net/publication/337058900
CITATIONS READS
0 5
4 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Gejala Kepunahan Bahasa Sunda sebagai Bahasa Minoritas di Daerah Perbatasan (Studi Sosiolinguistik) View project
All content following this page was uploaded by Hana Mumtazia Nurhaq on 06 November 2019.
ABSTRAK
Masyarakat perbatasan umumnya memiliki lebih dari satu bahasa ibu yang digunakan. Hal
tersebut menuntut masyarakatnya untuk memilih bahasa yang digunakan. Dalam pemilihan
tersebut, seseorang cenderung melakukan campur kode, alih kode, atau memilih satu variasi
bahasa yang sama. Hal ini berimbas terhadap sikap bahasa yang ditunjukkan. Sikap bahasa
tersebut terwujud melalui kesetiaan bahasa (language loyality), kebanggaan bahasa (language
pride), dan adanya kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Berdasarkan hal
tersebut, masyarakat Kecamatan Wanareja yang berada di Kabupaten Cilacap, tepatnya di
daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah patut disoroti sikap bahasanya, sebab di sana
hidup lebih dari satu bahasa ibu. Hal tersebut menyebabkan masyarakat Kecamatan Wanareja
menjadi masyarakat yang multilingual. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai sikap bahasa masyarakat yang berada di Wanareja. Permasalahan dalam penelitian
ini dikaji dengan menggunakan pendekatan teoretis sosiolinguitik dan metode deskriptif
kualitatif. Penelitian ini dilakukan di kawasan perbatasan Kecamatan Wanareja, Kabupaten
Cilacap. Data penelitian ini meliputi daftar penggunaan bahasa di Kecamatan Wanareja
melalui instrumen penelitian paket wawancara Basa Urang Project (Cohn, dkk., 2013). Jumlah
responden yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 82 orang dengan indeks sosial berupa
perbedaaan usia. Dari 82 responden tersebut, didapatkan 34 responden muda dan 48 responden
tua. Temuan penelitian ini adalah paparan deskripsi sikap bahasa yang ditunjukkan oleh
Masyarakat Wanareja terhadap bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Umumnya,
masyarakat Wanareja menunjukkan sikap yang positif pada ketiga bahasa. Namun, perbedaan
usia berpengaruh pada sikap yang ditunjukkan. Untuk sikap terhadap bahasa daerah dan
bahasa asing, responden tua lebih menunjukkan sikap yang lebih positif dibanding responden
tua. Sementara itu, untuk bahasa nasional, responden muda menunjukkan sikap yang lebih
positif dibanding responden tua.
Kata Kunci: Daerah Perbatasan, Sikap Bahasa, Wanareja
PENDAHULUAN
Masyarakat perbatasan adalah masyarakat yang bilingual atau multilingual, sebab hidup dengan
lebih dari satu bahasa ibu. Salah satu masyarakat yang hidup dengan kondisi tersebut adalah
masyarakat Kecamatan Wanareja. Kecamatan ini terletak di Kabupaten Cilacap yang merupakan
salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Banyumas dan Kabupaten Kebumen di sebelah timur, Kabupaten Brebes dan Banyumas di
sebelah utara, serta Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Jawa Barat) di sebelah barat. Kabupaten
ini juga merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat (Darheni,
2010). Hal tersebut berimbas pada kehidupan masyarakatnya yang memiliki lebih dari satu
bahasa ibu sehingga harus memilih bahasa yang akan digunakan.
Pemilihan bahasa tersebut erat kaitannya dengan sikap bahasa. Chaer dan Agustina
(2010) menyatakan bahwa sikap bahasa dapat memengaruhi seseorang untuk menggunakan
suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.
Sikap bahasa tersebut terbagi atas sikap positif dan sikap negatif. Jika seseorang memiliki nilai
rasa baik atau suka terhadap suatu keadaan, maka orang tesebut disebut memiliki sikap positif.
Sementara itu, jika terjadi sebaliknya, maka orang tersebut disebut memiliki sikap negatif (Chaer
dan Agustina, 2010).
351
Seminar Tahunan Linguistik 2019
352
Seminar Tahunan Linguistik 2019
353
Seminar Tahunan Linguistik 2019
Selanjutnya, untuk pernyataan “Berbicara dalam bahasa daerah di depan orang yang
tidak mengerti bahasa tersebut tidak sopan”, 6% responden muda dan 4% responden tua
menyatakan sangat setuju, 38% responden muda dan 56% responden tua menyatakan setuju,
21% responden muda dan 10% responden tua menyatakan biasa saja, 15% responden muda dn
19% responden tua menyatakan kurang setuju, serta 21% responden muda dan 10% responden
tua menyatakan tidak setuju. Dari data tersebut, didapatkan bahwa kesetiaan responden terhadap
bahasa daerah sudah mulai bergeser karena responden sudah mulai menerima adanya eksistensi
bahasa yang lain dalam hidupnya.
Gambaran ketidaksetiaan terhadap bahasa daerah juga ditunjukkan melalui pernyataan
“Bila seseorang tidak lancar berbicara dalam bahasa daerah, lebih baik tidak
menggunakannya”. Untuk pernyataan tersebut, 6% responden muda dan 4% responden tua
menyatakan sangat setuju, 56% responden muda dan 67% responden tua menyatakan setuju, 6%
responden muda dan 19% responden tua menyatakan biasa saja, 18% responden muda dan 6%
responden tua menyatakan kurang setuju, serta 15% responden muda serta 4% responden tua
menyatakan tidak setuju. Responden yang menyatakan kesetujuan mengindikasikan adanya
pengakuan terhadap eksistensi bahasa lain selain bahasa daerahnya. Fakta seperti ini akan
menjadi gejala awal hadirnya akomodasi bahasa dalam situasi bilingualisme yang ditandai
dengan adanya kerelaan responden untuk bahasa yang lain. Hal seperti ini juga bisa jadi menjadi
cikal bakal penyebab kepunahan bahasa. Tondo (2007) mengemukakan bahwa satu dari sepuluh
gejala kepunahan bahasa adalah adanya kondisi masyarakat penutur yang bilingual atau bahkan
multilingual. Selain itu, kesetujuan terhadap pernyataan tersebut banyak ditunjukkan oleh
penutur Sunda yang lahir dan besar di Wanareja. Responden yang berasal dari suku Sunda
merasa tidak perlu menguasai bahasa Sunda untuk menjadi bagian dari suku Sunda. Menurut
mereka, faktor keturunanlah yang menjadi penentu utama. Hal tersebut terjadi sebab bahasa Jawa
lebih banyak digunakan di lingkungannya. Bahkan, di sekolah pun, penutur Sunda diwajibkan
untuk mempelajari bahasa Jawa, sebab bahasa Sunda tidak masuk pada muatan lokal yang
diajarkan di sekolah. Hal tersebut menyebabkan penutur Sunda kehilangan ruang untuk
mempelajari bahasa Sunda, sehingga mereka memilih untuk menggunakan bahasa yang kerap
mereka dengar atau mereka pelajari.
Pernyataan selanjutnya adalah “Berbicara dalam bahasa daerah itu kuno”. Berdasarkan
penyataan tersebut, sebanyak 0% responden muda dan tua menyatakan sangat setuju, 3%
responden muda dan 2% responden tua menyatakan setuju, 6% responden muda dan 2%
responden tua menyatakan biasa saja, 18% responden muda dan 15% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 74% responden muda dan 81% responden tua menyatakan tidak setuju.
Pernyataan tersebut merujuk pada kebanggaan bahasa yang ditunjukkan oleh responden. Dari
data tersebut, didapatkan gambaran bahwa mayoritas responden muda maupun responden tua
masih memiliki kebanggaan terhadap bahasa daerahnya. Sementara itu, beberapa responden yang
setuju dengan pernyataan tersebut dapat dikatakan mulai menurun rasa kebanggaan bahasanya.
Ketidakbanggaan tersebut dapat menjadi cikal bakal penyebab kepunahan bahasa. Hal tersebut
sesuai dengan yang dikatakan oleh Tondo (2007) yang menyebutkan bahwa salah satu dari
sepuluh tanda kepunahan bahasa adalah kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik sendiri.
Selain sikap terhadap bahasa daerah, ada pula sikap terhadap bahasa nasional. Sikap
terhadap bahasa nasional diwakili oleh tiga pernyataan. Pernyataan pertama adalah “Menguasai
bahasa Indonesia resmi bagi Anda itu penting”. Untuk pernyataan tersebut, 47% responden
muda dan 48% responden tua menyatakan sangat setuju. Lalu, sebanyak 50% responden muda
dan 46% responden tua menyatakan setuju, 3% responden muda dan 6% responden tua
menyatakan biasa saja, serta 0% responden muda dan responden tua menyatakan kurang setuju
dan tidak setuju. Melalui data tersebut, diketahui bahwa mayoritas responden masih memiliki
kesetiaan terhadap bahasa Indonesia. Meski begitu, terdapat beberapa responden yang
354
Seminar Tahunan Linguistik 2019
menyatakan biasa saja, yang artinya menguasai bahasa Indonesia resmi itu tidak begitu penting
bagi dirinya.
Pernyataan selanjutnya adalah “Kalau mau berhasil di tempat kerja, seseorang perlu
menguasai bahasa Indonesia resmi”. Berdasarkan pernyataan tersebut, didapatkan respons yang
beragam. Sebanyak 32% responden muda dan 33% responden tua menyatakan sangat setuju,
59% responden muda dan 50% responden tua menyatakan setuju, 3% responden muda dan 13%
responden tua menyatakan biasa saja, 0% responden muda dan 4% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 6% responden muda dan 0% responden tua menyatakan tidak setuju. Melalui
data tersebut, didapatkan gambaran bahwa mayoritas responden memiliki kesetiaan pada bahasa
Indonesia. Di samping itu, beberapa responden mulai mengakui adanya eksistensi bahasa lain
yang juga menandakan ketidaksetiaan terhadap bahasa Indonesia. Pernyataan ini juga menandai
bahwa mayoritas responden memiliki kesadaran akan adanya norma bahasa, dalam hal ini bahasa
Indonesia resmi. Lingkungan pekerjaan umumnya merupakan lingkungan formal, sehingga
diperlukan penggunaan bahasa yang resmi. Beberapa responden yang kurang atau tidak setuju
terhadap pernyataan tersebut disebabkan oleh lingkungan pekerjaan yang lebih banyak
menggunakan bahasa daerah, seperti profesi pedagang, petani, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, beberapa responden tersebut menilai bahwa menguasai bahasa Indonesia resmi tidak terlalu
berpengaruh pada keberhasilan di tempat kerja.
Hal yang sama juga terjadi pada penyataan“Kalau mau melanjutkan pendidikan di
sekolah, seseorang perlu menguasai bahasa Indonesia resmi”. Untuk pernyataan ini, didapatkan
sebanyak 29% responden muda dan 29% responden tua menyatakan sangat setuju, 62%
responden muda dan 69% responden tua menyatakan setuju, 3% responden muda dan 2%
responden tua menyatakan biasa saja, 6% responden muda dan 0% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 0% responden muda dan tua menyatakan tidak setuju. Data tersebut
menggambarkan bahwa mayoritas responden memiliki kesadaran akan norma bahasa, dalam hal
ini bahasa Indonesia. Hal ini juga berhubungan dengan salah satu implikasi dari bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara, yaitu menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan. Responden
yang menyatakan ketidaksetujuan menjelaskan bahwa mereka menggunakan bahasa Indonesia
ketika hanya berbicara dengan guru. Sementara itu, ketika berbicara dengan temannya, mereka
menggunakan bahasa daerah, terutama bahasa Jawa. Walaupun responden tersebut merupakan
penutur Sunda, mereka lebih memilih untuk berkomunikasi dengan bahasa yang lebih banyak
digunakan, yaitu bahasa Jawa.
Untuk mengetahui sikap responden terhadap bahasa asing, responden diberikan empat
pernyataan. Pernyataan pertama adalah “Menguasai bahasa Inggris bagi Anda itu penting”.
Respons terhadap pernyataan tersebut bermacam-macam, yaitu 15% responden muda dan 17%
responden tua menyatakan sangat setuju, 68% responden muda dan 52% responden tua
menyatakan setuju, 18% responden muda dan 23% responden tua menyatakan biasa saja, 0%
responden muda dan 4% responden tua menyatakan kurang setuju, serta 0% responden muda dan
4% responden tua menyatakan tidak setuju. Berdasarkan data tersebut, mayoritas responden
memiliki kepedulian terhadap bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris. Dari data tersebut juga
diketahui bahwa terdapat pernyataan ketidaksetujuan di kalangan responden tua. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa responden tua masih lebih setia baik pada bahasa nasional maupun
bahasa daerah, sebab menganggap penguasaan bahasa Inggris tidak terlalu penting.
Penyataan selanjutnya adalah “Kalau mau hidup yang lebih maju dan sukses di masa
yang akan datang, seseorang perlu menguasai bahasa Inggris”. Berdasarkan data tersebut,
didapatkan bahwa sebanyak 15% responden muda dan responden tua menyatakan sangat setuju,
65% responden muda dan 50% responden tua menyatakan setuju, 6% responden muda dan 23%
responden tua menyatakan biasa saja, 12% responden muda dan 10% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 3% responden muda dan 2% responden tua menyatakan tidak setuju.
355
Seminar Tahunan Linguistik 2019
DAFTAR PUSTAKA
AR, Syamsudin, dan Vismaia Sabariah Damaianti. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cohn, A., dkk. 2013. Survey bahasa Sunda (Instrumen Penelitian Basa Urang Project),
Bandung.
Creswell, John W. 2016. Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
356
Seminar Tahunan Linguistik 2019
357