Anda di halaman 1dari 52

Sang Penjaga

Rona jingga telah menampakan wujudnya, nyanyian merdu ayam jantan pun
terdengar. Di sebuah desa dipuncak Gunung Muria. Hiduplah seorang Raden Mas yaitu
Raden Mas Umar Said atau biasa dipanggil Sunan Muria. Desa yang tenang dan tentram, di
sana terdapat pandepokan kecil yang tenang dan tentram.

Lantunan ayat suci Al-Quran terdengar setiap matahari mulai terbenam di ufuk barat.
Padepokan kecil itu hanya dihuni oleh Sunan Muria dan beberapa pengikut setianya. Disana
adalah tempat memperdalam ilmu agama Islam.

Hari ini, Sunan Muria dan beberapa pengikut setianya menuruni gunung Muria untuk
menyebarkan agama Islam di pesisir pantai utara Jawa. Sebelumnya mereka sudah
menyiapkan bekal dalam perjalanannya. Disepanjang jalan, Sunan Muria selalu bershalawat
dan begitu pula dengan para pengikut setianya.
Terik Matahari menyengat kulit tak menjadi halangan bagi Sunan Muria. Ia dan
pengikut setianya berjalan menuruni lereng demi lereng Gunung Muria. Mereka berjalan
tanpa rasah lelah. Mereka juga berhenti untuk menunaikan ibadah sholat wajib. Apapun yang
terjadi, mereka tetap menjalankan kewajibanya kepada Yang Maha Kuasa.

“ Mari kita berhenti sejenak, kita sholat berjamaah di bawah pohon rindang itu.” Ajak
Sunan Muria

“ Baik Kanjeng Sunan.”

Detik demi detik, menit demi menit, telah berlalu, mereka telah menjalankan
kewajiban kepada yang Maha Kuasa. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju
daerah pesisir pantai utara untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi, di perjalanannya
ada sekelompok penjahat yang menghadang Sunan Muria dan pengikut setianya.

Sunan Muria menghadapi penjahat itu dengan tenang, dengan izin Allah swt, Sunan
Muria berhasil mengalahkan penjahat tersebut. Sunan Muria menasihati mereka agar kembali
ke jalan yang benar, dan para penjahat tersebut ingin menjadi pengikut Sunan Muria dan
ingin memperdalam agama Islam.

“ Wahai Kanjeng, maafkan kami, maafkan kami.” Ucap penjahat sambil berlutut
dihadapan Sunan Muria.

“ Sudah, bangun wahai saudaraku, engkau sudah saya maafkan.”

“ Bolehkah saya menjadi pengikut kanjeng? Dan juga memperdalam agama Islam.”

“Tentu saja boleh saudaraku.”

Sunan Muria mengajarkan agama kepada penjahat tadi dan melanjutkan perjalanan ke
pesisir pantai utara Jawa.

**********************

Mahatari semakin tak terlihat dan sudah waktunya untuk shalat maghrib. Mereka
berhenti di sebuah desa kecil didekat sungai yang tenang.

“ Mari saudaraku kita menunaikan shalat maghrib berjamaah.”

“ Baik Kanjeng.”
Kedua pengikut baru tadi melihat dengan kebingungan dan bertanya kepada Sunan
Muria.

“ Wahai Kanjeng, apa itu shalat?”

“ Shalat adalah kewajiban umat muslim kepada Allah swt.”

“ Bagaimana cara melaksanakannya, Kanjeng?”

“ Mari saya ajarkan.”

Sunan Muria mengajarkan tata cara shalat kepada pengikut barunya tadi. Dan
merekapun dengan cepat bisa. Setelah itu, mereka melaksanakan shalat maghrib berjamaah.
Mereka beristirahat dan membuat tenda untuk tidur.

Setelah waktu isya tiba, mereka shalat dan setelahnya makan malam. Setalah makan
malam, Sunan Muria memberikan nasihat-nasihat kepada pengikut setianya.

Malam semakin larut, merekapun beristirahat di tenda yang dibuat tadi. Jam 3 pagi,
Sunan Muria bangun dan juga membangunkan pengikut setianya untuk shalat sunnah tahajud.
Dan setalah itu mereka mengaji sembari menunggu waktu subuh.

Waktu subuh tiba,

“ Syarif, tolonglah adzan.”

“ Baik, Kanjeng.”

Adzan dikumandangkan, membangunkan warga sekitar sungai terbangun dari


tidurnya dan mereka merasa terganggu oleh suara adzan. Sampai salah satu warga
mendatangi Sunan Muria dan berbicara kepadanya.

“Ada apa ini, engkau telah mengganggu tidur kami, pergi dari sini!”

Sunan Muria hanya mengelus dadanya dan beristighfar. Sunan Muria mulai berbicara
dengan salah satu warga tadi.

“ Saudaraku, ini adalah tata cara umat Islam untuk menjalankan kewajiban kepada
Allah swt.”

“ Allah? Siapa dia?”

“ Tunggulah sebentar,”
Sunan Muria dan pengikut setianya menjalankan shalat subuh. Seorang warga tadi
melihat dengan kebingungan dan terheran-heran mengapa mereka melakukan gerakan itu.
Beberapa menit kemudian, Sunan Muria dan pengikut setianya telah selesai melaksanakan
shalat subuh. Kemudian Sunan Muria menjelaskan kepada seorang warga tadi tentang agama
Islam dan warga tadi merasa tersentuh hatinya. Warga tadi ingin memperdalam ilmu agama
Islam dan ia meminta maaf kepada Sunan Muria karena telah marah-marah.

Dari salah satu warga tadi, sedikit demi sedikit banyak warga sekitar sungai yang
tertarik untuk memeluk agama Islam dan mengamalkan ilmu agama Islam. Akhirnya Sunan
Muria dibantu warga sekitar, mendirikan sebuah pondok tempat mempelajari ilmu agama
Islam. Kemudian Sunan Muria berdiam di daerah itu untuk satu minggu.

Setelah satu minggu, Sunan Muria melanjutkan perjalanan ke pesisir pantai utara.
Kemudian Sunan Muria memberikan amanat kepada salah seorang pengikut setianya untuk
tetap tinggal di sini. Ia memilih Hilal yang dirasa ilmu agama Islam nya sudah kuat. Hilal pun
menjalankan nasihat dari Sunan Muria.

Keesokannya setelah shalat subuh, Sunan Muria menjalankan perjalanannya bersama


pengikut setianya kecuali Hilal, yang diberi amanah untuk menyebarkan agama Islam dan
mengajarkan kepada warga sekitar tentang agama Islam. Dalam perjalanannya, Sunan Muria
mengingatkan kepada pengikut setianya untuk tetap rendah hati kepada siapapun.

“ Saudaraku, tetaplah rendah hati kepada siapapun, sesungguhnya Allah menyukai


orang-orang yang tidak sombong.”

“ Baik, Kanjeng.”

Alunan-alunan sholawat membuat perjalanan menjadi tenang dan membuat mereka


lebih semangat. Sunan Muria dan pengikut setianya mulai melewati hutan yang rimbun dan
sunyi. Disanalah mereka berhenti dan beristirahat. Saat mereka beristirahat, tiba-tiba ada
seekor ular lewat dan seketika pengikut setia Sunan Muria terkejut dan ingin membunuh ular
yang lewat tadi. Namun ia dilarang oleh Sunan Muria.

“ Jangan bunuh ular iti saudaraku, ia hanya lewat saja dan tidak menggangu kita.”

Kayu yang di angkat oleh salah satu pengikut Sunan Muria pun, segera diletakkan ke
tempat semula. Sembari menunggu waktu dhuhur, mereka bersholawat bersama. Lantunan
sholawat membuat suasana hutan menjadi sangat tenang. Dhuhur telah tiba, mereka bergegas
shalat dan segera melanjutkan perjalanan.

Setelah melewati hutan, tepat didepan itu adalah tempat yang dituju oleh Sunan Muria
dan pengikut setianya. Didaerah itu mereka disambut baik oleh masyarakat di sana. Karena
masyarakat di sana sudah mendengar banyak hal baik tentang Sunan Muria.

Banyak warga di sana yang tertarik untuk menganut agama Islam dan
mempelajarinya. Sunan Muria dan pengikut setianya dibantu warga mendirikan sebuah
pondok pesantren dan sebuah mushola untuk kepentingan masyarakat.

Setelah beberapa bulan disana, Sunan Muria dan pengikut setianya kembali ke
Gunung Muria. Ahsan dan Bambang diberi amanah untuk tinggal di sana. Mengajarkan
agama Islam kepada masyarakat di sana.

Sunan Muria dan pengikut setianya yang tersisa melanjutkan perjalanan ke Gunung
Muria. Mereka melewati daerah yang sekarang merupakan daerah Pati. Akan tetapi, tepat
didepan Sunan Muria. Ada sungai, air sungai begitu deras dan Sunan Muria dan pengikutnya
tidak dapat menyebrang. Akhirnya, Sunan Muria memberikan sayembara.

“Barang siapa yang bisa membantu saya menyebrangi sungai ini, bila ia laki-laki
maka akan ku jadikan ia sebagai saudaraku, bila ia perempuan maka akan aku jadikan ia
istriku.”

Kemudian sayembara tersebut menyebar dan semua warga berbondong-bondong


mengikutinya tapi tidak ada yang berhasil.

Kebetulan di sebelah baratnya ada seorang wanita yang sedang menggembalakan


kerbau bernama Dewi Sapsari putri Ki Gedhe Sebo. Setelah mendengar sayembara tersebut,
Dewi Sapsari dengan menunggang kerbau menyeberang ke timur.

Lalu ia menyeberangkan Sunan Muria. Sesampai di tepi sungai sebelah barat, Sunan
Muria menepati janjinya. Ia lalu ingin bertemu orang tua dari Dewi Sapsari dan akan
menyuntingnya sebagai istri.

“ Wahai Ki Gedhe Sebo, saya di sini datang untuk mempersunting putri anda.”

“ Siapa kamu wahai pemuda?”

“ Saya Raden Mas Umar Said, saya berasal dari Lereng Gunung Muria.”
“ Kamu Sunan Muria, kan?”

“ Iya, wahai Ki Gedhe Sebo. Saya disini ingin menepati janji saya sesuai dengan
sayembara yang saya buat.”

“ Dengan senang hati, saya akan menerima lamaran ini.”

Kemudian Sunan Muria menikah dengan Dewi Sapsari. Pernikahannya tidak


bermewah-mewah, mereka hanya mengadakan pengajian dan syukuran. Setelah itu mereka
bahagia. Akan tetapi, setelah tiga bulan, Sunan Muria Harus kembali ke Lereng Gunung
Muria. Disinilah Dewi Sapsari ditinggal Sunan Muria.

Sepeninggal beliau pulang ke padepokan Gunung Muria, Dewi Sapsari hamil. Hari-
harinya tanpa seorang suami berat rasanya. Ia harus bekerja sini sana mengurus rumah. Akan
tetapi, ia merasa hal ini biasa saja.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tapat Sembilan bulan sepuluh hari, Dewi Sapsari
melahirkan seorang putra dan diberi nama Raden Bambang Kebo Nyabrang, sesuai
pertemuannya dengan suaminya yaitu Sunan Muria. Dimana saat itu ia bertemu di sungai dan
membantu Sunan Muria menyebrang dengan menggunakan kerbau.

“ Anakku yang cakep sendiri, besok kalau dah besar jadi anak yang sholeh.” Timang
Dewi Sapsari.

Kebo Nyabrang kecil hanya tersenyum melihat ibunya. Ia sangat tenang di gendongan
Dewi Sapsari.

Berhari-hari Dewi Sapsari bekerja mengurus rumah tangga. Memandikan Kebo


Nyabrang kecil, memberi dia ASI, mengganti popok kainnya. Semua dilakukan dengan
senang hati.

Tahun demi tahun berlalu, tepatnya sudah sepuluh tahun lamanya. Kebo Nyabrang
sudah beranjak besar dan dia tumbuh menjadi anak yang sholeh dan pintar dalam segala hal
juga pintar mengaji. Ia tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.

“ Ibu, bagaimana bacaan Al-Quranku, bu?”

“ Alhamdulillah sudah baik, nak.”

Dalam hati Kebo Nyabrang ia merasa senang. Selesai mengaji, ia biasanya berlatih
bela diri dengan kakeknya Ki Gedhe Sebo.
Dengan semangat yang besar dan kuat. Ia menggerakan semua tubuhnya dengan baik
dan lincah. Sambil menunjukkan ilmunyake Kakeknya.

“ Kakek, bagaimana dengan kemajuanku ini, kek.”

“ Kau memang pintar cucuku, sudah bagus tingkatkan lagi.”

Tujuh tahun kemudian, sang kakek mewariskan semua ilmunya kepada Kebo
Nyabrang dan berpesan agar menggunakan ilmu ini dengan sebaik-baiknya juga ia harus
menjaga ibunya dengan baik. Tak berselang lama sang kakek meninggal.

“ Cucuku, berjanjilah untuk menjaga ibumu ddan gunakan ilmu yang kakek beri
dengan benar dan jangan gunakan untuk kejahatan.”

“ Baik, kek. Tapi kenapa kakek berkata seperti itu?”

“ Hari demi hari kakek bertambah tua, tubuh kakek sudah lemah. Kakek mau kamu
menepati janjimu kepada kakek.”

“ Kakek jangan berkata seperti itu, umur hanya Allah yang tau.”

“ Benar nak, tapi kakek sudah merasa ini adalah saatnya kakek pergi. Satu lagi carilah
ayahmu.”

“ Kek..”

“ Asyhadualla ilahailallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.”

Nafas terakhir sang kakek terhempas.

Kebo Nyabrang sedih tetapi ia harus kuat karenan seperti pesan kakeknya. Pesan
kakek masih teringat. Ayah, siapa ayahku. Mengapa ia tak ada di sini. Kebo Nyabrang
menanyakan siapa dan dimana keberadaan ayahnya kepada ibunya.

“ Ibu, siapakah ayahku?”

“ Ibunya terkaget dengan pertanyaan dari Kebo Nyabrang.”

“ Siapa, bu?”

“ Ayahmu adalah Sunan Muria, nak.”

“ Sunan Muria?”

Nama itu tidak asing ditelinga Kebo Nyabrang. Benar tidak salah lagi.
“ Iya, Kebo.”

“ Dimana ayah sekarang?”

“ Dia dipadepokannya di Lereng Gunung Muria.”

Kebo Nyabrang terus memikirkan ayahnya. Di kepalanya penuh dengan pertanyaan-


pertanyaan yang belum terjawab. Ia sadar bahwa ayahnya masih hidup. Ia harus mencari
ayahnya walaupun seberapa sulit tantangannya untuk kesana.

Kebo menyusun rencana untuk pergi kesana. Ia mempersiapkan dengan matang dan
tak lupa ia izin kepada sang ibu. Setelah beberapa hari ia shalat istikharah untuk meminta
petunjuk kepada Allah swt. Akhirnya ia memantapkan untuk pergi kemudian hari. Ia
kemudian kembali tidur .

