Anda di halaman 1dari 6

MADRASAH KLASIKAL

SEBAGAI STIMULUS MILITANSI


KEDER MUSLIM NEGARAWAN

NUR ASMITA RIDI

KOMISARIAT UNIVERSITAS HALU OLEO

DAERAH KENDARI

2019
Muslim negarawan adalah kader KAMMI yang memiliki basis ideologi Islam yang
mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi
pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen
bangsa dalam upaya perbaikan. Hal itu tentu menjadi PR besar bagi pengelola/pembina
KAMMI.
KAMMI sebagai sebuah entitas organisasi Islam, tentu seperti kata Fathi Yakan untuk
bertahan dan eksis sebagai organisasi dakwah ia harus mampu melakukan proses isti’ab baik
internal maupun eksternal. Membina termasuk dalam hal isti’ab internal, sehingga penjagaan
komitmen akan benar-benar terkontrol. Adapun di KAMMI, pembinaan ini bernama Madrasah
KAMMI. Sesuai definisinya, Madrasah KAMMI merupakan inti dari pembinaan kader
KAMMI. Dalam Madrasah KAMMI menyentuh langsung 3 Ranah penting dalam kehidupan
manusia yang oleh Benyamin S. Bloom di istilahkan dengan Ranah Kognitif (Pengetahuan),
Afektif ( Sikap) dan Psikomotorik (Amal).
Untuk menumbuh-kembangkan semangat dibina dan membina dalam madrasah KAMMI
perlunya mengetahui motivasi apa yang menjadi landasan kader untuk terus istiqomah dan
semangat mengikuti proses dan tahap-tahap pengkaderan KAMMI. Saat melakukan diskusi
dengan beberapa kader AB1 KAMMI Komisariat Universitas Halu Oleo, ada beberapa hal yang
menjadi alasan mereka terus semangat berorganisasi di KAMMI terutama pada kegiatan-
kegiatan Madrasah Klasikal. Dalam diskusi tersebuat penulis mengajukan pertanyaan pada 3
orang kader AB1 yang tergolong aktif (Akhi Rafat), setengah aktif (Ukhti Resti) dan tidak aktif
(Ukhti Laura). Alasan penulis mewawancarai 3 kader yang berbeda keaktifan di KAMMI ini
adalah agar adanya perbandingan untuk mengetahui masalah dan titik terang atau solusi
perbaikan pengkaderan KAMMI. Dari diskusi yang dilakukan beberapa faktor yang menjadi
alasan keistiqomahan di KAMMI atau dalam mengikuti Madrasah KAMMI adalah :

1. KAMMI sebagai wahana untuk menjalin ukhuwah islamiah. Tepat dalam Prinsip
Gerakan KAMMI poin 6 bahwa “Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI”.
Olehnya itu wacana perbaikan oleh KAMMI tidak mungkin dilakukan seorang diri.
dengan adanya Madrasah Klasikal yang akan mempererat silaturahmi antar kader
dengan pertemuan-pertemuan tiap pekannya akan lebih mengembangkan kualitas dan
kuantitas diri dalam, meningkatkan pola dan strategi dalam perbaikan KAMMI.
“Pertemuan Liqo / MK khos hanya seminggu sekali, jadi muncul rasa rindu sama teman-
teman liqoan” ungkap akhi Rafat dalam diskusi kami.
2. Memperkaya tsaqafah (wawasan) ke-ilmu-an. Setiap kader memiliki harapan dan
tujuan ketika menjelajahi suatu organisasi. Begitu pula di KAMMI ada harapan ketika
mengikuti Madrasah KAMMI yang didalamnya dapat memfasilitasi pemuda / mahasiswa
/ kader untuk menambah wawasan keislaman sehingga terus semangat dalam
menjalankan dan mengamalkan ajaran-ajaran islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Peka terhadap persoalan social masyarakat. Banyaknya isu-isu negatif, berita miring,
fitnah dan retorika tanpa data sehingga memancing kader muslim negarawan untuk
mengkaji lebih dalam dan dapat memberikan solusi terhadap isu-isu kenegaraan.
4. Adanya amanah yang di emban. Sebagaimana dijelaskan bahwa amanah adalah
sesuatu yang dipercayakan atau suatu titipan (Al wadiah) yang diberikan kepada
seseorang untuk dijaga, dilindungi dan dilaksanakan. Sesederhana makna amanah di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu amanah yang diberikan pada kader apabila
dilaksanakan dengan baik maka akan mendapatkan kebaikan. Begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan hasil diskusi dengan kader-kader KAMMI dari latar belakang bermacam-
macam dan cara pandang yang bermacam-macam pula tentang KAMMI atau lebih spesifiknya
lagi tentang madrasah klasikal, seperti yang telah penulis katakan pada paragraf 3 di atas,
maka penulis tidak hanya bahas mengenai alasan mengapa kader terus semangat mengikuti
madrasah klasikal, melainkan juga kekurangan yang ditemukan dalam setiap prosesnya pada
diskusi saya bersama 2 orang kader yang setengah aktif dan tidak aktif. Seperti pasca AB1,
konsep pembinaan yang dilakukan KAMMI memang sudah cukup bagus. Dengan 2 program
wajib yang harus diikuti anggota baru yaitu, Madrasah KAMMI Klasikal dan Madrasah KAMMI
Khos. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah sumber daya pemandu, kususnya MK Khos
dan materi yang diberikan pada peserta. Seharusnya pemandu MK Khos dipersiapkan jauh hari
sebelum perekrutan dan digodok terlebih dahulu mengenai kapasitasnya dan keberanian
berbicara di depan umum. Ada banyak kader KAMMI ketika di amanahkan untuk menjadi
pemandu MK Khos merasa keberatan, hanya karena belum siap baik kapasitasnya maupun
keberaniannya berbicara di depan umum. Inilah yang menyebabkan sumber daya pemandu
menjadi lemah dan menurun.
Permasalahan lainnya yang perlu dikritisi yaitu budaya silaturahim tokoh atau diskusi
bersama tokoh-tokoh terdahulu KAMMI yang mulai pudar dari masyarakat KAMMI. Ini akan
melunturkan jiwa semangat kader dan akan mendapatkan wawasan keilmuan yang belum di
dapatkan kader. Dan ini bukan hanya dikhususkan untuk kader AB1, tapi juga untuk kader AB2
karena yang akan menjalankan roda KAMMI adalah kader-kader baik AB1 maupun AB2.
Olehnya itu KAMMI yang mempunyai visi melahirkan kader-kader pemimpin masa depan dalam
upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia Islami, perlu adanya peningkatan kapasitas
kader KAMMI baik AB1 maupun AB2. Diskusi KAMMI Kultural bisa dimanfaatkan untuk
mengembangkan kapasitas kader. Untuk mencapai efektifitas ini perlu dilakukan dinamisasi
dan produktivitas.
Adanya proses dinamisasi ini bertujuan untuk menghindari kejenuhan, paling tidak
meminimalisir hal itu, saat berdiskusi dengan kader awal/pemula, hal itu menjadi kekhawatiran
yang sangat besar berpotensi terjadi setelah masuk pertengahan waktu. Kejenuhan memang
bisa terjadi karena suasana yang monoton, ketiadaan keteladanan, kurangnya upaya untuk
memotivasi/mengingatkan, dan konflik yang berkepajangan. Sehingga ini akan berdampak pada
ketidak hadiran, kedisiplinan peserta MK bahkan sampai keterlambatan pencapaian tujuan,
bahkan ketika kejenuhan ini masuk juga pada pemandu, akan lebih berbahaya lagi, yaitu
enggan melakukan persiapan, penyampaian kurang berisi (hanya sebatas
transfer knowledge namun hilangnya value), sampai disorientasi.
Dari dampak ini, bisa diketahui tentang karakteristik halaqoh (MK) yang dinamis, seperti
kehadiran yang rutin, munculnya kata kerinduan, ingin berlama-lama seperti yang dikatakan akhi
Rafat pada paragfraf di atas, dan kalau seperti pendapat Satria Hadi Lubis akan ada suasana
yang inovatif. Untuk mencapai dinamisasi maka perlu banyak manajemen, seperti manajemen
variasi perubahan baik menyangkut sistem belajar, metode penyampaian, agenda acara, materi,
waktu pertemuan, tempat pertemuan, dan sebagainya. Keteladanan Pemandu dalam hal sekecil
apapun juga akan sangat berpengaruh. Selain itu Manajemen waktu yang di inginkan binaan
pada masa awal-awal juga perlu diperhatikan, seperti lamanya waktu misalnya.
Sedangkan produktivitas adalah banyaknya tujuan yang tercapai dari indikator yang
telah dibuat dalam hal ini ialah IJDK KAMMI (value) dan konwledge dari materi/kurikulum yang
ditetapkan. Semakin banyak dan kualitas yang tercapai dari sasaran-sasaran dalam IJDK
KAMMI ini, maka semakin produktifnya MK1 itu begitu pula sebaliknya. Cara untuk mencapai ini
yaitu dengan merumuskannya ke dalam tahapan atau target-target kecil yang mengarah dan
menghimpun ke arah tujuan-tujuan itu.
Membangun kesadaran diri untuk membaca adalah hal yang paling penting bagi
terbentuknya kader sebagai Muslim Negarawan. Sehingga kader memiliki kemampuan yang
kuat dan kreativitas tanpa batas. Kesadaran tersebut mendorongnya berfikir mendalam untuk
mencari solusi bagi krisis keterbatasan dan mengobati keterbatasan itu. Seperti ungkapan
Ustadz Rahmat Abdullah, “tak ada perintah untuk meminta tambahan seperti meminta
tambahan ilmu.” Untuk menjadi Muslim negarawan sejatinya dia yang tidak pernah lelah dan
tidak merasa cukup untuk menambah ilmu. Akhirnya kesempurnaan hanya milik Allah,
sesungguhnya manusia amat kecil dibandingkan ilmu-ilmu Allah yang amat luas dan dahsyat.
Referensi:
1. Ali Abdul Halim Mahmud, Prangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Hlm. 21.

2. Muhammad Sajirun, Manajemen Halaqah Efektif. Hlm. 9.

3. Fathi Yakan, Isti’ab. Hlm. 9

4. Achmad Mujahid Syayyaf. 2013. Studi Kritis Konsep Pembinaan Pasca Ab1 .
BIOGRAFI PENULIS

Nur Asmita Ridi atau biasa di sapa Mita lahir di Buton, tepatnya di Kelurahan Laompo
Kecamatan Batauga pada tanggal 28 Juni 1997. Anak ke dua dari pasangan Bapak La Amu dan
Ibu Wa Suria, serta memiliki 1 kakak perempuan dan 1 adik laki-laki. Sejak kecil dia bersama
kedua saudaranya terbiasa hidup sederhana, karena dalam keluarga mereka memajang moto
“hidup sederhana adalah kunci kebahagiaan”.
Mita menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA) di tanah kelahirannya dan mengambil S-1 Kehutanan di Universitas Halu Oleo Kendari
pada tahun 2017. Dan mengikuti Dauroh Marhalah 1 (DM1) pada tanggal 22-24 september 2017
kemudian melanjutkan jenjang pengkaderan DM 2 di Kendari pada tanggal 22-25 Februari
2018. Di beri amanah untuk menjadi ketua Bidang Keperempuanan di Komisariat Universitas
Halu Oleo pada masa kepengurusan 2017-2018. Pada masa kepengurusan 2019-2020 diberi
amanah untuk menjadi pengurus KAMMI Daerah Kendari menjadi sekretaris Bidang Hubungan
Masyarakat.
Menurutnya, menjadi bagian dari gerakan KAMMI di tengah kesibukan sebagai
mahasiswa eksak rasanya memang berat. Ada ragam kewajiban yang harus dituntaskan
sebelum akhirnya menyandang gelar sarjana. Namun menjadi kader KAMMI haruslah selalu
bijak dalam melangkah dan mengambil keputusan, termaksud bagaimana membagi waktu
antara kuliah dan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai