2 10 1 PB PDF
2 10 1 PB PDF
Jurnal Joged merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya
seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke
masyarakat luas.
Redaktur menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, format penulisan berada di
halaman belakang. Naskah yang masuk akan disunting format, istilah dan tata cara lainnya.
Pemimpin Umum:
Ketua Jurusan Tari (ex-officio)
Pemimpin Redaksi:
Dr. Sumaryono, MA.
Sekretaris Redaksi:
Dra. Supriyanti, M. Hum.
Staf Redaksi:
1. Drs. Raja Alfirafindra, M.Hum.
2. Bekti Budi Hastuti, SST., M. Sn.
Anggota Redaksi:
1. Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi. SST. SU.
2. Dr. Hersapandi, SST., M.S.
3. Dr. Rina Martiara, M. Hum.
4. Dra. M. Heni Winahyuningsih, M. Hum.
5. Dra. Daruni, M.Hum.
6. Dra. Budi Astuti, M.Hum.
7. Dra. Siti Sularini
Desain Sampul:
Dr. Hendro Martono, M.Sn.
Naskah dapat dikirim melalui salah satu alamat email di bawah ini:
Email: hersapandi@yahoo.com, priyantitari@yahoo.com, mar_yono@yahoo.co.id
Dicetak oleh:
Multi Grafindo, Ruko Perumahan Candi Gebang Permai I/4 Sleman Yogyakarta 55584,
Telp. (0274) 7499863, Fax.( 0274)888027
Email: admin@multigrafindo.com
Apabila mengutip atau menyalin naskah yang terdapat dalam jurnal ini, maka harus ada ijin dari penulis langsung atau
mencantumkan dalam referensi sesuai dengan tata tulis akademis yang berlaku.
Iklan yang berhubungan dengan pengetahuan dan penciptaan seni dapat dimuat di jurnal ini.
iii
ISSN: 1858-3989
VOLUME: 3 NO.: 1 MEI 2012
Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Supriyanto 1-16
Mataram
Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung Dr. Hersapandi,Sst., Ms. 24-35
Tari Gandrung Terob Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Rina Martiara dan Arie 49-56
Banyuwangi Yulia Wijaya
Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Sarjiwo 57-69
Karakteristik Pocapan
Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo Sebuah Kajian Surojo 70-77
Gaya Wayang Wong Pedesaan
v
Petunjuk Penulisan
ISSN: 1858-3989
vii
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 1-16
ABSTRAK
Tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta yang dikenal sampai sekarang ini merupakan tipe tari
putra dengan karakter halus, dan hal ini dapat dilihat dari volume gerak serta visualisasi karakternya. Tari
Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta merupakan salah satu dari beberapa bentuk tari yang bersumber dari
wayang wong di Keraton Yogyakarta. Tari ini menggambarkan seorang raja atau kesatria yang sedang jatuh
cinta kepada seorang wanita yang menjadi kekasihnya. Di dalam adegan jejeran wayang wong lakon Sri
Suwela di Keraton Yogyakarta terdapat komposisi tari nglana, kemudian dilepas tersendiri menjadi bentuk
tari tunggal.
Penulisan ini untuk mengetahui pengaruh wayang wong di Keraton Yogyakarta terhadap tari Klana Sri
Suwela, dan membahas penerapan konsep jogèd Mataram dalam tari Klana Sri Suwela. Penulisan ini
menggunakan dua pendekatan yang melatarbelakanginya, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan
konstektual. Secara tekstual pemberlakuan tari berkaitan dengan bentuk, struktur, dan gaya tarinya. Secara
kontekstual pemberlakuan tari sebagai teks kebudayaan, dapat ditelaah melalui kedudukannya di masa
sekarang kaitannya dengan catatan yang ada di masa lampau.
Pencermatan tari Klana Alus Sri Suwela melibatkan unsur-unsur yang mendasari penjelasan tentang
konsep tari Jawa gaya Yogyakarta. Unsur- unsur wiraga, wirama, dan wirasa merupakan unsur-unsur yang
sangat penting dalam menjelaskan konsep tari Jawa. Di dalam pelaksanaan menari unsur wiraga, wirama,
dan wirasa harus dibekali suatu ilmu yang disebut jogèd Mataram. Jogèd Mataram sekarang ini dikenal
dengan konsep jogèd Mataram, terdiri dari empat unsur yaitu, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.
Bentuk dan struktur tari mengacu pada tata hubungan dalam struktur tari, sistem pelaksanaan teknik dan cara
bergerak dalam bagian-bagian tubuh penari sebagai perwujudan tari yang utuh.
ABSTRACT
The Yogyakarta style of Klana Alus Sri Suwela dance is recognized the refined male character dances
which can be observed through the movement volume and its character visualization. The Yogyanese style
of Klana Alus Sri Suwela dance is one of several dances which were based on Wayang Wong in Yogyakarta
Palace. The dance illustrates a king who falling in love with his beloved woman. In the jejeran scene of
wayang wong episode in Sri Suwela in Yogyakarta Palace, there is a nglana dance composition, which later
being performed separately to a solo dance.
The object of the study is to find the influence of Yogyakarta Palace’s Wayang Wong on Klana Alus Sri
Suwela dance, and discussing the application of jogèd Mataram concept in Klana Alus Sri Suwela dance.
The study used textual and contextual approach. In textual approach, the conduct of the dance is being
studied concerning the type, structure, and style of the dance. In contextual approach, the dance taken as a
cultural reading is being studied in its present position in relation with the past documentation.
Klana Alus Sri Suwela dance is a Javanese dance; therefore the observation on the dance concerns the
elements which become the basic in describing the concept of Yogyakarta style of Javanese dance. Wiraga,
wirama, and wirasa are important elements in describing Javanese dance concept. In the dance performing,
those elements must be supported by a skill known as jogèd Mataram. Jogèd Mataram, which is now being
recognized as jogèd Mataram concept, consists of four elements, sawiji, greged, sengguh, and ora mingkuh.
The form and structure of dance are referring to the relationship in dancing structure, dancing technique
and how the movements of the dancer's body as a realization of the whole of dance. Accordingly, the tri wira
(wiraga, wirama, wirasa) concept serves as the technique and outline, and the jogèd Mataram serve as the
1
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
content. Therefore, in order to perform a dance and play the role well, a dancer should master the three
elements of the tri wira concept infused by jogèd Mataram concept.
2
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989
“Jenis tari Klana Alus yang ditarikan hal yang memberi ciri perbedaan wayang
dengan tipe tari putra halus gaya wong Kraton Yogyakarta dengan wayang
Yogyakarta, menggambarkan seorang wong komersial adalah, segi formalitas
kesatria sabrangan (seberang) yang penyajiannya, pada aspek tari, busana, skala
sedang jatuh cinta” (Soedarsono 1977- pertunjukan, dan struktur dramatik yang
1978:94). mendekati pada pertunjukan wayang kulit
(Lindsay, 1991:89). Sampai dengan
Sesuai dengan pandangan di atas, maka pandangan ini, suatu pengantar dari sebuah
visualisasi tokoh pada tipe tari Klana Alus pertunjukan wayang wong di Kraton
merupakan penggambaran keagungan seorang Yogyakarta diharapkan mampu memperjelas
raja atau kesatria dari negeri seberang yang terbentuknya tari Klana Alus Sri Suwela gaya
bersumber pada cerita epos Mahabarata. Figur Yogyakarta.
raja adalah manifestasi penguasaan mayapada Wayang wong gaya Yogyakarta
dan alam astral yang hadir. Sebutan Klana diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana
adalah tokoh besar pengelana yang datang I (1756–1796) dan mengalami era keemasan
dari luar, yang dapat berkonotasi pada pada masa pemerintahan Sri Sultan
manusia, bercita-cita tinggi/kadang-kadang Hamengku Buwana VIII (1921–1939). Pada
berasosiasi pada romantisme, suatu masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII
kegandrungan, yang tidak mesti bersifat erotis hampir setiap pertunjukan wayang wong
atau cenderung seksi, melainkan pada memakan waktu berhari-hari. Pertunjukan
idealisme yang estetis (Wisnoe Wardhana, yang diselenggarakan di Tratag Bangsal
1981:36). Kencana dari pagi hari sampai sore hari. Salah
Tari Klana Alus Sri Suwela bersumber satu pertunjukan wayang wong dengan durasi
pada wayang wong di Kraton Yogyakarta. waktu agak panjang terjadi di tahun 1923,
Wayang wong secara umum sebagai yakni mengetengahkan cerita Jaya Semedi
dramatari yang berarti pertunjukan wayang kemudian dilanjutkan dengan cerita Sri
yang ditarikan oleh aktor manusia (Jeennifer Suwela. Pertunjukan ini memakan waktu
Lindsay, 1991:897). Istilah wayang wong dari empat hari, dari tanggal 3 sampai 6 September
segi genre dapat mengacu pada semua 1923 (Soedarsono, 2000:19). Cerita Sri
dramatari, tetapi kini biasanya khusus Suwela merupakan cerita carangan dari
dramatari tanpa topeng yang bersumber dari wiracarita Mahabarata. Cerita ini
wiracarita Ramayana dan Mahabarata, dengan menggambarkan tentang Dewi Pertalawati,
dialog di dalamnya dibawakan sendiri oleh istri Werkudara yang mencari suaminya
para penari dan mengikuti rancangan dengan menyamar sebagai seorang raja
pertunjukan wayang kulit. Soedarsono tampan dari negeri Parangretna bernama Sri
menyebutkan bahwa wayang wong Suwela. Di dalam penyamarannya Sri Suwela
merupakan sebuah genre tari yang dapat ingin meminang Werkudara atau Bima,
dikategorikan sebagai pertunjukan total (total seorang kesatria gagah perkasa yang dianggap
theatre) yang di dalamnya tercakup seni tari, seorang putri sangat cantik dengan sebutan
seni drama, seni sastra, seni musik, dan seni Mas Ayu Werkudara. Hal ini merupakan
rupa (Soedarsono, 2003:3). suatu yang tidak wajar, maka lamaran Sri
Mengacu pandangan di atas, istilah Suwela ditolak oleh raja Amarta Prabu
wayang wong dapat ditunjukkan pada dua Puntadewa. Terjadilah peperangan, para
jenis wayang wong yang sampai sekarang Pandawa tidak ada yang dapat mengalahkan
hidup, yakni wayang wong hiburan yang Sri Suwela. Setelah melihat Prabu Kresna raja
komersial dan wayang wong Kraton dari Dwarawati membawa senjata Cakra, Sri
Yogyakarta. Wayang hiburan yang komersial Suwela menjadi lemas dan akhirnya berubah
hidup dan berkembang di Surakarta seperti ke wujud aslinya yaitu Dewi Pertalawati.
wayang wong Sriwedari. Adapun wayang Tari Klana Sri Suwela, bersumber pada
wong Kraton Yogyakarta hidup dan wayang wong gaya Yogyakarta dengan lakon
berkembang di Kraton Yogyakarta dan di Sri Suwela. Dalam salah satu adegan jejeran
beberapa organisasi tari atau sanggar tari wayang wong Sri Suwela ini terdapat bentuk
besar di lingkungan Kraton Yogyakarta. Satu tari Klana Alus Sri Suwela. Bentuk tarinya
3
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
masih sangat lengkap, yang memuat unsur- II. Dasar Konsep Joged Mataram
unsur kandha, pocapan, dan ngrungruman
(Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgit A. Tiga Unsur Tari
Tiyang Lampahan Sri Suwela, 1923). Bentuk
tari Klana dalam adegan jejeran wayang wong Tari adalah suatu bentuk pernyataan
itulah kemudian diambil dijadikan bentuk tari imajinatif yang tertuang melalui kesatuan
tunggal dengan nama tari Klana Alus Sri simbol-simbol gerak, ruang, dan waktu
Suwela. Setelah menjadi bentuk tari tunggal (Bambang Pudjasworo, 1982:61). Tari
ada perubahan-perubahan yang terjadi antara dalam perwujudannya senantiasa harus
lain unsur-unsur kandha, pocapan, dan dihayati sebagai bentuk kemanunggalan
ngrungruman sudah tidak dikemukakan lagi. dari suatu pola imajinatif gerak, ruang,
Informasi tentang latar belakang dan waktu yang dapat dilihat dengan
terbentuknya tari Klana Alus gaya Yogyakarta kasat mata. Bentuk kemanunggalan
menyebutkan bahwa tokoh Sri Suwela antara pola imajinatif dengan pola kasat
merupakan sosok raja besar yang mengilhami mata itu dapat dikatakan bahwa tari
karakter tari Klana Alus gaya Yogyakarta. Di merupakan suatu bentuk pernyataan
samping itu, bentuk-bentuk kandha, pocapan, ekspresi (jiwani), bentuk pernyataan
dan ngrungruman yang sudah tidak ilusi, dan sekaligus merupakan bentuk
diketemukan pada bentuk tari Klana Alus pernyataan rasional manusia. Gerak,
sekarang, lebih merupakan penerjemahan ruang, dan waktu dihadirkan sebagai
yang digantikan dalam bentuk simbol gerak. sebuah satu kesatuan yang utuh yang
Komposisi gerak (sekaran) akan dapat mewakilinya.
membuktikan kesejajaran pada bentuk tari Konsep dasar dalam tari secara
Klana Alus Sri Suwela mampu mempengaruhi universal adalah gerak, ruang, dan waktu.
bentuk tari Klana Alus gaya Yogyakarta Tari Jawa gaya Yogyakarta juga
dewasa ini (Wisnoe Wardhana, 1981:79). mempunyai konsep dasar yang relatif
Berkenaan dengan cerita (lakon) Sri universal pula. Perlu diungkapkan
Suwela dalam wayang wong di Kraton pernyataan salah satu tokoh tari gaya
Yogyakarta, maka kehadiran tokoh Sri Suwela Yogyakarta, yakni B.P.H.
dalam pertunjukan wayang wong mempunyai Suryodiningrat. Dalam salah satu
keistimewaan tertentu. Seorang yang akan uraiannya dinyatakan:
memerankan tokoh Sri Suwela harus
menguasai teknik gerak tari putra halus dan Ingkang dipoen wastani djogèt
tari putri. Selain itu karakternya sebagai punika ébahing sadaja
seorang raja yang agung tetapi memiliki sifat sarandoening badan, kasarengan
keputri-putrian. Peneliti sangat tergoda untuk oengeling gangsa, katata pikantoek
mengkaji lebih jauh tentang Klana Alus Sri wiramaning gendhing,
Suwela hubungannya dengan wayang wong djoemboehing pasemoen, kaliyan
Yogyakarta dan sebagai tari tunggal. Hal yang pikadjenging djogèt.
penting mendasari pemahaman peneliti adalah
melihat proses identifikasi diri Dewi (yang dimaksud tari adalah gerak
Pertalawati sebagai tokoh Sri Suwela raja seluruh anggota badan, yang diiringi
seberang dari negeri Parangretna dalam sajian dengan musik (gamelan)
pertunjukan wayang orang di kraton dikoordinasikan menurut irama
Yogyakarta, telah mengalami perubahan- gamelan, kesesuaian dengan sifat
perubahan dalam proses perilaku sebagai tari pembawaan tari serta maksud
tunggal, termasuk pemerannya. tarinya (B.P.H. Suryodiningrat,
1934:3).
4
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989
pada tiga aspek pokok ialah wiraga, kaidah tidak baku atau pathokan
wirama, dan wirasa. Wiraga adalah tidak baku yang nanti akan
konsep gerak, wirama merupakan konsep dijelaskan secara rinci di bagian
irama, dan wirasa adalah konsep berikutnya.
penjiwaan. Konsep wiraga, wirama, dan Wiraga dalam tari Klana Alus
wirasa (3 w) masih terdapat lagi konsep Sri Suwela gaya Yogyakarta pada
yang lebih berupa aturan-aturan dan prinsipnya tetap mengacu pada
kaidah yang terangkum dalam pathokan aturan atau pathokan tari putra alus
baku dan pathokan tidak baku. gaya Yogyakarta. Pelaksanaannya
dalam sebuah tari Klana dapat
1. Wiraga dibedakan menjadi 3 bagian. Bagian
Wiraga adalah seluruh aspek pertama maju gendhing merupakan
gerak tari, baik berupa sikap gerak, bagian yang memiliki kesan agung,
pengulangan tenaga serta proses dan berwibawa. Wiraga yang
gerak yang dilakukan penari, dimaksud pada bagian ini ialah
maupun seluruh kesatuan unsur dan ragam gerak tari yang dipakai penuh
motif gerak (ragam gerak) tari yang dengan kekuatan, ketegasan, dan
terdapat di dalam suatu tari. Wiraga kedinamisan. Di bagaian kedua pada
merupakan konsep gerak dalam tari muryani busana memiliki kesan
gaya Yogyakarta. Konsep wiraga ini prenèsan, sengsem, keceriaan,
ada beberapa kaidah atau aturan kegembiraan, dan percaya diri.
yang harus betul-betul dipatuhi oleh Wiraga di bagian ini apabila
penari dalam melakukan gerak tari. dikaitkan dengan ragam gerak tari
Hal ini dikarenakan di dalam tari penuh dengan daya pikat atau daya
gaya Yogyakarta ada faham benar tarik kelembutan, penuh tekanan,
dan salah yang diukur dengan keluwesan, kelenturan, dan
kemampuan penari dalam kedinamisan. Oleh sebab itu dalam
menerapkan kaidah-kaidah atau sekaran muryani busana banyak
aturan-aturan yang ada. Hal ini wiraga tari putri gaya Yogyakarta
bertolak belakang dengan sisi dipakai dalam tari Klana Alus Sri
batinnya tari gaya Yogyakarta, Suwela. Contoh nglèrèg, kicat
karena faham yang ada adalah sudah ridhong, usap suryan, kicat ulap-
mampu dan belum mampu atau ulap, kicat tawing, kengser,
sudah bisa dan belum bisa. lèmbèhan asta, dan lain-lain.
Keindahan dari sebuah tari Wiraga tari putri tersebut telah
hanya dapat dipandang ketika tari itu mengalami distorsi dan stilisasi
ditarikan atau saat tarian itu sehingga diterapkan di dalam tari
berlangsung lewat penarinya. putra alus tetap kelihatan wiraga tari
Keindahan itu dapat dipandang dari putra alus. Penerapatan wiraga tari
dua aspek yang saling terkait yaitu putri dalam muryani busana
pelaku atau penari dengan desain merupakan pengaruh tari Tledhek
geraknya. Keindahan dari seorang dari tradisi kerakyatan. Berbagai
penari dapat dikatakan indah apabila ragam tari putri yang diterapkan
seorang penari secara optimal telah dalam tari Klana Alus Sri Suwela
mampu menerapkan kaidah-kaidah ialah nglèrèk, srimpet nglawé,
atau aturan-aturan yang ada. Kaidah- lampah sekar, lèmbèhan kicat, kicat
kaidah yang ada merupakan ridhong, ulap-ulap kicat, ukel
landasan utama dalam teknik tari tawing kicat, usap suryan kicat,
gaya Yogyakarta. Kaidah-kaidah pacak gulu trap tawing dan lain-
atau aturan-aturan dalam tari klasik lain. Oleh karena itu penari Klana
gaya Yogyakarta dapat Alus Sri Suwela yang baik harus
dikelompokkan menjadi dua, yaitu menguasai wiraga tari putra alus dan
kaidah baku atau pathokan baku dan wiraga tari putri gaya Yogyakarta.
5
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
6
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989
7
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
8
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989
9
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
10
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989
11
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
adalah mendhak cethik (pelvis) yaitu 2. Tolèhan kanan dan kiri (dexter-
merendah sehingga memusatkan sinester)
gerak pada cethik (pelvis) bukan 3. Coklèkan kanan dan kiri
pada tekukan lututnya (patella). (dexter-sinester)
4. Gedheg khusus untuk tari putra
4. Sikap tangan gagah kanan dan kiri (dexter-
Lebar tangan (jarak tangan sinester).
dengan badan) untuk tari putra
berbeda dengan tari putri. Untuk tari 6. Gerak cethik (pelvis)
putra masih dibedakan lagi putra Cethik atau pangkal tungkai
halus dan putra gagah. Untuk tari atas (pelvis) merupakan bagian yang
putra halus jarak tangan dengan sangat penting dalam gerak tubuh
badan kurang lebih satu penari baik ke arah samping maupun
pethènthèngan. Mengukurnya ke bawah atau mendhak. Gerak
dengan cara menempelkan kedua tubuh ke samping baik ke kanan
telapak tangan (ossa metacarpalia) maupun ke kiri (dexter-sinester)
pada pinggang. Ukuran lebar tangan yang benar dalam tari gaya
(humerus, ulna-radius, carpalia, Yogyakarta harus dilakukan dengan
metacarpalia, ossa metacarpalia, pemusatan gerak pada pangkal
dan phalanges) ini dipakai semua tungkai atas atau cethik (pelvis).
standar tari halus apapun. Bentuk
tangan (humerus, ulna-radius, 7. Pandangan mata (pandengan)
carpalia, metacarpalia, ossa Pandangan mata dalam tari
metacarpalia, dan phalanges) gaya Yogyakarta dengan ketentuan
apabila menekuk adalah siku-siku kelopak mata terbuka, bola mata
dengan pusat atau tekanan pada lurus ke depan menurut arah hadap
pergelangan tangan (capalia). Gerak muka, dan pandangan tajam, dengan
tangan selalu dipusatkan pada jarak kurang lebih 3 kali tinggi
pergelangan tangan (carpalia) badan. Mata seorang penari tidak
sedangkan lengan (humerus, ulna- boleh berkedip-kedip karena akan
radius) hanyalah mengikuti. kelihatan rongeh dan kurang
Pemusatan gerak tangan (humerus, konsentrasi.
ulna-radius, carpalia, metacarpalia,
ossa metacarpalia, dan phalanges) B. Pathokan tidak baku
pada pergelangan tangan (carpalia)
ini dimaksudkan agar posisi tangan Pathokan-pathokan baku merupakan
dan siku dapat stabil tidak pegangan dasar penari pada umumnya
mengembang maupun menguncup yang memiliki keadaan fisik normal atau
(megar-mingkup). wajar, serasi, dan bagus. Sering terjadi
ada seorang penari yang memiliki
5. Pacak gulu/gerak leher (cervical beberapa kekurangan dalam fisiknya.
vertebrae) Para penari yang memiliki kekurangan-
Gerak leher (cervical kekurangan fisik, mereka harus
vertebrae) dipusatkan pada tekukan menggunakan pathokan tidak baku atau
(coklèkan) jiling (cervic), yaitu khusus untuk menutupi kekurangan-
persendian kepala (cranium) dengan kekurangan tersebut. Pathokan tidak
leher (cervical vertebrae) baik untuk baku ini bukan merupakan pegangan
tolehan maupun pacak gulu. Gerak yang dapat dijalankan oleh setiap orang
demikian itu adalah tidak Dalam atau penari. Pathokan ini sering disebut
gaya Yogyakarta terdapat empat (4) pathokan khusus atau pathokan tidak
macam pacak gulu yaitu: baku atau juga sering disebut pathokan
1. Pacak gulu baku (pokok) kanan penyesuaian diri.
dan kiri (dexter-sinester)
12
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989
13
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
14
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989
15
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)
Soeryobrongto, G.B.P.H. 1981. “Wayang Orang ________________. 1981. “Ragam Tari Klasik
Gagrag Mataram”, dalam Fred Wibowo (ed), Gaya Yogyakarta”, dalam Fred Wibowo (ed),
Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta.
Dewan Kesenian Propinsi DIY, Yogyakarta. Dewan Kesenian Daerah Istimewa
Yogyakarta, Yogyakarta.
Sumaryono. 2003. Restorasi Seni Tari dan
Transformasi Budaya. Lembaga Kajian ________________. 1981. “Penjelasan Tentang
Pendidikan dan Humaniora Indonesia, Pathokan Baku dan Penyesuaian Diri”, dalam
Yogyakarta. Fred Wibowo (ed), Mengenal Tari Klasik
Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Daerah
Wardhana, Wisnoe. R.M., 1981. “Tari Tunggal, Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.
Beksan dan Tarian Sakral Gaya Yogyakarta”,
dalam Fred Wibowo (ed), Mengenal Tari Wibowo, Fred. 2002. Tari Klasik Gaya
Klasik Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Yogyakarta. Yayasan Bentang, Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.
16
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 17-23
Tari adalah salah satu cabang seni yang dalam ungkapannya menggunakan bahasa gerak tubuh. Untuk
mencapai kualitas kepenarian yang bagus, seorang penari dituntut penguasaan aspek wiraga, wirama dan
wirasa. Namun ternyata tidak hanya cukup penguasaan tiga aspek tersebut agar pemahaman tari secara utuh
dipahami. Aspek di luar teknis sebenarnya lebih banyak manfaat yang bisa kita peroleh jika kita mempelajari
tari secara kontekstual.
Permasalahan seputar pelajaran tari di sekolah umum (baca : SD, SMP, dan SMA) sebenarnya berkutat
pada masalah image orang terhadap pelajaran tari yang dipandang sebelah mata. Pertanyaan yang pantas kita
ajukan kepada para pelaku dan pendidik seni tari adalah : mampukah kita merubah image tari dari
pemahaman tekstual menjadi kontekstual?
Manfaat yang dapat kita peroleh dari pemahaman secara konteksualitas tentang tari sebenarnya akan
memberikan kontribusi yang signifikas terhadap pembetukan karakter siswa yang mempelajari. Kedalaman
isi dan makna di balik pelajaran tari inilah yang selama ini belum banyak dikupas pendidik seni tari di
sekolah umum. Dengan pemahaman kontekstualitas itu maka anggapan tari sebagai pelajaran praktik ansich
akan terkikis. Tari adalah pelajaran yang memiliki kompleksitas permasalahan terkait dengan masalah sosial,
budaya, antropologi, politik hingga permasalahan global. Untuk itulah belajar tari yang benar adalah belajar
secara kontekstual dengan mempertimbangkan apa yang ada dalam tari itu secara utuh, sehingga kita tidak
hanya terpancang pada aspek teknik dalam olah wiraga saja. Pemahaman nilai-nilai filosofi joged mataram
menjadi penting artinya, karena akan memberikan manfaat untuk pembentukan karakter bagi anak yang
mempelajarinya Konsep sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari, karena prinsip tersebut merupakan dasar untuk melaksanakan kehidupan yang oleh Suryobrongto
disebut dengan way of life.
17
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)
18
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989
keilmuan tentang tari klasik gaya Yogyakarta. yang bernilai dengan yang baik. Nilai pada
Secara teknik tari gaya Yogyakarta memiliki dasarnya berhubungan dengan kebaikan yang
aturan baku yang harus dipenuhi seperti terdapat pada inti sesuatu hal. Dengan
wiraga, wirama, dan wirasa. Sedangkan demikian nilai itu merupakan kadar relasi
untuk pemaknaan dari sudut pandang positif antara sesuatu hal dengan orang
semiotik, tari memiliki beberapa simbol yang tertentu. Beberapa nilai itu antara lain nilai
jika dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan praktis, nilai sosial, nilai religius, nilai susila
akan menjadi lebih bermakna seperti tersirat atau norma, nilai kultural, nilai estetis, dan
dalam gerak pucang kanginan, ngenceng nilai yang bersifat konsepsional. Nilai dapat
encot, lénggot raga, dan sebagainya. saling berkaitan membentuk suatu sistem dan
Dari makna di balik tari klasik gaya antara satu dengan lain koheren serta
Yogyakarta ini, sebenarnya secara fungsional mempengaruhi segi kehidupan manusia.
tari gaya Yogyakata memiliki fungsi dan
tujuan sebagai media untuk mengembangkan IV. Terwujudnya Jatidiri Melalui
sikap dan kemampuan agar siswa mampu Pendidikan Tari
berkreasi dan peka dalam berkesenian. Oleh
karenanya, secara rasional pelajaran Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan seni di sekolah didasarkan pada kebudayaan melatarbelakangi konsepsinya di
hal-hal sebagai berikut : bidang pendidikan, yang antara lain
1. Pendidikan seni memiliki sifat mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:
multilingual, multidimensional, dan “Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang
multikultural bermaksud memberi bimbingan dalam hidup
2. Pendidikan seni memiliki peranan dalam tumbuhnya jiwa raga anak, agar dalam garis
pembentukan pribadi siswa yang kodrat pribadinya serta pengaruh
harmonis dalam logika, rasa estetis dan lingkungannya mereka memperoleh kemajuan
artistiknya serta etikanya dengan lahir-batin menuju kearah adab kemanusiaan”
memperhatikan kebutuhan dan (Ki Hadjar Dewantara I, 2004, 342). Lebih
perkembangan anak untuk mencapai lanjut Ki Hajar Dewantara mengemukakan
kecerdasan (EQ), kecerdasan intelektual nilai-nilai kehidupan yang berbunyi “Ing
(IQ), kecerdasan adversitas (AQ), dan Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
kreativitas (CQ), serta kecerdasan Karso, Tut Wuri Handayani”. Apa yang
spiritual dan moral. terkandung dalam nilai-nilai tersebut adalah
3. Pendidikan seni memiliki peranan dalam keteladanan, berkarya, dan dukungan. Dengan
pengembangan kreativitas, kepekaan demikian, nilai-nilai universal ini berlaku di
rasa, dan inderawi serta terampil dalam mana pun dan bagi siapapun, tidak dibatasi
berkesenian melalui pendekatan belajar oleh Barat dan Timur. Instruksi Presiden
dengan, belajar melalui seni, dan belajar (Inpres) Republik Indonesia No. 1 Tahun
tentang seni (Depdiknas, 2001 :7) 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional, berisi
III. Konsep Nilai dalam Tari Klasik penyempurnaan kurikulum dan metode
pembelajaran aktif yang didasarkan pada
Nilai adalah suatu penghargaan atau nilai-nilai budaya bangsa. Perubahan
kualitas terhadap sesuatu hal yang dapat kurikulum di Perguruan Tinggi dan di Sekolah
menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. harus memperhatikan instruksi presiden ini.
Sesuatu itu dianggap bernilai bagi seseorang Bagaimana memasukan nilai-nilai dalam
karena sesuatu itu menyenangkan (pleasant), kurikulum atau pada pembelajarannya. Ini
memuaskan (satisfying), menarik (interest), adalah kesempatan para guru kesenian di
berguna (useful), menguntungkan (profitable) sekolah untuk menerapkan sistem
atau merupakan satu keyakinan (bilief) pembelajaran secara kontekstual.
(Daroeso, 1988 : 20). Pendapat lain Berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan
dikemukakan Mardiatmaja (1986 ; 54), nilai dalam belajar seni, Ki Hajar Dewantara
menunjuk satu sikap orang terhadap sesuatu (1937 : 173) mengatakan bahwa:
hal yang baik. Ada kaitan yang erat antara
19
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)
20
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989
membentuk budi pekerti itu mulai dapat yang dimaksud adalah kehalusan budi pekerti
disisipkan, termasuk cara penyampaian yang yang meliputi cara berikir, pandangn hidup
sesuai dengan karakteristik materi tari yang dalam kaitannya dengan kepercayaan terhadap
akan disampaikan. Proses berjalan menuju ke Tuhan Yang Maha Esa. Keteraturan
tempat pertunjukan, tata cara naik ke atas melaksanakan kedisiplinan yang ketat pasti
pentas, dan bagaimana bersikap terhadap guru akan berakibat seseorang percaya diri. Dengan
yang sedang mengajar, adalah bagian dari bekal percaya diri inilah, jika mampu
proses pembentukan karakter sebelum diperdalam seseorang melalui pelajaran tari
memasuki materi tari yang diajarkan. Dari gaya Yogyakarta, maka orang akan lebih
materi tari yang diajarkanpun dapat dijadikan banyak mendapatkan ilmu dari nilai-nilai di
media untuk membentuk perilaku siswa, balik tari itu dari pada sekedar teknik menari
ketika materi itu diberikan deskripsi, makna yang benar.
simbolik, serta nilai-nilai yang terkandung di Tahap berikut adalah menerapkan nilai-
dalamnya. nilai filosofis joged mataram dalam
Semua aspek tersebut dapat diuraikan membentuk karakter anak, dapat dijabarkan
sebagai media untuk membentuk karakter dari prinsip sawiji, greget, sengguh dan ora
anak, karena makna di balik sebuah tarian itu mingkuh yang secara lengkap dapat dilihat
sendiri merupakan pendidikan batin yang dalam tabel berikut ini.
tertuju pada kehalusan jiwa. Pendidikan batin
21
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)
memberi keyakinan kita bahwa aspek filosofis kehidupan yang tidak terlihat seperti hormat,
joged mataram dapat diterapkan sebagai peduli, tanggungjawab, cinta kasih, kejujuran,
media pembentukan karakter anak. keadilan dan demokrasi.
Selain itu konsep filosofis joged Untuk itulah belajar tari yang benar
mataram dapat dipahami sebagai dasar adalah belajar secara kontekstual dengan
pendidikan yang penerapannya dapat mempertimbangkan apa yang ada dalam tari
digunakan untuk membentuk karakter anak. itu secara utuh, sehingga kita tidak hanya
Hal tersebut terdapat di dalam konsep dasar terpancang pada aspek aspek teknik praktis
yang tertuang dalam prinsip wirasa sebagai dalam olah wiraga saja. Pemahaman nilai-
syarat belajar tari. Pengolahan rasa di sini nilai filosofi joged mataram menjadi penting
lebih banyak menekankan pada aspek mental, artinya, karena akan memberikan manfaat
di mana rasa percaya diri harus untuk pembentukan karakter bagi anak yang
ditumbuhkembangkan sejak dini. Berolah rasa mempelajarinya Konsep sawiji, greget,
dalam konteks umum tidak hanya dipahami sengguh dan ora mingkuh dapat diterapkan
sebagai penguasaan atau penjiwaan karakter dalam kehidupan sehari-hari, karena prinsip
seperti ketika menari. Namun penguasaan rasa tersebut merupakan dasar untuk melaksanakan
lebih memiliki makna yang universal dan kehidupan yang oleh Suryobrongto disebut
dapat diterapkan dalam pendidikan karakter dengan way of life.
anak. Dengan pemahaman secara kontekstual
Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi itu maka image tentang pelajaran tari yang
dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di selama ini dipandang hanya sebagai pelajaran
Indonesia menjelaskan bahwa, pendidikan praktik akan terkikis. Kini sudah saatnya
kesenian sangat penting sebagai pembentuk dibuktikan bahwa di balik pelajaran tari
watak dan mental anak. Pendidikan dan terdapat nilai-nilai yang dapat diterapkan
pengalaman tari memberikan manfaat secara dalam kehidupan sebagai sarana membentuk
pribadi, sosial, kebudayaan, maupun jatidiri. Oleh karena itu perlu dibangun sistem
kreativitas. Seni tari seperti cabang seni pendidikan yang dapat mengarahkan guru
lainnya, memberikan kesenangan dan untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan
kegembiraan pada pelakunya. Gerakan tari melalui pelajaran tari.
dilakukan oleh seluruh tubuh secara
intelektual, emosional, fisikal,tari merupakan DAFTAR RUJUKAN
sarana ideal untuk menumbuhkan kesadaran
diri, perkembangan diri pada anak anak (Sal Black, F.B., 2005. Democratic Practices as
Murgiyanto, 2004 : 152). Merunut dari Manifested through Character Education. In
pendapat Murgiyanto, kini semakin jelas Pearl, Art & Pryor, Caroline R. Democratic.
bahwa tari klasik gaya Yogyakarta dapat Eds. Practices in Education: Implication for
menjadi media untuk pendidikan anak. Teacher Education. A Division of Rowman &
Litlefield Publishers, Inc., Maryland, U.S.A.
VI. Kesimpulan
Daroeso, 1988. Konsep Nilai dalam Pendidikan.
Berdasarkan pada uraian tentang Kanisius, Yogyakarta.
pemanfaatan nilai-nilai filosofis joged
mataram sebagai media untuk membentuk Depdiknas, 2001, Kurikulum Berbasis Kompetensi
karakter anak. Pendidikan karakter adalah Mata Pelajaran Pendidikan Seni SLTP.
pendidikan nilai-nilai. Untuk membangun Depdiknas, Jakarta.
bangsa yang berkarakter di tengah pluralitas
budaya diperlukan guru yang memahami, ___________, 2002, Pendidikan Kontekstual
mendalami, menghayati, dan (CTL). Depdiknas, Jakarta.
mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan,
sehingga guru dapat mengajarkan nilai-nilai Kussudiardja, Bagong, 1992. Dari Klasik hingga
bersamaan dengan mengajarkan materi seni Kontemporer. Padepokan Press, Yogyakarta.
kepada siswa. Nilai dalam seni tidak hanya
nilai estetis yang terlihat, tetapi nilai-nilai
22
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994. Karya ___________, 2010. “Pendidikan Multikultural
Ki Hadjar Dewantara. Percetakan Offset dan Demokrasi”, dalam Narawati dan
Tamansiswa, Jogjakarta Masunah, J. Eds. Quo Vadis Seni Tradisional
V: Meningkatkan
Masunah Juju, 2012. “ Peranan Pendidikan Seni
Dalam Konteks Pluralitas Budaya Untuk Murgiyanto, Sal, 1993. Tradisi dan Inovasi :
Membangun Bangsa Yang Berkarakter” Beberapa Permasalahan Tari di Indonesia.
dalam Kuswarsantyo, ed.al. Greget Joget Institut Kesenian Jakarta, Jakarta.
Jogja. Bale Seni Condroradono, Yogyakarta.
Suryobrongto, 1981. Mengenal Tari Klasik gaya
___________, 2011. “Konsep dan Praktik Yogyakarta, Editor Fred Wibowo. Dinas
Pendidikan Multikultural di Amerika Serikat Kebudayaan Propinsi DIY, Yogyakarta.
dan Indonesia” dalam Jurnal Ilmu
Pendidikan. pp. 298-306. Jilid 17, Nomor 4,
Februari 2011.
23
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 24-35
ABSTRACT
The system of inheritance in the puppet stage appears to face a popular issue on the values of
professionalism that demands self-discipline and commitment to wrestle in total. Inheritance takes place in
two categories, namely: the first category that the inheritance according to the direct lineage or a child of
the dancer roller. The second category, the inheritance of acquired dancer roller which is not the biological
parent, but as a senior where he played the puppet people. Although they were aware that the dancer roller
is never created because it is considered as a replacement actor rivalry.
A top dancer is an individual who has a mastery of knowledge and the quality of the high technical
skills, and be able to incarnate into a figure that was delivered. The top dancer transmission regeneration in
the context of the puppet stage is a must propesional profession in building a public figure image as an
iconic of audience appeal.
ABSTRAK
Sistem pewarisan dalam wayang orang panggung populer tampaknya dihadapkan suatu
permasalahan tentang nilai-nilai profesionalisme yang menuntut adanya disiplin diri dan komitmen untuk
menggeluti secara total. Pewarisan berlangsung dalam dua kategori, yaitu: kategori pertama bahwa
pewarisan menurut garis keturunan langsung atau anak kandung penari rol. Kategori kedua, yaitu pewarisan
yang didapatkan dari penari rol yang bukan orang tua kandung, tetapi sebagai seniornya di tempat ia bermain
wayang orang. Meskipun disadari bahwa penari rol tidak pernah menciptakan aktor pengganti karena
dianggap sebagai rivalitas.
Seorang penari rol adalah individu yang memiliki kualitas penguasan pengetahuan dan keterampilan
teknik yang tinggi, serta mampu menjelma ke dalam tokoh yang dibawakan. Transmisi kaderisasi penari rol
dalam konteks wayang orang panggung propesional adalah suatu keharusan profesi dalam membangun
pencitraan figur publik sebagai ikon daya tarik penonton.
24
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989
pada gilirannya membentuk karakter pribadi grup itu dapat hancur karena arogansi penari
individu. Ia sebagai individu yang memiliki rol (ahersapandi, 2011: 143). Dominasi
intelejensi dan integritas kualitasnya otoritas ini tentu memiliki kekuatan yang
ditentukan oleh seperangkat tata nilai dari melahirkan suatu kharisma karena
potensi diri yang berproses dan dibesarkan ketokohannya. Menurut Weber, keberhasilan
oleh lingkungannya. agen menjadi faktor penentu hal-hal yang ia
Fenomena penari rol sebagai agen adalah kehendaki (Weber, 1946: 295). Suatu
individu aktor yang memiliki kharisma yang keberhasilan aktor merupakan dasar
dibangun dari profesionalisme kesenimanan pembentukan kekuatan yang berujung pada
yang sempurna, baik secara fisik atau lahir kharisma dalam menjaga nilai-nilai
yang menyangkut kualitas keterampilan profesionalisme berkesenian. Menurut
teknik maupun secara psikis atau batin yang Waters, variasi kekuatan itu mencakup: (1)
menyangkut kualitas spiritualitas. daya tarik yang dimiliki aktor; (2) sejumlah
Keseimbangan kualitas kepenarian penari rol distribusi kekuatan yang tersebar atau
adalah sosok seniman yang memiliki tingkat terpusat; (3) lingkup kekuatan yang dibatasi
kemampuan pengetahuan dan keterampilan aktivitas khusus, dan (4) daerah kekuatan
yang tinggi dengan dibekali ilmu kebatinan yang dibatasi oleh kelompok yang
yang memadahi untuk membentengi diri subordinatif (Waters, 1994: 242). Kekuatan
untuk menghadapi medan pergolakan sosial aktor dalam tradisi pemain wayang orang atau
seperti adanya pengaruh jahat yang bersifat seniman tradisi lain, tampaknya harus
gaib. Hal ini dilatarbelakangi fenomena penari diimbangi dengan laku ritual sebagai upaya
rol tempo dulu yang cenderung mendapat penangkal pengaruh jahat dari luar.
persaingan yang tidak sehat melalui kekuatan Laku ritual penari rol sebagai agen ialah
gaib, sehingga yang bersangkut tiba-tiba tidak tindakan praktis sosial yang terkait dengan
dapat menari dan berbicara di atas pentas kebutuhan spiritual aktor untuk mempertebal
(Kies Slamet, wawancara tanggal 19 Juli rasa percaya diri dalam menjaga
2009). Dominasi otoritas dan kharisma penari kelangsungan hidup berkesenian. Di
rol sebagai agen mendorong para juragan lingkungan seniman wayang orang, seorang
wayang orang panggung populer berlomba- pemain secara individual cenderung
lomba mendapatkan mereka guna kepentingan mengelola diri dengan memadukan
bisnisnya. Oleh karena itu, maka dengan kemampuan keterampilan teknik dengan
segala cara bahkan kurang terpuji juragan- kemampuan keterampilan spiritual, sehingga
juragan wayang orang itu merekrut penari rol keseimbangan potensi diri itu diharapkan
melalui janji tawaran bayaran lebih tinggi dan mampu menjaga profesionalisme. Penguasaan
mendapatkan fasilitas yang lebih baik. olah batin ini merupakan bagian dari strategi
Persaingan tidak sehat ini merupakan hal yang aktor dalam menjaga pencitraan diri, sehingga
biasa terjadi, dan bagi seniman gejala ini yang bersangkutan memancarkan aura yang
dimanfaatkan untuk memperbaiki mampu menggetarkan penonton. Di era
kesejahteraan hidup keluarga dan sekaligus Rusman, tampaknya laku ritual dibutuhkan
untuk mencari pengalaman baru berkesenian. oleh penari untuk menjaga keseimbangan
Dominasi otoritas penari rol wayang lahir (fisik) dan batin (spiritual). Seperti
orang melekat dalam diri aktor, yaitu dijelaskan oleh Slamet Wiyono (adik Rusman
kualifikasi aktor yang memiliki kewenangan nomor 10 dari 11 bersaudara), bahwa Rusman
dalam menentukan kebijakan artistik, ukuran belum begitu mantap dengan kemampuan
dan kualitas estetis untuk kepentingan keterampilan tekniknya, sehingga secara
perkembangan karya seni. Dominasi otoritas spiritual ia melakukan laku ritual di makam
penari rol adalah kewenangannya dalam grup, Balakan di Langenharjo Sukoharjo untuk
bahkan manager dan sutradara pun tidak mendapatkan pelarisan (Hresapandi, 2011:
mutlak mempunyai kebijakan terhadap penari 179-180). Keterpaduan antara teknis dan
rol. Spiritnya dapat memotivasi grup dan spiritual adalah kesempurnaan seorang
penonton, sehingga tindakannya kalau tidak seniman wayang orang dalam menjual “adol
terkendali menjadi kendala kekompakan kabisan”, terutama dalam menjaga stabilitas
kelompok itu sendiri, yang memungkinkan berkesenian. Seperti diketahui, bahwa
25
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)
persaingan antar penari rol merupakan Sistem pewarisan sebenarnya tidak hanya
fenomena zamannya sebab ketika itu tidak terbatas pada pengetahuan dan keterampilan
jarang mereka mencelakakan seniman lain teknik yang tinggi serta kemampuan
dengan cara menjatuhkan lewat kekuatan membalikkan karakter tokoh yang dibwakan,
gaib. Misalnya, penari rol tiba-tiba tidak tetapi juga pemakaian nama tokoh senior yang
mampu bersuara ketika sedang berdialog atau mewarisi. Misalnya, pemakaian nama
nembang, dan penari rol secara mendadak Harjowibaksa merupakan bentuk
tidak mampu menari di atas pentas yang nunggaksemi1 dari nama penari rol pemeran
berakibat fatal pada penampilannya (Ibid.) tokoh Gathutkaca wayang orang Sriwedari
Dalam sistem pewarisan penari rol yaitu Harjowugu Wibaksa. Hal yang menarik
wayang orang tampaknya berlaku sistem dari nunggaksemi ini adalah suatu bentuk
magang, yaitu proses transmisi secara longgar transmisi kader penari senior kepada penari
bagi penari yang dipandang memiliki junior sebagai aktualisasi nilai-nilai
kualifikasi kemampuan keterampilan teknik kesenimanan dan pencitraan aktor.
gerak dan vokal untuk memerankan tokoh Sayangnya, dalam wayang orang Sriwedari
tertentu dalam wayang. Sistem magang dalam tradisi nunggaksemi hanya berjalan sekali
wayang orang secara tradisi melakukan suatu dalam rentang waktu 101 tahun, sehingga
metode pendidikan yang didasarkan pada ketiadaan transmisi ini berdampak pada
aktivitas individu untuk melihat secara menurunnya kualitas aktor, terutama penari
langsung suatu pertunjukan dan secara detail rol sebagai daya tarik dan ikon penonton. Hal
mencatat. Kemudian aktor itu menirukan apa ini disebabkan oleh dua sebab, yaitu (1)
yang dilakukan oleh penari senior dan kurang harmonisnya hubungan dengan
menguasai semua perbendaharaan gerak, institusi keraton Kasunanan Surakarta sejalan
vokal, dan tembang. Tahap paripurna adalah dengan kehilangan pamornya, dan (2) sifat
aktivitas mengembangkan materi dominasi otoritas Rusman sebagai penari rol
perbendaharaan gerak sesuai dengan yang mempertahan reputasinya sampai akhir
membangun gaya pribadi aktor. hayatnya (Hersapandi, 2011: 5).
Kesempurnaan penari rol ketika ia mampu Ironisnya, dalam wayang orang penari rol
menampilkan gaya pribadi yang tidak menciptakan aktor pengganti karena
dikembangkan berdasarkan pengalaman dianggap sebagai rivalitas. Artinya, secara
belajar pada seniornya. Pola pewarisan dalam sistematik ia tidak mentrasmisikan
sistem magang dipandang strategis dalam keahliannya secara langsung kepada
mentransfer seluruh kemampuan aktor, yuniornya, sehingga ia mampu
sehingga memungkinkan terjadinya mempertahankan superioritasnya sebagai
kesinambungan regenerasi aktor. Substansi penari rol tak tertandingi di zamannya. Oleh
sistem pembeljaran ini sesungguhnya mirip karena itu, intensitas proses pewarisan dalam
dengan metode 3 N Ki Hadjar Dewantara, wayang orang sangat tergantung dari sikap
yaitu Niteni, Nirokake, dan Nambahi. Niteni proaktif individu aktor, intelejensi dan
adalah selalu memperhatikan sampai hal-hal integritas aktor sebagai pewaris aktif dalam
detail, Nirokake adalah selalu mencontoh hal- lingkungan aktor. Di samping itu juga,
hal yang dianggap bagus/hebat dsb, dan kualitas pewarisan ditentukan oleh bekal
Nambahi yaitu menambah hal-hal yang pengetahuan dan keterampilan teknik aktor.
dipandang bagus, sehingga menjadi the best. Misalnya, Rusman belajar menari dari guru
(http://husnimuarif.wordpress.com/tag/eman- dan empu tari Kadipaten Mangkunegaran dan
eman/). Belajar seni tradisi dan keterampilan Kasunanan Surakarta, antara lain guru Darmo
kerajinan seperti batik, ukir, anyam dapat yang mengawali nelajar menari Rusman,
dilakukan dengan menggunakan metode 3 N Demang Poncosewaka empu tari dari Pura
atau 3 M yaitu Mengamati, Meniru, dan Mangkunegara (Rusini, 2003: 45-46).
Mengembangkan yang digunakan dalam Pengalaman berkesenian menjadi faktor
pembelajaran di Tamasiswa oleh Ki Hajar
Dewantoro. Metode 3 N 1
Dalam tradisi Jawa, pengertian nunggaksemi biasanya
(http://eprints.uny.ac.id/3767/1/08Martono.pd dikenakan pada orang yang menggunakan nama ayahnya atau nama
tokoh senior yang memiliki nilai karismatik, (lihat Rustopo, 2008:
f). 292).
26
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989
27
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)
itu dengan penonton sebagai basis sosial. individu yang mendukungnya tidak kuat
Bentuk pencitraan itu dicerminkan oleh sikap (Soekanto, 1986: 258).
maestro Kabuki dalam menciptakan pola tari Koesseno Brojo Kuncoro lahir 4 Juli
dan akting yang khas, yang kemudian 1952 di Semarang adalah anak pertama dari
diwariskan kepada keturunan-keturunannya seniman kondang wayang orang Ngesthi
(Tati Narawati dan Soedarsono, 2005: 237). Pandawa Semarang, yaitu Koesni. Koesni
Penciptaan tradisi pewarisan ini dipandang adalah penari rol dan sutradara terkenal
penting dan terbukti menjadi kunci sukses wayang orang Ngesthi Pandawa Semarang. Ia
pertunjukan teater Kabuki dan dicintai adalah anak tobong yang setiap hari bergelut
masyarakat modern Jepang mutakhir. dengan seniman wayang orang, sehingga
secara alami ia belajar dari lingkungan
III. Penari Rol yang berasal dari budayanya, baik menyangkut pengetahuan
Keturunan atau Anak Penari Rol tentang dunia pewayangan maupun
keterampilan teknik gerak dan suara. Sebagai
Fenomena anak tobong merupakan anak tobong ia demikian dekat dengan dunia
peristiwa proses kesenimanan yang didapat pemanggungan wayang orang. Koesseno
oleh para pemain wayang orang sebagai Brojo Kuncoro dikenal penari rol tahun 1970-
keturunan atau anak penari rol. Dominasi an yang memiliki kualifikasi keaktoran baik
otoritas penari rol melekat dalam diri aktor dan mumpuni. Ia lahir dan dibesarkan di
yang diposisikan sebagai pemimpin budaya. lingkungan wayang orang Ngesthi Pandawa
Dominasi otoritas dan kharisma yang melekat Semarang ketika masa pertumbuhannya di era
pada individu aktor adalah mencerminan kebesaran nama Rusman Harjowibaksa
parameter keunggulan kompetetif agen sebagai penari Gathutkaca. Kualitas
sebagai seniman di papan atas. Predikat anak keaktorannya dibentuk oleh spirit berkesenian
penari rol tentu memiliki kesempatan lebih di lingkungan seniman wayang orang Ngesthi
untuk menyerap pengetahuan dan Pandawa Semarang, sehingga tidak
keterampilan teknik dari orang tuanya. Sejak mengherankan apabila ia merupakan pewaris
usia dini, anak, dewasa, dan orang tua dari aktif dari struktur dominasi otoritas dan
aspek waktu senantiasa dapat belajar langsung kharisma Koesni. Duet permainan di atas
dengan orang tuanya. Mulai bangun tidur, panggung selalu menjadi tontonan yang
pagi, siang dan malam hari ia mendapat menarik dan ditunggu-tunggu oleh para
kesempatan untuk berinteraksi dengan orang penggemarnya. Oleh karena itu, tidak
tuanya. Proses perjalanan berkesenian ini mengherankan apabila BUMN Pertamina Unit
membentuk karakter aktor sebagai individu IV Semarang secara rutin memborong kursi
yang mampu menjadikan dirinya sebagai figur pertunjukan wayang orang Ngesthi Pandawa
publik yang populer di zamannya. dengan catatan harus melibatkan pemain
Pembentukan karakter penari rol sangat favoritnya, yaitu Koesni dan Koesseno.
tergantung dari kualitas individu, intejensi, Misalnya untuk lakon ”Kikis Tunggarana”,
dan integritas agen sebagai penari yang pemeran tokoh Boma harus Koesni dan tokoh
memiliki keunggulan kompetetif. Bahkan, Gathutkaca dimainkan Koeseno. Apabila
pada tingkat tertentu ia harus mendapatkan kedua penari rol itu tidak main, biasanya
pulung melalui laku spiritual yang berat. Oleh pentas dibatalkan dengan diganti hari lain
karena itu, menuju predikat penari rol bukan asalnya kedua pemain itu tampil sebagai
permasalahan yang mudah bagi aktor, tetapi pemainnya (Hersapandi, dkk, 1998: 92).
membutuhkan kerja keras lahir dan batin Koeseno sebagai pewaris aktif struktur
untuk mencapai impiannya sebagai penari dominasi otoritas dan kharisma penari rol
kesayangan penonton. Dominasi otoritas dan Koesni adalah pengagum Rusman sebagai
kharisma penari rol dapat berkurang atau seniman besar wayang orang Sriwedari.
bahkan hilang apabila individu yang Ekspresi kekaguman itu ia buktikan ketika
memilikinya berbuat kesalahan-kesalahan menjadi juara I Gathutkaca mirip Rusman
yang merugikan masyarakat atau mental dalam lomba tari tahun 1972 di mana Rusman
sebagai salah satu anggota Dewan Juri
(Hersapandi, 2011: 254) Hal ini menunjukkan
28
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989
29
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)
IV. Penari Rol yang Bukan berasal dari sebagai penari Gathutkaca pada tahun
Keturunan atau Anak Penari Rol 1930-an. Rusman demikian terinspirasi
dengan ketokohan Harjowugu Wibaksa
1. Pewarisan Rusman dari sebagai penari Gathutkaca yang ketika
Harjowugu Wibaksa menjadi idola para penggemar wayang
orang Sriwedari, terutama -
Dalam mendapatkan pewarisan atau tembangannya. Tanda-tanda
penerusan dominasi otoritas dan ketertarikan dengan wayang wong
kharisma penari rol yang berupa ternyata telah tampak ketika masih usia
pengetahuan dan keterampilan seni, anak-anak. Oleh karena itu, tidak
seorang pewaris atau penerus dapat mengherankan jika pada masa kanak-
menempuh melalui dua cara, yaitu (1) kanak Rusman bersama-sama teman
dengan cara berguru langsung kepada sebayanya sering melihat pertunjukan
seorang penari rol, (2) secara tidak wayang orang Sriwedari, terutama
langsung dengan jalan menonton terkesan dengan penampilan Harjowugu
pertunjukan di mana penari rol itu Wibaksa ketika memainkan tokoh
sebagai bintangnya. Dalam proses Gathutkaca. Bagi Rusman, melihat
pembelajaran itu seorang siswa didik pertunjukan wayang orang Sriwedari
harus mengikuti sistem pendidikan yang adalah cara belajar pasif secara langsung
berlaku, seperti latihan menari, ujian dan kepada seniman idolanya. Bahkan
pentas kenaikan peringkat sesuai dengan bersama teman–teman sebayanya, suatu
tingkat kesulitan materi ajar. Metode hari bermain wayang-wayangan di
pembelajaran yang mengutamakan halaman sekolah dekat rumahnya. Saat
penyampaian dan transfer pengetahuan mereka bermain itu, diketahui oleh
dan keterampilan seni melalui interaksi seorang guru di sekolah itu, bahwa
guru dengan murid secara individual dan Rusman adalah salah seorang anak yang
intensif disebut ”magang”. Tidak jarang dianggapnya mempunyai bakat menari.
calon penari rol itu menetap tinggal di Guru Darmo adalah orang pertama yang
rumah dan mengabdi pada seorang guru menjadi guru tari Rusman di masa kanak-
atau empu seni. Aktor calon penari rol kanak (Rusini, 2003: 44), sebelum
menjadi anggota keluarga baru dari sang Rusman menjadi murid dari R.Ng.
guru, ikut mengambil pekerjaan sehari- Wiryopradhata dan Demang
hari, dan acap kali menjadi pembantu Poncosewaka. Bakat seni yang dimiliki
atau pengikut dari sang empu seni. Rusman menempatkan ia sebagai seorang
Harapannya, aktor tidak saja terikat akan murid cerdas dan menonjol, sehingga
kebutuhan untuk mendapatkan dalam berbagai kesempatan pentas ia
pengetahuan dan keterampilan seni, lebih ditunjuk sebagai pemeran tokoh kunci
jauh lagi untuk meneruskan kehidupan yang membuat detik kagum penonton.
suatu jenis kesenian. Untuk Kekaguman pada sang tokoh idola
menyempurnakan pengetahuan dan itu mendorong Rusman untuk mencoba
keterampilan seni, seorang aktor biasanya mendekat dengan belajar secara langsung
memperkaya pengalaman berkesenian kepada Harjowugu Wibaksa sebagai
dengan rajin datang ke tempat-tempat penari Gathutkaca. Masyarakat pencinta
pertunjukan untuk menonton penampilan wayang orang Sriwedari kecanduan
para empu tari atau seniman-seniman penampilannya Gathutkaca Harjowugu.
yang sudah berpengalaman (lihat Dibia, Mereka kagum suara dan -
2004: 121-122). urannya, sehingga dulu menjadi
Bagi Rusman, posisi penari rol omongan dan menjadi model -
merupakan hasil perjuangan Harjowugu. Menurut R.Ng.
kesenimanannya sebagai relasi Wiryopradhata selaku manajer wayang
kharismatik seorang penari rol orang Sriwedari, bahwa ia mendapatkan
Harjowugu Wibaksa yang populer kembali Harjowugu, bahkan suaranya
lebih bagus, gayanya pun mirip. Seperti
30
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989
31
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)
32
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989
33
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)
34
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989
http://husnimuarif.wordpress.com/tag/eman-
eman/
http://eprints.uny.ac.id/3767/1/08Martono.pdf
35
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 36-48
Abstrak
Zaman telah berubah, penari seni rakyat tidak lagi dilirik orang karena tidak dapat menjadi profesi yang
menguntungkan dalam mengais uang. Tidak demikian di reog Obyogan yang hidup di desa-desa sekitar kota
Ponorogo Jawa Timur, penari Obyogan bisa menjadi profesi yang lumayan mendatangkan rejeki bagi para
gadis remaja. Profesi penari Obyogan bersifat sementara sampai kondisi fisik penari tidak menarik lagi atau
sudah menikah. Obyogan berbeda dengan reog Festivalan yang sudah dikenal masyarakat luas, justru penari
Obyog menjadi penari utama dengan bergerak goyang pinggul sensual, mirip goyang ngebor dan gergaji di
dangdut. Peran Jathil ditransformasikan menjadi peran wanita yang seksi, peran lain dihilangkan. Pemain
Dadak Merak masih dipertahankan sebagai ikon reog. Tulisan ini menyoroti upaya-upaya dan manajemen
penari Obyog yang terdiri dari: berlatih tari Obyog, mengubah karakter tari, pencitraan, strategi persaingan,
pendapatan, pengeluaran dan pemasaran. Profesi penari Obyog yang temporer tetap harus dihargai sebagai
pelaku pelestari dan pengembang seni tradisional. Penari Obyog juga membuka lapangan kerja non formal
dan mengurangi urbanisasi serta migrasi. Pemerintah wajib memberi penghargaan berupa pelatihan kerja
untuk masa datang, dan beasiswa sekolah hingga perguruan tinggi.
Abstract
Times have changed, folk art dancers are no longer a desirable profession because it isn’t profitable in day
to day struggle to make ends meet. This isn’t the case with reog Obyogan which persists in villages around
Ponorogo city in East Java, Obyogan dancer is a lucrative job for teenage girls. The profession of Obyogan
dancers is temporary until the dancers are no longer physically attractive or are married. Obyogan is
different from reog Festivalan which is already widely known in that the Obyog dancers are the main
dancers with their sensual hips movements, like the drill-like or saw-like dance in dangdut. The role of Jathil
is transformed into a sexy woman, other roles are removed. Dadak Merak player is still maintained as the
icon of reog. This paper highlights the efforts and management of Obyog dancers which consist of:
practicing Obyog dance, changing the characterization of the dance, imaging, competitive strategy, revenue,
expenses, and marketing. The temporary profession of Obyog dancers must be respected as the conservators
and developers of traditional arts. Obyog dancers also opened non formal job vacancy and reduce
urbanization and migration. The government must give appreciation in the form of work training in the
future and scholarship to college level.
I. Penari Rakyat Sebagai Profesi menjaga asap dapur terus mengepul. Para
penari seni reog dan Jathilan yang banyak di
Di zaman sekarang masih adakah daerah Yogyakarta, tidak menggantungkan
beberapa seniman tari yang hidup dari profesi hidupnya dari keseniannya. Mereka pada
sebagai penari tradisional? Di Sragen yang umumnya para petani yang tergabung dalam
terkenal seni Tayub, di Indramayu dan kelompok kesenian rakyat. Kondisi demikian
Cirebon yang terkenal dengan tarian topeng. juga terjadi di kelompok kesenian topeng
Para pelakunya adalah penari profesional dan Malang yang berada di Kepanjen Malang
hanya menggantungkan hidup sebagai penari, Selatan dan di Tumpang Malang Timur. Para
walaupun tetap didukung usaha lain untuk pelaku kesenian topeng adalah para petani,
36
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
tukang ojek dan profesi lainnya. Para pemain reog tidak puas kalau hanya pentasnya 1 kali
wayang wong Sri Wedari di Surakarta sudah setahun, maka untuk memenuhi hasrat
diangkat menjadi pegawai negeri. Apalagi kesenimanannya pada tahun 1984/1985
para penari di tempat wisata sudah memiliki dibentuklah reog Obyogan oleh tokoh reog
profesi lain di luar profesi pelaku kesenian yaitu pak Upal yang berasal dari suatu desa
tradisional. Sangat jarang orang yang hidup Ponorogo (wawancara dengan pak Yuni dan
dari kesenian tradisi. pak Bambang Wibisono diijinkan dikutib,
Penulis memiliki teman baik sejak 2008). Tarian garapan baru tersebut
remaja hingga sekarang yang hidup dari berkembang dan dikembangkan sendiri oleh
kegiatan tari-menari, yaitu Chattam AR. Dari masyarakat sampai mencapai formatnya
Malang, yang dulunya sebagai penari Ludruk, seperti sekarang ini, yang hanya dikenal di
sebuah seni pertunjukan tradisional dari kalangan masyarakat pedesaan.
Surabaya. Kemudian berpindah menjadi Reog Obyog sangat berbeda
pelatih tari gaya Malangan. Hingga saat ini koreografinya dengan reog Festivalan yang
bukan pegawai negeri. Ternyata dapat hidup telah dikenal oleh masyarakat luas. Walaupun
layak di kota yang kering kesenian tarinya. tetap menggunakan unsur-unsur yang sama
Sesuatu yang terjadi di Ponorogo, sebuah kota dengan reog Festivalan, seperti tetap
kabupaten yang tersembunyi di antara menggunakan penari jathil namun wujudnya
perbukitan Seribu yang membentang di Jawa berbeda, tetap menggunakan Dadak Merak
bagian Selatan. Ternyata ada satu lahan hidup sebagai ikon reog, serta komposisi musik
yaitu: sebagai penari reog Obyog. Pada tarinya berbeda dengan instrumen musik yang
kenyataannya, para pelaku bisa hidup layak sama.
dan berkecukupan. Bukan penari reog kawak Perbedaan utama dengan reog festival
atau festivalan yang telah banyak dikenal adalah hanya ada dua peran, yaitu: Jathil
masyarakat. Namun sebagai penari reog tanpa membawa kuda kepang dan Barongan
Obyog yang merupakan kreativitas seniman (Dadak Merak), peran Bujang Ganong kadang
rakyat. Kalau di Sragen dan Indramayu ada dimainkan anak-anak, sedang Klana
maupun Cirebon, penarinya adalah wanita Sewandono dan Warok dihilangkan. Sehingga
yang sudah matang usia dan pengalaman. koreografi berbeda sangat jauh dengan reog
Beda dengan penari reog Obyog yang yang dikenal oleh masyarakat luas.
dominan para gadis remaja yang masih lajang Koreografinya berubah menjadi tari pergaulan
bahkan ada yang baru lulus sekolah menengah yang menghadirkan gerak lemah gemulai nan
pertama (SMP). Ada beberapa yang sudah seksi dari penari jathil yang berdandan menor,
menikah muda asal masih cantik, menarik dan seronok dan seksi bak penyanyi dangdut.
kualitas teknik tarinya bagus, tetap menjalani Pemerintah tidak terlalu banyak turut
penari Obyog sebagai profesi yang campur, dibiarkan masyarakat melestarikan
mendatangkan uang yang lumayan. Profesi Obyogan sendiri yang pada kenyataannya
penari Obyogan di desa pinggiran kota mendapat sambutan antusias yang luar biasa
Ponorogo menarik diamati dan disosialisasi dari masyarakat sampai sekarang. Dimanapun
sebagai satu kenyataan hidup di sudut ruang ada pentas reog Obyogan yang biasanya untuk
kesenian yang jauh dari hingar bingar hajatan pernikahan, khitanan dan perayaan
kehidupan urban. hari besar serta peresmian suatu acara,
penonton akan berdatangan dari seluruh
II. Reog Obyog penjuru pedesaan Ponorogo, apalagi bila
penarinya merupakan primadona.
Tari reog Ponorogo sudah terkenal di Walaupun demikian terkenalnya reog
seantero nusantara dan sudah banyak yang Obyog di pedesaan Ponorogo, banyak juga
menuliskan secara tektual maupun warga Ponorogo kota maupun desa yang tidak
kontekstual, tetapi yang ditulis adalah reog mengetahui keberadaan Obyogan.
tradisional atau sering disebut reog Festivalan Pemerintah melalui dinas terkait pernah
atau reog Kawak (lama/kuno), karena hanya mengadakan pembakuan gerak tari khususnya
dipentaskan saat ada festival reog setahun tarian Jathil sekitar tahun 1993 dan terus
sekali menjelang bulan Suro. Para seniman berkembang sampai sekarang ini (wawancara
37
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
38
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
39
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
40
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
41
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
daerah lain. Sehingga tidak perlu ada yang baik sehingga semakin laris dan banyak
festival Nasional. Kalau Lomba penari pemasukan uangnya.
Obyogan pernah ada, hanya sekali. Upaya-upaya yang dilakukan oleh penari
Jathil yang ingin menjadi penari Obyogan,
Tarian Obyog sangat berbeda jauh yaitu melalui beberapa tahapan:
dengan tarian Jathil, Jathil berkarakter gagah
karena sebagai prajurit berkuda (jaman dulu 1. Belajar Tari Obyog
dibawakan oleh laki-laki). Sedangkan a. Kebanyakan awal mulanya
Obyogan berkarakter wanita yang genit, berangkat dari kesadaran sendiri
geraknya lemah gemulai dan gerak setelah melihat bahwa menjadi
pinggulnya yang seronok. Maka sangat penari Obyogan dipuja-puja dan bisa
diperlukan pelatihan bila akan menari Obyog. mendatangkan uang yang tidak
Penari Obyog hampir semuanya bisa menari sedikit. Walaupun sebagian
Jathil, sebaliknya penari Jathil banyak yang masyarakat menilai negatif, dalam
tidak bisa menari Obyog. (wawancara dengan situasi serba sulit begini menjadi
Bambang Wibisono diijinkan dikutib, 2005) penari Obyogan adalah pilihan yang
menggiurkan. Motivasi terjun
III. Menuju Tari Sebagai Profesi menjadi penari Obyogan bukan
sebagai pelestari budaya, namun
Sebagai penari bayaran, para penari berdasarkan pertimbangan ekonomi
Obyogan telah berupaya meningkatkan semata, jadi terpisah antara
kualitas teknik tari serta memperluas berkesenian dengan bekerja di
pergaulannya dengan kelompok-kelompok sektor seni. (wawancara dengan
reog agar mendapat kesempatan pentas yang Wiwid dan diijinkan dikutib, 2005)
berkali-kali. Penari adalah manusia juga yang b. Dilanjutkan belajar tari Obyog
memerlukan beberapa kebutuhan hidup, melalui pengamatan, menirukan,
menurut Abraham Maslow, ada hirarki mengembangkan dengan ciri
kebutuhan manusia, yaitu: pribadi. Tidak ada sanggar maupun
kelompok reog yang memberi
1. Kebutuhan fisiologis (makan, sex, pelatihan tari Obyog, ada juga yang
hunian). belatih dari penari senior secara
2. Kebutuhan keselamatan (keamanan diri, individual. Disebabkan Obyogan
keluarga dan asetnya). bersifat individual tidak
3. Kebutuhan milik dan kecintaan (puas berkelompok seperti reog Festival,
sebagai anggota kelompok, berhubungan penari Obyogan bisa bergabung
dengan orang lain, kesenangan serta dengan kelompok reog mana saja.
pengakuan dari pihak lain). Keluwesan teknik tari menjadi
4. Kebutuhan atas penghargaan (reputasi, modal utama, maka harus berlatih
prestasi, kedudukan atau status dll). giat selama beberapa bulan dengan
5. Kebutuhan akan kenyataan diri uji coba dalam beberapa pentas.
(pengembangan diri semaksimal c. Berlatih ekspresi wajah yang selalu
mungkin, kreativitas, ekspresi diri). tersenyum genit diperkuat lirikan
mata yang menggoda. Hal ini
Kebutuhan awal merupakan kebutuhan penting karena selama menari penari
pokok, setelah terpenuhi akan berlanjut harus mampu menampilkan wajah
kebutuhan selanjutnya hingga kebutuhan ke yang semringah, murah senyum
lima (Dharmmesta, 2000: 48). tetapi tidak boleh tertawa lebar
Selaras dengan upaya penari reog Obyog nilainya akan turun karena dianggap
dalam meraih prestasi agar laris manis, maka kurang sopan.
mencapai tahapan kebutuhan ke 3 hingga ke
4. Kebutuhan milik dan kecintaan, diraih 2. Mengubah Karakter Tari
dengan upaya bergabung dengan kelompok Penari Obyog menggambarkan
seni reog yang terkenal dan menjadi penari wanita dalam arti sesungguhnya, menurut
42
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
sejarah penari Jathil dilakukan oleh laki- c. Datang ke lokasi biasanya sudah
laki yang menjadi simpanan para Warok, berhias dan mengenakan kostum
jadi ada yang berkarakter banci ada juga tarinya yang merupakan milik
yang tetap laki-laki normal. Seiring pribadi, dengan demikian terjadi
perubahan jaman, seni reog menjadi seni perubahan sikap dengan membuat
hiburan dan adanya pelarangan jarak dengan penonton atau sering
homoseksual secara agamis, maka penari disebut ”jaim” (jaga imej), yaitu
Jathil diganti menjadi wanita semua dengan bersikap anggun tidak
sampai sekarang agar lebih menarik. mengacuhkan pada ratusan pasang
Tarian Obyog memperkuat peran mata penonton yang melototinya.
wanitanya tidak sekedar jadi prajurit Seolah-olah penari tersebut selebriti
namun menjadi wanita yang seksi yang bukan dari kalangan masyarakat
menggoda iman para lelaki. Jadi ada biasa.
transisi karakter dalam penari Jathil, d. Penari Obyogan bisa sebagai hadiah
maka diperlukan penampilan berbeda dari seseorang teman kepada
yang mendukung kodrati kewanitaannya. temannya yang mengundang reog
Perubahan penampilan adalah meliputi: Obyog untuk hajatan penikahan
a. Gerak tari lemah gemulai, banyak misalnya. Bila yang punya hajat
gerak goyang pinggul bahkan orang terpandang, maka penari
memasukkan gerak dangdut yang Obyogan bisa banyak sekali karena
sensual, semakin pandai bergoyang beberapa diantaranya adalah
pinggul semakin disenangi penonton sumbangan dari teman-temannya.
yang kebanyakan para pemuda. Hal itu harus diketahui dan dicatat
b. Kostum tidak begitu seronok, hanya bila kelak temannya punya hajatan,
kebayaknya yang transparan dia harus ganti menyumbang penari
sehingga memperlihatkan perangkat Obyog. Hadiah penari Obyogan
baju dalam yang berupa kaos diartikan hanya sebatas menari tidak
singlet, serta celana pendeknya yang ada unsur seksualitas.
di atas lutut namun tertutup e. Mengubah penampilan dan
stocking. Penggunaan ikat kepala Perlakuan eksklusif tersebut perlu
dan sampur serta kain panjang dicapai oleh penari Obyog bertujuan
adalah sebagai upaya adanya benang untuk menimbulkan psikologis rasa
merah atau hubungan dengan aman, menjaga harga diri dan
kesenian tradisional. aktualisasi diri atau
merepresentasikan diri sebagai
3. Pencitraan penari yang terhormat. Sesuai
a. Mengubah citra dengan menjaga dengan hirarki kebutuhan manusia
jarak dengan penonton, tidak boleh (Dharmmesta, 2000: 48).
akrab dan selalu bersikap anggun
sebagai seorang wanita terhormat. 4. Strategi Persaingan
b. Perlakuan yang eksklusif, penari Persaingan sangat ketat dan profesi
Obyog selalu dijemput mobil yang penari Obyog berusia pendek, bila sudah
bagus dan diantar sampai tujuan tidak menarik lagi penampilannya akan
bahkan di depan masyarakat yang tergeser oleh pendatang baru yang lebih
sudah berkumpul. Datangnya sering segar dan cantik. Budaya populer sangat
kali terakhir daripada anggota kental dalam keberlangsungan tari
kelompok lainnya. Kesan eksklusif Obyog, yang harus dituntut menjaga
didapatkan dengan cara demikian. tubuh penari, kecantikan dan keluwesan
Penjemputnya yang menggunakan tariannya. Senantiasa mengikuti mode
mobil bisa yang punya hajat atau atau trend tarian dangdut yang menjadi
pihak keluarga atau panitia yang acuannya.
sudah mengetrahui persyaratan bila Ada kesadaran bahwa menjadi
antar-jemput Obyog. penari Obyog hanya bersifat sementara.
43
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
Maka mereka berusaha tetap menarik bagi para gadis-gadis remaja menjadi
serta mencari peluang pentas sesering penari Obyug.
mungkin untuk meneguk Rupiah yang Honorarium sekali menari Obyog
banyak. Setelah tidak laku lagi karena adalah sekitar 100.000–200.000, bayaran
dianggap tidak menarik lagi atau usianya tertinggi diterima oleh: pengendang,
sudah di atas 25 tahun, banyak yang penari Obyok, penari Barong, pemusik
beralih menjadi ibu rumah tangga dan dan pawang, kru.
bekerja disektor lain. Tidak ada yang Namun penari Obyog bisa pentas 2
berusaha menjadi pengelola penari kali dalam sehari di tempat lain dengan
Obyogan dengan mencari bibit-bibit kelengkapan yang sama, tanpa harus
baru, dilatih dan dipentaskan di bawah ganti rias dan kostum, sebab penari
naungan kelompoknya. Sehingga tetap Obyog berposisi individual tidak terikat
ada keterikatan dirinya dengan kesenian kelompok tertentu, sehingga bebas
reog Obyog. Selama ini yang terjadi bergabung dengan kelompok lain. Sudah
terjadi pemutusan hubungan dengan reog hal umum bila suatu kelompok reog yang
begitu seseorang penari mengundurkan terdiri dari pemusik, pembarong, pawang
diri sebagai penari Obyogan, jadi reog adalah anggota komunitas, tetapi penari
dianggap sebagai lahan kerja temporer. Obyognya datang dari luar kelompok.
Tidak berpikir idealistis bahwa reog Dengan posisi Obyog yang independen
sebagai kesenian warisan leluhur yang berdampak pada pemasukan
perlu dilestarikan dan dikembangkan. keuangannya lebih banyak daripada
Untuk itu penari Obyog berupaya pemusik, pembarong dan pawang yang
mencapai: terikat dalam satu kelompok.
Memiliki keunggulan fisik dan Sebagai contoh pendapatan saat
ketrampilan teknis menari dan merias bulan Agustus yang dianggap bulan
diri. Memperluas hubungan dengan paling baik dan laris manis, satu penari
sesama penari Obyogan dan seniman atau Obyogan senior seperti Wiwid, dalam
kelompok reog, agar ada jejaring kerja satu minggu rata-rata menari 3 kali x Rp.
yang solid dan saling menguntungkan. 200.000,- = Rp. 600.000,- x 4 minggu=
Melengkapi diri dengan handphone agar Rp. 2.400.000,- Uang sejumlah itu
mudah dihubungi dan sepeda motor tentunya sangat besar bagi orang desa,
untuk mobilitas yang cepat dan luas. makanya banyak remaja putri yang
Melengkapi diri dengan koleksi kebayak tetarik dengan profesi penari Obyogan
yang bagus dan selalu baru setiap ada dan memang semakin meningkat jumlah
pentas besar. penari Obyogan dari tahun ke tahun.
Mempromosikan diri saat tampil dengan Bulan paling sepi adalah bulan Suro,
sebaik-baiknya pada setiap pentas, hampir tidak ada tanggapan pentas.
penonton akan memperhatikan dirinya Dapat dikatakan penari Obyog
dan akan mencatat nama maupun nomor sebagai bintang tamu yang selalu
teleponnya. ditunggu-tunggu masyarakat, mereka
datang dari puluhan kilometer dari desa
5. Pendapatan lain hanya untuk melihat dan menari
Reog Obyog sangat laris, apabila bersama Obyog, bila penari Obyognya
musim hajatan perkawinan, nadar, bersih terkenal seperti Wiwid, Kus dan Utami
desa, sunatan dan tujuh belasan, hari maka semakin ramai penontonnya.
Raya dan lain-lain yaitu pada bulan Strata sosial penari Obyogan
Agustus Penari-penari panen duit. Reog berbeda dengan masyarakat umum,
Obyog sebagai seni profan, telah karena pendapatannya lumayan besar
mengubah paradigma lama tentang dibandingkan pendapatan masyarakat
fungsi reog tradisional untuk sarana ritual desa umumnya. Namun ada yang
komunitas, bukan untuk mencari nafkah. mencibir karena dianggap penari Obyog
Diubah oleh reog Obyogan menjadi sebagai penggoda iman laki-laki,
sarana untuk mencari nafkah terutama memang ada beberapa kasus yang
44
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
45
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
pengetahuan itu tidak akan didapat dengan harapan sarana itu sebagai
di bangku akademi. promosi yang ampuh. Apabila dalam
c. Memiliki lembaga pendidikan perkembangannya ada orang yang
khusus yang menghasilkan tenaga tertarik dan memanggil untuk pentas
profesi yang dibutuhkan. Lembaga secara independen, merupakan debutnya
atau sanggar tidak ada yang melatih memasuki arena kompetitif dalam
Obyogan, mereka tumbuh sendiri kesenian rakyat yang terlihat lembut
secara independen dan tidak ada namun sesungguhnya sangat keras
latihan yang intensif, bahkan penari persaingannya, sangat dimungkinkan
Obyog yang sudah laris tidak mau menggunakan jasa paranormal (dukun)
lagi berlatih meningkatkan kualitas untuk mendongkrak popularitas. Dunia
teknik tarinya, sudah puas dengan reog identik dengan dunia mistis.
kondisinya dan itupun sudah dapat Pemasaran masih menggunakan
duit yang cukup. gaya tradisional yaitu secara lisan atau
d. Memiliki organisasi profesi yang dari mulut ke mulut. Biasanya untuk
memperjuangkan hak-hak penari Obyogan yang belum dikenal,
anggotanya, serta bertangungjawab pemasarannya melalui pihak ke dua yaitu
untuk meningkatkan profesi yang ajakan dari penari Obyogan senior,
bersangkutan. Tidak ada organisasi ajakan dari kelompok reog atau
profesi yang menangani, hanya rekomendasi dari orang yang pernah
organisasi kesenian atau organisasi melihat. Sedangkan penari Obyogan yang
kemasyaratan yang mencintai reog sudah terkenal biasanya mendapat job
Obyog namun tidak jelas bentuknya. kerja langsung dari pihak pertama,
Sebab dari kalangan inilah reog melalui sms, telepon atau bertemu
Obyog menjadi bertahan hidup. langsung setelah pentas atau di
e. Adanya pengakuan yang layak dari kesempatan lain (wawancara dengan
masyarakat. Nampak jelas Wibisono diijinkan dikutib, 2008).
pengakuan dari masyarakat dengan Biasanya konsumen jarang
banyaknya undangan pentas bagi menanyakan berapa harga kontraknya,
penari Obyog. karena sudah mengetahui kisaran harga
f. Adanya sistem imbalan yang dari keterangan orang lain yang pernah
memadai, sehingga anggota profesi memanggilnya.
dapat hidup dari profesi. Belum Kontrak itu sudah termasuk sewa
merata, namun penari Obyog dapat kostum dan tata rias, tidak termasuk
hidup layak. Anggota lain tidak bisa transportasi dan konsumsi. Konsumen
hidup hanya dari reog, maka harus menyediakan mobil untuk
mencari pekerjaan lain seperti menjemput dan mengantar kembali
pegawai negeri, pengrajin pulang.
perlengkapan reog, jadi guru dan Pemasaran hanya untuk wilayah
sebagainya. Kabupaten Ponorogo, masih sangat
g. Memiliki kode etik yang mengatur jarang Obyogan dipentaskan di luar
setiap anggota profesi. Jelas Ponorogo, dikarenakan Obyogan
memiliki kode etik yang terwujud merupakan ekspresi warna lokal asli yang
dari masing-masing peran. berkarakter khas Ponorogo. Penulis
sudah berupaya untuk mementaskan
7. Pemasaran Obyogan di Taipei dalam suatu festival
Walaupun tidak bernaung pada Tari, sebenarnya yang dipentaskan hanya
suatu grup reog, penari Obyogan reog Festivalan, tetapi untuk variasi
bergabung dengan sesama penari diselipkan Obyogan karena pentasnya
Obyogan terutama yang senior, guna perhari 3 kali selama 5 hari. Terlihat
mendapat kesempatan ajakan pentas Penarinya lebih antusias saat menari
meski tanpa bayaran, yang terpenting Obyogan daripada menari Jathil,
berlatih tampil di depan masyarakat luas mungkin merupakan luapan emosinya
46
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
yang sebenarnya dan kalau menari festivalan sudah dimiliki banyak daerah.
Jathilan harus mengeluarkan tenaga Maka sikap pemerintah diam pura-pura tidak
ekstra kuat sedangkan menari Obyogan tahu tentang keberadaannya.
lebih santai dan hemat tenaga. Diperlukan turun tangan pemerintah
Surut sebagai penari biasanya untuk memberikan wawasan mengelola
disebabkan oleh: keuangan bagi penari Obyogan yang
a. Sudah menikah dan tidak diijinkan umumnya para remaja putri, untuk bekal masa
oleh suami. mendatang, agar tidak menjadi pengangguran
b. Usia sudah masuk dewasa dan tidak setelah tidak laku lagi menjadi penari.
menarik lagi secara fisik. Program tersebut justru membantu pemerintah
c. Tidak lagi menjadi anggota untuk mengentaskan kemiskinan dan
kelompok reog (wawancara dengan mengurangi pengangguran dengan membuka
Bambang Wibisono dan diijinkan lapangan kerja secara mandiri.
dikutib, 2008). Keberadaan penari reog Obyogan perlu
dilestarikan keberadaannya, juga akan berefek
IV. Kesimpulan pada pelestarian budaya tradisi kerakyatan.
Juga sebagai salah satu penghalang terjadinya
Manajemen Obyog masih tradisional, urbanisasi dan migrasi bila tecipta peluang
hanya berjalan secara alami, artinya tidak kerja mandiri, tidak tergantung pemerintah.
memiliki ketentuan seperti di dalam Perlu dicatat Ponorogo merupakan salah satu
manajemen profesional: daerah pensuplai tenaga kerja ke luar negeri.
Penari Obyog tidak memiliki manager Partisipasi para remaja putri sebagai penari
yang bisa mengurusi semua kebutuhan Obyogan juga perlu diberi penghargaan, saat
perlengkapan menari, mengurusi kontrak ini sangat jarang anak muda mau
kerja, mencarikan peluang-peluang pentas dan berkecimpung di kesenian tradisional.
menentukan nilai honorariumnya secara Penghargaan bisa berupa pelatihan kerja, bea
kompetitif. Masih menggunakan manajemen siswa sekolah lanjutan atas bahkan kalau bisa
tradisional yaitu semua ditangani sendiri dan sampai perguruan tinggi. Niscaya akan
hanya mengandalkan nilai kepercayaan. bermanfaat membangun kesenian rakyat
Tidak ada standart nilai kontrak secara Obyogan agar tidak dipandang sebelah mata
jelas, hanya kisaran harga Rp. 200.000,- sekali oleh sebagian orang.
pentas.
Penari Obyog banyak yang tidak mau DAFTAR RUJUKAN
meningkatkan kualitas teknik tarinya dengan
berlatih terus menerus guna meningkatkan Dharmmesta, Basu Swastha, T. Hani Handoko
nilai jual, karena dengan kondisi seperti itu (2000). Manajemen Pemasara: Abalisa
saja mereka sudah dapat uang. Uang adalah Perilaku Konsumen. BPEE, Yogyakarta
segalanya.
Memandang menari Obyogan sebagai Hartono. 1980. Reog Ponorogo. Proyek Penulisan
suatu pekerjaan yang mendatangkan Rupiah dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan
semata, bukan sebagai pahlawan pelestari Umum dan Profesi-Departemen Pendidikan
kebudayaan. dan Kebudayaan: tanpa kota
Ada unsur-unsur yang merusak nama
baik Obyogan, yaitu setiap pentas beredar Indrawijaya, Adam (2000). Perilaku Organisasi.
minuman keras yang dibawa sendiri oleh Sinar Baru Algensindo, Bandung.
penonton dan adanya oknum penari yang bisa
dibawa tidur dengan bayaran tertentu, bahkan Kotler, Philip. 1980. Manajemen Pemasaran:
ada beberapa penari yang menjadi istri Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan
simpanan dari oknum tokoh masyarakat. Kontrol. Terjemahan Hendra Teguh tahun
Pemerintah Ponorogo mengalami dilematis, 1997 dkk. PT. Prenhallindo, Jakarta.
tidak bisa melarang kesenian rakyat yang
dicintai masyarakatnya, disisi lain Obyog Kumorohadi, Tugas. 2004. ”Reog Obyogan:
menjadi identitas asli Ponorogo, karena reog Perubagan dan Keberlanjutan Cara penyajian
47
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989
48
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 49-56
Abstract
Tari Gandrung Terob sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi. Gandrung Terob
merupakan objek yang dikaji guna mengupas pola pikir masyarakat Using Banyuwangi. Sudut pandang yang
dipakai adalah Strukturalisme Levi-Strauss. Struktur merupakan susunan bagian-bagian dari suatu sistem
yang saling terkait. Segala sesuatu yang memiliki bentuk diyakini memiliki struktur. Struktur kalimat dalam
bahasa yang terdiri atas susunan huruf, fonem, dan kata, tidak akan memiliki arti apabila tidak terdapat
relasi-relasi yang menghubungkannya untuk mendapatkan struktur yang bermakna.
Keberadaan tari Gandrung Terob dilihat secara menyeluruh, tidak saja sebatas teks dan keterkaitan antar
teks saja, melainkan pada konteks sosial budaya masyarakatnya. Melalui cara pandang holistik ini akan
ditemukan pola pikir masyarakat Using sebagai pemilik tari Gandrung Terob. Hal yang paling mendasar
dalam melihat pola pikir adalah melihat konsep, sehingga Gandrung Terob tidak hanya dilihat sebagai
artefak semata melainkan sebagai pandangan hidup atau ideologi masyarakat Using sebagai penyangganya.
49
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)
linguistik, akan tetapi penekanannya bukan pada upacara perkawinan terdiri dari 3 rangkaian yaitu:
makna kata, melainkan pada bentuk kata. Prinsip Giro, Topengan, dan Gandrung.
fundamentalnya adalah bahwa pengertian (atau
istilah) struktur sosial tidak berkaitan dengan Giro
realitas empiris, melainkan dengan model-model Sebelum pertunjukan tari Gandrung dimulai,
yang dibangun menurut realitas empiris tersebut akan selalu diawali dengan memainkan gendhing
(2009:378). Bangunan dari model-model yang disebut Giro. Giro adalah bentuk gendhing
tersebutlah yang akan membentuk struktur sosial. yang lazim digunakan di wilayah Jawa Timur pada
Melalui Gandrung Terob sebagai teks sekaligus umumnya. Bentuk gendhing giro yang
sebagai model akan digali struktur sosial berkembang di wilayah Jawa Timur ini dapat
masyarakat Using yang berkaitan dengan nilai- disetarakan dengan gendhing Lancaran yang
nilai budaya, pola pikir maupun gejala sosial dikenal di daerah Yogyakarta dan Surakarta, yaitu
budaya. Lévi-Strauss memandang bahwa apa yang bentuk gendhing yang dalam satu gongannya
ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia terdiri dari 8 ketukan.2 Gendhing Giro merupakan
tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan bentuk musik instrumental yang memiliki beberapa
dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, fungsi, antara lain:
untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu a. Sebagai tanda bahwa akan ada pertunjukan
masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa. Gandrung di tempat tersebut, yang bagi
Struktur kalimat dalam bahasa yang terdiri atas masyarakat sekitar merupakan undangan
susunan huruf, fonem, dan kata tidak akan untuk turut hadir berpartisipasi di dalam
memiliki arti apabila tidak terdapat relasi-relasi kegiatan tersebut.
yang menghubungkannya. Berkaitan dengan b. Sebagai pengawal pertunjukan Gandrung.
Gandrung Terob yang tersusun dari beberapa c. Sebagai musik pengiring kehadiran tamu-
unsur, dalam mendeskripsikannya harus dipilah tamu undangan yang merupakan wujud
unsur-unsur tersebut beserta penghubungnya untuk penghormatan tuan rumah kepada tamu-tamu
mendapatkan struktur yang bermakna. yang menghadiri acara.
Penentuan Gandrung Terob sebagai identitas d. Sebagai pengisi waktu kosong sebelum
kultural yang dapat mengungkapkan humand mind pertunjukan dimulai, saat menunggu penari
masyarakat Using Banyuwangi didasarkan pada Gandrung berdandan.
dua alasan, pertama Gandrung merupakan seni
tradisi yang bisa dikatakan paling tua yang ada di Topengan
Banyuwangi sebagaimana tertulis dalam Serat Di beberapa kelompok kesenian Gandrung
Bayu yang menyatakan bahwa Gandrung pertama Terob, pada bagian pertunjukan diawali dengan
kali muncul, pada saat terjadinya Perang Puputan tari yang disebut dengan Topengan. Topengan ini
Bayu. Alasan kedua karena dalam setiap upacara- merupakan tari yang menggambarkan kesatria
upacara penting di masyarakat Using, seperti Petik yang dilakukan sebelum pertunjukan tari Gandrung
Laut dan perkawinan, selalu menampilkan Terob dimulai. Topengan dilakukan oleh salah
pertunjukan Gandrung Terob. seorang penari Gandrung yang memakai kostum
celana panji dan kemben (bukan menggunakan
Struktur Pertunjukan Gandrung Terob kostum tari Gandrung). Menurut cerita turun
temurun, penari Gandrung yang pertama kali
Struktur pertunjukan adalah keseluruhan menarikan Topengan sebelum pertunjukan
peristiwa yang merangkai kehadiran tari di Gandrung Terob dimulai bernama Awiyah, pada
dalamnya. Gandrung Terob sangat lekat dengan sekitar tahun 1930-an.3 Urutan pertunjukan
upacara perkawinan, dan khususnya hanya
dipertunjukkan pada pesta perkawinan. Pemilihan 2
Wawancara dengan Untung Muljono pada tanggal 4
tari Gandrung Terob dan rangkaian urut-urutan Desember 2010.
pada pesta perkawinan masyarakat Using menjadi 3
Menurut Fatrah Abal, Awiyah merupakan penari Gandrung
bermakna dan bisa dimengerti dalam totalitas yang berasal dari daerah Mangir, tetapi Awiyah menarikan tari
Topengan pertama kali di Desa Bakungan. Pernah dijumpai pula
konteks masyarakat Using, dan setiap urutannya pertunjukan Gandrung yang diawali dengan tari Bondan pada tahun
tidak akan memberikan penjelasan yang berarti 1950-an. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Jawa Kulonan pada
kesenian Gandrung saat itu. Jawa Kulonan merupakan istilah yang
bila dilihat sebagai peristiwa terpisah. Adapun digunakan masyarakat Using terhadap orang-orang Jawa yang berasal
struktur pertunjukan Gandrung Terob dalam dari Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.
50
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989
selanjutnya adalah Gandrung yang merupakan inti Pemendekan delapan bait lirik Padha Nonton
dari keseluruhan pertunjukan Gandrung Terob. menjadi hanya 2 bait saja, dikarenakan pada sekitar
Untuk itu struktur tari Gandrung Terob diuraikan tahun 90-an para peminat kesenian Gandrung
dalam deskripsi yang lebih terperinci. mulai terpengaruh adanya ekses minuman keras
saat pertunjukan.5 Hal ini seringkali menyebabkan
Struktur Tari Gandrung Terob kegaduhan dan keadaan yang kurang
menyenangkan yang diakibatkan ulah sebagian
Tari merupakan salah satu bentuk seni penonton yang mulai kehilangan kendali kesadaran
pertunjukan yang kompleks. Ia tidak hanya diri akibat pengaruh minuman keras tersebut. Oleh
dipahami sebagai wujud dari gerak semata, karena itu dengan tujuan agar tidak menimbulkan
melainkan keseluruhan peristiwa yang merangkai hal yang tidak diinginkan tersebut maka waktu
hadirnya wujud itu di dalam masyarakat. Dalam dipersingkat dengan cara memotong delapan bait
pertunjukan tari terdapat banyak unsur-unsur yang lirik lagu menjadi hanya dua bait saja.
mendukung seperti musik, properti, kostum, tata
rias, setting, tata cahaya, dan tubuh penari itu Paju
sendiri. Tari juga dapat dikatakan sebagai media Pada babak paju penari Gandrung akan
komunikasi, karena gerak yang ada dalam tari memberi kesempatan kepada para penontonnya
adalah bahasa tubuh. Bahasa tubuh yang muncul untuk maju bersama dalam kalangan (arena
merupakan ungkapan perasaan dari masyarakat pertunjukan) guna menunjukkan kemampuan
pemiliknya. Berkaitan dengan tari yang merupakan mereka dalam bidang seni tari atau seni bela diri.
ungkapan perasaan dari masyarakat pemiliknya, Gendhing-gendhing yang digunakan sebagai
tari Gandrung merupakan bentuk ungkapan yang pengiring dalam babak ini sangat beraneka ragam
jujur mengenai perasaan dan pengalaman dan bisa disesuaikan dengan permintaan penonton.
masyarakat Using yang mencerminkan nilai-nilai Dalam pengaturan urutan penonton yang menari
humand mind (nalar kemanusiaan) di balik bentuk bersama Gandrung, diatur oleh seorang laki-laki
pertunjukan. Struktur tari Gandrung Terob terdiri pengatur acara yang disebut Pramugari atau
dari 3 babak, yaitu Jejer, Paju, dan Seblang- Gedhog.
seblang. Pertunjukannya biasanya dimulai pada
pukul 21.00 dan berakhir pukul 04.00 dini hari,
berlangsung sekitar 7 jam.
Jejer
Pada babak ini penari Gandrung memulai
pertunjukan dengan berdiri di tengah-tengah
kalangan (arena pertunjukan) dengan melantunkan
Gendhing Padha Nonton. Saat menyanyi, ia
menutupi wajahnya dengan membentangkan kipas
di depan mulutnya. Sebelum melantunkan
gendhing Padha Nonton, penari Gandrung menari
sesuai dengan ketukan musik pengiringnya. Tarian
ini disebut Jejer4 dan berlangsung sekitar 15
sampai 20 menit. Gendhing Padha Nonton wajib
dilantunkan pada babak ini, terdiri dari delapan
bait dan setiap baitnya terdiri dari empat lirik. 5
Dari sudut pandang ajaran agama Islam, minuman beralkohol
Delapan bait dalam lirik ini menggunakan bahasa haram hukumnya untuk dikonsumsi. Hal ini berbeda dengan konsep
Using Cara Besiki. Satu bait dalam tembang Jawa minuman beralkohol yang tidak jarang ditemui dalam seni tradisi
rakyat. Minuman beralkohol dalam seni tradisi rakyat dianggap
disebut juga sak pada. Pada perkembangan memberikan efek keberanian agar penari menari lebih bebas, spontan,
sekarang ini Gending Padha Nonton dalam dan tanpa beban. Ketika penari dalam keadaan tidak sadar dipercaya
praktiknya hanya dilantunkan dua bait pertama. mampu untuk berhubungan atau melakukan kontak dengan dunia
magis yang berhubungan dengan para leluhur. Tujuan meminum
minuman beralkohol diasumsikan juga bahwa si penari bukan lagi
4
Jejer berarti berjajar, dalam bahasa Jawa disebut jéjér. Istilah „mejadi dirinya sendiri‟, melainkan menjadi sosok lain yang nantinya
jejer digunakan sebagai nama babak pertama dalam pertunjukan tari akan menjadi wadah atau sarana pertemuan antara yang ghaib, yang
Gandrung Terob Banyuwangi, karena pada babak pertama penari diharapkan dapat mempengaruhi manusia dalam hubungannya dengan
Gandrung memulai atraksinya dengan berjajar. yang di atas.
51
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)
1. Pelaku Pertunjukan
6
Di Banyuwangi, daerah Oleh Sari dan Bakungan terdapat pula
upacara sakral yang disebut Seblang. Seblang merupakan upacara
sakral yang berkaitan dengan upacara magis untuk mendatangkan roh
8
halus, roh leluhur atau Sang Hyang. Panjak atau wiyaga yaitu pemain musik tradisional. Dalam
7
Wawancara dengan Hasnan Singodimayan pada tanggal 27 pertunjukan Gandrung Terob, panjak digunakan sebagai sebutan
Februari 2010 untuk pemusik.
52
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989
53
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)
21.30-03.30 21.30-01.30
54
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989
tersebut. Dalam tulisan ini pemaknaan struktur tari membersihkan diri dan lingkungannya, yaitu
Gandrung Terob hanya dibatasi pada unsur menyapu hati dan keluarganya dari berbagai
dramatik, bentuk gerak, koreografi, dan jenis perbuatan dosa.
kelamin penari. Pemilihan tersebut didasarkan atas Jenis kelamin penari menjadi penanda yang
relasinya tari Gandrung Terob dengan konsep penting dalam melihat makna yang terkandung di
kesuburan. sebuah tarian. Hal tersebut juga terlihat dalam tari
Babak jejer menjadi penanda bahwa Gandrung Terob, semua penarinya adalah wanita
pertunjukan tari telah dimulai dan mengajak orang- dan pada saat adegan tertentu (paju) melibatkan
orang untuk bersama-sama menonton pertunjukan. laki-laki untuk diajak menari bersama. Pada fase
Hal itu dibuktikan dengan gendhing wajib yang inilah sebetulnya menjadi kunci sebagai petanda
harus dimainkan dalam babak ini yaitu gendhing fertility dance, yaitu bertemunya antara laki-laki
Padha Nonton. Babak paju berlangsung tengah dan perempuan. Penari wanita melambangakan
malam sampai menjelang pagi, hal ini bumi dan penari laki-laki adalah benih yang
dimaksudkan memberikan ruang khusus kepada nantinya akan bertemu dalam babak paju. Salah
laki-laki dewasa untuk berekspresi, menunjukkan satu penanda koreografis yang ditunjukkan dalam
kemampuannya dalam bidang seni tari. pertunjukan tari Gandrung Terob adalah
Sebagaimana Toer dalam Mangir (2000:14) penggunaan pola lantai yang melingkar. Dalam
mengatakan, kehebatan seorang laki-laki Jawa pertunjukan Gandrung Terob penggunaan pola
dapat diukur dari “ketangkasannya di medan lantai melingkar dimaknai sebagai wujud rasa
perang dan kelincahannya di medan tari”. kebersamaan masyarakat Using dalam mensyukuri
Dalam upacara perkawinan, pemaju yang berkah kesuburan dari Dewi Padi.10 Berbagai
pertama kali dipersilakan untuk menari adalah bentuk lingkaran yang ada menyiratkan sebuah
pengantin laki-laki. Hal itu menjadi semacam makna kesatuan atau keutuhan antara diri manusia
petanda ritual bukak kelambu atau malam pertama. dengan alam. Melalui kesatuan atau keutuhan
Babak seblang-seblang berlangsung menjelang tersebut akan menghasilkan pertemuan yang
subuh oleh karena itu disebut juga seblang subuh. diharapkan mencapai „kesuburan‟, baik bagi benih
Kata seblang juga berarti „keadaan seseorang pada padi yang ditanam maupun bagi pasangan
kondisi kosong‟, hal itu menjadi petanda berserah pengantin.
diri kepada Yang Maha Kuasa. Rangkaian struktur Perkawinan dalam masyarakat Using di
dramatik tari Gandrung Terob tersebut seakan Banyuwangi selalu menyertakan pertunjukan tari
menjadi petanda siklus hidup manusia, yaitu lahir Gandrung Terob, sehingga dalam upacara tersebut
atau anak-anak melalui babak jejer, kemudian terjadi dua peristiwa yaitu, peristiwa perkawinan
dewasa dan mengenal pasangan sampai akhirnya dan peristiwa tari. Kedua peristiwa tersebut tidak
menikah melalui babak paju, dan yang terakhir bisa dipisahkan, karena Gandrung Terob
babak seblang-seblang sebagai siklus manusia tua diperlukan sebagai sarana upacara perkawinan,
yang harus lebih mendekatkan diri kepada Sang sedangkan perkawinan itu sendiri tempat di mana
Pencipta. tari Gandrung Terob dilangsungkan. Fungsi
Berbagai bentuk gerak yang tampak dari Gandrung Terob dalam upacara perkawinan
ketiga babak yaitu jejer, paju, dan seblang-seblang masyarakat Using di Banyuwangi selain sebagai
menjadi petanda bahwa, gerak pada babak jejer kekuatan magi dan doa untuk kesuburan, juga
adalah gerakan awal atau pertama, dapat juga berisi petuah atau nasihat-nasihat dalam
dimaknai sebagai gerakan anak-anak yang baru mempersiapkan hubungan berumah tangga.
belajar, sehingga gerakan tersebut terlihat lebih Misalnya saja bagaimana seorang suami dan isteri
rapi dan seirama dengan musik. Sebagaimana harus bersikap. Tarian tersebut juga memberikan
seorang anak-anak yang masih polos dan jujur. Hal gambaran sebuah rumah tangga yang harmonis,
tersebut tentu saja berbeda dengan gerak pada berjalan dalam keseimbangan, dengan peran dan
babak paju yang lebih „liar‟ dan mengandalkan tanggung jawab masing-masing orang pada
improvisasi. Seakan mengingatkan pada masa posisinya. Seorang suami sebagai kepala rumah
remaja yang bebas dalam mencari eksistensi diri. tangga bertanggung jawab pada urusan „luar‟
Semakin tambah usia maka seseorang juga akan sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga
semakin tenang dan merunduk, sebagaimana bertanggung jawab pada urusan „dalam‟.
terlihat dalam gerak pada babak seblang-seblang.
Seorang yang sudah tua diharapkan lebih 10
Wawancara dengan Cak Wan pada tanggal 6 Oktober 2010
55
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)
Pertunjukan Gandrung Terob dalam upacara saling menyentuh (kontagius) antara Gandrung dan
perkawinan masyarakat Using di Banyuwangi sarat pemaju merupakan unsur dari kesuburan. Urutan
dengan posisi berpasangan, seperti laki-laki dan periode, lahir-hidu-mati, dianggap juga
perempuan, ordinat dan subordinat, luar dan melambangkan akhir dari tujuan setiap manusia.
dalam, keras dan lembut, menguasai dan dikuasai,
dan lain sebagainya. Dalam pertunjukan Gandrung Penutup
Terob, berbagai posisi berpasangan tersebut saling
berelasi, sehingga menciptakan sebuah posisi baru. Nalar manusia (humand mind) masyarakat
Posisi baru inilah yang dalam pandangan Victor Using Banyuwangi yang pertama adalah,
Turner disebut sebagai liminal, yaitu posisi menganut struktur patriarki yaitu garis keturunan
ambang yang berada dalam dua posisi yang dari pihak laki-laki, oleh karena itu laki-laki dalam
berbeda. Liminalitas berarti tahap atau periode masyarakat Using di Banyuwangi memiliki peran
waktu di mana subjek ritual mengalami keadaan yang penting yaitu, peran memimpin dan
yang ambigu yaitu “tidak di sana dan tidak di sini”. mencukupi kebutuhan rumah tangga dan peran
Liminal sering diartikan sebagai peraliha. dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Kedua,
(Winangun, 1990:31). Posisi-posisi berpasangan masyarakat Using di Banyuwangi meskipun
dalam setiap fenomena kebudayaan selalu terjadi, mayoritas beragama Islam namun tetap
hal itu sesungguhnya menunjukkan bahwa sebuah menghargai keberadaan para leluhur dan berperan
kehidupan telah terjadi. Persinggungan dari kedua dalam pelestarian seni budaya daerah. Ketiga,
posisi berpasangan tersebut yang dianalisis dalam masyarakat Using di Banyuwangi kebanyakan
tulisan ini. adalah bertani, hal ini dibuktikan dengan
Berbagai posisi berpasangan dalam tari penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan
Gandrung Terob menunjukkan bahwa penari Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Keempat, posisi
berada dalam kawasan liminal, baik di dalam liminal penari Gandrung Terob di atas justru
peristiwa tari maupun dalam kehidupan sosial. menunjukkan bahwa penari Gandrung berada
Dalam peristiwa tari, posisi penari Gandrung dalam posisi yang sangat penting yaitu, posisi di
Terob adalah pemain yang sedang berhadapan tengah, sebuah posisi yang menyatukan,
langsung dengan penonton. Jarak antara penonton menyelaraskan, menjaga kesinambungan, dan
dan ruang permainan telah terbagi, namun seorang menyeimbangkan kehidupan masyarakat Using di
penari Gandrung harus sesekali memecah jarak Banyuwangi. Posisi di tengah, di pusat, adalah
tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya sebuah posisi yang tenang, diam, hening, dan juga
interaksi yang akrab antara pemain dan penonton. abadi (Ahimsa-Putra, 2001:304).
Seni pertunjukan kerakyatan seperti halnya tari
Gandrung Terob, tampaknya menyadari bahwa DAFTAR RUJUKAN
meleburnya antara ruang permainan dan penonton,
mampu menyatukan energi atau kekuatan untuk Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2000), Strukturalisme
mempengaruhi alam. Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Galang
Posisi berpasangan yang lain tampak juga Press, Yogyakarta.
dalam pertunjukan tari Gandrung Terob.
Pertunjukan Gandrung Terob yang dibagi menjadi Lévi-Strauss, Claude (2009), Antropologi
tiga babak yaitu jejer, paju, dan seblang-seblang Struktural, terj. Ninik Rochani Sjams, Kreasi
berpasangan dengan anak-anak, dewasa, dan tua. Wacana, Yogyakarta.
Jejer sebagai babak pembuka berpasangan dengan
anak-anak, paju sebagai bagian klimaks Toer, Pramodya Ananta (2000), Mangir,
berpasangan dengan dewasa, dan seblang-seblang Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
sebagai babak penutup berpasangan dengan tua.
Masa anak-anak adalah masa meniru (imitatif), Winangun, Wartaya Y.W., 1990, Masyarakat
setiap gerakan dan ucapan orang lain ditirukan. Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas
Masa dewasa adalah masa pencarian identitas diri Menurut Victor Turner, Kanisius, Yogyakarta.
dan saling mempengaruhi (simpatetis), ada saatnya
56
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 57-69
SISTEM TRANSMISI
WAYANG WONG GAYA YOGYAKARTA:
STUDI KASUS KARAKTERISTIK POCAPAN
Oleh: Sarjiwo
Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Telp. 0274 8337 889/0815 7888 7707. Email: sarjiwo_tari@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta: Studi
kasus karakteristik pocapan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan
studi dokumentasi. Observasi dilakukan dengan melihat serta mengikuti aktivitas latihan dan pementasan
yang dilakukan di sanggar-sanggar atau paguyuban, wawancara dilakukan secara terstruktur dengan panduan
pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan agar proses penjaringan data dapat lebih terfokus dan terarah,
dan studi dokumentasi dilakukan dengan melihat hasil rekaman pementasan Wayang Wong Gaya
Yogyakarta. Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sistem transmisi pocapan Wayang Wong Gaya Yogyakarta terjadi
dalam dua sistem. Pertama dari sisi para penari atau pelaku generasi sebelumnya dan dari sisi generasi
berikutnya. Sementara karakteristik di dalam Wayang Wong Gaya Yogyakarta dapat didapat pada karakter
suara, nada suara, irama pocapan, dan kemampuan pengaturan volume suara. Karakter suara di dalam
Wayang Wong Gaya Yogyakarta tidak dapat lepas dari karakter yang ada dalam Wayang Kulit Purwa,
karena pada dasarnya wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa. Nada suara setiap
pemeran harus memperhatikan suasana gamelan yang diatur dalam pathet yang sedang berlangsung. Irama
pocapan sangat berkaitan dengan karakter tokoh dalam pewayangan yang merujuk pada lagak, lagu,
lageane.
ABSTRACK
This research purpose was to lay open the transmission system of Yogyakarta Style of Wayang Wong:
Case study was characteristic of pocapan (dialogue). Data collecting techniques that used are by
observation, interview and documentation study. Observation done not only by seeing and doing the practice
of activity but also by staging that done in gallery and society, interview done structurally with the interview
guidelines that prepared before so the data network process can be more focused and directional, and
documentation study done by watched the staging record of Yogyakarta Style of Wayang Wong. After that,
collected data analyzed done with qualitative description analyze technique.
Result research indicated that, pocapan (dialogue) transmission system of Yogyakarta Style of Wayang
Wong happened in two systems. The first is come from dancers or previous generation side and the second
was come from next generation side. For a while, in the characteristic of Yogyakarta Style of Wayang Wong
there are voice characteristic, voice tone, rhythm of pocapan and the ability of voice volume control. Voice
characteristic that appear in the Yogyakarta Style of Wayang Wong in not far away from the existing of
characteristic in the Purwa Shadow Play, because basically Wayang Wong was Purwa Shadow Play
characterization. Every character voice tone must to pay their attention to the atmosphere of gamelan that
arranged in the happening pathet. Pocapan rhythm has a very close relation with the figure character in the
Puppet, which was refers to lagak, lagu, lageane.
57
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)
58
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989
59
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)
60
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989
61
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)
62
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989
63
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)
suara ini tidak jauh berbeda dengan harus lebih rendah daripada Larasati
nada suara untuk peran-peran putri atau Dewi Wara Srikandi. Sebab
dalam Wayang Wong Yogyakarta. apabila nada dasarnya menggunakan
Untuk peran putri dapat nada dasar terlampu tinggi
menggunakan nada dasar barang, kemungkinan Larasati atau Dewi
satu dan jangga alit atau dua tinggi. Wara Srikandi tidak akan dapat
Nada dasar inipun tidak selalu lebih tinggi dari nada yang
mengikat apabila beberapa peran digunakan Dewi Wara Sembadra.
putri berada pada satu adegan yang Demikian juga apabila Dewi Wara
secara bersamaan dengan nada dasar Srikandi melakukan pocapan yang
sama. Untuk itu seorang pemeran pertama kali, maka nada dasar untuk
putri yang melakukan pocapan yang pocapan tidak boleh lebih rendah
pertama kali, akan dijadikan dasar dari Dewi Wara Sembadra. Aturan
untuk pocapan peran putri yang lain. pengambilan nada dasar untuk
Oleh karena itu bagi pemeran putri peran-peran putri berada pada nada
yang melakukan pocapan pertama dasar barang atau bem untuk putri
kali harus tahu betul nada dasar luruh dan untuk karakter putri
yang harus dipakai untuk mengawali branyak pada jangga alit atau dua
pocapan. Misalnya pada adegan tinggi. Ini semua tergantung dari
yang sama ada peran Dewi Wara karakter yang dimainkan, nada suara
Sembadra, Larasati dan Dewi patokannya pada ambah-ambahan
Srikandi, maka pada saat Dewi gamelan yang mengiringinya pada
Wara Sembadra yang melakukan saat pocapan berlangsung.
pocapan pertama kali nada dasarnya
Tabel: 1
Nada suara peran putri
2. Nada suara bagi peran putra alus dalam pewayangan. Artinya nada
Nada suara untuk karakter alus suara dapat disesuaikan dengan
dibedakan menjadi dua yaitu putra situasi atau suasana hati tokoh
alus luruh dan putra alus mbranyak sedang dalam kondisi apa.
atau lanyap. Untuk putra alus luruh Permasalahan ini sering tidak
menggunakan nada dasar lima atau dipahami oleh para pemeran. Proses
enem ageng. sementara untuk nada adaptasi tersebut diperlukan agar
dasar mbranyak dapat menggunakan diantara tokoh dengan nada dasar
nada dasar enem atau barang alit (titi laras) yang sama, dapat
untuk tokoh yang di dalam wayang menyesuaikan kembali dengan
kulitnya tergolong dalam karakter menurunkan atau menaikkan nada
muka longok, untuk tokoh yang yang disesuaikan dengan karakter
tergolong dalam karakter langak tokoh. Misalnya dalam suatu adegan
dapat menggunakan barang alit dan secara bersamaan terdapat peran
loro inggil. Namun demikian apabila Janaka, Putadewa dan Abimanyu,
dalam suatu adegan terdapat maka nada suara ketiganya harus
beberapa tokoh dengan karakter disesuaikan kembali dengan situasi
yang sama, maka pemeran harus yang terjadi. Karena pocapan ketiga
memperhatikan karakter tokoh tokoh tersebut tinggi rendahnya
64
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989
Tabel: 2
Nada Suara Peran Putra Alus
3. Nada suara bagi peran putra gagah yang biasa digunakan untuk karakter
Nada suara di dalam peran gagah dan swara jangga (leher)
putra gagah dapat dilihat dan untuk menghasilkan suara kecil
dibedakan oleh ragam tari yang (Wawancara dengan KRT
digunakan. Untuk penggunaan Pujaningrat, 25 Agustus 2009).
ragam tari gagah Kambeng lebih Misalnya untuk Gatutkaca
besar dari yang menggunakan ragam menggunakan suara dari swara
tari Kalangkinantang. Di dalam dhadha, untuk raksasa
ragam Kalangkinantangpun tidak menggunakan suara dari swara
semua tokoh mempunyai nada dasar weteng, Dasamuka lebih berat atau
yang sama tergantung dari mambeg yang berada pada swara
karakternya. Untuk Werkudara weteng sampai swara dhadha, Setija
misalnya dapat menggunakan nada berat dan magak dari swara dhadha
dasar dhadha ageng, lima ageng karena mempunyai karakter
atau enem ageng tergantung dari setengah Kambeng disebabkan
kemampuan suaranya, lebih tegas, dalam wayang kulitnya bermata
nugel atau getas, Gatutkaca dengan thelengan, Prabu Baladewa dari
nada dasar enem ageng, dan untuk swara jangga sampai pada swara
peran-peran dengan ragam metu tidak berat. Hal yang tidak
Kalangkinantang menggunakan boleh dilupakan adalah, bahwa
nada dasar jangga atau enem, yang pocapan harus jelas, keras, anteb
tinggi rendahnya disesuaikan dengan dan manteb, suku katanya tidak
karakter pada wayang kulitnya. tertelan dan tidak ada yang hilang.
Prinsipnya harus menguasai swara Untuk keperluan itu sering dijumpai
weteng (perut) untuk jenis suara pada saat membaca dan
yang berat dan besar, swara dhadha menyuarakan huruf a disuarakan
(dada) untuk menghasilkan swara jadi ha, d disuarakan jadi dha, k
angglung (suara yang menggema) disuarakan jadi g, misalnya
65
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)
“Prajurit sapa aranmu, maju sura “Prajurit sapha haranmu, maju sura
ngadilaga” akan disuarakan menjadi ngadilaga” dan sebagainya.
Tabel: 3
Nada suara peran putra Gagah
4. Irama pocapan dalam Wayang Wong perlu bantuan clip on, pocapan ora cetha
Gaya Yogyakarta yang kesemuanya tersebut menandakan
Irama pocapan adalah cepat adanya pocapan yang tidak sampai ke
lambatnya pocapan yang diucapkan oleh telinga penonton dengan baik Padahal
setiap pemeran menurut karakter tokoh pocapan yang mampu didengar
pewayangan yang diperankan. Irama penonton, akan berakibat pada jalinan
pocapan diperlukan agar di dalam cerita dan informasi yang disampaikan
pocapan tidak sekedar menyampaikan pemeran dapat diikuti oleh penonton. Hal
teks pocapan tanpa dilandasi oleh tersebut dapat terjadi apabila kemampuan
karakter tokoh, suasana serta makna teks pemeran di dalam mengatur volume
pocapan. Terlebih lagi bahwa pocapan suara dapat jelas terdengar dari arah
Wayang Wong Gaya Yogyakarta penonton. Tantangan bagi para pemeran
mempunyai gaya yang berbeda dengan dengan nada rendah untuk meningkatkan
antawecana Wayang Wong Gaya kemampuan vokalnya agar volume
Surakarta maupun gaya pakeliran. Irama pocapan dapat lebih keras.
pocapan diperlukan agar pocapan
menjadi tidak terkesan monoton. Kesan IV. Kesimpulan dan Saran
ini dapat muncul disebabkan oleh
ketidakmampuan seorang penari/pemeran A. Sistem transmisi pocapan Wayang
di dalam memahami karakter ataupun Wong Gaya Yogyakarta
makna teks pocapan. Tidak jarang
ditemukan seorang penari/pemeran pada 1. Sistem transmisi pocapan Wayang
saat pocapan seakan sedang membaca Wong Gaya Yogyakarta terjadi
teks, padahal dia tidak sedang membaca dalam dua sistem. Pertama dari sisi
teks. Hal ini terjadi karena para penari atau pelaku generasi
penari/pemeran tidak mengatur cepat sebelumnya dan dari sisi generasi
lambatnya pocapan yang didasarkan berikutnya. Secara alami proses
pada karakter atau suasana adegan. transmisi pocapan terjadi pada saat
pemaos kandha atau pembaca narasi
5. Volume suara dalam pemeranan menuntun pocapan bagi para
Sebagaimana telah dijabarkan pada pemeran dalam suatu adegan.
bab terdahulu bahwa banyak komentar 2. Apabila ditinjau dari sisi para penari
dari para penonton yang mengatakan atau pelaku generasi berikutnya,
bahwa kemampuan pocapan atau dialog maka motivasi setiap individu di
bagi penari masih belum menampakan dalam peningkatan kualitas
hasil yang optimal. Sebagian besar kepenarian atau pemeranan sangat
penonton mengatakan bahwa volume berperan. Bagi mereka yang
suara dalam pocapan para pemeran mempunyai motivasi tinggi untuk
terdengar lamat-lamat, tidak jelas, dialog
66
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989
67
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)
68
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989
Hardjowirogo, 1982, Sejarah Wayang Purwo. PN Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New
Balai Pustaka, Jakarta. Jersey.
Herman, J. Waluyo, 2001, Drama: Teori dan Yudoyono, Bambang, 1984, Gamelan Jawa: Awal
Pengajarannya. PT Hanindita Graha Widya, Mula, Makna Masa Depannya. PT Karya
Yogyakarta. Unipres, Jakarta.
Soedarso, SP., 1986, “Wanda Suatu Studi tentan L. Danis Subroto, Penari Wayang Wong Gaya
Resep Pembuatan Wanda-wanda Wayang Yogyakarta.
Kulit Purwo dan Hubungannya dengan
Presentasi Realistik”, (Laporan Penelitian), Mas Lurah Cermosutejo, 53 tahun, Seorang dalang
Proyek Penelitian dan pengkajian Kebudayaan wayang kulit Gaya Yogyakarta, abdi dalem
Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kraton Yogyakarta.
Kebudayaan Depdikbud.
RM. Ibnu Mutarto, Penari senior sesepuh Yayasan
Soekatno, 1992, Mengenal Wayang Kulit Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa
PurwaAneka Ilmu, Semarang. Yogyakarta.
Suharto, Ben, 1991, “Tari dalam Pandangan RM. Krisyadi, Penari, Sutradara Wayang Wong
Kebudayaan”, dalam Jurnal SENI Edisi Gaya Yogyakarta.
Perdana, BP. ISI, Yogyakarta.
Siti Sutiyah Sasminta Mardawa, Ketua Yayasan
Tjondroradono, Soenartomo, 1996, “Pengetahuan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa.
Tari Gaya Yogyakarta: Jenis dan
Perwatakannya”, (Diktat), Sekolah Menengah Undung Wiyono, Penulis naskah Wayang Wong
Karawitan Indonesia, Yogyakarta. Gaya Surakarta di Sekar Budaya Nusantara
Jakarta.
Wibowo, Fred. (Ed), 1981, Mengenal tari Klasik
Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Propinsi Widodo Pujobintoro, Guru SMK I Kasihan Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta. Penari Wayang Wong Gaya Yogyakarta.
69
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 70-77
WAYANG WONG
LANGEN LESTARI BUDOYO DONOMULYO
SEBUAH KAJIAN GAYA WAYANG WONG PEDESAAN
Surojo
Jurusan Tari, Fak. Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta
ABSTRACT
Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo who was born and developed in rural communities
Donomulyo an individual and collective expression of the rural art style. This Wayang wong was founded in
1932 by R. Sanghadi as a palace of Yogyakarta Sultanate courtiers.This transformation and culture of
palace formality was a cultural diffusion of the cultural center of the (palace) to a small cultural center
(rural), thus giving birth to an art style that is different from the original. This diffusion certainly related to
the role Kridha Beksa Wirama in 1918 as an arts institution devoted to the general public, including people
from the countryside
The rural of wayang wong is a rustic contemporary art form of the distribution and development of the
foregoing, where the elements that influence complex either in a linear kesejarahannya of Kridha Beksa
Wirama and social culture. That is, in the process of formation of wayang wong arable quality, especially
choreography has a unique claim as the expression of which is produced by the artist that is a blend of rustic
palace of art with the art of rural tradition "ndeso". This traditional art is an art form that originates and
stems as well have been perceived as belonging to the arts community. Hasil accepted as tradition, the
inheritance devolved from the older to the younger generation.
ABSTRAK
Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo yang lahir dan berkembang di komunitas masyarakat desa
Donomulyo merupakan ekspresi individu dan kolektif sebagai gaya seni pedesaan. Wayang wong ini
didirikan pada tahun 1932 oleh R. Sanghadi sebagai seorang abdi dalem keraton Kasultanan Yogyakarta.
Transformasi dan formalitas budaya keraton ini adalah suatu difusi budaya dari pusat budaya besar (keraton)
ke pusat budaya kecil (pedesaan), sehingga melahirkan suatu gaya seni yang berbeda dari aslinya. Persebaran
ini tentu terkait dengan peran Kridha Beksa Wirama pada tahun 1918 sebagai lembaga kesenian yang
disediakan untuk masyarakat umum, termasuk orang-ortang yang berasal dari pedesaan.
Wayang wong pedesaan adalah sebuah bentuk kesenian kontemporer dari hasil persebaran dan
perkembangan sebelumnya, di mana unsur-unsur yang turut mempengaruhi sangat kompleks, terutama
sejarah secara linier dari Kridha Beksa Wirama. Artinya, dalam proses pembentukan kualitas garapan
wayang wong, terutama garapan koreografi memiliki keunikan sebagai ekspresi yang diproduksi oleh
seniman pedesaan yakni perpaduan antara seni keraton dengan seni tradisi pedesaan yang ”ndeso”. Kesenian
tradisional ini adalah bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik
masyarakat..Hasil kesenian diterima sebagai tradisi, yang pewarisannya dilimpahkan dari angkatan tua
kepada angkatan muda.
Latar Belakang Masalah sebagai seorang guru dan abdi dalem keraton.
Transformasi dan formalitas budaya istana ini
Keberadaan wayang wong Langen Budaya mencerminkan kuatnya pengaruh budaya elit atau
Donomulyo yang didirikan pada tahun 1932 keraton terhadap budaya rakyat atau kecil. Seperti
sebenarnya tidak bisa lepas dari peran R. Sanghadi dikemukakan oleh Kuntowijoyo, bahwa dualisme
70
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989
budaya Jawa menempatkan budaya besar (elit) yang menyangkut kaum kerabat dan nenek
yang dikuasai kerajaan adalah sebagai pusat moyang tadi, dengan pertanyaan-pertanyaan
kreativitas yang sah, sehingga kebudayaan keraton yang bersifat konkret (Koentjaraningrat,
memancarkan sinarnya ke kebudayaan desa. 1987:118)
Sebaliknya, desa hanya diakui daerah pinggiran
budaya dan kreativitasnya hanya dianggap sebagai Pernyataan ini tampaknya dapat dipahami
karya yang belum selesai dan mentah. dalam konteks menelusuri sejarah perkembangan
Perkembangan budaya tradisional hanya bersifat wayang wong Lestari Budaya Donomulyo,
perkembangan sintagmatis, yaitu pluralisme terutama melacak dari keturunan R. Sanghadi dan
budaya ditampakkan lebih dalam perbedaan variasi para kerabat atau para murid-muridnya yang
atau cengkok semata-mata dan tidak mengubah dewasa ini sebagai pelestari wayang wong
polanya (Kuntowijoyo, 1987: 24-25). Oleh karena pedesaan itu. Keberadaan grup wayang wong
itu, maka tidak mengherankan apabila muncullah Lestari Budaya ini merupakan bukti bahwa
gaya wayang wong pedesaan sebagai ekspresi kesenian tradisi itu tumbuh dan berkembang
kolektif mereka yang „ndeso‟. Peniruan genre sebagai warisan budaya nenek moyangnya.
wayang wong gaya Yogyakarta oleh seniman desa Proses persebaran itu tentu diwarnai adanya
Donomulyo sebenarnya dilatarbelakangi oleh spirit dialektika budaya antara budaya besar (keraton)
komunal yang menganggap seni keraton sebagai dengan budaya kecil (desa) sebagai proses
seni keramat, sehingga kesadaran mereka semata- pembentukan jatidiri budaya lokal. Secara umum
mata ditujukan untuk menjaga kepentingan desa dialektika berarti sebuah proses pelik konflik
sebagai kesatuan sistem kenegaraan kerajaaan konseptual atau sosial, interkoneksi dan perubahan,
Kasultanan Yogyakarta dalam konteks terutama penciptaan, interpenetrasi, dan
keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos. pertentangan yang menghasilkan mode pemikiran
Transformasi dan formalitas budaya keraton atau bentuk kehidupan yang cenderung memainkan
ke dalam budaya rakyat pedesaan ini peran penting (William Outhwaite,editor, 2008
sesungguhnya merupakan bentuk difusi budaya :211). Proses tawar-menawar atau tarik-menarik
yang dibawa oleh seorang abdi dalem keraton merupakan bagian penting untuk mendapatkan
Kasultanan Yogyakarta yang bernama R. Sanghadi format baru dalam bentuk kesenian, yang akhirnya
ke dalam lingkungan budaya pedesaan sebagai diperoleh suatu kesepakatan atau persamaan
tempat tinggalnya. Menurut teori difusi, bahwa persepsi terhadap gaya seni yang disajikan. Gaya
gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di wayang wong pedesaan ini dijadikan fokus kajian,
berbagai tempat di dunia disebabkan karena sehingga diperoleh suatu gambaran menyeluruh
persebaran atau difusi dari unsur-unsur itu ke tentang koreografi sebagai sintesis dari proses
tempat-tempat lain. Untuk melacak adanya difusi budaya.
kesamaan unsur-unsur, maka sebagian besar dari R. Sanghadi sebagai guru Kawula Kasultanan
keterangannya akan diperolehnya dari para yang memiliki separangkat gamelan memberikan
informan, dengan berbagai macam metode kesempatan kepada masyarakat Klangon, Sedayu
wawancara. dan Moyudan untuk melakukan kegiatan uyon-
uyon, sehingga kegiatan ini menjadi faktor penting
Rivers mengalami bahwa banyak bahan perkembangan wayang wong gaya Yogyakarta di
keterangan mengenasi kehidupan sesuatu wilayah perbatasan antara D.I.Y. dengan Jawa
masyarakat dapat dianalisis dari daftar-daftar Tengah. Di samping itu, status R. Sanghadi sebagai
asal-usul, atau genealogi, dari para informan abdi dalem keraton Kasultanan Yogyakarta adalah
itu. Dengan demikian seorang peneliti harus faktor penentu tumbuh dan perkembangan genre
mengumpulkan sebanyakmungkin daftar asal- wayang wong di Kabupaten Kulonprogo. Hal ini
usul individu-individu dalam masyarakat menunjukkan seni pertunjukan ini yang semula
obyek penelitian penelitiannya itu. Dengan lahir, tumbuh dan berkembang di dalam keraton,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kemudian berkembang dan tersebar di luar tembok
kaum kerabat dan nenek moyang para keraton, sampai di pedesaan. Wayang wong di
individu tadi sebagai pangkal, seorang peneliti Yogyakarta berkembang dan mengalami
dapat menembangkan (baca: persebaran sejak pemerintahan Hamengku Buwana
mengembangkan) suatu wawancara yang luas I dengan lakon Gandawardaya sekitar akhir tahun
sekali, mengenai bermacam-macam peristiwa 1750-an dan mencapai puncak kejayaan pada masa
71
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan)
pemerintahan HB VIII (1921-1939) yang ketika itu mengacu pada wayang wong gaya Yogyakarta.
memproduksi wayang wong untuk waktu berhari- Grup kesenian ini adalah sebuah bentuk kesenian
hari (Soedarsono, 1990: 19 dan 29). Dengan yang aktual sebagai hasil persebaran dan
demikian, perkembangan wayang wong gaya perkembangan sebelumnya, di mana unsur-unsur
Yogyakarta di luar tembok keraton, tampaknya yang turut mempengaruhi sangat kompleks, baik
berada pada masa pemerintahan Sultan Hamengku aspek kesejarahannya secara linier dari Kridha
Buwana VIII yang ketika itu R. Sanghadi sebagai Beksa Wirama maupun aspek sosial budaya
abdi dalem keratoan. masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan
Fenomena persebaran seni tradisi keraton sesuai spirit zamannya..
sebenarnya sudah terjadi pada masa pemerintahan
HB VII, tepatnya pada tahun 1918, atas restu Proses Pembentukan
Sultan di Yogyakarta berdiri sebuah lembaga
kesenian bernama Kridha Beksa Wirama. Lembaga Proses pembentukan wayang wong Lestari
ini diprakarsai Pangeran Soerjodiningrat dan Budaya erat kaitannya dengan pertemuan dua
Pangeran Tejakusuma. Murid-murid KBW budaya yaitu budaya besar (istana) dan budaya
sebagian besar terdiri dari para pelajar Yogyakarta kecil (rakyat). Hal ini merupakan bentuk
yang bergabung dalam Jong Java. Semenjak itu persebaran budaya yaitu berangkat dari keraton
kesenian keraton termasuk wayang wong dapat Kasultanan Yogyakarta yang berfungsi sebagai
dipelajari oleh masyarakat luas dan berkembang salah satu pusat kebudayaan Jawa yang dikenal
pesat, bahkan Krida Beksa Wirama pernah seni tradisi klasik menuju ke pedesaan sebagai
mementaskan wayang wong di Bandung yang salah satu pusat kebudayan yang dikenal seni
diselenggarakan oleh Java Instituut pada tahun tradisi rakyat. Proses pembentukannya ditandai
1921 (Soedarsono, 1990: 29). Pertunjukan wayang oleh kuatnya pengaruh seni tradisi keraton
wong gaya Yogyakarta ini kemungkinan memberi terhadap seni tradisi rakyat, sehingga
inspirasi seniman local untuk diadaptasi, meskipun menghasilkan bentuk gaya seni ysng khas
di wilayah Priangan (Bandung) sebenarnya sudah pedesaan sebagai formalitas budaya keraton yang
berkembang wayang wong pada awal abad ke -20, “ndeso”. Seperti dikemukakan oleh D.H. Burger:
sebab kesenian ini sangat digemari oleh khalayak
umum, yang diduga merupakan awal lahirnya Gaya hidup Jawa ini berakar dalam khazanah
wayang wong gaya Priangan (Iyus Rusliana, 2002: kebudayaan yang terhimpun dalam
28). Pengaruh kebudataan Mataram terjadi pada kesusasteraan kuno dan dalam wayang
masa pemerintahan Sultan Agung dan dilanjutkan (pertunjukan pemainan bayangan yang
pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I pada diiringi musik dan seni tari). Wayang
tahun 1645 yang ditandaio perkawinan antara mempunyai makna keagamaan. Pertunjukan
Sunan Amangkurat I dengan cucu Panembahan wayang diadakan pada saat-saat terpenting
Ratu Alit yang bernama Panembahan Girilaya dalam kehidupan manusia seperti kelahiran,
(Ibid.,: 48). Persebaran budaya keraton Mataram perkawinan dan khitanan, juga untuk
dan Kasultanan Yogyakarta tampaknya sudah mengelakkan mala petaka atau menghalau
berlangsung sangat lama, termasuk pesrevaran penyakit, dan segala pengaruh lain yang
wayang wong gaya Yogyakarta ke desa merusak. Pertunjukan wayang merupakan
Dopnomulyo Kulonprogo. tontonan suci. Karena leluhur yang didewakan
Fenomena perkembangan wayang wong gaya muncul di atas pentas. Terutama kaum
Yogyakarta di luar tembok istana ini tentunya bangsawan menganggap tokoh-tokoh wayang
berkembang menurut spirit komunal yang selaras itu nenek moyang mereka (Burger, 1983: 43-
dengan kebutuhan dan kualitas seniman 44)
pendukungnya, terutama pengetahuan dan
kemampuan keterampilan tekniknya. Oleh karena Latar belakang ini sebenarnya mengilhami
itu, tulisan kali ini lebih difokuskan pada garap, keberadaan wayang wong Lestari Budaya di Desa
dan berbagai pengaruh yang turut membentuk Donomulyo, yakni formalitas budaya keraton
garap tersebut, baik social budaya maupun dari sebagai khazanah penghayatan terhadap dunia
pemngaruh kesenian lainnya. Fenomena wayang spiritualitas orang Jawa yang ”ndeso”. Persamaan
wong pedesaan di Donomulyo Nanggulan Kulon persepsi bangsawan keraton dengan rakyat kecil
Progo adalah produk seniman pedesaan yang yang ”ndeso” terhadap budaya wayang, bahwa seni
72
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989
kuno adalah satu ungkapan dari pandangan hidup Peterson Royce. Gaya tersusun dari simbol,
Jawa yang kuno, yang didukung oleh ”rasa bentuk, dan orientasi nilai yang mendasarinya.
kerukunan alam semesta (Ibid.,: 75) Bentuk dan simbol terang-terangan memasukkan
Pemaknaan budaya keraton dalam konteks pakaian, bahasa, musik, tari, tipe rumah, dan
budaya pedesaan tentu diyakini sebagai unsur agama (Royce, 2007: 171). Transformasi tata rias–
pembentuk karakter masyarakat pedesaan dalam busana tentu disesuaikan dengan ketersediaan dan
pengukuhan jatidiri mereka sebagai bentuk media kualitas bahan yang didasarkan pada kemampuan
legitimasi komunal yang ”ndeso”. Masyarakat daya beli mereka serta kemampuan
pedesaan Jawa dalam menentukan identitas menginterpretasinya. Di samping itu, pengalaman
kebudayaan cenderung menerima pancaran budaya mereka ketika melihat pertunjukan tertentu yang
keraton yang diaktualisasikan dalam spirit memberi inspirasi variasi warna dan desain tata
komunal sebagai pernyataan yang menyatukan tata busana. Transformasi gerak tari sangat jelas
nilai kawula-gusti. Pernyataan seni tradisi dilatarbelakangi oleh kekurang sempurnaan
pedesaan ini merupakan pencerminan dari penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknik
kesederhaaan dasn kepolosan berpikir fan ketika mereka menjadi murid KBW, sehingga
bertindak dalam dunia kesenian yang diukur kesederhanaan bentuk gerak dan cara
menurut kemampuan mereka, sehingga ekspresi pengungkapannya menjadi unik yang menandai
individual dan kolektif lokalitas memberi gaya „ndeso”. Tipe rumah atau panggung
gambaran tentang keseimbangan dunia manusia pertunjukan juga sangat tergantung dari fasilitas
dan alam semesta. ruang pentas yang disebut pendopo atau panggung
Pada awal keberadaan Kridha Beksa Wirama yang dibuat untuk kepentingan pertunjukan.
sebenarnya dilatarbelakangi oleh antusias dan Keseluruhan unsur pembentuk gaya itu ditunjang
peminat para peserta didik yang mayoritas dari oleh nilai-nilai etika, moral dan spirit yang ada
kalangan umum atau mereka yang berasal dari dalam wayang sebagai media pendidikan budi
desa-desa, sehingga tidak mustahil tari keraton pekerti orang Jawa tempo dulu, dan mungkin
(baca wayang wong) berkembang secara luas di masih berlaku di masa kini dan masa yang akan
luar tembok keraton.. Namun karena belum datang.
tuntasnya pengusaan materi tari yang dipelajari di Jennifer Liindsay dalam penelitiannya melihat
Kridha Beksa Wirama, maka perkembangan tarian sebuah perjalanan panjang wayang wong sendiri di
keraton di pedesaan cenderung mengalami keraton dikategorikan menjadi klasik, kitch dan
penurunan kualitas penguasaan dan keterampilan kontemporer. Dengan batasan ketiga istilah ini
teknik gerak. Akibat dari proses pembentukan ditemukan perbandingan dan tolok ukur pada
yang kurang optimal itu diyakini akan berdampak “waktu pertunjukannya”. Pertunjukan di masa
pada kualitas pengembangan wayang wong dari Hamengku Buwana I hingga masa Hamengku
waktu ke waktu sejalan dengan perubahan zaman. Bubawa VIII telah mengalami perbedaan bentuk.
Bercampuran dari berbagai gaya dan potensi seni Artinya, bahwa aspek “waktu” yang bersifat
di desa, merupakan fenomena sosial budaya diakronis dalam tempat yang sama cenderung
sebagai proses pembentukan karakter identitas mengalami perubahan bentuk sejalan dengan spirit
masyarakat pemilik kesenian itu. masyarakat pendukungnya sebagai kreator dan
Gaya wayang wong pedesaan ini adalah innovator karya seni. Persebaran ke arah luar
realitas kreativitas seniman pedesaan yang keraton di mana lingkungan masyarakat
memiliki pemahaman dan interpretasi yang unik. pendukung budaya tidak sama dengan masyarakat
Keunikan yang dimaksud adalah kesederhaaan dan keraton tentu interpretasi akan mengalami
kepolosan dalam menginterpretasikan seni tradisi penyesuaian dengan potensi budayanya, sehingga
istana dengan kemampuan apa adanya. Oleh produk budaya yang diciptakan akan memiliki
karena itu, maka wayang wong gaya pedesaan ini kualitas sendiri, termasuk ukuran estetiknya. Hal
memiliki ciri khas, versi dan gaya yang berbeda ini sesuai dengan pemahaman teori difusi yang
menurut atmosfir budaya di pedesaan yang menunjuk adanya pusat budaya dan luar pusat
sederhana, apa adanya, “bentuk tari tampak belum budaya, yakni seni tradisi keraton yang dibawa
selesai” dan unik bila dilihat dari sisi pandang oleh individu yang berstatus abdi dalem untuk
kesenian keraton. Seluruh ciri-ciri kompleks ini dikembangkan di daerah asalnya. Unsur-unsur
sebenarnya merupakan unsur pembentuk suatu yang membentuk wayang wong pedesaan ini
gaya seni sebagai dikemukakan oleh Anya cenderung dikolaborasikan menurut
73
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan)
74
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989
wilayah pedesaan. Komunitas atau lembaga baru di Sarjono murid tari dari Suwardi yang tinggal di
desa itu berfungsi sebagai perwakilan seni keraton Donomulyo mengatakan :
di pedesaan, yang implementasinya merupakan
sebuah pernyataan social dari suatu komunitas “ kula angsal kapinteran joged menika
pedesaaan. sangking Pak Wardi ing Banaran
Banguncipto. Griyanipun wiyar lan kangge
Wayang Wong Donomulyo Sebagai Bentuk gladhen wayang wong. Piyambakipun menika
Seni Gaya Pedesaan ingkang langsung nate sinau dhateng Kridha
(KBW), menawi kula dereng nate. Kula sak
Keberadaan wayang wong di desa kanca kalih Mudiharjo angsal latihan saking
Donomulyo tidak bisa lepas dari sejarah Pak Wardi kemawon. Kula dereng nate sinau
pembentukannya. Pada tahun 1932 seorang guru joged wonten kridha, namung mireng
sekolah Kawula Kasultanan bernama R. Sanghadi kemawon”.
memiliki seperangkat gamelan. Oleh masyarakat
Klangon, Sedayu dan Moyudan sering digunakan (saya bisa menari dari Pak Wardi di Banaran
uyon-uyon. R. Sanghadi sendiri selain sebagai guru Banguncipto, rumahnya luas dan untuk
juga merupakan abdi dalem keraton yang aktif. wayang wong. Dia (Pak Wardi) yang pernah
Menurut Sumanggakarso guru karawitan di belajar dari kridha, kalau saya belum pernah.
Klangon menceritakan keadaan Klangon wilayah Saya dengan teman-teman termasuk
perbatasan dengan kabupaten Kulon Progo, Mudiharjo mendapat pelajaran dari Pak Wardi
merupakan daerah strategis untuk pengembangan saja).
kesenian. Di rumah R. Sanghadi sendiri telah
digunakan latihan Langen Mandra Wanara dengan Berbekal 13 jenis motif gerak yang
lakon Sugriwa-Subali. Menurut surat kekancingan dikuasainya, Sarjono dan Mudiharjo mendirikan
nomor 9726 tertanggal 4 April 1932 R. Sanghadi kelompok wayang wong di Donomerto
ditetapkan sebagai putra Mangkusentana diberi Donomulyo. Namun kelompok ini tidak terlalu
tanggung jawab dari pihak keraton untuk membuka lama berlangsung. Berkat kegigihan Harjo Sukirno
sekolah Kasultanan di Moyudan. ayah Siswo Prajono, kemudian latihan dipusatkan
Pada tahun 1945 hingga tahun 1950 peran di dusun Jambon hingga sekarang. Siswa Prajono
KBW semakain nyata dengan melibatkan warga yang menjadi pimpinan wayang generasi sekarang
masyarakat dari berbagai daerah, terutama kegiatan mengakui bahwa wayang wong di Jambon adalah
tari yang mermunculkan banyak tokoh penari, kelanjutan dari wayang wong Donomerto, bahkan
seperti muncullah generasi Sumanggakarso yang setiap akan mengadakan pergelaran melibatkan
menghimpun penari-penari di rumahnya di pengasuh terdahulu yaitu Sumidi, Sastyradiwiryo
Klangon. Kesungguhan belajar menari generasi dan Sarjono. Siswa Prajono sendiri dalam hal
muda Klangon dibuktikan pernah datangnya guru- penyutradaraannya banyak dibimbing oleh seorang
guru dari KBW meresmikan Balai Kesenian dalang Sastra Sencaka.
Klangon seperti K.R.T. Kusumabrata, K.R.T. Sarjono sebagai nara sumber wayang wong
Pringgabrata dan K.R.T. Jagabrata. Hal ini Jambon ini mengatakan :
menunjukkan bahwa persebaran budaya dari
pusatnya ke daerah berjalan secara baik dan “ Lare-lare Jambon sakmenika remen
berkesinambungan melalui pewarisan menurut dhateng kesenian lan majeng, nanging
garis hubungan petemanan dan kaderisasi seniman sampun mboten disiplin anggenipun sinau
lokal. Wilayah pengembangan Balai Kesenian joged. Kalang kinantang rojo menika
Klangon terdiri dari penduduk Kulon Progo hingga kedahipun angklung-angklung mekaten,
daerah pelosok di kaki pegunungan Menoreh. mboten ngepel kados kambeng”.
Singkat kata wayang wong di tahun-tahun
berikutnya telah berkembang di daerah Sentolo dan (Anak-anak Jambon sekarang senang terhadap
Donomulyo. Di rumah Suwardi di Banguncipto kesenian, dan maju tetapi sudah tidak begitu
Sentolo Kulon Progo merupakan tempat disiplin dalam belajar menarinya. Kalang
berkembangnya wayang wong yang sangat berarti kinantang rojo itu seharusnya melingkar
bagi perkembangan wayang wong di Donomulyo. demikian (sambil memperagakan), tidak
ngepel seperti kambeng saja).
75
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan)
Sesuai dengan tuntutan zaman yang sekarang masyarakat lebih tertarik untuk menggunakan tata
sudah berubah ke masyarakat industri modern, busana gaya Suraikarta yang tampak gebyar dan
yang dalam kehidupannya tidak lepas dari sarana mewah.
hiburan dari media elektronik. Media elektronik Slamet tampaknya tertarik untuk memadukan
seperti televisi, radio, VCD dan bentuk yang lain kedua gaya tersebut mulai dengan karya miliknya
telah menawarkan berbagai pilihan dalam dalam persewaan tata busana wayang. Sifat
acaranya. Namun demikian masyarakat yang sederhana dan tanpa banyak warna pada kostum
terhimpun dalam kelompok wayang wong masih gaya Yogyakarta, tetapi Slamet tertarik desainnya
setia untuk latihan dan mengadakan pergelaran terutama irah-irahan. Maka Slamet memberi warna
tatkala dibutuhkan pentas. Wayang wong sunggingan seperti gaya Surakarta sehingga
Donomulyo di samping tetap memelihara sekuat terwujud perpaduan gaya yang disebutnya gaya
tenaga untuk bertahan dengan sajian klasik tradisi, prayungan itu. Dalam hal gerak tari, karakter dan
juga menerima trend budaya yang sedang semarak tata laku, wayang wong pedesaan termasuk di
misalnya campursari. Pada limbukan dan gara- Donomulyo ini umumnya berbekal tari dari KBW.
gara trend budaya campursari menjadi favorit dan Namun tata busana tidak sama sekali mengacu
dinanti-natikan oleh penggemarnya. Tidak bisa wayang keraton. Hal yang demikian disebabkan
tidak wayang wong Donomulyo sesuai fungsinya sulitnya di desa mendapatkan kostum gaya
sebagai sarana hiburan masyarakat, bentuk keraton, karena yang memiliki busana wayang
sajiannya mengalami perubahan dan keraton adalah keraton sendiri. Di samping busana
perkembangan. wayang keraton tidak diperbolehkan keluar
keraton, juga pengadaan kostum tari harus dengan
Wayang Wong Pedesaan sebagai Gaya cara memesan kepada pembuatnya serta dengan
Prayungan waktu yang lama dan relatif mahal harganya.
Perpaduan dua gaya yang muncul di wayang
Hasil dari persebaran wayang wong dari wong pedesaan lainnya adalah pada gerak tarinya.
keraton ke luar keraton sesuai denga teori difusi Gerak tari yang dilakukan oleh Slamet nampak
menyebabkan adanya bentuk baru yang berbeda menunjukkan gaya yang spesifik. Gerak kaki
dengan sumber aslinya. Wayang wong pedesaan jujungan (genjot dan jomplang) menggunakan
yang telah mengalami sejarah panjang, akhirnya teknik gaya Yogyakarta sedang posisi tangan
membentuk gaya tersendiri yang disebut menggunakan pola gaya Surakarta. Teknik menari
prayungan. Prayungan menurut Slamet seorang dengan pola gaya Yogyakarta yang kuat
dalang dan penari wayang wong yang kini disebabkan pada umumnya bekas siswa KBW
menekuni tata rias dan busana khusus wayang selalu mengikuti latihan dasar yang dikenal dengan
wong, mengatakan bahwa perpaduan antara gaya “tayungan”. Dalam tayungan ini ditekankan pada
Yogyakarta dan Surakarta terutama dalam hal tata pentingnya gerak kaki di dalam mendasari tarian
gerak dan tata busana wayang tidak dapat berkarakter apapun, sedangkan gerak tangan, leher
dihindari. Hal ini disebabkan adanya permintaan dan lainnya menjadi prioritas kemudian. Seorang
masyarakat peminat wayang wong di pedesaan. penari klasik diwajibkan memiliki “deg” yang
Di Yogyakarta pertunjukan wayang wong benar, walau belum melakukan gerak sekalipun.
klasik keraton yang berkembang di luar keraton Gendhing pengiring pada wayang wong
masioh terbatas pada perkembangan tarinya. pedesaan lebih longgar, bahkan gendhing-
Sedang di luar keraton juga sudah berkembang gendhing pedalangan gaya Yogyakarta menjadi
wayang wong panggung (komersial) gaya pilihan utama dari pada gendhing-gendhing gaya
Surakarta. Dalam pertunjukan di panggung sajian Surakarta. Namun dalam hal kandha dan
wayang telah dikemas dengan bantuan tata busana antawecana, wayang wong ini lebih mengacu pada
dan tata teknik pentas yang sudah barang tentu gaya Surakarta. Kandha dan pocapan atau
lebih menarik, sedangkan wayang wong hasil antawecana gaya keraton merasa kesulitan, sebab
perkembangan gaya Yogyakarta berkembang artikulasinya telah ditentukan dengan standart
dengan sajian “pendapan” dan kelengkapan busana klasik yang ada, sedang gaya Surakarta lebih
klasik yang bersifat sederhana sangat terbatas serta santai, longgar, tidak sulit dan komunikatif tidak
belum dibantu dengan tata busana dan tata jauh dari pola keseharian. Kandha dan pocapan
panggung yang lebih menarik. Akibat dari itu gaya Surakarta dapat dilakukan secara spontan dan
76
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989
boleh dikembangkan sendiri, sedang gaya keraton terpinggirkan seni tradisi rakyat pedesaan sebagai
Yogyakarta telah terstruktur dalam teks. akibat perkembangan budaya global yang
Kemampuan dan kemauan untuk belajar mendominasi kehidupan masyarakat, terutama seni
membaca dan mempelajari teks wayang wong gaya pop yang difasiitasi oleh media elektronik televisi.
keraton merupakan beban tersendiri dan tidak
semua penari dari desa ketika belajar di KBW DAFTAR RUJUKAN
sampai pada pelajaran kandha dan pocapannya.
Kesenjangan inilah menjadikan wayang wong Burger, D.H., 1983, Perubahan-Perubahan
pedesaan tidak tuntas dalam menstranfer seluruh Struktur Dalam Masyarakat Jawa, terjemahan
materi wayang wong keraton, sehingga yang
terjadi adalah intrepretasi penari dari desa itu Dewan Redaksi, Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
sendiri yang muncul dalam kreasinya serta
mengadopsi dari gaya Surakarta dan gaya Hersapandi, 1999, Wayang Wong Sriwedari: Dari
pedalangan. Seni Istana Menjadi Seni Komersial, Yayasan
Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo Koentkaraningrat, 197, Sejarah Teori Antropologi,
adalah produk budaya seniman pedesaan yang Universitas Indonesia Press, Jakarta.
mengacu pada wayang wong gaya Yogyakarta. Hal
ini merupakan bentuk persebaran budaya yaitu Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat,
berangkat dari keraton Kasultanan Yogyakarta Taiara Macana, Yogyakarta.
yang berfungsi sebagai salah satu pusat
kebudayaan Jawa yang dikenal seni tradisi klasik Liindsay, Jenifer, 1991, Klasik Kitsch
menuju ke pedesaan sebagai salah satu pusat Kontemporer, Sebuah Studi Tentang Seni
kebudayan yang dikenal seni tradisi rakyat. Proses Pertunjukan
pembentukannya ditandai oleh kuatnya pengaruh
seni tradisi keraton terhadap seni tradisi rakyat, Jawa, terjemahan Nin Bakdi Sumanto, Gadjah
sehingga menghasilkan bentuk gaya seni ysng khas Mada University Press, Yogyakarta.
pedesaan sebagai formalitas budaya keraton yang
“ndeso”. Outhwaite, William,editor, 2008, Ensiklopedi
Wayang wong gaya pedesaaan ini Pemikiran Sosial Modern, edisi kedua,
mencerminkan ekspresi individu dan kolektif terjemahan
seniman desa yang mencoba untuk
mendistribusikan seni istana menjadi seni rakyat Tri Wibowo, Kencana Predana Media Gourp,
pedesaan. Kualitas pengetahuan dan kemampuan Jakarta.
keterampilan teknik gerak wayang wong
cenderung rendah atau belum tuntas, sehingga Royce, Anya Peterson, 2007, Antropologi Tari,
gaya seni pedesaan ini justru melahirkan keunikan terjemahan F.X. Widaryanto, Sunan Ampu
yang khas ”ndeso” yang sederhana dan polos yang Press, Bandung.
didukung oleh spirit komunal pedesaan untuk
kepentingan media komunikasi pendidikan dan Rusliana, Iyus, 2002, Wayang Wong Priangan:
ritual. Kajian Mengenai Pertunjukan Dramatari
Ekspresi kreativitas individu dan kolektif ini Tradisional di Jawa Barat, Kiblat Buku
tentu diwariskan dari satu generasi ke generasi Utama, Bandung.
berikutnya dengan tingkat pemahaman artistik
yang berbeda, sehingga bentuk pewarisan tradisi Soedarsono, 1999, Wayang Wong: The State Ritual
ini cenderung mengalami dinamika perkembangan Dance Drama in The Court of Yogyakarta,
sejalan dengan prubahan sosial budaya masyarakat Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
pedesaan di zamannya. Hal ini diwarnai semakin
77
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 78-86
ABSTRACT
Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura, merupakan satu di antara badan-badan
Budaya Melayu yang tertua di Singapura. Sebelumnya dikenal Sriwana yang telah membuktikan dan
memainkan peran dalam mengetengahkan warisan budaya Melayu di Singapura dari tahun 1955 sampai
sekarang. Kedua badan ini berjalan seirama sesuai dengan peran masing-masing guna mengangkat martabat
masyarakat Melayu di Singapura. Sriwana dalam kehadirannya lebih memokuskan pada kesenian baik tari,
musik, dan teater, sedangkan Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura lebih
menekankan pada pelestarian kegiatan keagamaan, kebangsaan, dan kebudayaan yang merupakan identitas
budaya Melayu.
78
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989
Peran Negara dalam Perkembangan berupa emas dan perak sebagai hadiahnya.
Budaya Melayu Sedangkan materi pertandingan tari lebih
difokuskan pada tari kreasi yang berdasarkan
Singapura merupakan sebuah negara kecil konsep tradisional dan kontemporer Melayu.
yang luasnya lebih kurang 704 km2, dengan Fasilitas dalam pengembangan tari Melayu di
jumlah penduduk ras Melayu lebih kurang 659.000 Singapura dari pihak Majlis Pusat dan Taman
orang. Dalam hal pelestarian budaya Melayu, Warisan Melayu beberapa kali mengadakan
negara memelihara banyak kumpulan tari, baik pelatihan tari Melayu untuk pelajar dengan
kumpulan yang sudah mapan, sekolah-sekolah, dan mendapat bantuan dari Majlis Seni Kebangsaan,
perorangan di bawah kelompok-kelompok dengan mengundang beberapa koreografer tari
masyarakat yang biasa disebut kelab-kelab Melayu dari Indonesia salah satunya adalah penulis
masyarakat sesuai lokasi daerah masing masing. (Raja Alfirafindra). Beberapa kumpulan tari
Kehadiran mereka dibantu oleh negara dalam Melayu yang sudah mapan banyak juga
bidang keuangan dan fasilitas, melalui Majlis Seni mengirimkan penari, dan pemusik untuk belajar di
Kebangsaan, sesuai kebutuhan masing-masing Indonesia.
kumpulan. Majlis Pusat dalam perkembangannya dekade
Kementrian Pendidikan Singapura setiap 2 sekarang ini, lebih memberikan ruang pada
(dua) tahun sekali mengadakan pertandingan tari kumpulan-kumpulan seni yang menekankan pada
yang diikuti seluruh sekolah rendah, menengah, seni pertunjukan Melayu Singapura. Hal ini dapat
dan mahtab rendah. Pertandingan Singapore Youth dilihat dari struktur organisasi yang
Festival ini, ternyata sangat diminati seluruh mengetengahkan seni Melayu Singapura antara
pelajar Singapura guna memperebutkan anugerah lain:
MAJLIS PUSAT
ARTS & PERFORMANCES SECRETARIAT
Perkembangan Budaya Melayu Singapura Singapura seperti artis, aktor, penari, pemusik,
sutradara, dan tenaga lainnya yang terlibat dalam
Sejarah tari Melayu Singapura sedikit banyak pertunjukan teater Bangsawan. Sutradara Melayu
dipengaruhi oleh industri perfilman yang yang terkenal pada masa itu adalah P.Ramlee,
mengangkat tari Melayu dalam cerita-cerita sejarah mengangkat film Melayu dengan pertunjukan tari
Melayu serantau. Pertunjukan teater Bangsawan, dan lagu Melayu, sebagai citarasa keMelayuan.
banyak terlibat dalam pembuatan perfilman di Pada film-film Melayu yang disutradarai oleh
79
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)
80
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989
81
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)
82
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989
83
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)
dilaksanakan di Singapura maupun di Pekajang, Zapin Bunian, Zapin Johor, Zapin Putar
Indonesia. Alam, dan banyak lagi Zapin yang dikembangkan
di Johor Malaysia.
Ajang festival Zapin juga dilaksanakan oleh
Yayasan Warisan Johor dengan mengundang
sebagian besar peserta dari Indonesia seperti dari
Provinsi Kepulauan Riau dengan Zapin Pulau
Penyengat, Provinsi Riau dengan Zapin Siak,
Provinsi Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,
Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara,
Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan
Gambar 9. Para penari Ristari Zaman Kirana Seni Timur, Kalimatan Selatan, Sulawesi Selatan,
4 April 2009 di Republik Politeknik TRCC Teater Ambon, Ternate, DKI, Jawa Timur, Kalimantan
Singapura Tengah, Sulawesi Selatan, Singapura, dan Brunai
(dokumentasi: Majlis Pusat Singapura) Darussalam.Intrumen gambus untuk mengiringi
tari Zapin yang berkembang di seluruh masyarakat
Tari Melayu yang Berkembang di Negara Melayu serumpun menggunakan Gambus
Serumpun (Indonesia, Malaysia, dan Selodang atau menggunakan gambus Arab atau
U’d.Ciri ciri genre Gambus seperti berikut ini :
Singapura)
1. Tiga hingga empat Marwas (hand-drum)
2. Bentuk musikal terbagi (musical form) dalam
Tari Melayu pada dasarnya mengetengahkan
tiga sekmen;
pada bentuk Senandung atau Langgam, bentuk
a. Introduksi (taksim) melalui permainan
Inang, bentuk Joget, bentuk Zapin dan bentuk
gambus a (ad.Lib)
Silat. Beberapa bentuk tari yang berkembang di
b. Pola marwas bersahut-sahutan (beraksen)
Indonesia, juga dikenal di Singapura, sebagai dasar
menandai atau akhir bait pantun
tari Melayu antara lain Tari Lenggang Patah
(guatrain)
Sembilan, Tari Mainang Pulau Kampai, Tari
c. Syair lagu terdiri dari empat baris
Tanjong Katong, Tari Anak Kala, Tari Gunung
(guatrain)umumnya dinyanyikan dalam
Banang, Tari Serampang 12, Tari Hitam Manis,
bentuk pantun sampiran dan isi.
Tari Mainang Kayangan, Tari Rentak 106 dan
d. Melodi menggunakan ornamentasi khas
lainnya.
Melayu yang disebut Grenek (Musmal,
Tari-tarian ini merupakan tari dasar yang
2010:24-25).
cukup dikenal di Singapura dan di Indonesia
terutama di Sumatera Utara (Medan) tempat tarian-
Keberadaan tari di Malaysia banyak
tarian ini bermula. Tari-tarian ini sangat dikenal di
dipengaruhi dari beberapa daerah Indonesia, hal ini
Singapura pada tahun 60-an, dengan banyak
dapat dilihat dalam maskot tari Malaysia, Negeri
seniman-seniman Tari Melayu dan pemusik-
Perlis dengan tarian Canggung dan Inai; Negeri
pemusik Melayu dari Medan memberikan
Kedah dengan tarian Hadrah, Ayam Didik, Gazal
pembelajaran musik dan tari Melayu di Singapura
Parti, Cinta Sayang; Negeri Perak dengan tari
salah satunya Sauti yang menciptakan Tari
Dabus dan Lenggok; Negeri Pulau Pinang dengan
Serampang 12.
persembahan Chinggay dan Boria; Negeri
Begitu juga keberadaan Tari Zapin yang
Selangor dengan Gendang Silat dan Tarian
berkembang di Johor Malaysia, berawal dari
Bugis;Wilayah Persekutuan dengan persembahan
mempelajari Zapin Riau dan Zapin Siak, lalu
dengan berbagai bentuk repertoar berbagai
berkembang luas di Johor, Malaysia dikarenakan
etnik;Negeri Sembilan dengan tari Rantak Kudo,
Menteri Besar Johor memberi ruang kepada
Piring, dan Tumbuk Kalang; Negeri Malaka
Yayasan Warisan Johor untuk mengembangkan
dengan Dondang Sayang, Ronggeng dan Joget
Zapin di negerinya dan sekarang ini berbicara
Lambak; Negeri Johor dengan Zapin dan Kuda
Zapin di Malaysia tidak lepas peranan dari
Kepang; Negeri Kelantan dengan Persembahan
Yayasan Warisan Johor dengan koreografer On.
Makyong, Dikir Barat dan Menora; Negeri
Rekonstruksi Zapin yang berkembang di Johor
Terengganu persembahan Rodat dan Joget
sekarang ini dapat dilihat dari Zapin Tenglu, Zapin
Gamelan; Negeri Pahang dengan Joget Pahang,
84
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989
dan tarian Labi Labi;Negeri Sabah dengan tarian nantinya tidak sesuai dengan apa yang
Mangilok dan Mangunatip;Negeri Serawak dengan diharapkan dari pihak yang mengundang.
tari Ngajat, Ajat atau Kanjet (Imran, 2011: 81). Menurut sebagaian besar masyarakat di
Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Riau Kepulauan Riau, ketika lagu Betabek
pada setiap acara festival Melayu baik tingkat dimainkan, anak anak muda dan laki-laki
nasional maupun internasional selalu mengundang yang baru menikah dilarang memandang
negara Melayu serumpun Singapura, Malaysia, wajah penari, dikarenakan nantinya akan
Brunai dan Indonesia dalam hal ini Kepulauan tergila-gila dengan penari Joget tersebut lewat
Riau dan Riau, Festival yang pernah mantra mantra yang disampaikan oleh pawang
diselenggarakan seperti: Festival Melayu sedunia atau dukun kelompok Joget tersebut. Mantra
di Pekanbaru Riau, Festival Melayu di Tanjung mantra yang disampaikan akan memberikan
Pinang, Festival Zapin di Tanjung Pinang, Kenduri aura kecantikan dan kemerduan penari dan
Melayu di Batam, Festival Dangkong di Karimun, penyanyi selama pertunjukan berlangsung.
Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang,
Rampai Budaya Melayu di Pelalawan, Festival 2. Lagu Dondang Sayang,
Siak Bermadah di Siak Sri Indrapura, Festival Sri Seluruh penari wanita menarikan dalam
Gemilag di Tembilahan. satu repertoar tari sebagai tari selamat datang,
Festival-festival tari melayu yang dengan rentak langgam atau senandung
diselenggarakan oleh beberapa daerah di Indonesia (lambat)
beberapa kelompok tari dari Singapura selalu
mengikuti antara lain Kirana Seni Majlis Pusat 3. Lagu Serampang Laut,
pertubuhan-pertubuhan Budaya Melayu Singapura Seluruh penari wanita sudah bisa menari
koreografer Norlie Ismail, Sri Warisan dengan dengan pasangan penari putra, dengan syarat
koreografer Som Said, Sriwana dengan koreografer penari putera terlebih dulu membeli karcis
Fauziah Hawai, Era Dance Theatre koreografer sesuai kesepakatan dari pimpinan joget.
Osman Hamid, Aspirasi koreografer Azmi Johari, Rentak dalam lagu Serampang Laut dengan
Dharma koreografer Faturahman Said. bentuk Joget (cepat).
Koreografi kelompok-kelompok tari Melayu
di Singapura kebanyakan karyanya 4. Lagu Patam Patam,
mengetengahkan bentuk joget yang telah Seluruh penari menarikan dengan rentak
dikembangkan. Namun dapat dirasakan joget yang sangat cepat dengan langkah dua.
kebanyakan koreografer pemula di Singapura yang Lagu patam patam sangat berkembang di
berpijak pada konsep Melayu tidak memahami arti Melayu Deli, Medan Sumatera Utara. Setelah
joget yang susungguhnya. Lain halnya dengan itu baru dilakukan dengan selingan lagu lagu
joget yang berkembang di Kepulauan Riau, yang bertempo sedang seperti rentak Inang,
terorganisir dalam suatu kumpulan yang disebut rentak Langgam, rentak Joget, dan rentak
Pasok. Setiap Pasok Joget terdiri dari Pemimpin zapin semuanya sesuai permintaan dari para
Joget yang disebut Wak Joget, dan istri Wak Joget pengunjung dan pengibing.
disebut juga Mak Joget; Panjak Joget terdiri dari 1 Joget yang berkembang di Kapulauan
orang pemukul Tambur, 1 orang Penggesek Biola, Riau adalah: Joget Duara, Joget Sekanak,
1 orang pemukul kecapak; dan penari joget terdiri Joget Tanjung Biru, Joget Teluk Tangku,
dari 4 sampai 10 penari sekaligus sebagai penyanyi Joget Bakong, Joget Posek, Joget Sugi atau
dan berpantun. Dalam pertunjukan Joget biasanya Joget Moro, Joget Tembeling, Joget Mantang
dilakukan beberapa lagu yang memberikan tahapan Arang, Joget Sawang, dan Joget Kasu. Di
proses pertunjukan Joget antara lain : Kabupaten Bengkalis disebut dengan Joget
Bontek, dan di Rupat disebut Joget Hutan. Di
1. Lagu Betabek Kabupaten Indragirihilir disebut dengan Joget
Disebut juga dengan pembuka tanah yang Belaras, Joget Bogong, dan Joget Bontaian.
memberi pesan kepada penonton sebagai Keberadaaan letak geografis Singapura
pemula dalam pertunjukan Joget. Syair yang dengan Provinsi Kepulauan Riau, Malaysia
dilantunkan oleh penyanyi Joget mengandung dan Provinsi Riau, sangat mempengaruhi
makna selamat datang kepada penonton dan keberadaaan dan perkembangan joget, ini
meminta maaf jika dalam pertunjukan Joget dapat dilihat dari tokoh Joget yang terkenal di
85
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)
Riau pada masa lalu bernama Kencong berskala besar seperti: Festival Melayu Serumpun,
berasal dari Moro Kepulauan Riau, adalah Rewang Nak Tari, dan Ristari Zaman.Festival
pemain biola yang terkenal sampai ke Melayu Serumpun salah satu kegiatan yang
Singapura dan Malaysia. Kencong adalah menghadirkan beberapa kelompok tari dari negara
guru dari Dolmat ayah dari Hamzah Dolmat, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, dan
seorang pemain biola terkenal di Singapura Brunai Darussalam.
dan Malaysia. Dolmat berasal dari Mantang Dalam kegiatan ini pihak Majlis Pusat
Arang, kecamatan Bintan Timur Kepulauan memberikan pembelajaran kepada kelompok-
Riau (Kadir, 1994: 2-16). kelompok tari Melayu Singapura untuk melihat
Dalam pengamatan penulis yang telah secara langsung koreografi tari Melayu yang
beberapa kali terlibat dalam Festival Tari berkembang di masing-masing negara, sehingga
Serumpun, festival tari Melayu di Nusantara, hal ini menjadi motivasi untuk kelompok tari
kehadiran delegasi Singapura umumnya karya Melayu Singapura. Majlis Pusat dalam
tarinya masih bersifat tari-tari Melayu yang penyelenggaraan Festival Tari Serumpun dalam
berkembang pada masa lalu, seperti Langgam, manajemen pertunjukan dan fasilatas pertunjukan
Inang, Joget, Zapin dan Silat. Terasa sekali sangat modern, berbeda dengan Indonesia yang
konsep garapan tari Melayu Singapura jauh sekali dalam fasiltas pertunjukannya.
berbeda dengan karya karya tari Melayu masa Pembelajaran yang dapat dihasilkan dalam Festival
kini. Hal serupa juga dirasakan beberapa Melayu Serumpun yang dilaksanakan oleh Majlis
tokoh tari di Singapura. Kelebihan karya tari Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu
Melayu Singapura ada pada busana yang Singapura, merupakan langkah awal untuk
dikenakan yang dibuat begitu semarak dan memberikan wacana baru dalam perkembangan
mewah, namun kadangkala tidak sesuai Tari Melayu dengan kekinian dengan tidak
dengan tema yang diangkat. Hal ini menjadi meninggalkan esensi dari tari melayu pada
inspirasi sebagian seniman tari di Kepulauan umumnya
Riau dan Riau, yang mengikuti jejak seperti
Singapura yang mengandalkan busana Melayu DAFTAR RUJUKAN
lengkap tetapi tidak sesuai dengan tema
garapan. Andalan karya tari Melayu Imran, Mhd. Nefi, 2011, Tari Melayu Malaysia:
Singapura juga pada permainan komposisi Satu Kajian Berdasarkan Festival Tari
pola lantai penari yang sangat Kebangsaan, Kuala Lumpur:Akademi Seni
memperhitungkan ke luar masuk penari, tetapi Budaya dan Warisan Kebangsaan Kementrian
tema dan konsep sebagian besar hanya sebatas Penerangan, Konunikasi dan Kebudayaan.
repertoar dalam rentak Langgam, Inang,
Joget, Zapin, dan Silat. Hal ini disadari Kadir, Mohd. Daut, 1994, Lagu-lagu Joget
sebagian seniman tari di Singapura sangat Tradisional Daerah Riau, Pekanbaru: Dewan
sulit untuk mengatasi hal serupa dikarenakan Kesenian Daerah Riau.
Singapura lebih bersifat modern dengan
segala aspek sehingga bentuk bentuk repertoar Musmal, 2010, Gambus Citra Budaya
masih dalam lingkup tari Melayu Cantik, Melayu,Yogyakarta: Media Kreativa.
sedangkan bentuk, teknik, dan isi, hanya
sebatas yang mereka kenal sekarang ini, dan Sumber Lisan:
makna dari gerak sebagian besar mereka tidak
mengerti hakikat dari tari Melayu itu sendiri. Cekgu Hisam, Pengajar Bahasa Melayu di
Singapura dan Pernah Aktif Sebagai Staf
Kesimpulan Majlis Pusat.
86