Anda di halaman 1dari 10

PAGERHARJO : DESA WISATA DAN JEJAK PERLAWANAN

DIPONEGORO
LOMBA ESAI DAN DIALOG SEJARAH
DINAS KEBUDAYAAN DIY 2019

Nama : Rizki Bayu Ramadhan


Judul Esai : “Pagerharjo : Desa Wisata Dan Jejak Perlawanan
Diponegoro”
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Samigaluh
Alamat Sekolah: Jalan Pangaji, Tanjung, Ngargosari, Samigaluh, Kulonprogo,
DIY55673
Telepon Sekolah: 08112504871

1
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Esai : PAGERHARJO : DESA WISATA DAN JEJAK


PERLAWANAN DIPONEGORO

Ditulis oleh : Rizki Bayu Ramadhan


NIS.2452
Pembimbing : Esti Dwi Utami, S.Pd
NIP.

Kulonprogo, 18 Oktober 2019

DISAHKAN OLEH

Kepala SMAN 1 Samigaluh Guru Pembimbing

Nuryadi, S.Pd Esti Dwi Utami, S.Pd


NIP.19660602 199001 1 001 NIP.

2
LATAR BELAKANG

Sejarah terbentuknya suatu daerah merupakan pencerminan dari karakter dan


ciri khas tertentu dari suatu daerah. Sejarah desa atau daerah selalu menjadi cerita
turun temurun dari penduduk desa atau daerah setempat sehingga selalu
menimbulkan cerita yang unik bahkan sulit untuk mencari fakta, karena masing-
masing individu mengabarkan dengan kapasitas kemampuan dirinya dalam menyerap
isi sejarah tersebut. Dan tidak jarang cerita tersebut dihubungkan dengan mitos pada
tempat-tempat tertentu dan suatu tradisi yang dianggap keramat oleh masyarakat
setempat, seperti halnya Desa Pagerharjo yang memiliki adat dan tradisi yang
merupakan identitas desa secara turun temurun.

Desa Pagerharjo merupakan sebuah desa yang terletak di ujung barat laut
Kabupaten Kulonprogo dan masuk administrasi Kecamatan Samigaluh. Desa
Pagerharjo terletak antara 07˚ 40’18” LS dan 110˚ 07’52” BT. Desa tersebut berada
di wilayah Pegunungan Menoreh sehingga secara topografi merupakan daerah
pegunungan dengan kemiringan lereng yang relatif curam. Walaupun memiliki
daerah yang curam, Pagerharjo merupakan desa yang terkenal karena merupakan desa
wisata. Desa wisata di Pagerharjo yaitu Desa Wisata Nglinggo bahkan menjadi Juara
1 dalam lomba desa wisata tingkat Provinsi DIY tahun 2018 dan mesuk nominasi 15
desa wisata terbaik se-Indonesia. Walaupun sudah terkenal dari sektor wisata, namun
desa Pagerharjo hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui sejarah yang ada
di desa tersebut. Dulunya Pagerharjo terbentuk dari gabungan 3 Pedukuhan, yaitu
Pedukuhan Plono, Pedukuhan Gegerbajing, dan Pedukuhan Kalirejo hingga
kemudian ketiga pedukuhan tersebut menggabungkan diri. Dari ketiga Kelurahan
tersebut akhirnya digabung menjadi satu Kelurahan dan nama Kelurahan diambilkan
dari huruf-huruf tertentu dari tiga Kelurahan yaitu P dari Plono, GER dari

