Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337058900

SIKAP BAHASA MASYARAKAT PERBATASAN: STUDI SOSIOLINGUISTIK DI


KECAMATAN WANAREJA, KABUPATEN CILACAP

Conference Paper · June 2019

CITATIONS READS

0 5

4 authors, including:

Hana Mumtazia Nurhaq Mahmud Fasya


Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
1 PUBLICATION   0 CITATIONS    3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Gejala Kepunahan Bahasa Sunda sebagai Bahasa Minoritas di Daerah Perbatasan (Studi Sosiolinguistik) View project

All content following this page was uploaded by Hana Mumtazia Nurhaq on 06 November 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Tahunan Linguistik 2019

SIKAP BAHASA MASYARAKAT PERBATASAN:


STUDI SOSIOLINGUISTIK DI KECAMATAN WANAREJA, KABUPATEN CILACAP
Hana Mumtazia Nurhaq1, Alya Nur Isna Hendayana2, Debby Fajarahmi3, Mahmud Fasya4
Universitas Pendidikan Indonesia
mumtaziahana@gmail.com

ABSTRAK
Masyarakat perbatasan umumnya memiliki lebih dari satu bahasa ibu yang digunakan. Hal
tersebut menuntut masyarakatnya untuk memilih bahasa yang digunakan. Dalam pemilihan
tersebut, seseorang cenderung melakukan campur kode, alih kode, atau memilih satu variasi
bahasa yang sama. Hal ini berimbas terhadap sikap bahasa yang ditunjukkan. Sikap bahasa
tersebut terwujud melalui kesetiaan bahasa (language loyality), kebanggaan bahasa (language
pride), dan adanya kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Berdasarkan hal
tersebut, masyarakat Kecamatan Wanareja yang berada di Kabupaten Cilacap, tepatnya di
daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah patut disoroti sikap bahasanya, sebab di sana
hidup lebih dari satu bahasa ibu. Hal tersebut menyebabkan masyarakat Kecamatan Wanareja
menjadi masyarakat yang multilingual. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai sikap bahasa masyarakat yang berada di Wanareja. Permasalahan dalam penelitian
ini dikaji dengan menggunakan pendekatan teoretis sosiolinguitik dan metode deskriptif
kualitatif. Penelitian ini dilakukan di kawasan perbatasan Kecamatan Wanareja, Kabupaten
Cilacap. Data penelitian ini meliputi daftar penggunaan bahasa di Kecamatan Wanareja
melalui instrumen penelitian paket wawancara Basa Urang Project (Cohn, dkk., 2013). Jumlah
responden yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 82 orang dengan indeks sosial berupa
perbedaaan usia. Dari 82 responden tersebut, didapatkan 34 responden muda dan 48 responden
tua. Temuan penelitian ini adalah paparan deskripsi sikap bahasa yang ditunjukkan oleh
Masyarakat Wanareja terhadap bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Umumnya,
masyarakat Wanareja menunjukkan sikap yang positif pada ketiga bahasa. Namun, perbedaan
usia berpengaruh pada sikap yang ditunjukkan. Untuk sikap terhadap bahasa daerah dan
bahasa asing, responden tua lebih menunjukkan sikap yang lebih positif dibanding responden
tua. Sementara itu, untuk bahasa nasional, responden muda menunjukkan sikap yang lebih
positif dibanding responden tua.
Kata Kunci: Daerah Perbatasan, Sikap Bahasa, Wanareja