********************

Suara ayam membangunkanku dari mimpiku, rumput yang awalnya kering menjadi
basah. Burung-burung saling bersautan seolah-olah sedang mendiskusikan sesuatu. Sinar
matahari menembus bilik kamarku.

Masih teringat apa yang diucapkan oleh kakekku semalam. Aku bangun dari tempat
tidur yang sudah tampak tak layak untuk dipakai itu, serta terdapat suara yang muncul saat
aku menarik tubuhku dari tempat tidur itu. Masih belum dapat kupercayai bahwa ternyata aku
anak dari seseorang yang begitu disegani banyak orang.

Semalam aku tidak bisa tidur dengan tenang karena hal itu. Aku berdebat dengan diriku
sendiri untuk pergi mencari ayahku di Gunung Muria atau tidak.

Ibu sedang menjahit pakaian dan kucoba untuk berbicara kepada beliau. “Bu, hari ini
aku akan pergi mencari ayahanda di Gunung Muria. Sudikah ibu mengijinkanku?”, ucapku
kepada ibu.

“Kamu masih sangatlah muda wahai anakku, kamu ingin menemui seorang ayah yang
tak pernah melihatmu bahkan mengenalmu sama sekali. Pergilah, hanya doa yang dapat
kuberi untukmu wahai anakku, Kebo Nyabrang”, kata Ibu. Kuambil benda-benda yang
kubutuhkan selama diperjalanan dan meminta restu kepada ibu. Tak kuasa aku meninggalkan
ibu yang sudah sejak kecil merawatku hingga dewasa.
Perjalanan yang jauh akan segera kulewati, mungkin saja aku akan menemui banyak
tantangan selama perjalananku. Seusai meminta restu kepada ibu kulangkahkan kakiku keluar
rumah untuk memulai perjalananku. Terlihat rumah tempat tinggalku semakin jauh
kupandang saat menoleh ke belakang.

Aku membayangkan bagaimana jika aku sudah bertemu ayahku nanti, apa yang harus
aku ucapkan, apa yang harus kulakukan. Bagaimana reaksinya jika bertemu anaknya. Apakah
aku akan diterima atau malah justru sebaliknya. Entahlah, aku tidak tahu, yang penting aku
harus mencarinya dulu.

Suara jangkrik dan burung-burung menemani perjalananku. Meski matahari bersinar


terik namun udara tak terasa panas.

“Ngiingg....ngiiingg”, suara nyamuk terdengar di telingaku. Kukibaskan tanganku


untuk mengusir nyamuk-nyamuk nakal itu.

Upsss... hampir saja aku terpeleset. Tanah yang masih basah karena hujan yang
mengguyur tadi malam. Saat musim penghujan begini biasanya hewan-hewan seperti laron
akan berkeliaran di mana- mana. Pepohonan juga masih basah meski matahari sudah tinggi.
Panas matahari tidak terasa karena udara yang dingin.

Matahari tepat berada di atas, tenggorokanku terasa kering. Kuambil kendi di dalam
tasku. Kendi merupakan tempat menyimpan air minum, dibuat dari tanah liat, entah kenapa
air yang disimpan di dalam kendi terasa lebih segar dan dingin munkin karena kendi dibuat
secara alami.

“Ahhh...”, segar rasanya minum dari air kendi tersebut.

Selepas minum rasanya mataku tidak kuat untuk dibuka. Sepertinya istirahat sebentar
tidak masalah untuk memulihkan tenaga. Aku harus mencari daun pisang untuk kujadikan
alas. Kutinggalkan tasku di jalan dan masuk sedikit ke dalam hutan. Semak-semak yang
tinggi membuat jalan terasa susah.

Setelah cukup lama, tak kutemukan daun pisang. Akhirnya aku memutuskan untuk
mencari daun yang lain yang bisa digunakan sebagai alas. Susah sekali menemukan daun
yang lebar. Dengan teliti kulihat disekitar tempatku.
“Aha...akhirnya kutemukan juga”, ucapku dalam hati. Daun lompong tersebut
nampaknya bisa dijadikan sebagai alas. Kuambil beberapa daun lompong yang bersih. Aku
kembali ke tempat tasku berada.

Daun lompong tadi kuletakkan di atas tanah. Kurebahkan diriku di atasnya. Rasanya
tulang-tulangku mengeluarkan suara “kretaakk”. Sekarang aku bisa tidur dengan tenang.

Mungkin karena banyak minum, aku merasa ingin buang air kecil. Aku bangun
sebentar dan mencari pohon yang agak besar. Lega rasanya, tubuhku agak bergetar seusai
buang air kecil. Saat akan kembali kakiku terpeleset dan membuatku jatuh ke jurang. Untung
saja jurang tersebut tak terlalu curam namun agak dalam. Aku berhasil menahan tubuhku
dengan berpegangan pada ranting pohon.

“Tolong...tolong...siapa saja tolong aku”, aku terus mengucapkannya. Suaraku sampai


habis karena meminta pertolongan. Nampaknya sia sia aku meminta pertolongan, karena
memang tidak ada orang sama sekali di sini.

Aku bingung harus bagaimana. Tubuhku makin lama makin lemas. Rasanya tanganku
sudah mati rasa dan mengeluarkan darah. Jika kulepas peganganku kemungkinan aku akan
mati atau paling tidak aku akan mengalami patah tulang dan akhirnya mati juga di bawah
jurang.

Ingin rasanya aku menangis, aku teringat wajah ibuku dalam tangisanku. Wajah yang
selalu menyayangiku, menggendongku, menjewer telingaku saat aku berbuat nakal. “Ibu,
maafkan anakmu yang belum bisa membalas kebaikanmu. Semoga ibu dapat hidup bahagia”,
ucapku dalam hati.

Tanganku sudah mencapai puncaknya. Aku sudah tidak kuat menahannya lagi, namun
kugenggam lebih erat ranting itu. Saking kuatnya genggamanku ranting tersebut patah dan
akhirnya aku jatuh ke jurang. Tidaakkk!!!

“Huhhhhh...lho??”, ternyata tadi cuma mimpi. Kupegang tanganku masih terlihat baik-
baik saja. Jantungku berdegup kencang dan wajahku berkeringat. Aku tidak bisa
membayangkan jika hal tersebut benar-benar terjadi.

Tenaga sudah terisi kembali, saatnya melanjutkan perjalanan. Matahari tampak hampir
tenggelam.
“Aduh..sebentar lagi malam akan tiba, aku harus mempercepat langkahku”, kupercepat
langkahku dan mencoba mencari gubuk untuk tinggal sementara.

Memang di hutan biasanya terdapat gubuk kecil untuk tempat istirahat masyarakat yang
mencari kayu di hutan atau yang pergi bertani. Kulihat langit sudah mengeluarkan mega
merah. Ini pertanda bahwa malam akan tiba.

Samar-samar kulihat sebuah bangunan reyot mirip seperti rumah tertutup kabut malam.
Aku terkejut karena baru kali ini melihat rumah di dalam hutan, apalagi rumah tersebut hanya
sendirian dan tidak ada rumah lain di sekitarnya. Bangunan itu nampaknya terbuat dari
‘gedek’. Aku mencoba mendekatinya.

Terdapat dua tiang yang menyangga bagian depan. Sebuah pintu yang terbuat dari kayu
coba kubuka. Pintu tersebut sulit untuk dibuka.

Sepertinya bangunan tersebut sudah tak terawat, pemiliknya mungkin sudah


meninggalkannya. Lubang terdapat di beberapa dindingnya. Karena tidak bisa masuk lewat
depan aku mencoba pergi ke bagian belakang rumah.

Tidak ada pintu masuk dari belakang. Aku kembali lagi ke bagian depan. Tubuh ini
sudah lelah seharian berjalan. Malam telah tiba, waktunya untuk istirahat. Sepertinya aku
terpaksa tidur di halaman depan rumah itu. Aku tidur diatas lincak.

^^^

“Tolong...tolong...”, kudengar sayup-sayup minta tolong.

Aku mencari sumber suara tersebut. Ternyata kakek tua yang sedang minta tolong.
Kelihatannya kakek tersebut kelelahan.

“Kenapa kek? Apa kakek tidak apa-apa?”, tanyaku. “Tidak kenapa-kenapa cu, kakek
merasa haus, bolehkah...”, “Ini kek silahkan diminum”, belum selesai kakek tersebut bicara,
aku sudah tau maksudnya.

“Terima kasih cu, kamu sudah menolong kakek. Maukah kamu menolong kakek lagi?”,
aku mengangguk.

“Bisakah kamu mengantarku ke tempat tinggalku?”

“Baiklah kek, mari aku antar. Sepertinya kakek sedang kelelahan”, jawabku.
Dalam perjalanan kami berbincang-bincang. “Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa
ada disini?”, tanya kakek itu.

“Aku sedang mencari seseorang kek. Aku akan pergi ke Gunung Muria."

"Wah... pergi ke Gunung Muria itu bahaya sekali lho cu. Apa kamu yakin mau pergi ke
sana?."

"Ya kek, aku harus pergi ke sana, karena seseorang ini sangat penting dalam hidupku."

"Baiklah cu, maukah kamu aku latih?"

"Dilatih untuk apa kek?"

"Aku akan melatihmu ilmu bela diri agar kamu bisa selamat sampai tujuanmu.
Bagaimana, apakah kamu mau?"

Aku memang merasa bahwa dalam perjalananku akan menemui banyak tantangan. Tak
ada salahnya jika aku kenerima tawaran kakek ini.

"Baiklah kek, aku mau menjadi muridmu."

Setelah berbincang-bincang selama perjalanan, kami akhirnya sampai di rumah kakek


itu. Rasanya ada yang mengganjal dalam pikiranku. Oh ya! Aku belum tahu siapa nama
kakek itu.

"Maaf kek.. aku belum tahu siapa namamu, siapa nama kakek?"

"Namaku Ki Ageng Selamet", jawab si kakek

"Kenalkan namaku Bambang Kebo Nyabrang, panggil saja Bambang, bagaimana aku
memanggilmu kek?"

"Panggil saja aku Ki Selamet atau Ki saja."

"Baiklah Ki Selamet, aku akan menjadi muridmu."

Ternyata Ki Selamet tinggal sebatang kara, istrinya baru saja meninggal 6 tahun yang
lalu. Ia dulu juga memiliki padepokan bela diri dan memiliki banyak murid, namun karena
banyak muridnya yang tidak mempergunakan ilmunya dengan benar akhirnya ia memutuskan
untuk membubarkan padepokan tersebut.

"Sekarang kamu akan tinggal disini selama aku melatihmu."


Rasanya capek sekali menemani Ki Selamet ke rumahnya, aku ingin beristirahat. Ki
Selamet menyuruhku istitahat di kamar miliknya. Sementara itu, ia tidur di kamarnya yang
lain.

"Ya beginilah rumah seorang kakek yang tinggal sendirian, banyak barang berantakan,
daun daun berserakan di halaman rumah.", ujarnya sambil duduk di sebuah kursi bambu.

"Ya memang begitu Ki, kalau tidak ada perempuan di rumah pasti repot hehe."

Ki Selamet selama 6 tahun mengurus semua hidupnya sendiri setelah ditinggal istri.
Aku merasa kasihan terhadap Ki Selamet. Selama aku menjadi muridnya aku akan membantu
Ki Selamet untuk kehidupan sehari-hari.

"Ini aku sudah buatkan kopi, silahkan."

"Oh ya Ki, terimakasih, malah saya merepotkanmu."

"Tidak apa apa, aku tahu kamu capek, jadi aku buatkan kopi agar bugar kembali. Kopi
ini aku buat sendiri jadi rasanya pasti lebih nikmat."

Rasanya seperti kopi buatan ibu. Aku jadi teringat kembali tentang ibu yang di rumah.
Ibu memang suka meminum kopi, saat kecil aku suka meminta kopi darinya, tapi karena
masih kecil ibu tak memperbolehkanku minum terlalu banyak.

Tiba-tiba tanpa ada mendung hujan turun. Minum kopi saat hujan, sungguh suasana
yang nikmat. Rintikan air hujan seakan memvisualisasi kenangan-kenanganku masa kecil.
Tak kusangka aku sekarang berada di sini hanya untuk mencari ayah. Sepertinya baru
kemarin aku masih bermain-main bersama teman-teman di kampung.

Seandainya aku bisa menghentikan waktu, aku akan menghentikan waktu saat aku
masih seorang anak yang polos dan yang diketahuinya hanyalah bermain. Namun apa daya,
waktu tak bisa dihentikan. Kita harus menjalani kehidupan yang penuh dengan suka dan
duka.

Tak terasa mulutku terasa pahit, ternyata kopi sudah habis dan menyisakan ampasnya di
dasar gelas, pantas saja terasa pahit. Hujan reda saat aku selesai minum, seakan-akan Tuhan
tahu apa yang aku inginkan.

"Oh ya Ki, kapan kita akan mulai latihan?"

"Besok? Bagaimana?"
"Baiklah Ki, aku siap"

"Sekarang lebih baik kamu tidur dulu, hari sudah malam."

"Iya Ki.", ujarku sambil bangkit dari kursi menuju kamar.

^^^

Aroma biji kopi menyambut pagi hari. Langit masih kelabu. Udara dingin menyentuh
kulit. Burung-burung terdengar riang bernyanyi. Kicauannya menemani akifitasku pagi itu.
Terlihat bayang-bayang seorang tubuh renta.

“Selamat pagi Ki.”

“Bagaimana tidurmu?”

“Baik Ki, rasanya nyenyak sekali.”, ucapku dengan mata yang masih merem melek.

Pagi itu aku meminta Ki Selamet untuk melatihku, namun ia menyuruhku untuk
sarapan dulu. Ki Selamet sudah terbiasa memasak sendiri setelah ditinggal istrinya. Meskipun
sarapan dengan lauk telur tempe ditambah sambal terasi yang sederhana tapi rasanya nikmat
sekali. Makin nikmat dengan secangkir kopi panas untuk menemani udara dingin.

“Beginilah makananku sehari-hari Bambang, sangat sederhana.”

“Memang sederhana Ki, tapi menurutku ini nikmat sekali.”

Seusai sarapan aku membantu membersihkan tempat makan Ki Selamet. Kemudian Ki


Selamet membawaku ke sebuah tanah lapang yang agak luas. Disitulah Ki Selamet akan
melatihku.

Hari pertama latihanku mempelajari gerakan-gerakan dasar seperti memukul,


menendang, bertahan, dan lompatan. Aku agak susah melakukannya karena ini merupakan
hal baru bagiku. Ki Selamet mengajariku dengan sabar meski aku kesusahan mengikutinya.

Setelah beberapa hari akhirnya aku cukup menguasainya. Tidak mudah tidak sulit juga
untuk menguasai gerakan-gerakan dasar.

“Nah seperti itu Bambang, kamu harus melakukannya lebih tinggi lagi.”

“Baik Ki.”
Meski sudah tua, Ki Selamet masih lincah untuk melakukan gerakan bela diri. Terlihat
dari gerakannya bahwa ia sudah paham seluk beluk tenang bela diri.

“Nampaknya kau sudah kelelahan lebih baik kau beristirahat dulu suapaya fokus untuk
melanjutkan latihan lagi.”

“Iya Ki.”, kataku sambil merebahkan tubuh di atas rumput.

Dengan tubuh telentang di atas rumput, kutatap langit agak hitam tertutup kabut.
Kupejamkan mata sembari menikmati suasana di sekitar. Suara angin berbisik sayup-sayup di
telinga.

Panas matahari terhalang sejuknya udara. Tanah yang basah memunculkan bau yang
khas. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sini selain aku dan Ki Selamet.

“Bambang, aku ingin bertanya padamu.”, ucap Ki Selamet mengagetkanku.

“Oh ya Ki, bertanya tentang apa?”

“Siapa orang yang cari di Gunung Muria? Karena yang kutahu hanya satu orang yang
sedang bertapa di gunung Muria, apakah kamu mencari orang itu?”

“Iya Ki.”

“Apakah orang itu punya hubungan denganmu?”

“Ia memiliki hubungan yang sangat dekat denganku.”

“Siapakah orang itu Bambang?”

“Pokoknya dia memiliki hubungan yang dekat denganku Ki.”

“Baiklah kalau kamu tidak mau memberitahunya, ayo kita lanjutkan latihan kita.”

Ki Selamet mengajariku untuk memantapkan gerakan-gerakan dasar tadi. Latihan


dihentikan, karena hujan sudah turun. Daripada sakit karena terkena hujan. Hujan semakin
deras, kita tidak bisa pulang melewati derasnya hujan. Akhirnya aku dan Ki Selamet berteduh
di bawah pohon beringin tua.

Tubuh kami masih terkena cipratan air hujan. Ki Selamet menerangkan bahwa di
tempatnya memang sering terjadi hujan. Pantas saja pepohonan di sini selalu basah. Saat
hujan reda matahari hampir tenggelam. Aku dan Ki Selamet bergegas kembali ke rumah.
Pada malam itu aku menanyakan kepada Ki Selamet tentang padepokan yang dulu ia
dirikan. Ia bercerita bahwa ia mendirikan padepokan agar ilmu bela dirinya berguna bagi
orang lain. Namun yang terjadi justru kebalikannya. Sebagian murid yang ia ajar di
padepokan menggunakan ilmunya untuk membahayakan orang.

Diantara sebagian murid itu ada satu murid yang berperilaku buruk sekali. Namanya
adalah Sarwapalaka. Ia tidak hanya membahayakan orang lain namun juga membahayakan
sesama murid di padepokan. Ki Selamet akhirnya mengeluarkan murid tersebut. Murid
tersebut bisa dibilang sebagai pemimpin di antara murid-murid yang berperilaku buruk.
Dikeluarkannya Sarwapalaka dari padepokan membuat kawannya yang lain keluar atas
inisiatif sendiri dari padepokan.

Hal inilah yang menyebabkan Ki Selamet kehilangan murid cukup banyak akibatnya
padepokan yang ia dirikan akhirnya bubar. Kemudian Ki Selamet dan istrinya pindah ke
tempat lain. Ia pindah ke tempat yang sekarang aku tinggali ini.

^^^

Hari demi hari kujalani. Berlatih agar aku dapat membekali diri selama perjalanan
mencari ayah. Sudah banyak ilmu bela diri yang aku kuasai. Namun aku belum puas, aku
harus terus berlatih sampai tingkat tertinggi.

Semakin kesini gerakan-gerakan yang kupelajari semakin sulit. Aku merasa tubuhku
terlihat lebih kuat sebelum aku berada disini. Selama berlatih, Ki Selamet selain mengajar
tentang bela diri juga memberiku petuah-petuah tentang kehidupan.

“Aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka”. Itu adalah salah satu yang
kuingat. Artinya jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat
curang agar tidak celaka.

Ki Selamet merupakan seorang yang paham betul budaya-budaya jawa. Ia juga


seseorang yang bijaksana. Selain pandai bela diri, ia juga lihai dalam bertembang jawa.

Sudah 1 bulan aku berada di sini. Hari ini seperti hari-hari sebelumnya. Berlatih dan
terus berlatih. Hari ini Ki Selamet mengajariku cara menghadapi musuh yang muncul tiba-
tiba. Ini berhubungan dengan reflek. Aku berusaha untuk meningkatkan reflek dan
menangkal musuh dengan segera mungkin.
Aku butuh beberapa hari untuk menguasai hal yang satu ini. Ki Selamet selalu sabar
dalam melatih muridnya. Karena kesabarannya aku dapat menguasai berbagai macam jurus.

“Bambang latihannya cukup sampai disini saja. Badanku rasanya tidak enak.”, ucapan
Ki Selamet membuatku khawatir.

“Baik Ki, mari kita kembali.”

Sampai di rumah kutuntun ia sampai di kamarnya. Sepertinya Ki Selamet kedinginan.

“Ki, apakah anda mau minum sesuatu?”

“Tolong buatkan aku kopi.”

Tanpa basa basi aku langsung pergi ke dapur untuk membuat kopi. Ki Selamet tidak
suka pakai gula saat minum kopi.

“Ini Ki kopinya.”

“Terima kasih Bambang, aku ingin beristirahat. Badanku tidak enak sekali.”

“Iya Ki.”

Aku khawatir Ki Selamet terkena penyakit parah. Apalagi tubuhnya sudah tua dan
rawan terserang berbagai macam penyakit. Dalam setiap solatku aku berdoa agar Ki Selamet
baik-baik saja.

Aku bingung bagaimana mengobatinya. Tidak ada seorangpun yang bisa dimintai
tolong. Aku hanya bisa merawatnya dan membantunya jika ingin melakukan sesuatu.

Hari demi hari berlalu, keadaan Ki Selamet semakin parah. Sudah beberapa hari ia
tidak melatihku. Ki Selamet sepertinya agak susah untuk menggerakkan tubuhnya. Tubuhnya
makin kurus, makan pun sudah tidak nafsu.

“Ki, apa ada yang anda inginkan?”

“Tidak ada Bambang, aku hanya ingin kamu menemani sisa waktuku disini.”

“Maksudnya sisa waktu apa Ki?”

“Sepertinya waktuku di dunia ini sudah tidak lama lagi, mungkin sebentar lagi aku akan
bertemu istriku”, ucapnya sambil menatapku.
“Jangan berbicara seperti itu Ki, aku masih perlu ilmu darimu. Bagaimana nanti aku
bisa mencari seseorang itu Ki?”, kugenggam erat tangan Ki Selamet yang seperti tulang
terbungkus kulit.

Aku hanya bisa berdoa agar Ki Selamet bisa sehat kembali dan kembali mengajari
ilmunya kepadaku. Makin hari keadaan Ki Selamet semakin parah. Aku mengusir pikiran
aneh-aneh terhadap Ki Selamet.

Tepat 2 minggu sejak Ki Selamet sakit, saat itu cuaca agak cerah tidak seperti biasanya.
Ki Selamet memintaku untuk menemaninya di kamar seharian itu. Karena saat itu Ki Selamet
sudah tidur aku pun ikut tertidur.

Dalam tidur aku bermimpi menemui ayah di puncak Gunung Muria. Namun wajahnya
tidak terlalu jelas. Saat itu ia menyuruhku agar aku mencari sesuatu. Namun aku lupa apa
yang disuruhnya.

Aku bangun dari tidur karena ada seseorang yang berbicara. Ternyata Ki Selamet.

“Bam.. Bambang.. bisakah kau mengambil ko...ko..tak yang ada di ata..s lemariku.”,
ucapnya dengan terbata-bata.

“Ini Ki.”

Kemudian Ki Selamet mengeluarkan isi dari kotak itu. Benda itu terbungkus kain kafan
dan berbau harum. Bungkus itu pun dibuka dan terlihat sebuah senjata yang berwarna hitam.
Wah ternyata sebuah keris, aku baru tahu kalau Ki Selamet memiliki pusaka keris. Sepertinya
keris itu sudah berumur sangat tua.

“Bambang...k..ke..kemarilah.”, aku mendekat ke Ki Selamet.

Ia memberikan pusaka kerisnya kepadaku.

“Ba..B..Bambang.. ambillah keris ini. Keris ini akan m...m...menunjukkan jalanmu


mencari ayahmu.”, ucapan Ki Selamet membuatku kaget, bagaimana dia bisa mengetahui
kalau aku mencari ayahku padahal aku tidak memberitahunya. Namun aku tidak terlalu
memperdulikannya dan kuterima saja keris itu.

“Baiklah Ki, akan kujaga keris ini.”


Tak lama setelah Ki Selamet meyerahkan kerisnya matanya sudah terpejam. Aku
mencoba menggerakkan tubuhnya. Mencoba memanggil-manggil namanya, namun tak ada
respon. Aku mendekatkan telingaku ke dadanya untuk mendengar detak jantung.

Tak ada tanda-tanda detak sama sekali. Rasanya hatiku bagai tersambar petir. Sakit
sekali. Aku tidak bisa menerima kenyataan. Aku kehilangan orang yang kusayangi. Aku
hanya bisa menatap kosong ke dinding kamar itu.

Tidaaaakkk...!!!!

Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin, hatiku ingin berontak, namun aku
seakan-akan tidak bisa melakukannya. Akhirnya aku menangis sejadi-jadinya di samping Ki
Selamet. Ternyata seperti ini rasanya kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup kita.

Aku sadar menangis tidak ada gunanya. Lebih baik aku mendoakan Ki Selamet agar
diterima di sisi Allah SWT. Karena terpaksa tidak ada orang sama sekali aku mengurusi tubuh
Ki Selamet yang sudah tak bernyawa itu sendirian.

Hatiku bagai teriris pisau tajam yang baru diasah. Sakit sekali namun tidak berdarah.
Tubuhku rasanya lemas. Makan juga tidak nafsu. Kegiatanku sehari-hari hanya duduk
termenung seperti orang stress.

^^^

Aku membersihkan rumah Ki Selamet untuk terakhir kalinya. Semua kutata rapi.
Barang-barang yang rusak aku perbaiki.

Kursi yang sering digunakan Ki Selamet kakinya patah aku perbaiki. Kasur yang
berdecit aku juga perbaiki.

Terlalu banyak kenangan disini meski hanya sebentar saja. Kenangan ini berakhir
sangat menyakitkan.

Aku mencoba berlapang dada dan menerima bahwa ini merupakan takdir dari Yang
Maha Kuasa. Mungkin ini ada hikmahnya. Sebelum pergi dari rumah Ki Selamet dan
melanjutkan perjalanan aku berdiri sejenak di depan rumah. Kupandangi setiap sisi di rumah
itu memiliki kenangan yang indah.
Kenangan itu membuatku meneteskan air mata. Aku teringat saat aku pertama kali
datang ke sini, waktu itu aku masih belum tahu apa-apa tentang ilmu bela diri. Karena Ki
Selamet aku bisa menjadi seperti sekarang ini.

Aku berpamitan yang terakhir kali kepada Ki Selamet. Semoga Ki Selamet mendapat
surga di sisi Allah SWT.

Aku harus melanjutkan perjalananku lagi. Aku tidak boleh terus-terusan bersedih disini.
Sekarang saatnya kembali untuk memcari ayahku.

Saat pergi dari rumah Ki Selamet pemandangannya hampir sama saat aku pergi
meninggalkan rumahku untuk pergi ke Gunung Muria. Sama-sama memiliki kenangan-
kenangan yang berharga dalam hidupku.

Keris yang diberikan Ki Selamet aku bawa. Katanya keris ini dapat membantuku
mencari ayahku. Aku masih bingung bagaimana Ki Selamet tahu bahwa aku sedang mencari
ayah.

Aku berjalan menuju Gunung Muria. Perjalanan kali ini nampaknya lebih sulit dari
sebelumnya. Semakin dekat dengan Gunung Muria jalan yang dilewati semakin sulit. Aku
harus melewati sungai dan naik turun lembah di bawah gunung.

Untuk turun lembah yang curam aku turun secara perlahan-lahan. Posisi tubuhku agak
miring. Setiap aku turun beberapa langkah aku berpegangan pada batang pohon. Aku
menahan tubuhku dengan pepohonan di lembah.

Jika aku terpeleset sedikit saja maka riwayatku akan tamat disini. Aku harus berhati-
hati dan memilih pohon yang kuat untuk menopang tubuhku.

Keris ini bagai memiliki kekuatan magis yang menuntunku untuk memilih jalan mana
yang aku lewati. Mungkin Ki Selamet saat ini sedang mengawasiku. Aku harus segera
menemukan ayah, semakin cepat akan lebih baik.

Dalam perjalananku ini aku banyak bertemu dengan makhluk buas. Namun karena ilmu
bela diri dan keris yang magis dari Ki Selamet aku bisa mengalahkannya.

Selain bertemu dengan makhluk-makhluk buas banyak juga hal-hal yang mistis terjadi.
Pernah saat itu tiba-tiba ada pohon rubuh di depanku persis. Padahal waktu itu cuaca baik-
baik saja, pohon tersebut juga masih kuat, tidak ada tanda-tanda akan rubuh.
Di Gunung Muria sering terjadi hal-hal aneh yang tidak bisa dipikir oleh akal manusia.
Konon katanya di Gunung Muria ini ada seseorang yang berada di padepokan Gunung Muria.
Orang itu adalah Sunan Muria, orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi.

Orang itulah yang aku cari. Apa yang akan aku katakan kepadanya saat bertemu
dengannya. Apakah dia akan menerimaku sebagai anaknya?

Ah... sudahlah, yang penting aku harus bertemu dengannya dulu. Aku merasakan
semakin dekat dengan padepokan Gunung Muria. Padahal aku tidak tahu dimana tempat itu.

Tapi entah kenapa aku bisa merasakan kalau aku sudah dekat dengan padepokan.
Suasana semakin sepi.

Aku melihat pepohonan raksasa yang tampaknya sudah tua. Akarnya yang besar
tampak menggantung. Dibalik akar-akar yang menggantung terlihat samar-samar tembok dari
kayu.

Mungkin ini adalah padepokan itu. Tembok-tembok kayu itu menopang bangunan
kokoh dibalik pohon tua.

Karena penasaran, aku memasuki bangunan itu. Suasana hening dan tenang. Bulu
kudukku berdiri karena udara dalam bangunan itu.

Ceplakk... kakiku basah terkena genangan air di lantai. Terdapat akar-akar pohon yang
menggantung sampai ke dalam.

Sepertinya akar itu menutupi sesuatu. Penasaran aku pun membuka akar itu.

Ya Allah...!!!

*******************************

Loyang merupakan murid Sunan Muria.

