Anda di halaman 1dari 124

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Narkotika dan psikotropika merupakan obat atau yang bermanfaat di bidang

pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pada

sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

dipergunakan tanpa pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.1

Peredaran narkotika dan psikotropika secara tidak bertanggung jawab sudah

semakin meluas dikalangan masyarakat, hal ini tentunya akan semakin

mengkwatirkan, untuk generasi penerus bangsa yang merupakan harapan dan

tumpuan bangsa di masa yang akan datang.

Adapun pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar

dan multi dimensional terhadap sosial, budaya ekonomi dan politik serta begitu

dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Untuk itu

extraordinary punisment kiranya menjadi relevan mengiringi model kejahatan yang

berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini semakin merambah ke seantero bumi ini

sebagai transnational crime.

Berdasarkan teori di atas, narkotika dan psikotropika butuh upaya

penanggulangan oleh peran aparat penegak hukum, namun pada faktanya aparat

1
Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, Cetakan Pertama, (Bandung: Pustaka Setia,
2012), hlm. 163.

1
penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah penyalahgunaan

narkotika dan psikotropika. Disisi lain peredaran dan penyalahgunaan merupakan

perbuatan terlarang dan sangat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya,

penegak hukum yang berusaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna

kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana narkotika dan psikotropika,

seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu

yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar

kemampuan atau keahliannya, dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli

sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-

lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.

Oleh karena itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menanggulangi

kejahatan seperti narkotika dan psikotropika perlu memanfaatkan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Proses penyidikan kejahatan dengan menggunakan teknologi yang

lazim disebut penyidikan secara ilmiah dimana peran dan fungsi tersebut sebagian

dilaksanakan oleh laboratorium forensik.

Laboratorium forensik sebagai alat kepolisian khusus membantu Kepolisian

Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas mempunyai tanggungjawab dan

tugas yang sangat penting dalam membantu pembuktian untuk mengungkap segala

sesuatu yang berhubungan dengan segala jenis dan macam narkotika dan

psikotropika, hal ini dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran

materil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan

dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang. Hal ini sebagaimana ditentukan

2
dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang menyatakan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan


karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat
keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab,
telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak pidana narkotika dan psikotropika

sebagai masalah manusia. Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku dan

objek penghukuman dari tindak kriminal adalah manusia. Dalam melakukan

perbuatannya manusia tidak terlepas dari unsur jasmani (raga) dan jiwa. Di samping

itu kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan juga dipengaruhi oleh faktor internal

(dorongan dalam dirinya) dan faktor eksternal (dipengaruhi oleh lingkungannya).

Pembuktian dalam kasus pidana narkotika, pembuktian berdasarkan pada alat-

alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP dimana pada Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika merupakan lex specialis de rogaat lex

generalis, yaitu ketentuan khusus yang mengenyampingkan ketentuan umum.

Dalam mencari informasi, data, fakta, dan bukti-bukti, pihak penyidik selalu

melakukan upaya persuasif, artinya dalam pemeriksaan diupayakan sedapat

mungkin menghindari cara-cara tekanan, baik fisik maupun mental terhadap

tersangka, dalam pengertian jangan lagi tersangka dituntut dan diarahkan harus

mengaku dengan cara dipaksa. Hal ini berdasarkan semangat yang terkandung dari

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 yang menjungjung tinggi hak-hak asasi manusia

3
dan prinsip praduga tak bersalah. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk

menganalisis dan meniliti tentang “KEKUATAN PEMBUKTIAN HASIL

LABORATORIUM FORENSIK MABES POLRI DALAM TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA”

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana kekuatan pembuktian hasil Laboratorium Forensik dalam tindak

pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika ?

2. Apakah faktor penghambat yang dialami Pusat Laboratorium Forensik dalam

Tindak Pidana Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian hasil Laboratorium Forensik dalam

tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika;

2. Untuk mengetahui faktor penghambat Pusat Laboratorium Forensik dalam

Tindak Pidana Penyalahunaan narkotika dan psikotropika;

3. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik

tentang narkotika di persidangan;

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :

4
1. Untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan hukum pidana yang

mengatur tindak pidana narkotika dan psikotropika yang diatur Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009;

2. Untuk memberikan pemahaman mengenai pembuktian tindak pidana narkotika

dan psikotropika dalam persidangan;

3. Untuk menambah literatur dalam bidang Hukum Pidana;

4. Untuk menjadi rujukan bagi penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian

ini.

5. Sebagai salah satu syarat bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas

Hukum Universitas Pakuan.

D. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya

merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka/acuan yang pada

dasarnya bertujuan mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi.2 Setiap

penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, hal ini karena

adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan

pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.

2
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm.123.

5
Penyelesaian tindak pidana akan berkaitan dengan pertanggungjawaban

pidana, dimana pertanggungjawaban secara pidana terhadap seseorang yang

melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.3

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal

liability), diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan

pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan.

Pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan

pidana. Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesenjangan dan

kelalaian. Kesengajangan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan

pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu

tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah niatnya (mens

rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat

dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa). Bahkan ada beberapa

tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak

pidana, jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak

pidana.4

Dalam kalimat di atas nyata bahwa pebuktian harus didasarkan pada Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah

3
Roeslan Saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981),
hlm. 80.
4
Ibid.., hlm. 81.

6
tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang

diperoleh dari alat-alat bukti.

a. Teori Pembuktian (negatief wettelijk)

Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief

wettelijik) merupakan sistem pembuktian yang pakai oleh Indonesia, menurut

M. Yahya Harahap bahwa dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar

pada undang undang secara negatif ini, pem idanaan didasarkan kepada

pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada

keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan hakim yang

bersumber pada peraturan undang-undang.5

Dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”6

b. Teori Viktimologi

Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah atau studi yang

mempelajari viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang

merupakan suatu kenyataan sosial. Dikaji dari rumusan tersebut suatu ruang

5
Muhammad Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003),
hlm. 33.
6
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 184.

7
lingkup yang menjadi perkataan viktimologi dan juga kriminologi menurut

Arief Gosita adalah hal-hal yang berkaitan dengan :7

1. Berbagai viktimisasi kriminal atau kriminalitas;


2. Teori-teori etilogi viktimisasi kriminal;
3. Para peserta yang terlibat dalam terjadinya suatu viktimisasi
kriminal atau kriminalitas seperti para korban, pelaku, pengamat,
pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan
sebagainya;
4. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal seperti argumentasi
kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktiologi,
usaha-usaha prefensi, represi, tindak lanjut (ganti kerugian dan
pembuatan peraturan hukumnya).

c. Teori Relatif

Jika menurut Jeremy Bantham teori relatif atau teori-teori tujuan ini

menjatuhkan pidana bergantung kepada kemanfaatannya kepada masyarakat,

maka terdapat konsekuensi sebagai berikut.

Untuk mencapai tujuan prevensi atau memperbaiki pelaku, tidak hanya

secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana tetapi secara positif

dianggap baik bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat

pidana.

Tindakan ini misalnya berupa mengawasi saja tindak-tanduk sipenjahat

atau menyerahkan kepada suatu lembaga dalam bidang sosial untuk

menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat

yang berguna (beveiligings-maatregelen).

7
Rena Yulia, Viktimolgi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), hlm. 45.

8
d. Teori Kriminologi

Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku

kriminal merupakan kegagalan kelompok – kelompok sosial seperti keluarga,

sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”,

Artinya individu dilihat tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada

hukum, namun menganut segi pandangan antitesis dimana orang harus belajar

untuk tidak melakukan tindak pidana, argumentasi ini , didasarkan pada

bahwa manusia dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar

aturan hukum. Dalam hal ini kontrol sosial, memandang delinkuen sebagai

“konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mengembangkan

larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum”.8

Landasan berpikir dari teori kontak sosial ini yaitu tidak melihat

individu sebagai orang yang secara tidak langsung patuh terhadap hukum.

Ternyata, memang ada beberapa segi pandangan antitesis yang mana

seseorang harus belajar agar tidak melakukan perilaku pidana pidana.

2 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan suatu bentuk kerangka berpikir yang

dapat digunakan sebagai pendekatan dalam memecahkan masalah. Biasanya

kerangka penelitian ini menggunakan pendekatan ilmiah dan memperlihatkan

hubungan antar variabel dalam proses analisisnya.

8
Yesmil Anwar, Krimnologi (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 47

9
a. Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah
menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya);9
b. Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
kejahatan atau lebih tegasnya dapat kita maknai sebagai sarana untuk
mengetahui sebab dan akibat kejahatan.10
c. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.11
d. Tindak pidana adalah dikonsepkan sebagai perbuatan pidana.12
e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.13
f. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.14

E. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode penelitian yang

bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian dilakukan dengan cara

menerangkan serta menggambarkan data secara lengkap. Kemudian data tersebut

9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2016), hlm. 1470.
10
Abdulsyani, Sosiologi Kriminalitas, (Bandung, Remaja Karya, 1987), hlm. 6.
11
Arif Gosit, Masalah Korban Kejahatan,( Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm. 63.
12
Salim HS, Hukum Pidana Khusus. (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 85.
13
Indonesia, Undang-Undang tentang Natkotika, Nomor 35 Tahun 2009, Pasal 1, Angka 1.
14
Indonesia, Undang-Undang tentang Psikotropika, Nomor 5 Tahun 1997, Pasal 1, Angka 1.

10
dilakukan analisis dengan menggunakan teori-teori ilmu hukum, teori

pembuktian, teori relatif, teori viktimilogi, dan teori kriminologi.

2. Jenis Penelitian Normatif

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

penelitian normatif, yang melakukan penelusuran data kepustakaan dengan

menggunakan data sekunder. Penelitian normatif ini didukung oleh penelitian

empiris untuk mendapatkan data primer (lapangan).

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi:

a. Penelitian kepustakaan (Library Research)

Dalam upaya mendapatkan data sekunder yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, meliputi: Undang-Undang no 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dan Undang Undang No 5 tahun 1997 tentang

Psikotropika.

2. Bahan hukum sekunder, meliputi: buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah,

laporan penelitian dan internet.

b. Penelitian lapangan (Field Research)

Dalam penelitian lapangan, penulis melakukan wawancara secara

langsung dengan mengajukan pertanyaan yang terstruktur dengan pihak Pusat

Laboratorium Forensik Markas Besar Polisi Republik Indonesia yang

mengetahui persoalan yang dibahas. Hal ini penulis lakukan untuk

mendapatkan data yang objektif dan faktual.

11
Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap dapat mewakili

populasinya.15 Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

menggunakan teknik Non Probabilty Sampling, dengan jenis purposive

Sampling yaitu sampel yag dipilih berdasarkan pertimbangan atau penelitian

subyektif dari penelitian. Jadi dalam hal ini peneliti menentukan sendiri

responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi.16 yaitu dengan

mencari data di lapangan langsung kepada nara sumber yang mengetahui titik

permasalahan yang dijadikan sample.

4. Pengolahan Data

Adapun pengolahan datanya dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan

menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat dengan maksud agar tersusun suatu

materi pembahasan yang sistematis dan mudah dipahami atau dimengerti.

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini mengemukakan secara singkat pengantar dari keseluruhan pokok

isi tulisan yang didalamnya memuat latar belakang masalah, identifikasi

masalah, maksud dan tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

15
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta, 20017), hlm. 79.
16
Ibid.

12
BAB II TINJAUAN MENGENAI NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

Bab ini memuat tentang penggolongan serta pengaturan-pengaturan

narkotika dan psikotropika yang diatur dalam undang-undang yang

memuat.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUKTIAN TINDAK

PIDANA

Bab ini memuat tinjauan umum tentang pembuktian, sistem pembuktian,

macam-macam pembuktian serta sistem pembuktian.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat analisis dan pembahasan tentang fungsi laboratorium

forensik, pencarian alat bukti,tahapan pemeriksaan, kekuatan alat bukti di

persidangan sampai hambatan laboratorium forensik.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bagian penutup ini, penulis menarik kesimpulan mengenai apa

yang telah diuraikan serta memberikan saran-saran sebagai pendapat dan

ungkapan kepedulian penulis terhadap permasalahan yang dikemukakan

dalam penulisan hukum ini.

13
BAB II

TINJAUAN MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN

PSIKOTROPIKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan

dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana

disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata

delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana)”.17

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri

atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar

diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak,

peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang

17
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum DI Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm.
179.

14
hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-

undang merumuskan suatu undang- undang mempergunakan istilah peristiwa

pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.

Beberapa pengertian strafbaarfeit menurut beberapa para pakar antara

lain :18

a. Menurut Simons

Tindak pidana adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang

tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

b. Menurut Jonkers

Tindak pidana adalah Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang

diartikannya sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum

(wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan

yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.\

c. Menurut Van Hammel

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan

dengan kesalahan.

18
Mohammad Taufik Makarao, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 20014), hlm. 1.

15
d. Menurut S.R Sianturi

Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan

keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana

oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan

dilakukan oleh seseorang yang bertanggungjawab.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua

sudut pandang, yaitu dari sudut teoritis berdasarkan pendapat para ahli hukum

yang tercermin pada bunyi rumusannya dan sudut undang-undang kenyataan

tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam Pasal-

Pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

Adanya perbuatan pidana menurut Moeljatno harus memenuhi unsur-

unsur sebagai berikut :19

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Menurut R. Tresna, merumuskan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana

harus memuat hal-hal seperti :20

19
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara), hlm.37
20
R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta :Tiara, 1990), hlm. 20.

16
a. Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia.

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

c. Diadakan tindakan hukuman.

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat

pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti

dengan penghukuman (pemidanaan), hal ini berbeda dengan apa yang

disampaikan oleh Moeljatno yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan

pidana itu tidak selalu harus dijatuhi pidana. Sedangkan dalam buku II KUHP

memuat rumusan-rumusan tentang tindak pidana yang termasuk kategori

kelompok kejahatan, dan buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur

yang se lalu disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku

atau perbuatan walaupun ada pengecualian seperti Pasal penganiyaan.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu dapat

diketahui adanya 11 (sebelas) unsur tindak pidana, yaitu : adanya unsur

tingkah laku, melawan hukum, kesalahan, akibat konstitutif, keadaan yang

menyertai, dapatnya dituntut pidana, memperberat pidana, dapat dipidananya

seseorang karena tindakannya, objek hukum tindak pidana, kausalitas subjek

hukum tindak pidana dan unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang

dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu:

17
a. Unsur Subjektif

Adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana

menyatakan “tidak ada hukuman tanpa kesalahan” (an act does not make a

person guilty unless the mind is guilty or actus non fecitreum nisi mens si rea).

Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh

kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan unsur kealpaan (schuld).

b. Unsur Objektif

Merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri dari :

1. Perbuatan Manusia

a. Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan posesif.

b. Omissions, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu

perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

2. Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan bahkan menghilangkan kepentingan-

kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan,

kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.

3. Keadaan-keadaan (circumtances)

Pada umumnya keadaan ini dibedakan antara lain :

a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan .

b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan .

c. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

18
Sifat dapat melawan hukum berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan si pelaku hukum dari hukuman. Adapaun sifat melawan hukum

adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni berkenaan

dengan larangan atau perintah. Semua unsur delik di atas merupakan satu

kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, maka bisa menyebabkan

terdakwa bebas dari pengadilan.21

Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada

umunya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-

unsur subyektif dan obyektif. Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang

melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan

termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaaan-keadaaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku

itu harus dilakukan.22

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :23

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);


b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal
340 KUHP;

21
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 9.
22
P.A.F Lamintang, Op.Cit., hlm. 180.
23
Ibid., 181

19
e. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah :

a. Sifat melanggar hukum;


b. Kualitas si pelaku;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit)

ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak

pidna menurut aliran monitisi dan menurut aliran dualitas. Monitis adalah

suatu pandangan yang melihat suatu syarat untuk adanya pidana itu

kesemuanya mempertanggungjawabkannya.24

Para sarjana yang berpandangan aliran monitis seperti Simon, sebagai

penganut pandangan monitis Simons mengatakan bahwa pengertian tindak

pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met

schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.

b. Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika diuraikan bahwa Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat

bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu, jika

24
Ibid., 184.

20
disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat

menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat

khususnya generasi muda, hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan

bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada

akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud Narkotika dalam

undang-undang tersebut adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat

dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-

undang ini.

Pengertian narkotika sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut di atas, Mardani

mengemukakan mengenai pengertian narkotika, bahwa yang dimaksud dengan

narkotika adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri,

menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek

21
stupor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan dan yang ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan sebagai narkotika.25

2. Tindak Pidana Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan

bahwa setiap perbuatan yang tanpa hak berhubungan secara langsung maupun

tidak langsung dengan narkotika adalah bagian dari tindak pidana narkotika.