3
Gegerbajing, dan JO dari Kalirejo, sehingga tersusunlah sebuah nama
PAGERHARJO yang berarti “desa yang ramai dan kaya” dan berdiri pada pada 25
Januari tahun 1947 dengan kepala desa pertama Kariyo Sentono.
Secara epos sejarah, Desa Pagerharjo dulunya juga menjadi daerah
perlawanan pada Perang Jawa antara tahun 1825-1830. Namun hal tersebut belum
diketahui secara pasti oleh masyarakat umum dikarenakan belum ada publikasi cerita
sejarah mengenai daerah Pagerharjo sebagai daerah yang pernah digunakan dalam
perlawanan Perang Jawa. Faktor lain yang menyebabkan cerita sejarah ini belum
diketahui khalayak umum adalah sulitnya mencari sumber sejarah yang sesuai
dikarenakan kejadian tersebut sudah terjadi di masa lampau dan hanya sebagian
golongan masyarakat yang mengetahui serta penyampaian masing-masing orang
berbeda untuk menceritakan kejadian sejarah yang sudah terjadi di masa lampau.
Atas dasar ini penulis bermaksud menceritakan dan mempublikasikan kejadian
sejarah di Desa Pagerharjo sehingga diketahui khalayak umum dan generasi zaman
sekarang mengetahui cerita dan nilai nilai sejarah yang sudah terjadi di masa lampau.

Pagerharjo Menjadi Bagian Daerah Perlawanan Diponegoro

Ketika Perang Jawa atau Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda


dimulai pada tahun 1825, banyak daerah di Jawa yang di gunakan sebagai medan
perang dan area persembunyian Pangeran Diponegoro. Daerah-daerah Yogyakarta
dan Jawa Tengah menjadi pusat perlawanan Diponegoro. Salah satu daerah yang
menjadi markas pasukan Pangeran Diponegoro adalah Gua Selarong yang terletak di
Pajangan, Bantul, DIY. Ketika pasukan Pangeran Diponegoro bermarkas di Gua
Selarong perlawanan tidak terfokus di daerah Bantul saja, namun perlawanan meluas
ke daerah Pegunungan Menoreh di Magelang dan Kulonprogo hingga ke daerah
Bagelen di Purworejo. Di Pegunungan Menoreh wilayah Kulonprogo khususnya di
Kecamatan Samigaluh, Pangeran Diponegoro dan pasukannya melakukan perlawanan
di daerah Dekso di Kecamatan Kalibawang, kemudian ke arah barat dan
memanfaatkan Puncak Kleco di Purwoharjo sebagai daerah untuk pengintaian

4
Belanda, Talun Miri di Purwoharjo sebagai tempat berlatih perang dan memanfaatkan
Gua Sriti dan Gua Upas di daerah Purwoharjo sebagai tempat persembunyian.

Ketika pasukan Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan di Daerah


Purwoharjo, sebagian pasukan dan abdi prajurit Pangeran Diponegoro melakukan
perjalanan ke arah barat menuju suatu desa yaitu desa Pagerharjo sejumlah 3 abdi
untuk menenangkan diri dan mencari petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa guna
menyusun strategi perang dan berserah diri kepada-Nya. Ketiga abdi prajurit yang
menuju desa Pagerharjo tersebut adalah Ki Linggo Manik, Ki Dalem Tanu, dan Ki
Gagak Roban, ketiganya kermudian menetap di suatu tempat tertinggi di desa
Pagerharjo yaitu Pedukuhan Nglinggo. Nama Nglinggo diambil dari nama salah satu
abdi prajurit Pangeran Diponegoro yaitu Ki Linggo Manik, kata Linggo oleh
masyarakat sekitar ditambah ater-ater ng atau awalan kata ng sehingga menjadi kata
Nglinggo. Masyarakat Nglinggo pada waktu itu menamakan daerahnya menurut
nama Ki Linggo Manik karena beliau merupakan abdi prajurit yang paling tua
dibandingkan Ki Dalem Tanu dan Ki Gagak Roban.

