Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang

Pramoedya Ananta Toer kerapkali dituding sebagai komunis sebab aliran sastra
yang digunakan adalah realisme-sosialis. Di Indonesia, komunis dianggap sebagai
manusia anti-Tuhan yang menisbihkan keberadaan Tuhan. Tuduhan ini menjadikan Pram
sebagai pengarang yang disegani sekaligus menjadi musuh bersama antek kekuasaan.
Padahal, karya-karya Pram hanya mencerminkan kondisi ketidakadilan yang dialamı
masyarakat Indonesia, kebebasan yang dirampas, dan agama yang hanya dijadikan jubah
kekuasaan. Nilai-nilai dalam karya Pram jika diteliti dengan kritis sebenamya
mengandung nilai humanis, liberasi dan transendesi, atau dalam pengertian Kuntowijoyo
dikatakan sebagai profetik.

Dalam beberapa karyanya, Pram kerap kali menyisipkan beberapa bumbu realisme
sosial yang menggambarkan realitas masyarakat Indonesia. Terutama beberapa kisah dari
kaum minoritas yang terpinggirkan di eranya. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk
menggali hasil olah pikir Pramoedya Ananta Toer melalui buku-bukunya. “Midah Si
Manis Bergigi Emas” merupakan salah satu novel pendek dari Pram, melalui novel
tersebut penulis berencana untuk melihat beberapa pandangan Pram soal pandangannya
seputar budaya dan agama. Karena isi dari novel ini erat kaitannya dengan beberapa nila-
nilai yang kerap kali hadir di masyarakat, terutama tentang nilai budaya dan agama yang
dinarasikan oleh Pram dalam karyanya tersebut.

Penulis berharap dengan sedikit pemaparan dari narasi yang ditawarkan Pram
melalui karyanya yaitu “Midah Si Manis Bergigi Emas,” pembaca bisa mengetahui pesan
yang ingin disampaikan oleh Pram. Dengan begitu pembaca sedikit lebih mengerti apa
yang diperjuangkan Pram melalui karyanya tersebut.

Pramoedya Ananta Toer dan Realisme Sosial

Pram merupakan salah satu penulis sastra yang beraliran realisme sosialis. Pram
juga merupakan salah satu tokoh lembaga kebudayaan bernama Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) yang kemudian dicap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI),
Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950, dengan para pencetus antara lain DN. Aidit, M.S
Ashat, A S. Dharta dan Nyoto. Tokoh-tokoh lain yang kemudian muncul sebagai anggota
Lekra ialah Bakri Siregar, Bujung Saleh, Joebar Ajoeb, dan tentunya Pramoedya Ananta
Toer.1

Aliran realisme sosialis sendiri merupakan cabang dari teoni kritik sastra Marxis
yang memadukan dua pandangan besar dari segi seni dan ideologi sebagai landasan dasar
teorinya. Dua pandangan hesar itu. realisme dan sosialisme, adalah tumpuan utama
pembangun paham aliran realisme sosialis. Oleh karena itu, ada baiknya jika melihat
terlebih dahulu pengertian masing-masing pandangan tersebut untuk lebih memahami
maksud tujuan aliran realisme sosialis di dalam dunia kesusastraan.

A. Realisme
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), realisme berarti paham atau
ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan dengan berusaha melukiskan atau
menceritakan sesuatu sebagaimana kenyatannya. The Columbia Dictionary juga
memberikan makna yang tidak jauh berbeda, yaitu sebuah metode/bentuk fiksi yang
menyodorkan gambaran "potongan kehidupan" dengan representasi kenyataan
yang akurat.2
Jadi, seni aliran realisme dapat dipahami sebagai sebuah cara/metode menyeni
yang bertujuan memperlihatkan, menampilkan kembali, atau memaparkan ulang
gambaran kehidupan dunia nyata di dalam karyanya. Akan tetapi, jika mau lebih
kritis, realisme di dalam cerita sebenamya tidak bisa sepenuhnya dikatakan objektif
karena status cerita itu sendiri adalah fiksi yang berarti cerita buatan, tetapi di
dalamnya berusaha diceritakan kembali sesuatu yang ada di dunia nyata. Konsep
realisme ini berusaha dimengerti di dalam satu contoh ragam fiksi yang disebut
"fiksi realistik", yakni cerita fiksi yang terinspirasi dari kehidupan nyata yang
realistik.
B. Sosialisme
Sosialisme secara etimologi berasal dari bahasa Perancis yang berarti
kemasyarakatan. Istilah ini pertama kali munu sekitar tahun 1830 sebagai sebutan
untuk paham baru yang mencita-citakan satu komunitas masyarakat yang
menjadikan hak kepemilikan alat-alat produksi sebagai hak milik bersama, tidak
lagi hanya diselenggarakan oleh segelintir orang ataupun lembaga perorangan

1
Eka Kurnniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosial. (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002)
hlm. 89
2
The Columbia Dictionary of Modern Literacy and Cultural Criticism. Columbia University Press. 1995.
(privatisasi) yang hanya mengeruk keuntungan terbesar bagi pribadi dan bukan
untuk keuntungan kolektif. Defenisi tersebut yang dibawa juga ke dalam aliran
Marxis untuk mengartikan sosialisme sebagai organisasi masyarakat yang meyakini
semua individu adalah sama dan berhak berkembang dengan diberi akses serta
kesempatan yang sama.

Dari pemaparan seputar realisme sosial di atas, sedikit banyaknya kita bisa
melihat arah pemikiran dan tujuan penulisan dari karya-karya Pram. Begitu pun dengan
novel yang akan penulis ulas dan paparkan di makalah ini. Karena seperti apa yang sudah
penulis sedikit jelaskan di latar belakang penulisan novel “Midah Si Manis Bergigi Emas,”
juga menggambarkan realisme sosial di masyarakat ketika itu.

Midah Simanis Bergigi Emas

Ini adalah novel ringan. Ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada tahun 50-an
dengan setting tempat Jakarta. Novel ini menjadikan perempuan sebagai tokoh utamanya.
Nama tokoh itu adalah Midah. Pendek sekali namanya. Hanya Midah. Kulitnya kuning,
wajahnya agak bulat, senyumnya manis sekali membuat para Lelaki jatuh hati kepadanya,
cantik parasnya, lentik suaranya, dan kuat hatinya.

Midah dilahirkan di tengah keluarga yang taat beragama. Hadji Abdul nama
ayahnya. Fanatik terhadap musik-musik berbau Arab. Umi kalsum yang menjadi penyanyi
favoritnya sampai ketika usia 9 tahun kehidupan Midah sangat enak. Ia dimanja dan
dipangku-pangku. Karena memang ia anak tunggal. Situasi berubah ketika Midah
mempunyai adik yang mulai membanyak. Dirumah ia sudah mulai disepelekan. Perhatiaan
bapaknya sudah sepenuhnya kepada adik-adiknya. Ia tak lagi dipangku-pangku. Ia tak lagi
ditemani ayahnya untuk mendengarkan lagu Umi Kalsum. Midah sekarang seperti terkucil
di rumahnya. Adik-adiknya telah merampas semuanya.

Karena tidak bertah, Midah sering keluar rumah dan biasanya pulang sore atau
bahkan malam hari. Begitu seterusnya. Tapi orang tuanya seakan tidak perduli dengan
dirinya. Situasi tidak berubah sama sekali. Ini makin membetahkan midah untuk bermain-
main dijalanan. Di jalanan itulah Midah terpikat dengan pengamen keliling. Terutama
lagu-lagu keroncong yang mereka bawakan. Midah senang sekali dengan keroncong. Ia
ternyata sudah bosan dengan Umi Kalsum. Dibelinya beberapa piringan hitam keroncong.
Sesingkat itu Midah sudah hafal semua isinya. Saat itu lah ia kepergok ayahnya. Ia dihajar
habis-habisan gara-gara mendengarkan lagu haram dirumah. Diantara rasa takut
berkecamuk di hati, Midah menyimpan benci kepada ayahnya. Ibunya juga tak bisa
berbuat apa-apa. Dihadapan ayahnya ibu nya tak mempunyai kekuatan.

Sampailah suatu hari ketika ayahnya ingin menikahkan Midah dengan laki-laki
pilihan ayahnya. Dan syaratnya laki-laki itu berasal dari Cibatok, desa ayahnya, berharta,
dan taat beragama. Setelah tiga bulan perkawinan, Midah lari dari suaminya, Hadji Terbus,
dengan membawa beban hamil karena tahu bahwa Hadji Terbus memiliki banyak istri. Ia
tersesat ditengah ramainya jalanan Jakarta tahun 50-an.

Dalam pelarian inilah Pramoedya menggambarkan perempuan muda ini begitu


kuatnya untuk beertahan hidup. Perempuan yang tidak mudah menyerah dengan kerasnya
Jakarta. Walaupun ia hanya menjadi penyanyi dengan panggilan simanis bergigi emas
dalam kelompok pengamen keliling dari satu resto ke resto lainnya, bahkan dari pintu ke
pintu rumah warga. Dengan kandungan yang semakin membesar dari hari kehari, Midah
memang tampak kelelahan. Tapi manusia tidak boleh menyerah pada kelelahan. Hawa
kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus diarungi. Dan kita tahu Midah memang kalah
secara moral dalam pertaruhan hidup itu, menjadi penyanyi sekaligus pelacur.

Pramoedya, lewat novel ringan ini, memperlihatkan ketegangan antara jiwa


seorang yang humanis dan moralitas. Disatu sisi Pramoedya ingin menegaskan kekuatan
seorang perempuan berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan. Seorang
perempuan yang tak mudah ditaklukan oleh apa pun. Tapi di sisi lain ingin
memperlihatkan kebusukan kaum moralis lewat tokoh Hadji Trebus, juga Hadji Abdul
yang hanya rajin zikir tapi miskin citarasa kemanusiaan.
Kesimpulan dan Pesan

Pram memilih buku sebagai media untuk mengirimkan pesan kapada


masyarakat tentang ide-ide yang ia kembangkan, baik itu seputar budaya, ataupun tentang
kritikannya kepada masyarakat beragama yang keliru menjalankan ajaran agamanya.
Seperti halnya beberapa pesan yang penulis temukan di novel “Midah Simanis Bergigi
Emas.

Keluarga, dalam lingkup sempit; orang tua, memegang peranan yang sangat
penting bagi masa depan anaknya. Terutama cara mengajari anak waktu masih kecil, itu
yang akan menancap terus di kepala anak. Midah, anak dari seorang yang alim, Haji
Abdul. Dididik dengan teramat keras dan taat beragama. Membuat Midah takut orang tua
sedari kecil. Takut bukan dalam artian hormat, namun takut secara harfiah. Semakin anak
takut, semakin pula ia akan tumbuh bertolak belakang dengan apa yang diharapkan orang
tuanya, sebagai tindak perlawanan selaku individu yang harusnya merdeka bahkan sejak
menghirup nafas pertama di dunia.

Ada beberapa pesan yang ingin Pram sampaikan lewat certia ini, di antarnya;

1. Anak hanyalah titipan dari tuhan, jadi jangan terlalu dikekang dan digiring

sedemikian rupa. Karena anak juga berhak mengambil keputusan sendiri di

hidupnya dan orang tua sifatnya hanya menyarankan saja

2. Istri boleh patuh suami tapi akan tetapi tidak boleh abstain dalam pengambilan

keputusan keluarga.

3. Anak paling penurut dan baik sekalipun bisa menjadi bejat total apabila tidak

mendapatkan rasa “aman” dan “penerimaan” dari keluarga serta orang terdekat.

4. Beragama sebaiknya diiringi juga dengan rasa kemanusiaan, karena agama tanpa

rasa kemanusiaan akan mematikan akal.

Anda mungkin juga menyukai