Anda di halaman 1dari 14

Di awal millenium ini dunia sedang menghadapi beberapa persoalan besar yang saling terkait satu sama lain

dalam satu jalinan permasalahan yang kompleks. Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan hanya
dengan mengandalkan satu bidang keahlian saja, tanpa mengubah secara mendasar cara kita memandang
persoalan tersebut. Cara berpikir sistem adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memandang
persoalan secara lebih holistik.

Latar Belakang
Setelah dua ribu tahun yang tercatat dalam penanggalan, dunia ini telah mengalami perubahan besar di segala
bidang kehidupan. Kemajuan teknologi secara signifikan telah menjadikan dunia terhubung dalam suatu
jaringan informasi yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan orang di belahan dunia yang lain dalam
hitungan detik, memberikan pemahaman bahwa bumi hanyalah setiik air di tengah lautan tata surya yang maha
luas, memungkinkan orang tahu bahwa di dalam segenggam tanah di hutan tropis Amazon terkandung beraneka
ragam spesies bakteri yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada populasi seluruh umat manusia di dunia ini.

Kemajuan ini bukannya tidak berdampak. Kemiskinan sebagai ekspresi dari kesenjangan dan ketidakadilan
sosial dan kerusakan lingkungan besar-besaran adalah salah satu potret umum yang terjadi di negara-negara
yang melakukan pembangunan. Setelah melakukan pembangunan dengan sukses yang tampak dalam GNP dan
GDP, ternyata pembangunan menyisakan berbagai persoalan seperti hutang luar negeri yang tak terbayar,
kerusakan hutan, berkurangnya sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui, berkurangnya kualitas sumber
daya alam yang dapat diperbaharui, meningkatnya kesenjangan sosial, meningkatnya kemiskinan, pelanggaran
HAM, perang, dan akumulasi kapital dunia ke tangan perusahaan-perusahaan multinasional yang tak terjangkau
oleh hukum negara.

Ilmu pengetahuan modern telah memecah persoalan-persoalan dunia ini menjadi bagian-bagian kecil, misalnya
berdasarkan sektor. Masalah ekonomi dipecahkan oleh ekonom, masalah politik dipecahkan oleh politikus.
Masalah lingkungan dipecahkan oleh para ahli Ekologi. Pendekatan ini disebut pendekatan reduksionis..
Padahal semua persoalan ini bukanlah persoalan yang berbeda-beda, melainkan hanyalah sisi-sisi yang berbeda
dari bangunan yang sama, realitas dunia ini. Persoalan ini berhubungan satu dengan yang lain dalam satu jaring-
jaring permasalahan yang kompleks. Apa yang diputuskan oleh sekelompok elite di sidang PBB akan
berpengaruh terhadap kehidupan para petani di Banglades dan sebaliknya. Keputusan untuk berhenti bertani
yang dilakukan oleh salah seorang petani di pelosok Irian akan berpengaruh pada persediaan pangan dunia.

Dunia sedang mencari bentuknya. Dunia sedang berevolusi ke satu tingkat peradaban baru yang lebih
berkualitas daripada tingkat peradaban sebelumnya. Hal ini berarti harus ada penyelesaian terhadap persoalan-
persoalan umum dunia seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan dan kerusakan lingkungan tadi. Dengan
paradigma yang lama, yakni pendekatan reduksionis, permasalahan-permasalahan tadi tidak mungkin
terselesaikan.

Dibutuhkan sebuah paradigma baru mengenai cara manusia memandang persolan dunia ini yang akan
menentukan langkah-langkah penyelesaian yang akan diambil. Hal itu dapat terjadi jika segenap umat manusia
bekerja-sama ke arah perubahan itu.

Cara berpikir sistem adalah salah satu pendekatan yang diperlukan agar manusia dapat memandang persoalan-
persoalan dunia ini dengan lebih menyeluruh dan dengan demikian pengambilan keputusan dan pilihan aksi
dapat dibuat lebih terarah kepada sumber-sumber persoalan yang akan mengubah sistem secara efektif.
Pendekatan Sistem

Sistem adalah sekumpulan elemen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan membentuk fungsi tertentu.
Sistem dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem statis yang tidak berubah terhadap waktu dan sistem dinamis
yang sellau berubah dengan berubahnya waktu.

Ilmu pengetahuan modern telah mencapai kemajuannya dengan memecah-mecah sistem menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil dan mempelajari secara mendalam masing-masing bagian itu. Pendekatan ini tidak berlaku
untuk sistem. Sebuah sistem adalah lebih daripada bila seluruh komponennya dijumlahkan. Dan sistem akan
bekerja bila seluruh komponennya terletak dan terhubung pada tempatnya.

Termasuk di dalam cara berpikir sistem adalah kemampuan untuk melihat melalui lensa yang berbeda. Lensa-
lensa tersebut adalah time horizon (rentang waktu) dan space horizon (rentang tempat).
Pemilihan lensa akan mempengaruhi isu yang diangkat dan cara penanganan masalah. Misalnya masalah banjir
di Jakarta. Perspektif waktu beberapa minggu akan menyebabkan orang memandag banjir sebagai persoalan
yang memerlukan evakuasi bagi para korban dan pembangunan tanggul darurat. Perspektif waktu 5 sampai 10
tahun menempatkan banjir sebagai isu kebutuhan pembangunan bendungan baru. Perspektif 30 tahun
menempatkan banjir sebagai dampak dari kebijakan tata ruang yang salah. Dalam interval 100 tahun, banjir
dapat disadari sebagai dinamika pergeseran aliran sungai dan isu yang diangkat adalah kebijakan tata ruang
yang disesuaikan dengan dinamika tersebut.