Daerah lain di Pagerharjo yang menjadi tempat perlawanan pasukan


Pangeran Diponegoro ialah daerah Mendolo, Pagerharjo. Berdasar penjelasan
sesepuh atau orang yang dituakan dalam wilayah tersebut, Mendolo merupakan
wilayah yang dulunya digunakan sebagai tempat latihan perang prajurit Pangeran
Diponegoro. Tempat latihan Perang sebenarnya disebut sebagai Mandala namun
karena masyarakat Jawa cenderung menyebut kata yang menggunakan vocal huruf
(a) dibaca (o) sehingga dari awalnya Mandala tempat itu disebut Mendolo hingga
sekarang. Di sebelah selatan Pedukuhan Mendolo terdapat satu tempat yaitu
Pedukuhan Beteng yang dulunya merupakan sebuah beteng pertahanan pasukan
Diponegoro dalam berlatih perang maupun melindungi diri dari serangan Belanda.
Tempat-tempat lain di Pagerharjo yang menjadi jejak dan saksi sejarah perlawanan
pasukan Pangeran Diponegoro adalah Gunung Jaran di wilayah Nglinggo Barat,
gunung tersebut dinamai Gunung Jaran karena pada dulunya tempat tersebut

5
digunakan untuk istirahat jaran atau kuda pasukan Pangeran Diponegoro, dan
terakhir adalah Plono, wilayah tersebut dinamai Plono diambil dari kata Pelana yang
berarti alat yang digunakan untuk penyokong barang atau manusia ketika diangkut
oleh kuda.

Sepetak Tanah Sultan di Nglinggo

Daerah Nglinggo mempunyai tiga wilayah yang merupakan Sultan Ground


atau Tanah Sultan yang berarti tanah yang dimiliki oleh Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Tanah dengan luas kurang lebih 50m2 tiga wilayah yang menjadi hak
kepemilikan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah tanah bekas petilasan abdi
prajurit Pangeran Diponegoro. Petilasan diambil dari kata bahasa Jawa yaitu tilas
yang berarti bekas, maksudnya adalah suatu tempat yang disinggahi atau didiami
seseorang yang dalam tanda kutip seseorang yang dianggap penting atau berwibawa.
Petilasan tersebut yaitu petilasan Ki Linggo Manik yang masuk administrasi
Pedukuhan Nglinggo Barat, petilasan Ki Dalem Tanu yang masuk administrasi
Pedukuhan Nglinggo Barat, dan petilasan Ki Gagak Roban yang masuk administrasi
Pedukuhan Nglinggo Timur. Ketiga petilasan tersebut masuk administrasi wilayah
Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo. Menurut warga
Nglinggo, tanah tersebut merupakan tanah hak Kesultanan Ngayogyakarta karena
tanah yang merupakan cagar budaya lokal, karena pada dulunya merupakan tanah
petilasan abdi prajurit Pangeran Diponegoro sehingga untuk menjaga kelestarian
ekosistem yang berupa pohon dan tanah maka di kawasan tersebut menjadi kawasan
yang tidak diperbolehkan untuk dieksploitasi dan di eksplorasi oleh penduduk sekitar.
Alasan lain ialah Pangeran Diponegoro masih mempunyai hubungan kerabat dengan
Keraton Yogyakarta.

Pada petilasan tersebut juga terdapat ekosistem alam berupa pepohonan


berupa pohon kayu kembang atau scaphium macropodum, sejenis tumbuhan
penghasil kayu keras dari marga Scaphium dan pohon preh atau ficus sp. Keberadaan

6
pohon tersebut sudah berumur ratusan tahun dan pohon tersebut ditanam langsung
oleh abdi prajurit Pangeran Diponegoro. Sehingga pohon tersebut sekarang menjadi
penanda bahwa disitulah merupakan petilasan abdi prajurit Pangeran Diponegoro.
Pohon tersebut juga masuk dalam kawasan Sultan Ground. Petilasan dianggap
sebagai tempat yang sakral dan harus dijaga. Menurut cerita turun temurun di daerah
Nglinggo pohon kayu kembang tersebut pernah dibawa ke Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat digunakan untuk arsitektur bangunan, namun warga sekitar tidak
mengetahui pasti kapan kayu tersebut dibawa ke Kraton Yogyakarta.

