Anda di halaman 1dari 4

Mata Kuliah : Pendekatan dan Metode dalam Studi Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A


Oleh : Fahmi Khumaini

Teori Tindakan Max Weber: Kajian Tradisi Tahlilan


A. Teori Tindakan Max Weber
Teori tindakan sosial Max Weber berorientasi pada motif dan tujuan pelaku.
Dengan menggunakan teori ini kita dapat memahami perilaku setiap individu maupun
kelompok bahwa masing-masing memiliki motif dan tujuan yang berbeda terhadap
sebuah tindakan yang dilakukan. Teori ini bisa digunakan untuk memahami tipe-tipe
perilaku tindakan setiap individu maupun kelompok. Dengan memahami perilaku
setiap individu maupun kelompok, sama halnya kita telah menghargai dan memahami
alasan-alasan mereka dalam melakukan suatu tindakan. Sebagaimana diungkapkan
oleh Weber, cara terbaik untuk memahami berbagai kelompok adalah menghargai
bentuk-bentuk tipikal tindakan yang menjadi ciri khasnya. Sehingga kita dapat
memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut bertindak.1
Weber melakukan klasifikasi dari empat tipe tindakan yang dibedakan dalam
konteks motif para pelakunya yaitu: Tindakan Tradisional, Tindakan Afektif,
Rasionalitas Instrumental dan Rasionalitas Nilai. Dari keempat klasifikasi tindakan
tersebut, selanjutnya akan digunakan untuk menganalisis fenomena pada tradisi
tahlilan, untuk memahami motif dan tujuan dari para pelaku tradisi yang sampai saat
ini masih tetap menjaga dan melestarikannya.
Adapun penjabaran mengenai keempat klasifikasi tipe tindakan, yaitu sebagai
berikut:
Pertama, Tindakan Tradisional, yaitu tindakan yang ditentukan oleh
kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara turun-temurun.
Kedua, Tindakan Afektif, merupakan tindakan yang ditentukan oleh kondisi-
kondisi dan orientasi-orientasi emosional si aktor.
Ketiga, Rasionalitas Instrumental, adalah tindakan yang ditujukan pada
pencapaian tujuan-tujuan yang secara rasional diperhitungkan dan diupayakan sendiri
oleh aktor yang bersangkutan.
Keempat, Rasionalitas Nilai, yaitu tindakan rasional berdasarkan nilai, yang
dilakukan untuk alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang ada kaitanya dengan nilai-nilai

1
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Social: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-
Modernisme, (trj.) Saifuddin (Jakarta: Pustaka Obor, 2003), hlm. 115.
yang diyakini secara personal tanpa memperhitungkan prospek-prospek yang ada
kaitanya dengan berhasil atau gagalnya tindakan tersebut.2
Sementara itu, Pip Jones telah menguraikan keempat tipe tindakan tersebut
menjadi bentuk yang lebih operasional ketika digunakan untuk memahami para
pelakunya, yaitu: Tindakan Tradisional, “Saya melakukan ini karena saya selalu
melakukanya”. Tindakan Afektif, “Apa boleh buat saya lakukan”. Rasionalitas
Instrumental, “Tindakan ini paling efisien untuk mencapai tujuan ini, dan inilah cara
terbaik untuk mencapainya”. Rasionalitas Nilai, “Yang saya tahu hanya melakukan
ini”.3
Menurut Turner, adanya pembagian dari keempat tipe tersebut oleh Weber,
memberitahukan kepada kita tentang suatu sifat aktor itu sendiri, karena tipe-tipe itu
mengindikasikan adanya kemungkinan berbagai perasaan dan kondisi-kondisi
internal, dan perwujudan tindakan-tindakan itu menunjukan bahwa para aktor
memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan tipe-tipe tersebut dalam formasi-
formasi internal yang kompleks yang termanifestasikan dalam suatu bentuk
pencangkokan orientasi terhadap tindakan.4

B. Tradisi Tahlilan
Tahlilan adalah ritual atau upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat
Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati
dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari
pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-
100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan
tahlilan pada hari ke-1000. Kata "Tahlil" sendiri secara harfiah berarti berizikir
dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah
kecuali Allah). Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi
yang dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat
meninggalkan kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit
bukan hanya terjadi pada masyarakat pra Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai
belahan dunia, termasuk di jazirah Arab. Oleh para da'i (yang dikenal wali songo)
pada waktu itu, ritual yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di
2
Bryan S. Turner, Teori Sosial Dari Klasik Sampai Post-modern, (Yogyakarta:: Pustaka
Pelajar, 2012), hlm. 115.
3
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Social: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-
Modernisme, hlm. 115
4
Bryan S. Turner, Teori Sosial Dari Klasik Sampai Post-modern, hlm. 116.
Indonesia, tahlilan masih membudaya, sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan
memperingati dan mendo'akan orang yang sudah meninggal. Tahlilan dilakukan
bukan sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak
lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul
seperti itu. Jika pun tahlilan masih diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap
anak pasti menginginkan orang tuanya yang meninggal masuk surga. Sebagaimana
diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orang
tuanya adalah impian semua orang, oleh karena itu setiap orang tua menginginkan
anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. Dari sinilah, keluarga
mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orang
tua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang (berjama'ah). Maka
diundanglah orang-orang untuk itu, dan menyuguhkan (sedekah) sekadar suguhan
kecil (buat yang kaya) bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram. Suguhan
(sedekah) itu hanya berhak untuk orang miskin, yatim piatu, orang cacat, orang yang
kesulitan .berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri dan orang
yang berhak mendapat sedekah yaitu: fakir miskin, orang cacat, anak yatim, orang
lanjut usia. Maka, jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orang
tuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat
hukum syariat, tidak makruh tapi haram, anak seperti ini pasti juga orang yang yang
tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak. Kegiatan ini bukan kegiatan yang
diwajibkan, orang boleh melakukannya atau tidak.5

C. Kajian Tradisi Tahlilan: Analisis Melalui Teori Tindakan Max Weber


Telah dijelaskan di atas bahwa Teori tindakan sosial Max Weber berorientasi
pada motif dan tujuan pelaku. Dalam konteks tradisi tahlilan setiap individu ataupun
kelompok yang melakukannya memiliki orientasi pada motif dan tujuan subjektif,
yang terklasifikasi dalam dalam empat hal sebagai berikut:
Pertama, Tindakan Tradisional, menurut teori ini tradisi tahlilan ditentukan
oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara turun-temurun dan tetap
dilestarikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Islam memang menaruh
perhatian besar dalam menjaga tradisi, terutama menjaga tradisi yang telah diwariskan
dari para ulama yang telah berperan besar bagi perkembangan Islam sampai saat ini.
Melestarikan apa yang telah dilakukan oleh para ulama merupakan suatu hal yang

5
https://id.wikipedia.org/wiki/Tahlilan.
penting, karena di situ ada nilai-nilai historis. Akulturasi nafas Islam dalam budaya
lokal yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu yang dikemas dalam tradisi tahlilan
adalah untuk mendoakan seseorang yang telah meninggal dan menghibur keluarga
yang telah ditinggalkan, yang bisa diambil dan dijadikan sebagai nilai moral untuk
diterapkan oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
Kedua, Tindakan Afektif, tradisi tahlilan dalam kacamata teori ini adalah
bentuk rasa penghormatan dari keluarga kepada si mayit, dan motif masyarakat yang
datang pada tradisi tersebut adalah tindakan menghibur dan bentuk belasungkawa
terhadap keluarga yang ditinggalkan.
Ketiga, Rasionalitas Instrumental, tradisi tahlilan merupakan tradisi
mendoakan dan sedekah yang diatas namakan si mayit yang notabennya sudah tidak
bisa melakukan kebaikan lagi, sehingga perlu kiriman doa dan pahala sedekah yang
ditujukan pada si mayit agar tenang di alam kubur. Alasan Rasional Instrumental si
aktor (keluarga yang ditinggalkan) ini yang menjadi alasan kenapa tradisi ini masih
dilakukan.
Keempat, Rasionalitas Nilai, dalam tradisi tahlilan motif rasional instrumental
yang mendasarinya adalah ritual sedekah dari keluarga yang diberikan kepada
masyarakat, yang mana pahalanya dikirimkan kepada si mayit. Masyarakat yang
datang bersama-sama mendoakan si mayit, dengan keyakinan bahwa pahala sedekah
dan doa yang dihaturkan kepada si mayit bisa memberikan kenyamanan di alam kubur
dan menghantarkannya ke surga.

Anda mungkin juga menyukai