PENDAHULUAN
Masyarakat perbatasan adalah masyarakat yang bilingual atau multilingual, sebab hidup dengan
lebih dari satu bahasa ibu. Salah satu masyarakat yang hidup dengan kondisi tersebut adalah
masyarakat Kecamatan Wanareja. Kecamatan ini terletak di Kabupaten Cilacap yang merupakan
salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Banyumas dan Kabupaten Kebumen di sebelah timur, Kabupaten Brebes dan Banyumas di
sebelah utara, serta Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Jawa Barat) di sebelah barat. Kabupaten
ini juga merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat (Darheni,
2010). Hal tersebut berimbas pada kehidupan masyarakatnya yang memiliki lebih dari satu
bahasa ibu sehingga harus memilih bahasa yang akan digunakan.
Pemilihan bahasa tersebut erat kaitannya dengan sikap bahasa. Chaer dan Agustina
(2010) menyatakan bahwa sikap bahasa dapat memengaruhi seseorang untuk menggunakan
suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.
Sikap bahasa tersebut terbagi atas sikap positif dan sikap negatif. Jika seseorang memiliki nilai
rasa baik atau suka terhadap suatu keadaan, maka orang tesebut disebut memiliki sikap positif.
Sementara itu, jika terjadi sebaliknya, maka orang tersebut disebut memiliki sikap negatif (Chaer
dan Agustina, 2010).

351
Seminar Tahunan Linguistik 2019

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran sikap bahasa masyarakat


Kecamatan Wanareja yang sekaligus menjadi masyarakat yang hidup di daerah perbatasan. Hal
ini perlu disorot sebab adanya kontak dengan penutur bahasa satu dengan bahasa yang lainnya
akan memengaruhi kesetiaan berbahasa, kebanggaan berbahasa, serta kesadaran akan norma
bahasa. Keadaan masyarakat yang multilingual memang banyak terjadi di dunia. Namun, seperti
yang dikatakan oleh Wardhaugh dan Fuller (2015), hal tersebut tidak selamanya memiliki
asosiasi yang positif.

TEORI & METODOLOGI


Anderson (Chaer dan Agustina, 2010) menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa sikap bahasa
adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa,
mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi
dengan cara tertentu yang disenanginya. Hal tersebut mengartikan bahwa sikap seseorang
terhadap suatu bahasa akan beraneka ragam sesuai dengan tata keyakinannya. Sumarsono dan
Partana (Kustomo, 2011) berpendapat bahwa sikap berbahasa seseorang itu ditandai oleh
beberapa hal, di antaranya mengenai cara mereka memilih bahasa dalam suatu komunitas
masyarakat yang memakai banyak bahasa, cara pendistribusian perbendaharaan katanya,
perbedaan dialek, dan permasalahan-permasalahan lain yang muncul sebagai akibat terjadinya
interaksi antarindividu.
Garvin dan Mathiot (Chaer dan Agustina, 2010) menyatakan bahwa sikap bahasa dapat
terwujud dalam tiga hal, yaitu kesetiaan bahasa (language loyality), kebanggaan bahasa
(language pride), dan adanya kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Lebih
jauh lagi, dijelaskan bahwa kesetiaan bahasa mendorong masyarakat untuk mempertahankan
bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Lalu, kebanggaan bahasa
mendorong orang untuk mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang
identitas dan kesatuan masyarakat. Sementara itu, kesadaran adanya norma bahasa mendorong
orang untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, serta merupakan faktor yang
sangat besar terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Dalam penelitian ini, sikap bahasa masyarakat Wanareja dikaji melalui pendekatan
teoretis, yaitu pendekatan teoretis sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik berhubungan
dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola
pemakaian bahasa pilihan pemakaian bahasa tertentu yang dilakukan penutur, topik, dan latar
pembicaraan (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2010).
Secara metodologis, pendekatan sosiolinguistik dalam kajian ini memanfaatkan metode
kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya
peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap langsung dan berinteraksi dengan orang-orang
di tempat penelitian (McMillan dan Schumacher dalam AR dan Damaianti, 2015; Creswell,
2016). Objek yang dimaksud ialah sikap bahasa masyarakat Kecamatan Wanareja yang sekaligus
menjadi masyarakat multilingual. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wanareja, Kabupaten
Cilacap, yang terletak di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Data penelitian ini meliputi daftar sikap terhadap bahasa yang dilakukan oleh masyarakat
Wanareja. Data penelitian ini bersumber dari masyarakat Kecamatan Wanareja yang diperoleh
melalui instrumen penelitian paket wawancara Basa Urang Project (Cohn, et al., 2013).
Instrumen tersebut terdiri atas angket terbuka, angket tertutup, story telling, dan family tree.
Adapun sumber data yang digunakan berjumlah 82 orang dengan indeks sosial berupa
perbedaaan usia. Penggolongan usia ini didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Hurlock
(1991), yaitu usia tua (lebih dari 40 tahun) dan usia muda (kurang dari 40 tahun). Dalam
penelitian ini, data yang didapat berasal dari 34 responden muda dan 48 responden tua.
Langkah-langkah yang dilakukan pada analisis data penelitian ini menggunakan model
yang dianjurkan oleh Miles dan Huberman (1994), yaitu data reduction, data display, dan