Keseluruhan pengertian dari fenomena banjir tidak berasal dari satu perspektif saja. Dengan kata lain, tidak ada
satu pun lensa yang hanya benar sendiri.

Dalam kurun waktu yang lebih panjang, banjir dapat dilihat sebagai salah satu bagian dari fenomena perubahan
dunia yang konstan dan bagaimana banjir di sungai Gangga India dapat mempengaruhi pasar pangan global.
Para pemikir sistem mengubah tingkat perhatian (level of perspective) mereka dari masalah kepada sistem yang
memuat masalah tersebut. Tingkat ini dapat mencakup paradigma, data, perilaku, struktur sebab akibat (cause-
and-effect structure), kebijakan, maupun institusi dan budaya. Pada setiap tingkat diperlukan pemahaman
tersendiri akan sistem yang dimaksud.

Hal-hal yang perlu dipahami

Beberapa nilai yang terkandung dalam cara berpikir sistem :


1. Menghargai bagaimana model mental mempengaruhi cara pandang kita
2. Mengubah perspektif untuk melihat leverage point baru
3. Melihat pada kesalingtergantungan (interdependencies)
4. Merasakan dan menghargai kepentingan jangka panjang dan lingkungan
5. Memperkirakan yang biasanya tidak diperkirakan
6. Berfokus pada struktur yang membangun dan menyebabkan perilaku sistem
7. Menyadari bagian yang tersulit tanpa tendensi untuk menyelesaikannya dengan tergesa-gesa
8. Mencari pengalaman
9. Menggunakan bahasa pola dasar dan analogi untuk mengantisipasi perilaku dan kecenderungan untuk
berubah.

Ada tiga bentuk representasi yang membantu menjelaskan perilaku sistem:


• Data dalam urutan waktu (time series data): Data ini adalah data perilaku riil sistem yang terjadi pada saat
tertentu, misalnya tinggi air di sungai ketika banjir pada saat tertentu. Ini adalah cara paling sederhana untuk
mengamati sistem.
• Diagram modus referensi (Reference Mode Diagram): Ini menggambarkan gerakan dari 3 atau 4 variable
kunci yang saling berhubungan (sebuah pola perilaku) pada sistem selama jangka waktu tertentu. Diagram ini
didasarkan pada rentang waktu yang cukup untuk melihat struktur yang membentuk perilaku.
• Diagram struktural (Structural Diagram): Diagram struktural adalah jaringan hubungan sebab-akibat (cause-
and-effect relationships) yang menentukan perilaku sistem. Diagram struktural ini terdiri atas link dan loop yang
membentuk pola hubungan sebab akibat. Link adalah hubungan antara dua variabel di dalam sistem. Disebut
positif apabila penambahan pada satu variable menyebabkan penambahan juga pada variable yang lain. Loop
adalah satu lingkaran sebab akibat yang terdapat di dalam sistem. Loop disebut positif apabila penambahan pada
satu variabel menyebabkan penambahan pada sistem tersebut secara global. Sebuah sistem dapat terdiri atas
banyak loop. Sebuah loop yang dominan mempengaruhi perilaku sistem disebut dominant loop.

Contoh :
Hubungan antara populasi dan kelahiran adalah sebuah link positif. Semakin banyak populasi akan
menyebabkan semakin banyak kelahiran. Hubungan antara kelahiran dan populasi adalah sebuah link yang juga
positif. Semakin banyak kelahiran akan menyebabkan semakin banyak populasi. Kedua link positif ini akan
membentuk loop positif. Artinya penambahan pada salah satu variabel, baik populasi maupun kelahiran akan
menyebabkan penambahan terus menerus pada dua variabel tersebut.
Hubungan antara populasi dengan kematian adalah sebuah link positif. Semakin banyak populasi akan
menyebabkan orang yang ami semakin banyak. Sebaliknya hubungan antara kematian dengan populasi adalah
link negatif. Semakin banyak kematian maka jumlah populasi akan semakin menurun. Hubungan keseluruhan
antara populasi dengan kematian membentuk loop negatif.

Studi kasus
Kasus berikut ini adalah persoalan yang dihadapi oleh para petani di sebuah desa di Bogor. Penduduk desa
tersebut rata-rata memiliki lebih dari dua anak meskipun banyak ibu mengaku mengikuti program KB.

Sebagian besar penduduk desa tersebut buta huruf dan sedikit di antaranya pernah sekolah meskipun tidak tamat
sekolah dasar. Sebagian dari mereka tingkat keinginan sekolahnya rendah sementara sisanya yang berkeinginan
kuat terbentur masalah biaya.

Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Selama dua puluh tahun terakhir pola budidaya yang dominan
berlangsung di desa tersebut adalah pola revolusi hijau, tampak dari cirinya yang intensif menggunakan pupuk
kimia dan pestisida. Saat ini para petani mengeluh harga pupuk dan benih bertambah tinggi, sementara harga
jual produk di tingkat petani sangat rendah. Ditambah lagi dengan hama tanaman yang makin parah, kualitas
benih yang terus menurun dan kualitas tanah yang makin tidak subur.