"Nama saya Bambang Kebo Nyabrang. Saya berasal dari lereng Gunung Muria. Saya
merupakan anak dari Sunan Muria dari istrinya yang bernama Dewi Sapsari. Kedatanganku
di sini ialah untuk meminta pengakuan dari beliau bahwa aku ini adalah anaknya." ucap
Raden Bambang Kebo Nyabrang.
"Apa? Kau adalah anaknya Sunan Muria? Setelah menjadi murid beliau selama
bertahun-tahun, aku baru tahu bahwa beliau memiliki istri dan anak lain." ucap Adiwidya
yang kaget mendengar pernyataan Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Iya, benar. Apakah kamu bisa membantuku agar bisa menemui ayahku? Aku mohon,
karena aku sangat ingin bertemu dengan ayahku. Sebab sejak aku lahir, aku belum pernah
sekalipun melihat wajah ayahku. Aku baru mengetahui bahwa beliau adalah ayahku setelah
aku mendesak danbertanya pada ibu & kakekku mengenai ayahku." pinta Raden Bambang
Kebo Nyabrang.

"Baiklah, aku akan membantumu. Akan tetapi, kamu harus menunggu sebentar karena
saat Kanjeng Sunan Muria masih sibuk berdzikir pagi& melaksanakan shalat dhuha.
Sementara itu, kamu beristirahatlah sebentar di salahsatu kamar di pedepokan ini." sahut
Adiwidya.

"Terima kasih, Adiwidya. Aku akan selalu mengenang jasa-jasamu." jawab Adiwidya.

"Tidak masalah, Raden Bambang Kebo Nyabrang. Sebagai seorang manusia kita
harus saling tolong-menolong. Berterima kasihlah pada Allah yang telah mengirimkan
bantuannya melalui aku. Selain itu, kamu merupakan anak dari orang yang paling aku
hormati. Jadi, sudah kewajibanku untuk membantumu." ucap Adiwidya.

Setelah itu, Adiwidya pergi meninggalkan Raden Bambang Kebo Nyabrang yang
sedang beristirahat. Ia pun pergi ke mushola untuk menemui Sunan Muria.

***

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Sunan Muria keluar dari mushola. Adiwidya
pun langsung menemui beliau dan mengatakan bahwa ada seseorang yang mau bertemu
dengan beliau. Sunan Muria pun menyuruh Adiwidya untuk memanggil Raden Bambang
Kebo Nyabrang. Ia pun segera bergegas melaksanakan perintah gurunya.

"Raden Bambang Kebo Nyabrang, Sunan Muria sudah selesai beribadah. Sekarang
kamu bisa menemui beliau." kata Adiwidya

"Benarkah? Akhirnya, setelah sekian lama menunggu aku bisa bertemu dengan
ayahku. Sekarang dimanakah beliau berada?".

"Sekarang beliau masih berada di mushala. Beliau menyuruhku untuk menjemputmu.


Jadi, ikutlah bersamaku menemui beliau." jawab Adiwidya.
"Apakah kau mengatakan siapa sebenarnya aku kepada ayahku?" tanya Raden
Bambang Kebo Nyabrang

"Tidak, aku hanya mengatakan bahwa ada seseorang yang mau bertemu dengan
Sunan Muria. Nanti kau ceritakan sendirilah siapa dirimu ini. Aku takut kalau salah berkata."
jawab Adiwidya.

Mereka pun segera pergi untuk menemui Sunan Muria. Di tengah-tengah perjalanan
menuju mushala, Raden Bambang Kebo Nyabrang terus menerus bertanya mengenai
bagaimana wajah ayahnya & bagaimana sifat ayahnya. Ia terlihat sangat tidak sabar, sangat
mendambakan bisa menemui ayahnya untuk pertama kalinya.

Mereka akhirnya sampai di depan mushala. Di sana terlihat Sunan Muria yang
dudukdengan tenang sambil berdzikir menunggu kedatangan mereka. Mereka pun lantas
melepaskan alas kakinya & memasuki mushala.

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Kanjeng Sunan ini dia orang yang


ingin menemui anda." kata Adiwidya.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Terimakasih Adiwidya, karena


kamu sudah memperlakukan tamuku dengan baik." kata Sunan Muria.

"Janganlah berterimakasih padaku Kanjeng Sunan, saya hanya menjalankan apa yang
kamu ajarkan kepadaku, yakni memuliakan tamu yang datang ke rumah." jawab Adiwidya.

"Baiklah, aku senang sekali murid-muridku bisa menjalankan apa yang aku ajarkan."
kata Sunan Muria.

"Kalau begitu, saya pamit dahulu Kanjeng Sunan. Karena masih ada yang perlu aku
kerjakan.Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."kata Adiwidya.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh." jawab Sunan Muria dan Raden


Bambang Kebo Nyabrang.

Tinggallah Sunan Muria dan Raden Bambang Kebo Nyabrang di dalam mushala. Di
sana suasana mendadak menjadi hening sebentar setelah Adiwidya pergi meninggalkan
mereka. Raden Bambang Kebo Nyabrang binung harus berkata apa kepada Sunan Muria.
Akhirnya, ia pun membuka obrolan dengan salam.
"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Apakah engkau benar Sunan
Muria?" kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Iya benar, aku Sunan Muria.


Siapakah dirimu anak muda? Dan ada gerangan apakah engkau datang menemuiku?" kata
Sunan Muria.

"Kanjeng Sunan Muria, perkenalkan nama saya Bambang Kebo Nyabrang. Saya
berasal dari lereng Gunung Muria. Kedatangan saya kemari ialah untuk meminta pengakuan
dari anda bahwa saya ini adalah anakmu."jawab Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Hah.... Bagaimana mungkin? Seingatku aku belum pernah memiliki anak laki-laki.
Coba ceritakan padaku siapakah engkau yang sebenarnya, anak muda!" kata Sunan Muria
yang kelihatan kaget dan tidak percaya akan perkataan Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Baiklah, Kanjeng Sunan. Sebenarnya saya ini adalah putra dari Dewi Sapsari dari
lereng Gunung Muria. Dewi Sapsari adalah istri yang engkau nikahi karena berhasil
memenangkan sayembaramu untuk menyeberangkan engkau melewati lereng Gunung
Muria." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Sejak kecil aku saya tidak mengetahui siapa ayahku yang sebenarnya. Oleh karena
itu, saya berusaha mencari tahu siapa ayahku yang sebenarnya dengan bertanya pada ibuku,
kakek dan nenekku, atau kepada penduduk di sekitar rumahku. Akan tetapi, mereka tidak
mau menjawab dan merahasiakannya. Baru setelah saya cukup dewasa, ibu pun mengatakan
bahwa ayahku adalah engkau, Sunan Muria. Ibu menyembunyikan siapa ayah yang
sebenarnya karena ia khawatir jika saya disakiti oleh orang lain yang tidak tidak menyukai
ayah, terutama orang-orang yang tidak menyukai islam. Ibu bercerita bahwa nama saya ini
diambil dari peristiwa pertemuan ayah dan ibu untuk pertama kalinya, yakni peristiwa saat
Sunan Muria menikahi ibu saya karena ibu berhasil menyeberangkan anda melewati lereng
Gunung Muria." sambung Raden Bambang Kebo Nyabrang.

Sunan Muria pun mendadak terdiam dan mencoba mencerna apa yang sebenarnya
sedang terjadi sambil sekali-kali mengucapkan istighfar.

"Hmmmm... Astaghfirullah al-'Adhim, Astaghfirullah al-'Adhim. Aku baru ingat


bahwa aku memiliki istri yang bernama Dewi Sapsari. Sudah bertahun-tahun aku tidak
menemuianya karena aku sibuk membangun pedepokanku dan mengurus berbagai masalah
mengenai umat islam di sini"sahut Sunan Muria.
"Sebenarnya sempat beberapa kali aku memikirkan ibumu dan ingin menemuinya.
Akan tetapi, ayahku Sunan Kalijaga dan ayah mertuaku, Sunan Ngerang selalu menghalang-
halangiku untuk menemui ibumu. Mereka beralasan bahwa pernikahanku dengan ibumu itu
tidak sah karena berasal dari suatu sayembara seperti yang dilakukan oleh orang-orang kafir
zaman dahulu. Selain itu, mereka juga beralasan pernikahan ini tidak sah karena tidak
disetujui dan dihadiri oleh ayahku, Sunan Kalijaga. Sedangkan Sunan Ngerang sendiri selalu
menghalangi saya karena beliau ingin menjaga persaan anaknya, Dewi Roroyono yang
merupakan istriku." lanjut Sunan Muria.

"Kalau begitu, ayah bertindak tidak adil kepada ibuku. Setiap hari ibu menantikan
kehadiran ayah dan ia selalu terlihat sedih ketika memikirkan ayah. Apakah ayah tidak
memikirkan perasaan ibu?" tanya Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Bukan begitu, nak. Sebenarnya aku ingin sekali menemui ibumu. Akan tetapi, aku
tidak berdaya karena banyak masalah ummat yang harus aku tangani dan karena
SunanKalijaga dan Sunan Ngerang yang selalu menghalang-halangi." jawab Sunan Muria.

Raden Bambang Kebo Nyabrang terlihat kesal dan diam mematung karena
memikirkanibunya dan iajuga tidak tau harus berkata apa. Belum selesai kekesalannya, tiba-
tiba Sunan Muria mengatakan perkataan yang membuatnya terkejut dan tambah kesal.

"Untuk saat ini aku masih belum bisa mengakui bahwa kamu adalah anakku. Aku
mempunyai satu syarat agar kamu bisa kuakui sebagai anakku." kata Sunan Muria.

"Apa? Setelah semua yang terjadi kamu masih belum bisa mengakui bahwa aku
adalah anakmu?" protes Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Kalau begitu, syarat apa yang harus aku penuhi agar kamu mau mengakui bahwa aku
adalah anakmu?".

"Syarat yang harus kamu penuhi ialah membawakanku Gerbang Majapahit yang ada
di Trowulan. Apakah kamu sanggup anak muda?" tantang Sunan Muria.

"Baiklah, demi janjiku pada ibu aku menyanggupi persyaratanmu. Kalau begitu aku
akan berangkat sekarang." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Tak perlu terburu-buru anak muda, beristirahatlah terlebih dahulu di sini untuk
semalam. Besok pagi baru kau mulai perjalananmu untuk mencari Gerbang Majapahit. Kau
pasti lelah setelah menempuh perjalanan menuju pedepokanku." ucap Sunan Muria.
Raden Bambang Kebo Nyabrang pun segera pergi meninggalkan Sunan Muria dengan
penuh kekesalan. Ia pun langsung pergi ke kamar dan beristirahat.

Keesokan harinya, Raden Bambang Kebo Nyabrang pun segera pergi untuk mencari
Gerbang Majapahit di Trowulan. Sebelum pergi ia berpamitan kepada Sunan Muria dan
Adiwidya. Adiwidya pun mengantar Raden Bambang Kebo Nyabrang sampai di depan
pedepokan Sunan Muria.

"Raden Bambang Kebo Nyabrang, apakah boleh aku perlu ikut bersamamu?
Perjalanan menuju ke Trowulan bukanlah suatu perjalanan yang mudah. Ada banyak
rintangan dan bahaya yang akan mengincarmu. Jika aku ikut bersamamu, mungkin aku bisa
sedikit membantu di perjalanan nanti." ucap Adiwidya.

"Terima kasih, atas tawarannya. Akan tetapi, aku tidak bisa mengizinkanmu untuk
ikut bersamamu karena ini adalah urusan pribadi antara aku dan ayahku."kata Raden
Bambang Kebo Nyabrang.

"Kalau begitu, berhati-hatilah di perjalanan nanti. Aku akan selalu mendoakanmu."


kata Adiwidya.

"Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas semua bantuan yang kamu berikan padaku.
Aku mohon jagalah ayahku selama aku pergi. Assalamualaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh." jawab Adiwidya.

***

Raden Bambang Kebo Nyabrang segera berangkat untuk mengambil Gerbang


Majapahit. Ia pergi dengan semangat yang menggebu-gebu. Ia berniat untuk segera
mendapatkan gerbang dan segera pulang. Oleh karena itu, ia mengambil jalan pintas untuk
pergi ke sana.

Raden Bambang Kebo Nyabrang pergi melewati hutan belantara yang angker, sungai
yang dipenuhi buaya, dan rawa yang sangat berbahaya karena selalu tertutup oleh kabut.
Akan tetapi, semua itu dapat dilaluinya dengan mudah karena semangatnya yang besar dan
karena pusaka sakti dari gurunya, Ki Ageng Slamet.
Akan tetapi, ternyata perjalanan tak semulus apa yang dibayangkan. Bahaya telah
mengintai Raden Bambang Kebo Nyabrang sejak lama. Akhirnya, bahaya itupun muncul saat
Raden Bambang Kebo Nyabrang sampai di Alas Purwo.

Ternyata teman seperguruannya, Sarwapalaka telah lama mengikutinya untuk merebut


pusaka sakti yang diberikan oleh Ki Ageng Slamet. Sarwapalaka tidak datang sendirian,
melainkan ia datang dengan pasukannnya.

Sarwapalaka yang telah lama menginginkan pusaka berupa keris itu pun memimpin
pasukannya agar mengepung Raden Bambang Kebo Nyabrang. Serangan yang datang secara
tiba-tiba itu membuat Raden Bambang Kebo Nyabrang terkejut.

"Ha....ha....ha....ha. Di sini rupanya kau pergi, Bambang Kebo Nyabrang. Akhirnya,


aku bisa menemukanmu." ucap Sarwapalaka mengejutkan Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Siapa kau dan mau apa kau kemari?" kata Raden Bambang Kebo Nyabrang yang
bingung dan tidak mengetahui bahwa orang yang mengepungnya itu Sarwapalaka karena ia
memakai topeng.

Sarwapalaka pun membuka topengnya dan berkata, "Ha...ha...ha...ha. Apakah kau


yakin tak mengenaliku? Aku adalah Sarwapalaka,murid tertua Ki Ageng Slamet sekaligus
teman seperguruanmu waktu itu. Apakah kau masih ingataku Bambang Kebo Nyabrang?".

"Oh, Assalamualaikum, kakang Sarwapalaka. Ada gerangan apa kakang membawa


pasukan dan mengikutiku hingga ke sini?" kata Raden Bambang Kebo Nyabrang yang masih
mencoba memahami keadaan.

"Halaah, tidak usah basa-basi kau Bambang Kebo Nyabrang. Aku ke sini bermaksud
untuk merebut pusaka sakti yang telah Ki Ageng Slamet berikan padamu." jawab
Sarwapalaka sambil marah-marah.

