Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Mata mempunyai sistem perlindungan yang cukup baik seperti rongga

orbita, kelopak mata dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapatnya refleks

memejam atau mengedip, namun mata masih sering mendapat trauma dari dunia

luar. Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf

mata dan rongga orbita. Kerusakan mata dapat mengakibatkan atau memberikan

penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan (Khurana, 2007).

Salah satu diantara sekian banyak penyebab kebutaan, yang sering

dijumpai adalah persentuhan mata dengan benda tumpul, misalnya hifema

traumatik. Walaupun cedera yang mengenai mata tidak selalu merupakan

penyebab utama dari kebutaan, namun merupakan faktor yang cukup sering

mengakibatkan hilangnya penglihatan unilateral (Soeroso, 1997).

Hifema adalah terkumpulnya darah dalam bilik mata depan dan seringnya

diakibatkan oleh trauma tumpul pada mata (Lenihan, 2014). Dari suatu penelitian

disebutkan jumlah insiden hifema dari berbagai penyebab berjumlah sekitar 17

per 100.000. Mayoritas hifema terjadi pada laki-laki (75%-78%) dengan usia rata-

rata 15,5-18,2 tahun (Lenihan, 2014).

Komplikasi dan cedera mata yang berkaitan dengan hifema dapat menjadi

ancaman serius untuk gangguan penglihatan sehingga membutuhkan penanganan

medis yang tepat dan pemeriksaan yang cermat serta diikuti perkembangannya

(Lenihan, 2014).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Gambar 2.1 Anatomi Mata (Eva PR, 2012)

a. Bola Mata

Bola mata orang dewasa normal hampir bulat, dengan diameter

anteroposterior sekitar 24,2 mm (Eva PR, 2012).

b. Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis

yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva

palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).

Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu

sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus(Eva PR,

2012).

2
c. Sklera dan Episklera

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar,

yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan

berwarna putih serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan

duramater nervus optikus di posterior. Pita-pita kolagen dan jaringan

elastin membentang di sepanjang foramen sklera posterior, membentuk

lamina kribosa, yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus optikus.

Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh lapisan tipis jaringan

elastik halus, episklera, yang mengandung banyak pembuluh darah.

Lapisan berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah lamina

fusca, yang membentuk lapisan luar ruang suprakoroid(Eva PR, 2012).

d. Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya

sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke

dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini disebut

sulkus skleralis. Kornea memiliki lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan

Bowman, stroma, membran Descemet dan lapisan endotel. Sumber nutrisi

untuk kornea adalah pembuluh darah limbus, humor akuos dan air mata.

Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (oftalmikus)

nervus kranialis V (trigeminus). Tranparansi kornea disebabkan oleh

strukturnya yang seragam, avaskularitas dan deturgensinya(Eva PR, 2012).

3
e. Traktus Uvealis

Traktus uvealis terdiri atas iris, korpus siliaris dan koroid. Bagian

ini merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea

dan sklera (Eva PR, 2012).

 Iris

Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris berupa

permukaan pipihdengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil.

Iris terletak bersambungan dengan anterior lensa, memisahkan bilik

mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masimg berisi

humor akuos.

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.

Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antar

konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui

nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas

simpatis(Eva PR, 2012).

 Korpus Siliaris

Korpus Siliaris, yang secara kasar berbentuk segitiga pada

potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior ke

pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri atas zona anterior

yang berombak-ombak, pars plikata (2 mm), dan zona posterior yang

datar, pars plana (4 mm).

4
 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera.

Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang

dan kecil(Eva PR, 2012).

f. Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan

hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9

mm. Lensa tergantung pada zonuladi belakang iris; zonula

menghubungkannya dengan korpus siliaris. Di sebelah anterior lensa

terdapat humor akuos; di sebelah posteriornya, vitreus(Eva PR, 2012).

g. Humor Akuos

Humor akuos diproduksi oleh korpus siliaris. Setelah memasuki

bilik mata belakang, humor akuos melalui pupil dan masuk ke bilik mata

depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan(Eva PR, 2012).

h. Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan

semitransparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding

bola mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh korpus siliaris

dan berakhir pada ora serrata dengan tepi tidak rata(Eva PR, 2012).

i. Vitreus

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang

membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan

yang dibatasi oleh lensa, retina dan diskus optikus(Eva PR, 2012).

5
2.2 Definisi

Hifema adalah terkumpulnya darah dalam bilik mata depan

(Lenihan, 2014).

2.3 Epidemiologi

Dari suatu penelitian disebutkan jumlah insiden hifema dari

berbagai penyebab berjumlah sekitar 17 per 100.000. Mayoritas hifema

terjadi pada laki-laki (75%-78%) dengan usia rata-rata 15,5-18,2 tahun.

Penyebab lain yang secara signifikan mengakibatkan hifema traumatik

adalah olahraga dengan resiko tinggi mencederai mata seperti bisbol,

sepakbola, bola basket dan badminton (Lenihan, 2014).

2.4 Etiologi

Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti

terkena bola, batu, peluru senapan angin, mainan anak-anak, ikat pinggang

dan lain-lain (Balatay AY, 2008).

Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat

diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya

terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan

tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan

menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang timbul dapat berasal dari

kumpulan arteri utama dan cabang dari korpus siliaris, arteri koroid, vena

korpus siliaris, pembuluh darah iris pada sisi pupil.Perdarahan di dalam

bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari luar.

Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah

(Banta JT, 2007).

6
2.5 Patofisiologi (Shingleton BJ, 2002; Banta JT, 2007; Lenihan P, 2014)

Terdapat2 mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya

hifema. Mekanisme pertama adalah mekanisme dimana kekuatan trauma

menyebabkan kontusio sehinga terjadi robekan pada pembuluh darah iris

dan korpus siliaris yang rentan rusak. Mekanisme kedua adalah trauma

tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intraokular akut sehingga

menyebabkan ruptur pembuluh darah pada iris dan korpus siliaris.

Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan

kanker mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada BMD. Trauma

tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau korpus siliaris. Gaya-gaya

kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut BMD.

Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler

okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang BMD, mengotori permukaan

dalam kornea.

Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya

mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular,

spasme pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme

pembekuan darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini

dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah

ini biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan

terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka

plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade

koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang

sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan darah,

7
bersama dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik

mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran uveaskleral.

Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut

perdarahan primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak.

Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma.

Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer. Oleh karena itu

seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan

perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi dari bekuan darah terjadi

terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup

untuk regenerasi kembali.

2.6 Diagnosis

a. Anamnesis

Mayoritas penderita hifema memiliki riwayat trauma okular. Pada saat

anamnesis kasus trauma mata, tanyakan waktu kejadian dan proses terjadi

trauma. Apakah trauma disebabkan oleh benda asing atau pukulan.

Bagaimana arah datangnya trauma apakah dari depan, samping atas,

samping bawah atau dari arah lain dan bagaimana kecepatannya waktu

mengenai mata. Jika kejadian kurang dari satu jam maka perlu ditanyakan

ketajaman penglihatan atau keluhan nyeri pada mata karena berhubungan

dengan peningkatan tekanan intraokular akibat perdarahan sekunder.

Apakah sudah pernah mendapat pertolongan sebelumnya atau tidak. Perlu

juga ditanyakan riwayat kesehatan mata sebelum terjadinya trauma,

apabila terjadi pengurangan penglihatan tanyakan apakah pengurangan

penglihatan itu terjadi sebelum atau setelah kecelakaan tersebut. Tanyakan

8
juga apakah ada ambliopia, penyakit kornea, glaukoma, riwayat

pembekuan darah atau penggunaan koagulan sistemik seperti aspirin atau

warfarin.(Webb & Kanski, 2004)

b. Pemeriksaan

Pemeriksaan mata harus dilakukan secara lengkap. Hifema ditentukan

derajat keparahannya menurut jumlah perdarahannya dengan klasifikasi

Rakusin :

1) Hifema tingkat I, bila perdarahan mengisi ¼ bagian bilik mata

depan

2) Hifema tingkat 2, bila perdarahan mengisi ½ bagian bilik mata

depan

3) Hifema tingkat III, bila perdarahan mengisi ¾ bagian bilik mata

depan

4) Hifema tingkat IV, bila perdarahan mengisi penuh bilik mata

depan

atau menurut Edward Layden hifema dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu :

1) Hifema tingkat I, bila perdarahan < 1/3 bilik mata depan

2) Hifema tingkat II, bila perdarahan antara 1/3 sampai ½ bilik

mata depan

3) Hifema tingkat III, bila perdarahan > ½ bilik mata depan

atau berdasarkan klinisnya menggunakan klasifikasi Sheppard yaitu :

1) Grade I, darah mengisi < 1/3 bilik mata depan dengan

prevalensi kejadiannya sebanyak 58%

9
2) Grade II, darah mengisi 1/3 hingga ½ bilik mata depan dengan

prevalensi kejadiannya sebanyak 20%

3) Grade III, darah mengisi > ½ atau hampir total bilik mata depan

dengan prevalensi kejadian sebanyak 14%

4) Grade IV, darah mengisi seluruh bilik mata depan dengan

prevalensi kejadiannya sebanyak 8%.(Webb & Kanski, 2004)

Saat melakukan pemeriksaan hal terpenting adalah hati-hati dalam

memeriksa kornea karena akan meningkatkan resiko corneal blood

staining pada lapisan endotel kornea. Keadaan iris, kornea dan lensa juga

dicatat, terkadang pada iris dapat terlihat iridodialisis atau robekan iris.

Mungkin lensa tidak berada ditempatnya lagi atau telah terjadi dislokasi

lensa atau bahkan luksasi lensa.(Augsburger& Asbury, 2012)

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular untuk mengetahui

apakah sudah terjadi peningkatan tekanan intraokular. Penilaian

funduskopi perlu dicoba tetapi biasanya sangat sulit sehingga perlu

ditunggu sampai hifema hilang. Kadang pemeriksaan ini tidak mungkin

karena terdapat darah pada media penglihatan. Pada funduskopi kadang-

kadang terlihat darah dalam corpus vitreous. Pemberian midriatikum tidak

dianjurkan. (Khurana AK, 2007; Webb &Kanski, 2004; Augsburger&

Asbury, 2012)

Pemeriksaan CT-scan dan USG B-scan digunakan untuk mengetahui

apakah terdapat benda asing yang menyebabkan hifema traumatika dan

posisi dari benda asing bila penyebab trauma adalah benda asing. MRI

10
kontraindikasi untuk kecurigaan hifema traumatika yang disebabkan oleh

benda logam. Prosedur MRI tidak menimbulkan sakit, kerusakan jaringan

dan sebagainya. Namun karena berada di medan magnet yang besar, pada

saat pemeriksaan berlangsung akan dapat menarik benda-benda yang

bersifat logam dan menyebabkan tempatnya bergeser. Electroretinography

(ERG) berguna untuk mengetahui ada tidaknya degenerasi pada retina.

(Khaw et al, 2004; Faiz& Moffat, 2002; Augsburger& Asbury, 2012)

Bila dalam inspeksi terlihat ruptur bola mata atau adanya kecenderungan

ruptur bola mata, maka tidak dilakukan pemeriksaan lagi. Mata dilindungi

dengan pelindung tanpa bebat kemudian dirujuk ke spesialis mata.

Dokumentasi foto bermanfaat untuk tujuan medikolegal pada semua kasus

hifema traumatik. (Khaw et al, 2004; Faiz&Mofat, 2002; Augsburger&

Asbury, 2012)

2.7 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding dari hifema traumatik adalah : (Shingleton & Khun F,

2002)

 Rubeosis iridis

 Tumor pada mata

 Xanthogranuloma juvenile

 Hemofili

11
2.8 Penatalaksanaan (Shingleton & Khun, 2002)

Pada dasarnya prinsip penatalaksanaan hifema traumatik adalah sebagai berikut :

1. Menghentikan perdarahan

2. Mencegah terjadinya perdarahan sekunder

3. Mengeliminasi darah dari bilik mata depan dengan mempercepat absorbsi

4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penatalaksanaa hifema traumatik dapat

dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Perawatan dengan cara konservatif

2. Perawatan dengan cara operasi

2.8.1 Perawatan Konservatif

1. Tirah Baring (bed rest total)

Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat

atau diberi bantal dengan elevasi kepala 30o-45o (semi fowler). Darah akan

terkumpul di bilik mata depan sehingga mempermudah pemeriksaan segmen

posterior dan pemulihan fungsi penglihatan.

2. Pelindung metal shield

Diindikasikan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada mata dalam 5 hari

pertama setelah trauma.

12
3. Medikamentosa

a. Antifibrinolitik

Asam amino kaproat oral (50 mg/kgBB tiap 4 jam sampai maksimum 30

gram/hari selama 5 hari) untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah

sehingga menurunkan risiko perdarahan ulang. Selain itu dalam penelitian

klinis lain, pada anak dapat diberikan asam traneksamat oral dengan dosis 25

mg/kgBB/hari.

b. Kortikosteroid

Prednisolone asetat 1% (4x sehari) dapat mengurangi iritis dan spasme siliaris,

meningkatkan kenyamanan pasien, menstabilisasi pembentukan bekuan darah,

menurunkan angkan perdarahan sekunder dan mencegah terjadinya sinekia

posterior. Pemberian kortikosteroid dikontraindikasikan pada hifema dengan

glaukoma.

c. Sikloplegik

Cyclopentolate 1% diberikan 1 tetes tiga kali sehari atau scopolamine 0,25% 1

tetes dua klai sehari atau atropine 1% 1 tetes empat kali sehari selama 5 hari

bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri, mencegah terjadinya sinekia

posterior yang dapat mengakibatkan disfungsi iris permanen.

2.8.2 Tatalaksana Pembedahan

Indikasi pembedahan :

 Empat hari setelah onset hifema total

13
 Microscopic corneal blood staining

 Hifema total dengan tekanan intraokular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari

(untuk mencegah atrofi optik)

 Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ bilik mata depan

selama 6 hari dengan tekanan intraokular 25 mmHg (untuk mencegah

corneal blood staining)

 Hifema mengisi lebih dari ½ bilik mata depan yang menetap lebih dari 8-9

hari (untuk mencegah sinekia perifer anterior)

 Pada pasien sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya dan

tekanan intraokular lebih dari 35 mmHg selama 24 jam lebih. Jika tekanan

intraokular menetap di angka 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,

pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat adanya atrofi optik

pada 50% pasien dan corneal blood staining pada 43% pasien dengan total

hifema ketika pembedahan terlambat.. Pasien dengan sickle cell

hemoglobinopaty memerlukan operasi jika tekanan intraokular tidak

terkontrol dalam 24 jam.

Teknik Pembedahan yang digunakan adalah :

- Parasintesis/AC washout

Merupakan metode paling sederhana dan cepat untuk mengevakuasi sel

darah merahdi bilik mata depan. Keuntungan dari parasintesis adalah :

1. Mudah dalam pengerjaan

2. Dapat dilakukan berulang-ulang

14
3. Aman bagi konjungtiva untuk bedah filtrasi selanjutnya

4. Perdarahan intraoperatif terkontrol

5. Dapat menurunkan tekanan intraokular dengan cepat

- Expression dan pengeluaran bekuan darah melalui limbal

Membutuhkan insisi limbal yang luas dan perlukaan pada konjungtiva.

Waktu yang ideal untuk limbal expression adalah hari ke 4-7 (saat

konsolidasi dan retraksi maksimal dari bekuan darah). Tindakan yang hati-

hati diperlukan untuk menghindari kerusakan epitel kornea, iris dan lensa.

- Pemotongan atau aspirasi bimanual untuk bekuan hifema

Menggunakan probe vitrectomy, efektif dalam mengeluarkan sel darah

yang bersirkulasi dan bekuan darah melalui insisi kornea.

Tabel Penatalaksanaan Hifema Traumatik (Shingleton BJ, Khun F. 2002. Chapter 17 : Anterior
Chamber. In : Khun F, Piramici DJ. Ocular Trauma Principles and Practices. New York: Thieme)

Terapi suportif Aktivitas dibatasi, hanya boleh duduk dan berdiri


Elevasi kepala 30o
Pelindung metal shield
Pemeriksaan DL, PT, aPTT, hitung platelet, BUN, kreatinin,
laboratorium elektrolit, SGOT, SGPT
Sickle cell prep, hemoglobin elektroforesis untuk
pasien dengan resiko sickle cell disease
Medikamentosa Asetaminophen oral bila perlu
Tidak boleh memberikan aspirin atau NSAID
Atropin 1% 2 x sehari
Prednisolon asetat 1% drop 4 x sehari
Asam aminokaproat 50mg/kgBB 4 x sehari sampai
30gram/hari selama 5 hari atau prednison 20 mg po
untuk pasien resiko tinggi
Pembedahan Parasintesis dan AC washout untuk TIO yang tidak
respon terhadap terapi dalam 24 jam

15
2.9 Komplikasi

Komplikasi pada hifema traumatik berkaitan dengan retensi darah di bilik mata

depan. Komplikasi yang dapat terjadi seperti peningkatan tekanan intraokular,

sinekia posterior, sinekia perifer anterior, corneal blood staining, atrofi optik,

perdarahan sekunder dan glaukoma sekunder. (Shingleton & Khun, 2002)

1. Peningkatan tekanan intraokular

Satu dari tiga penderita hifema mengalami peningkatan tekanan

intraokular. Hal ini bisa disebabkan oleh :

- Oklusi trabecular meshwork oleh bekuan darah, sel-sel inflamasi,

debris atau sisa eritrosit

- Pupil blok yang melibatkan ruang anterior dan posterior

- Sinekia anterior perifer (hifema > 9 hari)

- Penyebab lainya seperti rusaknya trabecular meshwork, fibrosis

trabecular meshwork. (Khan BS et all, 2007)

2. Sinekia perifer anterior

Sinekia perifer anterior terjadi pada pasien dengan hifema yang bertahan

di bilik mata depan selama lebih dari 8 hari atau lebih. Patogenesis sinekia

perifer anterior diperkirakan ada dua. Pertama, karena adanya iritis yang

lama dan berkaitan dengan trauma awal atau chemical iritis yang berasal

dari darah di bilik mata depan. Kedua, bekuan pada sudut bilik mata depan

akan bersatu sehingga terjadi fibrosis trabekular meshwork yang akan

menutup sudut bilik mata depan. Sinekia perifer anterior akan memicu

terjadinya glaukoma sudut tertutup.(Walton W, et al. 2002)

16
3. Pewarnaan kornea (corneal blood staining)

Kejadian hifema dengan corneal blood staining berkisar antara 2-11%.

(Walton W et al, 2002) Pewarnaan kornea terutama terjadi pada pasien

dengan hifema total yang bertahan selama 6 hari berturut-turut dan terkait

juga dengan peningkatan tekanan intraokular. (Sheppard & John, 2011)

Corneal blood staining muncul pada hifema yang luas, rebleeding, durasi

bekuan darah yang memanjang, peningkatan tekanan intraokular dan

disfungsi endotel kornea. Namun corneal blood staining juga dapat

muncul pada hifema yang tidak banyak yaitu dalam keadaan disfungsi

endotel dan tekanan intraokular rendah. (Walton W, et al. 2002)

Mekanisme terjadinya corneal blood staining : (1) Hb dilepaskan dari

eritrosit di bilik anterior, berdifusi melintasi membran desemet dan

beragregasi secara fokal pada membran serta lamella stroma. (2) fagosit

keratosit dan metabolisme Hb menghasilkan hemosiderin intraseluler.

Kelebihan hemosiderin intraseluler dan hemoglobin akan menginduksi

nekrosis keratosit. (3) Pelepasan hemosiderin di fagosit oleh keratosit di

anterior stroma. Corneal blood staining akan mengakibatkan penurunan

transparansi kornea. Bila corneal blood staining bertahan untuk bertahun-

tahun maka dapat menyebabkan ambliopia pada anak-anak. Secara

histologis, sel darah merah dan produksi sisa metabolisme bisa dilihat di

stroma kornea. (Walton W et al, 2008)

Proses penyembuhan corneal blood staining membutuhkan waktu

beberapa bulan. Secara umum corneal blood staining dimulai dari sentral

kemudian menyebar ke perifer endotel kornea. (Sheppard & John D, 2011)

17
4. Atrofi optik

Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan TIO, baik akut maupun kronik.

(Sheppard & John D, 2011) Dalam hal hifema traumatik, atrofi optik

terjadi karena peningkatan TIO atau karena kontusio nervus optikus.

Resiko atrofi optik meningkat dengan adanya peningkatan TIO > 50

mmHg atau lebih selama 5 hari atau 35 mmHg atau lebih selama 7 hari.

(Walton W et al, 2008)

5. Perdarahan sekunder

Masalah yang utama setelah terjadinya hifema traumatik pada pasien

adalah rebleeding atau secondary hemorrahge. Rebleeding terjadi paling

sering di hari ke 2-5 setelah trauma. Terjadinya rebleeding berkaitan

dengan lisis dan retraksi bekuan yang sebelumnya menutup pembuluh

darah yang rusak. Perdarahan sekunder muncul jika ukuran hifema

meningkat maka lapisan darah segar akan terletak diatas bekuan dan

warna bilik anterior menjadi lebih gelap atau jika sebaran eritrosit muncul

diatas bekuan. (Walton W et al, 2008)

Perdarahan sekunder bisa menyebabkan peningkatan ukuran hifema.

Karena itu, perdarahan sekunder berkaitan dengan beberapa komplikasi

seperti peningkatan TIO, glaukoma, corneal blood staining, atrofi optik

dan sinekia perifer anterior. (Walton W et al, 2008)

6. Glaukoma

Glaukoma bisa menjadi komplikasi lambat ataupun segera. Adanya

peningkatan TIO secara akut akan menghambat jalan keluar aquos melalui

trabekular meshwork karena adanya penyumbatan oleh darah, fibrin atau

18
agregasi trombosit, produk degradasi sel darah merah. (Balatay AY, 2008)

Pada keadaan yang kronis terutama pada pasien lanjut usia, oklusi fibrosa

trabecular meshwork tampaknya cenderung menjadi penyebab. (Guyton &

Hall, 2006)

2.10 Prognosis

Lebih dari 75% penderita hifema yang telah diobati memiliki ketajaman

penglihatan > 2/60. Dilaporkan, hifema yang luas tidak selalu memiliki prognosis

yang buruk. Semua pasien hifema memiliki kemungkinan untuk terjadinya

perdarahan ulang yang dapat mengganggu penglihatan akibat kerusakan pada

retina. (Shingleton & Khun,2002)

19
BAB III

KESIMPULAN

Hifema adalah terkumpulnya darah dalam bilik mata depan (Lenihan,

2014). Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena

bola, batu, peluru senapan angin, mainan anak-anak, ikat pinggang dan lain-lain

(Balatay AY, 2008).

Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan

oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-

robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung

banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan (Banta JT,

2007).

Terdapat mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya hifema.

Mekanisme pertama adalah mekanisme dimana kekuatan trauma menyebabkan

kontusio sehinga terjadi robekan pada pembuluh darah iris dan badan siliar yang

rentan rusak. Mekanisme kedua adalah trauma tersebut menyebabkan

peningkatan tekanan intraokuler akut sehingga menyebabkan ruptur pembuluh

darah pada iris dan korpus siliaris(Shingleton BJ, 2002; Banta JT, 2007; Lenihan

P, 2014).

Diagnosis hifema menggunakan anamnesis dan pemeriksaan. Pada

anamnesis ditanyakan riwayat trauma, ketajaman penglihatan, atau keluhan nyeri

pada mata, riwayat kesehatan mata sebelum terjadinya trauma, apakah ada

ambliopia, penyakit kornea, glaukoma, riwayat pembekuan darah atau

penggunaan koagulan sistemik seperti aspirin atau warfarin.(Webb & Kanski,

20
2004). Pada pemeriksaan dilakukan pemeriksaan mata lengkap, pemeriksaan

tekanan intraokular, pemeriksaan CT-scan, USG B-scan, MRI untuk hifema

traumatic yang disebabkan oleh benda asing dan ERG yang berguna untuk

mengetahui ada tidaknya degenerasi pada retina. (Khaw et al, 2004; Faiz&

Moffat, 2002; Augsburger& Asbury, 2012)

Pada dasarnya prinsip penatalaksanaan hifema traumatik adalah untuk

menghentikan perdarahan, mencegah terjadinya perdarahan sekunder,

mengeliminasi darah dari bilik mata depan dengan mempercepat absorbi,

mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi. Berdasarkan hal

tersebut diatas maka penatalaksanaa hifema traumatik dapat dibagi menjadi 2,

yaitu perawatan dengan cara konservatif dan perawatan dengan cara operasi

(Shingleton BJ, 2002; Khun F, 2008).

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Augsburger J, Asbury T. Trauma Mata danOrbitadalamEva PR, Whitcher

JP. 2012. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta : EGC. p.377-

378

2. Balatay,AY., Ibrahim, HR. 2008. Traumatic Hyphema : A study of 40

cases. Dohuk Medical Journal. Vol 2, No 1. pp.117-126.

3. Banta, JT., Cebulla, CM. 2007. Closed Globe Injuries : Anterior Chamber.

In Banta, JT : Ocular Trauma. Saunders Elsevier. pp. 67-79.

4. Eva, PR. 2012. Anatomi dan Embriologi Matadalam Eva, PR., Whitcher,

JP : Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta : EGC. hal. 1-27.

5. Faiz O, Moffat D. 2002. Anatomy at Glance. Italy: Blackwell Science Ltd.

h.154-155

6. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical phisiology 11th ed.

Jakarta : EGC Elsevier. p.625

7. Khan BS, Hussain I, Nawaz A. 2007. Management of Traumatic Hyphema

with Raised Intraocular Pressure. Diakses dari :

http://www.pjo.com.pk/23/4/Bakht%20Samar%20Khan.pdf pada tanggal :

22 Maret 2016

8. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. 2004. ABC of Eyes 4th ed. London: BMJ

Books. P.29-33

9. Khurana, AK. Comprehensive Ophthalmology 4th Ed. New Delhi : New

Age International. pp. 401-415

22
10. Lenihan, P., Hitchmoch., D. 2014. Traumatic Hyphema : A Teaching Case

Report. Optometric Education. Vol 39, No 3. pp. 110-118

11. Sheppard, John D. 2011. Hyphema. Diakses dari :

http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview pada tanggal :

22 Maret 2016

12. Shingleton BJ., Khun F. 2002. Chapter 17 : Anterior Chamber. In : Khun

F, Piramici DJ. Ocular Trauma Principles and Practices. New York:

Thieme p.132-136

13. Soeroso, A. 1997. Perdarahan Bilik Depan Bola Mata Akibat Rudapakasa

(Traumatic Hyphaema). Cermin Dunia Kedokteran. No 19. Hal. 44-46

14. Walton W, et al. 2002. Management of Traumatic of Hyphema in Survey

of Ophtalmology vol.47 New Jersey: Elsevier.

15. Webb LA, Kanski JJ. 2004. Manual of Eye Emergencies : Diagnosis and

Management. China : Butterworth-Heinemann

23

Anda mungkin juga menyukai