Anda di halaman 1dari 21

TEORI KESANTUNAN BAHASA YASSI: PENUTUR

KONJO DI BULUKUMBA

ALFRIDHA DWI PUTRI

F022182008

POSTGRADUATE OF ENGLISH LEARNING STUDY

CULTURAL SCIENCE FACULTY

HASANUDDIN UNIVERSITY

2019
A. LATAR BELAKANG

Kajian tentang kesantunan dalam bertutur merupakan salah satu aspek


kebahasaan yang perlu diperhatikan seiring dengan kuatnya keinginan para
penutur bahasa untuk mencapai tujuan komunikasi yang efektif agar terhindar dari
kesalahpahaman. Di dalam komunikasi, peserta tutur tidak hanya dituntut
menyampaikan pesan tetapi juga berkomitmen untuk menjaga keharmonisan
hubungan dan senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan kata lain, peserta
didik memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga kesantunan (politeness) yang
merupakan tatacara, adat, atau kebiasaan yang ditetapkan dan disepakati bersama
oleh suatu masyarakat tertentu. Kesantunan erat kaitannya tata karma yang
penting dipahami bagi setiap orang yang kodratnya merupakan makhluk
berbahasa senantiasa beretika dalam melakukan komunikasi verbal.
Makalah ini mencoba mengkaji lebih dalam teori kesantunan Yassi dengan
menggunakan peserta tutur Konjo di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Teori
kesantunan Yassi merupakan hasil adaptasi dan pengembangan dari teori
kesantunan B&L (1978, 1987) dan S&S (1983, 1995) yang mengungkapkan
adanya perbedaan konsep kesantunan anatara budaya Eropa, Amerika dan Asia,
dimana budaya Eropa menekankan aspek jarak (distance), budaya Amerika
menekankan aspek keakraban (intimacy), sedangkan budaya Asia menekankan
aspek hormat (deference).

B. DATA DAN ANALISIS DATA


Berlandasan pada kerangka teori kesantunan Yassi, penulis
mengumpulkan data-data dari peserta tutur Konjo di Bulukumba yang terdiri dari
enam pola kesantunan Yassi yakni hormat tidak berkerabat dengan konfigurasi (-
P, +D, -K), hormat berkerabat dengan konfigurasi (-P, +D,+K), akrab tidak
berkerabat dengan konfigurasi (-P, -D,-K), akrab berkerabat dengan berkerabat (-
P,-D,+K), hirarki tidak akrab dengan konfigurasi (+P,+D,-K), dan hirarki
berkerabat dengan konfigurasi (+P,-D,+K) dimana P berarti kekuasan (power)
atau status sosial, D berarti jarak (distance), dan K berarti kerabat (kinship). Tanda
(+) berarti aspek atau karakter tersebut ada, sedangkan tanda (-) menunjukkan
bahwa karakter tersebut tidak ada.

1. Hormat tidak berkerabat (-P,+D, -K)


Dialog-dialog berikut menunjukkan pola strategi kesantunan hormat tidak
berkerabat:
a. Dialog antara penjual-pembeli yang baru bertemu di pasar
A. Ngura intu lamenu intu? (Bagaimana kondisi kentangmu itu?)
B. Nuballoi langganange. (Bagus semua, pelanggan)
A. Sikura sipakunni urang?(Berapa harganya jika sebanyak ini?)
B. Anampulo lima. Nampami isse rie. (Enam puluh lima ribu. Ini baru
datang (masih segar))
A. Pataralleminjo. (Saya ambil)

Dialog di atas merupakan dialog antara pembeli dan penjual di pasar yang
baru bertemu. Meskipun demikian, kedua penutur dari dialog tersebut
menggunakan strategi kesantunan positif yakni kasual dikarenakan kedua penutur
menginginkan adanya keakraban yang menguntungkan kedua belah pihak.
Penutur A menggunakan kata-kata kasual seperti -nu “mu” dan urang “teman”
dikarenakan adanya keinginan dianggap sebagai pelanggan bagi Penutur B
meskipun baru saja bertemu sehingga memberinya harga murah, dan benar saja
Penutur B menggunakan kata langganan untuk merespon tutur dari Penutur A
karena merasa akrab. Di sisi lain, hal ini dapat pula mengguntungkan Penutur B
dimana Penutur A merasa senang dan membeli jualannya.

b. Dialog antara penutur yang tidak saling mengenal tetapi beda usia
A. Bo, ngurako e? (Loh, kamu kenapa itu)
B. Iye? (Iya?)
A. Ngurako? (Kamu kenapa?)
B. Dappoa ri motoroa (Saya jatuh dari motor)
A. Te’ko dabbung? (Kamu jatuh dimana?)
B. Rate to’ji ri kampongku iye ri Lembang.(Di sana, di kampungku di
Lembang)
A. Te’ kampongnu do? (Dimana kampungmu)
B. Ri Campaga (Di Campaga)
A. Anakna Puang Juji inni do? (Ini anaknya Puang Juji?)

Pada dialog di atas Penutur A menggunakan bahasa kasual (kata nu dan


ko) meskipun mereka tidak saling mengenal sangat berbeda dengan Penutur B
yang lebih menggunakan bahasa hormat/sopan yakni kata Iye. Ini dikarenakan
Penutur A jauh lebih tua dibandingkan Penutur B. Dapat dikatakan bahwa pola
kesantunan dari dialog di atas dipengaruhi oleh adanya unsur senioritas.

c. Dialog antara penutur yang tidak saling mengenal dimana para penutur
merupakan tokoh masyarakat yang sangat dihormati dan masyarakat.
A. Tere pakuamo? (Jadi, bagaimana menurutmu?)
B. Punna jodoh injo Puang, siuppa to’ja. Nakke injo ji a’rakku Puang.
Rappakang ballaku inni tala maingpi. Akkekei pole pondasi daengku
inni. (Kalau begitu takdirku, Puang. Saya ikhlas. Itu saja keinginanku.
Lantai rumahku (rumah panggung) saja belum selesai, kakakku juga
lagi mengali pondasi)
A. Kau to’ji rurung kakangnu di? (Kamu berdua saja dengan kakakmu?)
B. Iye Puang. (Iya,Puang)

Pada dialog tersebut, Penutur A menggunakan strategi kesantunan kasual


(kau dan nu) berbeda dengan penutur B yang menggunakan strategi kesantunan
hormat/sopan seperti kata iye dan Puang. Ini dikarenakan Penutur A lebih tua
dibanding Penutur B, dan juga Penutur A merupakan tokoh masyarakat yang
sangat dihormati dan Penutur B bertindak sebagai masyarakat sehingga hanya
Penutur B yang menggunakan kesantunan hormat.
2. Hormat berkerabat (-P,+D,+K)
Dialog-dialog berikut menunjukkan pola strategi kesantunan hormat
berkerabat:
a. Dialog antara keluarga jauh yang seusia
A. Battua ri anu, ngalle kera. (Saya dari sana ambil kera (tanaman yang
tumbuh di dasar laut yang dapat dijadikan gelang/obat))
B. Kera? Lola kera? (Gelang kera)
A. Iya (Iya)
B. Pada lola na i Cali di? (Seperti gelangnya Cali kan?)
A. Iya (Iya)
B. Te’ nualle iya do? (Dimana kamu ambil?)
A. Te’ are ka ngalle bangsana injo a (Saya tidak tahu)
Dialog di atas merupakan dialog dimana penutur merupakan keluarga jauh
yang seusia. Kedua penutur masing-masing menggunakan kesantunan positif,
yakni menggunakan strategi kesantunan kasual dimana Penutur A menggunakan
kata Iya, kata tersebut merupakan kata kasual sebab dalam bahasa Konjo kata
hormatnya menggunakan kata Iye, begitupun Penutur B yang menggunakan
strategi kesantunan kasual dengan kata –nu untuk menyatakan “-mu”.
b. Dialog antara keluarga jauh yang lama tidak bertemu berbeda usia
A. Nginungko ere bambang e. (Silahkan kamu minum air hangatnya!)
B. Iye. Hebat inni kapan tau volli a. Tette appa’ minni kah? (Iya.
Kayaknya pertandingan volli di sana lagi seru, sudah jam empat belum
selesai)
A. Nai? (Siapa)
B. Njo rate volli a. (Itu di sana yang tanding volli)
A. Sikura besar mi injo do?(Sudah berapa besar itu?)
B. Empat besarmi inni bede (Katanya sudah empat besar)
Tutur yang digunakan oleh peserta tutur A cenderung menggunakan
kesantunan positif, yakni –ko “kamu” berbeda dengan peserta tutur B yang lebih
menggunakan kesantunan negatif iye “Iya”. Ini dikarenakan para peserta berada
pada tingkat usia berbeda dimana peserta tutur A jauh lebih tua dibanding peserta
tutur B dan mereka merupakan keluarga jauh yang sudah lama tidak bertemu.
c. Dialog penutur yang merupakan keluarga yang sudah lama tidak bertemu.
A. I nai isse areng lengkapna i Fajar? (Siapa lagi nama lengkapnya
Fajar?)
B. Fajar Indra Guna
A. Sikura umuru’na injo do? (Berapa umurnya?)
B. 15/2/2004
A. Sikura? (Berapa?)
B. Tanggala 15 bulan dua 2004 nalahir (Dia lahir tanggal 15 bulan 2
tahun 2004)
A. Alamat desa Batang mo di? (Desa Batang saja alamatnya ya?)
B. Iyo desa Batang, tempat lahirna iya Bulukumba (Iya, desa Batang.
Tapi tempat lahirnya di Bulukumba)
A. Iye, iye. Nampami kusuro ketik rolo (Iya, baru saya suruh ketik)
B. O Ita, rurungko ammaknu kalau ri Cuki ka injo bede SMA nubiasa
bede anda terima kapala sikolana mingka punna komite iya biasa
tappa ri anuja (O Ita, kamu sama mamamu ketemu dengan Cuki
karena katanya Kepala Sekolah SMA itu tidak bisa menerima siswa
baru tetapi kalau komitenya biasanya bisa menerima)
A. Iye…iye…iye (Iya)
Seperti terlihat di atas, kedua penutur menggunakan strategi kesantunan
yang berbeda, dimana Penutur A cenderung menggunakan strategi kesantunan
negatif dengan menggunakan kata iye bukan iyo yang lebih kasual. Sedangkan
Penutur B lebih menggunakan strategi kesantunan positif dengan menggunakan
kata iyo, Ita (langsung menggunakan nama),-ko, dan –nu. Penggunaan nama
secara langsung dalam dialog menunjukkan strategi kesantunan yang digunakan
lebih kasual dan tidak sopan. Dalam strategi kesantunan yang hormat biasanya
menggunakan kata gittte, bukan menyatakan nama secara langsung. Bisa saja,
penutur menggunakan nama dalam strategi kesantunan negatif tetapi di depan
nama tersebut sebaiknya menggunakan sapaan seperti kak, puang, tata, atta,
ataupun daeng.

3. Akrab tidak berkerabat (-P,-D, -K)


Dialog-dialog berikut menunjukkan pola strategi kesantunan akrab tidak
berkerabat:
a. Dialog peserta tutur yang bersahabat dan seusia
A. Te’i Fajar? Telpon sai Ippan. (Fajar lagi dimana ya? Coba kamu
telepon, Ippan!)
B. Bagaiyya sallo nakua a’ra risuro toa’ deh.Malas a. (Nanti dia
beranggapan saya mau dijenguk deh, malas)
A. Nu anre ja intu Fajar di. (Fajar tidak begitu orangnya)
B. Iya to’ji janjia sianggi (Dia sendiri yang janji saya semalam)
A. Iya minjo (Nah itu)
B. Sikarie pale nakua hampir pi maghrib ka beru baunga. (Eh kemarin
deh, dia bilang nanti hampir maghrib baru datang karena baru bangun
tidur)
A. Te’ko sianggi do? Battu kunni a nah. (Kamu dari mana semalam?
Saya dari sini semalam)
B. Ri stadion nga nonton PSM (Saya menonton PSM di depan stadion)
A. Mallinga attajang kunni (Saya lama menunggu di sini)
B. Masa?
A. Serius demi Allah
B. Kukua rie jako, andako balasai (Saya kira kamu aktif ri WA tapi kamu
tidak mau membalas/mengabari)
A. Kau intu tala nubalasai (Kamu itu yang tidak mau mengabari)
B. Tala nuitte status ku bajua sumpae a? (Kamu tidak lihat status yang
kubuat tadi?)
Dialog di atas merupakan interaksi antara dua orang saling mengenal dan
seusia, dimana kedua penutur menggunakan bentuk ragam tutur yang lebih kasual,
misalnya pengunaan sapaan dengan nama “Ippan”, -ko, ku, dan –nu. Seperti
dijelaskan di atas penggunaan nama secara langsung lebih cenderung tidak sopan
atau kasual, oleh sebab itu diperlukan kata daeng, atta, tata, kak ataupun puang
sebelum menyatakan nama seseorang untuk menunjukkan kesantunan yang
negatif atau hormat/sopan.
b. Dialog antara dua orang sahabat tidak seusia
A. Iya…i Appung.(Iya, Appung)
B. Battu te’ki? (Darimana anda?)
A. Battu a ngalle oto (Saya dari ambil mobil)
B. Oh pakunjo? (Oh begitu)
A. Iyo (Iya)
B. Gitte intu do (Begitu ya anda)
Tutur di atas dilakukan dua orang yang berteman akrab namun tidak
seusia. Terdapat ragam strategi kesantunan pada tutur di atas, dimana Penutur A
cenderung mengunakan sapaan nama secara eksplisit, dan kata Iyo “Iya”
menunjukkan bahasa kasual berbeda dengan Penutur B yang menggunakan
strategi kesantunan negatif dengan menggunakan bahasa hormat/sopan seperti –ki,
dan gitte. Situasi seperti ini tidak bersifat umum, sebab ada beberapa penutur
Konjo di Bulukumba tetap menggunakan strategi kesantunan positif kepada teman
akrab/sahabat meskipun mereka berbeda usia dikarenakan faktor kebiasaan atau
didikan dari keluarga yang menganggap jika hubungan teman akrab/sahabat
adalah strata yang sama meskipun adanya perbedaan usia.
c. Dialog antarpeserta tutur yang bersahabat sejak kuliah dan sudah lama
tidak bertemu
A. Nakke inni naung ponakanku bolongmi (Keponakan saya ini sudah
hitam)
B. Ngurai? Sanging lampai sallu? (Kenapa? Apa dia sering berenang?)
A. Ande’i suangi lampa lambara lalangallo sassa’na alloyya,
palambarai. (Tidak, dia sering pergi pada siang hari)
B. E purinanna injo naussere (Dia seperti tantenya)
A. Hahaa, anrong…anre pole nakke kodong. Nakke kodong mulianga ri
sikola mange ri sapo. Maingi ri sapo lampase ngajara ngaji. Muliang
battu ngajara ngaji ri sapo pole. Ande pole a’lambarai mange-mange.
(Haha, saya tidak begitu. Dari sekolah saya langsung pulang ke rumah,
setelah itu saya pergi mengajar mengaji, setelah mengajar mengaji
saya kembali pulang ke rumah. Saya tidak pergi kemana-mana)
B. Heemm…
A. E mintodo, biasa lampa sore-sore jari le’lengi tanga rupayya. Anremo
intu pole attasa (Serius, saya biasanya pergi pas sore hari sehingga
wajah saya belang. Sudah jelek dilihat)
B. Anre pole ka injo todo anging tamparanga he (Bukan hanya itu, faktor
angin laut pun penyebabnya)
A. E anu a’de. E langkaraja ansulu mae nampang kuisse ansulu
ribanggina (Ah tidak, saya jarang keluar rumah, baru kali ini saya
keluar malam)
B. Oh di luarki itu? (Oh anda di luar sekarang?)
A. Iye (Iya)
B. Di luar rumah atau di luar…?
A. Di luar di rumahnya kakakku. Di rumah di luar do. Kalampaki lalang
intu andekki carita pakunni. Nu anu i jaringan iya terhalangi (Di luar,
di rumahnya kakak saya. Di rumah di luar (di pinggir pantai). Sebab
jika saya di dalam kita tidak bisa cerita seperti ini karena terhalang
sinyal)
B. Asik…terhalang apasse? (Terhalang apa lagi?)
A. Tassangkalai ri anu ri pohon jati (Sinyal tersangkut di pohon jati)
B. Oh haha… gitte ka bajuki kuntu penangkap sinyal (Oh hahaha…anda
seharusnya menyediakan penangkap sinyal)
A. Baju paki kedde tower di? (Sediakan tower ya?)
B. Tower kedde khusus di belakang rumahta (Tower khusus rumah anda)
A. Aduh kodong (Aduh kasihan)
B. I Nisma inni antere iya? Biasa kuitte di storyna Betty, i Nisma
(Sekarang Nisma ada dimana? Saya biasa melihatnya di storynya
Betty)
A. Nisma? Isse’i rahaji ri Bulukumba inni, ka rialloyya ri naungku ri
Bulukumba, raha ri Bulukumba siurang Betty. (Nisma? Saya tidak
tahu, mungkin ada di Bulukumba, sebab ketika saya ke (kota)
Bulukumba, dia ada bersama si Betty)
B. Umm… sanging kuitte lalang ri story na Betty. Ku kua sanging rurung
to inni, i Betty resign i ri Indosat (Oh iya, sering saya lihat di storynya
Betty. Saya beranggapan dia sering bersama Betty, Betty sudah resign
di Indosat)
A. Angngura injo resign isse? Tere isse sekarang anjamakah? (Kenapa
dia lagi resign? Dimana sekarang dia bekerja?)
B. Ande kuisse inni, sumpae kuitte stroyna maingi baju SKCK (Saya tidak
tahu, saya cuma lihat storynya, dia sudah mengurus SKCK)
Pada dialog di atas kedua penutur masing-masing menggunakan pola
kesantunan campuran yakni pola kesantunan negatif dan positif. Pola kesantunan
negatif dapat dilihat secara eskplisit dengan penggunaan kata iye (Penutur A),
sufiks -ki, gitte, dan –ta (Penutur B) yang merupakan bahasa sopan. Adapun
kesantunan positif dapat terlihat apabila dialog tersebut diamati lebih dalam.
Terdapat kalimat kasualitas yang digunakan oleh kedua penutur, seperti pada
kalimat-kalimat “Tere isse sekarang anjama kah?” yang merupakan kalimat tanya
terkesan kurang sopan yang diutarakan oleh Penutur A. Dalam bahasa Konjo di
Bulukumba, kalimat tanya yang terkesan sopan biasanya seperti ini “Tere isse
sekarang anjama intu do?”. Penggunaan kata tanya kah pada tuturan tersebut
terkesan bersifat kasual dan biasanya digunakan oleh penutur yang telah merasa
sangat akrab terhadap lawan bicaranya tanpa memikirkan unsur senioritas ataupun
superior. Pada tuturan tersebut, kata tanya kah memiliki persamaan kesantunan
pada tuturan “iyo kah?”, “kenapa kah?” yang merupakan logat dari Sulawesi
Selatan. Demikian pula pada Penutur B yang menyatakan kalimat “E purinanna
injo naussere” yang memiliki makna mengejek meskipun dalam konteks
bercanda. Tentu saja pernyataan seperti itu sangat bersifat kasualitas dan tidak
memiliki unsur sopan sama sekali.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kedua penutur pada dialog tersebut
menggunakan pola santunan campuran meskipun keduanya merupakan sahabat
yang sangat akrab dikarenakan adanya jenjang waktu yang cukup lama untuk
berkomunikasi kembali dan juga kedua penutur merupakan orang-orang yang
educated sehingga menggunakan sapaan sopan seperti gitte.

4. Akrab berkerabat (-P,-D,+K)


Dialog-dialog berikut menunjukkan pola strategi kesantunan akrab
berkerabat:
a. Dialog penutur yang merupakan kakak-adik kandung
A. Injo lalang Agung, anuna i Upi allemi. (Agung, kamu ambil saja jam
tangannya Upi)
B. Tere’i do? (Dimana jam tangan itu?)
A. Anu mami pasekkona (Kamu ganti saja talinya)
B. Tere’i do kak Appung? (Ditaruh dimana kak Appung?)
A. Raha injo kapan ri balla (Kayaknya di rumah (di kota))
Meskipun berada dalam kongfigurasi kesantunan akrab (solidarity
politeness system), pola kesantunan strategi yang ditunjukkan oleh kedua peserta
tutur masih terlihat asimetris. Penutur A pada umumnya menggunakan pola
sapaan yang lebih kasual yakni menyebutkan nama lawan penuturnya secara
eksplisit “Agung”, sebaliknya Penutur B lebih menggunakan pola sapaan lebih
hormat “kak Appung” yang menunjukkan bahwa Penutur A lebih tua dibanding
Penutur B. dialog tersebut adanya unsur senioritas walaupun penutur merupakan
saudara kandung.
b. Dialog antara kakak-adik bersepupu
A. Murni
B. Iye (Iya)
A. Ngalle mamiko ndi (Kamu ambil saja itu)
B. Ngurai? (Kenapa?)
A. E ne’ne (Nasi jagung)
B. Anre to kuisse bajui (Saya juga tidak tahu cara masaknya)
Dialog di atas menunjukkan adanya hubungan asimetris di antara penutur.
Penutur A menggunakan strategi kesantunan campuran, pada baris pertama
Penutur A menggunakan sapaan nama tanpa kata kak atau daeng dan kata suffiks
–ko yang menunjukkan strategi kesantunan positif. Namun pada kalimat “Ngalle
mamiko ndi”, terdapat sapaan kesantunan negatif, yakni kata “ndi” dimana dalam
bahasa Konjo dikategorikan sebagai sapaan hormat/sopan terhadap seseorang. Ini
menunjukkan Penutur A menggunakan dua strategi kesantunan yakni kesantunan
positif dan negatif. Berbeda dengan Penutur B lebih konsisten menggunakan
strategi kesantunan negatif yaitu menggunakan kata “Iye”.
Faktor yang mempengaruhi adanya gabungan strategi kesantunan tersebut
dikarenakan hubungan para penutur akrab dan ditanamnya sikap saling
menghormati meskipun adanya unsur senior-junior, selain itu dilihat dari segi
usia, para penutur memiliki usia tidak jauh berbeda satu sama lain.
c. Dialog antara saudara ipar
A. Iye halo (Iya halo)
B. Rie bede cariana Puang Muji ta lima sa’bu. Alleang sai a rua panteng
(Katanya Puang Muji menjual ikan teri lima ribu rupiah. Belikan saya
dua liter!)
A. E tala ganna i doi’ku di patassa’bu mami do’iku ndeke e (Uang saya
tidak cukup, ini sisa empat ribu rupiah)
B. Sembarangmo, nginrang mako rolo ri Asni, sadapi kusareang doi’na.
Sembarangmo nupinrangia rolo (Terserah, kamu pinjam saja sama
Asni nanti sebentar saya kembalikan uangnya. Terserah sama siapa
saja kamu pinjami)
A. Inai kua do? (Siapa yang beri informasi?)
B. I Juho (si Juho)
A. Iye. (Iya)
Strategi kesantunan dari tuturan di atas menunjukkan penutur Konjo di
Bulukumba tetap menjunjung kesopanan meskipun kedua penutur menggunakan
kalimat perintah dan pernyataan secara eksplisit seperti “Alleang sai a rua
panteng” dan “E tala ganna i doi’ku di patassa’bu mami do’iku ndeke e”. Penutur
A tetap menggunakan kata hormat/sopan “Iye” untuk merespon tutur dari Penutur
B yang lebih cenderung menggunakan kata yang bersufiks “–ko” yakni kata
kasual pada kalimat “nginrang mako rolo ri Asni”. Ini dipengaruhi karena kedua
penutur berada pada jenjang usia berbeda dimana Penutur A lebih muda dibanding
Penutur B meskipun mereka saudara ipar dan sudah menikah.

5. Hirarkhi tidak berkerabat (+P,+D,-K)


Dialog-dialog berikut menunjukkan pola strategi kesantunan hirarkhi tidak
berkerabat:
a. Dialog atasan-bawahan yang berbeda usia
A. Assalamu’alaikum
B. Wa’alaikum salam
A. Salah kirimko kapan injo nu anu a, injo nureturn a anu? (Kamu
kayaknya salah kirim itu paket, yang kamu return)
B. Iye? (Iya (Kenapa)?)
A. Rie kuitte ri kartu kredit a. Anre nuanui anunu do? (Ada saya liat
kartu kredit, kamu tidak cek hapemu?)
B. Apa iya do? Ka untuk Mangkasara toh? (Apa? Bukannya untuk pihak
Makassar?
A. Nukirim i lampa ri Bone (Kamu kirim ke Bone)
B. Jari?Astagfirullah! (Jadi? Astagfirullah!)
A. Apa injo do? Na kua mau return ke Jakarta itu (Bagaimana
sebenarnya, (pihak Makassar) bilang mau return ke Jakarta itu)
B. Maksudna antere pakua injo? Gittemo angkuai pak untuk Watampone
semua (Maksudnya bagaimana? Anda saja pak yang bilang untuk
Watampone semua)
A. Oh untuk Watampone semua
B. Iye (Iya)
A. Cocok minjo (Sudah cocok itu)
B. Mingka apa intu komen i, Mangkasara? (Tapi pihak mana yang protes,
Makassar?
A. Anre kuisse injo angkua nai inni ka anre andeke arengna. I anu inni
pak Rofi’ih (Saya tidak tau siapa karena tidak ada namanya di sini.
Saya cuma dapat informasi dari pak Rofi’ih)
B. Bilang itu pak untuk Watampone! (Sampaikan ke dia kalau itu untuk
Watampone!)
A. Ngura na anu? (Tapi kenapa?)
B. Maksudnya injo toh, intu paket battue ri Jakarta untuk Watampone
kedde mingka lante kunni (Maksudnya, sebenarnya paket itu dari
Jakarta untuk Watampone tapi tiba di sini)
A. Oh nyasar i? (Oh nyasar?)
Dialog di atas merupakan dialog antara atasan dan bawahan yang
menunjukkan pola strategi kesantunan yang berbeda. Terdapat keunikan dari
dialog tersebut dimana Penutur A (bawahan) lebih konsisten menggunakan pola
kesantunan positif kepada Penutur B yang merupakan atasannya. Penutur A
menggunakan sapaan kasual seperti sufiks –ko dan –nu dan prefix nu-, selain itu
Pihak A juga menggunakan kalimat langsung ketika bertutur kepada Penutur B
seperti “salah kirimko kapan injo nu anu a”, “anre nuanui anunu do?” dan
“Nukirim i lampa ri Bone” yang jika dilihat kembali kalimat-kalimat tersebut
lebih bersifat kasual. Sebaliknya Penutur B yang selaku atasan lebih cenderung
menggunakan pola kesantunan negatif, ditandai dengan kata iye, gitte dan pak
yang menunjukkan kesantunan hormat/sopan kepada Penutur B selaku
bawahannya. Situasi seperti ini sangat tidak lazim dikarenakan superior
seharusnya yang lebih cenderung menggunakan pola kesantunan kasual terhadap
inferior, dimana superior adalah atasan dan inferior adalah bawahan. Faktor apa
yang mempengaruhi sehingga terjadi demikian? Ternyata faktor senioritas yang
melatarbelakangi situasi tersebut, dimana Penutur A (bawahan) jauh lebih tua
dibanding Penutur B (atasan) sehingga terjadi ketidak laziman pada dialog
tersebut. Namun, jika diteliti lebih jauh dialog tersebut, meskipun Penutur B
(atasan) menggunakan pola kesantunan hormat/sopan terhadap inferior si penutur
tetap menunjukkan ketegasan sebagai atasan terhadap Penutur A, dapat dilihat
pada kalimat perintah secara langsung “bilang itu pak untuk Watampone!” yang
menunjukkan kasualitas. Jadi dapat dikatakan bahwa Penutur B (atasan)
menggunakan pola kesantunan campuran meskipun pada akhirnya lebih
cenderung menggunakan pola kesantunan negatif ditandai dengan lebih
banyaknya penutur menggunakan kata-kata yang bersifat hormat/sopan yakni kata
iye, gitte dan pak dan juga adanya kalimat perintah tidak langsung, yakni
“Gittemo angkuai pak untuk Watampone semua”. Berdasarkan uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa meskipun penutur bertindak sebagai superior tidak
mesti menggunakan pola kesantunan positif terhadap inferior, begitupun
sebaliknya jika pengaruh senioritas ikut andil dalam sebuah tuturan.
b. Dialog antara senior-junior
A. Apamo i anu ini, anre mo tole ini? (Aduh kenapa ini tidak ada rokok?)
B. Eh baki ki inni (Eh, lagi tidak punya uang ini)
A. Ngurako na baki? Ako kua i baki! (Kenapa kamu tidak punya uang?
Tidak boleh bicara seperti itu)
B. Baki ki ka lanying napakaua doi’ panai’(Tidak ada, karena semua
uang sudah dipakai untuk uang panai’)
A. Sikura do nupanai? (Berapa uang panai’ yang kamu keluarkan?)
B. Iye, annang pulo lima bilanganna. Jaki sanna kaluru, bahaya intu
(Iya, enam puluh juta lima ratus ribu. Anda jangan keseringan
merokok, berbahaya!)
A. Allo apa pestanu? (Hari apa pesta pernikahanmu?”
B. Iye, tanggala rua pulo annang do. Allo apa njo? (Iya, tanggal dua
puluh enam. Hari apa iya itu?)
A. Allo Sabtu (Hari Sabtu itu)
Strategi kesantunan pada kedua penutur di atas berbeda dimana Penutur A
lebih cenderung menggunakan bahasa kasual yaitu kata yang menggunakan sufiks
–ko dan prefix nu-, selain itu Penutur A juga menegur Penutur B secara eksplisit
yaitu menggunakan kalimat “Apamo i anu ini” yang menunjukkan adanya sikap
ketidaksopanan dan menggunakan kata anu yang merupakan kata tidak hormat
terhadap seseorang. Ini dikarenakan Penutur A merupakan senior (lebih tua).
Dibandingkan dengan Penutur B yang lebih cenderung menggunakan pola
kesantunan hormat dengan menggunakan kata “Iye” dan juga menggunakan
kalimat larangan yang masih dalam tingkat hormat karena menggunakan suffiks –
ki pada kalimat “Jaki sanna kaluru” ini dikarenakan Penutur B merupakan junior
(lebih muda)
c. Dialog senior-junior yang bertetangga
A. Kau Nuni, larimi erenu? (Kamu Nuni, sudah mengalir airmu?)
B. Anrepa na lari (Belum)
A. Iyo akomo rolo hojai punna tala larinaja (Iya jangan dulu periksa
kalau belum mengalir)
B. Gitte ritambungi tala maingpi ri leng (Anda menumpuknya meskipun
belum dilem (diperbaiki))
A. Akomo pasilolongngangi ri ke’kesse ji injo iya. (Tidak usah urusi itu
nanti digali kembali pipanya)
Dialog di atas merupakan dialog antara tetangga yang memiliki perbedaan
usia yang cukup jauh. Meskipun kedua menunjukkan keakraban dengan saling
menegur satu sama lain, namun Penutur B lebih memilih pola kesantunan negatif
dimana menggunakan kata gitte yang menunjukkan kata “Ánda” berbeda dengan
Penutur A yang menyatakan nama lawan bicaranya secara eksplisit dan
menggunakan kata kau dan iyo. Ini menunjukkan kedua penutur tetap
memperhatikan pola kesantunan pada senior-junior meskipun kedua penutur
sudah lama bertetangga dan akrab.

6. Hirarkhi berkerabat (+P,-D, +K)


Dialog-dialog berikut menunjukkan pola strategi kesantunan hirarkhi
berkerabat:
a. Dialog antara ibu-anak
A. Tereki Ma? (Mama dimana?)
B. Ngurako? (Kamu kenapa?)
A. Tereki? (Anda dimana?)
B. Dekeja ri balla, mene-mene (Saya di rumah, lagi tiduran)
A. Apa ri haju? (Lagi bikin apa?)
B. Beru lampa injo tau Kajangnga, i Azka, Puang Nommanu, Mutia (Baru
saja pulang keluarga dari Kajang, Azka, Puang Nommamu, Mutia)
A. Oh rie i Puang Nomma? (Oh Puang Nomma datang?)
B. Iyo rie na anu i ibu, la ta po’rong (Iya, dia menjenguk ibu (nenekmu),
dan duduk-duduk santai)
A. Maingmi injo na rio? (Apa (nenek) sudah mandi?)
B. Maingmi rio ri ele na tette simpulo, beru maing injo rio na riei (Sudah,
dia mandi jam sepuluh tadi, baru saja sudah mandi mereka pun datang)
A. Nai rio i? (Siapa yang mandikan (nenek)?)
B. Nakke to ji siparua (Saya berdua (dengan tettamu))
Seperti yang terlihat di atar Penutur B (Ibu) lebih cenderung menggunakan
pola kesantunan positif yakni menggunakan sapaan kasual seperti kata ngurako
dan kata iyo. Ini dikarenakan Penutur B bertindak sebagai superior. Di sisi lain
Penutur A menggunakan kesantunan negatif dengan menggunakanan kata yang
berakhiran –ki dan menggunakan panggilan Ma yang berarti “Mama”. Ini sedikit
berbeda dari penelitian Yassi (2017) yang menyatakan bahwa penutur B (Ibu)
biasanya akan menggunakan ragam pola kesantunan, yakni pola kesantunan
positif dan negatif dikarenakan selain bertindak superior yang memiliki kekuasaan
atau kewenangan terhadap anak sehingga menggunakan bahasa kasual, ibu juga
berperan sebagai model yang ideal terhadap anaknya termasuk memberikan
edukasi tentang bertutur hormat dalam berkomunikasi. Pada dialog di atas itu
tidak berlaku, Penutur B (Ibu) cenderung konsisten menggunakan pola kesantunan
positif, dikarenakan Penutur A (anak) sudah dewasa dan menikah sehingga
Penutur A sudah tidak perlu diajarkan kembali mengenai tutur hormat ketika
berkomunikasi dengan siapa saja.
b. Dialog antara nenek-cucu
A. Nu isse ji do? (Kamu tahu kan?)
B. Iye (Iya)
A. Uhu’ja nassui? Pina’nai’ nak! (Tidak ada suara bocor kan? Perhatikan
baik-baik nak!)
B. Ndak (Tidak kok)
A. Iya minjo nakua Puang Accenu, manna apa kusuroi ampunngku nak
(Itulah yang Puang Accemu bilang, biar apa yang saya suruh kamu
nak)
Pada dialog 6(b) berbeda dengan dialog 6(a) dimana superior
mengunakan dua pola kesantunan terhadap inferior. Penutur A menggunakan pola
sapaan campuran yakni nu berarti “Kamu” menunjukkan kasualitas dan “nak”
yang menunjukkan bahwa meskipun Penutur A menyatakan kalimat perintah tetap
dalam pola sopan agar inferior merasa dihormati dan dihargai. Dialog 6(b)
menegaskan teori Yassi (2017) yang menyatakan bahwa superior dapat bertindak
sebagai model yang ideal bagi inferior dalam berkomunikasi sehingga cenderung
menggunakan pola kesantunan campuran. Ini dipengaruhi karena inferior (Penutur
B) masih berusia remaja dan belum menikah sehingga masih sangat perlu
dibimbing mengenai pola kesantunan yang baik dalam berkomunikasi terhadap
siapa saja. Di sisi lain Penutur B yang bertindak sebagai inferior konsisten
menggunakan pola hormat/sopan terhadap superior, dikarenakan sudah menjadi
fenomena lazim (unmarked)
c. Dialog antara suami-istri berbeda usia
A. Hatang kalea’a mangngang do (Saya sangat capek ini)
B. Mangngang nguraki? (Kenapa bisa capek?)
A. Siangngi tala mainga tinro, sumpae anre kumaing tinro. Karena apa,
kupikirikanki do, masalah kuliahta do (Semalam saya tidak bisa tidur,
tadi pun demikian. Karena saya pikirkan masalah biaya kuliah anda)
B. Apa ripikirkan injo do kalohe kamua ripikkiri do (Jangan terlalu
banyak dipikirkan!)
A. Masalah hidup a do macca, nu are’ pole apa (Masalah hidup kita ini,
kamu kira apa?)
B. Nguraki na emosi kamua? (Kenapa anda emosi?)
A. Anre do gitte sanging kuta’nangi mo naung, pusinga inni masalah
gajiku, tala mainga ri…… uh kusa’ring (Bukan begitu, anda selalu
bertanya, saya ini pusing masalah gaji saya yang belum (dibayar))
B. Ka akimo kunjoi jama do (Kalau begitu anda tidak usah kerja di situ)
A. Anre mo maraeng jamang (Sudah tidak ada kerjaan lain!)
B. Rie intu loker (Ada loker kok)
A. Tere? (Dimana?)
B. Alfamart
A. Padaki pole bencong (Sama halnya bencong)
B. Oh injo taua nujama ri alfamart bencong do? Ka gitte andaki lampa ri
Mangkasara, kutehaki anda to’ki (Oh jadi yang kerja di sana bencong?
Anda juga yang tidak mau ke Makassar, saya ajak anda tidak mau)
A. Bagaiyya kodong tappela (Nanti saya hilang)
B. Eh talangura…(Itu bukan masalah besar)
Strategi kesantunan campuran juga berlaku pada dialog 6(c) dimana
Penutur A (suami) menggunakan bahasa sopan dan kasual meskipun bertindak
sebagai superior berbeda dengan Penutur B (istri) konsisten menggunakan bahasa
sopan/hormat. Namun jika diteliti lebih lanjut dialog di atas, tutur Penutur A lebih
banyak menggunakan pola kesantunan negatif dibanding positif. Seperti yang
terlihat superior (suami) lebih banyak menggunakan sapaan sopan seperti –ki, -
ta dan gitte dibanding sapaan yang bersifat kasualitas yakni –nu. Tidak hanya itu,
jika dilihat dari pernyataan lengkapnya “Masalah hidup a do macca, nu are’ pole
apa” Penutur A sebenarnya berusaha tetap menggunakan kesantunan sopan
ditandai dengan kata “macca” dimana antonim kata tersebut dalam bahasa Konjo
adalah “bagga” yang memiliki makna tidak sopan. Namun Penutur A dipengaruhi
oleh perasaan amarah yang memuncak sehingga menggunakan kata nu pada
kalimat “nu are’ pole apa”, dimana kesantunan negatif bahasa Konjo dari kata nu
dapat berupa di atau ri sebagai contoh ri are’ pole apa. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi superior memiliki sifat yang sama dengan inferior (Dialog 6c)
meskipun kedua penutur berbeda usia (suami lebih tua dari istri) dalam
menggunakan pola kesantunan, seperti superior telah terdidik sejak dini untuk
bertutur sopan terhadap siapa saja dan dimana saja, adanya rasa saling
menghormati dan mengasihi antara superior dan inferior seperti diketahui
hubungan kedua penutur adalah suami-istri, dan juga superior (suami) menjadi
model ideal bagi inferior dalam bertutur kata dalam kondisi apapun. Jadi dapat
dikatakan tidak hanya Ibu (dan atau ayah) yang bertugas menjadi model ideal bagi
inferior tetapi pasangan hidup pun demikian. Namun, ini tidak bersifat umum bagi
semua penutur Konjo di Bulukumba dikarenakan masih ada beberapa superior
(suami) yang konsisten menggunakan pola kesantunan positif terhadap inferior
(istri). Bisa saja ini dipengaruhi oleh didikan atau kebiasaan dari penutur itu
sendiri.

C. PEMBAHASAN
Berdasarkan penjelasan dari data analisis tersebut, pola kesantunan yang
digunakan peserta tutur Konjo di Bulukumba lebih dipengaruhi oleh konsep hidup
penutur Konjo itu sendiri dimana lebih mengedepankan rasa kekeluargaan dan
keramahtamahan selain sikap saling menghormati satu sama lain. Ini dapat dilihat
pada sistem hormat tidak berkerabat, dari ketiga dialog tersebut menunjukkan
beberapa penutur lebih cenderung menggunakan pola kesantunan yang lebih
kasual meskipun tidak mengenal satu sama lain. Hal ini disebabkan karena adanya
prinsip keramah tamahan terhadap siapa saja agar tidak terciptanya jarak di antara
kedua penutur, seperti pada dialog 1(a) yang menggunakan bahasa kasual agar
terciptanya keakraban satu sama lain yang dapat menguntungkan kedua belah
pihak. Meskipun demikian, masih ada beberapa peserta tutur yang menggunakan
kesantunan lazim karena adanya rasa menghormati dan unsur senioritas, seperti
pada dialog 1(b) dan 1(c).
Pada peserta yang memiliki hubungan hormat berkerabat lebih
mengedepankan unsur senioritas sehingga peserta tutur yang lebih muda
cenderung menggunakan pola kesantunan negatif dibanding dengan peserta tutur
yang lebih tua yang menggunakan kasualitas dalam bertutur dikarenakan adanya
tekanan dengan ajaran sejak kecil untuk menghormati orang lebih tua. Hal ini pula
berlaku pada sistem hubungan akrab tidak berkerabat dan berkerabat yang
dipengaruhi oleh unsur senioritas meskipun peserta tutur yang berteman akrab
maupun kakak-adik, selain itu juga ada beberapa peserta tutur yang menggunakan
pola kesantunan campuran karena dipengaruhi oleh rasa hormat (dialog 4b)
meskipun si penutur lebih tua dan educated seperti pada dialog 3(c) dimana
peserta tutur menggunakan campuran meskipun sahabat. Beberapa data tersebut
menunjukkan adanya fenomema tidak lazim (marked).
Pada hubungan hirarki tidak berkerabat pun tidak luput dari unsur
senioritas meskipun penutur merupakan superior tetap menggunakan kesantunan
hormat terhadap inferior dikarenakan adanya perbedaan usia dimana superior
lebih muda dibandingkan inferior (dialog 5a). Sebaliknya, pada hirarki berkerabat
penutur superior cenderung menggunakan kesantunan kasual terhadap inferior,
begitupun penutur inferior yang menggunakan pola kesantunan negatif terhadap
superior. Namun, pada hubungan hirarki berkerabat fenomenal tidak lazim
kembali terjadi dimana beberapa penutur menggunakan pola kesantunan
campuran khususnya pada pihak superior terhadap inferior. Hal ini dipengaruhi
karena adanya kriteria tertentu seperti inferior belum dewasa dan atau belum
menikah (dialog 6b) dan adanya saling menghormati sama lain (dialog 6c) dengan
tujuan sebagai model dalam memberikan ajaran kepada inferior agar inferior
dapat mengamalkan tutur bahasa yang baik kepada siapa saja dan dimana saja.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori
kesantunan Yassi juga berlaku pada peserta tutur Konjo di Bulukumba yakni
aspek kekerabatan dan perbedaan usia sangat berperan penting dalam budaya
Konjo di Bulukumba.

REFERENSI:

Yassi, Abdul Hakim. 2017. Ancangan Model Kerangka Teori Kesantunan yang
Efektif Mengkaji Budaya Bahasa-Bahasa Warisan di Asia: Review
terhadap Keuniversalan Kerangka Teori Kesantunan Brown & Levinson.
Linguistik Indonesia, Februari 2017, 159-186

https://blog.ub.ac.id/widusa/2012/06/18/makalah-kesantunan-berbahasa/ diakses
pada tanggal 26 Oktober 2019, pukul 21.55

Anda mungkin juga menyukai