Selain bertani penduduk juga mencari penghasilan tambahan di kota, misalnya dengan menjadi buruh atau
berjualan kecil-kecilan dalam skala yang sangat kecil. Manajemen keuangan mereka masih sangat lemah
terbukti dengan bercampurnya uang untuk kebutuhan usaha dengan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ini juga
disebabkan oleh modal dan penghasilan yang mereka peroleh sangat kecil.

Dalam sepuluh tahun terakhir tingkat kepemilikan tanah para petani terus menurun seiring dengan tumbuhnya
real-estate mewah di sekitar desa tersebut. Di tambah lagi desa tersebut terletak perbukitan yang sangat cocok
untuk membangun kuburan Cina. Saat ini rata-rata penduduk memiliki kurang dari seperempat hektar.

Para pemuda di desa tersebut sebagian besar adalah penganggur yang menggantungkan hidupnya pada orang tua
mereka atau pada pekerjaan-pekerjaan sesaat seperti menjadi tukang bangunan, kuli angkut, pedagang dan buruh
pabrik musiman. Sebagian lagi hidup dalam sulitnya hidup sebagai preman dan tukang palag, menghabiskan
waktu untuk minum dan judi.

Gadis-gadis desa itu terjebak pada ritual hidup mulai dari anak-anak menjadi kemudian menunggu seseorang
untuk menikahinya. Sebagian dari mereka terjebak pada masalah kawin cerai dalam usia muda. Suami mereka
menikah dengan orang lain, meninggalkannya bersama anak-anak mereka yang masih kecil.

Penduduk desa tersebut menganut agama Islam yang taat dan sangat tunduk kepada para kiyai. Tiga kali
seminggu ibu-ibu mengikuti acara pengajian di rumah-rumahanggota kelompok secara bergantian. Naik haji
adalah suatu prestise tersendiri dan dianggap lebih penting ketimbang penggunaan uang untuk keperluan lain.
Syukuran adalah budaya yang dilakukan setiap ada peringatan hari-hari yang dianggap penting, misalnya
perkawinan, kelahran, sunatan, serta berbagai peringatan hari raya agama. Pengeluaran untuk sosial penduduk
desa ini seringkali lebih besar daripada pengeluaran pribadi mereka.

Bagaimana anda memandang masalah desa tersebut dengan pendekatan sistem ?


Apa usulan anda untuk penyelesaian masalah tersebut ?

disadur dr file bid hikmah dan advokasi


PP IRM Jakarta
(masmul)

http://chengxplore.blogspot.com/2008/07/cara-berfikir-sistem-dan-penerapannya.html

Teknik Merebus Katak


June 25, 08
Salah satu tugas utama dari Industrial Engineers (IE-ers) adalah
melakukan perbaikan sistem. Jika kita ingat, di konteks perkuliahan, kita diminta melakukan
analisis optimisasi -misalnya-; maka hasil dari analisis adalah sebuah rekomendasi untuk
melakukan sesuatu.

Dalam konteks kerja yg sesungguhnya, tugas IE-ers mungkin tidak cukup berhenti di
rekomendasi. Ada satu tugas lagi yg sangat kritis, dan menurut saya paling susah:
mendorong implementasi. Saat itulah, kemampuan IE-ers sebagai change agents akan diuji.
Karenanya, kemampuan untuk mengelola perubahan (change management) akan menjadi
satu kemampuan yg sangat penting buat iE-ers.

Tak ada gunanya kan, anda sudah susah-susah mencari data, menganalisis, mensimulasikan,
memberikan rekomendasi namun akhirnya rekomendasi itu tidak jalan? So mengelola
perubahan menjadi satu tahapan krusial di sini.

Kali ini kita akan bicara tentang teknik merebus katak.

Priiiit !! Pak Boed, topiknya sadis pak. Gak cocok buat saya yg pecinta binatang. Wah bapak
dah mulai aneh-aneh, nanti ada yg demo trus bakar-bakaran lho. hayo !!!

Tenang-tenang jangan anarkis, istilah teknik merebus katak ini hanya metafora lah. Jangan
diartikan literal. Konsep ini adalah salah satu konsep yg mesti dipahami oleh systems thinker.
Bahkan prinsip dasarnya bisa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Ceritanya gini

Konsep teknik merebus katak sangat erat kaitannya dengan change management. Saya ambil
cerita nya dari buku the Fifth Discipline-nya Pak Peter M. Senge.

Katanya nih -soalnya saya sendiri belum pernah eksperimen-; jika anda taruh seekor katak di
sebuah panci berisi air mendidih, maka secara refleks katak itu akan melompat ke luar panci,
sehingga selamatlah dia. Namun, kalo anda taruh katak tersebut di panci berisi air biasa dan
kemudian secara perlahan sekali anda panasi panci tersebut, ternyata sang katak nggak ngeh.
Indra yg dia miliki gagal untuk merasakan perubahan -dalam hal ini perubahan yg berefek
negatif- sampai suatu saat temperatur air sudah sangat tinggi dan sang katak akhirnya
terlambat untuk menyelamatkan diri. matilah dia – so sad.

Metafora tersebut ternyata bisa kita bawa ke konteks engineering, business, bahkan ke
kehidupan sehari-hari. Kuncinya adalah perubahan yg sangat gradual dan tidak disadari.

Mengacu pada konsep di atas, sebagai seorang agent of change, IE-ers akhirnya bisa
menerapkan proses perbaikan yg gradual dalam sistemnya untuk mengurangi resistansi dari
sistem. Kaizen atau inovasi tiada henti adalah filsafat jepang yg sangat cocok dengan teknik
merebus katak. Dengan perubahan yg gradual, maka sistem anda akan memiliki kesempatan
untuk menyesuaikan diri sehingga perubahan yg diinginkan bisa dilakukan.

Konsep yang sama juga bisa diterapkan untuk menggambarkan perubahan ke arah negatif.
Dalam sistem, banyak perubahan negatif yg juga berlangsung sangat gradual. Terjadi
degradasi yang sangat pelan dan pelan sehingga kita sebagai pelaku di dalam sistem itu tidak
menyadari atau -setidaknya- merasakan namun mengacuhkan karena degradasinya dianggap
tidak signifikan -dalam jangka pendek.

Korupsi, misalnya – sangat mungkin sifatnya gradual. Di awalnya, mungkin level korupsi si
X sangat remeh temeh: merasa sedikit bersalah namun kok enak ya – segera hilang rasa itu;
kemudian sedikit meningkat – kembali merasa bersalah sedikit namun segera biasa -dan
seterusnya sampai akhirnya mencapai level tinggi, misal sampai kemudian diberi gelar “the
six billion rupiah man”. Degradasi yg sangat pelan tersebutlah yg membuat kita menjadi
tidak sensitif alias mati rasa alias NUMB.

Weh, Pak Boed – itu lagunya Linkin Park

Bukan, itu lagunya Dayadiarmon dari Djokja – cari aja di Youtube

Trus kalo untuk kasus yg kedua [perubahan ke arah negatif] itu kira-kira gmana ya
pencegahannya?

Nha itu pertanyaan yg susah. Nanti kita minta saja pembaca untuk memberikan komentarnya.
Kalo dari saya sih kira-kira:

a. sebagai katak yg ada di dalam panci (sistem) kita mesti asah terus kemampuan
menangkap sinyal – jadi mesti sensitif terhadap perubahan negatif. Begitu anda rasakan ada
sinyal negatif – out … out. Jangan sampai terlambat – safe your life

b. mungkin ada baiknya juga meminta masukan dari katak yg di luar panci. Istilah
akademiknya kan triangulation. Minta perspektif dari orang lain yg tidak mengalaminya
sehingga kita bisa mendapatkan pandangan yg lebih obyektif dan menyeluruh.

c. Kalau bisa sih dan solusi ini kayaknya yg paling mujarab- jangan mau masuk ke panci
itu. Artinya jangan masuk ke wilayah abu-abu yg kemungkinan mengarah ke perubahan
negatif.

Akhirnya, dongeng ini ditutup dengan peribahasa Jawa berikut ini:

Witing tresno jalaran saka kulino

atau terjemahan bahasa Indonesianya kira-kira adalah: Awal dari suka / cinta adalah
kebiasaan.

Mungkin ada yg ingin mengelaborasi peribahasa tersebut? tentunya dari sudut pandang
teknik merebus katak. Anda bebas mengambil perspektif: perubahan ke arah positif atau
pun perubahan ke arah negatif.
Puncak gunung es: berpikir sistem
February 6, 08

Salah satu konsep yang digunakan oleh systems thinker untuk melakukan analisis adalah
“system’s iceberg”. Dengan konsep ini, seorang systems thinker akan melihat bahwa sebuah
kejadian (event) mungkin saja tidak berdiri sendiri. Berbeda dengan pendekatan reductionsim
(yakni: breakdown masalah besar, cari solusinya satu-satu); systems thinking mencoba
melihat permasalah secara holistik, kait mengkait dan memerlukan trade-off.

source foto: dari sini

Contohnya adalah berita terbaru tentang penumpang KRL: “banyak penumpang KRL yg
lebih senang hinggap di atap kereta”. Reaksi dari Perumka? beberapa metode udah dicoba:
diteriakin pake speaker – gagal-; ditusuk-tusuk pakai galah -gagal maning-, disemprot-
semprot, saya yakin juga tidak akan efektif [mereka nanti akan pake ponco sambil naik KRL,
mungkin?].

Bagaimana systems thinker akan melihat permasalahan ini dari konsep system’s iceberg?
Gini lho ceritanya

Systems thinker melihat sebuah permasalahan setidaknya dalam tiga tingkatan: kejadian
(event), perilaku (system behavior), dan struktur (underlying structure). Semakin ke dalam,
analisis semakin syusyah karena konsep yg digunakan semakin abstrak. Namun biasanya,
jika dilakukan dengan baik, solusi yg tersedia akan lebih baik.
1. Event – pendekatan reaktif

Tingkatan paling atas adalah jenjang kejadian atau ‘event’. Jenjang inilah yang paling kasat
mata, biasanya bisa ditangkap oleh panca indera.

Tgl 30 Februari, seorang penumpang KRL jatuh dari atap KRL, seminggu kemudian dua
orang lagi jatuh. Ini adalah contohnya.

Pada gunung es, ‘kejadian’ terletak di atas permukaan laut, sehingga semua orang akan bisa
melihatnya. Analis yang tidak terlatih, bahkan sebagian manajer cenderung akan bereaksi
terhadap kejadian. Jadi kata kuncinya adalah reaktif.

