salam
2 Memperhatikan dan
menjawab salam
Total waktu 40 menit
F. Media
1. Flipchart
2. Leaflet
G. Sember Bahan
1. Bagian Diklat RSCM. (2015). Tersedak. Pelatihan Internal RSCM
Bantuan Hidup Dasar 2015.
2. Pusponegoro, A.D., et al. (2012). Basic Trauma Life Support & Basic
Cardiac Life Support. Edisi kelima. Jakarta : Yayasan Ambulans Gawat
Darurat 118.
3. Sumarningsih, D. (2015). Pengaruh Edukasi Keluarga Tentang
Pencegahan Dan Penanganan Tersedak Pada Anak Terhadap
Pengetahuan Dan Keterampilan Keluarga Dusun Ngebel Rt 09
Tamantirto Kasihan Bantul. Diakses dari:
http://opac.say.ac.id/201/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf, pada tanggal
9 Juni 2016.
4. Tim Bantuan Medis BEM IKM FKUI. (2015). Modul bantuan hidup dasar
dan penanganan tersedak. Jakarta: Universitas Indonesia.
5. Utami, D.S. (2014). Teknik mencegah bayi tersedak pada ibu menyusui di
puskesmas pembantu Dukuh Demung Kecamatan Besuki Situbondo.
Laporan Penelitian. Situbondo.
H. Evaluasi
1. Prosedur : Lisan
2. Jenis : Promotif

Anda mungkin juga menyukai