DASAR TEORI
2-1
2-2
Klausula 20.2
Penunjukan Dewan Sengketa
Sengketa harus dirujuk pada suatu Dewan Sengketa untuk mendapatkan keputusan
sesuai dengan Sub-Klausula 20.4
[Memperoleh Keputusan Dewan Sengketa]. Para Pihak harus menunjuk suatu
Dewan Sengketa pada tanggal yang dinyatakan dalam Data Kontrak.
Dewan Sengketa harus terdiri dari, sebagaimana dinyatakan dalam Data Kontrak,
satu atau tiga orang yang memiliki kualifikasi yang sesuai (”anggota”), masing-
masing harus lancar dalam bahasa komunikasi yang ditetapkan dalam Kontrak dan
2-3
Kecuali disepakati lain oleh kedua belah Pihak, penunjukan Dewan Sengketa
(termasuk setiap anggota) akan berakhir ketika pembebasan berdasarkan Sub-
Klausula 14.12 [Pembebasan dari Kewajiban] telah berlaku efektif.
Setiap terjadi sengketa, maka harus dirujuk pada DB yang sudah harus
dibentuk pada awal kontrak dan/atau pada tanggal yang disepakati dan tercantum
dalam kontrak. DB dalam hal ini dapat single atau three member, tentunya dengan
kualifikasi tertentu yang ada, misalnya dengan merujuk pada Standard and
Procedure dari Dispute Resolution Board Foundation (DBRF) yang berpusat di
Seattle, USA.
Penunjukan DB adalah dengan cara, setiap Pihak harus menominasikan satu
anggota untuk disetujui Pihak lain. Kedua anggota pertama harus
merekomendasikan dan para Pihak harus menyepakati anggota ketiga, yang akan
bertindak sebagai ketua. Jika suatu daftar anggota yang berpotensi telah disepakati
oleh para Pihak dan dimasukan dalam Kontrak, anggota-anggota akan dipilih dari
mereka yang ada dalam daftar.
FIDIC Conditions of Contract ini menyediakan contoh Perjanjian dan
Persyaratan Umum kontrak antara DB dan para pihak. Setiap saat, di mana para
Pihak menyepakati, mereka dapat bersamasama merujuk suatu masalah kepada DB
untuk dimintakan pendapatnya. Tidak ada satupun Pihak yang boleh berkonsultasi
mengenai suatu hal dengan DB tanpa kesepakatan Pihak lain.
Klausula 20.3
Kegagalan untuk Menyepakati Komposisi Dewan Sengketa
Jika kondisi manapun berikut ini terjadi, yaitu:
a) para Pihak gagal menyepakati penunjukan anggota tunggal Dewan
Sengketa pada tanggal yang dinyatakan dalam paragraph pertama dari Sub
Klausula 20.2 [Penunjukan Dewan Sengketa],
b) salah satu Pihak gagal menominasikan seorang anggota (untuk disetujui
oleh Pihak lain), atau gagal menyetujui seorang anggota yang
dinominasikan Pihak lain, dari suatu Dewan Sengketa yang terdiri dari tiga
orang pada tanggal tersebut,
2-5
Klausula 20.4
Memperoleh Keputusan Dewan Sengketa
Jika suatu sengketa (apapun jenisnya) terjadi di antara para Pihak dalam kaitannya
dengan, atau timbul akibat, Kontrak atau pelaksanaan Pekerjaan, termasuk sengketa
mengenai berita acara, penetapan, instruksi, pendapat atau penilaian oleh Enjinir,
salah satu Pihak dapat merujuk sengketa secara tertulis kepada Dewan Sengketa
untuk dimintakan keputusan, dengan salinan kepada Pihak lain dan Enjinir.
Rujukan tersebut harus menyatakan bahwa penyampaiannya dilakukan menurut
Sub-Klausula ini.
2-6
Untuk Dewan Sengketa yang terdiri dari tiga orang, Dewan Sengketa harus
dianggap telah menerima rujukan tersebut pada tanggal referensi tersebut diterima
oleh ketua Dewan Sengketa. Kedua belah Pihak harus segera menyediakan bagi
Dewan Sengketa seluruh informasi tambahan, akses ke Lapangan, dan fasilitas
selayaknya, yang mungkin diperlukan Dewan Sengketa dalam mengambil
keputusan atas sengketa tersebut.