"Tapi, mengapa kakang Sarwapalaka mau mengambil pusaka ini? Guru telah memberi
amanah kepadaku untuk menjaga dan merawat pusaka sakti ini. Jadi, aku tidak akan
memberikan pusaka itu padamu." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Berani sekali kau mengatakan itu padaku,Bambang Kebo Nyabrang. Aku ini lebih
tua darimu, jadi akulah yang paling pantas untuk mendapatkanpusaka itu. Guru telah
melakukan kesalahan karena menyerahkan pusaka itu pada anak bau kencur sepertimu."desak
Sarwapalaka.
"Cepat serahkan pusaka itu padaku. Kalau tidak, aku danpasukanku akan merebutnya
dengan paksa darimu." ancam Sarwapalaka yang sudah dipenuhi nafsu dan amarah.

"Sekali lagi maaf, kakang Sarwapalaka. Aku tidak akan menyerahkan pusaka itu
padamu. Aku akan terus melindungi pusaka ini walau harus mengorbankan nyawaku." jawab
Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Kalau begitu, baiklahBambang Kebo Nyabrang. Aku akan merebutnya secara paksa.
Pasukan...................serang............!" kata Sarwapalaka yang memulai kerusuhan.

Akhirnya, terjadi pertarungan yang dahsyat antara Sarwapalaka dan pasukannya


melawan Raden Bambang Kebo Nyabrang. Sarwapalaka dan pasukannya menyerang Raden
Bambang Kebo Nyabrang dari segala arah dan dengan membabi buta. Akan tetapi, semua
serangan itu tidak berpengaruh pada Raden Bambang Kebo Nyabrang. Semua serangan itu
dapat dihindari dan ditangkis dengan mudah olehnya.

"Kakang Sarwapalaka, sebaiknya kakang menghentikan serangan ini. Aku tidak mau
melukaimu dan pasukanmu. Sebagai sesama muslim dan saudara seperguruan, tidak elok jika
kita saling bertengkar." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang berusaha menenangkan
keadaan.

Akan tetapi, Sarwapalaka masih tetap ngotot untuk merebut pusaka itu dan ia semakin
marah mendengar nasehat dari Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Diam, kau Bambang Kebo Nyabrang. Beraninya kau menasihati kakak


seperguruanmu. Aku tidak akan menyerah padamu. Aku datang kesini untuk mengambil
pusaka itu, bukan untuk menyerah kepadamu." kata Sarwapalaka.

Sarwapalaka pun mulai serius dan menunjukkan kekuatannya yang sesungguhnya. Ia


dan pasukannya kemudian mengeluarkan senjata andalannya, yaitu keris. Hal ini membuat
Raden Bambang Kebo Nyabrang lebih serius dan hati-hati. Sekali saja ia lengah, maka akan
terjadi sesuatu yang fatal.

Sarwapalaka yang mulai serius terus menyerang Raden Bambang Kebo Nyabrang
hingga ia merasa kewalahan dan akhirnya menjadi terdesak. Serangan demi serangan yang
dilakukan Sarwapalaka kini tak bisa ia hindari, sehingga Raden Bambang Kebo Nyabrang
terluka cukup parah.
"Sudahlah.....menyerahlah kau Bambang Kebo Nyabrang. Kau tidak akan pernah bisa
mengalahkan aku. Jika kau mau menyerahkan pusaka itu, kau tidak akan aku bunuh." kata
Sarwapalaka yang jumawa karena berhasil membalikkan keadaan.

"Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka itu. Demi Allah, aku akan terus
melindungi pusaka ini."ucap Raden Bambang Kebo Nyabrang yang terus terdesak.

Sarwapalaka yang semakin sombong lupa bahwa Raden Bambang Kebo Nyabrang
masih belum mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ia lupa bahwa Raden Bambang Kebo
Nyabrang masih menyimpan pusaka sakti yang diberikan oleh gurunya, Ki Ageng Slamet.

Karena kondisinya semakin lemah dan terdesak, akhirnya Raden Bambang Kebo
Nyabrang terpaksa mengeluarkan pusaka itu untuk mengalahkan Sarwapalaka. Ia masih terus
membujuk Sarwapalaka untuk berdamai dan menghentikan niatnya untuk merebut pusaka itu.
Akan tetapi, semua usaha yang dilakukan oleh Raden Bambang Kebo Nyabrang ternyata sia-
sia. Sarwapalaka malah semakin menantangnya. Dan pada akhirnya dengan terpaksa, Raden
Bambang Kebo Nyabrang menyerang Sarwapalaka dengan pusaka sakti pemberian Ki
Ageng Slamet.

Dengan sekali tebasan, Sarwapalaka langsung tergeletak di tanah. Ia terluka sangat


parah pada bagian perutnya. Melihat hal itu, pasukan Sarwapalaka hanya terpakudan terdiam.
Mereka tak berani menyerang kembali Raden Bambang Kebo Nyabrang karena melihat
kesaktian pusaka itu yang mampu mengalahkan Sarwapalaka dengan sekali tebasan.

Karena serangan tersebut, Sarwapalaka menjadi sekarat. Melihat hal itu, Raden
Bambang Kebo Nyabrang langsung menemuinya dan meminta maaf kepadanya.

"Maafkan aku, kakang Sarwapalaka. Aku telah melukaimu."kata Raden Bambang


Kebo Nyabrang.

"Beraninya kau melakukan hal ini kepadaku Bambang Kebo Nyabrang. Aku tidak
akan memaafkanmu. Pasukan........apa yang kau lihat? Cepat serang dan rebut pusaka itu dari
Bambang Kebo Nyabrang!" kata Sarwapalaka.

Mendengar perintah itu, pasukan Sarwapalakahanya diam saja. Mereka tidak berani
menyerangnya kembali. Mereka semua ketakutan. Bahkan, hanyamenatap wajahRaden
Bambang Kebo Nyabrangpun mereka tidak berani.
Melihat hal itu, Sarwapalaka semakin marah. Akan tetapi, keadaannya semakin
melemah dan tidak mampu untuk menyerang kembali. Nyawanya sudah berada di ubun-
ubun.

Raden Bambang Kebo Nyabrang masih sangat berharap Sarwapalaka menghentikan


niat buruknya dan mau bertobat. Ia pun membimbing Sarwapalaka untuk bertobat dan
membimbingnya untuk mengucapkan talqin.

"Bertobatlah kakang Sarwapalaka. Ucapkanlah istighfar, apa yang kamu lakukan ini
adalah sesuatu yang salah. Ikutilah apa yang aku katakan. Ucapkan Laa Ilaha Illallah." kata
Raden Bambang Kebo Nyabrang.

Sarwapalaka hanya diam dan tidak mampu menirukan apa yang diucapkan oleh
Raden Bambang Kebo Nyabrang. Hal itu dikarenakankarena ia menahan rasa sakit yang amat
dalam.

"Sekali lagi, ikuti kata-kataku kakang Sarwapalaka. Ucapkan


LaaIlahaIllallah."kataRaden Bambang Kebo Nyabrang.

Sarwapalaka berusaha mengikuti perkataan Raden Bambang Kebo Nyabrang. Akan


tetapi, lidahnya seperti tertahan oleh sesuatu, hingga tak mampu mengucapkan kalimat Laa
Ilaha Illallah. Akhirnya, Sarwapalaka menghembuskan nafas terakhir sebelum mampu
mengucapkan kalimat Laa Ilaha Illallah.

"Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Kakang Sarwapalaka, telah meninggal." ucap


Raden Bambang Kebo Nyabrang.

Pasukan Sarwapalaka yang sejak tadi hanya berdiri di pojok, tampak sedih melihat
kematian Sarwapalaka. Mereka ingin mendekati Sarwapalaka. Akan tetapi, mereka takut
karena di sana masih ada Raden Bambang Kebo Nyabrang.

Raden Bambang Kebo Nyabrang yang juga ikut bersedih mendekati pasukan
Sarwapalaka. Ia memaafkan semua yang telah Sarwapalaka dan pasukannya perbuat padanya.
Raden Bambang Kebo Nyabrang pun mengajak mereka untuk mengurus jenazah
Sarwapalaka.

"Saudara-saudaraku janganlah kalian takut kepadaku, aku telah memaafkan kesalahan


kalian semua. Sekarang, marilah kita urus jenazah kakang Sarwapalaka secara layak. Biar
bagaimanapun, kakang Sarwapalaka masihlah seorang muslim walaupun di akhir hayatnya ia
berbuat buruk." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang menenangkan keadaan.

"Baiklah, Raden Bambang Kebo Nyabrang. Kami akan mengurus jenazah kakang
Sarwapalaka secara layak." jawab pasukan Sarwapalaka yang masih bersedih.

Raden Bambang Kebo Nyabrang memimpin mereka mengurus jenazah Sarwapalaka.


Jenazah Sarwapalaka dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dikuburkan secara layak dan
sesuai syariat Islam. Jenazah Sarwapalaka pun dikuburkan di tempat dimana ia
menghembuskan nafas terakhir. Raden Bambang Kebo Nyabrang pun memimpin mereka
untuk mendoakan arwah Sarwapalaka. Setelah itu mereka beristirahat sejenak.

"Raden Bambang Kebo Nyabrang, maafkan apa yang telah kami perbuat. Kami telah
melukaimu hanya demi untuk mendapatkan pusaka dari Ki Ageng Slamet." kata perwakilan
pasukan Sarwapalaka.

"Sudah aku katakan berkali-kali, aku sudah memaafkan kalian semua. Sebagai sesama
muslim kita harus saling memaafkan dan saling membantu. Karena sesungguhnya
perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi,
seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah
tidur atau merasakan demam." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Marilah kita beristirahat sejenak di sini untuk satu malam. Sepertinya banyak dari
kalian yang terluka." ajak Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Baiklah, raden. Sementara engkau beristirahat, kami akan mencari obat-obatan untuk
mengobati luka kita dan buah-buahan atauhewan untuk kita makan." kata perwakilan pasukan
Sarwapalaka.

"Kalau begitu, berhati-hatilah kalian. Carilah makanan yang halal, dan pada saat
perjalanan nanti janganlah kalian berbuat kerusakan. Karena perumpamaan seorang Mukmin
itu seperti lebah, apabila ia makan maka ia akan memakan suatu yang baik. Dan jika ia
mengeluarkan sesuatu, ia pun akan mengeluarkan sesuatu yang baik. Dan jika ia hinggap
pada sebuah dahan untuk menghisap madu ia tidak mematahkannya.” nasehat Raden
Bambang Kebo Nyabrang kepada pasukan Sarwapalaka.

"Terima kasih atas nasihatnya, raden. Kami berangkat dahulu. Assalamualaikum."kata


pasukan Sarwapalaka berpamitan.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh." jawab Raden Bambang Kebo
Nyabrang.

Beberapa saat kemudian, mereka kembali dengan membawa obat-obatan dan


makanan yang halal. Mereka pun makan, kemudian teridur hingga pagi.

Keesokan harinya, Raden Bambang Kebo Nyabrang berpamitan kepada pasukan


Sarwapalaka agar bisa mendapatkan Gerbang Majapahit untuk ayahnya secepatnya.

"Saudara-saudaraku, sebelumnya aku minta maaf. Aku harus berangkat lebih dahulu.
Aku harus mendapatkan Gerbang Majapahit secepatnya." kata Raden Bambang Kebo
Nyabrang.

"Kalau begitu, izinkan kami menjadi pengikutmu. Mungkin kami akan berguna di
perjalanan nanti." kata pasukan Sarwapalaka.

"Maaf, aku tidak bisa mengizinkan kalian untuk ikut bersamaku. Aku ingin
melakukan tugas ini tanpa bantuan siapapun agar aku bisa diakui oleh ayahku." kata Raden
Bambang Kebo Nyabrang.

"Kami mohon, izinkan kami untuk bisa ikut bersamamu. Kami ingin menjaga
sekaligus ingin belajar ilmu agama darimu, raden." kata pasukan Sarwapalaka.

"Baiklah, aku mengizinkan kalian ikut bersamaku. Akan tetapi, adasyaratnya." kata
Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Apa syaratnya, raden? Apapun syaratnya, kami pasti akan menerimanya." jawab
pasukan Sarwapalaka.

"Kalian hanya boleh ikut bersamaku sampai di Gerbang Majapahit." kata Raden
Bambang Kebo Nyabrang.

Mendengar hal itu, membuat pasukan Sarwapalaka merasa sangat senang. Dengan
ikut bersamaRaden Bambang Kebo Nyabrang,mereka bisabelajar ilmu agama dan bisa
membantu meringankan kesulitan dari putra Sunan Muria ini. Akhirnya, Raden Bambang
Kebo Nyabrang pergi bersama pasukan Sarwapalaka untuk mencari Gerbang Majapahit di
Trowulan.

***
Selama di perjalanan, Raden Bambang Kebo Nyabrang mengajarkan segala sesuatu
tentang agama Islam yang ia ketahui kepada pasukan Sarwapalaka. Ia mengajarkan
bagaimana caranya beribadah yang benar, menguatkan akidah mereka, dan mengajarkan
nilai-nilai Islam yang akhlakul karimah. Selain itu, ia juga mengajarkan beberapa jurus bela
yang mungkin akan berguna suatu hari nanti.

Perjalanan menuju Gerbang Majapahit pun terasa sangat cepat. Tanpa terasa, mereka
sudah sampai di Trowulan. Akan tetapi, saat sampai di sana, tidakterlihat ada Gerbang
Majapahit. Di sana hanya terlihat perkampungan kumuh yang hancur akibat serangan
Kerajaan Demak.

Raden Bambang Kebo Nyabrang pun meminta pasukan Sarwapalaka berpencar untuk
mencari keberadaangerbang Majapahit. Segala penjuru dari wilayah Trowulan telah ia
telusuri. Akan tetapi, hasilnya masih tetap nihil.

Akhirnya, Raden Bambang Kebo Nyabrang memutuskan untuk menghentikan


pencarian. Ia meminta semuanya berkumpul untuk melakukan shalat sunnah mutlaq. Mereka
pun berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah.

Tak berapa lama setelah mereka melaksanakan shalat, terjadi sesuatu yang aneh. Tiba-
tiba, pohon beringin yang berada di sampingnya bergerak-gerak sendiri. Padahal, pada saat
itu tidak ada angin kencang yang mampu membuat sebuah pohon beringin yang besar itu
menjadi bergoyang.

Mereka yang berada di sana merasa ada yang aneh dengan pohon itu.Raden Bambang
Kebo Nyabrang pun mendekati pohon dengan hati-hati. Tapi, sebelum bisa mendekati pohon
itu, ia terpental jauh.

"Astagfirullahaladzim, Raden Bambang Kebo Nyabrang. Apakah engkau tidak apa-


apa?" kata salah satu pasukan Sarwapalaka.

"Jangan khawatir, aku ku tidak apa-apa." jawab Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Mengapa engkau bisa terlempar begitu jauh, raden?"tanya salah satu pasukan
Sarwapalaka.

"Entah, aku pun tak tahu. Tiba-tiba saja aku terlempar saat akan mendekati pohon itu.
Sepertinya ada pagar gaib di sana." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.
Belum selesai Raden Bambang Kebo Nyabrang terbangun, tiba-tiba muncul
sekelompok jin dari pohon itu. Melihat hal itu, pasukan Sarwapalaka segera melindungi
Raden Bambang Kebo Nyabrang dari jin itu.

"Hai, anak manusia pergilah dari sini. Ini adalah wilayah kami." kata pimpinan dari
jin itu.

"Assalamualaikum, sebelumnya kami meminta maaf jika mengganggu kalian.


Maksud kami berada di sini ialah untuk mencari gerbang Majapahit." kata Raden Bambang
Kebo Nyabrang.

"Apa? Gerbang Majapahit? Bangunan itu adalah milik kami. Kami tidak akan
menyerahkannya pada makhluk rendahan seperti kalian." kata pemimpin jin.

Pemimpin dari sekelompok jin itu pun langsung menyerang Raden Bambang Kebo
Nyabrang. Akan tetapi, Raden Bambang Kebo Nyabrang berhasil selamat karena
mendapatkan perlindungan ketat dari pasukan Sarwapalaka. Karena serangan tersebut, terjadi
pertarungan yang dahsyat antara pasukan Sarwapalaka dan sekelompok jin itu. Mereka saling
jual beli serangan.

Pasukan Sarwapalaka berhasil mengimbangi kekuatan sekelompok jin itu. Hal ini tak
lain karena ajaran tauhid dan bela diri yang mereka terima dari Raden Bambang Kebo
Nyabrang telah merasuk dalam hati. Sehingga tak ada rasa gentar ataupun takut dalam diri
setiap pasukan Sarwapalaka.

Raden Bambang Kebo Nyabrang yang tidak ingin pasukan Sarwapalaka terluka akibat
pertarungan ini segera mengeluarkan senjatapusaka dari gurunya. Iapun meminta pasukan
Sarwapalaka untuk mundur dari pertarungan.

Dengan mengucapkan takbir, ia pun menyerang sekelompok jin itu menggunakan


pusaka dari gurunya. Tak lama kemudian, muncul petir yang menyambar sekelompok jin.
Setelah itu, tiba-tiba sekelompok jin itu hilang dari hadapan mereka. Pohon beringin yang
berada disampingnya pun tiba-tiba berubah menjadi bangunan besar yang di dalamnya
terdapat gerbang Majapahit.

"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa menemukan gerbang Majapahit ini." ucap Raden
Bambang Kebo Nyabrang.
Mereka pun segera mengambil gerbang Majapahit yang menempel di bangunan itu.
Pasukan Sarwapalaka saling bahu-membahu menghancurkan bangunan itu. Akan tetapi,
bangunan itu seperti menempel dan seakan-akan tidak mau dipisahkan dari gerbang
Majapahit itu.

Segala alat telah dicoba untuk mengambil gerbang Majapahit itu, tapi semua alat itu
tidak berpengaruh, bahkan banyak yang rusak. Akhirnya senjata pusaka dari Ki Ageng Slamet
digunakan, akan tetapi masih tidak bisa.

Raden Bambang Kebo Nyabrang kembali mencoba untuk mengambil gerbang


Majapahit itu dengan menggunakan pusaka itu untuk kedua kalinya. Kali ini, ia berdoa
terlebih dahulu saat melakukan percobaan yang kedua. Ia pun mengucapkan basmalah dan
takbir, lalu mengarahkan pusaka itu ke bangunan yang didalamnya terdapat gerbang
Majapahit itu.

Dengan izin Allah, Raden Bambang Kebo Nyabrang berhasil mengambil gerbang
Majapahit itu. Hal itu menjadi sesuatu yang menggembirakan sekaligus menyedihkan bagi
Raden Bambang Kebo Nyabrang dan pasukan Sarwapalaka. Hal itu menjadi
menggembirakan karena setelah melewati berbagai kesulitan, mereka berhasil mengambil
gerbang Majapahit itu. Dan hal itu menjadi menyedihkan karena sesuai perjanjian
sebelumnya, mereka akan berpisah setelah berhasil mengambil gerbang Majapahit.

"Alhamdulillah, kita berhasil mendapatkan gerbang Majapahit itu." kata Raden


Bambang Kebo Nyabrang.

"Alhamdulillah, kami sangat senang, raden. Akan tetapi, ada satu hal yang masih
mengganggu pikiran kami." kata salah satu pasukan Sarwapalaka.

"Apakah itu, wahai saudaraku?" tanya Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Setelah ini, ke mana kita harus pergi? Kami tidak memiliki tempat tinggal dan
pemimpin yang dapat dijadikan panutan lagi." kata perwakilan pasukan Sarwapalaka yang
tampak sedih.

"Hmmm........Sebelumnya, aku mau meminta maaf karena tidak dapat mengizinkan


kalian untuk ikut bersamaku lagi. Untuk permasalahan yang kalian hadapi, aku punya satu
saran. Pergilah kalian ke pedepokan Ki Ageng Slamet. Saya kira, beliau akan dengan senang
hati menerima kalian. Di sana kalian juga bisa belajar ilmu agama dan seni bela diri. Kalau
kalian tidak ingin pergi ke pedepokan Ki Ageng Slamet, kalian bisa pergi ke pedepokan
ayahku, Sunan Muria. Saya kira juga tempat yang cukup baik untuk belajar ilmu agama dan
seni bela diri." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Terima kasih atas sarannya, raden. Kalau begitu apakah raden akan langsung
berangkat atau beristirahat di tempat ini terlebih dahulu?" tanya perwakilan pasukan
Sarwapalaka.

"Saya pikir akan lebih baik jika kita bermalam di sini terlebih dahulu. Kita bisa
beristirahat dan menghabiskan waktu bersama." kata Raden Bambang Kebo Nyabrang.

Akhirnya, mereka pun bermalam di Trowulan selama satu malam. Malam itu, terasa
sangatlah indah. Saat itu, sang purnama bersinar terang, langit tampak cerah, kunang-kunang
berterbangan, dan terdengar suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan. Malam itu mereka
memutuskan untuk tidur lebih awal agar mereka bisa bangun lebih awal. Mereka
melaksanakan shalat qiyamul lail berjamaah di tengah malam yang begitu menenangkan.
Setelah shalat qiyamul lail, Raden Bambang Kebo Nyabrang memberikan tausiah-tausiah
kepada pasukan Sarwapalaka.

Malam yang panjang itu, terasa sangatlah singkat bagi mereka karena malam itu
merupakan malam perpisahan antara mereka. Pada saat itu, mereka ingin waktu bisa
dihentikan agar bisa selalu bersama.

Keesokan harinya merupakan pagi yang sangat mengharukan bagi mereka. Anggota
pasukan Sarwapalaka harus kehilangan satu lagi pemimpinnya. Mereka harus berpisah
dengan Raden Bambang Kebo Nyabrang agar ia bisa memenuhi janjinya kepada
orangtuanya.

"Raden Bambang Kebo Nyabrang, apakah engkau benar-benar yakin mau melakukan
perjalanan ini sendirian? Kalau anda berkenan, izinkanlah satu atau dua orang dari kami
untuk bisa menemanimu." tanya perwakilan pasukan Sarwapalaka.

"Sekali lagi, terima kasih atas tawarannya, saudaraku. Akan tetapi, aku tetap tidak
bisa menerima tawaran itu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus
melaksanakan tugas ini sendirian agar ayahku mau mengakuiku." jawab Raden Bambang
Kebo Nyabrang dengan halus.
"Kalau itu keputusan raden, kami menghormatinya." kata perwakilan pasukan
Sarwapalaka.

"Terima kasih atas pengertiannya, saudara-saudaraku. Ngomong-ngomong, ke


manakah kalian akan pergi setelah kita berpisah nanti?" tanya Raden Bambang Kebo
Nyabrang.

"Setelah kami pikir-pikir, kami memutuskan untuk pergi ke pedepokan Ki Ageng


Slamet." jawab perwakilan pasukan Sarwapalaka.

"Kalau boleh tahu, mengapa kalian memutuskan untuk pergi ke pedepokan Ki Ageng
Slamet?" tanya Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Alasannya, kami ingin berguru di tempat kakang Sarwapalaka dan Raden Bambang
Kebo Nyabrang menimba ilmu." jawab pasukan Sarwapalaka secara serempak.

"Kalau begitu, aku cuma bisa mendoakan kalian semua. Berhati-hatilah kalian semua
nanti saat di jalan. Aku hanya bisa berpesan, bersikap baiklah pada setiap orang dan tolong
siapapun yang membutuhkan bantuan. Dan bersungguh-sungguhlah kalian saat menuntut
ilmu nanti agar kalian mendapatkan ilmu sejati. Ilmu yang sejati, seperti barang berharga
lainnya, tidak bisa diperoleh dengan mudah. Ia harus diusahakan, dipelajari, dipikirkan, dan
lebih dari itu, harus selalu disertai doa.Sesungguhnya, barangsiapa belajar sesuatu semata-
mata karena Allah, mencari ilmu yang ada bersama-Nya, maka dia akan menang. Dan
barangsiapa yang belajar sesuatu karena selain Allah, maka dia tidak akan mencapai
tujuannya, juga pengetahuan yang diperolehnya tidak akan membawanya lebih dekat kepada
Allah. Dan pesanku yang terakhir, jika kalian sudah mendapatkan cukup ilmu, janganlah
kalian bersikap sombong, bersikaplah rendah hati layaknya padi yang semakin berisi semakin
merunduk." pesan Raden Bambang Kebo Nyabrang.

"Terima kasih atas nasihatnya, raden. Kami juga akan mendoakan yang terbaik
untukmu. Semoga ayahmu, Sunan Muria mau mengakuimu sebagai anaknya. Semoga kita
dapat berjumpa kembali." kata perwakilan pasukan Sarwapalaka.

"Aamiin." jawab Raden Bambang Kebo Nyabrang.

Mereka pun akhirnyasaling berpelukan dan bersalaman sebelum akhirnya berpisah.


Sebuah perpisahan yang sangat mengharukan antarseorang mukmin. Mereka saling
mendoakan dan saling memberikan saran, serta motivasi. Sehingga mereka pergi ke
tujuannya masing-masing dengan hati yang tenang dan semangat yang menggebu-gebu.

***

Beda tempat, beda suasana. Sejuk, damai, dengan nuansa ketenangan. Diselimuti belaian
angin yang lembut menerpa setiap ujung dedaunan. Terlihat dua burung yang saling
berkejaran dengan kicauan yang memanjakan pendengaran.

Tampak seorang pemuda yang sedang senang hatinya memandangi keindahan ciptaan
Yang Maha Kuasa. Tetapi tetap, sorot matanya hanya tertuju pada seorang gadis yang sedari
tadi mengajari anak anak mengaji.

''Ya Allah, sungguh indah ciptaanmu,'' kata pemuda tersebut di dalam hati

Kemudian ia memejamkan mata, sembari membayangkan jikalau saja wanita


dambaannya tersebut mau menjadi pendamping hidupnya. Bisa dipastikan, rasa bahagiannya
tidak akan bisa untuk diungkapkan dengan seluruh kata yang ada.

Gadis tersebut adalah putri dari Sunan Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang. Berkulit
kuning langsat, dengan rambut bergelombang berwarna hitam. Dengan paras yang menawan ,
dan keimanan yang tidak perlu diragukan. Membuatnya menyandang sebagai istri idaman
untuk semua kaum adam.

Tak terasa waktu berlalu dengan sendirinya. Sore hari mulai menghampiri dengan
kilauan warna jingga yang menawan.

Para burung yang sedari tadi berkejar kejaran di sekitar persawahan, dengan padi yang
sudah membungkuk layaknya tak mampu menahan beban kehidupan. Kini mereka sudah
mulai beterbangan kembali ke sarang dengan kicauan yang bersautan, menunjukkan bahwa
mereka sudah dalam keadaan senang dengan perut yang kenyang, penuh dengan biji-bijian.

''Roro Pujiwat, apakah engkau juga punya perasaan yang sama dengan diriku???'' Kata
pemuda tersebut sembari membaringkan tubuhnya di sebuah kursi bambu di depan
padepokan.
Memang, dipikiran pemuda tersebut hanya ada nama satu gadis yaitu Roro Pujiwat.
Seorang gadis desa sederhana yang bisa membuatnya tergila-gila. Ia merupakan anak kelima
dari Sunan Ngerang. Yang sudah tersohor kecantikan dan kesolehannya.

''Raden Ronggo, engkau kah itu?'' Tanya Roro Pujiwat kepada seorang pemuda yang
berbaring si sebuah kursi bambu.

Sepertinya Raden Ronggo tidak asing dengan suara tersebut. Ya benar, suara gadis pujaannya.

''Iya. Ooo dek Roro, ada apa dek?'' Tanya Raden Ronggo dengan hati yang berdebar-debar.

''Tidak ada apa-apa, saya tadi hanya kebetulan lewat. Terus tidak sengaja melihat kakang
sedang tiduran disini. Oh iya kang, tadi saya mendapat amanah dari bapak untuk memberi
tahu akang bahwa nanti malam akan diadakan pertunjukan aksi bela diri untuk semua murid
di padepokan bapak. Dan akang juga harus ikut menunjukkan kebolehan akang dalam acara
tersebut, ini perintah dari bapak,'' sahut Roro Pujiwat.

''Ooo siap dek Roro. Jangan lupa untuk menonton akang nanti malam ya?'' Jawab Raden
Ronggo dengan nada bergurau.

''Ya jelas saya akan menonton. Karena itukan acara yang dibuat oleh bapak saya, kalaupun
saya tidak ikut berpartisipasi, tetapi saya tetap menghadirinya, bukankah itu sama saja saya
menghormati bapak saya???'' Ucap Roro Pujiwat.

''Iya, memang benar apa yang kamu katakan dek,'' jawab Raden Ronggo dengan memasang
senyum tipis.

''Kalau begitu saya pergi dulu, karena masih ada beberapa urusan yang perlu saya
selesaiakan,'' ucap Roro Pujiwat

''Silahkan,'' jawab Raden Ronggo dengan wajah sumringahnya.

Bagaikan melihat pelangi dipagi hari. Kebahagian sesaat itu menghampiri. Nampak raut
gembira terpancar dari wajah Raden Ronggo. Meskipun cuma bercakap-cakap hanya sesaat,
tetapi itu semua sudah lebih dari cukup untuk melebur semua kerinduan yang sudah
mengurung jiwannya dalam blenggu kegusaran.

''Lihat saja nanti malam, engkau akan kagum dengan kekuatan dan ketangkasan yang ada
pada diriku dik,'' ucap Raden Ronggo.
Persiapan pun mulai dilakukan. Demi menarik perhatian seorang wanita pujaan. Mulai
dari latihan ringan, serta mempersiapkan segala keperluan. Dari pakaian hingga mental
seorang pejuang.

Malam datang menghampiri. Setelah melakukan solat maghrib langsung dilanjutkan


dengan mengaji. Para murid di padepokan Sunan Ngerang melakukannya sebagai rutinitas di
setiap harinya. Usia tidak membedakan mereka. Mulai dari yang muda sampai dewasa tetap
semangat melakukannya. Setelah melaksanaakn solat isya, acarapun dimulai.

''Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,'' salam yang diberikan oleh Sunan Ngerang.

''Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh,'' jawab para murid padepokan.

''Sebelum kita memulai acara pada malam hari ini. Pertama-tama marilah kita panjatkan puja
dan puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya kita dapat
berkumpul di tempat ini untuk menyaksikan acara yang sebentar lagi akan dimulai. Saya
cuma mau mengingatkan untuk para peserta yang bertanding, ini adalah ajang pertunjukan
bakat bela diri, bukan ajang untuk mencederai lawan. Jadi janganlah sampai menciderai satu
sama lain. Baiklah, tanpa berkata panjang dan lebar lagi marilah kita menyaksikan aksi-aksi
para pejantan tangguh di padepokan ini,'' ucap Sunan Ngerang dengan semangatnya.

Tanpa berbasa-basi lagi, para peserta segera menempatkan diri pada tempat duduknya
masing-masing. Menunggu dipanggilnya nama mereka untuk segera beraksi memperlihatkan
kemampuan yang mereka miliki.

Dalam acara tersebut terlihat dua orang pemuda yang memiliki kemampuan di atas para
pemuda lainnya. Mereka adalah Raden Ronggo dan Raden Damar. Tak hanya memiliki
kesamaan dalam kemampuan yng mereka miliki, tetapi juga memiliki kesamaan terhadap
wanita yang mereka cintai.

Tidak terasa malam semakin nyaman menyelimuti bumi. Di akhir acara mempertemukan
antara Raden Ronggo dan Raden Damar. Tidak ada yang heran dengan hal itu, bahkan hampir
semua peserta sudah memprediksikan bahwa hal ini akan terjadi.

''Apa kamu yakin mau melawan saya? Tidak takut dengan kemampuan yanng saya miliki?''
Tanya Raden Ronggo dengan tersenyum.

''Selama kita sama-sama manusia dan sama-sama makan nasi, saya tidak akan pernah takut,''
jawab Raden Damar dengan membalas senyum kepada teman seperguruannya itu.
''Baiklah langsung saja kita mulai,'' sahut Raden Ronggo.

''Baiklah,'' ucap Raden Damar dengan singkat.

Mereka berdua bertarung dengan seriusnya. Demi dapat mendapatkan perhatian khusus
dari Roro Pujiwat, mereka mengerahkan semua tenaga dan kemampuan dalam diri mereka
masing-masing. Berbagai jurus sudah saling mereka lontarkan, tetapi tetap saja keduanya
mampu menahan dan menghindari setiap serangan yang dikeluarkan oleh lawannya. Tetapi
karena satu kelengahan, akhirnya serangan yang dilontarkan oleh Raden Ronggo berhasil
mengenai badan Raden Damar dengan telak. Berkat serangan tersebut, Raden Damar pun
terjatuh dan terbaring di tanah. Tanpa berfikir panjang ia lalu menghampiri Raden Damar
yang sudah terjatuh untuk membantunya berdiri.

''Apakah engakau baik-baik saja?'' Tanya Raden Ronggo dengan nada khawatir.

''Tenang saja Ronggo, saya tidak apa-apa,'' jawab Raden Damar.

''Maafkan saya Damar, bukan maksut saya untuk membuatmu terluka,'' ucap Raden Ronggo.

Kemudian Raden Damar mengangguk dan tersenyum. Menunjukkan bahwa dirinya


memang benar-benar dalam keadaan baik-baik saja.

Dan setelah acara tersebut selesai, mereka semua kembali ke kamar mereka masing-
masing. Dimana mereka dapat berbaring di tempat tidur untuk melepaskan semua penat
bekas segala aktifitas yang telah mereka lakukan di hari itu.

Raden Ronggo memutuskan untuk pergi membersihakan tubuh terlebih dahulu, supaya
istirahatnya dapat lebih nyaman untuk dinikmati. Tetapi setelah ia membersihkan diri ia
memilih untuk berehat di kursi panjang depan kamarnya. Sembari memandangi suasana
padepokan di malam hari, dengan diiringi terpaan cahaya bulan purnama yang sedang
memamerkan keindahhannya. Angin malam yang sendari tadi menyelimuti, menambah
kenyamanan suasana di malam ini.

Sebelum beranjak tidur, ia memikirkan apakah sudah waktunya untuk menyatakan


cintanya kepada Roro Pujiwat?

Yang ia takutkan adalah jika dia belum sempat menyatakan perasaannya itu, tetapi
malah ada orang lain yang mendahuluinya. Tetapi bila dia menyatakan cintanya, apa benar
cintanya akan diterima oleh Roro Pujiwat.
''Baiklah, besok aku akan menyatakan perasaanku ini!'' Ucapnya.

Hari pun berganti, seluruh murid-murid di padepokan sudah bangun di kala sang fajar
belum menampakkan diri. Mereka bersiap untuk segera melakukan salat subuh berjamaah.
Dan dilanjutakan untuk tadarusan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran.

Saat berjalan ke persawahan, tanpa disengaja Raden Ronggo bertemu dengan Roro
Pujiwat yang sedang berjalan sembari mengelus ujung-ujung daun padi yang masih tertutupi
oleh butiran embun pagi.

''Kebetulan sekali dik kita bisa bertemu di sini,'' ucap Raden Ronggo.

''Memangnya ada apa?'' Tanya Roro Pujiwat.

''Begini dek, saya sudah lama ingin mengatakan hal ini. Tetapi ada perasaan ragu yang
mengganjal di hati, tetapi rasa mengganjal ini akan semakin terasa apabila saya semakin lama
menyimpan perasaan ini,'' saut Raden Ronggo.

''Ungkapkan saja kang,'' jawab Roro Pujiwat.

''Baiklah dek, jadi sebenarnya saya sudah cinta sama Dek Roro sejak lama, tetapi saya tidak
berani untuk mengungkapkannya. Dan saya berniat untuk melamar Dek Roro dalam waktu
dekat ini, dan.....''

''Tunggu dulu kang, bukannya saya menolak cinta akang, tetapi saya perlu pembuktian untuk
menunjukkan seberapa besar cinta akang kepada saya,'' potong Roro Pujiwat.

''Memangnya apa yang harus saya lakukan untuk membuktikannya dek?'' Jawab Raden
Ronggo penasaran.

''Untuk membuktikannya akang harus membawakan pintu gerbang majapahit ke tanah lapang
yang ada di tengah-tengah padepokan. Apakah akang sanggup?'' Tanya Roro Pujiwat.

''Baiklah dek, akan saya lakukan. Demi mendapatkan cinta Dek Roro akang siap melakukan
segalanya,'' sahut Raden Ronggo.

Tanpa harus berpikir panjang Raden Ronggo langsung bersiap-siap melakukan tugasnya.
Layaknya seekor raja rimba yang menembus lebatnya hutan belantara, dengan gagah
perkasanya, untuk bisa menuju tempat tujuannya yaitu bekas Kerajaan Majapahit.
Setelah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam, akhirnya sampailah dia
ketempat tujuannya. Tetapi alangkah terkejutnya, ketika dia melihat barang yang dicarinya
sudah tidak ada.

..........................

Entah apa yang sudah terjadi. Mengapa bisa kebetulan seperti ini?. Apa yang menjadi
misinya sama dengan misiku. Bedanya aku harus membawa Pintu Gerbang Majapahit supaya
orang tuaku mau mengakui kalau aku anaknya. Sedangkan dia ingin membawa Pintu
Gerbang Majapahit untuk membuktikan kesungguhan cintanya.

''Sial aku kalah cepat!'' Grutu Raden Ronggo.

Tanpa berfikir panjang, ia langsung mencari informasi tentang keberadaan Pintu


Gerbang Majapahit. Dari satu warga ke warga lainnya ia menanyakan hal tersebut dan
memastikan bahwa informasi yang diterimanya memang sudah dapat dipastikan
kebenarannya.

''Siapa itu Raden Bambang Kebo Nyabrang?'' Tanya Raden Ronggo kepada salah satu
penduduk.

''Dia adalah seorang pemuda yang mengaku sebagai putra dari Sunan Muria, dan sebagai
pembuktiannya dia diberi persyaratan untuk membawakan Pintu Gerbang Majapahit ke
hadapan Sunan Muria dalam waktu 1X24 jam,''

''Lalu kemanakah dia sekarang?''

''Dia sudah perjalanan kembali ke Gunung Muria, dia menuju ke arah barat,''

''Baiklah aku akan segera menyusulnya, terimakasih atas informasinya paman,'' pungkasnya.

Bergegas ia langsung melanjutkan perjalanannya ke arah barat. Bagaikan sebuah kincir


angin yang tak kenal kata lelah, dengan cepat ia melangkahkan telapak kakinya supaya ia
punya cukup waktu untuk berhasil menemukanku.

Di perjalanannya tersebut ia sembari berfikir, apakah ia dapat membawa Gerbang


Majapahit tersebut dengan jalan damai, ataukah dengan jalan adu otot???. Entahlah biarkan
waktu yang menjawabnya.

Tak berselang lama akhirnya Raden Ronggo sampai di wilayah barat Kota Pati. Ia
memasuki kawasan hutan disana dan menemukan sebuah pohon kenanga yang berbentuk
seperti kurungan (kurungan dalam bahasa jawa adalah sangkar). Sehingga ia mengambil
keputusan untuk menamai daerah tersebut sebagai Desa Sekar Kurung.

Ketika di perjalanan aku sudah merasakan bahwa akan ada peristiwa lain yang akan ku
alami. Ternyata benar saja, saat aku sampai di Desa Rendole dan memutuskan berehat
sejenak untuk menghilangkan rasa letih yang sudah sangat kuat memeluk raga ini tiba-tiba
saja muncul seseorang dari arah hutan. Ia menghampiriku dengan sedikit senyuman yang
terpampang pada wajahnya. Seperti menunjukkan adanya rasa puas tersendiri yang
dirasakannya.

''Engkaukah yang bernama Raden Bambang Kebo Nyabrang?'' Tanyanya.

''Iya benar,'' jawabku.

''Aku datang kemari untuk meminta supaya engkau mau menyerahkan Pintu Gerbang
Majapahit itu kepadaku,'' jawabnya sambil menunjukkan jarinya ke arah Gerbang Majapahit
yang kuletakkan di bawah pohon bringin tua.

''Siapakah dirimu?'' Tanyaku.

''Aku adalah Raden Ronggo. Aku harus membawa gerbang itu untuk mendapatkan cinta dari
seorang wanita pujaan hatiku. Oleh karena itu aku harus mengambilnya darimu,''

''Tidak bisa! Aku membutuhkan gerbang ini demi mendapatkan pengakuan dari ayahku!''

''Jika engaku tetap tidak mau menyerahkannya, terpaksa aku akan mengambilnya dengan
paksa darimu!'' Ucap Raden Ronggo.

''Lancang sekali kau! Apa hak mu meminta gerbang ini?!'' Jawabku.

''Hanya ini jalan satu-satunya untuk mewujudkan impianku!'' sahut Raden Ronggo.

''Apa yang kaupikirkan? Aku sudah mendapatkan gerbang ini terlebih dulu, jadi kau tak
berhak untuk membawanya!'' Jawabku.

''Jika seperti itu Raden Bambang, rasakan ini!!!!''

Seketika Raden Ronggo menyerangku dengan cepatnya. Tetapi aku berhasil mengelak
dengan sigap.

''Tunggu dulu! Marilah kita bertarung secara jantan!'' Ucapku.

''Apa maksudmu?''
''Kita bertarung dengan kekuatan yang kita miliki, janganlah diantara kita ada yang
menggunakan pusaka yang kita miliki,''

Raden Ronggo pun berfikir sembari menyatukan kerisnya kembali dengan tutupnya.
Dengan sorot matanya yang tajam tertuju kepadaku. Entah apa yang sedang dia fikirkan,
padalah tujuanku baik, supaya pertarungan yang akan terjadi menjadi petarungan yang
seimbang. Jika saja aku bertarung dengan pemuda itu memakai kekuatan keris pusaka yang
aku miliki, kemungkinan besar aku akan dapat membunuhnya hanya dengan beberapa
serangan saja.

''Baiklah aku setuju denganmu,'' sahutnya.

Tak perlu waktu lama, aku dan Raden Ronggo langsung menghilangkan pusaka yang
masing-masing sudah kami pegang dengan sekejap. Lalu diantara kami berdua memasang
kuda-kuda menandakan siap untuk berbalas serangan.

Dan benar saja, tanpa berfikir panjang Raden Ronggo langsung mengarahkan
tendanganya kearahku. Tapi aku dapat menghindarinya dengan tenang. Langsung saja
kubalas dengan pukulan tangan kanan yang kuarahkan ke arah perut. Tetapi dia juga dapat
mengindarinya dengan baik.

Ternyata orang yang kulawan bukanlah seorang yang lemah seperti apa yang aku
perkirakan sebelumnya. Dia memiliki gerakan yang lincah, tumpuan kaki yang kuat, dan
memiliki serangan-serangan dengan tenaga dalam yang dapat membuat musuhnya akan
terkapar atau mungkin dapat mematahkan tulang.

Aku langsung mencoba melepaskan pukulan kearahnya, tetapi tetap ia mampu untuk
menepisnya dan langsung memberiku tendangan tepat di perut sebelah kanan. Dari serangan
itu membuatku sulit bernafas untuk sementara waktu. Mengetahui hal tersebut, langsunglah
dia melancarkan pukulan dengan tenaga dalam yang begitu kuat. Dengan segera aku
menolakkan kaki untuk melompat dengan berputar ke depan ke arah pohon, untuk
menghindari serangan tersebut.

Dia terlihat kelelahan setelah mengeluarkan pukulan tersebut. Saat itulah peluang
besarku muncul. Langsung aku berlalri kearahnya dan melakukan tendangan dengan tenaga
dalam. Benar saja, tendanganku ini tepat mengenainya dengan telak di bagian dada. Ia pun
terjatuh.
Setelah diantara kami berdua saling berbalas serangan dalam kurun waktu yang cukup
lama. Akhirnya dengan ajian pamungkas yang sudah kupelajari selama sepuluh tahun,
akhirnya aku dapat membuatnya terkapar tak berdaya.

Ketika aku berniat untuk memgakhirinya, tiba-tiba....

''Hentikan!!!!''

Suara teriakan terdengar dari dekat pohon beringing dimana aku meletakkan Pintu
Gerbang Majapahit. Suara itu merupakan suara yang sudah tidak asing lagi bagiku. Ternyata
benar ia adalah Sunan Muria, ayahku.

Ternyata selama perjalanan yang telah aku lakukan selama ini, ia mengikuti dan
mengawasiku dari kejauhan. Tetapi mengapa aku tidak menyadarinya sedikitpun. Dan untuk
apa dia melakukan hal itu? Bukankah dia sendiri yang sudah memerintahkan tugas itu
kepadaku? Apakah dia mengawasiku untuk memastikan apakah aku benar-benar menjalankan
tugasku dengan sebaik-baiknya? Entahlah hanya dia yang tahu.

''Hentikanlah perkelahian kalian, sungguh perkelahian yang kalian lakukan merupakan suatu
hal yang sia-sia,'' ucap Sunan Muria.

''Bagaimana engkau bisa disini?'' Tanyaku.

''Aku hanya ingin melihatmu, apakah kamu menjalankan perintahku dengan baik dan
bersungguh-sungguh. Ataukah hanya di ucapan saja kamu tampak bersungguh-sungguh,''
tuturnya.

''Mohon maaf saya memotong perkataanmu tuan, apakah engkau adalah Sunan Muria?''
Tanya Raden Ronggo.

''Iya anak muda,'' jawabnya.

''Mohon maaf tuan, apa maksud dari perkataan tuan yang menyatakan bahwa perkelahian
yang kami lakukan hanyalah tindakan yang sia-sia?'' Tanya Raden Ronggo.

''Kalian adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Bukanlah seorang anak kecil yang
hanya langsung bertindak tanpa harus berfikir sebelumnya. Setiap permasalahan pastilah
akan ada jalan keluar. Janganlah hanya menggunakan otot yang kalian punya, gunakan otak
kalian untuk mencari celahnya,''
''Tetapi diantara kami sama-sama membutuhkan Gerbang Majapahit tersebut dengan waktu
yang juga terbaras,'' jawab Raden Ronggo.

''Tetapi bukankah aku yang sudah mendapatkannya terlebih dahulu, jadi aku lebih berhak
untuk membawa gerbang itu,'' sahutku.

''Tunggu sebentar, untukmu Ronggo apakah kamu tahu mengapa wanita yang kau sukai itu
meminta untuk dibawakan Gerbang Majapahit itu?'' Tanya Sunan Muria.

''Saya tidak tahu tuan, ada apakah tuan menanyakan mengenai hal itu?''

''Tidak sembarangan orang bisa untuk mengangkat gerbang itu, apalagi membawanya.
Kecuali engkau memiliki pusaka yang memang bisa untuk meningkatkan kekuatan dalam
dirimu. Apa kau yakin bahwa wanita yang memberikan persyaratan tersebut memiliki
perasaan kepadamu meskipun hanya sedikit?''

''Mohon maaf tuan, apa maksud dari perkataan tuan tersebut?''

''Begini anak muda, jika dia benar-benar mencintaimu, dia tidak akan memberikanmu
persyaratan yang sulit itu. Atau mungkin dia memberikan persyaratan itu karena dia tahu
kalau kau tidak akan mampu menyelesaikan persyaratan yang dia berikan,'' jawab Sunan
Muria.

Mendengar perkataan tersebut, seketika Raden Ronggo terdiam. Raut wajahnya berubah
seketika. Senyum yang biasa menyelimuti wajahnya, tiba-tiba sirna entah kemana. Hanyalah
kemurungan dan beberapa hembusan nafas pelan yang dapat ia perlihatkan.

''Tidak!!!!!'' Teriak Raden Ronggo.

Langsung ia berjalan dengan gagahnya memdekati Gerbang Majapahit yang sendari tadi
berteduh dibawah rindangnya pohon beringin tua. Yang diiringi dengan jatuhnya dedaunan
pohon tua tersebut karena diterpa hempasan angin dikala musim kemarau panjang seperti saat
ini.

Setelah ia tepat berada di depan gerbang tersebut, ia mencoba memasang kuda-kuda


terkuatnya untuk segara mengangkatnya. Dan benar saja meskipun ia sudah mengerahkan
semua kekuatannya, gerbang itu bahkan tidak bisa ia geser sedikitpun.
Ia pun tak kahabisan akal. Dengan kekuatannya ia mengeluarkan pusakanya. Tetapi tetap
saja, meskipun ia telah menggunakan pusakanya, gerbang itu hanya mampu ia angkat sedikit
itupun dalam kurun waktu yang sangat singkat.

''Lalu bagaimana kau bisa mengangkatnya dan membawanya sampai sejauh ini?'' Tanya
Raden Ronggo kepadaku.

''Entahlah, aku rasa tak seberat itu. Atau mungkin kekuatan dari keris pusaka pemberian
guruku ini yang memiliki kekuatan diluar perkiraanku,'' jawabku sembari memperlihatkan
keris pemberian guruku.

''Sudahlah jangan kalian mempermasalahkannya lagi. Dan sekarang Ronggo apakah kau
sudah mengetahui apa yang aku katakan tadi?'' Sahut Sunan Muria.

''Sudah sunan, tetapi apa yang sekarang harus saya lakukan? Sedangkan saya sendiri tidak
mampu untuk mengangangkat gerbang tersebut,''

''Begini saja, untuk membuktikan apakah wanita yang kau dambakan tersebut benar-benar
mencintaimu atau tidak. Sekarang coba kau berikan katek Gerbang Majapahit itu,'' ucap
Sunan Muria sembari menunjuk katek di Gerbang Majapahit.

''Lalu apa yang selanjutnya akan saya lakukan?''

''Engkau tinggal menyerahkannya kepada wanita tersebut. Jika dia mau menerimanya berarti
dia memang benar-benar mencintaimu, karena dia mau mempermudah persyaratan yang dia
berikan. Dan ketika tiba waktu pernikahanmu, aku akan membawakan pintu gerbang ini
sebagai kejutan di hari pernikahanmu,''

Serasa mendapatkan angin segar, di tengah kepengapan hawa sekitar. Yang mampu
membuat hati menjadi tenang. Dengan pertolongan yang akan sangat dikenang. Akhirnya ada
orang yang memberinya solusi yang sesuai dengan perasaan dan pemikirannya.

''Baiklah Sunan Muria, saya sangat berterima kasih dengan semua saran dan pertolongan
yang engkau berika,''

''Tetapi ingat, jangan kau beri tahu kepada wanita tersebut kalau aku akan membawakan
gerbang tersebut sebagai kejutan di hari pernikahanmu,''

''Baiklah Sunan Muria,'' sahut Raden Ronggo sembari membungkukkan badan dan
menundukkan kepalanya.
Inilah yang membuatku bingung. Ia memerintahkanku untuk membawa gerbang itu ke
hadapannya, tetapi dia malah akan memberikan gerbang itu ke orang lain.

''Dan untukmu Raden Bambang Kebo Nyabrang, aku sudah melihat perjuanganmu untuk
melaksanakan persyaratan yang ku berikan. Untuk itu saat ini juga aku mengakuimu sebagai
anakku,'' ucap Sunan Muria.

Apa benar yang kudengar barusan? Apa mungkin aku sedang bermimpi? Jika memang
ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun dari tidurku supaya aku akan selalu ada dalam
mimpi yang sangat indah ini.

Bukan! Ini bukan mimpi. Kebahagianku ini adalah anugrah yang menghampiri di
kehidupan nyataku. Akhirnya selama puluhan tahun aku mencari siapa ayahku, dan sekarang
aku sudah bertemu dengannya dan diakui sebagai anaknya.

''Tetapi dulu, aku pernah mendapatkan pesan dari mimpi. Di mimpiku aku mendapatkan
pesan dikalau akan ada seorang pemuda yang akan mengaku menjadi putraku. Dan aku
dihampiri oleh almarhum ayahku, ia memerintahkanku untuk menjadikan anak tersebut
sebagai penjaga Gerbang Majapahit ini. Hal ini karena hanya pemuda itulah yang mampu
untuk menjaga gerbang ini dari orang-orang yang ingin menyalah gunakan kekuatan tak kasat
mata yang terdapat di dalamnya untuk malakukan berbagai perbuatan jahat demi
mewujudkan apa yang telah mereka inginkan,'' ucap Sunan Muria sembari memegang Pintu
Gerbang Majapahit.

''Baiklah ayah, aku siap untuk menjadi penjaga Gerbang Majapahit ini,'' ucapku.

''Tunggu sebentar anakku, apa kau tahu bagaimana cara untuk menjadi penjaga gerbang ini?''

''Saya tidak tahu, memangnya apa yang harus saya lakukan? Bukankah saya hanya
menjaganya seperti saya menjaga barang-barang yang saya punya lainnya?'' Tanyaku.

''Kamu salah besar anakku. Untuk menjadi penjaga yang dimaksudkan adalah penjaga yang
tidak terlihat,''

''Apa maksudnya?''

''Artinya jiwa dan ragamu akan terpisah. Seperti layaknya orang meninggal,''
Perkataan tersebut membuatku terdiam. Seolah-olah mulut ini tak bisa dibuka untuk
bicara. Terasa berat untuk dapat menggerakkan setiap anggota badan yang terasa mati rasa
setelah mendengar perkataan tersebut.

Entah apa yang harus kuperbuat dan kukatakan. Baru sebentar mendapatkan berita
bahagia berita yang kurang mengenakkan langsung mengikuti tepat di belakangnya.

''Baiklah aku siap!'' Ucapku mantap.

''Apa kau yakin dengan yang kau ucapkan? Apakah kau tidak akan menyesal?'' Tanya Sunan
Muria.

''Aku akan melakukannya karena dua alasan. Yang pertama ini adalah perintah ayahku, dan
yang kedua ini adalah tindakan yang mulia karena dikerjakan demi kebaikan,''

''Subhanallah, mulia sekali pemikiranmu anakku,'' sahut Sunan Muria dengan meneteskan air
mata.

''Sekarang apa yang harus kulakukan?'' Tanyaku.

''Peganglah tanganku ini, lalu kau baca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, dan Ayat Kursi masing-
masing tiga kali. Setelah itu pejamkan matamu,''

Tanpa harus berfikir lagi, aku langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahku.
Dan saat aku memejamkan mata, serasa ada cahaya yang menghampiriku. Terang sekali,
sampai aku tidak bisa melihat apa-apa lagi. Dan ketika aku mencoba membuka mata, aku
dapat melihat diriku yang sedang duduk sembari memegang tangan ayahku seperti saat aku
memulai untuk melakukan ritual yang diperintahkan ayahku.

Mungkinkah sekarang jiwaku ini sudah berpisah dengan ragaku? Bagaimana caranya
supaya aku bisa mengetahuinya?

''Ayah, apakah kau bisa mendengarku?'' Ucapku.

''Iya aku bisa mendengarmu. Sekarang jiwa dan ragamu sudah berpisah, dan kau sudah
menjadi penjaga Gerbang Majapahit ini,''

Tak berselang lama, aku dapat melihat ragaku yang mulai memudar menjadi cahaya-
cahaya kecil yang berwarna kuning seperti sorot lampu kunang-kunang. Lalu menghilang.

''Ayah berjanji, akan membantumu dalam menjaga gerbang ini selama nyawa ini masih
melekat pada raganya,'' ucap Sunan Muria.
''Terima kasih ayah,'' ucapku lirih.

''Dan untuk kau Ronggo, sekarang cepatlah engkau memberikan katek gerbang tersebut
kepada kekasihmu!''

''Baiklah Sunan,'' jawab Raden Ronggo.

Langsunglah Raden Ronggo berpamitan kepadaku dan kepada ayahku, kemudian


dengan langkah pasti ia segera kembali ke padepokannya. Aku hanya bisa memberinya doa
supaya apa yang telah ia perjuangkan sejauh ini dapat tercapai.

Dan setelah ia sampai di depan padepokan, hatinya serasa sangat bahagia. Tinggal
beberapa langkah lagi ia mampu mendapatkan apa yang telah ia perjuangkan mati-matian
selama ini.

Tak perlu waktu lama, akhirnya ia berhasil menemukan Roro Pujiwat yang sedang
berdiam diri di samping sawah sambil menikmati belaian angin dan embun pagi yang
memberikan rasa sejuk di setiap bagian kulit yang menerpanya.

''Dek,'' sapaku.

''Iya,'' jawab Roro Pujiwat sambil menolehkan pandangannya ke arahku.

''Raden Ronggo, sejak kapan kau ada di sini?'' Tanya Roro Pujiwat dengan senyum manisnya.

''Baru saja dek,''

''Apa Raden Ronggo sudah berhasil membawakan persyaratan yang sudah saya berikan?''

''Begini dek, saya hanya bisa membawakan katek ini dari Gerbang Majapahit. Semoga dek
Roro mau menerimanya,''

Mendengar perkataan Raden Ronggo tersebut, Roro Pujiwat langsung terdiam. Ternyata
persyaratan yang telah ia berikan tidak dapat dipenuhi oleh Raden Ronggo.

''Maaf Raden Ronggo, aku tidak bisa menerimanya. Syarat yang telah ku berikan bukanlah
itu,''

''Tapi dek, saya tidak kuat untuk mengangkatnya apalagi membawanya sampai kesini. Hanya
orang-orang tertentulah yang bisa untuk mengangkatnya,'' ucap Raden Ronggo.

''Seharusnya engkau harus lebih berusaha lagi untuk dapat membawakannya ke hadapanku,''
''Tetapi itu benar-benar sulit dek, bahkan sebenarnya gerbang tersebut sudah dibawa oleh
orang lain terlebih dahulu. Dan ketika saya bertarung denganya, saya justru kalah dan akan
dihabisi saat itu juga. Untungnya ada orang lain yang menyelamatkan sa.....''

''Sudahlah, jangan banyak alasan. Aku sudah tidak mau lagi untuk menjadi istrimu, bahkan
untuk menemuimu,'' ucap Roro Pujiwat sembari pergi melangkahkan kaki menjauhi Raden
Ronggo.

Mendengar hal itu, serasa hati Raden Ronggo remuk tak berbentuk. Segala usaha yang
telah ia lakukan selama ini sia-sia. Bahkan meskipun ia hampir saja kehilangan nyawanya
saat bertarung denganku.

Rasa emosi sudah menggebu-gebu di dalam diri Raden Ronggo. Otaknya sudah tidak
dapat digunakan untuk berfikir secara jernih, karena sudah tertutup dengan rasa amarah yang
sudah tidak dapat untuk dikendalikan lagi.

''Berhenti kau!!!'' Ucap Raden Ronggo.

Dan ketika Roro Pujiwat memalingakan pandanganya, Raden Ronggo langsunglah


melemparkan katek yang sudah sejak lama ia pegang. Lemparan itu tepat mengenai pelipis
dari Roro Pujiwat. Dan seketika itu pula Roro Pujiwat terjatuh ke tanah dan harus meregang
nyawanya. Katek yang dilemparkan secara magisnya dapat menghilang dengan sendirinya.

Kemudian Raden Ronggo melarikan diri sejauh-jauhnya untuk segera meninggalkan


padepokan, sebelum ada orang lain yang melihatnya telah malakukan pembunuhan.
Sedangkan ia meninggalkan mayat Roro Pujiwat yang penuh dengan darah terkapar begitu
saja di wilayah persawahan penduduk.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai