Anda di halaman 1dari 21

“MAKALAH KASUS PERBANKAN CARDING”

Digunakan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perbankan Kelas B dengan
Dosen Pengampu Dr. Dyah Ochtorina Susanti. S,H. M.Hum.
Rahmadi Indra Tektona. S,H. M.Hum.

Oleh

AMIN THALIB (170710101165)

MATA KULIAH HUKUM PERBANKAN


UNIVERSITAS NEGERI JEMBER
TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya memberikan kelancaran kepada kami
sehingga,makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.

Penulisan makalah yang berjudul Carding kami menyadari dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan di karenakan kami dalam tahap pembelajaran. Namun berkat
bantuan dan dorongan dari dosen mata kuliah Hukum Perbankan .

Kami berharap dengan tulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang
dalam tahap pembelajaran dan pembaca pada umumnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk bahan pertimbangan dan untuk meningkatkan prestasi pembelajaran di
masa yang akan datang.

Jember, 22 Oktober 2019


Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. 2

DaftarIsi ........................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 6
1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 6
1.4 Manfaat ...................................................................................................................... 7

BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................................... 8

2.1 Cyber Crime…….……………………………............................................................8


2.2 Carding………………………….………………........................................................9
2.3 Internet Banking.......... .................. .................. ......................................................... 10

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................... 12

3.1 Permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime……………………….. 13

3.2 Pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia.................................................... 19

3.3 Solusi mengenai cara penanggulangan carding demi melindungi identitas dan pin
kartu kredit nasabah ………………………………………………………………...….. 15

BAB IV PENUTUP ......................................................................................................... 19

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 19

3.2 Saran .......................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 20

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini hampir seluruh aktivitas bisnis, baik bagi perusahaan berskala kecil maupun
skala besar tidak dapat terlepas dari peran sistem informasi, baik melalui jaringan kabel
maupun nirkabel (wireless). Pengguna sistem informasi dan teknologi digital umumnya hanya
memiliki pengetahuan dasar mengenai dasar-dasar cara pengoperasian teknologi. Sebaliknya,
cara pengamanan sistem infromasi dan teknologi masih sangat sedikit yang mengetahuinya,
sehingga terdapat sangat banyak celah bagi peretas (hacker) dalam memanfaatkan celah
tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Tidak sedikit kasus pemindahan dana dalam rekening secara legal (pencurian),
penipuan, dan identity theft atau disebut sebagai cybercrime yang terjadi dalam dunia
perbankan (e-banking) maupun perdagangan online (e-business dan e-commerce). Dengan
perkembangan kebutuhan alat bayar yang lebih efisien, mudah dan nyaman untuk digunakan,
masyarakat mulai beralih menggunakan kartu kredit maupun e-money dalam bertransaksi.
Nasabah pemakai kartu kredit juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang Bank Indonesia (LSPPU BI) tahun 2009
jumlah pemegangkartu kredit di Indonesia sudah mencapai lebih dari 12 juta kartu yang
beredardari total 20 penerbit (issuer) di Indonesia. Jumlah tersebut semakin bertambah hingga
tahun 2014.1
Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam
hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui
sistem elektronik. Carding merupakan bagian dari cyber crime dalam transaksi perbankan
yang menggunakan sarana internet sebagai basis transaksi khususnya sistem layanan
perbankan online (online banking)2. Terjadinya carding oleh pelaku (carder) dengan cara
memperoleh data kartu kredit secara tidak sah dengan memanfaatkan teknologi informasi

1
Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang 2009” Peran dan Kinerja sistem Pembayran dalam
Mendukung Upaya Pemulihan Ekonomi”.
2
Efvy Zam, Bukti Sakti Hacker ( Jakarta: Media Kita 2011) hal 181

4
(Internet) dengan cara menggunakan nomor kartu kredit orang lain untuk melakukan
pemesanan barang secara online. Komunikasi awalnya dibangun melalui e-mail untuk
menanyakan kondisi barang dan melakukan transaksi. Setelah terjadi kesepakatan, pelaku
memberikan nomor kartu kreditnya dan penjual mengirimkan barangnya. Hal tersebut tentu
saja tidak disadari bahkan tidak diketahui oleh pemilik asli kartu kredit.3
Salah satu contoh kasus terjadi pada Mei 2008, Albert Gonzales (28) segera ditangkap
polisi dengan barang bukti dua perangkat komputer, uang sebesar $ 22.000, dan senjata Glock
9. Albert Gonzales adalah seorang hacker kartu kredit buronan polisi yang dikenal dengan
nama "soupnazi" di internet. Gonzalez dituduh membobol sistem komputer jaringan bisnis
dan mencuri kartu kredit serta kartu debit. Gonzales pernah menjadi informan untuk U.S.
Secret Service. Sebanyak 170 juta akun kartu kredit berhasil dia bobol. Atas sepak terjangnya
ini Gonzales dijuluki hacker kartu kredit terbesar sepanjang dekade. Jika terbukti bersalah,
Gonzales akan dipenjara seumur hidup. Saat ini dia masih menunggu proses pengadilan di
New York, Massachusetts, serta New Jersey.4
Kasus kedua terjadi pada September 2014, perusahaan retail AS The Home Depot
mengumumkan telah jadi korban aksi peretasan. Peristiwa itu membuat 53 juta alamat email
serta 56 juta informasi kartu kredit dan kartu debit pelanggan bocor. Peretas The Home Depot
telah masuk ke dalam sistem komputer perusahaan sejak April. Dia masuk ke dalam komputer
internal perusahaan dengan memanfaatkan informasi yang dicuri dari vendor pihak ketiga
lalu. Baru lima bulan kemudian perusahaan itu mengetahui sistem keamanannya telah
disusupi secara ilegal.5
Di Indonesia pada tahun 1982 telah terjadi penggelapan uang di bank melalui
komputer sebagaimana diberitakan “Suara Pembaharuan” edisi 10 Januari 1991 tentang dua
orang mahasiswa yang membobol uang dari sebuah bank swasta di Jakarta sebanyak Rp.
372.100.000,00 dengan menggunakan sarana komputer. Perkembangan lebih lanjut dari
teknologi komputer adalah berupa computer network yang kemudian melahirkan suatu ruang
komunikasi dan informasi global yang dikenal dengan internet. Pada kasus tersebut, modus

3
Efvy Zam, Bukti Sakti Hacker ( Jakarta: Media Kita 2011) hal 181
4
James Verini, “The Great Cyberheist” (https://www.nytimes.com/2010/11/14/magazine/14Hacker-t.html diakses
22 Oktober 2019)
5
Tabita Diela, “ Setelah iCloud dan Bank, Giliran Home Depot yang Diserang “ Hacker” (
https://ekonomi.kompas.com/read/2014/09/03/095312226/Setelah.iCloud.dan.Bank.Giliran.Home.Depot.yang.Di
serang.Hacker. diakses pada 22 Oktober 2019)

5
kasus ini adalah murni kriminal, kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya
sebagai sarana kejahatan. Penyelesaiannya, karena kejahatan ini termasuk penggelapan uang
pada bank dengan menggunakan komputer sebagai alat melakukan kejahatan. Sesuai dengan
undang-undang yang ada di Indonesia maka, orang tersebut diancam dengan pasal 362 KUHP
atau Pasal 378 KUHP,6 tergantung dari modus perbuatan yang dilakukannya.
Kasus selanjutnya terjadi pada Pada tanggal 13 Februari 2009, Mabes Polri berhasil
menangkap tersangka Andre Christian Brail (Usia 28 thn) dan Khayrunisa (Usia 44 thn) yang
diketahuitelah melakukan kejahatan ini sejak tahun 2000. Modus kejahatan carding
memanfaatkan PIN dan nomor kartu kredit nasabah yang masih bisa digunakan untuk otorisasi
secara ilegal. Selanjutnya, kartu kredit kosong dicetak melalui perangkat komputer dan mesin
cetak canggih. Setelah itu kartu kredit bisa digunakan untuk transaksi seperti belanja di
merchant (toko), menginap di hotel serta melakukan transaksi tarik tunai. Dari tangan para
carder tersebut, Polisi berhasil mengumpulkan berbagai barang bukti yakni, 27 lembar kartu
kredit palsu, delapan buah ponsel, sebuah mesin cetak embosser, sebuah skimmer merek MSR
2006, dua buah laptop, sebuah alat pembaca (umron) dansebuah hard disk.7
Dengan mengambil studi kasus mengenai tindakan carding yang sangat merugikan
masyarakat, maka perlu adanya tindak lanjut melalui aspek penguatan hukum cybercrime dan
aspek sistem keamanan jaringan yang dapat melindungi privasi, data penting dan rahasia, serta
melindungi hak karya cipta yang saat ini sangat marak terjadi pembajakan. Pentingnya
pengetahuan dan kesadaran diri bagi tiap individu sangat diperlukan untuk terus menekan
angka cybercrime sekaligus memproteksi diri agar terhindar dari kejahatan serupa.
Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses pembangunan nasional
sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat melindungi hak para
pemakai jasa internet sekaligus menindak tegas para pelaku cybercrime. Maka, penting bagi
pemerintah untuk memberlakukan kembali UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik)
No.11 Tahun 2008,8 melakukan pengawasan, memblokir situs-situs fraud, dan merancang
sistem yang baik untuk melindungi nasabah pemilik kartu kredit dari ancaman cybercrime.

6
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
7
Anonim, “Sindikat Carding Senilai Ratusan Miliar Berhasil Digulung”
(https://tekno.kompas.com/read/2009/02/13/18105150/sindikatcardingsenilairatusanmiliarberhasildigulung
diakses pada 22 OKtober 2019)
8
Undang Undang Informasi NO 11 tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik

6
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime?

2. Bagaimana pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia?

3. Bagaimana cara penanggulangan carding demi melindungi identitas dan pin kartu kredit
nasabah?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia.

3. Untuk memberikan solusi mengenai cara penanggulangan carding demi melindungi


identitas dan pin kartu kredit nasabah.

1.4 Manfaat

Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat mengerti apa itu Carding, bahaya
dari carding itu sendiri. Adanya kasus Carding ini dan juga mengetahui perubahan
perubahan yang terjadi. Dan diharapkan para pembaca mendapat manfaat dan dapat
menjadi sarana media pembelajaran dalam menambah wawasan.

7
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Cyber Crime

Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau Internet telah menciptakan


dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang
menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual. Istilah cyberspace muncul pertama
kali oleh William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984. Istilah cyberspace
pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung langsung (online) ke
internet.9
Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah
baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir
(http://dictionary.cambridge.org ) yakni Cambridge Advanced Learner's Dictionary
memberikan definisi cyberspace sebagai “the Internet considered as an imaginary area
without limits where you can meet people and discover information about any subject”.10

Perkembangan teknologi komputer juga menghasilkan berbagai bentuk kejahatan


komputer di lingkungan cyberspace yang kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal
dengan Cybercrime, Internet Fraud, dan lain-lain. Collin Barry C. (1996) menjelaskan
istilah cybercrime sebagai berikut :
“Term “cyber-crime” is young and created by combination of two words: cyber and crime.
The term “cyber” means the cyber-space (terms “virtual space”, “virtual world” are used
more often in literature) and means (according to the definition in “New hacker
vocabulary” by Eric S. Raymond) the informational space modeled through computer, in
which defined types of objects or symbol images of information exist – the place where
computer programs work and data is processed.” 11

Computer crime dan cybercrime merupakan 2 (dua) istilah yang berbeda


sebagaimana dikatakan oleh Nazura Abdul Manap (2001: 3) sebagai berikut:

9
Wiliam Gibson, Neuromancer ( America: the Sprawl 1984) hal 13
10
Anonim ( http://dictionary.cambridge.org diakses pada 22 Oktober 2019)
11
Collin Bary C, The Future of Cyberterrorism: Where the Physical and Virtual Worlds Converge ( English: Institute
For Security and Intelligence)

8
“Defined broadly, “computer crime” could reasonably include a wide variety of criminal
offences, activities or issues. It also known as a crime committed using a computer as a
tool and it involves direct contact between the criminal and the computer…..There is no
Internet line involved, or only limited networking used such as the Local Area Network
(LAN). Whereas, cyber-crimes are crimes committed virtually through Internet online. This
means that the crimes committed could extend to other countries… Anyway, it causes no
harm to refer computer crimes as cyber-crimes or vise versa, since they have same impact
in law.” 12
Sebagian besar dari perbuatan Cybercrime dilakukan oleh seseorang yang sering
disebut dengan cracker.13 Berdasarkan catatan Robert H’obbes’Zakon, seorang internet
Evangelist, hacking yang dilakukan oleh cracker pertama kali terjadi pada tanggal 12 Juni
1995 terhadap The Spot dan tanggal 12 Agustus 1995 terhadap Crackers Move Page.
Berdasarkan catatan itu pula, situs pemerintah Indonesia pertama kali mengalami serangan
cracker pada tahun 1997 sebanyak 5 (lima) kali.
Voos (1994-1999) menguraikan beberapa jenis Cybercrime berdasarkan beberapa
isu yang menjadi bahan studi atau penyelidikan pihak FBI dan National White Collar Crime
Center sebagai berikut :
 Computer network break-ins
 Industrial espionag
 Software piracy
 Child pornography
 E-mail bombings
 Password sniffers
 Spoofing
 Credit card fraud
Kegiatan hacking atau cracking yang merupakan salah satu bentuk cybercrime
tersebut telah membentuk opini umum para pemakai jasa internet bahwa Cybercrime
merupakan suatu perbuatan yang merugikan bahkan amoral. Para korban menganggap atau

12
Maskun, Kejahatan siber(Cyber Crime) Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana 2014) hal 50
13
Maskun, Kejahatan siber(Cyber Crime) Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana 2014) hal 67
9
memberi stigma bahwa cracker adalah penjahat. Perbuatan cracker juga telah melanggar
hak-hak pengguna jasa internet sebagaimana digariskan dalam The Declaration of the
Rights of Netizens yang disusun oleh Ronda Hauben. Berdasarkan pemikiran JoAnn L.
Miller yang membagi kategori white collar crime menjadi empat kategori, yaitu meliputi
organizational occupational crime, government occupational crime, profesional
occupational crime, dan individual occupatinal crime, maka Agus Raharjo berpendapat
bahwa Cybercrime dapat dikatakan sebagai white collar crime dengan kriteria berdasarkan
kemampuan profesionalnya.
David I. Bainbridge (1993:155) mengingatkan bahwa pada saat memperluas hukum
pidana, harus ada kejelasan tentang batas-batas pengertian dari suatu perbuatan baru yang
dilarang sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat dibedakan
dengan misalnya sebagai suatu perbuatan perdata.14
2.2 Carding

Carding merupakan salah satu bentuk pencurian informasi kartu kredit milik orang
lain untuk kemudian dimanfaatkan pelaku dalam melakukan transaksi pembelian barang
atau jasa maupun pencairan nominal saldo yang terdapat pada kartu kredit ke dalam
rekening pelaku melalui online payment gateway (Wahid dan Labib, 2009)15

2.3 Internet Banking

Internet banking merupakan salah satu bentuk Electronic Banking yang ditawarkan
melalui internet, dimana para nasabah dapat melakukan transaksi jasa keuangan dalam
suatu lingkungan semu, oleh karena itu suatu Bank yang memiliki website tapi tidak dapat
melakukan transaksi di web tersebut tidak termasuk Internet Banking (Hadri dan
Susilowati, 2007:127).16

Jenis-jenis Internet Banking dapat dibagi menjadi :

1. Virtual Companies
Bank sebagai institusi yang membangun cabangnya secara virtual dan tidak

14
David I. Bainbridge, Intellectual Property ( Ireland: Pearson 1993) hal 155
15
Dominikus juju dan Feri Sulianta, Hitam Putih Facebook ( Jakarta: Elex Media Komputindo 2010) hal 75
16
Hadri, Kusuma dan Dwi Susilowati.. Determinan Pengadosian Layanan Internet Banking :Perspektif Konsumen
Perbankan (Daerah Istimewa Yogyakarta. JAAI. Vol. 11 No. 2 2007) Hal 67

10
memerlukan fasilitas atau alamat kantor perusahaan secara fisik dan hanya
melayani jasa perbankan melalui internet saja.
2. Hybrid Model
Sebagai bank yang sudah mapan sebelumnya dan kemudian membangun situs web
sebagai jasa pemasaran dan saluran distribusi tambahan dari pelayanan jasa
tradisionalnya.
3. Strategic Partnership
Bank-bank atau jasa keuangan yang secara individual atau membangun konsorsium
dengan perusahaan perangkat lunak terkemuka seperti Microsoft, untuk
membangun perangkat lunak aplikasi keuangan yang terintegrasi dengan sistem
keuangan di perusahaan tersebut untuk melayani kebutuhan pengelolaan keuangan
pribadi atau perusahaan. Internet Banking, juga dikenal sebagai Cyberbanking,
Virtual Banking, Online Banking dan Home Banking, melakukan berbagai macam
aktivitas perbankan dari rumah, dalam perjalanan daripada datang ke tempat fisik
bank. Konsumen dapat menggunakan Internet Banking untuk membayar tagihan
online atau melakukan pinjaman secara elektronik (Windara dan Ketut, 2013)17

17
Windara, I Made Agus & AA. Ketut S.. Kendala dalam Penanggulangan Cybercrime sebagai Suatu Tindak Pidana
Khusus. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2013

11
BAB 3

PEMBAHASAN

3. 1. Permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime

Pada penelitian sebelumnya hingga tahun 2011 bahkan sampai sekarang, transaksi
carding atau transaksi yang fraud (kecurangan/pemalsuan)18 masih tetap terjadi meskipun
dengan tren yang mulai menurun .Pertumbuhan transaksi fraud atau carding ini mengalami
puncaknya pada tahun 2008 sebesar 13% (Rp.1,197 Miliar), lalu menurun sebesar 8% (Rp.
1,103 Miliar) di tahun 2009 dan menurun kembali di tahun 2010 sebesar 41% (Rp.653
Juta). Dilain pihak, di era ICT (Information and Communication Technology) transaksion-
line atau belanja internet tetap menjadi salah satu transaksi yang paling digemari oleh para
nasabah, maka pihak-pihak terkait seharusnya tidak boleh lengah dalam menjaga
keamanan transaksi dan data pribadi mereka dari peretasan cyber.19

Sebelum membahas lebih jauh, istilah carding (credit card fraud) dalam cybercrime
menurut Wahid dan Labib (2009), merupakan kejahatan yang dilakukan seseorang untuk
mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan
di internet. Hal tersebut tentu saja ilegal, tidak sah, dan melanggar Pasal 30 UU ITE tahun
2008 ayat 3 yang berbunyi,

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer
dan/atau system elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol system pengaman (cracking, hacking, illegal access). Ancaman
pidana pasal 46 ayat 3 setiap orang yang memebuhi unsure sebagaimana dimaksud dalam
pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) dan/atau denda
paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)".20

Dengan melihat potensi semakin berkembangnya bisnis berbasis teknologi sistem

18
Maskun, Kejahatan siber(Cyber Crime) Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana 2014) hal 73
19
Muhammad Yusuf Rahim, “PEMANFAATAN ICT SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DAN INFORMASI PADA UIN
ALAUDDIN MAKASSAR” Sulesana Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011 hal 127
20
Pasal 30 ayat 3 UU ITE tahun 2008

12
informasi dan komunikasi, maka akan semakin bertambah pula jumlah user, nasabah,
maupun pelanggan yang menggunakan akses elektronik berbasis internet dalam
menjalankan transaksi bisnis tersebut. Banyaknya celah dan kelemahan sistem informasi
berupa kurang amannya akses dalam jaringan dunia maya, maka hal tersebut akan semakin
memudahkan penjahat dunia maya untuk melakukan kriminalitas yang merugikan banyak
pihak, terutama kerugian finansial.

Akibat banyaknya kasus carding, regulasi mengenai kartu kredit semakin


ditingkatkan dari tahun ketahun oleh Bank Indonesia. Migrasi kartu magnetic stripe (kartu
digesek) telah dilakukan oleh seluruh issuer ke kartu berbasis chip atau yang dikenal
sebagaikartu EMV (European Master Visa Payment System). Per 01 Januari 2009 seluruh
issuer kartu kredit di Indonesia telah sukses melakukan compliance (kepatuhan)regulasi
BI. Pemakaian kartu EMV ini dapat meminimalisir risiko fraud karenakartu chip ini cukup
terlindungi dari tindakan skimming atau counterfeit yang dilakukan oleh penjahat cyber.
Umumnya, modus – modus kejahatan dalam carding, antara lain (Muladi, 2002)21:

1. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari tamu hotel, khususnya orang asing
2. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan chatting di Internet.
3. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar negeri dengan menggunakan
Jasa Internet.
4. Mengambil dan memanipulasi data di Internet.
5. Memberikan keterangan palsu, baik pada waktu pemesanan maupun pada saat
pengambilan barang di Jasa Pengiriman (kantor pos, UPS, Fedex, HL, TNT, dsb).

3. 2. Pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia

Di Indonesia sendiri, telah ada ketentuan Undang-Undang yang mengatur masalah


cybercrime yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa persoalan yang menonjol yaitu
:(1) Perihal pembuktian yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan
melaluisistem elektronik. (2) Berkaitan dengan penafsiran tentang asas-asas dan norma

21
Muladi, “Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime”. Media HukumVol. 1 No. 3, Persatuan Jaksa Republik
Indonesia 2002 hal

13
hukum ketika menghadapipersoalan kebendaan yang tidak berwujud. Dalam kenyataannya
Cybercrime bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena kegiatannya tidak lagi
dibatasi oleh teritorial suatu negara. Kerugian dapat terjadi baik padapelaku transaksi
maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi sepertipencurian dana
kartu kredit melalui pembelanjaan di internet (carding).22
Dalam Cybercrime pembuktian merupakan faktor yang sangat penting mengingat
informasi elektronik belum terakomodasi dalam sistem hukum acara pidana
Indonesia.Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April
2008,walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah Peraturan Pemerintah yang
mengaturmengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah
undang-undang cyberatau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak
bertanggungjawab danmenjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi
informasi dalam mencapaikepastian hukum.
Kemampuan penyidik

Beberapa faktor yang sangatberpengaruh (determinan) adalah:


a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer.
b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-
kasus cybercrime masih terbatas.
c. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik. Dari penelitian
dilakukan, ternyata masih sangat kurang jumlah penyidik yang pernah
terlibat dalam penanganan kasus cybercrime (10%), bahkan dari 30 orang
responden yang ada, tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat
pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime.
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup
berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk
menguasaiteknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta
dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.

Alat Bukti yang Memadai

22
Maskun, Kejahatan siber(Cyber Crime) Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana 2014) hal 50

14
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara
lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:a. Sasaran atau
media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya
mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya.Oleh karena itu, data atau
sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam
sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan.
Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman
(recorder)yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah. Hal yang paling
mendesak adalah pengaturan mengenai kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat
bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistemprogram yang
disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.

Fasilitas komputer forensik

Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam


melakukan kejahatan terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data
komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini
diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpanbukti-bukti
berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai
fasilitas forensic computing yang memadai.

3. 3. Solusi mengenai cara penanggulangan carding demi melindungi identitas


dan pin kartu kredit nasabah

Akibat semakin bertambahnya minat nasabah untuk melakukan transaksi dengan


menggunakan kredit card namun jika tidak didukung dengan pengamanan sistem dan
jaringan transaksi, maka kejahatan cybercrime juga akan semakin bertambah. Karena
sedikitnya bukti kejahatan dalam setiap kasus cybercrime, maka hal tersebut membuat
aparat juga kesulitan dalam melakukan penegakan hukum dan mengusut tuntas kasus-kasus
tersebut. Sekali lagi pihak yang akan dirugikan adalah para nasabah yang tidak pernah tahu
transaksi apa saja yang mengatasnamakan identitas mereka akibat terjadinya creding.23

23
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). (Bandung: Refika Aditama 2009.) hal
56

15
Perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu kredit mutlak diperlukan seperti
halnya perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana lainnya. Dalam
upaya ini peran pemerintah dalam menegakkan Undang-undang No.11 Tahun 2008
mengenai ITE sangatlah penting dari sudut pandang nasabah, sebab merekalah yang paling
banyak menderita kerugian finansial. Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan
terhadap nasabah dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:
1. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection) yang diperoleh melalui
pembentukan lembaga yangmenjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur
dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban
Bank Umum. Sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka lembaga tersebut
akan mengganti dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang gagal tersebut
(Marulak Pardede, 2001)24
2. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection)Yaitu perlindungan yang
dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan banksecara efektif. Maksudnya agar
dapat menghindari terjadinyakebangkrutan bank yang diawasi (Marulak Pardede,
2001:1)25
Dalam rangka menanggulangi Cybercrime, Resolusi Kongres PBB VIII/1990
mengenai Computer Related Crimes mengajukan beberapa kebijakan sebagai berikut :
(Nawawi, 2007: 247)26
a. Menghimbau negara anggota untuk lebih intensif dalam melakukan upaya-upaya
penanggulangan penyalahgunaan komputer
b. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya
penanggulangan Cybercrime.
c. Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan
Kejahatan(Committee on Crime Prevention and Control) PBB.

Menurut analisis penulis, opsi lainnya dalam mengamankan akun pribadi dari para

24
Pardede, Marulak. “Efektivitas Pengawasan Perbankan dalam Perbankan Nasional.” Jakarta: Majalah Jurnal
Hukum Bisnis, edisi September 2001. Verisign, Internet Security Intelligence Briefing, Dulles VA USA, 2004 hal 34
25
Pardede, Marulak. “Efektivitas Pengawasan Perbankan dalam Perbankan Nasional.” Jakarta: Majalah Jurnal
Hukum Bisnis, edisi September 2001. Verisign, Internet Security Intelligence Briefing, Dulles VA USA, 2004 hal 36
26
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). (Bandung: Refika Aditama 2009.) hal
67

16
creder dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Melakukan rancangan kembali hukum pidana nasional beserta hukum acaranya,
yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan
tersebut. Tujuannya adalah menciptakan hukum pidana yang spesifik untuk kasus
cybercrime. Tujuan lain adalah menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan27
2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar
internasional. Dalam hal ini, aparat kepolisian khusus yang menangani cybercrime
harus melakukan upgrade keamanan jaringan baik dari segi personil, sistem
informasi dan sistem keamanan. Langkah pertama dapat dilakukan dengan
membangun firewall yang memproteksi penyadapan, pencurian data, illegal access,
dan sejenisnya, serta melakukan blokade situs-situs tidak resmi dari luar negeri
yang berpotensi dalam penyebaran malware, khususnya situs pornografi28
3. Meningkatkan pemahaman (knowledge) serta keahlian (skill) aparatur penegak
hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara
yang berhubungan dengan cybercrime.29
4. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga negara mengenai masalah carding
serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.30 Mencegah kejahatan
carding dapat dimulai dari masing-masing individu, dengan memperluas
pengetahuan mengenai ciri, karakteristik, modus, dan cara
mencegah/menanggulangi cybercrime, maka kita dapat terhindar dari akibat jangka
panjang yang ditimbulkan oleh para carder. Hal tersebut juga dapat dicapai dengan
melakukan upaya sosialisasi pada masyarakat luas
5. Mencipatakan keamanan diri sendiri dan kewaspadaan dengan cara berbelanja
online pada online shop yang terpercaya. Hindari menjadi member dalam situs yang
kurang terpercaya. Menurut penelitian, pencurian data banyak terjadi pada member

27
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan. (Jakarta: Kencana 2007). Hal 13
28
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan. (Jakarta: Kencana 2007). Hal 16
29
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan. (Jakarta: Kencana 2007). Hal 20
30
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan. (Jakarta: Kencana 2007). Hal 13

17
situs porno, game online, dan perjudian. Maka kesadaran dan kewaspadaan diri
dalam melakukan tindakan yang mungkin berbahaya adalah penting
6. Meningkatkan kerjasama antar negara dalam upaya penanganan cybercrime, antara
lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.

18
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hacker dan cyber criminal sudah ada sejak lama. Cybercrime ada karena dampak negative
dari perkembangan teknologi. Di jaman sekarang, orang – orang hampir setiap menit terhubung
dengan internet. Jika tidak berhati – hati menggunakannya, maka kita bisa menjadi korban
cybercrime . Carding adalah jenis cybercrime dengan membobol informasi kartu kredit agar
dipakai oleh orang yang bukan pemilik kartu kredit itu. Sifat kejahatan carding adalah non-
violence dan kekacauan yang ditimbulkan tidak terlihat secara langsung, tapi dampak yang
ditimbulkan bisa sangat besar.

4.2 Saran

Cybercrime dan hacking tidak akan pernah hilang. Dari kasus tentang cybercrime di
dunia yang pernah ada, kita bisa mempelajarinya dan menggunakan informasi itu untuk
mencegah cybercrime di masa yang akan datang. Cyberlaw adalah peraturan yang dipakai suatu
negara untuk memerangi cybercrime. Cyberlaw harus diubah dan dikembangkan secepat atau
lebih cepat dari hacker agar dapat mengontrol cybercrime. Progammer juga harus lebih pintar
untuk membuat encrypt demi meningkatkan keamanan.

19
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana
Bainbridge, David I. 1993. Komputer dan Hukum. Jakarta : Sinar Grafika
Collin, Barry C. 1996. The Future of CyberTerrorism, Proceedings of 11th Annual International
Symposium on Criminal Justice Issues. The University of Illinois at Chicago, dikutip dari makalah
Vladimir Golubev, cyber-crime and legal problems of usage network the INTERNET
Gibson, William. 1984. Neuromancer. New York : Ace
Hadri, Kusuma dan Dwi Susilowati. 2007. Determinan Pengadosian Layanan Internet Banking
:Perspektif Konsumen Perbankan Daerah Istimewa Yogyakarta. JAAI. Vol. 11 No. 2
Manap, Nazura Abdul. Cyber-crimes: Problems and Solutions Under Malaysian Law. Makalah
pada seminar nasional Money Laundering dan Cybercrime dalam Perspektif Penegakan Hukum di
Indonesia. Diselenggarakan oleh Lab. Hukum Pidana FH Univ. Surabaya. 24 Februari 2001
Muladi, 22 Agustus 2002. Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime. Media HukumVol. 1 No. 3,
Persatuan Jaksa Republik Indonesia
Natalie D Voss, Copyright © 1994-1999 Jones International and Jones Digital Century,
“Crime on The Internet”, Jones Telecommunications & Multimedia Encyclopedia, hal. 1-2,
http://www.digitalcentury.com/encyclo/update/articles.html
Pardede, Marulak. Efektivitas Pengawasan Perbankan dalam Perbankan Nasional. Jakarta:
Majalah Jurnal Hukum Bisnis, edisi September 2001. Verisign, Internet Security Intelligence
Briefing, Dulles VA USA, 2004.
Raharjo, Agus. 2002. Cybercrime (cetakan pertama). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Team of UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime). 2013. Draft : Comprehensive
Studies on Crime. New York : UN
Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) cetakan tahun 2003
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2009. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Bandung:
Refika Aditama
WEBSITE
http://dictionary.cambridge.org
http://www.bartleby.com.
Bruce Sterling, 1990, The Hacker Crackdown, Law and Disorder on the electronic Frontier,
Massmarket Paperback, electronic version available at http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker.
1. Panjaitan, Leo T. 2011. Analisis Penanganan Carding dan Perlindungan Nasabah dalam

20
Kaitannya dengan UU ITE no.11 Tahun 2008. Jurnal Teknik Elektro Universitas Mercu
Buana.

2. Windara, I Made Agus & AA. Ketut S. 2013. Kendala dalam Penanggulangan
Cybercrime sebagai Suatu Tindak Pidana Khusus. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Udayana.

21

Anda mungkin juga menyukai