352
Seminar Tahunan Linguistik 2019

conclusion drawing/verification. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang


pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Langkah reduksi data
dalam penelitian ini yaitu memilih data dari instrumen Basa Urang Project yang sesuai dengan
tema penelitian, yaitu sikap terhadap bahasa. Selanjutnya, data yang telah direduksi tersebut
disajikan. Langkah terakhir yaitu penarikan kesimpulan.

TEMUAN & PEMBAHASAN


Ada beberapa pernyataan yang diajukan kepada responden mengenai sikap bahasa. Semua
pernyataan tersebut dapat dikelompokkan menjadi pertanyaan mengenai sikap terhadap bahasa
daerah, sikap terhadap bahasa nasional, dan sikap terhadap bahasa asing.
Sikap terhadap bahasa daerah diwakili oleh enam penyataan. Sebanyak 29% responden
muda dan 42% responden tua menyatakan sangat setuju terhadap pernyataan “Menguasai
bahasa orang tua Anda itu penting”. Selebihnya, 65% responden muda dan 56% responden tua
menyatakan setuju, 6% responden muda dan 2% responden tua menyatakan biasa saja, 0%
responden muda dan tua menyatakan kurang setuju dan tidak setuju. Berdasarkan data tersebut,
responden muda dan responden tua dapat dikatakan memiliki kesetiaan terhadap bahasa daerah.
Hanya saja, responden tua dapat dikatakan lebih setia terhadap bahasa orang tuanya. Hal ini
berkaitan dengan kondisi multilingual yang terjadi di Wanareja. Hidupnya lebih dari satu bahasa
ibu menyebabkan banyaknya responden muda yang lebih memilih untuk menguasai bahasa
nasional dibanding bahasa daerah, sebab hal tersebut lebih memudahkan dirinya untuk
berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda bahasa ibunya.
Selanjutnya, sebanyak 21% responden muda dan 44% responden tua menyatakan sangat
setuju terhadap pernyataan “Menguasai bahasa daerah Anda itu penting”. Selebihnya, sebanyak
62% responden muda dan 50% responden tua menyatakan setuju, 9% responden muda dan 6%
responden tua menyatakan biasa saja, 6% responden muda dan 0% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 3% responden muda dan 0% responden tua menyatakan tidak setuju.
Pernyataan ini merujuk pada kesetiaan berbahasa. Berdasarkan data yang diperoleh, responden
tua menunjukkan kesetiaan berbahasa yang lebih dibandingkan responden muda. Hal tersebut
juga dikuatkan oleh beberapa jawaban responden muda yang kurang setuju maupun tidak setuju
pada pernyataan tersebut. Kondisi multilingual yang terjadi di Wanareja juga memiliki pengaruh
terhadap jawaban tersebut, terutama pada responden muda penutur bahasa Sunda. Kebanyakan
penutur Sunda di Wanareja hanya menggunakan bahasa Sunda dengan sanak saudaranya.
Sementara itu, untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang lebih luas, penutur bahasa Sunda
menggunakan bahasa yang lebih banyak digunakan, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.
Karena itu, responden muda kurang menilai penguasaan bahasa daerah sebagai suatu hal yang
penting.
Kemudian, untuk pernyataan “Anak-anak Anda perlu menguasai bahasa pertama Anda”,
18% responden muda dan 40% responden tua menyatakan sangat setuju. Selebihnya, sebanyak
68% responden muda dan 46% responden tua menyatakan setuju, 6% responden muda dan 15%
responden tua menyatakan biasa saja, 3% responden muda dan 0% responden tua menyatakan
kurang setuju, dan 6% responden muda serta 0% responden tua menyatakan tidak setuju. Data
tersebut juga menunjukkan bahwa responden muda dan responden tua memiliki kesetiaan
terhadap bahasa daerahnya. Beberapa responden muda yang menyatakan ketidaksetujuan
berkaitan dengan adanya pernikahan antaretnis yang terjadi di Wanareja. Pernikahan antaretnis
menyebabkan beberapa responden lebih memilih bahasa pertama pasangannya, bahasa yang
banyak digunakan, atau bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional untuk diwariskan kepada
anak-anaknya.

353
Seminar Tahunan Linguistik 2019

Selanjutnya, untuk pernyataan “Berbicara dalam bahasa daerah di depan orang yang
tidak mengerti bahasa tersebut tidak sopan”, 6% responden muda dan 4% responden tua
menyatakan sangat setuju, 38% responden muda dan 56% responden tua menyatakan setuju,
21% responden muda dan 10% responden tua menyatakan biasa saja, 15% responden muda dn
19% responden tua menyatakan kurang setuju, serta 21% responden muda dan 10% responden
tua menyatakan tidak setuju. Dari data tersebut, didapatkan bahwa kesetiaan responden terhadap
bahasa daerah sudah mulai bergeser karena responden sudah mulai menerima adanya eksistensi
bahasa yang lain dalam hidupnya.
Gambaran ketidaksetiaan terhadap bahasa daerah juga ditunjukkan melalui pernyataan
“Bila seseorang tidak lancar berbicara dalam bahasa daerah, lebih baik tidak
menggunakannya”. Untuk pernyataan tersebut, 6% responden muda dan 4% responden tua
menyatakan sangat setuju, 56% responden muda dan 67% responden tua menyatakan setuju, 6%
responden muda dan 19% responden tua menyatakan biasa saja, 18% responden muda dan 6%
responden tua menyatakan kurang setuju, serta 15% responden muda serta 4% responden tua
menyatakan tidak setuju. Responden yang menyatakan kesetujuan mengindikasikan adanya
pengakuan terhadap eksistensi bahasa lain selain bahasa daerahnya. Fakta seperti ini akan
menjadi gejala awal hadirnya akomodasi bahasa dalam situasi bilingualisme yang ditandai
dengan adanya kerelaan responden untuk bahasa yang lain. Hal seperti ini juga bisa jadi menjadi
cikal bakal penyebab kepunahan bahasa. Tondo (2007) mengemukakan bahwa satu dari sepuluh
gejala kepunahan bahasa adalah adanya kondisi masyarakat penutur yang bilingual atau bahkan
multilingual. Selain itu, kesetujuan terhadap pernyataan tersebut banyak ditunjukkan oleh
penutur Sunda yang lahir dan besar di Wanareja. Responden yang berasal dari suku Sunda
merasa tidak perlu menguasai bahasa Sunda untuk menjadi bagian dari suku Sunda. Menurut
mereka, faktor keturunanlah yang menjadi penentu utama. Hal tersebut terjadi sebab bahasa Jawa
lebih banyak digunakan di lingkungannya. Bahkan, di sekolah pun, penutur Sunda diwajibkan
untuk mempelajari bahasa Jawa, sebab bahasa Sunda tidak masuk pada muatan lokal yang
diajarkan di sekolah. Hal tersebut menyebabkan penutur Sunda kehilangan ruang untuk
mempelajari bahasa Sunda, sehingga mereka memilih untuk menggunakan bahasa yang kerap
mereka dengar atau mereka pelajari.
Pernyataan selanjutnya adalah “Berbicara dalam bahasa daerah itu kuno”. Berdasarkan
penyataan tersebut, sebanyak 0% responden muda dan tua menyatakan sangat setuju, 3%
responden muda dan 2% responden tua menyatakan setuju, 6% responden muda dan 2%
responden tua menyatakan biasa saja, 18% responden muda dan 15% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 74% responden muda dan 81% responden tua menyatakan tidak setuju.
Pernyataan tersebut merujuk pada kebanggaan bahasa yang ditunjukkan oleh responden. Dari
data tersebut, didapatkan gambaran bahwa mayoritas responden muda maupun responden tua
masih memiliki kebanggaan terhadap bahasa daerahnya. Sementara itu, beberapa responden yang
setuju dengan pernyataan tersebut dapat dikatakan mulai menurun rasa kebanggaan bahasanya.
Ketidakbanggaan tersebut dapat menjadi cikal bakal penyebab kepunahan bahasa. Hal tersebut
sesuai dengan yang dikatakan oleh Tondo (2007) yang menyebutkan bahwa salah satu dari
sepuluh tanda kepunahan bahasa adalah kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik sendiri.
Selain sikap terhadap bahasa daerah, ada pula sikap terhadap bahasa nasional. Sikap
terhadap bahasa nasional diwakili oleh tiga pernyataan. Pernyataan pertama adalah “Menguasai
bahasa Indonesia resmi bagi Anda itu penting”. Untuk pernyataan tersebut, 47% responden
muda dan 48% responden tua menyatakan sangat setuju. Lalu, sebanyak 50% responden muda
dan 46% responden tua menyatakan setuju, 3% responden muda dan 6% responden tua
menyatakan biasa saja, serta 0% responden muda dan responden tua menyatakan kurang setuju
dan tidak setuju. Melalui data tersebut, diketahui bahwa mayoritas responden masih memiliki
kesetiaan terhadap bahasa Indonesia. Meski begitu, terdapat beberapa responden yang

354
Seminar Tahunan Linguistik 2019

menyatakan biasa saja, yang artinya menguasai bahasa Indonesia resmi itu tidak begitu penting
bagi dirinya.
Pernyataan selanjutnya adalah “Kalau mau berhasil di tempat kerja, seseorang perlu
menguasai bahasa Indonesia resmi”. Berdasarkan pernyataan tersebut, didapatkan respons yang
beragam. Sebanyak 32% responden muda dan 33% responden tua menyatakan sangat setuju,
59% responden muda dan 50% responden tua menyatakan setuju, 3% responden muda dan 13%
responden tua menyatakan biasa saja, 0% responden muda dan 4% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 6% responden muda dan 0% responden tua menyatakan tidak setuju. Melalui
data tersebut, didapatkan gambaran bahwa mayoritas responden memiliki kesetiaan pada bahasa
Indonesia. Di samping itu, beberapa responden mulai mengakui adanya eksistensi bahasa lain
yang juga menandakan ketidaksetiaan terhadap bahasa Indonesia. Pernyataan ini juga menandai
bahwa mayoritas responden memiliki kesadaran akan adanya norma bahasa, dalam hal ini bahasa
Indonesia resmi. Lingkungan pekerjaan umumnya merupakan lingkungan formal, sehingga
diperlukan penggunaan bahasa yang resmi. Beberapa responden yang kurang atau tidak setuju
terhadap pernyataan tersebut disebabkan oleh lingkungan pekerjaan yang lebih banyak
menggunakan bahasa daerah, seperti profesi pedagang, petani, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, beberapa responden tersebut menilai bahwa menguasai bahasa Indonesia resmi tidak terlalu
berpengaruh pada keberhasilan di tempat kerja.
Hal yang sama juga terjadi pada penyataan“Kalau mau melanjutkan pendidikan di
sekolah, seseorang perlu menguasai bahasa Indonesia resmi”. Untuk pernyataan ini, didapatkan
sebanyak 29% responden muda dan 29% responden tua menyatakan sangat setuju, 62%
responden muda dan 69% responden tua menyatakan setuju, 3% responden muda dan 2%
responden tua menyatakan biasa saja, 6% responden muda dan 0% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 0% responden muda dan tua menyatakan tidak setuju. Data tersebut
menggambarkan bahwa mayoritas responden memiliki kesadaran akan norma bahasa, dalam hal
ini bahasa Indonesia. Hal ini juga berhubungan dengan salah satu implikasi dari bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara, yaitu menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan. Responden
yang menyatakan ketidaksetujuan menjelaskan bahwa mereka menggunakan bahasa Indonesia
ketika hanya berbicara dengan guru. Sementara itu, ketika berbicara dengan temannya, mereka
menggunakan bahasa daerah, terutama bahasa Jawa. Walaupun responden tersebut merupakan
penutur Sunda, mereka lebih memilih untuk berkomunikasi dengan bahasa yang lebih banyak
digunakan, yaitu bahasa Jawa.
Untuk mengetahui sikap responden terhadap bahasa asing, responden diberikan empat
pernyataan. Pernyataan pertama adalah “Menguasai bahasa Inggris bagi Anda itu penting”.
Respons terhadap pernyataan tersebut bermacam-macam, yaitu 15% responden muda dan 17%
responden tua menyatakan sangat setuju, 68% responden muda dan 52% responden tua
menyatakan setuju, 18% responden muda dan 23% responden tua menyatakan biasa saja, 0%
responden muda dan 4% responden tua menyatakan kurang setuju, serta 0% responden muda dan
4% responden tua menyatakan tidak setuju. Berdasarkan data tersebut, mayoritas responden
memiliki kepedulian terhadap bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris. Dari data tersebut juga
diketahui bahwa terdapat pernyataan ketidaksetujuan di kalangan responden tua. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa responden tua masih lebih setia baik pada bahasa nasional maupun
bahasa daerah, sebab menganggap penguasaan bahasa Inggris tidak terlalu penting.
Penyataan selanjutnya adalah “Kalau mau hidup yang lebih maju dan sukses di masa
yang akan datang, seseorang perlu menguasai bahasa Inggris”. Berdasarkan data tersebut,
didapatkan bahwa sebanyak 15% responden muda dan responden tua menyatakan sangat setuju,
65% responden muda dan 50% responden tua menyatakan setuju, 6% responden muda dan 23%
responden tua menyatakan biasa saja, 12% responden muda dan 10% responden tua menyatakan
kurang setuju, serta 3% responden muda dan 2% responden tua menyatakan tidak setuju.

355
Seminar Tahunan Linguistik 2019

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa mayoritas responden mengganggap penguasaan


bahasa asing sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Pernyataan selanjutnya yang berkaitan dengan sikap terhadap bahasa asing adalah
“Belajar bahasa Inggris lebih bermanfaat daripada belajar bahasa Sunda”. Untuk pernyataan
tersebut, 3% responden muda dan 0% responden tua menyatakan sangat setuju, 24% responden
muda dan 25% responden tua menyatakan setuju, 18% responden muda dan 25% responden tua
menyatakan biasa saja, 21% responden muda dan responden tua menyatakan kurang setuju,
serta 35% responden muda dan 29% responden tua menyatakan tidak setuju. Responden yang
menyatakan kesetujuan terhadap pernyataan tersebut menyiratkan bahwa kesetiaan terhadap
bahasa daerah sudah mulai luntur. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa responden memiliki
sikap yang lebih positif terhadap bahasa asing dibanding bahasa daerah.
Kemudian, pernyataan terakhir mengenai sikap terhadap bahasa asing adalah “Belajar
bahasa Inggris lebih bermanfaat daripada belajar bahasa Indonesia”. Untuk pernyataan ini,
sebanyak 0% responden muda dan responden tua menyatakan sangat setuju, 6% responden muda
dan 8% responden tua menyatakan setuju, 18% responden muda dan 25% responden tua
menyatakan biasa saja, 29% responden muda dan responden tua menyatakan kurang setuju,
serta 47% responden muda dan 38% responden tua menyatakan tidak setuju. Berdasarkan data
tersebut, responden muda lebih menunjukkan kesetiaan terhadap bahasa Indonesia dibanding
responden tua. Hal ini menandakan bahwa faktor globalisasi mulai memberi pengaruh pada
kesetiaan berbahasa seseorang. Jika hal tersebut dibiarkan, akan menjadi cikal bakal kepunahan
bahasa. Hal tersebut juga dikatakan oleh Tondo (2007), bahwa faktor globalisasi dapat menjadi
salah satu penyebab kepunahan bahasa.

KESIMPULAN & SARAN


Kajian sikap bahasa ini menunjukkan bahwa indeks sosial berupa usia dapat mempengaruhi
sikap bahasa seseorang. Untuk sikap terhadap bahasa daerah dan bahasa asing, responden tua
lebih menunjukkan sikap yang lebih positif dibanding responden tua. Sementara itu, untuk
bahasa nasional, responden muda menunjukkan sikap yang lebih positif dibanding responden
tua.
Masyarakat Wanareja umumnya menunjukkan sikap yang positif, baik pada bahasa
daerah, bahasa nasional, maupun bahasa asing. Di samping itu, keadaan masyarakat Wanareja
yang hidup di lingkungan multilingual membuat mereka mulai menerima eksistensi bahasa lain
di luar bahasa ibu dan bahasa nasionalnya. Hal tersebut dapat dikatakan baik selama penutur
tersebut masih setia pada bahasanya. Namun, jika penerimaan tersebut akhirnya menggeser
kesetiaannya pada bahasanya, maka hal tersebut dapat berdampak negatif. Hal tersebut dapat
menjadi cikal bakal kepunahan bahasa.
Kondisi masyarakat yang hidup di perbatasan dan memiliki lebih dari satu bahasa ibu
memang banyak terjadi di dunia. Hanya saja, kondisi tersebut tidak selalu berasosiasi positif.
Untuk itu, perlu diadakan ruang-ruang untuk mempelajari bahasa terutama bahasa ibu di
kawasan perbatasan sebagai upaya pelestarian bahasa.

DAFTAR PUSTAKA
AR, Syamsudin, dan Vismaia Sabariah Damaianti. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cohn, A., dkk. 2013. Survey bahasa Sunda (Instrumen Penelitian Basa Urang Project),
Bandung.
Creswell, John W. 2016. Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

356
Seminar Tahunan Linguistik 2019

Darheni, Nani. 2010. “Bahasa Sunda Perbatasan (Borderland) di Kecamatan Dayeuhluhur,


Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah: Primordialisme Masyarakat Perbatasan Jawa Tengah
dan Jawa Barat”. Jurnal Sosioteknologi, Desember 2010: 969-986.
Hurlock, Elizabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Kustomo, Heri. 2011. “Fenomena Sikap Berbahasa di Indonesia”. AL HIKMAH, 1 (1): 82-41.
Miles, Matthew B., dan Huberman, A. Michael. 1994. Qualitative Data Analysis: An
Expanded Sourcebook (Second Edition). California: SAGE Publications.
Tondo, Henry. 2009. “Kepunahan Bahasa-bahasa Daerah: Faktor Penyebab dan Implikasi
Etnolinguistis” Dalam Jurnal Masyarakat & Budaya 11(2). Jakarta: P2KK LIPI.
Wardhaugh, Ronald, dan Fuller, Janet M. An Introduction to Sociolinguistics (Seventh Edition).
West Sussex: Wiley Blackwell.

357

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai