Anda di halaman 1dari 15

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN

TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA OLEH


ANGGOTA TNI

Dina Wulan Sari


1931410159
Politeknik Negeri Malang

ABSTRAK
Tujuan dari penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan psiktropika dan
apa hambatan dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan
psikotropika beserta solusinya. Penelitian ini termasuk kedalam hukum empiris.
Pendekatan yang digunakan menggunakan penulisan hukum normative yang menggunakan
jenis data sekunder. Data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh secara langsung
dari lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi Pustaka, misalnya instrument hukum
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, buku-buku publikasi dari berbagai
organisasi, laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti. Kemudian setelah data terkumpul maka komponen tersebut berinteraksi dan
bila kesimpulan dirasakan kurang maka perlu ada verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
penyalahgunaan psikotropika tidak hanya terbatas pada pasal 62 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang psikotropika tetapi juga berdasarkan pada fakta-fakta yang terungkap
dipersidangan. Ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya yang
berkaitan dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
penyalahgunaan psikoropika oleh anggota TNI dan juga mengetahui hambatan yang
dihadapi beserta solusi menjatuhkan putusan terhadap penyalahgunaan psikotroika oleh
anggota TNI

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
BAB I
PENDAHULUAN
2.3 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3). Bahwa segala sesuatu didasarkan pada hukum
sebagai peraturan yang bersifat mengikat dan memaksa. Republik Indonesia adalah
negara hukum yang demokrasi berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, tidak
ada pemusatan kekuasaan pada golongan tertentu tetapi cenderung pada kedaulatan
rakyat.
Mengenai masalah kompetensi peradilan militer dalam penyalahgunaan
psikotropika yang dilakukan anggota TNI AD tersebut secara umum diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam hal
penyalahgunaan tindak pidana psikotropika meskipun telah ada peraturan tersebut
tetap saja ada beberapa oknum TNI AD yang melanggarnya. Dari kejadian dan
peristiwa tersebut, di dapat suatu permasalahan yang layak untuk diteliti dan
dianalisis oleh penulis.
Adapun permasalahan yang timbul dari penyalagunaan psikotropika anggota TNI
AD ialah bagaimana kompetensi peradilan militer dalam menangani kasus tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan TNI AD. Dalam memperoleh
data, penulis menggunakan beberapa teknik yaitu wawancara atau observasi, serta
studi kepustakaan, dan selanjutnya penulis mengolah data dengan metode diskriptif
kualitatif artinya melakukan pembahasan dari hasil yang telah diteliti oleh penulis
dengan menggambarkan atau melukiskan keberadaan subyek atau obyek
berdasarkan fakta yang ada.
Menurut undang-undang No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat
bukan narkotika, baik alami maupun sintetis, yang bersifat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan sistam saraf pusat, serta dapat menimbulkan
ketergantungan atau ketagihan.

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
Hukum Indonesia mengatur bahwa tidak ada seorang warga negara yang kebal
terhadap hukum. Meskipun tindak pidana tersebut dilakukan oleh warga sipil
maupun anggota Tentara Nasional Indonesia. Apabila kejahatan dilakukan oleh
warga sipil proses penyelesaiannya mengikuti hukum acara pidana sipil yang diatur
dalam KUHAP. Apabila anggota Tentara Nasional Indonesia melakukan suatu
Tindak Pidana, maka akan tetap dipidana tanpa ada keistimewaan apapu, mulai
proses pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan sampai peradilan akan mengikuti
hukum acara peradilan militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer.

Salah satu apparat penegak hukim, karena hakim mempunyai tugas untuk
membuat putusan didalam persidangan kepada seorang terdakwa. Dalam
menjatuhkan suatu putusan hakim haruslah bebas dan mandiri, bebas dari campur
tangan pihak lain. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang RI No. 4 Tahun
2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman. Hakim dalam
menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang ada dalam
masyarakat dan berat ringannya pidana seerta memperhatikan pula sifat-sifat baik
dan yang jahat dari tertuduh karena keputusan hakim adalah untuk mencari suatu
kebenaran materiil, disamping menggunakan keyakinannya sendiri dalam
menjatuhkan suatu putusan, hakim haruslah mengacu pada perundang-undangan
yang berlaku agar terciptasuatu keadilan sebagaimana mestinya.

Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mencoba menguraikan masalah tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika khususnya yang dilakukan anggota TNI
dengan judul “DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP TINDAK PIDANA
PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA OLEH ANGGOTA TNI”.

2.3 Rumusan Masalah

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memfokuskan
masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberikan
gambaran yang dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberikan
gambaran yang jelas dan memudahkan pemahaman terhadap permasalahan serta
tujuan yang dikehendaki. Maka penulis meumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadaap tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika oleh anggota Tentara Nasional Indonesia?
2. Apa hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
tindak pidana penyalahgunaan psikotropika oleh anggota Tentara Nasional Indonesia
dan bagaimana solusinya?

BAB II
METODE
2.1 Metode Penulisan
Metode penulisan yang dipakai disini adalah metode penulisan hukum normative
yang menggunakan jenis data sekunder. Data sekunder merupakan data yang tidak
diperoleh secara langsung dari lapangan. Data sekunder diperoleh melalui studi
Pustaka, misalnya instrument hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
buku-buku publikasi dari berbagai organisasi, laporan-laporan dan dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis
merupakan Langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penulisan yaitu berupa
pengumpulan data yang kemudia dilakukan penyuntingan, selanjutnya dimanfaatkan
sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif.
Dimana Teknik analisis model interaktif adalah data yang terkumpul akan
dianalisis melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan kemudian
menarik kesimpulan. Selain itu dilakukan pula proses siklus antara tahap-tahap
tersebut sehingga data yang terkumpul berhubungan satu dengan yang lainnya secara
matematis.

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
2.2 Hasil Penulisan dan Pembahasan
2.2.1 Dasar Pertimbangan Hukum Bagi Hakim
Dasar Pertimbangan Hukum Bagi Hakim Yang Menyebabkan Disparitas
Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika
Golongan II Sampai Dengan Golongan IV Di Pengadilan Negeri Blitar
Tindak pidana psikotropika diatur dalam undang-undang No. 5 Tahun 1997
Tentang Psikotropika. Sebelum membahas aturan hukum tindak pidana psikotropika
terlebih dahulu dijelaskan penggolongan psikotropika. Sesuai dengan undang-
undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika digolongan menjadi 4 (empat)
bagian yaitu:
a. Psikotropika golongan I : yaitu Psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
b. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
d. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan.

Aspek “pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap pelaku tindak pidana yang


didakwakan” merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Mengapa sampai
dikatakan demikian? Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian
unsur-unsur (bestendallen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa
tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh
jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap
amar/diktum putusan hakim.
Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan
Psikotropika, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Menurut pengamatan
dari 2 (dua) kasus yakni perkara No.524/Pid.B/2011/PN.Blt dan Perkara No.
317/Pid.B/2012/PN.Blt yang diteliti oleh penulis, hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku tindak pidana psikotropika cenderung lebih banyak menggunakan
pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat non-yudiris.

1) Pertimbangan Yang Bersifat yuridis


Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan
pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang
telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan
yang bersifat yuridis di antaranya:
a. Dakwaan jaksa penuntut umum.
b. Keterangan saksi.
c. Keterangan terdakwa.
d. Barang-barang bukti.
e. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Psikotropika.
2) Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis
Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan
putusan membuat pertimbangkan yang bersifat non yuridis. Dari hasil penelitian
penulis terhadap 2 (dua) putusan Pengadilan Negeri Blitar yakni Putusan
No.524/Pid.B/2011/PN.Blt dan Putusan No.317/Pid.B/2012/PN.Blt ada beberapa
pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu:
a. Kondisi Diri Terdakwa
Kondisi diri terdakwa dalam tulisan ini dapat diartikan sebagai keadaan fisik
maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk status sosial yang
melekat pada dirinya. Kondisi fisik yang dimaksud adalah usia dan tingkat
kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah perasaan misalnya

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
dalam keadaan marah, gemetar, keringat dingin, pikiran kacau dan tidak normal.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan status sosial adalah status yang dimiliki
dalam masyarakat yaitu apakah pejabat, polisi, kuli bangunan, petani, buruh,
wiraswasta dan sebagainya.
Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika
cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis
dibandingkan non yuridis. Pertimbangan yuridis dilakukan untuk membuktikan
perbuatan yang didakwakan dalam surat dakwaan, sedangkan pertimbangan non-
yuridis digunakan untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan
dijatuhkan.

3) Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana


Bila diperhatikan setiap putusan hakim, yaitu Putusan No.524/Pid.B/2011/PN.Blt
dan putusan No.317/Pid.B/2011/PN.Blt, senantiasa memuat hal-hal yang
memberatkan dan meringankan pidana. Hal ini memang sudah ditentukan dalam
Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
a. Hal-hal yang Memberatkan daan Meringankan Pidana
Dalam menjatuhkan putusannya hakim juga mempertimbangkan hal-hal
yang memberatkan pidana dan hal-hal yang meringankan pidana Dalam sidang
pengadilan Negeri Blitar berdasarkan putusan-putusan hakim yang penulis teliti
hal-hal yang meringankan terdakwa.

Dari uraian di atas tampak bahwa dari 2 (dua) putusan yang diteliti penulis tidak
satupun putusan yang mewakili alasan-alasan yang meringankan pidana sesuai
dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selama
ini Hakim cenderung tidak mempertimbangkan dalam putusannya karena memang
tidak perlu.
Seharusnya untuk kasus ini hakim dalam menjatuhkan putusan harus lebih
maksimal , hakim dalam menjatuhkan putusan No.317/Pid.B/2012/PN.Blt

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
seharusnya lebih dari 2 (dua) tahun mengingat Terdakwa pernah di hukum,
perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan tidak mendukung program
pemerintah dalam memberantas peredaran Narkotika dan Psikotropika serta
Terdakwa melanggar 2 (dua) pasal dengan undang-undang yang berbeda.
Itulah sebabnya, dalam rangka menegakkan kembali hukum yang telah dilanggar,
sang hakim tidak boleh terikat pada bunyi perkataan undang-undang semata
(let’terknechten der wet), tetapi harus mampu menciptakan hukum sendiri melalui
putusanputusannya yang biasa disebut judge made law (hukum yang dibuat oleh
hakim).
Efektivitas sistem peradilan pidana (SPP) tergantung sepenuhnya pada
kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan
profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakat.
Menuntaskan penyelesaian perkara psikotropika melalui sistem peradilan,
menegaskan bahwa cara demikian tuntutan masyarakat akan keadilan tercapai dan
adanya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan. Hakim dalam sistem
peradilan pidana (SPP) memiliki kedudukan yang amat penting dikarenakan
keputusan yang dijatuhkannya menyangkut nasib seseorang dan untuk keadilan bagi
semua, dan hakim harus cakap dan profesional dalam mengambil keputusan.
Kesalahan dan perekayasaan dalam memeriksa perkara dalam sistem peradilan
pidana (SPP) sangatlah mempengaruhi citra aparat penegak hukum dan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itulah Hakim yang berhati
nurani mulia dan memegang teguh prinsip keadilan dengan profesional dalam
menjalankan tugasnya menjadi penentu citra hukum.

1.2.2 Tinjauan Tentang Pengadilan Militer
1. Kewenangan Pengadilan Militer
Pengadilan   militer   merupakan   pelaksana   kekuasaan   kehakiman   di  
lingkungan Angkatan   Bersejata   untuk   menegakkan   hukum   dan   keadilan  
dengan   memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan
negara. Pengadila dalam lingkungan Peradila Militer merupakan badan pelaksana

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata dan berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer memiliki kewenangan absolut, yaitu menyangkut
kewenangan badan peradilan untuk menyelesaikan perkara, dan kewenangan
absolut dari peradilan militer adalah :
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah :
a. Prajurit ;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit ;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau
dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang ;
d. Seseorang yang tidak masuk pada huruf a, b dan c tetapi atas keputusa
Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suartu
pengadilan dalam lingkngan Peradilan MIliter.

Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana


Yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat
yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan. Disamping
memiliki dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Disamping memiliki kewenangan absolut, peradilan militer juga memiliki
kewenangan relative yaitu berdasarkan Pasal 19 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997 bahwa Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer mengadili pelaku
tindak pidana yang tempat kejaiannya di daerah hukumnya atau pengadilan untuk
mengadili apabila lebih dari satu pengadilan yang berkuasa mengadili suatu perkara
dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka pengadilan yang menerima perkara
tersebut terlebih dahulu harus mengadili perkara tersebut (pasal 11 undang-undang
No. 31 Tahun 1997).

2. Badan – badan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 pengadilan
adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan
Militer, yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan
Militer Utama dan pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 12 UU No. 31 1997).
Selanjutnya mengenai nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum yang yang
ditetapkan dengan Keputusan Panglima (Pasal 14 ayat (2)). Panglima yang
dimakusd dalam pasal tersebut adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) /
Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pengadilan Dalam lingkungan Peradilan
Militer terdiri dari :
1) Pengadilan Militer
Pengadilan Militer bersidang untuk memeriksa dan memutus perkarapidana
pada tingkat pertama denga satu orang hakim ketua dan dua orang hakim
anggota, dan dihadiri oleh satu orang Oditur Militrt dan dibantu oleh satu
orang Panitera. Hakim Ketua paling rendah berpangkat Mayor, sedangkan
hakim anggota dan Oditur Militer paling rendah berpangkat Kaptendan
Panitera paling rendah berpangkat Pembantu Letnam Dua (Pelda) dan paling
tinggi berpangkat Kapten.
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang No.31 Tahun 1997 kekuasaan
pengadilan Militer adalah memeriksa dan memutus pada tingkat pertama
tindak pidana yang terdakwanya adalah :
a) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah
b) Yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan Prajurit
(Pasal 9 butir 1 huruf c) kepangkatan Kapten ke bawa ;
c) Seorang yang tidak termasuk dipersamakan dengan prajurit atau
anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang tidak
dipersamakan atau tidak dianggap sebagai prajurit berdasarkan
Undang-Undang yang harus diadili oleh Pengadilan Militer (Pasal 40
huruf c).

2) Pengadilan Militer Tinggi

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara
pidana pada tingkat banding dengan satu orang hakim ketua dan dua orang hakim
anggota, dan dihadiri oleh satu orang Oditur Militer dan dibantu oleh satu orang
Panitera. Hakim ketua palin rendah berpangkat setingkat dengan terdakwa.
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi diatur dalam PAsal 41 Undang-Undang
No. 31 Tahun 1997 sebagai berikut :
Pada tingkat pertama
Memeriksa dan memutus perkara yang terdakwanya adalah :
(a) Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat mayor ke atas (mayor, Letnan,
Kolonel, Brigadir jendral, Mayor jendral , Letnan Jendral atau jendral)
(b) Seorang yang pada waktu melakukan tindak pidana yang berdasarkan
Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit, atau anggota suatu
golongan, atau jawatan atau yang dipersamkan atau yang dianggap
sebagai prajurit berdasarkan undang-Undang yang terdakwanya atau
salah satu terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Mayor keatas.
(c) Terdawanya seorang atas keputusan Panglima dengan persetujuan
Menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam hal ini
Pengadilan Militer Tinggi.
Memeriksa dan memutus serta menyelesaikan sengketa tata usaha militer.
Pada Tingkat Banding
Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah
diputus oleh pengadilan militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan
banding
Pada Tingkat Pertama dan Terakhir
Memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antara pengadilan militer dalam daerah hukumnya.

3) Pengadilan Militer Utama


Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus
sengketa dengan majelis hakim dengan satu orang hakim ketua dan dua orang

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
hakim anggota, dan dibantu oleh satu orang panitera. Hakim ketua paling
rendah berpangkat Brigadir Jendral/laksamana Pertama atau Marsekal
Pertama, sedangkan hakim anggota paling rendah berpangkat kolonel.
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama diatur dalam pasal 43 Undang-
Undang No.31 Tahun 1997 sebagai berikut :
Pada Tingkat Banding Memeriksa dan memutus :
a. Perkara pidana yang telah diputus pada tingkat pertama oleh
pengadilan militer tinggi yang dimintakan banding.
b. Sengketa Tata Usaha Militer yang pada tingkat pertama telah
diputus oleh pengadilan militer tinggi yang dimintakan banding.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji yaitu (1) tentang
bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadaap tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dan
(2) apa hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
tindak pidana penyalahgunaan psikotropika oleh anggota Tentara Nasional
Indonesia dan bagaimana solusinya. Berdasarkan hasil dan pembahasan maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan puusan terhadap tindak pidana
penyalahgunaan psikotropika oleh anggota TNI didasarkan pada pasal 62 UU
No. 5 tahun 1997 mencantumkan bahwa barang siapa secara tanpa hak,
memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika di pidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (serratus juta rupiah). Selain itu dalam menjatuhkan putusan
hakim harus melihat dan mempelajari bukti-bukti yang ada baik keterangan

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
terdakwa atau saksi dan juga bukti berupa barang. Alat bukti yang sah menurut
pasa 172 Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1997 ialah :
a. Keterngan saksi
b. Keterangan ahli
c. Keterangan terdakwa
d. Surat, dan
e. Petunjuk

2. Hambatan dalam penjatuhan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan


oleh anggota TNI adalah sebagai berikut :
a. Apabila yang bersangkutan sedang menjalankan tugas negara. Sebagai
anggota TNI sering kali mendapat tugas keluar daerah dalam jangka waktu
yang lama, misalnya : tugas melakukan operasu militer di suatu daerah
selama beberap waktu. Hal tersebut dapat menjadi penghambat dalam
pemeriksaan suatu perkara dan akhirnya untuk menjatuhkan sanksi pidana
harus menunggu hingga tugasnya selesai terlebih dahuku,
b. Apabila terdakwa melarikan diri. Jika selama pemeriksaan terdakwa
melarikan diri maka pemeriksaan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Hal
tersebut menjadi kendala karena dalam pemeriksaaan perkara
penyalahgunaan psikotropika, terdakwa harus hadir di persidangan.
Berbeda dengan perkara desersi, walaupun terdakwanya melarikan diri,
atau tidak dapat dihadirkan dalam persidangan, tetap akan diajukan siding
dengan melakukan pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia).
c. Apabila alam persidangan terdakwa berbelit-belit. Apabila dalam proses
pemeriksaan di pengadilan pada saat pemeriksaan terdakwa ternyata dalam
memberikan keterangan terdakwa terkesan susah memberi pernyataan dan
terlalu berbelit-belit maka hal itu akan menyusahkan Majelis Hakim untuk
memperoleh kebenaran materiil dari perkara yang sedang dihadapi
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut :

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
a. Apabila yang bersangkutan sedang menjalankan tugas negara ataupun tugas
operasi militer dapat segera ditarik untuk segera menyelesaikan perkaranya,
namun juga harus melihat seberapa penting atau dibutuhkannya tenaga
ataupun kemampuan dari terdakwa. Jika sekiranya tenaga dan kemampuan
terdakwa sangat dibutuhkan, maka pemeriksaan harus di tunda hingga
tugasnya selesai.
b. Dalam perkara psikotropika, hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan adalah
mutlak. Jadi jika terdakwa melarikan diri, pemeriksaan harus ditunda
hingga terdakwa dapat hadir kembali di persidangan. Untuk mencegah
terdakwa melarikan diri maka penjagaan terdakwa haruslah ketat, jangan
memberikan peluang untuk terdakwa melarikan diri. Jika terdakwa terlanjur
melarikan diri, maka harus segera di lakukan pengejaran terhadapnya, baik
itu melakukan koordinasi dengan Polisi Militer TNI maupun juga dengan
pihak POLRI, agar terdakwa dapat Kembali di tangkap dan segera
menyelesaikan perkaranya.
c. Hakim dalam memberikan pertanyaan kepada terdakwa menggunakan
Bahasa yang sifatnya menjebak sehingga terdakwa tidak dapat membohongi
hakim untuk memperoleh kebenaran materiil dari suatu perkara. Dan hakim
harus menegur terdakwa agar lebih dapat diajak bekerja sama.

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal :
1. Moch Faisal Salam. 2002. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Bandung :
Mandar Maju
2. Rusmanto. 2009, Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika Oleh Anggota TNI (Studi
kasus di Pengadilan Militer II- 11 Yogyakarta)
3. Asna Intan Puspita Nada, Maschrudin Ruba’i, Prija Djatmika. Dasar Pertimbangan
Hukum Bagi Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Tindak Pidana Psikotropika
Golongan II sampai dengan Golongan IV. Universitas Brawijaya Malang
4. Candra Hima Y,P., Siska Puspaningtyas. 2013, Tinjauan Hukum Pidana Terhadap
Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika Oleh Anggota Militer (Studi Putusan
Pengadilan Militer III-13 Madiun Nomor : 09-K/PM.III-13/AD/II/2012)
5. Asrianto Zaina. 2013, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika dari Aspek
Kriminologi

Internet :
1. https://ridwaninstitute.co.id/cara-membuat-jurnal-yang-baik-dan-benar/
2. https://dominggussilaban.blogspot.com/2015/02/pertimbangan-pertimbangan-
hakim-dalam.html
3. https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sumberbelajar/tampil/
PSIKOTROPIKA-2016-/menu3.html
4. http://eprints.umm.ac.id/3870/1/
Kompetensi_Peradilan_Militer_Dalam_Menangani_Kasus.pdf

Dina Wulan Sari


3F D3 Teknik Kimia

Anda mungkin juga menyukai