Di setiap petilasan selalu identik dengan pohon besar dan berumur tua karena
orang zaman dahulu ketika mengembara akan menanam pohon di tempat singgahnya
dengan harapan pohon tersebut dapat dimanfaatkan oleh anak cucunya kelak serta
dapat mengeluarkan mata air yang bermanfaat bagi kehidupan.

Peran Warga Masyarakat untuk Menjaga Peninggalan Sejarah

Adanya peninggalan sejarah berupa petilasan abdi prajurit Pangeran


Diponegoro membuat warga masyarakat Desa Pagerharjo khususnya Pedukuhan
Nglinggo berupaya untuk menjaga peninggalan budaya tersebut. Cara yang dilakukan
untuk menjaga peninggalan tersebut adalah dilakukan dengan mengadakan tradisi
saparan atau tradisi pada bulan Safar dan diadakannya merti dusun Nglinggo Barat
dan Nglinggo Timur bersamaan dengan tradisi saparan yang berpusat di lapangan
dekat petilasan Ki Dalem Tanu atau di dekat loket masuk kawasan Desa Wisata
Nglinggo. Kedua tradisi tersebut dilakukan untuk membersihkan petilasan Ki Linggo
Manik, Ki Dalem Tanu, dan Ki Gagak Roban serta dilakukan tradisi arak arakan
gunungan dan tumpeng sebagai wujud syukur masyarakat sekitar atas keselamatan
dan rezeki hasil bumi yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Pada pelaksanaan tradisi tersebut biasanya diadakan kesenian tradisional


berupa Lengger Tapeng Indro Cipto dan Jathilan dari Nglinggo serta pentas wayang

7
kulit. Adanya kesenian tersebut juga sebagai hiburan masyarakat serta untuk nguri-
uri kabudayan Jawi atau melestarikan kebudayaan Jawa. Dalam tradisi saparan dan
merti dusun tersebut melibatkan peran masyarakat khususnya generasi muda. Peran
generasi muda terlihat jelas sebagai penari dan penabuh gamelan dalam pentas
kesenian Lengger Tapeng Indro Cipto dan Jathilan Nglinggo. Sehingga tradisi
saparan dan merti dusun memiliki manfaat sebagai sarana untuk menjaga dan
melestarikan dan peninggalan bersejarah, sarana melestarikan budaya peninggalan
nenek moyang, sarana mengenalkan budaya dan tradisi kepada generasi zaman
sekarang serta sebagai sarana hiburan masyarakat.

8
Simpulan

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sejarah dan jutaan sejarah berada
di Indonesia. Di Yogyakarta saja cerita, peradaban, dan peninggalan sejarah sudah
sangat banyak. Kita sebagai generasi zaman sekarang bahkan hanya mengetahui
sedikit sejarah yang ada di sekitar kita dan kita cenderung kurang peduli tentang nilai
sejarah di sekitar kita. Maka dari itu, kita sebagai generasi zaman sekarang
hendaknya mempelajari sejarah yang ada di sekitar kita, menjaga, melestarikannya
sebagai cerita kepada anak cucu kita kelak sehingga kita di Bumi Indonesia betul-
betul tahu akan nilai sejarah yang ada di tempat kita. Jangan sampai kita kalah dengan
warga negara asing yang kagum akan sejarah dan kebudayaan Indonesia sementara
kita cenderung bersikap biasa saja. Ingat petuah mantan presiden kita yang pertama
JASMERAH ( JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH ).

9
Daftar Pustaka

Tidak menggunakan data pustaka dalam penulisan.

Daftar Informan atau Narasumber

Nama : Hendi Mensaleh

Alamat : Nglinggo Timur, Pagerharjo, Samigaluh, Kulonprogo, DIY

Usia : 35 tahun

Pendidikan terakhir : SLTA, sekarang menjabat sebagai dukuh Pedukuhan


Nglinggo Timur

10

Anda mungkin juga menyukai