Pada dasarnya penggunaan narkotika hanya boleh digunakan untuk

kepentingan pengobatan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila

diketahui terdapat perbuatan di luar kepentingan- kepentingan sebagaimana

disebutkan di atas, maka perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai tindak

pidana narkotika. Hal tersebut ditegaskan oleh ketentuan Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa:

“Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Dalam segi perbuatannya

ketentuan pidana yang diatur oleh undang-undang tersebut dapat dikelompokkan

menjadi 9 (sembilan) antara lain:

1. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika;

25
Mardani, Penyalahgunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana
Nasional. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 80.

22
2. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika;
3. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan trasito
narkotika;
4. Kejahatan yang mengangkut penguasaan narkotika;
5. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika;
6. Kejahatan yang menyangkut tidak melapor pecandu narkotika;
7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika ;
8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika;
9. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.

a. Penyalahgunaan Narkotika

Secara harfiah, kata penyalahgunaan berasal dari kata “salah guna” yang

artinya tidak sebagaimana mestinya atau berbuat keliru. Jadi, penyalahgunaan

narkotika dapat diartikan sebagai proses, cara, perbuatan yang menyeleweng

terhadap narkotika.

Secara yuridis pengertian dari penyalah guna narkotika diatur dalam Pasal

1 butir 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah:

“Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa

hak atau melawan hukum.”

Bentuk perbuatan penyalahgunaan narkotika yang paling sering dijumpai

adalah perbuatan yang mengarah kepada pecandu narkotika. Adapun

pengertian pecandu narkotika adalah seperti yang termuat di dalam Pasal 1

butir 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

“Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan

pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”

Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan ketergantungan pada diri

23
pecandu narkotika sebagaiman diatur didalam Pasal 1 butir 14 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

“Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh


dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus
dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama
dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara
tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas”.

Kedudukan pecandu narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika

diperkuat dengan adanya ketentuan di dalam Pasal 127 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai

penyalahgunaan narkotika, yaitu :

1. Setiap Penyalah Guna


a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1, hakim
wajib memerhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 54,
Pasal 55, dan Pasal 103.
3. Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial”.

Meskipun pecandu narkotika memiliki kualifikasi sebagai pelaku tindak

pidana narkotika, namun di dalam keadaan tertentu pecandu narkotika dapat

berkedudukan lebih ke arah korban. Iswanto menyatakan bahwa korban

merupakan akibat perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan suka rela, atau

dipaksa atau ditipu, bencana alam, dan semuanya benar-benar berisi sifat

24
penderitaan jiwa, raga, harta dan moral serta sifat ketidakadilan. Pecandu

narkotika dapat dikatakan sebagai korban dari tindak pidana penyalahgunaan

narkotika yang dilakukannya sendiri, sehingga tidak berlebihan jika sanksi

terhadap pelaku tindak pidana ini sedikit lebih ringan daripada pelaku tindak

pidana narkotika yang lain.

Sesuai dengan hal tersebut adalah ketentuan Pasal 103 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

1. Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:


a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/ atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak
pidana Narkotika;
c. Masa menjalani pengobatan dan/ atau perawatan bagi Pecandu
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.

Melihat tata hukum secara skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga

sistem penegakan hukum, ialah sistem penegakan hukum perdata, sistem

penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Berturut-

turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum pidana dan sistem

sanksi hukum administrasi (tata usaha negara). Ketiga sistem penegakan

hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat

perlengkapan negara atau biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang

mempunyai aturannya sendiri- sendiri pula. Jenis-jenis Tindak Pidana

25
Narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika: 26

Undang-Undang Narkotika mengatur sanksi pidana maupun tindakan

seperti rehabilitasi tetapi jika melihat sebenarnya Undang-undang Narkotika

mempunyai perbedaan dengan KUHP , berikut adalah perbedaan Undang-

undang Narkotika dibandingkan dengan KUHP :27

a. Dalam undang-undang narkotika terdapat hukuman mati, hukum penjara,

hukuman denda. Selain itu terdapat sanksi adminisratif seperti teguran,

peringatan, denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan

pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 130 ayat

(2) UU Narkotika, berupa:

1. Pencabutan izin usaha; dan/atau.

2. Pencabutan status badan hukum.

Sedangkan dalam KUHP hukumannya berupa:

1. Hukuman Pokok

a. Hukuman mati.

b. Hukuman penjara.

c. Hukuman kurungan.

d. Hukuman dendaHukuman pidana tutupan.

26
Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm, 90.
27
Ibid., hal. 97.

26
2. Hukuman Tambahan

a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu.

b. Perampasan barang tertentu.

c. Pengumuman keputusan hakim.

b. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana

narkotika dan prekursor narkotika sebagaimana diatur dalam undang-

undang narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama dengan orang

melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-

undang narkotika ini, misalnya percobaan untuk menyediakan narkotika

golongan 1,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun

dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Sedangkan dalam KUHP,

hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan adalah maksimum

hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan

sepertiganya, dalam hal percobaan.

c. Undang-Undang Narkotika bersifat elastis, seperti perubahan dari

Undang- Undang Narkotika Tahun 1997 berubah menjadi Undang-

Undang No.35 Tahun 2009, sedangkan KUHP tidak bersifat elastis karena

didalamnya mengatur banyak hal.

27
d. Perluasan berlakunya asas teritorial, dalam hal ini Undang-Undang

Narkotika beserta pemerintah mengupayakan hubungan kerjasama secara

bilateral ataupun multilateral guna untuk pembinaan dan pengawasan

narkotika, sedangkan KUHP hanya berlaku di Indonesia.

e. Penggunaan pidana minimal dalam undang-undang narkotika memberikan

asumsi bahwa undang-undang tersebut diberlakukan untuk menjerat

pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap

narkotika. Misalnya pidana minimal yang terdapat dalam Pasal 113 ayat

(1) UU No.35 tahun 2009, sedangkan dalam KUHP tidak mengenal pidana

minimal, yang ada hanya pidana maksimal, seperti dalam Pasal 362 KUHP

tentang pencurian.

Pengertian tindak pidana atau banyak dikemukakan oleh para ahli hukum,

yang mana pengertian tersebut dibagi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan

monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis cenderung tidak

memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility sedangkan,

pandangan dualistis cenderung memisahkan secara tegas antara criminal act

dan criminal responsibility. Criminal act adalah perbuatan yang dilarang

dengan sanksi ancaman pidana, unsurnya terdiri dari: perbuatan manusia,

memenuhi rumusan undang-undang, dan bersifat melawan hukum. Criminal

responsibility adalah dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat atas

perbuatannya, unsurnya terdiri dari: kemampuan bertanggung jawab dan

28
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Berikut ini pandangan para ahli

hukum mengenai tindak pidana yang disebutkan secara berbeda-beda sesuai

istilah mereka masing-masing. Para ahli hukum yang memiliki pandangan

monistis diantaranya adalah menurut J.E. Jonkers “Peristiwa pidana ialah

perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan

kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan”.2 Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang

berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” mengemukakan, “Tindak

pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana”.3 Menurut H.J. Schravendijk, “Perbuatan yang boleh dihukum adalah

kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehinggga

kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang

karena itu dapat dipersalahkan”.4 Para ahli hukum yang memiliki pandangan

dualistis diantaranya adalah Moeljatno, Beliau mengemukakan, “Perbuatan

pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut”.28 Roeslan Saleh mengemukakan, “Perbuatan

pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan

sebagai perbuatan yang dilarang”.29

28
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, 2008), hlm. 38.
29
Roeslan Saleh, Op. Cit, hlm. 98.

29
Tindak pidana narkotika, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan

narcotic crime, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan vendovende

misdaad merupakan tindak pidana dikenal dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang narkotika, yang meliputi :

1. Tindak pidana; dan

2. Narkotika.

Tindak pidana, dikonsepkan sebagai perbuatan pidana, sementara itu,

pengertian narkotika, tercantum dalam peraturan perundang-undangan berikut

ini.

1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah

zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis

maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau

yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

30
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam

undang-undang ini.

c. Penggolongan Narkotika

a. Narkotika golongan I

Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.30

Ada tiga unsur yang tercantum dalam definisi di atas, yang meliputi:

1. Penggunaannya;

2. Larangannya;

3. Potensi ketergantungan.

Peggunaan dikonsepkan sebagai cara untuk memakai, mngambil

manfaatnya atau melakukan sesuatu. Penggunaan narkotika golongan I, yaitu

dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan adanya ilmu

pengetahuan itu dapat diketahui jenis narkotika dan kandungan yang terdapat

di dalamnya.

Larangan dikonsepkan sebagai hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap

narkotika golongan I. Larangan itu, seperti tidak dapat digunakan untuk terapi.

Terapi dikonsepkan sebagai usaha untuk menyembuhkan orang yang sakit.

30
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.

31
Dengan mengonsumsi narkotika golongan I, maka pemakainya akan sangat

tergantung kepada narkotika tersebut.

b. Narkotika Golongan II

Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk

pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan

dalam terapi juga digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan

dan mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotika

golongan II ini sangat banyak.

c. Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III adalah narkoba yang berkhasiat untuk

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan tujuan pengobatan serta

digunakan dalam tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan mempunyai

potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. jenis narkotika golongan III.

d. Pecandu dan Pengedar Narkotika

1. Definisi Pecandu dan Pengedar

Pengertian pecandu narkotika itu berkaitan dengan hal-hal yang diatur

dalam Pasal 127 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 54, Pasal 55 serta Pasal 103

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 1 Angka 13 UU No. 35 Tahun

2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa pecandu narkotika adalah orang yang

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan

32
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis, sehingga dari

pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe pecandu narkotika

yaitu : 1. orang yang menggunakan narkotika dalam keadaaan ketergantungan

secara fisik maupun psikis, dan 2. orang yang menyalahgunakan narkotika dalam

keadaan ketergantungan secara fisik maupun psikis.31

Tipe yang pertama, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang

mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan

pelayanan kesehatan dirinya sendiri. Kategori seperti itu, dikarenakan

penggunaan narkotika tersebut sesuai dengan makna dari Pasal 7 UU No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika dan tentunya pecandu yang dimaksud adalah

seorang pecandu yang sedang menjalankan rehabilitasi medis khususnya dalam

proses intervensi medis. Seorang pecandu yang sedang menggunakan narkotika

dalam kadar atau jumlah yang ditentukan dalam proses intervensi medis pada

pelaksanaan rawat jalan, kemudian dia tertangkap tangan menggunakan

narkotika untuk dirinya sendiri dan perkaranya diteruskan sampai tahap

pemeriksaan di Pengadilan, maka sudah sepatutnya ia tidak terbukti bersalah

menyalahgunakan narkotika dan jika Pecandu memang membutuhkan

pengobatan dan/atau perawatan intensif berdasarkan program assesmen yang

dilakukan oleh Tim Dokter atau Ahli, maka berdasarkan Pasal 103 Ayat (1)

31
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hlm. 56.

33
huruf b UU No. 35 Tahun 2009, Hakim disini dapat menetapkan pecandu yang

tidak terbukti bersalah tersebut untuk direhabilitasi dalam jangka waktu yang

bukan dihitung sebagai masa menjalani hukuman dan penentuan jangka waktu

tersebut setelah mendengar keterangan ahli mengenai kondisi/taraf kecanduan

terdakwa. Pecandu narkotika tipe kedua, maka dapatlah dikategorikan sebagai

pecandu yang tidak mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika

demi kepentingan pelayanan kesehatannya. Pengkategorian seperti itu

didasarkan pada pengertian penyalahguna yang dimaksud pada Pasal 1 angka 15

UU No. 35 Tahun 2009, dimana ada unsur esensial yang melekat yaitu unsur

tanpa hak atau melawan hukum. Mengenai penjabaran unsur tanpa hak atau

melawan hukum telah dipaparkan penulis sebelumnya yaitu pada pokoknya

seseorang yang menggunakan narkotika melanggar aturan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009

tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat

melawan hukum.32

Secara esensial penyalahguna dan pecandu narkotika tipe kedua adalah

sama-sama menyalahgunakan narkotika, hanya saja bagi pecandu narkotika

mempunyai karakteristik tersendiri yakni adanya ketergantungan pada

Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Pecandu narkotika tipe kedua

tersebut hanya dikenakan tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi

32
Ibid., hlm. 58.

34
medis dan rehabilitasi sosial, dalam jangka waktu maksimal yang sama dengan

jangka waktu maksimal pidana penjara sebagaimana tercantum pada Pasal 127

Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009.

Pengedar berasal dari kata dasar edar serupa dengan definisi bandar

narkotika, di dalam undang-undang narkotika tidak ada definisi pengedar secara

ekplisit. Sementara arti pengedaran itu sendiri meliputi kegiatan atau

serangkaian penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka

perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu teknologi.

Pengedaran, membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito,

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, golongan II

dan golongan II. Dikenakan ketentuan pidana:33

a. Golongan I. Diancam pidana penjara paling singkat empat tahun dan

maksimum penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit

delapan ratus juta rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah, apabila

beratnya melebihi satu kilogram atau melebihi lima batang pohon (untuk

tanaman) dan melebihi lima gram (bukan tanaman), maka pidana denda

maksimum ditambah sepertiga (Pasal 114 dan 115);

b. Golongan II. Diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan

33
B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi Dan Patologi Sosial, (Bandung: Parsito, 1981),
hlm. 200.

35
maksimum pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling

sedikit enam ratus juta rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah.

Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana denda maksimum

ditambah sepertiga (Pasal 119 dan 120);

c. Golongan III. Diancam dengan pidana penjara paling singkat dua tahun

dan paling lama lima belas tahun. Denda paling sedikit enam ratus juta

rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi

lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 124

dan 125).

2. Golongan Pemakai Narkotika

Menurut Simanjuntak, bahwa dalam lingkungan pergaulan, apabila

menjumpai seseorang yang menyalahgunakan bahan obat-obatan tertentu,

janganlah terlalu cepat memberikan vonis bahwa orang tersebut telah addict.

Terlebih dahulu harus menyelidiki apakah “sifat” dari pemakaian obat itu. Perlu

ditegaskan sehingga tidak salah mengambil tindakan kepada mereka.

Bagaimanapun, tidak ada orang yang ingin nama baiknya menjadi rusak.

Terhadap permasalahan sebagaimana tersebut di atas lebih lanjut Simanjuntak

mengemukakan untuk itu, kita harus membedakan para pemakai obat-obatan ini,

sebagai berikut :34

a. Experimental users (golongan yang mencoba-coba)

34
Ibid., hlm. 302-303.

36
Mereka hanya ingin mencoba saja, sesuai dengan naluri seorang manusia.

Mereka hanya didorong oleh rasa ingin tahu saja, sehingga pemakaiannya

biasanya hanya sekali-sekali dan dalam takaran kecil. Biasanya hal ini

akan berhenti dengan sendirinya.

b. Social-recreational users (pemakai untuk sosial-rekreasi)

Pemakai yang hanya mempergunakan obat untuk keperluan sosial dan

rekreasi. Biasanya dilakukan bersama teman-teman untuk memperoleh

kenikmatan. Penggunaan obat-obat ini hanya di waktu-waktu tertentu

saja, misalnya ketika mengadakan pesta-pesta ataupun kegiatan-kegiatan

tertentu. Dalam hal ini tidak ada penjurusan kepada pemakaian yang

berlebihan. Pada golongan ini mereka masih mampu melakukan aktifitas

sosial dengan sempurna.

c. Circumstantial-situational users (pemakai karena situasi)

Mereka ini mempergunakan obat karena terdorong oleh sesuatu keadaan.

Misalnya dipakai oleh atlet, supir mobil jarak jauh untuk mencegah

mengantuk dan keletihan, pemain musik, pemain sandiwara, serdadu

dalam pertempuran. Tujuan mereka untuk memperbesar prestasi dan

kemauannya. Dalam hal ini penderita sering mengulangi perbuatannya

sehingga risiko menjadi “addict” lebih besar dari kedua golongan

terdahulu. Obat yang sering dipergunakan untuk maksud ini adalah “obat

perangsang mental” seperti Amphetamin.

d. .Intensified drug users (pemakai obat yang intensif)

37
Pada golongan ini pemakaian obat bersifat kronis, sedikitnya sekali

sehari, dengan maksud untuk melarikan dari dari problem kehidupan.

Mereka mempunyai kecenderungan lebih buruk dari golongan

circumstantial-situasional users.

e. Compulsive drug users

Penggunaan obat pada golongan ini sangat sering, takarannya tinggi, dan

tidak lagi dapat melepaskan dirinya dari pengaruh obat tanpa goncangan

mental dan fisik.35

Pecandu dan pengedar adalah dua hal yang saling berhubungan secara

tidak disengaja maupun disengaja. Pecandu ya sama saja penyalahguna

narkotika ,sekarang ini banyak orang-orang yang memakai narkotika bukan

untuk kebutuhan medis melainkan hanya untuk membuat kenyamanan untuk

diri sendiri walauapun orang itu tidak sakit tetapi dia sendiri yang membuat

menjadi sakit dan menjadi kecanduan, dan yang lebih miris orang-orang yang

memakai narkotika hanya berdasarkan trend dan keinginan untuk tahu hal

seperti ini sungguh sangat disayangkan karena tidak adanya pelajaran atau

sosisalisasi sejak kecil tetntang bahaya narkotika.

38
f. Korban Penyalahgunaan Narkotika

a. Korban

Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi

juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan

secara sosial dan hukum . Pada dasarnya korban adalah orang baik, individu,

kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara

langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan

subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan

hukum.

Bila hendak membicarakan mengenai korban, sebaiknya dilihat

kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno. Dalam peradaban tersebut,

asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang

dikorbankan, yaitu” mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan

atau hirarki kekuasaan.

Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang,

kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau

penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan

tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi”menyebutkan kata

korban mempunyai pengertian:”korban adalah orang yang menderita

kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang

39
lain.36

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya

kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:

1. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak


kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam
penanggulangan kejahatan;
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai
karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
3. Propocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan
atau pemicu kejahatan;
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau
memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya mejadi
korban;
5. False Vitims adalah mereka yang menjadi korban.

Apabila dilihat dari presfektif tanggung jawab Menurut Stephen Schafer

korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut:37

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan


si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu,
dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban;
2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan
korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek
tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara
bersama-sama;
3. Participating Victims Apabila dilihat dari presfektif tanggung jawab
Menurut Stephen Schafer korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh)
bentuk, yakni sebagai berikut:Biologically weak victim adalah
kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita,
anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial
korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya
terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak
dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;
4. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan
kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya

36
Purwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 33.
37
Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 20015), hlm. 17.

40
secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat;
5. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan
sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung
jawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus
sebagai pelaku kejahatan;
6. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara
sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali
adanya perubahan konstelasi politik.

Namun demikian korban penyalahgunaan narkotika itu sepatutnya

mendapatkan perlindungan agar korban tersebut dapat menjadi baik Double

track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum

pidana, yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan.Fokus sanksi pidana

ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seorang melalui

pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi

tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku agar ia

berubah Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan

sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat

dan pembinaan atau perawatan si pelaku.

Berdasarkan hal tersebut double track system dalam perumusan sanksi

terhadap tindak pidana korban penyalahgunaan narkotika adalah paling

tepat,karena berdasarkan victimologi bahwa pecandu narkotika adalah sebagai

self victimizingvictims yaitu korban sebagai pelaku, victimologi tetap

menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban, meskipun dari tindakan

pidana/ kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Korban penyalaguna narkotika yang diatur dalam korban

41
penyalahgunaan narkotika dimana terdapat 2 korban penyalahgunaan

narkotika yaitu :

1. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik

maupun psikis.

2. Korban Penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja

menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya,ditipu,dipaksa dan/atau

diancam untuk menggunakan narkotika.

Melihat dari beberapa korban penyalahgunaan narkotika,setiap korban

maupun pecandu narkotika juga memiliki sanksi atau tindakan yang harus di

pertanggungjawabkan terhadap korban, ketentuan mengenai sanksi dalam

Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tenang Narkotika sangat besar.

Sanksi pidana paling sedikit 4 (empat) tahun penjara sampai 20 (dua puluh)

tahun penjara bahkan pidana mati jika memproduksi Narkotika golongan I

lebih dari 1 (satu) atau 5 (lima) kilogram. Denda yang dicantumkan dalam

Undang–Undang Narkotika tersebut berkisar antara Rp.1.000.000,00 (satu

juta rupiah) sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

Sanksi pidana maupun denda terhadap bagi siapa saja yang

menyalahgunakan narkotika atau psikotropika terdapat dalam ketentuan

pidana pada Bab XV mulai dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148.

42
b. Perlindungan Korban Penyalahgunaan Narkotika

Masalah perlindungan korban menimbulkan berbagai permasalahan dalam

masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak khususnya. Belum adanya

perhatian dan pelayanan terhadap perlindungan korban penyalahgunaan

narkotika merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan

pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat.

Hak- hak para korban menurut menurut Van Boven adalah:10 Hak untuk

tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi ( pemulihan ), hak reparasi yaitu

hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non

material bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak –hak tersebut

telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang

berlaku dan juga dengan diberikan rehabilitasi medis.

Dalam rangka memberikan perlindungan pada korban kejahatan, terdapat

dua model pengaturan ialah (1) model hak-hak prosedural (the prosedural

ringhts model) dan (2) model pelayanan (the services model):38

1. Model hak-hak prosedural, disini korban diberi hak untuk memainkan

peran aktif dalam proses penyelesaian perkara pidana,seperti hak untuk

mengadakan tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan

dan didengar pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara dimana

kepentingannya terkait di dalamnya termasuk hak untuk diminta

38
Ibid., hlm 24

43
konsultasi sebelum diperiksa lepas bersyarat, juga hak untuk mengadakan

perdamaain. Di Prancis model ini disebut Partie Civile Model atau Civil

Action Model. Disni korban diberi hak juridis yang luas untuk menentukan

dan mengejar kepentingan-kepentingannya.

2. Model pelayanan, disini tekanan ditunjukan pada perlunya diciptakan

standar- standar baku bagi pemidanaan korban kejahatan, yang dapat

digunakan oleh polisi misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka

modifikasi kepada korban dan atau jaksa dalam rangka penanganan

perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat

restitutif dan dampak peryataan-peryataan korban sebelum pidana

dijatuhkan. Disni korban kejahatan dipandang sebagai sasaran khusus

untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum

lainnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan

Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk

memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses

peradilan pidana.

Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk membentuk

Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari

aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun pengadilan yang selalu berinteraksi

44
dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari

kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban

sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana.

Adapun beberapa persyaratan yang telah ditentukan oleh LPSK

untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban

tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

menyatakan Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau

Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2)

diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;

b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;

c. Basil analisis tim media atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban

Korban juga dapat merupakan pihak yang sifatnya secara kolektif dan

hanya bersifat perseorangan . sebab akibatnya terjadi untuk suatu

tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa mengakibatkan

terjadinya korban penyalahgunaan narkotika, yang mungkin saja tidak

hanya satu orang namun bisa asaja korban tersebut lebih dari satu

orang.

Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan

mengapa korban memerlukan hak untuk mendapatkan perlindungan

diantaranya adalah :

45
a. Sistem peradilan dianggap terlalu memberikan perhatian pada

permasalahan dan pelaku kejahatan;

b. Terhadap potensi informasi dari korban untuk memperjelaskan dan

melengkapi penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang

korban dan harus dipahami bahwa korbanlah yang menggerakkan

mekanisme sistem peradilan pidana;

c. Semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak

kurang pentingnya memberikan perhatian kepada korban kejahatan

non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut sebaiknya korban mendapatkan

haknya untuk diberikan perlindungan, berdasarkan hal ini seorang korban

penyalahgunaan berdasrakan Pasal 2 butir (b) PERBER/01/III/2014/BNN

Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan

Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehab ilitasi, menjadi pedoman teknis

dalam penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan

narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana untuk menjalani

rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial.” Merupakan tujuan utama

terhadap perlindungan korban penyalahgunaan narkotika.

46
BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA

A. Pembuktian

Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi

masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan

pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno

Mertokusumo disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup

kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian

tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi

membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti.

Subekti menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang

kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan

sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan

didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya

hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.39

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk

menyatakan kebenaran atau suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap

kebenaran peristiwa tersebut. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu

39
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), hlm. 1.

47
peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,

sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Pembuktian adalah ketentuan-

ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan

undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupkan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang

dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan

yang didakwakan.40

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut

dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan

mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian dalam

Pasal 183 bahwa:

“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

dan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal

184 ayat (1) KUHAP yaitu :

1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;

40
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 273.

48
4. Petunjuk; dan
5. Keterangan terdakwa.

B. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara

perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana) adalah bertujuan

untuk mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya,

sedangkan pembuktian dalam perkara perdata (hukum acara perdata) adalah

bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui

batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam

mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan “preponderance of

evidence”, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka

peristiwa harus terbukti (beyond reasonable doubt).41

Pembuktian secara bahasa (terminilogi), menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktikan, suatu usaha

menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan. 42 Dalam

hal ini pembuktian merupakan salah satu unsur yang penting dalam hukum acara

pidana, dimana menentukan antara bersalah atau tidaknya seorang terdakwa di

dalam persidangan.

41
Andy sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Rangkang Education,
2013), hlm. 241.
42
Ebta Setiawan, “arti atau makna pembuktian” dalam http://KBBI.web.id/arti atau makna
pembuktian. Diakses pada 24 Juli 2019.

49
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah mengandung

maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga

dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara

pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan

KUHAP yang menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran yaitu melalui:

a. Penyidikan
b. Penuntutan
c. Pemeriksaan di persidangan
d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase atau prosedur

dalam pelaksaan hukum acara pidana secara keseluruhan. Yang sebagaimana

dimaksud dalam KUHAP.43

Menurut J.C.T Simorangkir, bahwa pembuktian adalah usaha dari yang

berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang

berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh

hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut.

Sedangkan menurut Darwan, bahwa pembuktian adalah pembuktian bahwa benar

suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,

sehingga harus mempertanggungjawabkannya.44

Menurut Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah membuktikan, dengan

memberikan pengertian, sebagai berikut:

43
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, (Jakarta: Ghalia, 1983),
hlm.12.
44
Andy Sofyan, Op.Cit., hlm. 242.

50
a. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang bersifat

mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya

bukti-bukti lain.

b. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang

memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian

yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:

1. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian ini


bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
2. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut
conviction raisonnee.
3. Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang
memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa
yang terjadi.

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang

dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti

tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu

pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum pembuktian adalah sebagai

berikut:45

a. Undang- undang;

b. Doktrin atau ajaran;

c. Yurisprudensi.

45
Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa
dan Praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.10.

51
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam memutuskan

suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Apabila

sebaliknya maka terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman atas tindakannya.

Asas yang berlaku di negara kita berdasarkan hukum acara pidana

menyatakan bahwa setiap orang wajib untuk dianggap tidak bersalah sebelum

adanya suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht

van gewijde) atau dinamakan “asas preasumptio of innocence”.

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk menegakkan atau memelihara

ketertiban umum sedangkan hukum acara itu motor pelaksanaan dari hukum acara

pidana material yang tidak dapat dipisah-pisahkan oleh karena tanpa hukum acara

pidana. Jadi hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang dibuat oleh

suatu negara, agar waktu timbul persangkaan telah terjadi pelanggaran undang-

undang pidana, untuk dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:46

a. Menyuruh alat-alat negara untuk mengusut tentang benar tidaknya


telah terjadi suatu tindak pidana.
b. Menyuruh melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk
penangkapan bagi sipembuatnya, bila perlu menghukumnya.
c. Menyuruh melakukan pengusutan terhadap si pembuatnya.
d. Menyuruh mengajukan bahan-bahan pembuktian yang telah dapat
dikumpulkan pada waktu mengumpulkan pengusutan tentang
kebenaran terjadinya tindak pidana itu kepada hakim dan
mengahadapkan tersangka ke muka hakim.
e. Menyuruh hakim menjatuhkan putusan tentang dapat tidaknya
dibuktikan telah terjadinya tindak pidana tersebut dan kesalahan
tersangka serta menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan atau
tindakan yang akan diambil.
f. Mengajukan alat-alat hukum / upaya-upaya hukum terhadap
keputusan hakim tersebut (rechtmiddelen).

46
Tanu Subroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 21

52
g. Menyuruh melaksanakan penjatuhan keputusan terakhir yang
berisikan hukuman atau tindakan tersebut.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadi tujuan alasan disusunnya Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana:47

1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia


(tersangka/terdakwa);
2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan;
3. Kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana;
4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum;
5. Mewujudkan hukum acara pidana yang berdasarkan pancasila dan
Undang- Undang Dasar 1945.

Yang dimaksudkan dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang

kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan di muka

pengadilan. Hakim di dalam melaksanakan tugasnya diperbolehkan

menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan

murni, keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang dinamakan oleh

undang-undang ialah alat bukti.48

Dengan alat bukti yang ada masing-masing pihak berusaha membuktikan

dalilnya yang dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan untuk memutus

perkara narkotika tersebut. Pembuktian benar tidaknya terdakwa melakukan

perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana,

jadi seseorang yang didakwa ternyata terbukti melakukan perbuatan yang

47
R Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Berita Penerbit, 1985), hlm. 7.
48
Ibid., hlm. 12.

53
didakwakan adalah berdasarkan alat-alat bukti yang ada disertai keyakinan

hakim.49(Andi Hamzah, 1996 : 245).

Sistem atau teori-teori pembuktian Indonesia sama dengan Belanda dan

negara- negara eropa kontinental yang lain, yaitu menganut bahwa hakimlah

yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri bukan juri,

seperti di Amerika Serikat dan negara-negara anglo saxon, juri umumnya terdiri

dari orang awam. Juri-juri tersebutlah yang menentukan salah atau tidaknya

guilty or not guilty seorang terdakwa, sedangkan hakim hanya memimpin sidang

dan menjatuhkan pidana (sentencing).

C. Macam-Macam Alat Pembuktian

Dalam pembuktian tidaklah mungkin dapat tercapai suatu kebenaran mutlak

(absolut) semua pengetahuan hanya sifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman,

penglihatan dan pemikiran yang tidak selalu benar, jika diharuskan adanya syarat

kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian

besar dari pelaku tindak pidana pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan

pidana. Satu-satunya yang dapat disyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah

adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan

perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, sedangkan ketidaksalahnya walaupun selalu

ada kemungkinannya merupakan suatu hal yang tidak diterima sama sekali.

49
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 245.

54
Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa menurut

pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu tindak pidana benar-

benar telah terjadi dapat terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka

terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan menyakinkan.

Mengenai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal

184 KUHAP. Yaitu:

a. Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184

KUHAP, aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam

1 (satu) Pasal saja, yaitu Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa

yang dimaksud dengan keterangan saksi, bagaimana tentang kekuatan

pembuktiannya. Pasal 185 KUHAP yang berbunyi :

1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang peradilan;
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya;
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya;
4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu dengan yang
lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu;
5. Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil
pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;
6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
bersungguh-sungguh memperhatikan;
a. Persesuaian antara saksi satu dengan yang lainnya;
b. Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya;

55
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu.
7. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya;
8. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu
dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Dalam Pasal 164 KUHAP, alat bukti berupa keterangan saksi menempati

urutan pertama, dalam hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b. KUHAP,

yang rumusannya sebagai berikut:

“Yang pertama-tama di dengar keterangannya adalah korban yang

menjadi saksi.”

Mengenai keterangan saksi menempati urutan pertama dalam sidang

pengadilan. M. Yahya Harahap, berpendapat bahwa yang membuat undang-

undang menghendaki suatu prinsip mendahulukan, mendengarkan keterangan

saksi dari pada terdakwa, tujuannya memberi kesempatan terdakwa

mempersiapkan diri untuk membela kepentingannya dalam pemeriksaan

persidangan, agar persiapannya lebih baik. Undang-undang menetapkan supaya

terdakwa diberi kesempatan lebih dahulu mendengar keterangan saksi.50

Jika diperhatikan H.I.R (Herzien Inlandsch Reglement) dahulu, maka

terdapat perbedaan, karena menurut H.I.R terdakwa diperiksa lebih dahulu baru

kemudian para saksi-saksi.

50
Andi Hamzah, Perbandingan KUHAP-HIR dan Komentar, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1884),
hlm. 25.

56
Dalam hukum acara pidana yang tidak dapat diambil keterangannya

sebagai saksi adalah:

a. Mereka yang relatif tidak berwewenang memberi kesaksian

Diatur dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi kecuali ditentukan lain

dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan

dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa;

2. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu dan saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa

sampai derajat ketiga;

3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Orang-orang yang tersebut dalam Pasal 168 KUHAP disebut relatif

tidak berwenang (Relatif Onbevoegd) untuk memberi kesaksian, karena

jika jaksa dan terdakwa serta orang-orang tersebut menyetujuinya, maka

mereka dapat didengar sebagai saksi (Pasal 169 (1) KUHAP). Namun

demikian, walaupun ketiga golongan tersebut tidak setuju untuk memberi

kesaksian, yaitu jaksa, terdakwa, dan orang-orang tersebut di atas, hakim

57
masih bisa memutuskan untuk mendengar mereka tetapi hanya untuk

memberi keterangan saja.

b. Mereka yang Absolut tidak berwenang memberi kesaksian.

Pasal 171 KUHAP, berbunyi sebagai berikut yang yang boleh diperiksa

untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah

kawin.

2. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatannya baik kembali.

Mengigat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian

juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun hanya

kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopat,

mereka ini tidak dapat dipertangung jawabkan secara sempurna dalam

hukum pidana, maka mereka tidak diambil sumpah atau janji dalam

memberikan keterangan, karena itu mereka hanya dipakai sebagai petunjuk

saja.

Para saksi menurut Pasal 265 ayat (3) HIR dan Pasal 160 ayat (3)

KUHAP, sebelum didengar keterangannya, harus disumpah lebih dahulu

menurut cara yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing, bahwa

mereka akan memberikan keterangan yang mengandung kebenaran dan

tidak lain dari pada kebenaran. Penyumpahan semacam ini dinamakan,

dilakukan secara “Promissoris” (secara sanggup berbicara benar) lain cara

58
ialah yang dinamakan secara “Assertoris” (menempatkan kebenaran

pembicaraan yang telah lalu), yaitu saksi didengar dulu keterangannya, dan

kemudian baru disumpah bahwa yang telah diceritakan itu adalah benar.

Nilai kekuatan pembuktian sebenarnya bukan hanya unsur sumpah

yang harus melekat pada keterangan saksi agar keterangan itu bersifat alat

bukti yang sah, tetapi harus dipenuhi beberapa syarat, yakni Pasal 160

KUHAP yang berbunyi:

a. Saksi dipanggil dalam ruang siding seorang demi seorang menurut

urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang

setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau

penasihat hukum.

b. Yang pertama-tama didengarkan keterangannya adalah korban

yang menjadi saksi.

c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang

memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan

perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum

atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum

dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar

keterangan saksi tersebut.

d. Hakim ketua sidang menyatakan kepada saksi keterangan tentang

nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selajutnya

59
apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatann

yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah

semenda dan sampai derajat ke berapa dengan terdakwa, atau

apakah ia suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau

terikat hubungan kerja dengannya.

e. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah

atau janji menurut agamanya masing-masing, bahwa ia akan

memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada

yang sebenarnya.

f. Jika pengadilan mengangap perlu, seorang saksi atau ahli wajib

bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi

keterangan.

Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai bukan

merupakan alat bukti yang sah, akan tetapi dapat dipergunakan sebagai

tambahan atau sebagai petunjuk pembuktian alat bukti yang sah untuk

menyempurnakan dan menguatkan keyakinan hakim. Nilai kekuatan

pembuktian keterangan saksi yang disumpah harus melekat pada

persyaratan yang ditentukan undang-undang, yaitu:51

51
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 294.

60
1. Mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas; Maksudnya

keterangan saksi dapat dilihat sebagai alat bukti sah, bebas, tidak

sempurna, tidak menentukan, dan tidak mengikat.

2. Kekuatan pembuktian yang bergantung pada penilaian hakim;

3. Hakim tidak terikat dalam menentukan nilai pembuktian suatu

keterangan saksi.

b. Keterangan Ahli

Keterangan Ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa

keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga untuk

memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi karena keahliannya bukan ia

terlibat dalam suatu perkara yang sedang disidangkan. Hakim karena jabatan

atau karena permintaan pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau

lebih saksi saksi ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan

oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan maksud

membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri

dalam suatu hal tertentu.

Menurut Karim Nasution, ahli itu tidaklah perlu merupakan seorang

spesialis dalam lapangan suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang menurut hukum

acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai

pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal, atau memiliki

lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu, bukan berarti

61
bahwa dalam memerlukan bantuan ahli, selalu harus meminta bantuan sarjana-

sarjana, atau ahli-ahli ilmu pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang

berpengalaman dan kurang pendidikan. Namum dalam bidangnya saja,

umpamanya pembuat senjata, pemburu, tukang sepatu dan sebagainya yang

soal-soal tertentu yang dapat memberikan pertolongan yang diperlukan.

Kekuatan pembuktian keterangan ahli tersebut, adalah sebagai alat bukti

bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian hakim, hakim bebas

untuk menerima, percaya, atau tidak terhadap keterangan ahli.52

Dalam Pasal 120 KUHAP diatur kekuatan keterangan ahli dari segi

pembuktian, yaitu apabila keterangan ahli tersebut memiliki keahlian khusus

dalam bidangnya “ menurut pengetahuannya” dan keterangan yang diberikan

sesuai dengan keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan dengan perkara

pidana yang sedang diperiksa.53

Oleh karena itu, kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti

keterangan ahli mempunyai kekuatan yang mengikat dan menentukan,

diantarnya:

1. Bebas atau vrij bewijskracht, artinya di dalam dirinya tidak ada melekat

nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Tersrah

52
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dakam Proses Pidana, (Yogyakarta:
Liberty, 1988), hlm. 37
53
Ibid., hlm. 38

62
pada penilaian hakim, artinya hakim bebas menilainya dan tidak terikat

kepadanya.

2. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, berbunyi keterangan ahli tanpa

didukung oleh alat bukti lain adalah tidak cukup untuk membuktikan

kesalahan terdakwa.

c. Surat

Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan pemeriksaan

saksi-saksi dan persidangan terdakwa, pada saat pemeriksaan saksi, ditanyakan

mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dan

kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa.

Berkaitan dengan alat bukti berupa surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP,

yang berbunyi:

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dalam hal ini diatur dalam

Pasal 187 KUHAP adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya. Yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi dari padanya;

63
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian lain.

Keterangan-keterangan, catatan-catatan dan laporan-laporan itu

sebenarnya tidak berbeda dengan keterangan-keterangan saksi, tetapi di

ucapkan secara tulisan. Maka dari itu arti sebenarnya dari Pasal tersebut ialah

bahwa pejabat-pejabat tersebut dibebaskan dari menghadap sendiri di muka

hakim. Surat-surat yang ditanda tangani mereka, cukup dibaca saja dan dengan

demikian mempunyai kekuatan sama dengan kalau mereka menghadap di muka

hakim dalam sidang dan menceritakan hal tersebut secara lisan.

Surat dapat digunakan sebagai alat-alat bukti dan mempunyai nilai

pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang

diharuskan oleh undang-undang.

Apabila surat sudah dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang maka

bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi

hakim dengan syarat:

1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang

diatur oleh undang-undang;

2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum;

3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat

melemahkan bukti surat tersebut.

Dalam menilai alat bukti surat, penyidik, penuntut umum, maupun hakim

dalam meneliti alat bukti surat harus cermat, dan hanya alat bukti tersebut di

64
atas yang merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam

perkara pidana.

Di antara surat-surat bukti yang bukan surat resmi tersebut, ada segolongan

yang penting bagi pembuktian, yaitu surat-surat yang berasal dari atau di tanda

tanggani oleh terdakwa. Kalau terdakwa mengakui di muka hakim penanda

tangannya atau berasal dari atau di tanda tangani oleh terdakwa, maka hal ini

akan memudahkan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara perdata, surat-

surat tidak resmi itu kalau diakui tanda tangannya oleh yang bersangkutan,

mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat hakim, seperti halnya, akta

autentik, ini pun lain bagi hakim hukum pidana, yang leluasa untuk tidak

menggangap hal tentang sesuatu telah terbukti oleh surat semacam itu,

meskipun tanda tangan diakui oleh terdakwa, yaitu hakim tidak berkeyakinan

atas kesalahan terdakwa.

Nilai kekuatan alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang ”sempurna”

dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang ”mengikat” bagi hakim,

sepanjang itu tidak dilumpuhkan dengan ”bukti lawan” atau tegen bewijs. Oleh

karena alat bukti surat resmi atau autentik merupakan alat bukti yang sempurna

dan mengikat (volledig en beslissende bewijskracht), hakim tidak bebas lagi

untuk menilainya, dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam

mengambil putusan yang bersangkutan. 54

54
Ibid.

65
Ditinjau dari segi teori serta hubungannya dengan beberapa prinsip

pembuktian yang diatur dalam KUHAP.

1. Dari segi formal

Alat buki surat yang diatur dalam Pasal 187 huruf a dan b dan c yaitu (a)

berita acara dan surat lain yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang

memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang dialami, didengar, dan

dilihat disertai alasan yang jelas dan tegas, (b) surat yang dibuat menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan, (c) surat keterangan yang dibuat oleh

seorang ahli berdasarkan keahliannya adalah alat bukti yang sempurna.

2. Dari segi materiil

Mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, artinya hakim bebas

untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Dasar tidak keterikatan hakim atas alat

bukti surat didasarkan pada asas, antara lain:

a. Untuk mencari kebenaran sejati atau materil bukan kebenaran

formal.

b. Keyakinan hakim, yaitu menganut sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif, dimana hakim baru boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa telah terbukti

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian itu

hakim yakin terdakwalah yang bersalah melakukannya.

c. Batas minimum pembuktian, yaitu diatur dalam Pasal 183 KUHAP,

berbunyi sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah.

66
d. Petunjuk

Di dalam KUHAP alat bukti petunjuk ini dapat di lihat dalam Pasal 188,

yang berbunyi sebagai berikut:

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena


persesuainya, baik antara yang satu yang lainnya, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya;
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh
dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
3. Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Dari bunyi Pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah

merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil

kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti

dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.

Syarat-syarat untuk dapat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti

haruslah:

a. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang


terjadi.
b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain
dengan kejahatan yang terjadi.
c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa
maupun saksi di persidangan.

Adanya petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan

keterangan terdakwa (ayat 2). Keterangan seorang saksi saja dapat dijadikan

67
petunjuk oleh hakim, jika berhubungan dengan alat bukti lainya. Demikian

juga halnya dengan keterangan terdakwa yang diberikan di luar persidangan

merupakan petunjuk bagi hakim atas kesalahan terdakwa.

Mengenai kekuatan alat bukti petunjuk serupa dengan kekuatan

pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli, dan alat bukt surat, yaitu

mempunyai kekuatan pembuktianya yang bersifat bebas, artinya hakim tidak

terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh bukti petunjuk.

Petunjuk seb agai alat bukti yidak bisa berdiri sendiri, ia tetap terikat pada

prinsip batas

e. Keterangan Terdakwa

Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP diatur dalam Pasal 189

yang berbunyi sebagai berikut:

1. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang


tentang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri;
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri;
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Permuatan kata-kata yang ia ketahui atau alami sendiri seperti dalam

redaksi ayat (1) Pasal di atas, menurut Andi Hamzah, berlebihan. Menurut

beliau, sebaiknya kata-kata tersebut dimasukkan dalam redaksi keterangan

68
saksi atau ahli. Seharusnya yang dimaksud dengan keterangan terdakwa ialah

apa yang ia nyatakan di sidang tentang perbuatan apa yang dilakukannya

disertai dengan keterangan dari keadaan keadaan tertentu. Maksudnya agar

keterangan terdakwa didepan sidang pengadilan harus disertai cara-cara

bagaimana ia melakukan perbuatannya. Demikian juga dengan ayat (4) tidak

cukup dengan keterangan terdakwa saja dan disertai dengan alat bukti lain.

Terdakwa harus menerangkan cara-cara ia melakukan perbuatan itu.

Menurut ketentuan ayat (2) keterangan terdakwa di luar sidang dapat

membantu menemukan bukti di sidang. Pengadilan di luar sidang di sini

maksudnya pengakuan yang diberikan terdakwa baik secara lisan atau tulisan

di depan penyidik merupakan bukti petunjuk atas kesalahan terdakwa.

Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena

pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut:55

1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.

2. Mengaku ia yang bersalah.

Perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan

terdakwa ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi

membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada

terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain yang merupakan alat bukti. Jadi

pemeriksaan atau mendengarkan keterangan para saksi pada dasarnaya

55
Ibid.

69
merupakan satu upaya pembuktian tentang apa yang didakwakan oleh penuntut

umum, apakah argumen-argumen yang diajukan benar adanya dari pandangan

hukum, sedangkan dari sisi terdakwa atau penasihat hukum hal itu dimaksudkan

untuk membenarkan apa yang menjadi keberatan. Kemudian setelah dilakukan

pemeriksaan terhadap para saksi, maka majelis hakim menunda sidang sampai

batas waktu yang dianggap wajar.

D. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang

boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat

bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk

keyakinannya di depan sidang pengadilan.56

Sistem pembuktian adalah sistem yang berisi tentang alat-alat bukti, bukti apa

yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu boleh

dipergunakan, dan nilai kekuatan dari terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan.

Sistem pembuktian merupakan suatu kebetulan atau keseluruhan dari berbagai

ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan berhubungan satu

dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi kesatuan yang utuh.57

56
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia,
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 28.
57
Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2008),
hlm. 24.

70
Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang

menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap di sidang

pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, teori atau sistem pembuktian

mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula penerapan sistem

pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction intime atau

teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata, conviction rasionne

atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas

alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian yang hanya

berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara

positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara

negatif.58

a. Conviction Intime atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim

semata-mata

Conviction Intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan

hakim belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim

untuk menjatuhkan suatu putusan berdasarkan keyakinan hakim, artinya bahwa

jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu

perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang

diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini

58
Hendar Soetama, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2008),
hlm. 11.

71
adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai

dengan atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.59

Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan

pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja

sebagai dasar keyakinannya, termasuk bisikan dukun. Hal tersebut juga terjadi

pada pengadilan adat dan swaparaja yang para hakimnya terdiri atas orang-orang

yang bukan ahli hukum. Sistem ini merugikan dalam hal pengawasam terhadap

hakim dan merugikan terdakwa dan penasihat hukum karena tidak jelas patokan

dan ukuran suatu keyakinan hakim.60

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar, karena sebagai manusia

biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada

kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-

cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini

terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang

sewenang-wenang, dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim.61

b. Conviction Rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim

dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis

Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian yang

tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada

59
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007),
hlm. 186.
60
Hendar Soetama, Op.Cit., hlm. 39.
61
Adhami Chazawi, Op.Cit., hlm. 25.

72
alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam sistem ini hakim tidak dapat lagi

memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, tetapi keyakinannya harus

diikuti dengan alasan-alasan yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima

oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu.62

Conviction rasionnee sebagai jalan tengah antara teori pembuktian

berdasarkan undang-undang dan teori pembuktian semata-mata berdasarkan

keyakinan hakim. Dalam teori ini, hakim dapat memutuskan terdakwa bersalah

berdasarkan keyakinannya, namun tidak semata-mata keyakinan hakim yang

diciptakan oleh hakim sendiri, tetapi keyakinan hakim sampai batas tertentu,

yaitu keyakinan hakim yang berdasarkan kepada ketentuan pembuktian

tertentu.63

c. Positif Wettelijk Bewijstheorie atau teori pembuktian yang hanya

berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-

undang secara positif

Sistem pembuktian positif wettelijk bewijstheorie adalah pembuktian

berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif atau pembuktian

dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumya telah ditentukan dalam

undang-undang. Untuk menentukan kesalahan seseorang, hakim harus

mendasarkan pada alat-alat bukti tersebut dalam undang-undang, jika alat-alat

bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan

62
Rusli Muhammad, Op.Cit., hlm. 187.
63
Hendar Soetama, Op.Cit., hlm. 40.

73
putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-

alat bukti yang ada. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan

dalam menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang.

Sistem ini hanya sesuai dengan pemeriksaan yang bersifat inkuisitor yang

dulu pernah dianut di Eropa yang saat ini sudah tidak digunakan lagi karena

bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang saat ini sangat diperhatikan

dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Sistem ini sama

sekali mengabaikan perasaan hati nurani hakim, di mana hakim bekerja

menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram

melalui undang-undang.64

d. Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang

secara negatif

Pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie atau pembuktian berdasarkan

undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-

alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang juga menggunakan

keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan

hakim terbatas pada alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang secara

positif dan pembuktian ini menggambungkan antara sistem pembuktian menurut

undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim

64
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 251.

74
sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen

grondslag).

Negatief wettelijk bewijstheorie memadukan dua unsur yaitu ketentuan

pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan hakim menjadi

satu unsur yang tidak dapat terpisahkan. Keyakinan hakim dipandang tidak ada

apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, dan dua alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat

menciptakan keyakinan hakim.65

Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang

itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Di mana rumusnya bahwa salah satu tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh

keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dengan alat-alat bukti yang sah

menurut undang-undang.66

Sistem pembuktian negatief wetteljk bewijstheorie mempunyai persamaan

dan perbedaan dengan sistem conviction rasionalee. Persamaannya adalah kedua

teori tersebut sama-sama menggunakan teori keyakinan hakim dan kedua-duanya

sama-sama membatasi keyakinan hakim. Sedangkan perbedaannya bahwa sistem

conviction rasionalee berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang didasarkan

pada suatu kesimpulan atau alasan-alasan yang logis yang diterima oleh akal

65
Hendar Soetarna, Op.Cit., hlm. 41.
66
M Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005, hlm. 277.

75
pikiran yang tidak didasarkan pada undang-undang, sedangkan pembuktian

negatief wettelijk bewijstheorie berpangkal tolak pada alat-alat bukti yang

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang dan harus mendapat keyakinan

hakim.

Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP sebagaimana diatur dalam

Pasal 183 KUHAP memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif dalam

menentukan salah tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara

kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Jika suatu perkara terbukti

secara sah (sah dalam arti alat-alat bukti menurut undang-undang), akan tetapi

tidak meyakinkan hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak

dapat menjatuhkan putusan pidana pemidanaan terhadap terdakwa.67

P.A.F Lamintang menyatakan bahwa sistem pembuktian dalam KUHAP,

disebut :68

1. Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undang-

undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang

harus ada.

2. Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus

menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis dan

67
Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana: Perkembangan dan Pembaharuannya di
Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 172.
68
Ibid.

76
banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada

dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa

terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Sistem menurut undang-undang secara negatif yang diatur dalam Pasal

183 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai berikut:

1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika

memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana. Dengan kata

lain bahwa pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana, dan

bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana.

2. Standar atau syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana

dengan dua syarat yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu:

a. Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

b. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim

memperoleh keyakinan.

Berkaitan dengan keyakinan hakim dalam pembuktian, haruslah

dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua

alat bukti yang sah. Adapun keyakinan hakim yang harus didapatkan

dalam proses pembuktian untuk dapat menjatuhkan pidana yaitu :69

1. Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana


yang didakwakan oleh JPU, artinya fakta-fakta yang didapat
dari dua alat bukti itu (suatu yang obyektif) yang membentuk
keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-
benar telah terjadi. Dalam praktik disebut bahwa tindak pidana

69
Ibid.

77
yang didakwakan JPU telah terbukti secara sah dan
meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-
alat bukti yang memenuhi syarat minimal yakni dari dua alat
bukti. Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana
sebagaimana didakwakan JPU tidaklah cukup untuk
menjatuhkan pidana, tetapi diperlukan pula dua keyakinan
lainnya.
2. Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga
keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Dua keyakinan itu
dapat disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektifkan.
Keyakinan adalah sesuatu yang subyektif yang didapatkan
hakim atas sesuatu yang obyektif.
3. Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal melakukan
tindak pidana, bisa terjadi terhadap dua hal/unsur, yaitu
pertama hal yang bersifat objektif adalah tiadanya alasan
pembenar dalam melakukan tindak pidana. Dengan tidak
adanya alasan pembenar pada diri terdakwa, maka hakim yakin
kesalahan terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim tentang hal
yang subyektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar hal mengenai diri
terdakwa. Maksudnya, adalah ketika melakukan tindak pidana
pada diri terdakwa tidak terdapat alasan pemaaf (fait d’excuse).
Bisa jadi terdakwa benar melakukan tindak pidana dan hakim
yakin tentang itu, tetapi setelah mendapatkan fakta-fakta yang
menyangkut keadaan jiwa terdakwa dalam persidangan, hakim
tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana tersebut

E. Teori Relevansi Alat Bukti

Masalah relevansi alat bukti merupakan hal yang pertama harus diputuskan

oleh hakim dalam proses pembuktian suatu fakta di pengadilan. Relevansi alat

bukti merupakan salah satu di samping berbagai alasan lain untuk menolak

dimunculkannya suatu alat bukti dalam suatu perkara. Sebenarnya, masalah

relevansi alat bukti ini menduduki peran yang sangat penting dalam suatu sistem

78
pembuktian, baik di negara-negara yang memakai sistem juri maupun di negara-

negaar yang tidak memakai sistem juri.

Hanya saja, dalam suatu sistem peradilan yang memakai sistem juri, masalah

relevansi ini menjadi lebih penting mengingat juri sebagai orang awam hukum

harus dijaga agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang tidak relevan, jangan sampai

terjadi prasangka yang alasannya tidak relevan. Akan tetapi, penghindaran

prasangka sebenarnya hanya salah satu alasan di samping alasan-alasan lainnya

untuk melarang diterimanya pembuktian yang tidak relevan tersebut. Oleh karena

itu, di negara-negarayang tidak memakai relevansi alat bukti ini pada tempat yang

penting.

Dengan demikian, agar suatu alat bukti dapat diterima di pengadilan, alat bukti

tersebut haruslah relevan dengan yang akan dibuktikan. Jika alat bukti tersebut

harusla relevan dengan yang akan dibuktikan. Jika alat bukti tersebut haruslah

relevan, pengadilan harus menolak bukti semacam itu karena menerima bukti yang

tidak relevan akan membawa risiko tertentu bagi proses pencarian keadilan, yaitu

:70

1. Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses


peradilan;
2. Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang
tidak perlu;
3. Penilaian terhadap masalah tersebut menjadi tidak proporsional
dengan membesarkan-besarkan yang sebenarya kecil, atau, mengecil-
ngecilkan yang sebenarnya besar;
4. Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional.

70
Fuady, munir, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: Citra Aditya
Bakti), hlm. 25.

79
Oleh karena itu, amatlah penting bagi hakim dalam proses pengadilan untuk

mengetahui dan cepat memutuskan apakah suatu alat bukti relevan atau tidak

dengan fakta yang akan dibuktikannya. Alat bukti menjadi relevan manakala alat

bukti tersebut memiliki hubungan yang cukup dengan masalah yang akan

dibuktikan.

Setelah diputuskan bahwa alat bukti tersebut relevan, langkah selanjutnya

adalah melihat apakah ada hal-hal yang dapat menjadi alasan untuk

mengesampingkan alat bukti tersebut, misalnya karena alasan saksi de auditu.

Dalam proses melihat relevan atau tidaknya suatu alat bukti, haruslah dicari

tahu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah yang akan dbuktikan ole alat bukti tersebut ?


2. Apakah yang akan dibuktikan itu merupakan hal yang material atau
substansial bagi kasus tersebut ?
3. Apakah bukti tersebut memiliki hubungan secara logis dengan
masalah yang akan dibuktikan ?
4. Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan
(cukup memiliki unsur pembuktian) ?

Manakala jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut positif, baru

dilanjutkan pada tahap kedua, yaitu melihat apakah ada ketentuan lain yang

merupakan alasan untuk menolak alat bukti ersebut. Alasan atau aturan yang harus

dipertimbangkan tersebut antara lain, sebagai berikut :71

1. Bagaimana dengan prinsip penerimaan alat bukti secara terbatas ?


2. Alat bukti tersebut ditolak manakala penerimannya dapat
menyebaban timbulnya praduga yang tidak fair atau dapat
menyebabkan kebingungan;

71
Ibid., hlm. 27

80
3. Merupakan saksi de auditu yang harus ditolak;
4. Ada alasan yang ekstrinsik yang dapat membenarkan penolakan alat
bukti tersebut, misalnya, ada perbaikan yang dilakukan kemudian,
atau ada asuransi yang dapat meng-cover kerugian tersebut, seperti
asuransi tanggung jawab (liability insurance);
5. Adanya pembatasan-pembatasan untuk menggunakan bukti
karakter.

Yang dimaksud dengan alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti di mana

penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan

akan dapat membuat fakta dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika

alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian, relevansi alat bukti bukan

hanya diukur dari ada atau tidaknya hubunganna dengan fakta yang akan

dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang

bersangkutan menjadi lebih jelas.

Untuk itu, perlu dibedakan antara masalah relevansi alat bukti dan materialitas

dari alat bukti tersebut. Dalam hal ini, relevansi alat bukti diukur dari apakah alat

bukti tersebut relevan dengan fakta yang akan dibuktikan. Sementara itu, masalah

materialistis (materiality) dari alat bukti merupakan jawaban terhadap pertanyaan

apakah fakta yang dibuktikan tersebut cukup signifikan (cukup penting) bagi kasus

tersebut secara keseluruhan, namun demikian dalam praktik antara relevansi alat

bukti dan materialitas alat bukti sering dicampuradukkan dalam satu istilah

“relevansi” alat bukti.

Meskipun persyaratan bahwa suatu alat bukti haruslah relevan berlaku dalam

hukum di Indonesia, bahkan berlaku juga dalam hukum di negara mana pun di

dunia ini, kapan suatu alat bukti dikatakan relevan dan kapan dianggap tidak

81
relevan tidak ada ketentuan yang tegas, baik dalam hukum acara perdata Indonesia

maupun hukum acara pidana. Oleh karena itu, terserah kepada hakim untuk

menimbang-nimbang mana yang relevan mana yang tidak relevan, dengan

memperhatikan dalil-dalil umum dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam

hukum pembuktian, dengan memakai logika dan keyakinan hakim yang

bersangkutan. Para pihak yang berperkara boleh ikut menilai, tetapi putusan tetap

ditangan hakim yang mengadili perkara tersebut.

Perlu diketahui pula bahwa terhadap alat bukti langsug, seperti saksi yang

melihat langsung fakta tersebut hampir selamanya dapat dikatakan sebagai alat

bukti yang relevan. Akan tetapi, banyak persoalan tentang relevansi alat bukti jika

alat bukti tersebut adalah alat bukti sirkumtansial, yakni alat bukti yang hanya

dapat membuktikan sesuatu setelah ditarik suatu kesimpulan-kesimpulantertentu.

Sebagai contoh, saksi tidak melihat proses terjadinya pencurian, tetapi melihat

dengan jelas tersangka yang sedang menjual barang hasil curiannya sehingga jika

tidak ada bukti sebaliknya yang lebih kuat, dapat ditarik kesimpulan bahwa

tersangka tersebutlah pelaku pencurian yang bersangkutan.

Persyaratan relevansi bagi suatu alat bukti sirkumtansial haruslah relevansi

yang rasional. Dalam hal ini, haruslah dapat ditunjukkan secara rasional

penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan

akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada

jika digunakan alat bukti tersebut.

82
F. Beban Pembuktian dan Teori Praduga Hukum

1. Beban Pembuktian dan Tingkat Keterbuktian

Hukum pembuktian harus menentukan dengan tegas ke pundak siapa beban

pembuktian (burden of proof, burden of producing evidence) harus diletakkan.

Hal ini karena di pundak siapa beban pembuktian diletakkan oleh hukum, akan

menentukan secara langsung bagaimana akhir dari suatu proses hukum di

pengadilan, misalnya, dalam kasus kasus perdata di mana para pihak sama-

sama tidak dapat membuktikan perkaranya. Dengan demikian, jika pembuktian

diletakkan dipundak penggugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya,

penggugat akan dianggap kalah perkara meskipun pihak tergugat belum tentu

juga dapat membuktikannya. Sebaliknya, jika beban pembuktian diletakkan di

pundak tergugat dan ternyata tergugat tidak dapat membuktikannya, pihak

tergugatlah yang akan kalah perkara meskipun pihak penggugat belum tentu

juga dapat membuktikannya. Oleh karena itu, dalam menentukan ke pundak

siapa beban pembuktian harus diletakkan, hukum haruslah cukup hati-hati dan

adil dan dalam penerapannya. Selain itu, hakim juga harus cukup arif.

Adapun dalam hukum pidana, seperti telah disebutkan bahwa tingkat

pembuktiannya harus lebih tinggi dan lebih meyakinkan. Sesuai dengan Pasal

183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa pembuktian

dalam hukum acara pidana haruslah sampai pada tingkat “terbukti dan

meyakinkan”.

83
Akan tetapi, teori hukum pembuktian mengajarkan juga bahwa tidak setiap

fakta dalam acar pidana harus dibuktikan dengan tingkat pembuktian yang

tinggi. Untuk fakta-fakta tertentu, seperti untuk embuktikan kesehatan mental

dari tersangka, tersangak tersebut membuktikannya tanpa harus sampai ke

tingkat yang tinggi, tetapi tingkat terbukti dengan kemungkinan lebih besar

(prepoderance) sudah dianggap memadai.

Tentang tingkat keterbuktian dari suatu proses pembuktian, dalam sistem

hukum Indonesia hanya dikenal dua tingkatan, yaitu:72

1. Tingkat keterbuktian secara keperdataan.


2. Tingkat keterbuktian yang kebih kuat, yakni tingkat keterbuktian
secara ‘sah dan meyakinkan’, yang umumnya diterapkandalam
hukum pidana (vide Pasal 183 KUHAP).

Sementara dalam ilmu hukum pembuktian, dikenal tiga macam tingkatan

pembuktian, yaitu sebagai berikut:

1. Tingkat keterbuktian yang paling lemah, yaitu tingkat lebih besar

kemungkinan keterbuktian (preponderance of evidence). Biasnaya

diterapkan dalam kasus perdata.

2. Tingkat keterbuktian yang agak kuat, yang disebut dengan keterbuktian

yang “jelas dan meyakinkan” (clear and convincing). Biasanya

diterapkan, baik dalam kasus perdata maupun kasus pidana.

72
Ibid., hlm. 47

84
3. Tingkat keterbuktian yang sangat kuat, yaitu sama sekali tanpa

keraguan (beyond reasonable doubt). Biasanya diterapkan dalam

hukum pidana.

2. Alokasi Risiko Pembuktian

Sebagaimana diketahui bahwa ada risiko yang besar bagi pihak yang

dibebani kewajiban untuk membuktikan. Jika dia tidak mampu membuktikan,

dia akan kalah perkara meskipun dia bisa saja sebenarnya berada di pihak yang

benar. Dalam hal ini, pihak lawan yang akan menang dalam perkara, oleh

karena itu, persoalan pembagian beban pembuktian dan alokasi risiko dari gagal

bukti merupakan masalah yang cukup krusial dalam ilmu hukum pembuktian

dalam usaha menemukan suatu keadilan dan kebenaran.

Dalam mengalokasikan beban pembuktian, beberapa arahan hukum yang perlu

di perhatikan adalah sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan, alokasi beban pembuktian harus adil sehingga


tidak berat sebelah;
2. Pengalokasian beban pembuktian harus dilakukan dengan
mengindahkan asas-asas kepatuhan;
3. Beban pembuktian haruslah dibagi secara proporsional;
4. Secara garis besar, penggugat wajib membuktikan dalil gugatannya,
dan tergugat wajib membuktikan dalil bantahannya;
5. Beban pembuktian dipikulkan ke pundak yang mendalilkan suatu hak
atau menyangkal suatu hak yang telah ditentukan dengan tegas oleh
hukum substansif, dengan atau tanpa hak untuk membuktikan
sebaliknya.
6. Dalam hal berlaku sistem pembuktian terbalik, beban pembuktian
dipikulkan kepada pihak tergugat, atau kepada pihak yang telah
ditetapkan undang-undang.
7. Beban pembuktian dipikulkan kepada yang paling memungkinkan
untuk membuktikan (paling mungkin memiliki alat bukti).

85
8. Beban pembuktian dipikulkan kepada yang paling kecil mengalami
risiko dalam hal gagal bukti.

3. Praduga Hukum

Sebagaiamana diketahui bahwa hukum mempunyai praduga-praduga

(presumtion) tertentu. Praduga hukum tersebut sangat penting bagi hukum

pembuktian dalam rangka membuktikan sesuatu fakta, atau bahkan untuk

menentukan bersalah atau tidaknya seseorang, baik dalam hukum pidana maupun

dalam hukum perdata. Dalam ilmu hukum pembuktian, bila praduga hukum

sudah dapat ditentukan, kewajiban pembuktian beralih kepada pihak lawan untuk

membuktikan sebalikanya.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan praduga hukum dalam hukum

pembuktian adalah suatu sangkaan yang berdasarkan atas suatu kemungkinan

yang terjadi karena adanya suatu fakta hukum yang substansial dalam kasus

hukum yang bersangkutan, kemudian menimbulkan sangkaan akan adanya suatu

fkta hukum yang lain yang juga substansial, untuk alasan-alasan praktis beracara

kepiak lain dari yang seharusnya dibebankan oleh hukum pembuktian.

Di samping itu, sesuai dengan definisi di atas, yang disebut dengan istilah

”praduga tidak bersalah” (presumption of innocent) terhadap seorang tersangka

kejahatan dalam suatu sistem hukum pidana sebenernya bukanlah merupakan

suatu praduga hukum dalam arti yang sebenarnya karena dalam hal ini, misalnya

tidak ada perpindahan beban pembuktian ke pihak lainnya. Yang disebut dengan

praduga tidak bersalah dalam hukum pidana tersebut sebenarnya karena dalam

86
hal ini, misalnya tidak perpindahan beban pembuktian kepihak lainnya. Yang

disebut dengan praduga tidak bersalah dalam hukum pidana tersebut sebenarnya

hanya merupakan suatu asas hukum yang lebih merupakan penentuan oleh

hukum bahwa pihak penuntut yang harus membuktikan kesalahan tersangka.

Sebelum terbukti, tersangka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang yang

dapat melanggar hak-hak konstitusionalnya meskipun dalam batas-batas tertentu

kemerdekaannya sudah mulai dibatasi, seperti dia sudah diborgol atau ditahan.

Dalam hukum pidana sangat terkenal dan sangatlah penting kedudukan suatu

praduga hukum yang disebut dengan praduga tidak bersalah (presumption of

innocence). Dalam hal ini, jika seseorang disangka telah melakukan suatu

kejahatan, dia harus diduga tidak bersalah sebelum dapat dibuktikan bahwa dia

benar-benar bersalah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa praduga tidak

bersalah sebenarnya bukan merupakan praduga hukum dalam arti praduga

hukum dalam hukum pembuktian, melainkan hanya suatu asas hukum tentang

perlindungan hak-hak konstitusional dan seorang tersangka pelaku kejahatan.

Dalam hal ini, tidak ada pembalikan beban pembuktian.

Sebenarnya, suatu praduga hukum harus dibedakan dari suatu “kesimpulan”

hukum (inference). Suatu kesimpulan adalah apa yang ditarik dari suatu fakta

berdasarkan kehadiran fakta hukum yang lain. Jika seorang pasien baru pertama

kali dioperasi, kemudian di dalam tubuhnya tertinggal suatu alat operasi,

misalnya gunting, kesimpulan yang didapat ditarik oleh hukum adalah bahwa

dokter tersebutlah yang telah melakukan kelalaian sehingga tertinggal gunting

87
yang digunakan ketika melakukan kelalaian sehingga tertinggal gunting yang

digunakan ketika melakukan operasi dalam tubuh korban. Dalam hal ini, yang

terjadi adalah suatu kesimpulan yang ditarik oleh hukum berdasarkan doktrin res

ipsa loquitur (fakta yang berbicara). Ini bukan praduga, melainkan kesimpulan

hukum meskipun dalam praktik dan perkembangannya, antara praduga hukum

dan kesimpulan hukum disamakan satu sama lain.

Dalam hukum acara pidana, praduga hukum dalam arti praduga yang dapat

memindahkan beban pembuktian ini tidak berlaku atau sekurang-kurangnya

sangat dibatasi pemberlakuannya. Hal ini karena pembalikan beban pembuktian

ke atas pundak tersangka kejahatan akan bertentangan dengan prinsip-prinsip

konstitusional dan prinsip-prinsip konstitusional dalam prinsip-prinsip

kemanusiaan dari masyarakat yang beradab. Oleh karena itu, akan selalu menjadi

perdebatan dalam hukum pembuktian pidana jika penegak hukum (polisi dan

jaksa) yang menemukan heroin dalam sebuah mobil, langsung melakukan

praduga (yang membalikkan beban pembuktian) bahwa siapapun yang berada

dalam mobil tersebut merupakan pemilik atau pemakain heroin tersebut.

Demikian juga dengan fakta bahwa harta yang banyak dari seorang pejabat

negara yang memberikan praduga bahwa dia telah melakukan tindak pidana

korupsi yang mengharuskan adanya beban pembuktian terbalik (in casu

tersangka yang harus buktikan) sebagaimana yang terdapat dalam hukum tentang

korupsi di Indonesia saat ini. Menjadi perdebatan dalam hukum pembuktian,

88
apakah ganasnya kejahatan peredaran heroin dan korupsi tersebut cukup kuat

untuk mencakup oleh asas presumption of innocent itu.

89
BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kasus Tindak Pidana Narkotika

1. Kasus Posisi Berdasarkan Putusan Pengadilan Jakarta Selatan

Dalam Bab IV ini akan memaparkan mengenai kekuatan pembuktian hasil

laboratorium forensik atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan No.

1059/Pid.Sus/2018/PN.Jkt Sel dalam penyelesaian perkara Tindak Pidana

Narkotika Pasal 75 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berdasarkan

alat bukti, barang bukti dan keyakinan hakim. Data lapangan berupa putusan

pengadilan yang diambil diperoleh dari Kantor Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan, selaku sumber perolehan data dalam perkara tindak pidana narkotika dan

psikotropika.

a. Identitas para terdakwa sebagai berikut:

1) Terdakwa 1

Nama lengkap (Yandra Mulyadi als Hendra), tempat lahir (Bukit

Tinggi), umur/tanggal lahir (38 Tahun atau 27 Januari 1980), jenis

kelamin (laki-laki), kebangsaan (Indonesia), tempat tinggal (Jalan

Palmerah Barat IX No.26 Rt.006/010 Kel.Palmerah Kec. Palmerah

Jakarta Barat), agama (Islam), pekerjaan (wiraswasta)

2) Terdakwa 2

90
Nama lengkap (Azman), tempat lahir (Duri Riau, umur/tanggal lahir (41

tahun atau 12 Desember 1976), jenis kelamin (laki-laki), kebangsaan

(Indonesia), tempat tinggal (Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009 Kel.

Palmerah Kec. Palmerah Jakarta Barat), agama (Islam), pekerjaan (tidak

kerja).

b. Dakwaan

Dakwaan Kesatu

Bahwa terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA, terdakwa

2. AZMAN alias MAN bersama dengan saksi SAMIN alias KOKO (dalam

berkas terpisah), pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2018 sekira pukul 01.00

WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu dalam bulan Juli tahun 2018

bertempat di rumah Konveksi lantai 2 Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009

Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta Barat, berdasarkan Pasal 84 ayat (2)

KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang didalam daerah hukumnya

terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau

ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila

tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada

tempat Pengadilan Negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri

yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan, melakukan

pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana tanpa hak atau melawan

hukum, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika

91
Golongan I bukan tanaman, perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan

cara-cara sebagai berikut:

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2018 sekira pukul 00.00 WIB, saksi

SAMIN alias KOKO (dalam berkas terpisah) yang sebelumnya memesan

narkotika jenis shabu dari sdr. DELI (DPO) lalu sdr. DELI (DPO)

memberikan kabar kalau narkotika jenis shabu pesanannya sudah ada

sehingga saksi SAMIN alias KOKO menyuruh agar sdr. BONAR (DPO)

mengambil narkotika jenis shabu tersebut, selanjutnya sekitar jam

00.30 WIB setelah mendapatkan narkotika jenis shabu tersebut lalu sdr.

BONAR (DPO) langsung menuju rumah Konveksi lantai 2 yang beralamat

di Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah

Jakarta Barat yang saat itu sudah ada saksi SAMIN alias KOKO bersama

dengan terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA, terdakwa 2.

AZMAN alias MAN, kemudian sdr. BONAR (DPO) langsung menyerahkan

narkotika jenis shabu kepada saksi SAMIN alias KOKO serta membuat alat

hisap berupa bong yang terbuat dari botol plastik bekas teh pucuk, lalu

sebagian narkotika jenis shabu tersebut langsung dikonsumsi secara

bersama-sama.

- Kemudian sekitar jam 01.00 WIB saat saksi SAMIN alias KOKO bersama

dengan terdakwa 1 YANDRA MULYADI alias HENDRA dan terdakwa 2

AZMAN alias MAN yang saat itu masih berada di lantai 2 rumah Konveksi

tersebut tiba-tiba di tangkap oleh beberapa anggota Polisi dari Sat Narkoba

92
Polres Metro Jakarta Selatan yaitu saksi ADI NUGROHO dan saksi

RANTO, SH yang sebelumnya mendapat informasi dari warga masyarakat

kalau di rumah Konveksi lantai 2 yang beralamat di Jalan Palmerah Barat

IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta Barat tersebut sering

di jadikan tempat penyalahgunaan Narkotika dan dari hasil penggeledahan

ditemukan 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan narkotika jenis shabu

dengan berat netto 0,0279 gram yang ditemukan dari balik pelindung

handphone Samsung Alpha warna Gold milik saksi SAMIN alias KOKO,

selain itu juga ditemukan alat hisap berupa bong yang terbuat dari botol

plastik bekas teh pucuk yang seluruhnya tergeletak di lantai 2 rumah

konveksi yang saat itu dalam penguasaan saksi SAMIN alias KOKO,

terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA dan terdakwa 2

AZMAN alias MAN.

- Bahwa selanjutnya terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA

bersama dengan terdakwa 2 AZMAN alias MAN dan terdakwa SAMIN alias

KOKO (dalam berkas terpisah) berikut barang bukti langsung dibawa ke

Polres Metro Jakarta Selatan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

- Bahwa terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA bersama dengan

terdakwa 2 AZMAN alias MAN dan terdakwa SAMIN alias KOKO (dalam

berkas terpisah) melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika

Golongan I bukan tanaman tersebut tidak ada ijin yang syah dari Departemen

93
Kesehatan RI atau dari pihak yang berwenang, serta tidak ada hubungannya

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pekerjaan para terdakwa

sehari-hari.

- Bahwa Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik

dari Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium Forensik

No.LAB:3670/NNF/2018, pada tanggal 01 Agustus 2018 dapat disimpulkan

bahwa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan

berat netto 0,0279 gram, diberi nomor barang bukti 1951/2018/OF (sisa hasil

lab berat netto 0,0143 gram) yang disita dan diakui milik terdakwa 1.

YANDRA MULYADI alias HENDRA, terdakwa 2 AZMAN alias MAN

dan terdakwa SAMIN alias KOKO (dalam berkas terpisah) tersebut adalah

benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam Golongan I nomor

urut 61 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

pasal 112 ayat (1) Jo 132 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009

tentang Narkotika

Dakwaan Kedua

- Bahwa terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA, terdakwa 2.

AZMAN alias MAN bersama dengan saksi SAMIN alias KOKO (dalam

berkas terpisah), pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2018 sekira pukul 00.30

WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu dalam bulan Juli tahun 2018

94
bertempat di rumah Konveksi lantai 2 Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009

Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta Barat, berdasarkan Pasal 84 ayat (2)

KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang didalam daerah hukumnya

terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau

ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila

tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada

tempat Pengadilan Negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri

yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan, mereka yang

melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan

perbuatan, penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri, perbuatan

tersebut dilakukan terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut :

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2018 sekira pukul 00.30 WIB, saksi

SAMIN alias KOKO (dalam berkas terpisah) bersama dengan terdakwa 1.

YANDRA MULYADI alias HENDRA, terdakwa 2. AZMAN alias MAN

yang saat itu sedang berada di rumah Konveksi lantai 2 Jalan Palmerah Barat

IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta Barat sepakat akan

mengkonsumsi narkotika jenis shabu milik saksi SAMIN alias KOKO secara

bersama-sama dengan cara pada awalnya narkotika jenis shabu diletakan di

atas pipet dan bagian bawahnya dibakar dengan menggunakan korek api lalu

asapnya di hisap dengan menggunakan bong yang terbuat dari botol plastik

bekas teh pucuk, lalu saksi SAMIN alias KOKO menghisap narkotika jenis

shabu tersebut sebanyak 6 (enam) kali hisapan, lalu terdakwa 1 YANDRA

95
MULYADI alias HENDRA menghisap narkotika jenis shabu tersebut

sebanyak 4 (empat) kali hisapan, sedangkan terdakwa 2 AZMAN alias MAN

menghisap narkotika jenis shabu tersebut sebanyak 2 (dua) kali hisapan dan

setelah mengkonsumsi narkotika jenis shabu tersebut badan terasa segar dan

fit, sedangkan sisa narkotika jenis shabu saat itu disimpan oleh saksi SAMIN

alias KOKO di balik pelindung handphone Samsung Alpha warna Gold

milik saksi SAMIN alias KOKO.

- Kemudian sekitar jam 01.00 WIB saat saksi SAMIN alias KOKO bersama

dengan terdakwa 1 YANDRA MULYADI alias HENDRA dan terdakwa 2

AZMAN alias MAN yang saat itu masih berada di lantai 2 rumah Konveksi

tersebut tiba-tiba di tangkap oleh beberapa anggota Polisi dari Sat Narkoba

Polres Metro Jakarta Selatan yaitu saksi ADI NUGROHO dan saksi

RANTO, SH yang sebelumnya mendapat informasi dari warga masyarakat

kalau di rumah Konveksi lantai 2 yang beralamat di Jalan Palmerah Barat

IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta Barat tersebut sering

di jadikan tempat penyalahgunaan Narkotika dan dari hasil penggeledahan

ditemukan 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan narkotika jenis shabu

dengan berat netto 0,0279 gram yang ditemukan dari balik pelindung

handphone Samsung Alpha warna Gold milik saksi SAMIN alias KOKO,

selain itu juga ditemukan alat hisap berupa bong yang terbuat dari botol

plastik bekas teh pucuk yang seluruhnya tergeletak di lantai 2 rumah

konveksi yang saat itu dalam penguasaan saksi SAMIN alias KOKO,

96
terdakwa 1 YANDRA MULYADI alias HENDRA dan terdakwa 2 AZMAN

alias MAN.

- Bahwa selanjutnya terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA

bersama dengan terdakwa 2 AZMAN alias MAN dan terdakwa SAMIN alias

KOKO (dalam berkas terpisah) berikut barang bukti langsung dibawa ke

Polres Metro Jakarta Selatan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

- Bahwa berdasarkan Surat Rekomendasi Rehabilitasi Nomor :

R/229/VI/Ka/rh.00.04/2018/BNNK-JAKSEL, tanggal 23 Juli 2018 dari

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Kota Jakarta Selatan dan

Rekomendasi Hasil Pelaksanaan Assessmen Dalam Proses Hukum,

menyimpulkan hasil pemeriksaan Urine terhadap sdr. YANDRA

MULYADI alias HENDRA Poisitife (+) Methamphetamine sehingga

direkomendasikan dapat mengikuti rehabilitasi guna mandapatkan

pengobatan dan perawatan dalam rangka pemulihan baik secara medis

maupun sosial di lembaga Rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah

selama mengikuti proses hukum.

- Bahwa berdasarkan Surat Rekomendasi Rehabilitasi Nomor :

R/233/VI/Ka/rh.00.04/2018/BNNK-JAKSEL, tanggal 24 Juli 2018 dari

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Kota Jakarta Selatan dan

Rekomendasi Hasil Pelaksanaan Assessmen Dalam Proses Hukum,

menyimpulkan hasil pemeriksaan Urine terhadap sdr. AZMAN alias MAN

Poisitife (+) Methamphetamine sehingga direkomendasikan dapat mengikuti

97
rehabilitasi guna mandapatkan pengobatan dan perawatan dalam rangka

pemulihan baik secara medis maupun sosial di lembaga Rehabilitasi yang

ditunjuk oleh pemerintah selama mengikuti proses hukum.

- Bahwa Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik

dari Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium Forensik

No.LAB:3670/NNF/2018, pada tanggal 01 Agustus 2018 dapat disimpulkan

bahwa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan

berat netto 0,0279 gram, diberi nomor barang bukti 1951/2018/OF (sisa hasil

lab berat netto 0,0143 gram) yang disita dan diakui milik terdakwa 1.

YANDRA MULYADI alias HENDRA, terdakwa 2 AZMAN alias MAN

dan terdakwa SAMIN alias KOKO (dalam berkas terpisah) tersebut adalah

benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam Golongan I nomor

urut 61 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika.

- Bahwa terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA bersama dengan

terdakwa 2 AZMAN alias MAN dan terdakwa SAMIN alias KOKO (dalam

berkas terpisah) menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri berupa

shabu tersebut tidak ada ijin yang syah dari Departemen Kesehatan RI atau

dari pihak yang berwenang serta tidak ada hubungannya dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan pekerjaan para terdakwa sehari-hari.

98
Perbuatan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

c. Putusan

1. Menyatakan terdakwa 1. YANDRA MULYADI alias HENDRA dan

terdakwa AZMAN alias MAN terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau melawan hukum

menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri yang

dilakukan secara bersama-sama”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu dengan

pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 4 (Empat )

Bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Para

Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Para Terdakwa tetap ditahan;

5. Memerintahkan barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik klip

berisikan kristal warna putih dengan berat netto 0,0279 gram, (sisa hasil

lab berat netto 0,0143 gram) yang berada di balik pelindung handphone

Samsung Alpha warna Gold, 1 (satu) buah alat hisap berupa bong yang

terbuat dari botol plastik bekas teh pucuk. Dikembalikan kepada

penuntut umum untuk digunakan dalam perkara lain an. Terdakwa

SAMIN alias Koko;

99
6. Membebankan biaya perkara kepada Para Terdakwa masing-masing

sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah);

d. Kronologi Kasus Putusan Perkara Nomor 1059/Pid.Sus/2018/PN

JKT.SEL

Bahwa terdakwa 1. Yandra Mulyadi, terdakwa 2. Azman bersama

dengan saksi Samin (dalam berkas terpisah), pada hari Selasa tanggal 17 Juli

2018 sekira pukul 01.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu dalam bulan

Juli tahun 2018 bertempat di rumah Konveksi lantai 2 Jalan Palmerah Barat

IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta Barat, berdasarkan

Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang di dalam

daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat

ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa

tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih

dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu daripada tempat kedudukan

Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan,

melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana tanpa hak atau

melawan hukum, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan

Narkotika Golongan I bukan tanaman, perbuatan tersebut terdakwa lakukan

dengan cara-cara sebagai berikut:

100
Pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2018 sekira pukul 00.00 WIB, saksi

Samin (dalam berkas terpisah) yang sebelumnya memesan narkotika jenis

shabu dari Deli(DPO) lalu Deli(DPO) memberikan kabar kalau narkotika

jenis shabu pesanannya sudah ada sehingga saksi Samin menyuruh agar

Bonar (DPO) mengambil narkotika jenis shabu tersebut, selanjutnya sekitar

pukul 00.30 WIB setelah mendapatkan narkotika jenis shabu tersebut lalu

Bonar (DPO) langsung menuju rumah Konveksi lantai 2 yang beralamat di

Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta

Barat yang saat itu sudah ada saksi Samin bersama dengan terdakwa 1.

Yandra Mulyadi, terdakwa 2. Azman, kemudian Bonar (DPO) langsung

menyerahkan narkotika jenis shabu kepada saksi Samin serta membuat alat

hisap berupa bong yang terbuat dari botol plastik bekas teh pucuk, lalu

sebagian narkotika jenis shabu tersebut langsung dikonsumsi secara

bersama-sama.

Kemudian sekitar pukul 01.00 WIB saat saksi Samin bersama dengan

terdakwa 1 Yandra Mulyadi dan terdakwa 2 Azman yang saat itu masih

berada di lantai 2 rumah Konveksi tersebut tiba-tiba ditangkap oleh beberapa

anggota Polisi dari Sat Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan yaitu saksi ADI

NUGROHO dan saksi RANTO, SH yang sebelumnya mendapat informasi

dari warga masyarakat kalau di rumah Konveksi lantai 2 yang beralamat di

Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah Jakarta

Barat tersebut sering di jadikan tempat penyalahgunaan Narkotika dan dari

101
hasil penggeledahan ditemukan 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan

narkotika jenis shabu dengan berat netto 0,0279 gram yang ditemukan dari

balik pelindung handphone Samsung Alpha warna Gold milik saksi Samin,

selain itu juga ditemukan alat hisap berupa bong yang terbuat dari botol

plastik bekas teh pucuk yang seluruhnya tergeletak di lantai 2 rumah

konveksi yang saat itu dalam penguasaan saksi Samin, terdakwa 1. Yandra

Mulyadi dan terdakwa 2 Azman.

Bahwa selanjutnya terdakwa 1. Yandra Mulyadi bersama dengan

terdakwa 2 Azman dan terdakwa Samin (dalam berkas terpisah) berikut

barang bukti langsung dibawa ke Polres Metro Jakarta Selatan untuk

pemeriksaan lebih lanjut.

Bahwa terdakwa 1. Yandra Mulyadi bersama dengan terdakwa 2 Azman

dan terdakwa Samin (dalam berkas terpisah) melakukan pemufakatan jahat

untuk melakukan tindak pidana memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan narkotika Golongan I bukan tanaman tersebut tidak ada ijin

yang sah dari Departemen Kesehatan RI atau dari pihak yang berwenang,

serta tidak ada hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

pekerjaan para terdakwa sehari-hari.

Bahwa Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik

dari Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium Forensik

No.LAB:3670/NNF/2018, pada tanggal 01 Agustus 2018 dapat disimpulkan

bahwa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan

102
berat netto 0,0279 gram, diberi nomor barang bukti 1951/2018/OF (sisa hasil

lab berat netto 0,0143 gram) yang disita dan diakui milik terdakwa 1. Yandra

Mulyadi, terdakwa 2 Azman dan terdakwa Samin (dalam berkas terpisah)

tersebut adalah benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam

Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 tahun

2009 tentang Narkotika.

Pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2018 sekira pukul 00.30 WIB, saksi

Samin (dalam berkas terpisah) bersama dengan terdakwa 1. Yandra

Mulyadi, terdakwa 2. Azman yang saat itu sedang berada di rumah Konveksi

lantai 2 Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec. Palmerah

Jakarta Barat sepakat akan mengkonsumsi narkotika jenis shabu milik saksi

Samin secara bersama-sama dengan cara pada awalnya narkotika jenis shabu

diletakan di atas pipet dan bagian bawahnya dibakar dengan menggunakan

korek api lalu asapnya dihisap dengan menggunakan bong yang terbuat dari

botol plastik bekas teh pucuk, lalu saksi Samin menghisap narkotika jenis

shabu tersebut sebanyak 6 (enam) kali hisapan, lalu terdakwa 1 Yandra

Mulyadi menghisap narkotika jenis shabu tersebut sebanyak 4 (empat) kali

hisapan, sedangkan terdakwa 2 Azman menghisap narkotika jenis shabu

tersebut sebanyak 2 (dua) kali hisapan dan setelah mengkonsumsi narkotika

jenis shabu tersebut badan terasa segar dan fit, sedangkan sisa narkotika jenis

shabu saat itu disimpan oleh saksi Samin di balik pelindung handphone

Samsung Alpha warna Gold milik saksi Samin.

103
Kemudian sekitar pukul 01.00 WIB saat saksi Samin bersama dengan

terdakwa 1 Yandra Mulyadi dan terdakwa 2 Azman yang saat itu masih

berada di lantai 2 rumah Konveksi tersebut tiba-tiba di tangkap oleh

beberapa anggota Polisi dari Sat Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan yaitu

saksi ADI NUGROHO dan saksi RANTO, SH yang sebelumnya mendapat

informasi dari warga masyarakat kalau di rumah Konveksi lantai 2 yang

beralamat di Jalan Palmerah Barat IIA Rt.010/009 Kel. Palmerah Kec.

Palmerah Jakarta Barat tersebut sering di jadikan tempat penyalahgunaan

narkotika dan dari hasil penggeledahan ditemukan 1 (satu) bungkus plastik

klip berisikan narkotika jenis shabu dengan berat netto 0,0279 gram yang

ditemukan dari balik pelindung handphone Samsung Alpha warna Gold

milik saksi Samin, selain itu juga ditemukan alat hisap berupa bong yang

terbuat dari botol plastik bekas teh pucuk yang seluruhnya tergeletak di

lantai 2 rumah konveksi yang saat itu dalam penguasaan saksi Samin,

terdakwa 1 Yandra Mulyadi dan terdakwa 2 Azman.

Selanjutnya terdakwa 1. Yandra Mulyadi bersama dengan terdakwa 2

Azman dan terdakwa Samin (dalam berkas terpisah) berikut barang bukti

langsung dibawa ke Polres Metro Jakarta Selatan untuk pemeriksaan lebih

lanjut.

Berdasarkan Surat Rekomendasi Rehabilitasi Nomor :

R/229/VI/Ka/rh.00.04/2018/BNNK-JAKSEL, tanggal 23 Juli 2018 dari

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Kota Jakarta Selatan dan

104
Rekomendasi Hasil Pelaksanaan Assessmen Dalam Proses Hukum,

menyimpulkan hasil pemeriksaan urine terhadap sdr. Yandra Mulyadi

Poisitif (+) Methamphetamine sehingga direkomendasikan dapat mengikuti

rehabilitasi guna mandapatkan pengobatan dan perawatan dalam rangka

pemulihan baik secara medis maupun sosial di lembaga Rehabilitasi yang

ditunjuk oleh pemerintah selama mengikuti proses hukum.

a. Bahwa berdasarkan Surat Rekomendasi Rehabilitasi Nomor :

R/233/VI/Ka/rh.00.04/2018/BNNK-JAKSEL, tanggal 24 Juli 2018 dari

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Kota Jakarta Selatan dan

Rekomendasi Hasil Pelaksanaan Assessmen Dalam Proses Hukum,

menyimpulkan hasil pemeriksaan urine terhadap sdr. Azman Poisitife (+)

Methamphetamine sehingga direkomendasikan dapat mengikuti rehabilitasi

guna mandapatkan pengobatan dan perawatan dalam rangka pemulihan baik

secara medis maupun sosial di lembaga Rehabilitasi yang ditunjuk oleh

pemerintah selama mengikuti proses hukum.

b. Bahwa Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik

dari Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium Forensik

No.LAB:3670/NNF/2018, pada tanggal 01 Agustus 2018 dapat disimpulkan

bahwa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan

berat netto 0,0279 gram, diberi nomor barang bukti 1951/2018/OF (sisa hasil

lab berat netto 0,0143 gram) yang disita dan diakui milik terdakwa 1. Yandra

Mulyadi, terdakwa 2 Azman dan terdakwa Samin (dalam berkas terpisah)

105
tersebut adalah benar mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam

Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 tahun

2009 tentang Narkotika.

c. Bahwa terdakwa 1. Yandra Mulyadi bersama dengan terdakwa 2 Azman

dan terdakwa Samin (dalam berkas terpisah) menggunakan narkotika

golongan I bagi diri sendiri berupa shabu tersebut tidak ada ijin yang syah

ada hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pekerjaan

para terdakwa sehari-hari.

2. Analisis Kasus

a. Analisis Teori Pembuktian

Berdasarkan kasus di atas, bahwa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris

Kriminalistik dan Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium

Forensik No.LAB:3670/NNF/2018, pada tanggal 01 Agustus 2018 dapat

disimpulkan bahwa:

1. 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan berat

netto 0,0279 gram, diberi nomor barang bukti 1951/2018/OF (sisa hasil

lab berat netto 0,0143 gram) yang disita dan diakui milik terdakwa 1.

Yandra Mulyadi, terdakwa 2 Azman dan terdakwa Samin (dalam berkas

terpisah) tersebut adalah benar mengandung Metamfetamina dan

terdaftar dalam golongan 1 nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang

RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

106
Dalam Pasal 184 KUHAP dijelaskan bahwa alat bukti surat harus dibuat

atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dan diatur dalam Pasal

187 KUHAP, dan surat tersebut dibuat dengan ketentuan undang-undang

atau dari segi formal, sehingga alat bukti tersebut mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna artinya bahwa kekuatan pembuktian ini

mengikat bagi hakim, sepanjang itu tidak dibuktikan oleh bukti lawan atau

tegen bewijs.

Teori yang dipakai berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk) merupakan sistem pembuktian yang dipakai oleh Indonesia, bahwa

dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar pada undang-undang

secara negatif, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda,

yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim, dan

menurut undang-undang dasar keyakinan hakim yang bersumber pada

peraturan perundang-undangan.

b. Analisis Teori Viktimologi

Berdasarkan kasus di atas, bahwa penuntut umum mengajukan Surat

Rekomendasi Rehabilitasi Nomor: R/299A/I/Ka/rh.00.04/2018/BNN-

JAKSEL, Tanggal 23 Juli 2018 dari Badan Narkotika Nasional Republik

Indonesia Kota Jakarta Selatan dan Rekomendasi Hasi Pelaksanaan

Assessmen dalam proses hukum, menyimpulkan hasil pemeriksaan urine

terhadap Yandra Mulyadi positif (+) Menthamphetamine sehingga

direkomendasikan dapat mengikuti rehabilitasi guna mendapatkan

107
pengobatan dan perawatan dalam rangka pemulihan baik secara medis

maupun sosial di lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah selama

mengikuti proses hukum, dan Surat Rekomendasi Rehabilitasi Nomor:

R/233/VI/Ka/rh.00.04/2018/BNN-JAKSEL, tanggal 24 Juli 2018 dari Badan

Narkotika Nasional Republik Indonesia kota Jakarta Selatan dan

rekomendasi hasil pelaksanaan assessmen dalam proses hukum,

menyimpulkan hasil pemeriksaan urine terhadap Azman positife (+)

Methamphetamine sehingga direkomendasikan dapat mengikuti rehabilitasi

guna mendapatkan pengobatan dan perawatan dalam rangka pemulihan baik

secara medis maupun sosial di lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh

pemerintah selama mengikuti proses hukum.

Bahwa pengajuan dari penuntut umum di tinjau dari teori viktimologi

yaitu kejahatan tanpa korban (Victimless Crime) bahwa terdakwa 1 Yandra

Mulyadi dan terdakwa 2 Azman merupakan korban dalam tindak pidana

narkotika, korban disini karena sakit yang diderita berupa kecanduan, dalam

pembelajaran viktimisasi (kriminal) tindak pidana narkotika lebih kepada

gejala sosial, melalui viktimilogi dapat diketahui berbagai aspek yang

berkaitan dengan korban, yaitu faktor penyebab munculnya kejahatan,

bagaimana seseorang dapat menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya

korban kejahatan, hak dan kewajiban korban kejahatan, dari kasus ini

diperjelas bahwa seharusnya pelaku tindak pidana narkotika ditempatkan

108
sebagai korban yang juga harus dilindungi dan diberi hak sebagaimana

korban pada tindak pidana lainnya.

c. Analisi Teori Relatif

Berdasarkan kasus di atas, jika menggunakan teori relatif menurut

penulis bahwa dari pengajuan jaksa penuntut umum yaitu dengan surat

rekomendasi rehabilitasi, merupakan suatu keputusan yang tepat, jika dalam

teori Jeremy Bantham bahwa teori relatif tujuannya adalah menjatuhkan

pidana bergantung kepada kemanfatannya kepada masyarakat, untuk

mencapai suatu tujuan atau memperbaiki si penjahat, tidak hanya secara

negatif, maka tidak layak dijatuhkan pidana, tetapi secara positif dianggap

baik bahwa pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana.

Adanya suatu pengawasan atau menyerahkan kepada suatu lembaga

dalam bidang sosial untuk menampung orang-orang yang perlu dididik

menjadi anggota masyarakat yang berguna.

Menurut penulis bahwa dalam kasus tersebut, seharusnya hanya perlu

direhabilitasi dengan diawasi oleh lembaga yang berwenang karena adanya

keadaan yang meringankan yaitu para terdakwa mengakui dan menyesali

perbuatannya, para terdakwa belum pernah dihukum, para terdakwa tidak

akan mengulangi perbuatannya dan diharapkan dapat memperbaiki diri dan

masa depannya, serta para terdakwa pernah dilakukan pemeriksaan

rehabilitasi di BNN kota Jakarta Selatan.

d. Analisis Teori Kriminologis

109
Dalam menganalisa perilaku serta penyebab yang dilakukan oleh

pelaku, maka apabila dikaitkan dengan teori, teori kontrol sosial yang paling

tepat, yakni landasan berpikir dari teori kontrol sosial ini yaitu tidak melihat

individu sebagai orang yang secara tidak langsung patuh terhadap hukum.

Jika dalam kasus tersebut dinyatakan bahwa dari kesaksian Adi Nugroho dan

Ranto yang sebelumnya mendapatkan informasi dari warga masyarakat

bahwa dirumah konveksi lantai 2 tersebut sering dijadikan sebagai tempat

penyalahgunaan narkotika, ini artinya adanya suatu tindak pidana yang

dilakukan secara berulang-ulang yang menunjukkan bahwa karakter

manusia yang senang melanggar karena adanya suatu kebiasaan-kebiasaan

tertentu, dalam teori kontrol sosial, ternyata memang ada beberapa segi

pandangan antitesis yang mana seseorang harus belajar agar tidak

melakukan perilaku pidana, mengingat secara naluriah manusia memang

senang untuk melanggar peraturan yang ada dalam masyarakat.

Dilingkungan dipandang oleh para teoritis, secara sosial hal ini merupakan

konsekuensi logis dari sebuah keadaan tertentu dalam masyarakat.

B. Kekuatan Pembuktian Hasil Laboratorium Forensik Dalam Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) disamping

berpengaruh pada tingkat kehidupan juga dapat menimbulkan dampak negatif

dengan munculnya kejahatan yang memanfaatkan kemajuan IPTEK tersebut.

110
Untuk dapat mengatasi segala tindak kejahatan mulai dari yang tradisional hingga

yang memanfaatkan kemajuan IPTEK haruslah diterapkan Scientific Crime

Investigation (SCI). SCI adalah penyelidikan/penyidikan kejahatan secara ilmiah

yang didukung oleh berbagai disiplin ilmu baik ilmu murni maupun terapan hingga

dikenal sebagai ilmu forensik.

Puslabfor sebagai unsur pelaksana teknis di bawah Bareskrim Polri,

menerapkan ilmu forensik untuk mendukung tugas-tugas Reserse Kriminal Polri

dalam mengungkap tindak pidana kejahatan dengan melaksanakan pemeriksaan

teknis kriminalistik TKP dan atau pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang

bukti secara ilmiah dan komprehensif.73

1. Tugas dan Fungsi Puslabfor

Pusat laboratorium forensik disingkat Puslabfor adalah unsur pelaksana

teknis bidang laboratorium forensik yang berkedudukan di bawah kabareskrim

polri. Puslabfor bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi laboratorium

forensik guna mendukung penyidikan dalam penegakan hukum. Dalam

melaksanakan tugas, puslabfor memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Pemeriksaan teknis kriminalistik tempat kejadian perkara (TKP) dan

pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti (BB) sesuai dengan

bidang ilmu forensik dalam rangka pembukian ilmiah;

73
Meilia Rahma Widhiana, Pamin Kasubbid Fisiko Narkobafor Wawancara, Rabu 16 Oktober

111
b. Pembinaan dan pengembangan sumber daya laboratorium forensik

meliputi sistem dan metoda, sumber daya manusia, material, fasilitas dan

jasa termasuk instrumen analisis, serta pengembangan aplikasi ilmu

forensik dalam rangka menpukulin mutu pemeriksaan;

c. Pembinaan teknis fungsi laboratorium forensik kepada polri dan pelayanan

umum fungsi laboratorium forensik kepada masyarakat.

2. Prosedural Operasional barang bukti oleh Puslabfor

Dalam proses penyidikan untuk mengungkapkan suatu perkara pidana

yang menyangkut nyawa manusia, pemeriksaan di tempat kejadian perkara

(TKP), merupakan kunci keberhasilan upaya pengungkapan tersebut.

Penangkapan yang baik, tepat, cermat dan dilaksanakan secara profesional

merupakan pertanda akan tercapainya keberhasilan penyidik untuk membuat

jelas dan terang perkara yang dihadapi. Sebaliknya bilamana penanganan di

tempat kejadian perkara, tidak dilakukan secara professional, maka jangan

berharap pengungkapan kasus dapat berjalan dengan mulus, bahkan tidak

jarang menemukan jalan buntu. Berita acara laboratorium forensik yang dibuat

Laboratorium Forensik POLRI menjadi tidak berguna oleh karena tidak dapat

diterapkan dengan baik.

Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana

yang mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak penyidik dapat

meminta atau memerintahkan petugas Laboratorium Forensik POLRI untuk

melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP) tersebut sesuai Pasal

112
61 PERKAP Nomor 10 Tahun 2009. Bila petugas Laboratorium Forensik

POLRI menolak maka dapat dikenakan hukuman berdasarkan pada Pasal 224

Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam menyelesaikan suatu perkara tidak jarang seorang penyidik

memerlukan bantuan petugas Laboratorium Forensik POLRI untuk ikut

melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP). Kesempatan ini

diberikan kepada penyidik, apabila penyidik tidak dapat mengambil barang

bukti Narkoba berupa darah atau serum dan urin serta karena ada penyidik yang

merasa takut bila berhadapan dengan seorang mayat. Pemeriksaan luar mayat

di tempat kejadian perkara sangat diperlukan untuk dapat menentukan cara

kematian.

Selama melakukan pemeriksaan harus dihindari tindakan-tindakan yang

dapat merubah, mengganggu atau merusak keadaan di tempat kejadian perkara

tersebut walaupun sebagai kelanjutan dari pemeriksaan itu harus

mengumpulkan segala benda bukti (trace evidence) yang ada kaitanya dengan

manusia, yang pada dasarnya tindakan pengumpulan benda bukti tadi akan

merusak keadaan di tempat kejadian perkara itu sendiri.

1. Permohonan pemeriksaan di tempat kejadian perkara

Untuk menyingkat waktu permohonan bantuan dapat diajukan secara lisan

atau melalui telepon dan kemudian harus disusul dengan permintaan

tertulis. Transportasi dari kediaman atau tempat kerja petugas

Laboratorium Forensik POLRI ke tempat kejadian perkara disediakan oleh

113
penyidik. Dalam pemeriksaan ini petugas Laboratorium Forensik POLRI

didampingi oleh seorang penyidik.

2. Pelaksanaan Pemeriksaan

Sebelum datang di tempat kejadian perkara ada beberapa hal yang harus

dicatat sehubungan dengan alasan atau persyaratan yuridis, demi

kepentingan kasus itu sendiri, yaitu:

a. Siapa yang meminta atau memerintahkan datang di tempat kejadian

perkara, otoritas, bagaimana permintaan atau perintah itu sampai

keterangan petugas Laboratorium Forensik POLRI, dimana tempat

kejadian perkara dan kapan saat permintaan atau perintah tersebut

dikeluarkan.

b. Petugas Laboratorium Forensik POLRI dapat meminta sedikit

gambaran mengenai kasus yang akan diperiksa dengan demikian,

petugas Laboratorium Forensik POLRI dapat mempersiapkan

perlengkapanya dengan baik.

c. Perlu diingat motto: ”to touch as little as possible and to displace

nothing” Petugas Laboratorium Forensik POLRI tidak boleh meminta

atau mengurangi benda bukti, tidak boleh sembarangan membuang

puntung rokok, perlengkapan jangan sampai tertinggal, jangan

membuang air kecil di kamar mandi atau kecil oleh karena ada

kemungkinan, benda-benda bukti yang ada ditempat tersebut akan

hanyut dan hilang.

114
d. Di tempat kejadian perkara petugas Laboratorium Forensik POLRI

atau penyidik membuat foto atau sketsa yang mana harus disimpan

dengan baik, oleh karena kemungkinan petugas Laboratorium

Forensik POLRI akan diajukan sebagai saksi selalu ada, foto dan

sketsa tersebut berguna untuk memudahkan mengingatkan kembali

keadaan yang sebenarnya.

e. Pembuatan foto atau sketsa harus memenuhi standar sehingga kedua

belah pihak yaitu petugas Laboratorium Forensik POLRI dan penyidik

tidak akan memberikan penafsiran yang berbeda atas objek yang sama.

f. Pemeriksaan atas tubuh korban hendaknya dilakukan secara sistematik

berdasarkan pada ilmu kedokteran forensik yang terarah sesuai dengan

perkiraan kasus yang dihadapi.

Penyidik memberikan barang bukti kepada Pusat laboratorium Forensik

(bagian bidang Narkobafor), dan melakukan uji laboratorium oleh bidang

Narkobafor selama seminggu dalam satu kasus, karena butuh ketelitian dalam

uji laboratorium, dan kasus yang ditangani tidak sedikit, terutama alat bukti

yang yang tergolong zat berbahaya, kecuali untuk alat bukti seperti shabu yang

cepat untuk diuji laboratorium, dan kemudian penyidik mengambil langsung ke

tim bagian bidang Narkobafor, sedangkan untuk surat menyurat untuk di

serahkan di tempat penerimaan dan pengambilan berkas.74

74
Meilia Rahma Widhiana, Pamin Kasubbid Fisiko Narkobafor Wawancara, Rabu 16 Oktober

115
Di dalam laboratorium forensik mempunyai ahli-ahli yang sudah

tersertifikasi dalam bidangnya seperti ahli kimia dan juga narkotika, dan juga

alat-alat uji laboratorium forensik yang sudah terakreditasi oleh KAN (komite

akreditasi nasional).

3. Kekuatan Pembuktian

Dari lima alat bukti dalam persidangan terdapat tiga alat bukti yang

berasal dari Pusat Laboratorium Forensik (PUSLABFOR) yaitu:

1. Keterangan ahli

Dalam Pasal 120 KUHAP diatur kekuatan keterangan ahli dari segi

pembuktian, yaitu apabila keterangan ahli tersebut memiliki keahlian

khusus dalam bidangnya “menurut pengetahuannya” dan keterangan yang

diberikan sesuai dengan keahlian khusus dalam bidangnya sehubungan

dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Oleh karena itu, kekuatan

pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli mempunyai

kekuatan yang mengikat dan menentukan, dalam kekuatan pembuktian

seorang keterangan ahli itu tidak ada nilai sempurna yang melekat dan

menentukan, artinya terserah pada penilaian hakim bebas menilainya dan

tidak terikat kepadanya, jika dalam Pasal 183 KUHAP dikatakan bahwa

keterengan ahli tanpa didukung oleh alat bukti lain adalah tidak cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, namum dalam kasus narkotika bahwa

keterangan ahli selalu diiringi dengan alat bukti.

116
Keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP, dan juga meruapkan bagian dari pusat laboratorium forensik,

dalam hal kasus narkotika ada beberapa kasus yang tidak perlu memerlukan

keterangan ahli, ada juga yang perlu memerlukan keterangan ahli, yaitu

apabila dalam penemuan bukti dalam TKP dan juga dalam laboratorium

berupa zat yang umum ditemukan seperti ganja, sabu-sabu itu tidak perlu

menggunakan keterangan ahli, hanya cukup dari surat laboratorium

forensik, akan tetapi bila ditemukan zat berbahaya atau zat adiktif seperti

Dextrometorpan yaitu obat batuk tapi jika diminum dengan dosis yang

berlebihan hampir sama seperti depresan tapi tidak tergolong dalam

narkotika tetapi kalau kepimilikannya banyak itu diatur dalam undang-

undang kesehatan, atau obat yang dalam hal ini butuh proses penelitian

secara teliti atau bahkan belum diatur dalam undang-undang maka perlu

membutuhkan keterangan ahli.75

2. Surat

Nilai kekuatan alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang

”sempurna” dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang ”mengikat”

bagi hakim, sepanjang itu tidak dilumpuhkan dengan ”bukti lawan” atau

tegen bewijs. Oleh karena alat bukti surat resmi atau autentik merupakan

alat bukti yang sempurna dan mengikat (volledig en beslissende

75
Meilia Rahma Widhiana, Pamin Kasubbid Fisiko Narkobafor, Wawancara, Rabu 16 Oktober
2019

117
bewijskracht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya, dan terikat kepada

pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan yang bersangkutan. 76

Dalam kasus tersebut, bahwa berita acara pemeriksaan laboratoris

kriminalistik dari badan reserse kriminal polri pusat laboratorium forensik

No.LAB:3670/NNF/2018, pada tanggal 01 Agustus 2018 disimpulkan

bahwa 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan

berat netto0,0279 gram, diberi nomor bukti 1951/2018/OF (sisa hasil lab

berat netto 0,0143 gram) yang disita dan diakui milik terdakwa 1. Yandra

Mulyadi alias Hendra dan Azman alias Man dan terdakwa Samin alias koko

(dalam berkas terpisah) tersebut adalah benar mengandung Metamfetamia

dan terdaftar dalam golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang

RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dari segi formil bahwa alat bukti surat yang diatur dalam Pasal 187

huruf a dan b dan c yaitu:

a. berita acara dan surat yang dibuat oleh pejabat umum yang

berwenang yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan

yang dialami, didengar, dan dilihat diserta alasan yang jelas dan

tegas;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan;

76
Djoko Prakoso, Op.cit., hlm. 66.

118
c. surat keterangan yang dibuat oleh seorang ahli berdasarkan

keahliannya adalah alat bukti yang sempurna.

3. Petunjuk

Mengenai kekuatan alat bukti petunjuk serupa dengan kekuatan

pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli, dan alat bukt surat, yaitu

mempunyai kekuatan pembuktianya yang bersifat bebas, artinya hakim

tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh bukti

petunjuk. Petunjuk seb agai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri, ia tetap

terikat pada prinsip batas.

Di dalam KUHAP alat bukti petunjuk ini dapat di lihat dalam Pasal 188,

yang berbunyi sebagai berikut:

4. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena


persesuainya, baik antara yang satu yang lainnya, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya;
5. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh
dari:
d. Keterangan saksi;
e. Surat;
f. Keterangan terdakwa.
6. Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.77

Dalam kasus tersebut, bahwa berdasarkan kronologi dari kasus jika

mengambil petunjuk dari keterangan saksi Adi Nugroho dan Ranti

77
Djoko Prakoso Op. Cit., hlm 68

119
menyatakan bahwamereka mendapatkan informasi dari warga masyarakat

di rumah konveksi lantai 2 itu sering dijadikan penyalahgunaan narkotika,

dan pernyataan saksi Samin adalah bahwa adanya pemesanan narkotika

jenis shabu oleh Deli (DPO) kalau narkotika jenis shabu pesanannya sudah

ada sehingga saksi Samin alias koko menyuruh agar Bonar (DPO) langsung

menuju lantai 2.

C. Faktor Penghambat Pusat Laboratorium Forensik Dalam Tindak Pidana

Narkotika dan Psikotropika

Dalam pemeriksaan barang bukti psikotropika, laboratorium forensik POLRI

mempunyai beberapa hambatan.

a. Barang bukti yang dikirim penyidik sedikit atau rusak, padahal

pemeriksaan dilakukan secara bertahap, Hal ini dapat dilihat dari sisi

prosedural (formil). Dalam sisi prosedural perlu dilihat bagaimana bahan

(sampel) diperoleh

b. Alat instrumen Laboratorium Forensik Polri mengalami gangguan atau

kerusakan, apabila alat yang biasa digunakan memeriksa barang bukti

mengalami gangguan atau kerusakan maka Laboratorium Forensik Polri

Semarang harus mengirimkan barang bukti ke Laboratorium Forensik

Pusat untuk mengetahui dan mendapatkan hasil yang akurat.

c. alat bukti yang sedikit, dan adanya berbagai macam jenis yang senyawa

didalamnya itu berbeda, tetapi tetap melakukan uji pendahuluan screening

120
dan uji konfirmasi melalui alat yang menentukan adanya zat apa yang di

dalam, dan dalam persidangan itu biasanya hakim meminta proses

pembuatannya seperti apa, senyawa yang berbeda, bahan, tingkat

kemurnian hasilnya, dan hakim biasanya meminta saksi ahli dalam hal

itu.78

Umumnya orang setuju bahwa tes urin hanyalah uji saring, sedangkan uji

konfirmasi harus mneggunakan alat Gas Chromatography atau mass

spectrometry. Urine drug tests are not sufficienyly reliable to hold up in court.

Dikatakan bahwa angka positif palsu pada pemeriksaan tes urine sangat bervariasi

tinggi, dari 4% hingga 50%. Penyebab positif palsu dapat terjadi sebagai dari

prosedur laboratorium yang tidak tepat, sample tertukar atau tercampur, pencatatan

yang tak beres, inhalasi pasif, reaksi silang (cross-reaction) obat. Hugh Hansen

melaporkan adanya kesalahan positif palsu sebesar 0-6% untuk barbiturate, 0-

37% untuk, 0-6% untuk Kokain, dan 0-10% untuk Morfin.

Metode EMIT (Enzyme Multiplied Immunoassay Technique) memiliki angka

positif palsu sebesar 4-34%, sedangakan Radioimmunoassay mencapai 50%

positif palsu. Sedangakn CG/MS dikatakan memiliki angka keakurasian 99,8%.

78
Meilia Rahma Widhiana, Pamin Kasubbid Fisiko Narkobafor Wawancara, Rabu 16 Oktober

121
BAB V

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan di atas, maka dapat diambil

kesimpulan oleh hemat penulis sebagai berikut:

1. Kekuatan pembuktian hasil Laboratorium Forensik dalam tindak pidana

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika bahwa hal yang timbul

membuktikan unsur tindak pidana narkotika pada Pasal 127 ayat (1) huruf a

Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP Undang-Undang No. 81 Tahun 87, dan juga 2 (dua) alat bukti yang

sah, di mana ada persesuaian antara alat bukti dan alat bukti serta alat bukti

dengan barang bukti yang digunakan sebagai dasar untuk memperoleh suatu

keyakinan hakim di dalam menyelesaikan kasus narkotika. Karena alat bukti

yang sah dan keyakinan adalah kunci untuk membuktikan salah atau tidaknya

terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Laboratorium

Forensik dalam mengungkap suatu kasus tindak pidana narkotika, sangat

membantu sekali, hal ini dilihat dari 5 alat bukti yang sah terdapat 3 alat bukti

yang sah yang berasal dari pemriksaan dan juga ahli di laboratorium forensik

yaitu alat bukti keterangan ahli, surat dan petunjuk, dimana hal pembuktian

surat in sangat berketerkaitan terutama alat bukti surat yang dalam Pasal 187

huruf c yang menyatakan bahwa surat merupakan alat bukti yang sempurna.

122
2. Hambatan laboratorium forensik dalam uji laboratorium forensik yaitu alat

bukti yang sedikit, dan adanya berbagai macam jenis yang senyawa didalamnya

itu berbeda, tetapi tetap melakukan uji pendahuluan screening dan uji

konfirmasi melalui alat yang menentukan adanya zat apa yang di dalam, dan

dalam persidangan itu biasanya hakim meminta proses pembuatannya seperti

apa, senyawa yang berbeda, bahan, tingkat kemurnian hasilnya, dan hakim

biasanya meminta saksi ahli dalam hal itu.

B. Saran

1. Hakim di dalam menyelesaikan perkara tindak pidana narkotika sebaiknya

mempertimbangkan kepentingan hukum terdakwa, baik terdakwa yang

dikenakan sebagai pengguna atau pemakai dalam proses berjalannya

pemeriksaan persidangan. Untuk itu, hakim dapat mengupayakan saksi-saksi

yang dihadirkan dalam persidangan tidak hanya dari saksi penyidik yang

melakukan tindakan dalam kondisi tertangkap tangannya terdakwa saja,

teedakwa saja.

2. Perlunya pertimbangan yang lebih mendalam terhadap kasus tindak pidana

narkotika dalam penjatuhan pidana atau rehabilitasi, hal ini didasari dengan

teori relatif yaitu penjatuhan pidana yang bergantung kepada kemanfatannya

kepada masyarakat, dan juga pendekatan dari teori viktimologi yaitu bahwa

terdakwa pengguna narkotika juga adalah seorang korban, dan melihat dari

adanya keadaan yang meringankan dalam persidangan.

123
3. Pengetahuan maupun pendidikan dalam bahayanya narkotika sejak dini perlu

untuk sebagai wawasan serta pengetahuan untuk masyarakat, dimulai dari

tahap keluarga, sekolah, hingga lingkungan secara umum.

4. Pentingnya peran pemerintah dalam penanggulangan pengedaran narkotika,

karena hal ini dapat meminimalisir penggunaan narkotika, dengan

perngamanan serta pengekatan dalam setiap aspek yang ada, baik dalam

pengedaran melalui darat, udara dan laut.

124

Anda mungkin juga menyukai