Dewan Sengketa harus dianggap tidak bertindak sebagai arbiter.
Dalam jangka waktu 84 hari setelah menerima rujukan tersebut, atau dalam waktu
yang mungkin diusulkan oleh Dewan Sengketa dan disetujui oleh kedua belah
Pihak, Dewan Sengketa harus memberikan keputusan, yang harus disertai alasan
dan menyatakan bahwa keputusan diberikan menurut Sub-Klausula ini. Keputusan
ini harus mengikat kedua belah Pihak, yang harus segera diberlakukan kecuali dan
hingga direvisi dalam penyelesaian secara musyawarah atau keputusan arbitrase
sebagaimana dinyatakan di bawah ini.
Kecuali bila Kontrak telah ditinggalkan, ditolak atau diputus, Kontraktor harus
melanjutkan Pekerjaan sesuai dengan Kontrak.
Jika salah satu Pihak tidak puas dengan keputusan Dewan Sengketa, salah satu
pihak selanjutnya dapat, dalam jangka waktu 28 hari setelah menerima keputusan,
menyampaikan pemberitahuan kepada Pihak lain mengenai ketidakpuasannya dan
keinginannya untuk memulai arbitrase. Jika Dewan Sengketa gagal memberikan
keputusannya dalam jangka waktu 84 hari (atau sebagaimana disepakati) setelah
menerima rujukan tersebut, salah satu Pihak selanjutnya dapat, dalam jangka waktu
28 hari setelah berakhirnya masa tersebut, menyampaikan pemberitahuan kepada
Pihak lain mengenai ketidakpuasan dan keinginannya untuk memulai arbitrase.
Dalam setiap kejadian, pemberitahuan mengenai ketidakpuasan harus menyatakan
bahwa penyampaiannya dilakukan menurut Sub-Klausula ini, dan harus
menetapkan masalah yang disengketakan dan alasan ketidakpuasan. Kecuali
sebagaimana dinyatakan dalam Sub-Klausula 20.7 [Kegagalan untuk Mematuhi
Keputusan Dewan Sengketa] dan Sub-Klausula 20.8 [Berakhirnya Penunjukan
Dewan Sengketa], tidak ada satu Pihakpun yang berhak memulai arbitrase atas
suatu sengketa kecuali suatu pemberitahuan mengenai ketidakpuasan sudah
disampaikan sesuai dengan Sub-Klausula ini.
2-7
Jika Dewan Sengketa telah memberikan keputusannya atas suatu masalah dalam
sengketa kepada kedua belah Pihak, dan tidak ada pemberitahuan mengenai
ketidakpuasan yang disampaikan oleh kedua belah Pihak dalam jangka waktu 28
hari setelah menerima keputusan Dewan Sengketa, keputusan selanjutnya akan
dianggap final dan mengikat kedua belah Pihak.
Dewan Sengketa (DB) mulai dinyatakan dengan jelas pada rainbow edition
kontrak FIDIC, yaitu pada tahun 1999. Semula pada FIDIC Condition of Contract
hingga edisi ke-4 tahun 1987 yang kemudian diamandemen 1992, maka Enjinir
mempunyai kewajiban untuk membuat keputusan, dengan syarat Enjinir harus tidak
memihak. Namun demikian dalam perjalanannya, Enjinir yang bekerja dipihak
pengguna jasa, ditengarai akan bertindak memihak kepada pengguna jasa, dan
enjinir juga dianggap tidak independen, maka semua tugas enjinir untuk membuat
keoutusan dialihkan kepada Dewan Sengketa, utamanya untuk menghindari ke-
tidak netralan enjinir. Dalam MDB Harminised Edition 2006, peran enjinir dalam
kaitannya dengan suatu klaim yang diajukan oleh penyedia jasa adalah sebatas
pembuatan Enginnering Judgement.
Dewan sengketa yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tidak
hanya saat setelah sengketa terjadi, tetapi jauh sebelum terjadinya sengketa, yaitu
saat kontrak ditandatangani, diharapkan telah diputuskan dan mulai bekerja.
Kendala yang ada ialah, terjadinya suatu pembiayaan sebelum terjadi
permasalahan, dan ini tempaknya menjadi sulit bagi proyek-proyek di Indonesia
yang umumnya masih belum mendapat sosialisasi yang cukup tentang mekanisme
dan fungsi dewan sengketa.