Analis dan manajer yang bekerja pada level ini akan bertindak reaktif, seperti pemadam
kebakaran. Jika ada kejadian kemudian akan bereaksi. Kejadian demi kejadian akan terlihat
seperti kejadian acak tanpa terlihat ada kaitannya (seemingly unrelated random events).

Karena kejadian demi kejadian terlihat acak, maka mereka akan sangat sibuk ‘memadamkan
api yg sedang terjadi’ dari satu kebakaran ke kebakaran lain. Slogan anda adalah ‘working
hard’, karena semua energi dan waktu anda akan terkuras untuk pekerjaan rutin
“memadamkan api yang tak habis-habisnya” tanpa sempat melakukan hal lainnya. Pernahkah
anda merasakan hal seperti ini?

Untuk kasus penumpang jatuh dari KRL, pendekatan reaktif misalnya adalah dengan
memperketat keamanan: memasang kawat berduri di atap KRL. Dua tiga hari setelah
pemasangan mungkin tak ada lagi yg naik ke atap. Tapi, tentu kita tahu, penumpang KRL
lebih kreatif lagi. Kawat berduri bisa dicabutin di hari keempat; petugas sibuk memasang lagi
di hari ketujuh dst. Kucing-kucingan. Petugas PERUMKA sibuk ‘memadamkan api’ ~
working hard.

Jangan heran, karena pendekatan ini yg paling mudah, analisisnya pun paling kasat mata,
banyak sekali pengambil kebijakan (pemerintah, manajer) yg akhirnya terjebak menggunakan
pendekatan ini yg kadang berhasil tapi seringnya tidak.
2. Perilaku sistem – pendekatan antisipatif

Tingkatan yang lebih mendalam yg bisa dilakukan adalah dengan mengamati perilaku sistem.
Satu faktor penting yg harus diperhatikan pada level ini adalah waktu. Dengan kata lain, kita
akan coba melihat dinamika sistem dari satu waktu ke waktu yg lain.

Kumpulan kejadian-kejadian bisa dilihat dalam rentetan waktu sehingga -mudah-mudahan-


akan terlihat pola-pola tertentu. Pada level analisis ini, kejadian tidak lagi dilihat secara
individual sebagai fenomena random – pola / kecenderungan mudah-mudahan akan terlihat.

Jika kita punya pola data kejadian masa lalu so what gitu loh?

We lha, tentunya IE-ers akan segera bisa mengatakan: “hore kita bisa prediksi masa depan”.

Kalo udah bisa memprediksi masa depan?

Tentu kita bisa lakukan perencanaan antisipatif – kita tak lagi sekadar reaktif. Kita udah
mulai working smart not only hard.

Sebagai contoh untuk kasus KRL tadi. Jika kebetulan ada karyawan PERUMKA yg membuat
catatan kejadian accident dan incident (near miss) dari waktu ke waktu; mungkin tren atau
pola nya akan keliatan.

Dari historical data yg ada, kemudian mungkin bisa dilihat bahwa ternyata pola data jumlah
kecelakaan penumpang jatuh terkait dengan hari gajian. – Ini misalnya lho-. Pas hari gajian
dan beberapa hari berikutnya, ternyata jumlah kecelakaan menurun. Pas tanggal tua,
kecelakaan naik signifikan. Dengan pendekatan kedua (melihat perilaku sistem), akhirnya
PERUMKA bisa melakukan perencanaan antisipatif untuk masa mendatang. Misalnya,
saat-saat tanggal-tanggal tua keamanan ditingkatkan atau strategi lain yg lebih kreatif dan
dikaitkan dengan tanggal tua / muda.

Sampai level ini anda sudah menggunakan pendekatan lumayan smart – tapi belum terlalu
smart. Kejadian yg terihat berulang tidak akan bisa dihentikan / dicegah dengan pendekatan
antisipatif. Kejadian tetap akan berulang, tapi anda sudah lebih siap: kapan harus
mencurahkan resources untuk working hard – kapan anda bisa gunakan waktu untuk berpikir.

3. Struktur sistem – pendekatan generatif

Pendekatan terakhir ini paling susah, karena analis dan pengambil kebijakan harus memiliki
kemampuan analitis abstrak plus visi. Untuk bisa melakukan analisis tahap ini, analis yg
terlatih sekalipun biasanya untuk setiap kasus perlu bantuan pendekatan (1) dan (2) sebelum
kemudian menyelam ke pendekatan (3).

Pada pendekatan ini, analis perlu mencoba melihat keterkaitan antara satu faktor dengan
faktor lain. Tak ada faktor yg berdiri sendiri. Faktor-faktor yg saling mengait inilah yang
nantinya memunculkan pola / kecenderungan yg biasa ditangkap analis level (2). Systems
thinker biasa bekerja pada level (3) ini.

Melihat struktur sebuah sistem tidaklah mudah. Kadang hubungan antarfaktor terpisah oleh
lokasi dan waktu. Sistem juga berubah setiap waktu, tidak jelas batasnya, dll. Jika analis bisa
menggunakan pendekatan(3) ini, diharapkan solusi akan bisa digenerate. Anda tidak lagi
hanya reaktif, ataupun antisipatif karena anda bisa mengenerate ide untuk mengubah
sistem anda menjadi lebih baik.

Untuk kasus KRL, dengan bantuan pendekatan (2), anda melihat adanya hubungan antara
tanggal tua dan tingginya kecelakaan. Anda kemudian mencoba mendalami dengan
pendekatan (3), melihat struktur dari sistem. Ternyata didapatkan bahwa hubungan antara
tanggal tua dan kecelakaan adalah hubungan tak langsung. Variabel yg menghubungkan
keduanya adalah “uang transport yg tersisa di kantong” -ini misalnya lagi lho.

Gambar ruwetnya kira-kira seperti di bawah ini. Cara bacanya bisa dilihat misalnya di sini.
Perhatian: analisis ini hanya ilistrasi fiktif, namun metode yg sama bisa digunakan untuk
menganalisis kasus yg sebenarnya.

Dari contoh analisis tersebut, bisa kita lihat beberapa hal:

- faktor-faktor yg ada ternyata saling mengkait. pemecahan masalah di satu tempat mungkin
punya akibat negatif pada faktor lain;
- strukur sistem sifatnya sangat abstrak, sulit dideteksi, sulit dimodelkan;
- dengan melihat struktur sistem, kita bisa men-generate beberapa alternatif solusi. Misalnya:
a) meningkatkan kapasitas KRL sehingga kepadatan KRL bisa diturunkan sehingga
menurunkan minat penumpang untuk naik ke atap
b) menyediakan model transportasi alternatif (misal: monorail ) sehingga penumpang bisa
dipecah ke berbagai jenis moda.

Sekali lagi contoh di atas adalah fiktif, demikian juga dengan alternatif-alternatif solusi yg
ditawarkan.

Intinya adalah, dengan menyelami sistem sampai level strukturnya, kita bisa mendapatkan
(men-generate) ide-ide solusi yg sifatnya bisa mengubah sistem dan tak mungkin terpikirkan
jika kita menggunakan pendekatan (1) reaktif atau (2) antisipatif. Di level ini, anda bisa
katakan bahwa anda sudah working smart.
BTW, ada yang bisa bantu beri penjelasan detail interpretasi gambar ruwet (namanya
Causal Loop Diagram) di atas?

Peramalan Kuantitatif – FAQ


July 19, 08

Peramalan kuantitatif adalah salah satu kemampuan yang dibutuhkan oleh IE-ers. Di
manapun ia bekerja.

Meskipun dalam seting perkuliahan, peramalan biasanya menjadi bagian mata kuliah PPIC
atau sejenis; ramal meramal tidak hanya menjadi monopoli domain manufaktur. Bahkan
sejatinya, sadar ataupun tidak , dalam kehidupan sehari-hari kita sering dihadapkan dalam
proses meramal sebelum bertindak.

Contohnya: hari mendung – saya perlu bawa payung gak ya?

Hari ini kita ngobrolin Naisbit, Joyoboyo, atau Mama Laurent pak?

Halah, bukan salah satu dari mereka Gak usah ketik reg-spasi-boed lho ya !!!

Supaya ada variasi dibanding artikel sebelumnya, saya buat tulisan kali ini dalam format Q &
A saja. Sila memberi masukan baik dari sisi teoritis maupun praktis aplikasi.

1. Aksioma – the first principle

Konsep pertama dan utama dari forecaster adalah: Peramalan selalu salah, tetapi beberapa
hasil peramalan bisa berguna

Dari sudut pandang insani, dunia ini penuh dengan ketidakpastian (uncertainty); sehingga
sekeras apapun usaha manusia, tidak mungkin bisa 100% akurat dalam meramal. We have to
live with it.

2. Kenapa perlu peramalan?

Peramalan dilakukan karena kita harus membuat sebuah keputusan jauh sebelum informasi
aktual yang dibutuhkan ada. Jika kita menunggu sampai informasi tersedia kemungkinan
besar sudah terlambat.

Sebagai contoh, penelitian tentang energi non-fosil sudah dimulai sejak puluhan tahun yang
lalu. Padahal saat itu, energi fosil masih sangat ekonomis. Keputusan mengenai dimulainya
pengembangan energi non fosil tidak dibuat berdasar fakta saat itu, namun dari hasil
peramalan kondisi dunia puluhan tahun ke depan. Jika penelitian baru dimulai sekarang -
saat secara faktual kita sudah krisis energi- tentunya sudah cukup terlambat karena
penelitian itu butuh waktu.

Kuncinya, peramalan digunakan saat kita perlu pendekatan antisipatif bukan reaktif.

3. Konsep dasar cara melakukan peramalan?


Saya kasi contoh pak. Saat ini kita berada di tahun 2008, kita ingin meramalkan jumlah virus
komputer di tahun 2009 dan 2010. Data di tangan saya adalah data dari tahun 1825 – 2008.

Ya gak mungkin lah, emang waktu perang Pangeran Diponegoro dah bawa laptop. Electronic
warfare?

Oiya ding Maksudnya data di tangan adalah dari 1995-2008. Data itu saya pilah jadi dua
bagian (tak harus sama banyak). Satu bagian digunakan untuk model building (di AI disebut
learning), sisa data yg belum dipake digunakan untuk mengukur akurasi (validasi).

Kronologinya kira-kira: kumpulkan data masa lalu –> kembangkan model peramalan
dengan lebih dari satu teknik –> uji validasi dan pilih model yg paling akurat –>
gunakan model terpilih untuk melakukan peramalan yg sebenarnya –> data
sebenarnya baru akan muncul setelah beberapa periode kemudian

4. Mengukur akurasi peramalan ?

Pengukuran akurasi peramalan biasanya dilakukan untuk membandingkan dan memilih di


antara 2 atau lebih teknik peramalan. Jika anda hanya punya satu teknik di tangan (tidak
recommended) – pengukuran akurasi peramalan tidak punya banyak arti karena anda tidak
akan memilih apapun.

Cara yang ‘paling benar’ untuk mengukur akurasi peramalan tentunya adalah dengan
membandingkan hasil ramalan dengan kondisi nyata di lapangan (contohnya: ramalan jumlah
virus komputer di tahun 2010 dengan data aktual yg dikumpulkan pada tahun 2010).
Sayangnya, kembali ke poin (2) dan (3); cara ini tidak aplikatif karena sudah terlambat.

Maka satu-satunya jalan adalah ‘melihat kebelakang’. Validasi dilakukan dengan prinsip
retrospektif.

Konsep dasarnya adalah, model peramalan dianggap akurat jika error peramalannya kecil.
Atau lebih tepatnya; jika kita punya dua teknik peramalan, A dianggap lebih akurat dari B
jika error ramalan teknik A lebih kecil. Error peramalan dihitung dari perbedaan antara hasil
peramalan dan data aktual.

Jadi itu ya pak alasan kenapa data tahun 1995-2008 harus saya pilah. Karena sebagian data
digunakan untuk menghitung error peramalan.

Iyes.

Boleh gak pak jika semua data 1995-2008 saya gunakan untuk membangun model peramalan
dan semua data yg sama saya gunakan untuk menghitung error?

Sebaiknya jangan – karena wasit nggak boleh merangkap jadi pemain

Ukuran akurasi ternyata beragam, namun konsep dasarnya sama – menghitung error
peramalan. Misal: MSE, MAE, MAPE dll. Dari hasil penelitian yg penah kami lakukan di TI
UGM, hasilnya tidak selalu konsisten. Misal: untuk dataset yg sama ~ dari dua teknik
peramalan A & B; bisa jadi MAE menyatakan A lebih akurat, sementara MSE menyatakan B
lebih akurat.
Tipsnya: jika anda ‘sensitif’ terhadap nilai error ekstrim, gunakan pengukuran yang
melibatkan fungsi kuadratik (misal Mean Squared Error) bukan fungsi yg menggunakan nilai
absolut.

Perlu diingat: hasil cross validation sebenarnya hanya bisa dijamin valid untuk kisaran
observasi. Dalam kasus di atas, misal, adalah dari 1995-2008.

5. Teknik yg dipakai?

Metode yang paling populer adalah dengan melihat pola data. Teknik yg sudah diaplikasikan
di antaranya adalah linear regression, non linear regression, Bayesian Regression, ARIMA
(Box Jenkins), Moving Average, dll.

Salah satu asumsi utama pengunaan teknik-teknik di atas adalah bahwa: pola data yang
terjadi di masa lalu akan berulang di masa mendatang. Dengan kata lain, jika asumsi
tersebut tidak dipenuhi maka kemungkinan besar hasil ramalan menjadi tidak akurat.

Metode peramalan yg bersandar pada pola data tidak akan mampu meramalkan kondisi
ekstrim. Sebagai contoh: krisis moneter 1998; penurunan turis di Singapura akibat SARS.

Metode alternatif yang bisa digunakan adalah metode causal (sebab akibat). Meskipun
masih menggunakan data masa lalu dalam kalibrasi (parameter learning), namun yg coba
ditangkap bukanlah pola data yg muncul. Model peramalan akan mencoba menangkap
hubungan sebab akibat yang ada di balik data yg muncul tersebut (the underlying causal
mechanism). Sila lihat juga di sini.

Metode causal yg cukup populer adalah Econometrics, Systems dynamic (deterministic) dan
Bayesian Network (stochastic).

Peramalan metode causal punya kemampuan lebih dalam mendeteksi kasus ekstrim
dibandingkan peramalan pola data; namun membutuhkan kemampuan yg lebih tinggi dari
analis-nya. Sila googling di internet untuk perbandingan antara hasil ramalan System
Dynamics dan pola data untuk konsumsi energi dunia dan ramalan global waming. Kami di
TI UGM pernah mengembangkan model berbasis Systems Dynamics untuk peramalan
project progress (S-curve). Hasilnya lebih akurat dibanding metode konvensional.

6. Teknik yang paling bagus?


Sayangnya tidak ada teknik yang paling bagus untuk semua kasus peramalan:) Karena
‘bagus’ bisa didefinisikan macam-macam.

Dari sisi teknis, bagus adalah akurat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa teknik yang
lebih canggih tidak selalu lebih akurat. Sebagai contoh teknik ARIMA tidak selalu lebih
akurat dari pada simple linear regression. Model yang berbasis artificial intellgient pun tidak
selalu lebih akurat dari model yang lebih sederhana. Kami juga pernah melakukan penelitian
untuk mencari hubungan antara “pola data yg dominan” dengan “teknik peramalan terbaik” –
sayangnya hasilnya belum konklusif.

7. Di dunia industri biasanya aplikasinya gimana?


Dunia industri tentunya tidak seideal dunia akademik-teoretik. Selain mengejar akurasi,
banyak faktor non teknis yang harus dipertimbangkan saat melakukan peramalan, di
antaranya: kemampuan sumber daya manusia, ketersediaan data, keterbatasan waktu dan
biaya, dan jangan lupa – office politics.

Office politics apaan sih Pak?

Contohnya misalnya dalam meramal budget sebuah proyek. Ramalan bisa sengaja dibuat
tidak akurat (misal: angka dibuat lebih rendah dari yang seharusnya dengan harapan agar
proyek bisa ‘looks more promising than competing projects’ dan ujungnya adalah –> bisa
disetujui). [ini bagian dari tesis saya ]

Dalam banyak kasus, saya mengamati bahwa beberapa praktisi industri cenderung
menganggap alat peramalan sebagai black-box. Koleksi data masa lalu, masukkan ke
software, pencet tombol ini dan itu kemudian voila … keluar hasil ~ baik dalam angka
maupun grafik-grafik yang indah. Copy-lalu-paste ke powerpoint; esuk harinya dipakai untuk
presentasi.

Mungkin karena kendala waktu dan sumber daya, banyak proses peramalan tidak dilakukan
secara kritis dan insightful. Padahal, meramal tidak hanya sekadar menghasilkan angka dan
grafik yang cantik namun juga mencoba mencari insight di balik angka dan grafik tersebut.
Di sinilah: peramalan bisa jadi tidak 100% akurat namun masih tetap berguna.

Salah satu artikel klasik di HBR yg terkait dengan ini adalah “Planning as Learning” dari Pak
Ari P. De Geus. Mudah-mudahan link ini legal.

Ada masukan? tambahan? sila tinggalkan komentarya.

SINERGI
June 20, 08

Sebelumnya kita telah bicara tentang konsep sepakat untuk tidak sepakat, maka untuk
melengkapinya perlu disampaikan satu lagi konsep: SINERGI.

Istilah Sinergi terlalu sering digunakan orang sebagai jargon, sehingga sering kehilangan
maknanya. Menjadi sesuatu yg hiperbolik dan di awang-awang. Padahal konsep ini bisa juga
membumi dan sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
SINERGI apaan sih Pak?

Secara sederhana, sinergi terjadi saat 1+1> 2

Modal dasar dari SINERGI adalah keragaman [yup, bukan keseragaman]. Perbedaanlah yg
bisa membuat sinergi. Bayangkan jika di sebuah tim sepakbola, keinginan semua pemainnya
adalah mengegolkan bola, maka akhirnya semua ingin jadi striker. Klub seperti Brazil yg
punya falsafah “pertahanan terbaik adalah menyerang” pun masih punya penjaga gawang,
bek, dan gelandang. Karena perbedaanlah, sebuah tim atau sistem bisa kuat – karena satu
dengan yg lain saling mengisi.

Di systems theory, SINERGI sangat erat kaitannya dengan salah satu sifat dari sistem:
EMERGENCE. Emergence adalah sifat yg muncul hanya pada level sistem. Saat sistem
tersebut dibagi-bagi menjadi elemen-elemen nya, maka emergence properties akan
menghilang. Coba anda lihat, sebuah spare part mobil yg ditumpuk di gudang. Jika spare
tersebut dirangkai menjadi sebuah sistem yg utuh, maka muncullah emergence property: bisa
digunakan untuk memindahkan orang dan barang. Jika banyak mobil disatukan ditambah
dengan jalan raya, rambu lalulintas, pejalan kaki, muncullah sistem tranportasi yg memiliki
emerging properties yg tidak muncul pada level mobil individu, dst. Karenanya, di systems
thinking dikenal konsep bahwa “the whole is greater than the sum of its elements“. Yak sekali
lagi 1+1 > 2.

Kemarin malam, salah seorang sahabat mengajak saya berdiskusi mengenai perbedaan yg ada
di antara suami dan istri.

Wah Pak Boed udah buka praktek konsultasi perkawinan?

Ya jelas … tidak lah. Saya sendiri masih dalam tahap belajar terus kok. Kita sharing – bukan
konsultasi. Waktu itu saya bilang, suami-istri [apalagi yg baru nikah] harus siap untuk
melihat atau menemukan perbedaan di antara keduanya. Kaget adalah reaksi alamiah, tapi
selanjutnya apa?

Beberapa perbedaan akhirnya memang bisa disamakan dengan cepat. Misal: tidur malam
sama-sama jam 11:00 malam. Sebagian yg lain butuh waktu yang lama untuk disinkronkan,
contoh: genre film yg ditonton. Sisanya: perbedaan harus diterima apa adanya ~ just stop
judging & start loving

Dalam banyak kasus, perbedaan lah yg sebenarnya akan membuat sistem [keluarga] menjadi
lebih kuat, karena satu dengan yg lain akan saling mengisi. Di manajemen resiko biasa
disebut manajemen portofolio. Saat yg satu lemah, yg lain mendukung. Yg satu
menyelesaikan masalah dengan analitik, pasangannya lebih intuitif. Saat yg satu marah yg
satu mendengarkan dst. 1+1 >2.

Off course, it’s always easier to say than to do. Tapi semua harus belajar.

Anda mungkin juga menyukai