Pendahuluan
Sampah merupakan masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat, karena sampah
merupakan salah satu wujud pencemaran lingkungan. Masalah sampah merupakan fenomena
sosial yang perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak, karena setiap manusia pasti
memproduksi sampah. Besarnya timbunan sampah yang tidak dapat ditangani tersebut akan
menyebabkan berbagai permasalahan yang timbul akibat kurangnya alternafif dan perspekstif
masyarakat terhadap pengelolaan sampah, baik langsung maupun tidak langsung. (Widiartana et
al 2017)
Wardi et al (2011) juga mengatakan secara tidak langsung, penumpukan dan pengelolaan
sampah yang tidak bagus akan berpengaruh pada kelangsungan hidup kepariwisataan, mata
pencaharian dan pendapatan warga sekitarnya. Selain itu, jika tumpukan sampah dalam waktu
lama terjadi di sekitar tempat suci (seperti kasus TPA di Suwung, Denpasar-Selatan), kondisi
sangat menggangu kenyamanan dalam melakukan persembahyangan. Sampah juga dapat
menimbulkan keracunan,atau bencana kebakaran akibat gas metan atau puntung rokok yang
dibuang oleh pemulung;Pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya sering menimbulkan
tersumbat atau macetnya saluran air irigasi subak, atau meluapnya air ke jalan di perkotaan
sehingga mempercepat rusaknya prasarana transportasi (jalan).
Namun, kini pertumbuhan penduduk perkotaan tidak terkendali, yang meningkatkan jenis
dan bentuk aktifitas masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan alam. Hal ini akan
berpengaruh terhadap meningkatnya konsumsi energi dan produksi sampah dan dampaknya
terhadap lingkungan. Perpindahan penduduk dari pedesaaan ke perkotaan (urbanisasi), dan
kecendrungan perubahan status desa pinggiran kota menjadi daerah urban. Di sisi lain,
meningkatnya pendapatan dan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat urban, serta perubahan
gaya hidup yang ditandai dengan terjadinya pergeseran nilai budaya dari hidup yang hemat dan
sederhana ke arah gaya hidup hedonisme dan pragmatisme menyebabkan masyarakat urban
cendrung semakin boros dalam pemanfaatan energi. Akibatnya produksi sampah pun juga
cendrung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya. Permasalahan sampah merupakan
masalah klasik bagi masyarakat Bali. Sampah yang tidak dikelola dengan baik atau langsung
dibuang ke lingkungan berpotensi mencemari berbagai sumber daya alam di sekitarnya seperti
tanah, air, dan udara. Pencemaran air oleh sampah maupun limbah dipandang sangat penting untuk
dikendalikan karena apabila air yang tercemar akan berdampak sangat luas dan meracuni berbagai
macam organisme yang mengkonsumsinya (Muksin, 2016)
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah lingkungan dapat dilakukan dengan
pengelolaan sampah. Menurut ilmu kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah dipandang baik
jika sampah tersebut tidak menjadi media berkembang biaknya bibit penyakit serta sampah
tersebut tidak menjadi medium perantara menyebarluasnya suatu penyakit. Syarat lainnya yang
harus dipenuhi, yaitu tidak mencemari udara, air dan tanah, tidak menimbulkan bau. Dalam
ketentuan UU No.18/2008 pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Di Bali sejak dulu, sudah
dikenal pengelolaan sampah secara organik, yaitu dengan cara menjadikan sampah sebagai
makanan ternak babi dan sebagai pupuk hijau dengan menanam di sawah. Pengelolaan sampah
seperti ini dimungkinkan karena jumlah penduduk belum padat, dan masih banyak lahan kosong.
Selain itu, pengelolaan sampah secara kolektif pada masing-masing banjar/dusun di desa-desa juga
sudah dikenal melalui gotong royong bersih lingkungan secara rutin, terutama menjelang hari
besar nasional atau hari suci menurut budaya local (Widiartana et al 2017)
Dalam perjalanannya, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh TPA Suwung dalam
penanganan persampahan, diantaranya adalah : beberapa program penanganan sampah (Sarbagita,
Swadaya) yang semuanya dibantu dan/atau dibina tetapi satu sama lain tidak saling berkaitan atau
tidak ada integrasi/sinergi sehingga terkesan jalan masing-masing. Bahkan apabila dibiarkan satu
sama lain bisa menimbulkan kerancuan atau pertentangan. Dilansir dalam Majalah Bali Post Edisi
127 tertanggal 29 Februari/6 Maret 2016, protesnya masyarakat disekitat lokasi TPA semakin hari
semakin besar. Bau sampah yang semakin menyengat, beberapa sampah yang didapat memasuki
pemukiman penduduk disekitar dikarenakan penumpukan yang memang sudah melebihi batas,
pencemaran air sanitasi penduduk dan lain-lain membuat warga mengancam akan menutup paksa
TPA SARBAGITA jika tidak ada perubahan dan penanganan serius. (Bali Post, 2016)
II. Pembahasan
Provinsi Bali telah membuat Perda yang mengatur tentang pengelolaan sampah. Namun,
pengelolaan sampah SARBAGITA tidak diatur dengan jelas. Dalam Pasal 8 Perda Pengelolaan
Sampah hanya menyebutkan mengenai kewenangan gubernur dalam memfasilitasi kerjasama
antar Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sampah. Aturan hukum lain yang dapat dijadikan
alternatif yang mengikat selain Perda hanya berupa Keputusan Bersama Walikota Denpasar,
Bupati Badung, Bupati Gianyar, dan Bupati Tabanan. Kapasitas dan kewenangan instansi
pengelola persampahan menjadi sangat penting karena berdasarkan UU Pengelolaan Sampah,
masalah persampahan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dan menjadi urusan
wajib dari pemerintah kabupaten/kota. Besar tanggung jawab yang harus dipikul pemerintah
kabupaten kota dalam menjalankan roda pengelolaan sampah biasanya tidak sederhana bahkan
cenderung cukup rumit sejalan dengan makin besarnya kategori suatu daerah (Pemprov Bali)
2.1 Definisi Sampah
Menurut WHO dalam Damanhuri (2010) sampah ialah barang yang berasal dari kegiatan
manusia yang tidak lagi digunakan, baik tidak dipakai, tidak disenangi, ataupun yang dibuang.
Klasifikasi Sampah ada 2 jenis yaitu; 1) Berdasarkan Jenis; a) Sampah organik adalah limbahyang
sebagian besar tersusun oleh senyawa-senyawa organik, berasal dari sisa makhluk hidup seperti
hewan, manusia, tumbuhan yang mengalami pembusukan atau pelapukan. Sampah ini tergolong
sampah yang ramah lingkungan karena dapat terurai (degradable) oleh bakteri secara alami,
b)Sampah an-organik adalah sampah yangsebagian besar tersusun oleh senyawa-senyawa an-
organik, dan tidak lapuk (non-degradable) yang sulit untuk di urai oleh bakteri, contoh: plastik,
botol/kaca, logam, dll.
Secara umum, dampak yang ditimbulkan oleh sampah dapat membawa efek langsung dan
tidak langsung. Efek langsung merupakan akibat yang disebabkan karena kontak langsung dengan
sampah tersebut. Misalnya sampah beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, yang
karsinogenik,teratogenik dan lainnya. Selain itu, ada pula sampah yang mengandung kuman
patogen sehingga dapat menimbulkan penyakit. Sampah ini dapat berasal dari sampah rumah
tangga selain sampah industri. Dampak tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat akibat
proses pembusukan, pembakaran,dan pembuangan sampah. Dekomposisi sampah biasanya terjadi
secara aerobik, dilanjutkan secara fakultatif dan secara anaerobik apabila oksigen telah habis.
Dekomposisi anaerob akan menghasilkan cairan yang disebut leachate berserta gas. Leachate atau
lindi adalah cairan yangmengandung zat padat tersuspensi yang sangat halus dan hasil penguraian
mikroba.Tergantung dari kualitas sampah, maka leachate bisa pula didapat mikroba patogen,
logam berat dan zat yang berbahaya. Mengalirnya lindi akan berdampak terhadap kesehatan
masyarakat,karena tercemarnya air sungai, air tanah, tanah dan udara. Efek tidak langsung lain,
yaitu berupa penyakit bawaan yang berkembang biak di dalam sampah.
Sampah, seperti juga hal yang lain, memiliki sumber yang menghasilkannya. Dengan
semakin meningkatnya teknologi, maka semakin beragam produk yang dihasilkan, termasuk
sampah. Begitu pula dengan meningkatnya jumlah penduduk yang menyebabkan berkurangnya
lahan akan menambah masalah dalam penanganan sampah. Dalam hal penanganan sampah,
pengetahuan mengenai sumber dan jenis sampah disertai dengan komposisi dan laju timbulan
sampah sangat diperlukan. Menurut Tchobanoglous dalam Damanhuri (2010), sumber sampah
dibedakan menjadi sumber dari permukiman, daerah komersial, isntitusi, konstruksi dan
pembongkaran bangunan, pengolah limbah domestik, kawasan industri, dan pertanian
Perkantoran dan hotel/wisma termasuk ke dalam sumber sampah daerah komersial dengan tipe
sampah diantaranya kertas, kardus, plastik, kayu, sisa makanan, kaca, logam, limbah berbahaya
dan beracun, dan sebagainya.
Bentuk lembaga atau instansi pengelola sampah di daerah saat ini masih beragam. Menurut
Damanhuri dan Padmi (2011:11) bentuk lembaga pengelolaan persampahan kota yang dianut di
Indonesia selama ini antara lain: a.Seksi Kebersihan di bawah satu dinas, misal Dinas Pekerjaan
Umum terutama apabila masalah kebersihan kota masih bisa ditanggulangi oleh suatu seksi di
bawah dinas tersebut; b.Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di bawah suatu dinas, misalnya
Dinas Pekerjaan Umum terutama apabila dalam struktur organisasi belum ada seksi khusus di
bawah dinas yang mengelola kebersihan sehingga lebih memberikan tekanan pada masalah
operasional, dan lebih mempunyai otonomi daripada seksi; c.Dinas Kebersihan, merupakan SKPD
yang akan memberikan percepatan dan pelayanan pada masyarakat dan bersifat nirlaba. Dinas ini
dibentuk karena aktivitas dan volume pekerjaan yang sudah meningkat; d.Perusahaan Daerah (PD)
Kebersihan, merupakan organisasi pengelola yang dibentuk bila permasalahan di kota tersebut
sudah cukup luas dan kompleks.
Bali memiliki TPA regional bernama TPA Suwung yang dimana melayani kawasan
Sarbagita (Denpasar,Badung,Gianyar,Tabanan). Adapun tujuan Pengembangan TPA Regional
yaitu Meningkatkan sinergi antar daerah dalam pengelolaan persampahan, Meningkatkan kualitas
TPA dan efisiensi pelayanan persampahan, Meningkatkan kemampuan manajemen dan
kelembagaan dalam pengelolaan sampah secara regional, Memobilisasi dana dari berbagaisumber
untuk pengembangan sistem pengelolaan persampahan. Dari kawasan perkotaan inti tersebut
sampah terbanyak merupakan dari Kota Denpasar yang masuk ke TPA Suwung berkisar sekitar
650 ton sedangkan sampah dari Kabupaten Badung sebanyak 300 ton per hari(Badan Lingkungan
Hidup Prov Bali) dan ditambah dengan sampah dari Kabupaten Tabanan dan Gianyar, serta
masyarakat perorangan yang membuang sampah hasil upacara adat (Muksin 2016)
Sistem pengolahan pada TPA SARBAGITA menggunakan sistem open dumping. Dimana
sampah yang masuk ke TPA ditumpuk secara terbuka (ditaruh begitu saja di tempat terbuka) yang
nantinya bisa terurai dengan sendirinya. Dengan sistem open dumping ini mengakibatkan resiko
pencemaran terhadap daerah sekitar menjadi meningkat. Analisis resiko yang didapatkan adalah
dari proses penumpukan sampah secara terbuka atau open dumping ini bisa mengakibatkan
menurunnya kualitas udara daerah sekitar hal ini dipicu oleh bau yang tidak sedap dan gas-gas
hasil pembusukan yang dikeluarkan sampah yang menumpuk. Kemudian penurunan kualitas air
tanah yang diakibatkan oleh lindi atau leacheate yang terbentuk dari massa sampah yang
menggunung. Penurunan kualitas tanah yang diakibatkan oleh sampah anorganik maupun sampah
yang mengandung deterjen yang membuat kehidupan mikro organisme tanah menjadi terganggu
sehingga kehidupan tumbuh-tumbuhan menjadi terganggu yang efeknya juga penurunan terhadap
kualitas udara (Widiartana et al 2017)
BPKS dalam hal ini sebagai wakil dari pemerintah daerah yang ditunjuk sebagai UPT (Unit
Pelaksana Teknis) di TPA SARBAGITA pada tahun 2004 melakukan kontrak kerjasama dengan
pihak ketiga yaitu PT. Navigat Organic Energy Indonesia (PT. NOEI) sebuah perusahaan swasta
dari Inggris dengan tujuan memaksimalkan pengelolaan sampah TPA SARBAGITA menjadi
energi listrik dan kompos. Permasalahan yang muncul didalam pelaksanaan adalah jumlah gas
yang dihasilkan belum optimal, sehingga listrik yang dihasilkan juga belum optimal. Kemudian
pemerintah menghentikan kerja sama dengan PT NOEI, lantaran gagal melakukan pengolahan
sampah di TPA Suwung. Sampah yang seharusnya bisa diolah menjadi listrik sesuai dengan
kesepakatan awal, justru tetap menumpuk. Bahkan, tumpukan sampah hingga mencapai 15 -20
meter (Kepala DKP Kota Denpasar, I Ketut Wisada)
Menurut hasil observasi awal, gagalnya kerjasama dengan investor lantaran biaya
pengelolaan yang tinggi tidak sebanding dengan listrik yang dihasilkan maka dari itu pihak
investor meminta tipping fee atau pungutan biaya sampah pada masyarakat namun pihak BPKS
tidak bersedia, dan juga terkendala masalah tinggi bangunan. Gunungan sampah di TPA Suwung
yang menjulang bahkan dapat terlihat dari Jalan By Pass Ngurah Rai. Gunungan sampah ini
menimbulkan bau tak sedap yang tercium hingga jalan utama dan permukiman di sekitarnya.
Selain itu gunungan sampah dianggap memperburuk citra sepanjang Jalan By Pass Ngurah Rai
yang selalu dilalui wisatawan karena jalan ini merupakan jalan utama yang menuju bandara dan
juga menghubungkan antar obyek wisata pantai terutama Pantai Kuta dan Pantai Sanur. Dari Pihak
PT. NOEI mengatakan belum optimalnya produksi diduga akibat : 1). Kandungan air dalam
sampah yang rendah, sehingga mempengaruhi proses pembusukan (biologi), 2). Penutupan sel
tidak sempurna (terjadi kebocoran),sehingga gas metana banyak keluar dan sistem kemasukan
oksigen dari udara. 3).Penghisapan gas dengan pompa vakum terlampau cepat (kuat), melebihi
laju produksi gas metana di dalam sistem sel, 4). Sampah yang dimasukkan dalam sistem sel belum
tersortasi dengan baik, sehingga masih banyak dijumpai bahan anorganiknya. 5).Perubahan iklim
dari musim hujan ke musim kemarau mempengaruhi pola curah hujan dan temperatur udara.
Menurut Soerjono Soekanto (2007), bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai
arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut, adalah sebagaimana berikut:
Solusi lain yang diusulkan adalah meningkatkan kualitas program swakelola sampah di
tiap Banjar, tidak hanya sekedar mengumpulkan tapi termasuk pemilahan antara sampah organik
dengan sampah inorganik. Meningkatkan kapasitas dan kualitas sistem pengolahan sampah
organik menjadi kompos di DSL (Desa Sadar Lingkungan) sehingga kompos yang dihasilkan
memenuhi standar kualitas sebagai pupuk yang bisa menggantikan pupuk non organik dalam
jumlah yang lebih signifikan dari yang dihasilkan sekarang. Mendorong pengembangan pasar
komoditi kompos skala besar bagi penyaluran produk kompos yang akan dihasilkan. Misalnya
menjalin kerja sama dengan kabupaten yang memiliki areal pertanian organik dan mengajak semua
pihak (masyarakat, PHRI, pusat perbelanjaan, dan lain-lain) agar memprioritaskan konsumsi hasil
pertanian organik
2.6 Kendala Pengelolaan Sampah Pada Desa di Bali
Dalam Peneltian Wardi et al (2011) hambatan yang sering dihadapi oleh masyarakat desa
dalam pengelolaan sampah, yaitu
seperti berikut.
a) Masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan swakelola sampah
dengan baik dan aman; Hal ini dibuktikan dari banyaknya temuan pembuangan
sampah yang tidak pada tempatnya ( ke sungai, laut, atau tempat terbuka lainnya),
masih banyak warga belum mau ikut dalam sistem pengelolaan sampah desa, serta
belum banyak lembaga sosial atau lembaga adat yang menyisipkan masalah
lingkungan khususnya pengelolaan sampah ke dalam rumusan hukum adat (awig-
awig atau perarem)
c) Sampah yang ditempatkan oleh warga di depan rumah (TPS) tidak terpilah, Sisa
bangunan seperti beton, genteng, sampah hasil tebangan, dicampur aduk dengan
sampah plastik, daun dsb Selain itu, sampah yang ditempatkan di pinggir-pinggir
jalan atau depan rumah penduduk atau ada di TPS sering diaduk-aduk oleh para
pemulung yang ingin mencari sampah anorganik yang yang mempunyai nilai
ekonomi, sehingga kondisi sampah berserakan dan sangat menggangu nilai estetik
(pemandangan)
a) Menampung tenaga kerja; Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk setiap depo
pengelolaan sampah sangat tergantung pada jumlah masyarakat yang dilayani,
kualitas dan kuantitas sampah, kapasitas depo, dan faktor ketersediaan finansial
b) Sebagai salah satu sumber pendapatan (retribusi) bagi lembaga desa/banjar;
c) Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mengatasi masalah
lingkungan sehingga dapat mengurangi pencemaran air, tanah dan udara
(perlindungan atmosfir) dan penyakit bawaan yang ditimbulkan oleh sampah;
d) Secara sosisal budaya, para pekerja yang berasal dari desa sekitar tetap dapat
melakukan
kewajiban sosial dalam bentuk kegiatan ritual adat/agama yang di Bali dikenal
dengan istilah ngayah
e) Lingkungan bersih, sehat, aman dan asri (estetis), sehingga aktivitas sosial dan
budaya dapat berjalan nyaman dan lancar, serta kelangsungan hidup kepariwisataan
untuk meningkatkan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya lebih
terjamin.
III. Penutup
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan atas kedua pokok pembahasan dalam tulisan ini,
adapun kesimpulan yang dapat diperoleh sebagai berikut:
Disamping itu, adanya 2 (dua) pihak yang sama-sama dapat mengelola sampah
di TPA regional SARBAGITA, baik UPT Pengelolaan Sampah Provinsi Bali
dan BPKS. Belum adanya pihak lain yang dapat mengelola sampah lintas
wilayah TPA Regional SARBAGITA sebagai pengganti pihak PT.NOEI
dikarenakan kerjasama telah berakhir.
2. Model pengelolaan sampah yang berbasis Desa atau sosial dan budaya dapat
dilakukan secara adaptif dengan memperhatikan aspek karakteristik sosial dan
budaya masyarakat, aspek ruang (lingkungan), volume dan jenis sampah yang
dihasilkan.
3. Keberadaan dan prakarsa suatu Yayasan Lokal yang bekerja sama dengan
lembaga pemerintah dan pihak swasta, mempunyai peranan penting sebagai
pembina untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat lokal melalui
penyuluhan dan pelatihan keterampilan pengelolan sampah, dan menjadi
motivator dalam pembentukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
3.2 Saran
1. Kepada Pemerintah Daerah Provinsi Bali bersama dengan Pemerintah Daerah Kota
Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan agar
membuat aturan hukum yang lebih jelas terkait pengelolaan sampah, agar
terciptanya kepastian hukum terhadap pengelolaan sampah di TPA regional
SARBAGITA sehingga dapat mewujudkan keefektifan dalam pelaksanaannya.
2. Pemerintah Daerah Provinsi Bali harus melakukan sosialisasi secara
berkesinambungan dan berkelanjutan kepada masyarakat tentang pentingnya
memilah sampah dan Pemerintah Daerah Provinsi Bali harus mengakhiri dualisme
kepengurusan TPA dengan membentuk suatu aturan untuk menunjuk atau
menetapkan satu diantara UPT Pengelolaan Sampah atau BPKS dalam pengelolaan
sampah SARBAGITA.
3. Komunikasi dan kordinasi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan sampah
perlu lebih ditingkatkan dan diintensifkan untuk menghindari terjadinya tumpah
tindih program kegiatan di lapangan (masyarakat), seperti kordinasi antara
Bapedalda dengan DKLH atau DKP di tingkat Kota/Kabupaten, dan dengan dinas
pertanian dan perkebunan, demikian pula antara desa dinas dengan desa adat.
4. Perlu ditingkatkan kesadaran para pekerja pengelola sampah secara langsung
mengenai dampak kesehatan bila tidak menggunakan peralatan pelindung. Selain
itu, perlu dibuat jaminan kesehatan bagi karyawan yang terlibat dalam pengelolaan
sampah, melalui pemeriksaan kesehatan secara rutin dan bantuan obat-obatanyang
diperlukan.
5. Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) melalui Masyarakat Desa khususnya
Bali yang dikenal dengan pariwisata berbasis adat social budaya dengan kearifan
local merupakan pengelolaan paling sampah paling efiesien dan efektif. Desa-desa
Adat melalui banjar-banjar sebagai tombak terdepan dalam pengelolaan sampah
melalui jenis dan bentuk. Dengan begitu beban Pemerintah dalam hal ini TPA
SARBAGITA akan lenbih ringan karena tidak semua sampah dari Desa harus
diterima. Ditambah lagi banyak nya manfaat-manfaat positif yang diperoleh
masyarakat Desa dalam pengelolaan sampah yang sudah dipaparkan.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri, E. 2010. Diktat Pengelolaan Sampah. Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung
(ITB): Bandung.
Damanhuri, Enri dan Padmi, Tri, 2011. Teknologi Pengelolaan Sampah. Bandung: ITB.
Ediana, D., Fatma, F., Yuniliza, Y. 2018. Analisis Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Dan
Recycle (3R) Pada Masyarakat Di Kota Payakumbuh. Jurnal Endurance Volume 3, pp 195
I Nyoman Wardi. 2011. Pengelolaan Sampah Berbasis Sosial Budaya: Upaya Mengatasi Masalah
Lingkungan Di Bali. Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No. 1, Pebruari
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional Untuk
Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Undang Undang Republik Indonesia No.18 Tahun
2008 tentang Pengelolan Sampah. Jakarta
Keputusan Bersama Walikota Denpasar, Bupati Badung, Bupati Gianyar, dan Bupati Tabanan
Mengenai Pengelolaan Sampah atau Kebersihan Di Wilayah SARBAGITA.
Muksin, K. 2016. Penanganan Sampah di TPA Suwung. Jurnal Biologi Fakultas MIPA Unud Vol
2, pp 1
Sukerti, N.L., Sudarma, M., Pujaastawa, I.B.G. 2017. Perilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan
Sampah dan Faktor Yang Mempengaruhi Di Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar,
Provinsi Bali. COTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science)
11(2) 148
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali
Nomor 5).
Widiartana, P.W., Resen, M.S.K., Dahana, C.D. 2017. Efektifitas Pengelolaan Sampah Di TPA
Regional SARBAGITA. Vol. 05, No. 02, h.4, ojs.unud.ac.id