Sebetulnya ada suatu hal yang menunjukan bahwa dengan dewan sengketa
pembiayaannya adalah dapat dimasukan dalam kategori protect cost sebaliknya
arbitrase atau litigasi, akan masuk dalam biaya legal cost, yang prosedurnya akan
menjadi sulit, utamanya bagi proyek-proyek pemerintah selaku pengguna utama
FIDIC Condition of Contract MDB Harmonised Edition 2006.
Jika dispute board ditunjuk sesuai waktu yang ditetapkan dan bekerja secara
besar (gambar 2.1), maka akan terjadi pengurangan timbulnya sengketa yang sekali
terjadi akan mengakibatkan terbangnya biaya yang tidak berhasil guna. Dengan
2-8
adanya dispute board ini, diharapkan semua permasalahan akan dapat diselesaikan
saat baru terjadi bahkan semua potensi sengketa akan dapat diprediksi sejak awal
dan jika memungkinkan akan selesai di lapangan.
Hal lain yang penting dicatat adalah, jika penggunaan dewan sengketa
dimengerti dengan benar, maka semua keputusan yang tentunya dibuat sendiri oleh
para pihak, akan menjadi final dan mengikat, sesuai dengan pasal 1338 KUHPer.
Hampir dapat dipastikan bahwa suatu keputusan yang dibuat secara amicable
hamper tidak mungkin diingkari oleh pihak yang telah mencapai kesepakatan
secara resmi.
Gambar 2.1 Diagram Penanganan Sengketa dengan Dispute Board menurut FIDIC
Condition of Contract, MDB Harmonised 2006
Sumber: Biro Hukum Kementrian Pekerjaan Umum
2-9
Sumber: Sarwono Hardjomuljadi, paper dipresentasikan pada FIDIC Contract Users Conference
Kuala Lumpur, Malaysia, 2013.
2-13
3-1
3-2
daftar pertanyaan (lampiran 3), setelah itu dimasukan ke dalam kategori yang
serupa dari pertanyaan-pertanyaan lain. Daftar pertanyaan tersebut dibentuk
kedalam 7 bagian pertanyaan yaitu;
1. Pertanyaan pembuka; yang berisi mengenai pertanyaan seputar sengketa
umum (general)
2. Mengenai metode penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia
3. Mengenai metode alternatif penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia
4. Mengenai karakteristik Dispute Board
5. Mengenai kelebihan & kekurangan Dispute Board
6. Mengenai praktek Dispute Board di lapangan
7. Mengenai hukum yang mengatur Dispute Board di Indonesia
D Siapa yang layak untuk dipilih sebagai menjadi dewan? Keahlian dewan sengketa
Pengetahuan orang-orang
Menurut Bapak/Ibu, bagaimana tingkat pengetahuan orang-
yang bekerja dalam
orang yang bekerja dalam bidang konstruksi mengenai
bidang konstruksi
Dispute Board? Dalam lingkup Indonesia
mengenai Dispute Board
4-1
4-2
yang dimaksud adalah ketika perbedaan pendapat terjadi, maka ada “kesempatan“
yang tepat untuk mengajukan klaim. Desire yang dimaksud adalah “keinginan” dari
para pihak untuk mendapatkan keuntungan dari klaim yang diajukan. Perbedaan
pendapat dari pihak-pihak yang terlibat ini menjadi serius ketika pada tahap
perencanaan saja sudah terjadi. Perbedaan pendapat ini sering terjadi akibat salah
presepsi yang tidak dibicarakan, sehingga progress pekerjaan dan scheduling
pekerjaan proyek akan banyak terganggu.
Hasil keputusan dari metode yang paling sering digunakan sebagai
penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia, semua berpendapat adalah
Arbitrsase dan litigasi, khususnya Arbitrase. Keuntungan dari arbitrse menurut
responden pertama dan kedua adalah jenis keputusannya yang dapat disepakati oleh
kedua belah pihak dan flexible. Responden ketiga berpendapat bahwa kelebihan
dari arbitrase yaitu waktu penyelesaiannya yang tergolong cepat dibandingkan yang
lain, namun dari seluruh metode penyelesaian sengketa konstruksi, menurut
reponden kedua tidak ada metode yang paling baik dikarenakan berdasarkan
penelitian terdahulu, diketahui bahwa waktu penyelesaian sudah bukan menjadi
faktor dominan yang menentukan jenis penyelesaian sengketa.
Dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2017 mengenai Jasa Konstruksi,
disebutkan dalam pasal 88 ayat kedua tentang dewan sengketa (dispute board) yang
telah diketahui oleh para ahli sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa Dispute
Board adalah suatu lembaga penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan dan muali disepakati pada awal mula proyek yang digunakan sebagai
metode penyelesaian sengketa konstruksi dengan mencegah muncul dan
berkembangnya suatu sengketa dalam suatu proyek. Dispute Board juga dapat
menengahi bila adanya sengketa dalam suatu kontrak kerja konstruksi.
Salah satu karakteristik dari dispute board yang disebut oleh semua
responden yaitu impartial. Selain karakterstik impartial, independen juga disebut
sebagai karakteristik lainnya dari Dispute Board oleh responden pertama.
Parameter independen tersebut sulit untuk diketahui dan ditentukan bahwa dewan
tersebut independen atau tidak. Hal ini dijelaskan dalam pendapat responden kedua
yaitu “yang paling penting dan menjadi tolak ukurnya yaitu impartial karena
4-4
independen tidak dapat dibuktikan secara tepat meskipun dilihat dari rekam jejak
dan kesediaannya untuk menjadi independen.”
Keuntungan dari Dispute Board adalah sengketa tersebut diselesaikan di
luar pengadilan dan dari dispute board yang mengatur segala macamnya keputusan
sementara bila terjadinya sengketa selama proyek, maka progress pekerjaan dapat
terus berlangsung dan tidak mengakibatkan keterlambatan yang berarti. Dengan
kata lain, dengan metode dispute board ini selama pelaksanaan proyek konstruksi
akan menghemat waktu dan biaya dibandingkan dengan metode alternatif
penyelesaian sengketa konstruksi lainnya. Dikatakan oleh responden kedua dan
ketiga, bahwa dispute board tidak mungkin ada kegagalan dalam memberikan suatu
keputusan dan responden ketiga berpendapat bahwa dispute board justru akan
menjadi tren dalam metode penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia.
Menururt responden pertama dan ketiga kerugian mungkin timbul dalam hal
pengaplikasian dispute board di lapangan. Seperti disebutkan oleh responden
pertama yaitu dalam hal teknis pembayaran, bila dilihat dari segi bisnis maka sulit
untuk menggunakannya yaitu harus membayar dewan sengketa tersebut dan apabila
hasil keputusannya tidak mencapai kata sepakat dari kedua belah pihak dan ingin
diselesaikan dengan penggunaan arbitrase atau litigasi yang harus membayar juga.
Sehingga biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak menjadi semakin
besar. Responden ketiga berpendapat bahwa kesulitan yang mungkin timbul bila
DB diaplikasikan di lapangan adalah kurang pahamnya para praktisi di lapangan
sehingga terjadinya salah tafsir dalam mengaplikasikan DB. Hal tersebut bukanlah
suatu hal kerugian yang berarti mengingat dari keuntungan yang didapatkan dari
pengaplikasian DB dalam suatu proyek konstruksi. Biaya yang akan dikeluarkan
Dalam hal landasan hukum bagi proyek pengguna DB, responden pertama
dan ketiga berpendapat bahwa aturan yang ada dalam UUJK No. 2 Tahun 2017
(pasal 88) masih belum dapat mengatur jalannya DB dengan baik dan masih
memerlukan tambahan-tambahan peraturan yang mengatur mengenai segala
macam regulasi yang berjalan selama DB tersebut dijalankan dalam suatu proyek.
Sedangkan menurut reponden kedua, UUJK No. 2 Tahun 2017 (pasal 88) hanya
sebuah landasan yang mendasari alur DB saja sedangkan untuk regulasi yang
berjalan dalam pelaksanaan DB sudah ada di dalam suatu organisasi penyelesaian
4-5
litigasi dan sifatnya preventif. Sehingga kedua responden tersebut sepakat bahwa
keuntungannya adalah tidak diselesaikan di jalur pengadilan yang memiliki banyak
kekurangan dari hal kerahasiaan, waktu yang panjang dan biaya yang tidak perlu.
Dengan adanya site visit tersebut, proyek dapat dikawal dari masalah-masalah yang
mungkin timbul sehingga diperlukannya tempo visiting tergantung dari tingkat
kompleksitas proyek tersebut. Dijelaskan oleh responden pertama, bahwa biaya
yang digunakan oleh kontraktor BUMN melalui APBD yang keluar untuk
penerapan DB sudah menjadi bagian dari nilai kontrak sebagai provisional sum.
Provicional Sum adalah istilah yang digunakan untuk item pekerjaan yang belum
pasti quantity ataupun volume pekerjaannya, maka dalam kontrak yang mengikat
adalah harga satuannya saja. Volume yang dituliskan pada nilai kontrak
diasumsikan terlebih dahulu, bila nilai tersebut lebih rendah atau lebih tinggi dari
yang tertulis di nilai kontrak maka akan menjadi pekerjaan tambah kurang.
Pengaturan biaya tersebut membuat biaya yang dikeluarkan bila terjadi sengketa
terjadi lebih terkontrol dan terprediksi dibandingkan metode penyelesaian lainnya
yang memerlukan biaya administrasi. Progress biaya yang dilakukan oleh masing-
masing pihak terhadap DB dilakukan sesuai dengan mengacu kepada studi literatur
yang telah digunakan. Disebutkan seluruh praktisi setuju bahwa penggunaan biaya
untuk DB yang dikeluarkan sangat berguna karena sifatnya ‘risk transfer’ sehingga
bila terjadi sengketa bukan dianggap biaya yang sia-sia.
Kerugian yang mungkin timbul dikatakan oleh responden pertama bahwa
masalah-masalah yang memiliki arah tindakan hukum (tindak pidana) tidak bisa
diselesaikan dengan dispute board serta sikap para pihak yang berbeda-beda akan
timbul selama menggunakan dispute board, selain itu juga hampir semua proyek
yang menggunakan Dispute Board menolak keputusan yang telah dibuat karena
sifatnya yang bukan final-binding. Sementara itu dikarenakan perusahaan
responden kedua (PT Waskita) belum pernah menggunakan dispute board maka
tidak diketahui apa pendapat yang mungkin akan timbul. Dapat dikatakan bahwa
pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dari setiap pihak yang bergerak di
bidang konstruksi maka akan menyulitkan pihak-pihak tersebut menggunakan
dispute board, sebagai pemecahan masalah yang timbul selama proyek
berlangsung, dengan baik dan benar.
4-10
Dalam hal landasan hukum bagi proyek pengguna Dispute Board, kedua
responden berpendapat masih perlu dilakukan pembenahan hukum yang mengatur
sehingga dapat terlengkapi sampai peraturan menteri yang paling mendetail dalam
mengatur secara teknisnya. Undang-Undang jasa konstruksi nomor 2 tahun 2017
tergolong masih baru, sehingga responden kedua masih belum mengetahui secara
detail seperti apa undang-undang tersebut. Oleh karena itu, dalam waktu dekat ini
kontraktor BUMN di Indonesia masih belum dapat menerapkan metode DB secara
menyeluruh karena masih perlu adanya penyuluhan tentang undang-undang
tersebut keseluruh bagian di bidang konstruksi agar DB dapat segera diterapkan.
Menurut berbagai keterangan dari hasil wawancara di atas yang dirangkum
pada tabel 4.2, bahwa Dispute Board merupakan metode penyelesaian sengketa
konstruksi yang masih baru di Indonesia sehingga diperlukan adanya penyuluhan
dan pengajaran bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil
wawancara tersebut, responden pertama memang mempelajari mengenai dispute
board pada studinya dahulu sehigga beliau menguasai dan mengetahui tentang
dispute board, sedangkan responden kedua hanya mengetahui sedikit mengenai
dispute board yang dikatakan selama wawancara dan lebih menguasai metode
arbitrase karena sengketa proyek pada umumnya diselesesaikan dengan metode
tersebut.
adalah pada ahli, Dispute Board sangat popular dan sangat diharapkan untuk
digunakan dalam setiap proyek di Indonesia dikarenakan sifatnya yang
menghindari terjadinya sengketa. Tidak dapat dipungkiri bahwa menurut responden
praktisi di lapangan sengketa terjadi sulit untuk membuat kedua belah pihak setuju
dengan keputusan dewan yang merekomendasikan penyelesaiannya.