Anda di halaman 1dari 94

ISSN: 1858-3989

VOLUME: 3 NO.: 1 MEI 2012

JURNAL SENI TARI


ISSN: 1858-3989
VOLUME: 3 NO.: 1 MEI 2012

JURNAL SENI TARI

Jurnal Joged merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya
seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke
masyarakat luas.

Redaktur menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, format penulisan berada di
halaman belakang. Naskah yang masuk akan disunting format, istilah dan tata cara lainnya.

Pemimpin Umum:
Ketua Jurusan Tari (ex-officio)

Pemimpin Redaksi:
Dr. Sumaryono, MA.

Wakil Pemimpin Redaksi:


Dr. Hendro Martono, M.Sn.

Sekretaris Redaksi:
Dra. Supriyanti, M. Hum.

Staf Redaksi:
1. Drs. Raja Alfirafindra, M.Hum.
2. Bekti Budi Hastuti, SST., M. Sn.

Anggota Redaksi:
1. Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi. SST. SU.
2. Dr. Hersapandi, SST., M.S.
3. Dr. Rina Martiara, M. Hum.
4. Dra. M. Heni Winahyuningsih, M. Hum.
5. Dra. Daruni, M.Hum.
6. Dra. Budi Astuti, M.Hum.
7. Dra. Siti Sularini

Desain Sampul:
Dr. Hendro Martono, M.Sn.

Alamat Redaksi dan Penerbit:


Jurusan Tari Fak. Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, Jl. Parangtritis km 6,5 Yogyakarta 55188
Telp. 08121561257

Naskah dapat dikirim melalui salah satu alamat email di bawah ini:
Email: hersapandi@yahoo.com, priyantitari@yahoo.com, mar_yono@yahoo.co.id

Dicetak oleh:
Multi Grafindo, Ruko Perumahan Candi Gebang Permai I/4 Sleman Yogyakarta 55584,
Telp. (0274) 7499863, Fax.( 0274)888027
Email: admin@multigrafindo.com

Apabila mengutip atau menyalin naskah yang terdapat dalam jurnal ini, maka harus ada ijin dari penulis langsung atau
mencantumkan dalam referensi sesuai dengan tata tulis akademis yang berlaku.
Iklan yang berhubungan dengan pengetahuan dan penciptaan seni dapat dimuat di jurnal ini.

iii
ISSN: 1858-3989
VOLUME: 3 NO.: 1 MEI 2012

JURNAL SENI TARI

Judul Tulisan Nama Penulis Halaman

Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Supriyanto 1-16
Mataram

Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap Pembentukan Kuswarsantyo 17-23


Karakter Anak

Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung Dr. Hersapandi,Sst., Ms. 24-35

Reog Obyogan Sebagai Profesi Hendro Martono 36-48

Tari Gandrung Terob Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Rina Martiara dan Arie 49-56
Banyuwangi Yulia Wijaya

Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Sarjiwo 57-69
Karakteristik Pocapan

Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo Sebuah Kajian Surojo 70-77
Gaya Wayang Wong Pedesaan

Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Raja Alfirafindra 78-86


Singapura dalam Festival Tari Serumpun

v
Petunjuk Penulisan
ISSN: 1858-3989

PETUNJUK UMUM BAGI PENULIS


1. Terbit 2x setahun (Mei dan November) 14. Kutipan lebih dari empat baris diketik dengan
2. Penulis artikel: satu, dua atau tiga penulis spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipan
(maksimal). kurang dari empat baris dituliskan sebagai
3. Mahasiswa dikenakan beaya terbit Rp. sambungan kalimat dan dimasukkan dalam
150.000,00 (sekali terbit) teks memakai tanda petik.
4. Bagi penulis umum beaya penerbitan Rp. 15. Daftar Pustaka diurut secara alfabetis dengan
300.000,00 dan bagi pelanggan Rp. nama belakang lebih dulu baik untuk nama
200.000,00 penulis Indonesia maupun dari luar negeri.
5. Semua penulis mendapat bukti penerbitan 4 Daftar Pustaka hanya memuat literatur yang
eksemplar dirujuk di dalam naskah saja. Penulisan
6. Harga satuan Jurnal Rp. 30.000,00 per- referensi sebagai contoh berikut: nama
eksemplar belakang penulis, tahun terbit, diikuti dengan
7. Beaya langganan untuk satu tahun dengan 2x judul buku dicetak miring dan judul artikel
penerbitan Rp. 50.000,00. ditulis di dalam tanda petik diikuti dengan
8. Artikel yang dimuat merupakan hasil judul jurnal atau majalah atau judul buku
penelitian/pemikiran atau perancangan seni. bunga rampai yang dicetak miring, baru nama
9. Artikel bersifat ilmiah dengan dukungan kota penerbit, dan terakhir nama penerbitnya.
sumber-sumber pustaka, dan diskografi bila Lihat contoh di bawah ini:
diperlukan. Kutipan dengan sistem catatan
perut. Catatan kaki bisa ditambahkan Book, Peter. 2003. Percikan Pemikiran
bilamana perlu. tentang Teater, Film, dan Opera.
10 . Artikel terdiri 15 s/d 20 halaman kwarto, satu Terjemahan: Max Arif n. Jakarta:
setengah spasi, huruf Times New Roman font MSPI.
12 dengan lampiran biodata penulis.
11. Menyerahkan soft dan hard copy, abstrak K.M., Saini. 2002. Kaleidoskop Teater
bahasa Indonesia dan Inggris. Indonesia. Bandung: STSI Press.
12. Artikel belum pernah dimuat di media cetak
apapun. Leahy, Louis. 2005 . “Sains dan Pencarian
13. Sistematika penulisan artikel ilmiah: Makna”. Diskursus Jurnal Filsafat
Pendahuluan yang di dalamnya mencakup dan Teologi. Vol. 4 No. 1, April.
uraian Latar Belakang Masalah,
Permasalahan, Kerangka Pemikiran/Landasan Wartika, Enok. 2004. Proses Tradisi Lisan
Teori, Metode Penelitian, Tujuan Penelitian dalam Melestarikan Legenda dan
yang ditulis bukan sebagai sub judul Mitos Situ Lengkong Panjalu
tersendiri; Isi berupa Pembahasan yang Ciamis. Tesis Program Studi Ilmu
bersifat analitis-kritis dan telaah; Penutup Sosial Bidang Kajian Komunikasi.
yang mengemukakan jawaban atas Bandung: Pascasarjana Universitas
permasalahan yang dijadikan fokus kajian; Padjadjaran.
Catatan Akhir; dan terakhir Daftar Pustaka.

vii
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 1-16

TARI KLANA ALUS SRI SUWELA GAYA YOGYAKARTA


PERSPEKTIF JOGED MATARAM
Oleh: Supriyanto
Dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

ABSTRAK
Tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta yang dikenal sampai sekarang ini merupakan tipe tari
putra dengan karakter halus, dan hal ini dapat dilihat dari volume gerak serta visualisasi karakternya. Tari
Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta merupakan salah satu dari beberapa bentuk tari yang bersumber dari
wayang wong di Keraton Yogyakarta. Tari ini menggambarkan seorang raja atau kesatria yang sedang jatuh
cinta kepada seorang wanita yang menjadi kekasihnya. Di dalam adegan jejeran wayang wong lakon Sri
Suwela di Keraton Yogyakarta terdapat komposisi tari nglana, kemudian dilepas tersendiri menjadi bentuk
tari tunggal.
Penulisan ini untuk mengetahui pengaruh wayang wong di Keraton Yogyakarta terhadap tari Klana Sri
Suwela, dan membahas penerapan konsep jogèd Mataram dalam tari Klana Sri Suwela. Penulisan ini
menggunakan dua pendekatan yang melatarbelakanginya, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan
konstektual. Secara tekstual pemberlakuan tari berkaitan dengan bentuk, struktur, dan gaya tarinya. Secara
kontekstual pemberlakuan tari sebagai teks kebudayaan, dapat ditelaah melalui kedudukannya di masa
sekarang kaitannya dengan catatan yang ada di masa lampau.
Pencermatan tari Klana Alus Sri Suwela melibatkan unsur-unsur yang mendasari penjelasan tentang
konsep tari Jawa gaya Yogyakarta. Unsur- unsur wiraga, wirama, dan wirasa merupakan unsur-unsur yang
sangat penting dalam menjelaskan konsep tari Jawa. Di dalam pelaksanaan menari unsur wiraga, wirama,
dan wirasa harus dibekali suatu ilmu yang disebut jogèd Mataram. Jogèd Mataram sekarang ini dikenal
dengan konsep jogèd Mataram, terdiri dari empat unsur yaitu, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.
Bentuk dan struktur tari mengacu pada tata hubungan dalam struktur tari, sistem pelaksanaan teknik dan cara
bergerak dalam bagian-bagian tubuh penari sebagai perwujudan tari yang utuh.

Kata Kunci: Konsep Joged Mataram

ABSTRACT
The Yogyakarta style of Klana Alus Sri Suwela dance is recognized the refined male character dances
which can be observed through the movement volume and its character visualization. The Yogyanese style
of Klana Alus Sri Suwela dance is one of several dances which were based on Wayang Wong in Yogyakarta
Palace. The dance illustrates a king who falling in love with his beloved woman. In the jejeran scene of
wayang wong episode in Sri Suwela in Yogyakarta Palace, there is a nglana dance composition, which later
being performed separately to a solo dance.
The object of the study is to find the influence of Yogyakarta Palace’s Wayang Wong on Klana Alus Sri
Suwela dance, and discussing the application of jogèd Mataram concept in Klana Alus Sri Suwela dance.
The study used textual and contextual approach. In textual approach, the conduct of the dance is being
studied concerning the type, structure, and style of the dance. In contextual approach, the dance taken as a
cultural reading is being studied in its present position in relation with the past documentation.
Klana Alus Sri Suwela dance is a Javanese dance; therefore the observation on the dance concerns the
elements which become the basic in describing the concept of Yogyakarta style of Javanese dance. Wiraga,
wirama, and wirasa are important elements in describing Javanese dance concept. In the dance performing,
those elements must be supported by a skill known as jogèd Mataram. Jogèd Mataram, which is now being
recognized as jogèd Mataram concept, consists of four elements, sawiji, greged, sengguh, and ora mingkuh.
The form and structure of dance are referring to the relationship in dancing structure, dancing technique
and how the movements of the dancer's body as a realization of the whole of dance. Accordingly, the tri wira
(wiraga, wirama, wirasa) concept serves as the technique and outline, and the jogèd Mataram serve as the

1
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

content. Therefore, in order to perform a dance and play the role well, a dancer should master the three
elements of the tri wira concept infused by jogèd Mataram concept.

I. Latar Belakang Masalah gaya Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman


dengan gaya Pakualaman.
Beberapa bentuk tari tradisi gaya Robert Redfield membedakan
Yogyakarta, yang sampai dewasa ini kebudayaan menjadi dua, yaitu tradisi besar
mendapat pemeliharaan cukup baik di dan tradisi kecil. Ungkapan ini untuk
lingkungan istana maupun di luar istana menyebut kebudayaan tinggi dan kebudayaan
Yogyakarta adalah wayang wong gaya rendah, atau kebudayaan klasik dan rakyat.
Yogyakarta. Bentuk penyajian yang lain dapat Tradisi besar secara sadar diolah dan
disebut antara lain beksan Lawung, Guntur diwariskan di dalam istana, sedangkan tradisi
Segara, Eteng, beberapa genre Bedaya dan kecil sebagian besar diterima sebagaimana
Srimpi. Hampir semua jenis penyajian di atas apa adanya dan tidak terlalu cermat
merupakan cabang-cabang seni pertunjukan dipertimbangkan pembaharuannya. Kedua
yang hidup dan berkembang di lingkungan tradisi itu saling ketergantungan, tradisi besar
istana Yogyakarta (Edi Sedyawati, 1981:1). dan kecil dipikirkan sebagai dua aliran pikiran
Lingkungan istana merupakan salah satu atau tindakan yang bisa dibedakan, namun
faktor yang cukup kuat untuk mempengaruhi saling mempengaruhi pada yang lain (Robert
bentuk-bentuk keseniannya. Oleh sebab itu, Redfield, 1985:57-59). Tari Klana gaya
keberadaan kesenian dan perkembangan Yogyakarta dapat dikatakan sebagai refleksi
selalu terikat adat dan norma-norma dari dari konsep di atas. Tari Klana memang lahir
lingkungan istana itu sendiri. Hal itulah yang di dalam istana, tetapi berkembang di luar
menjadikan tari tradisi istana selalu dipegang tembok istana, dan mendapat perkembangan
kuat, baik dalam penggarapan pola-pola tari tari yang lain seperti tari tlèdhèk yang terdapat
yang lahir kemudian di lingkungan istana pada vokabuler gerak tlèdhèkan pada irama
maupun bentuk-bentuk tari yang lahir di luar tiga gending pengiringnya.
istana tetapi mengacu pada gaya istana. Tari Klana Alus Sri Suwela gaya
Perumusannya menjadi begitu melekat dengan Yogyakarta yang dikenal sampai sekarang ini
pola-pola baku yang mendasari struktur dan merupakan tipe tari putra dengan karakter
bentuk gerak yang berorientasi pada ciri-ciri halus. Penyebutan yang demikian ini, dapat
kraton sentris (R.M. Wisnoe Wardhana, dilihat dari volume gerak dan visualisasi
1981:36). karakternya. Soedarsono menjelaskan tentang
Tari Klana adalah salah satu bentuk seni Klana sebagai berikut:
tunggal putra yang terdapat di istana-istana
Jawa, dalam hal ini Kasultanan Yogyakarta, “Komposisi tari putra tunggal, gaya
Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, dan Surakarta dan gaya Yogyakarta yang
Pura Pakualaman. Telah diketahui bahwa, menggambarkan seorang kesatria sedang
keempat kerajaan itu bermula dari satu jatuh cinta” (R.M. Soedarsono, 1977-
sumber yaitu kerajaan Mataram. Karena 1978:93).
adanya intrik politik pada waktu penjajahan
Belanda, Kerajaan Mataram terpecah menjadi Mengacu pada pendapat tersebut,
empat. Empat istana tersebut semuanya komposisi tari ini penuh dengan gerak yang
mempunyai bentuk tari Klana. Bentuk tari menggambarkan seorang pria yang sedang
Klana dari masing-masing istana memiliki ciri berdandan, merayu kekasihnya yang seolah-
sendiri-sendiri, baik pada gaya, kualitas gerak olah berada di hadapannya dan sebagainya.
maupun pembentukannya (masing-masing Tari ini dapat ditarikan dengan tipe tari putra
istana memiliki gaya tari yang berlainan). halus atau gagah, dapat pula bertopeng atau
Kasultanan Yogyakarta disebut gaya tidak memakai topeng. Dalam penjelasan
Yogyakarta, Kasunanan Surakarta disebut yang terinci, Soedarsono menjelaskan tentang
gaya Surakarta, Pura Mangkunegara dengan tipe Klana Alus sebagai berikut:

2
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

“Jenis tari Klana Alus yang ditarikan hal yang memberi ciri perbedaan wayang
dengan tipe tari putra halus gaya wong Kraton Yogyakarta dengan wayang
Yogyakarta, menggambarkan seorang wong komersial adalah, segi formalitas
kesatria sabrangan (seberang) yang penyajiannya, pada aspek tari, busana, skala
sedang jatuh cinta” (Soedarsono 1977- pertunjukan, dan struktur dramatik yang
1978:94). mendekati pada pertunjukan wayang kulit
(Lindsay, 1991:89). Sampai dengan
Sesuai dengan pandangan di atas, maka pandangan ini, suatu pengantar dari sebuah
visualisasi tokoh pada tipe tari Klana Alus pertunjukan wayang wong di Kraton
merupakan penggambaran keagungan seorang Yogyakarta diharapkan mampu memperjelas
raja atau kesatria dari negeri seberang yang terbentuknya tari Klana Alus Sri Suwela gaya
bersumber pada cerita epos Mahabarata. Figur Yogyakarta.
raja adalah manifestasi penguasaan mayapada Wayang wong gaya Yogyakarta
dan alam astral yang hadir. Sebutan Klana diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana
adalah tokoh besar pengelana yang datang I (1756–1796) dan mengalami era keemasan
dari luar, yang dapat berkonotasi pada pada masa pemerintahan Sri Sultan
manusia, bercita-cita tinggi/kadang-kadang Hamengku Buwana VIII (1921–1939). Pada
berasosiasi pada romantisme, suatu masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII
kegandrungan, yang tidak mesti bersifat erotis hampir setiap pertunjukan wayang wong
atau cenderung seksi, melainkan pada memakan waktu berhari-hari. Pertunjukan
idealisme yang estetis (Wisnoe Wardhana, yang diselenggarakan di Tratag Bangsal
1981:36). Kencana dari pagi hari sampai sore hari. Salah
Tari Klana Alus Sri Suwela bersumber satu pertunjukan wayang wong dengan durasi
pada wayang wong di Kraton Yogyakarta. waktu agak panjang terjadi di tahun 1923,
Wayang wong secara umum sebagai yakni mengetengahkan cerita Jaya Semedi
dramatari yang berarti pertunjukan wayang kemudian dilanjutkan dengan cerita Sri
yang ditarikan oleh aktor manusia (Jeennifer Suwela. Pertunjukan ini memakan waktu
Lindsay, 1991:897). Istilah wayang wong dari empat hari, dari tanggal 3 sampai 6 September
segi genre dapat mengacu pada semua 1923 (Soedarsono, 2000:19). Cerita Sri
dramatari, tetapi kini biasanya khusus Suwela merupakan cerita carangan dari
dramatari tanpa topeng yang bersumber dari wiracarita Mahabarata. Cerita ini
wiracarita Ramayana dan Mahabarata, dengan menggambarkan tentang Dewi Pertalawati,
dialog di dalamnya dibawakan sendiri oleh istri Werkudara yang mencari suaminya
para penari dan mengikuti rancangan dengan menyamar sebagai seorang raja
pertunjukan wayang kulit. Soedarsono tampan dari negeri Parangretna bernama Sri
menyebutkan bahwa wayang wong Suwela. Di dalam penyamarannya Sri Suwela
merupakan sebuah genre tari yang dapat ingin meminang Werkudara atau Bima,
dikategorikan sebagai pertunjukan total (total seorang kesatria gagah perkasa yang dianggap
theatre) yang di dalamnya tercakup seni tari, seorang putri sangat cantik dengan sebutan
seni drama, seni sastra, seni musik, dan seni Mas Ayu Werkudara. Hal ini merupakan
rupa (Soedarsono, 2003:3). suatu yang tidak wajar, maka lamaran Sri
Mengacu pandangan di atas, istilah Suwela ditolak oleh raja Amarta Prabu
wayang wong dapat ditunjukkan pada dua Puntadewa. Terjadilah peperangan, para
jenis wayang wong yang sampai sekarang Pandawa tidak ada yang dapat mengalahkan
hidup, yakni wayang wong hiburan yang Sri Suwela. Setelah melihat Prabu Kresna raja
komersial dan wayang wong Kraton dari Dwarawati membawa senjata Cakra, Sri
Yogyakarta. Wayang hiburan yang komersial Suwela menjadi lemas dan akhirnya berubah
hidup dan berkembang di Surakarta seperti ke wujud aslinya yaitu Dewi Pertalawati.
wayang wong Sriwedari. Adapun wayang Tari Klana Sri Suwela, bersumber pada
wong Kraton Yogyakarta hidup dan wayang wong gaya Yogyakarta dengan lakon
berkembang di Kraton Yogyakarta dan di Sri Suwela. Dalam salah satu adegan jejeran
beberapa organisasi tari atau sanggar tari wayang wong Sri Suwela ini terdapat bentuk
besar di lingkungan Kraton Yogyakarta. Satu tari Klana Alus Sri Suwela. Bentuk tarinya

3
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

masih sangat lengkap, yang memuat unsur- II. Dasar Konsep Joged Mataram
unsur kandha, pocapan, dan ngrungruman
(Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgit A. Tiga Unsur Tari
Tiyang Lampahan Sri Suwela, 1923). Bentuk
tari Klana dalam adegan jejeran wayang wong Tari adalah suatu bentuk pernyataan
itulah kemudian diambil dijadikan bentuk tari imajinatif yang tertuang melalui kesatuan
tunggal dengan nama tari Klana Alus Sri simbol-simbol gerak, ruang, dan waktu
Suwela. Setelah menjadi bentuk tari tunggal (Bambang Pudjasworo, 1982:61). Tari
ada perubahan-perubahan yang terjadi antara dalam perwujudannya senantiasa harus
lain unsur-unsur kandha, pocapan, dan dihayati sebagai bentuk kemanunggalan
ngrungruman sudah tidak dikemukakan lagi. dari suatu pola imajinatif gerak, ruang,
Informasi tentang latar belakang dan waktu yang dapat dilihat dengan
terbentuknya tari Klana Alus gaya Yogyakarta kasat mata. Bentuk kemanunggalan
menyebutkan bahwa tokoh Sri Suwela antara pola imajinatif dengan pola kasat
merupakan sosok raja besar yang mengilhami mata itu dapat dikatakan bahwa tari
karakter tari Klana Alus gaya Yogyakarta. Di merupakan suatu bentuk pernyataan
samping itu, bentuk-bentuk kandha, pocapan, ekspresi (jiwani), bentuk pernyataan
dan ngrungruman yang sudah tidak ilusi, dan sekaligus merupakan bentuk
diketemukan pada bentuk tari Klana Alus pernyataan rasional manusia. Gerak,
sekarang, lebih merupakan penerjemahan ruang, dan waktu dihadirkan sebagai
yang digantikan dalam bentuk simbol gerak. sebuah satu kesatuan yang utuh yang
Komposisi gerak (sekaran) akan dapat mewakilinya.
membuktikan kesejajaran pada bentuk tari Konsep dasar dalam tari secara
Klana Alus Sri Suwela mampu mempengaruhi universal adalah gerak, ruang, dan waktu.
bentuk tari Klana Alus gaya Yogyakarta Tari Jawa gaya Yogyakarta juga
dewasa ini (Wisnoe Wardhana, 1981:79). mempunyai konsep dasar yang relatif
Berkenaan dengan cerita (lakon) Sri universal pula. Perlu diungkapkan
Suwela dalam wayang wong di Kraton pernyataan salah satu tokoh tari gaya
Yogyakarta, maka kehadiran tokoh Sri Suwela Yogyakarta, yakni B.P.H.
dalam pertunjukan wayang wong mempunyai Suryodiningrat. Dalam salah satu
keistimewaan tertentu. Seorang yang akan uraiannya dinyatakan:
memerankan tokoh Sri Suwela harus
menguasai teknik gerak tari putra halus dan Ingkang dipoen wastani djogèt
tari putri. Selain itu karakternya sebagai punika ébahing sadaja
seorang raja yang agung tetapi memiliki sifat sarandoening badan, kasarengan
keputri-putrian. Peneliti sangat tergoda untuk oengeling gangsa, katata pikantoek
mengkaji lebih jauh tentang Klana Alus Sri wiramaning gendhing,
Suwela hubungannya dengan wayang wong djoemboehing pasemoen, kaliyan
Yogyakarta dan sebagai tari tunggal. Hal yang pikadjenging djogèt.
penting mendasari pemahaman peneliti adalah
melihat proses identifikasi diri Dewi (yang dimaksud tari adalah gerak
Pertalawati sebagai tokoh Sri Suwela raja seluruh anggota badan, yang diiringi
seberang dari negeri Parangretna dalam sajian dengan musik (gamelan)
pertunjukan wayang orang di kraton dikoordinasikan menurut irama
Yogyakarta, telah mengalami perubahan- gamelan, kesesuaian dengan sifat
perubahan dalam proses perilaku sebagai tari pembawaan tari serta maksud
tunggal, termasuk pemerannya. tarinya (B.P.H. Suryodiningrat,
1934:3).

Menurut batasan tari di atas, maka


secara konsepsional yang dimaksud tari
(tari Jawa), senantiasa harus berpijak

4
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

pada tiga aspek pokok ialah wiraga, kaidah tidak baku atau pathokan
wirama, dan wirasa. Wiraga adalah tidak baku yang nanti akan
konsep gerak, wirama merupakan konsep dijelaskan secara rinci di bagian
irama, dan wirasa adalah konsep berikutnya.
penjiwaan. Konsep wiraga, wirama, dan Wiraga dalam tari Klana Alus
wirasa (3 w) masih terdapat lagi konsep Sri Suwela gaya Yogyakarta pada
yang lebih berupa aturan-aturan dan prinsipnya tetap mengacu pada
kaidah yang terangkum dalam pathokan aturan atau pathokan tari putra alus
baku dan pathokan tidak baku. gaya Yogyakarta. Pelaksanaannya
dalam sebuah tari Klana dapat
1. Wiraga dibedakan menjadi 3 bagian. Bagian
Wiraga adalah seluruh aspek pertama maju gendhing merupakan
gerak tari, baik berupa sikap gerak, bagian yang memiliki kesan agung,
pengulangan tenaga serta proses dan berwibawa. Wiraga yang
gerak yang dilakukan penari, dimaksud pada bagian ini ialah
maupun seluruh kesatuan unsur dan ragam gerak tari yang dipakai penuh
motif gerak (ragam gerak) tari yang dengan kekuatan, ketegasan, dan
terdapat di dalam suatu tari. Wiraga kedinamisan. Di bagaian kedua pada
merupakan konsep gerak dalam tari muryani busana memiliki kesan
gaya Yogyakarta. Konsep wiraga ini prenèsan, sengsem, keceriaan,
ada beberapa kaidah atau aturan kegembiraan, dan percaya diri.
yang harus betul-betul dipatuhi oleh Wiraga di bagian ini apabila
penari dalam melakukan gerak tari. dikaitkan dengan ragam gerak tari
Hal ini dikarenakan di dalam tari penuh dengan daya pikat atau daya
gaya Yogyakarta ada faham benar tarik kelembutan, penuh tekanan,
dan salah yang diukur dengan keluwesan, kelenturan, dan
kemampuan penari dalam kedinamisan. Oleh sebab itu dalam
menerapkan kaidah-kaidah atau sekaran muryani busana banyak
aturan-aturan yang ada. Hal ini wiraga tari putri gaya Yogyakarta
bertolak belakang dengan sisi dipakai dalam tari Klana Alus Sri
batinnya tari gaya Yogyakarta, Suwela. Contoh nglèrèg, kicat
karena faham yang ada adalah sudah ridhong, usap suryan, kicat ulap-
mampu dan belum mampu atau ulap, kicat tawing, kengser,
sudah bisa dan belum bisa. lèmbèhan asta, dan lain-lain.
Keindahan dari sebuah tari Wiraga tari putri tersebut telah
hanya dapat dipandang ketika tari itu mengalami distorsi dan stilisasi
ditarikan atau saat tarian itu sehingga diterapkan di dalam tari
berlangsung lewat penarinya. putra alus tetap kelihatan wiraga tari
Keindahan itu dapat dipandang dari putra alus. Penerapatan wiraga tari
dua aspek yang saling terkait yaitu putri dalam muryani busana
pelaku atau penari dengan desain merupakan pengaruh tari Tledhek
geraknya. Keindahan dari seorang dari tradisi kerakyatan. Berbagai
penari dapat dikatakan indah apabila ragam tari putri yang diterapkan
seorang penari secara optimal telah dalam tari Klana Alus Sri Suwela
mampu menerapkan kaidah-kaidah ialah nglèrèk, srimpet nglawé,
atau aturan-aturan yang ada. Kaidah- lampah sekar, lèmbèhan kicat, kicat
kaidah yang ada merupakan ridhong, ulap-ulap kicat, ukel
landasan utama dalam teknik tari tawing kicat, usap suryan kicat,
gaya Yogyakarta. Kaidah-kaidah pacak gulu trap tawing dan lain-
atau aturan-aturan dalam tari klasik lain. Oleh karena itu penari Klana
gaya Yogyakarta dapat Alus Sri Suwela yang baik harus
dikelompokkan menjadi dua, yaitu menguasai wiraga tari putra alus dan
kaidah baku atau pathokan baku dan wiraga tari putri gaya Yogyakarta.

5
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

2. Wirama kelipatan empat atau delapan.


Wirama di sini menyangkut Sesuai dengan tradisi tari dalam
pengertian tentang irama gending, tari Jawa baik gaya Yogyakarta
irama gerak, dan ritme gerak. maupun gaya Surakarta. Untuk
Seluruh gerak (wiraga) harus memudahkan hitungan gending
senantiasa dilakukan selaras dengan kaitannya dengan hitungan
wiramanya (ketukan-ketukan gerak tari maka digunakan
hitungan tarinya, kecepatan pukulan ketentuan hitungan satu sampai
balungan suatu gending, dan suasana delapan (1-8).
gendingnya). Unsur wirama ini b). Kepekaan irama dalam
selanjutnya akan mengatur irama hubungannya dengan gerak,
yang harus dimiliki oleh seorang yaitu ketajaman rasa untuk
penari. Tari Klana Alus Sri Suwela dapat mengorganisasi anggota
menggunakan musik gendhing tubuh dengan tempo, seperti
ladrang Sumyar laras pelog pathet yang dihasilkan oleh musik.
barang. Untuk menumbuhkan kesan Keteraturan dalam bergerak
agung dan berwibawa menggunakan akan menghasilkan kesan gerak
irama dua yang satu gongnya yang mengalir (mbanyu mili).
apabila dikaitkan dengan hitungan Seorang penari harus terlebih
tari ada tigapuluh tiga hitungan. dulu menguasai irama gerak
Irama ini digunakan pada saat maju yang disesuaikan dengan tempo
gendhing dan mundur gendhing. yang ditimbulkan oleh gending
Pada waktu muryani busana yang pengiringnya.
menunjukkan kegembiraan c). Kepekaan terhadap irama
digunakan irama satu atau lancar hubungannya dengan
apabila dikaitkan dengan hitungan kemampuan penari
tari satu gongnya ada 16 hitungan. mengorganisasikan tubuhnya,
Ada tiga aspek kepekaan dalam untuk digerakkan sesuai dengan
wirama yaitu: kaidah-kaidah dan motif gerak
yang ada. Kepekaan ini
a). Kepekaan irama gending menuntut adanya ketajaman
Gending dalam konteks rasa dalam mengambil jarak
sebagai musik tari merupakan antara anggota tubuh. Kaidah-
unsur yang sangat penting dan kaidah yang ada, dimaksudkan
cenderung mendominasi. untuk mendapatkan suatu
Gending sangat berpengaruh pertunjukan tari yang
sekali dalam pembangun dibawakan penarinya dengan
pembentuk karakter tari. Penari kesan pantes, luwes, resik,
harus mempunyai kepekaan dan mungguh, dan mrabu.
ketajaman untuk dapat selaras Pantes adalah serasi,
dengan irama gending sebagai sesuai dengan proposi. Ada dua
musik tarinya. Penari harus kriteria untuk dapat disebut
dapat mengikuti dinamika yang pantes dalam tari putra halus
dihasilkan oleh gending gaya Yogyakarta. Pertama,
pengiringnya. Ada beberapa pantes dalam tari putra halus
bagian pada gending yang harus gaya Yogyakarta sangat terkait
diketahui oleh seorang penari, dengan kemampuan penari.
pada bagian ini biasanya Terkait dengan adanya istilah
sebagai pathokan untuk dimulai pantes dan sebagainya di
dan diakhirinya sebuah motif keraton Yogyakarta terdapat
gerak. Titik-titik tekanan itu istilah penari wiraga dadi.
adalah kenong, kempul, kethuk Istilah itu untuk menyebut
dan gong. Hitungan merupakan penari yang dianggap terampil.

6
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Pada tingkatan ini penari diberi dengan baik dan mempunyai


kebebasan untuk menyimpang kepekaan akan rasa gending,
dari pathokan-pathokan baku irama dan gerak yang telah
gaya Yogyakarta untuk dijelaskan sebelumnya.
kemudian disesuaikan dengan Mungguh adalah kesan yang
interpretasinya. Hal ini didapatkan dari seorang penari
dilakukan oleh seorang penari yang membawakan tariannya
untuk mendapatkan kesan (perannya) dengan penuh
pantes. Kedua, pantes dikaitkan penghayatan. Bagi penari yang
dengan karakter yang sudah tidak berfikir tentang
diperankan atau dibawakan. teknik tari atau hafalan, maka
Perwatakan tari gaya penari akan dapat lebih
Yogyakarta dikenal dengan konsentrasi pada penghayatan
istilah wanda, yang diambil karakter geraknya dan pada
dari peristilahan wayang kulit, giliranya dapat meningkatkan
yang berarti bentuk raut muka rasa percaya diri. Mungguh
dan bentuk tubuh yang juga dapat berarti penari dapat
menggambarkan dengan tepat dan cermat
perwatakan/karakter tertentu. membawakan perannya atau
Kaitannya dengan pantes tariannya.
adalah pemeranan penari Mrabu adalah kesan
berdasarkan kesesuaian bentuk berwibawa, agung, dan
tubuh dan karakter penari berkarisma. Kesan seperti itu
dengan wanda peran yang akan sifatnya agak khusus, karena
dibawakan. Ketrampilan tidak semua peran dapat
menjadi kurang penting karena mengisyaratkan kesan ini.
yang dipentingkan adalah Kesan ini hanya dapat diperoleh
kesesuaian bentuk tubuh dari peran/tokoh yang relatif
dengan raut muka penari baik, misalnya seorang raja,
dengan wanda wayang yang seperti tari Klana Alus Sri
akan dibawakan. Suwela gaya Yogyakarta yang
Luwes adalah suatu sifat mengisahkan seorang Raja
pembawaan yang tidak mudah Parang Retna yang sedang jatuh
diajarkan. Penari dapat cinta. Banyaknya tuntutan
dikatakan luwes apabila dalam dalam aspek teknik dan
menari ia nampak wajar, tidak penjiwaan dalam tari klasik
kaku, geraknya enak dilihat, gaya Yogyakarta, untuk dapat
lancar, mengalir sesuai dengan tampil dengan sempurna dalam
irama gamelan, tidak ada kesan sebuah pertunjukan dibutuhkan
dipaksakan, geraknya serius seorang penari yang
dan sungguh-sungguh tetapi mempunyai kemampuan teknik
tidak kelihatan tegang. Resik dan penguasaan karakter yang
adalah bisa diartikan bersih. baik.
Untuk mendapatkan kesan
bersih, seorang penari harus 3. Wirasa
selalu mengontrol dengan Wirasa adalah hal lain banyak
cermat pada setiap geraknya. bersangkut paut dengan masalah isi
Gerakan harus dilakukan dari suatu tari. Masalah isi selalu
dengan rinci, dan cermat serta banyak berhubungan dengan
mengetahui kaidah-kaidah yang pengertian-pengertian yang terdapat
berlaku, hasil ini bisa dalam jogèd Mataram untuk tari
didapatkan bila seorang penari gaya Yogyakarta dan Hasta
sudah mengetahui teknik tari Sawanda untuk tari gaya Surakarta.

7
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

Pada dasarnya penerapan wiraga Jeng sultan tindak saksana,


dan wirama tarinya harus selalu Kulup mèluwa mami,
mengingat akan arti, maksud, dan Tumut manjing prabayasa,
tujuan dari tarian tersebut, sehingga Mangalèring jamban prapti,
seorang penari akan tampil dengan Payu lekasa kedhik,
penjiwaan secara utuh yang sawiji, Nembang sigra beksanipun,
greged, sengguh, dan ora mingkuh. Lagyantuk tigang gongan,
Wirasa merupakan aspek penjiwaan Ya uwis iku nak mami,
dalam tari gaya Yogyakarta. Aspek Isih wutuh iya beksanmu
penjiwaan ini tidak terlepas dari mataram,
wiraga, wirama, wirasa yang
nantinya akan terakumulasikan Aja murukaken sira,
menjadi satu konsep yang disebut Ing beksa mataram iki,
jogèd Mataram yang terdiri dari Tur sembah Tirtakusuma,
sawiji, greged, sengguh, dan ora Putra dalem Sri Bupati,
mingkuh. Semula konsep jogèd Kados paduka meling,
Mataram disampaikan secara lisan Arungit mèsem ngendika,
oleh guru tari ketika mengajarkan Iya pada lawan mami,
tari. Konsep jogèd Mataram mulai Sareng mijil Sultan lan
tersebar kepada masyarakat para Tirtakusuma
penari semenjak tari gaya (Soedarsono, 2000:109).
Yogyakarta dapat keluar dari
tembok istana, yaitu semenjak (Sri Sultan bersabda,
berdirinya organisasi tari Kridha Putraku Tirtakusuma,
Beksa Wirama (K.B.W.) pada tahun Itu tarimu madura,
1918. Konsep jogèd Mataram ini Ia kurang galak sedikit,
dipopulerkan oleh G.B.P.H. Tarimu mataram,
Soeryobronto, seorang pangeran dan Apa telah kau miliki,
penari andal Keraton Yogyakarta. Menjawab Tirtakusuma,
Konsep jogèd Mataram sekarang Ya putra baginda raja,
telah sangat memasyarakat di Yang mengajak hamba tidak
komunitas tari. Sungguhpun, pada tahu benar tidaknya,
awalnya konsep ini merupakan
sesuatu yang rahasia, yang tidak Sri sultan berjalan cepat,
boleh diajarkan kepada sembarang Putraku ikutilah saya,
orang dan hanya yang boleh Ikut masuk ke prabayasa,
diajarkan kepada penari yang telah Ke utara smapai ke
dipandang oleh guru menguasai permandian,
tentang seni kebatinan. Hal ini Marilah cepat sedikit,
tersurat dalam tembang sinom yang Menyanyi segera menari,
terdapat dalam Babad Prayud, Baru dapat tiga gongan,
sebagai berikut: Ya sudahlah itu putraku,
Masih utuh tarianmu mataram.
Jeng sultan malih ngendika,
Kulup Tirtakusumèki, Janganlah kau mengajarkan,
Iku beksanmu madura, Tirtakusuma ini,
Iya kurang sereng kedhik, Bersembahlah Tirtakusuma,
Beksanira mentawis, Putranda Sri Bupati,
Apa wis duwe sirèku, Seperti yang paduka katakan,
Nembah Tirtakusuma, Sangat sukar tari mataram,
Inggih putra padukaji, Sultan tersenyum bersabda,
Ingkang mulang leres lepatipun Ya sama dengan saya,
kilap,

8
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Bersama keluar sultan dan dibawakan atau dijalani. Konsentrasi


Tirtakusuma). penari tidak terikat oleh perasaan-
perasaan yang aktual. Penari bebas
Cuplikan tembang sinom di dari kesadaran objektif yang aktual
atas tersirat bahwa, jogèd Mataram atau praktik perbuatan sehari-hari.
adalah sesuatu yang rahasia, yang Penari tidak mengekspresikan
tidak boleh diketahui atau diajarkan dirinya, tetapi mengkomunikasikan
kepada sembarang orang. Konsep ini bentuk-bentuk perasaan melalui
menjadi sesuatu yang sangat penyajian simbolis. Konsentrasi
dirahasiakan sampai kurang lebih total bukan berarti penari menjadi
tahun 1918, bersamaan berdirinya tidak sadarkan diri, namun
suatu organisasi tari di luar keraton. peleburan seorang penari dengan
Seperti diungkapkan oleh G.B.P.H. karakter tari yang harus dibawakan.
Soeryobrongto bahwa jogèd Sawiji dalam tari Klana Alus
Mataram adalah kewajiban atau seni Sri Suwela dimengerti bahwa penari
penjiwaan dari tari klasik gaya sudah tidak memikirkan tentang
Yogyakarta (Soeryobrongto, hafalan maupun yang lain. Pikiran
1981:88). Konsep jogèd Mataram dan perasaan sudah memahami apa
sering juga disebut ilmu jogèd yang harus dilakukan dan apa saja
Mataram yang diciptakan oleh Sri yang akan dilakukan penari di atas
Sultan H.B I (1755-1792). Pada pentas. Mulai penari berjalan masuk
waktu itu tidak semua guru arena pentas, maka bukan dirinya
mengetahui mengenai konsep jogèd lagi tetapi peran apa yang
Mataram, sehingga tidak dibawakan. Semuanya itu dari dalam
mengherankan apabila banyak murid jiwa mengalir, apalagi dengan
tidak mengetahuinya. Namun adanya bunyi instrumen atau musik,
demikian murid yang betul-betul maka kepekaan penari terhadap
memiliki bakat dan sudah peran yang dibawakan akan semakin
memperoleh kematangan lahir batin, meningkat.
oleh guru yang terpercaya dapat
diperkenankan mendalami ilmu b). Greged
jogèd Mataram. Greged adalah suatu semangat
yang membara yang ada pada jiwa
B. Filosofi Joged Mataram seorang penari di atas pentas.
Semangat yang dikerahkan itu tidak
Ilmu jogèd Mataram terdiri dari 4 boleh dilepaskan begitu saja, tetapi
(empat) unsur yaitu: sawiji, greged, harus ditekan atau diarahkan pada
sengguh, dan ora mingkuh dengan suatu yang normal atau wajar.
penjelasan sebagai berikut: Semangat seorang penari harus
dikendalikan, yang pada gilirannya
a). Sawiji tidak akan berkesan atau kelihatan
Sawiji adalah suatu konsentrasi kasar. Greged merupakan
penuh atau total dari seorang penari pembawaan dari seorang penari.
di atas pentas, akan tetapi Unsur ini tidak dapat
konsentrasi tersebut tidak sampai diajarkan/dilatih oleh orang lain atau
menimbulkan ketegangan jiwa. guru. Guru yang baik harus dapat
Konsentrasi adalah suatu mengetahui bila murid memiliki
kemampuan seseorang penari untuk greged atau tidak. Apabila seorang
mengerahkan semua kekuatan penari mempunyai greged, maka
pikiran pada suatu sasaran yang guru tinggal mengarahkan ke arah
jelas. Penari harus dapat atau yang benar. Penari yang baik harus
mampu mentransformasikan dirinya memiliki greged, apabila ia tidak
pada suatu peran yang harus memiliki greged akan mengalami

9
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

kesulitan dalam menyalurkan merasa mampu, merasa tampan,


dinamika dalam diri karakter tari merasa gumagus, merasa lebih dari
yang dibawakan. Penari yang yang lain atau dirinya tak ada yang
memiliki greged yang baik, menyamai. Ada rasa sedikit kongas,
walaupun dalam keadaan sikap diam tetapi semua itu tetap terkendali
telah menimbulkan kesan adanya sehingga antara gerak yang
gerak di dalam jiwa dan karakter dilakukan dengan rasa gerak dari
yang dibawakan (Soeryobrongto, dalam diri penari akan mengalir
1981:91). sejalan dengan nalurinya.
Greged dalam tari Klana Alus
Sri Suwela agak dikurangi terutama d). Ora Mingkuh
pada waktu sekaran muryani Ora mingkuh adalah pantang
busana. Greged di dalam muryani mundur atau tidak takut menghadapi
busana memiliki rasa prenèsan, kesukaran-kesukaran. Penari harus
tetapi masih di dalam batas aturan- memiliki keberanian dalam
aturan tari putra alus yang berlaku. menghadapi apa saja waktu pentas.
Penonjolan pada waktu melakukan Penari harus menepati janji atau
sekaran muryani busana adalah kesanggupan dengan penuh
tekanan-tekanan atau aksi-aksi agar tanggung jawab. Suatu keteguhan
memiliki daya tarik atau daya pikat hati dalam menarikan suatu tarian
terhadap apa yang dilakukan penari atau memainkan suatu peran.
Klana Sri Suwela. Keteguhan hati dapat berarti
kesetiaan dan keberanian untuk
c). Sengguh menghadapi situasi apa saja dengan
Sengguh adalah percaya pada suatu pengorbanan penuh. Suatu
diri sendiri yang tidak mengarah contoh apabila seorang penari telah
pada kesombongan penari di atas menyanggupi untuk menari, maka
pentas. Percaya diri sendiri sangat walaupun ia dalam keadaan sakit
penting bagi seorang penari. Penari apabila masih dapat menari, ia harus
yang telah tampil di atas pentas, melakukan dengan penuh tanggung
harus percaya dengan sepenuh hati jawab. Ora mingkuh diri seorang
bahwa apa yang ditampilkan atau penari meskipun dalam perjalanan
ditarikan adalah baik, dan orang lain untuk menuju tujuan yang luhur
atau penonton dapat menikmati banyak menghadapi rintangan-
dengan baik juga. Jadi seorang rintangan, akan tetapi seorang penari
penari harus menjadi satu kesatuan tidak akan mundur setapakpun.
dengan tarinya. Seorang penari Ora mingkuh dalam
tampil di atas pentas bukan sebagai pembawaan tari Klana Alus Sri
dirinya sendiri, tetapi ia Suwela penari di atas pentas tanpa
membawakan misi untuk pantang mundur dalam menghadapi
menyampaikan sesuatu kepada segala rintangan, tantangan,
penonton atau penikmatnya. Sikap kesulitan demi tercapainya cita-cita
semacam ini harus diyakini, yang diinginkan. Dalam cerita ini
sehingga ia memiliki kepercayaan digambarkan untuk mencapai tujuan
pada diri penari. Kepercayaan ini Sri Suwela harus mengembara dan
dapat menimbulkan sikap yang pantang menyerah menghadapi
meyakinkan, pasti, dan tidak ragu- segala musuhnya.
ragu dalam bahasa Jawa
mbedhedheg (perasaan yang III. Dasar Pathokan Baku atau Tidak Baku
meluap-luap tetapi terkendali)
(Soeryobrongto, 1981:92). Tari gaya Yogyakarta ada dua pathokan
Sengguh dalam pembawaan tari atau aturan yang harus ditaati oleh seorang
Klana Alus Sri Suwela adalah penari dalam melakukan sebuah tarian.

10
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Pathokan itu adalah pathokan baku dan - pupu mlumah/tungkai atas


pathokan tidak baku. (femur) terentang
- dhengkul megar/lutut (patella)
A. Pathokan baku membuka
- suku malang/kaki (metatarsus)
Pathokan baku adalah suatu aturan melintang
tari gaya Yogyakarta yang mutlak harus - driji nylekenthing/jari-jari kaki
ditaati (dilakukan) bagi seorang penari, (phalanges) diangkat ke atas
baik putra maupun putri yang ingin
mencapai tingkat optimal dalam seni 3. Mendhak
tarinya. Berikut ini akan dikemukakan Mendhak adalah posisi tungkai
penjelasan terperinci mengenai pathokan (femur dan patella) yang merendah
baku. dengan tekukan lutut (patella).
Tekukan lutut (patella) ini dilakukan
1. Sikap badan (deg) dalam keadaan tungkai atas (femur)
Sikap badan penari ketika menari terbuka. Mendhak yang mapan
harus selalu kelihatan baik apabila memungkinkan gerakan tungkai
dipandang dari segala arah. Badan (femur, patella, tibia, fibula, ossa
penari harus selalu tegap (ndegèg). tarsalia, ossa metatarsalia, dan
Sikap tegap yang dimaksud adalah phalanges) lebih hidup sehingga
tulang belakang (columna vertebrae) tarinya kelihatan ébrah (besar).
berdiri tegak, tulang belikat Ruang geraknya menjadi luas atau
(scapula) datar (rata), bahu (humeri) dapat dikatakan mengisi ruang.
membuka, tulang rusuk (costae) Posisi mendhak walaupun yang
diangkat, dada (thorax) merendah tungkai atas (femur dan
dibusungkan, dan perut (abdomen) patella), namun sebenarnya
dikempiskan. Langkah yang harus kekuatan atau tekanan gerak terletak
diambil oleh seorang penari untuk pada cethik (pelvis), jadi tekukan
mendapatkan sikap dan gerak badan lutut (patella) sebagai akibat cethik
seperti di atas adalah dengan jalan (pelvis) ditekan ke bawah. Tidak ada
menarik napas panjang sampai ukuran yang pasti seberapa rendah
badan dalam posisi seperti yang tekukan femur dan patella itu,
dimaksud, kemudian napas namun yang jelas tidak terlalu
dikembalikan, akan tetapi tidak rendah sekali dan tidak terlalu
boleh mengubah posisi sikap badan. kelihatan tidak merendah. Ukuran
Selanjutnya seorang penari bernafas untuk mendhak setiap penari
seperti biasa. Sikap badan semacam berbeda-beda tergantung pada tinggi
ini harus dipertahankan selama rendahnya tubuh penari, akan tetapi
menari, walaupun penari di atas sikap mendhak itu kelihatan luwes
pentas dalam keadaan diam, tidak dan tanpa mengganggu dalam
bergerak. Sikap badan seperti itu melakukan gerak. Posisi mendhak
harus dilakukan dari awal masuk lutut (patella) harus tetap terbuka.
pentas sampai selesai menari dan Posisi mendhak demikian itu gerak
meninggalkan tempat pentas. akan lebih nampak kuat. Apabila
penari tidak mendhak intensitas
2. Sikap dan gerak kaki gerakan akan kosong dan akan
Bagian kaki (metatarsus) penari kelihatan lemah. Namun demikian
ini dapat dibagi menjadi dua bagian apabila penari terlalu mendhak akan
yaitu bagian tungkai atas (femur) menghasilkan tari yang nampak
dan jari-jari kaki (phalanges). Posisi dipaksakan (ngaya) dan membuang
kaki dengan ketentuan sebagai tenaga. Mendhak harus dilakukan
berikut: tidak kendor, tetapi juga tidak
tegang. Jadi mendhak yang benar

11
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

adalah mendhak cethik (pelvis) yaitu 2. Tolèhan kanan dan kiri (dexter-
merendah sehingga memusatkan sinester)
gerak pada cethik (pelvis) bukan 3. Coklèkan kanan dan kiri
pada tekukan lututnya (patella). (dexter-sinester)
4. Gedheg khusus untuk tari putra
4. Sikap tangan gagah kanan dan kiri (dexter-
Lebar tangan (jarak tangan sinester).
dengan badan) untuk tari putra
berbeda dengan tari putri. Untuk tari 6. Gerak cethik (pelvis)
putra masih dibedakan lagi putra Cethik atau pangkal tungkai
halus dan putra gagah. Untuk tari atas (pelvis) merupakan bagian yang
putra halus jarak tangan dengan sangat penting dalam gerak tubuh
badan kurang lebih satu penari baik ke arah samping maupun
pethènthèngan. Mengukurnya ke bawah atau mendhak. Gerak
dengan cara menempelkan kedua tubuh ke samping baik ke kanan
telapak tangan (ossa metacarpalia) maupun ke kiri (dexter-sinester)
pada pinggang. Ukuran lebar tangan yang benar dalam tari gaya
(humerus, ulna-radius, carpalia, Yogyakarta harus dilakukan dengan
metacarpalia, ossa metacarpalia, pemusatan gerak pada pangkal
dan phalanges) ini dipakai semua tungkai atas atau cethik (pelvis).
standar tari halus apapun. Bentuk
tangan (humerus, ulna-radius, 7. Pandangan mata (pandengan)
carpalia, metacarpalia, ossa Pandangan mata dalam tari
metacarpalia, dan phalanges) gaya Yogyakarta dengan ketentuan
apabila menekuk adalah siku-siku kelopak mata terbuka, bola mata
dengan pusat atau tekanan pada lurus ke depan menurut arah hadap
pergelangan tangan (capalia). Gerak muka, dan pandangan tajam, dengan
tangan selalu dipusatkan pada jarak kurang lebih 3 kali tinggi
pergelangan tangan (carpalia) badan. Mata seorang penari tidak
sedangkan lengan (humerus, ulna- boleh berkedip-kedip karena akan
radius) hanyalah mengikuti. kelihatan rongeh dan kurang
Pemusatan gerak tangan (humerus, konsentrasi.
ulna-radius, carpalia, metacarpalia,
ossa metacarpalia, dan phalanges) B. Pathokan tidak baku
pada pergelangan tangan (carpalia)
ini dimaksudkan agar posisi tangan Pathokan-pathokan baku merupakan
dan siku dapat stabil tidak pegangan dasar penari pada umumnya
mengembang maupun menguncup yang memiliki keadaan fisik normal atau
(megar-mingkup). wajar, serasi, dan bagus. Sering terjadi
ada seorang penari yang memiliki
5. Pacak gulu/gerak leher (cervical beberapa kekurangan dalam fisiknya.
vertebrae) Para penari yang memiliki kekurangan-
Gerak leher (cervical kekurangan fisik, mereka harus
vertebrae) dipusatkan pada tekukan menggunakan pathokan tidak baku atau
(coklèkan) jiling (cervic), yaitu khusus untuk menutupi kekurangan-
persendian kepala (cranium) dengan kekurangan tersebut. Pathokan tidak
leher (cervical vertebrae) baik untuk baku ini bukan merupakan pegangan
tolehan maupun pacak gulu. Gerak yang dapat dijalankan oleh setiap orang
demikian itu adalah tidak Dalam atau penari. Pathokan ini sering disebut
gaya Yogyakarta terdapat empat (4) pathokan khusus atau pathokan tidak
macam pacak gulu yaitu: baku atau juga sering disebut pathokan
1. Pacak gulu baku (pokok) kanan penyesuaian diri.
dan kiri (dexter-sinester)

12
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

1. Luwes sehingga dilakukan dengan tepat dan


Luwes merupakan sifat cermat.
pembawaan dari seorang penari.
Penari dikatakan luwes apabila C. Sistem Penguasaan Teknik Tari
kelihatan wajar dan tidak kaku
dalam membawakan tariannya. Penguasaan teknik bagi para penari
Gerak yang dilakukan tampak pada masa lampau dapat ditempuh
lancar, mengalir sesuai dengan melalui tiga sistem, yaitu: 1) sistem
irama yang digunakan dan enak menirukan; 2) sistem bimbingan guru; 3)
dinikmati, tak ada kesan dipaksakan, sistem mandiri. Ketiga sistem tersebut
geraknya serius dan sungguh- merupakan cara untuk belajar menari
sungguh tetapi tidak kelihatan sampai kini.
tegang (kenceng nanging ora 1. Penguasaan teknik menirukan
ngecenceng). Sistem ini merupakan latihan
tahap elementer/dasar, biasanya
2. Patut sering disebut tayungan. Dengan
Patut adalah serasi dan sesuai. tayungan penari bisa menirukan
Mengingat adanya kekurangan- penari lain yang ada di depan
kekurangan fisik penari maupun disampingnya.
diperbolehkan melakukan gerak
yang sedikit agak menyimpang dari 2. Sistem bimbingan guru
pathokan ragam tarinya, menurut Sistem ini lebih menekankan
selera dan interpretasinya sendiri. adanya bimbingan yang cermat dan
Penyimpangan itu diperbolehkan rinci, meliputi kemantapan
asal guru tari yang bertanggung pembentukan sikap (deg);
jawab sudah menilainya patut. penggalan-penggalan gerak yang
Kepatutan ini di dalam wayang benar menurut aturan, dan
wong Kraton Yogyakarta erat sekali peningkatan penghayatan karakter
hubungannya dengan “wanda” gerak melalui penggalan-penggalan
seorang penari. Wanda adalah raut gerak menuju keutuhan.
muka yang menggambarkan
perwatakan/karakter. 3. Sistem mandiri
Hasrat untuk selalu
3. Resik meningkatkan kemampuan teknik
Resik dalam tari dapat diartikan secara mandiri para penari
bersih atau cermat dalam melakukan umumnya sangat kuat. Hal ini
gerak. Penari dapat dikatakan bersih adanya pengakuan para nara sumber
apabila dapat menguasai tiga macam yang tergolong wayang sabet.
kepekaan irama, yaitu kepekaan
irama gending, kepekaan irama D. Dasar Pola Baku Gerak Tari
gerak, dan kepekaan irama jarak.
Kepekaan penari terhadap irama ini Menurut G.B.P.H. Soeryobronto,
akan selalu memperhitungkan ragam tari putra gaya Yogyakarta dibagi
ketepatan gerak tarinya. Gerakan menjadi empat, yaitu:
harus dilakukan dengan cermat 1. Impur: untuk karakter putra halus,
dengan mematuhi keharusan- menggambarkan watak, sederhana,
keharusan yang berlaku. Hal ini tidak banyak tingkah dan percaya
dapat dilaksanakan apabila penari diri.
telah menguasai teknik tari dengan 2. Kambeng: untuk karakter putra
baik. Kecermatan ini merupakan gagah berwatak jujur, sederhana,
perwujudan tari yang tidak tidak banyak tingkah dan percaya
berlebihan tetapi juga tidak kurang, diri.

13
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

3. Kalang kinantang: untuk karakter khusus untuk karakter raksasa.


putra alus dan gagah, yang memiliki Secara prinsip setiap akhir dari suatu
watak keras, banyak tingkah, agak bentuk motif gerak tari yang
sombong, angkuh, dan dinamis. berirama gerak kebo manggah,
4. Bapang: untuk karakter putra gagah senantiasa harus dilakukan tepat
yang berwatak kasar, sombong, pada sabetan balungan pada akhir
banyak tingkah, dan kasar tingkah gatra dari gending pengiring tarinya.
lakunya (Soeryobrongto, 1981:83- Berdasarkan penjabaran di atas,
88). kirannya pola irama gerak yang
sangat mungkin mendekati pola
Keempat ragam pokok tersebut irama pada tari Klana Sri Suwela
masih memiliki variasi lebih rumit lagi gaya Yogyakarta adalah pola irama
yang berkembang menjadi dua puluh satu prenjak tinaji. Irama gerak prenjak
ragam tari pada masa pemerintahan HB tinaji, penggunaan tempo dalam
VIII. setiap ketukan berjarak tetap, akan
terasa lebih konsisten (ajeg) dari
E. Dasar Pola Irama dan Ritme Gerak pada yang dipergunakan dalam
Tari irama gerak ganggeng kanyut.
Sehubungan dengan hal itu, maka
Ada empat pola pokok irama yang dalam irama prenjak tinaji,
sering digunakan dalam tari Jawa, yaitu: penggunaan irama gerak pribadi
1) Ganggeng kanyut, adalah irama akan nampak terbatas. Kecepatan
gerak yang diterapkan untuk tari gerak dan penggunaan energi pun
Bedaya, tari Srimpi, dan tari Luruh akan menjadi lebih teratur dan
alus gaya Surakata. Dalam hal ini, konsisten. Kesan yang dilahirkan
maka akhir dari setiap bentuk motif dari cara melakukan gerak irama
gerak tarinya secara prinsip harus ganggeng kanyut lebih jelas berbeda
dilakukan dengan sedikit dengan irama gerak prenjak tinaji,
membelakangi sabetan (pukulan) sehingga tari menghadirkan kesan
balungan pada akhir gatra dari suatu mengalir tetapi tegas.
gending.
2) Prenjak Tinaji, adalah irama gerak IV. PENUTUP
yang diterapkan pada tari alus
lanyapan gaya Surakarta. Irama Pengkajian dasar-dasar konsep jogèd
gerak Prenjak Tinaji ini, setiap akhir Mataram secara utuh dapat
dari suatu bentuk motif gerak tari diimplementasikan melalui struktur, bentuk
harus dilakukan tepat pada sabetan gerak, dan teknik menari, serta penjiwaan
(pukulan) balungan pada akhir gatra dalam membawakan sebuah bentuk tari.
dari suatu gending pengiringnya. Pengkajian konsep jogèd Mataram dalam tari
3) Banyak Slulup, adalah irama gerak gaya Yogyakarta sebenarnya dapat dipandang
yang diterapkan pada tari gagah sebagai sebuah pemahaman kognitif dan
dugangan gaya Surakarta. normatif. Untuk itu, beberapa aspek yang
Penggunaan irama gerak ini dalam melatarbelakanginya dapat ditelusuri dari
tari, yaitu setiap akhir dari suatu kaitan tarian tersebut dengan sumber-sumber
motif gerak tarinya harus dilakukan tertulis di masa lampau, dan bentuk-bentuk
dengan sedikit mendahului dari perkembangannya. Komposisi tari nglana Sri
sabetan (pukulan) balungan pada Suwela yang ada di bagian adegan jejeran
akhir gatra dari gending dalam wayang wong lakon Sri Suwela itu
pengiringnya. merupakan latar belakang yang terkait
4) Kebo manggah, adalah pola irama langsung dengan perwujudan seni tari Klana
gerak tari yang pada lazimnya Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta. Struktur
diterapkan untuk tari gagah, namun dan bentuk gerak pada peran tokoh Prabu Sri

14
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Suwela menjadi dasar konsepsi pada tarian DAFTAR RUJUKAN


tersebut.
Kesimpulan dari pengkajian ini bahwa Dewan Ahli Yayasan Siswa Among Beksa. 1981.
secara konseptual kehadiran bentuk tari dapat Kawruh Joged Mataram. Dewan Ahli
dilihat dari wiraga, wirama, dan wirasa yang Yayasan Siswa Among Beksa, Yogyakarta.
semuanya terakumulasikan di dalam konsep
jogèd Mataram. Jalinan struktur tari Klana Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgi Tiyang
Alus Sri Suwela dipengaruhi oleh adegan Lampahan Jaya Semedi Kalajengaken Sri
jejeran nglana pada pertunjukan wayang Suwela. K.H.P. Kridha Mardawa Kraton
wong gaya Yogyakarta lakon Sri Suwela. Yogyakarta. M.S.W. A4.
Jalinan keselarasan hubungan itu menyangkut
motif gerak dengan pola lantainya, bentuk Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgi Tiyang
gerak dengan musik tari, dan irama gerak Lampahan Jaya Semedi Kalajengaken Sri
serta ritme gerak dengan musik tarinya. Suwela. K.H.P. Kridha Mardawa Kraton
Pengkajian jogèd Mataram tari Klana Alus Sri Yogyakarta. M.S.W. A5.
Suwela juga bersinggungan dengan keindahan
bentuk yang berpola. Hal ini sangat Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch,
dimungkinkan dari pencermatan total atau Kontemporer: Sebuah Studi Tentang
wujud unity pada suatu penyajian berupa tari. Pertunjukan Jawa. Gadjah Mada University
Pandangan semacam ini dapat disimpulkan Press, Yogyakarta
pula bahwa tata hubungan yang terdapat di
antara pola lantai dengan makna gerak tari, Meri, La. 1975. Komposisi Tari: Elemen-elemen
antar elemen-elemen dasar tari yang Dasar. Terjemahan Soedarsono. Yogyakarta:
mendasari konsep jogèd Mataram. Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta.
Pengkajian sebuah konsep jogèd
Mataram, dalam tari dengan demikian harus Pudjasworo, Bambang. 1982. Dasar-dasar
ditekankan pada aspek apa saja yang dilihat, Pengetahuan Gerak Tari Alus Gaya
dinikmati, dinilai, dan dipahami sebagai suatu Yogyakarta. Akademi Seni Tari Indonesia
keutuhan atau unity tarian tersebut. Yogyakarta, Yogyakarta.
Pemahaman itu tercipta meliputi wiraga,
wirama, dan wirasa yang dijiwai oleh sawiji, _____________. 1982. Studi Analisis Konsep
greged, sengguh, dan ora mingkuh. Hal ini Estetik Koreografis Tari Bedaya
dapat terlihat pada pola baku gerak tari, pola Lambangsari. Akademi Seni Tari Indonesia
lantai, urutan gerak, musik tari, tata rias, dan Yogyakarta, Yogyakarta.
tata busana, serta pola-pola tata hubungan
yang melatarbelakangi suatu genre tari. Sedyawati, Edi. ed. 1986. Pengetahuan Elementer
Berdasarkan uraian di atas, pengkajian Tari dan Beberapa Masalah Tari. Direktorat
tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian
dapat dipahami secara kognitif maupun Jakarta, Departemen Pendidikan dan
normatif. Secara normatif, menjelaskan Kebudayaan, Jakarta.
kehadiran tari Klana Alus Sri Suwela tersebut
melalui penentuan dan penerapan pola-pola Soedarsono, [R.M] ed. al. 1977. Kamus Istilah
yang diacu sebagai aspek pertunjukan tari. Tari dan Karawitan Jawa. Proyek Penelitian
Secara kognitif karena kaitan catatan masa Bahasan dan Sastra Indonesia, Jakarta.
lampau tari Klana Alus Sri Suwela yang
melatarbelakangi pembentukan tari tersebut ________________.2000. Masa Gemilang dan
sebagai genre tari tunggal. Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta.
Terawang Press, Yogyakarta

________________.2003. Seni Pertunjukan dari


Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

15
Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta
ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

Soeryobrongto, G.B.P.H. 1981. “Wayang Orang ________________. 1981. “Ragam Tari Klasik
Gagrag Mataram”, dalam Fred Wibowo (ed), Gaya Yogyakarta”, dalam Fred Wibowo (ed),
Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta.
Dewan Kesenian Propinsi DIY, Yogyakarta. Dewan Kesenian Daerah Istimewa
Yogyakarta, Yogyakarta.
Sumaryono. 2003. Restorasi Seni Tari dan
Transformasi Budaya. Lembaga Kajian ________________. 1981. “Penjelasan Tentang
Pendidikan dan Humaniora Indonesia, Pathokan Baku dan Penyesuaian Diri”, dalam
Yogyakarta. Fred Wibowo (ed), Mengenal Tari Klasik
Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Daerah
Wardhana, Wisnoe. R.M., 1981. “Tari Tunggal, Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.
Beksan dan Tarian Sakral Gaya Yogyakarta”,
dalam Fred Wibowo (ed), Mengenal Tari Wibowo, Fred. 2002. Tari Klasik Gaya
Klasik Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Yogyakarta. Yayasan Bentang, Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.

16
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 17-23

PELAJARAN TARI : IMAGE DAN KONTRIBUSINYA


TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK
Oleh : Kuswarsantyo
Dosen Juruan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

Tari adalah salah satu cabang seni yang dalam ungkapannya menggunakan bahasa gerak tubuh. Untuk
mencapai kualitas kepenarian yang bagus, seorang penari dituntut penguasaan aspek wiraga, wirama dan
wirasa. Namun ternyata tidak hanya cukup penguasaan tiga aspek tersebut agar pemahaman tari secara utuh
dipahami. Aspek di luar teknis sebenarnya lebih banyak manfaat yang bisa kita peroleh jika kita mempelajari
tari secara kontekstual.
Permasalahan seputar pelajaran tari di sekolah umum (baca : SD, SMP, dan SMA) sebenarnya berkutat
pada masalah image orang terhadap pelajaran tari yang dipandang sebelah mata. Pertanyaan yang pantas kita
ajukan kepada para pelaku dan pendidik seni tari adalah : mampukah kita merubah image tari dari
pemahaman tekstual menjadi kontekstual?
Manfaat yang dapat kita peroleh dari pemahaman secara konteksualitas tentang tari sebenarnya akan
memberikan kontribusi yang signifikas terhadap pembetukan karakter siswa yang mempelajari. Kedalaman
isi dan makna di balik pelajaran tari inilah yang selama ini belum banyak dikupas pendidik seni tari di
sekolah umum. Dengan pemahaman kontekstualitas itu maka anggapan tari sebagai pelajaran praktik ansich
akan terkikis. Tari adalah pelajaran yang memiliki kompleksitas permasalahan terkait dengan masalah sosial,
budaya, antropologi, politik hingga permasalahan global. Untuk itulah belajar tari yang benar adalah belajar
secara kontekstual dengan mempertimbangkan apa yang ada dalam tari itu secara utuh, sehingga kita tidak
hanya terpancang pada aspek teknik dalam olah wiraga saja. Pemahaman nilai-nilai filosofi joged mataram
menjadi penting artinya, karena akan memberikan manfaat untuk pembentukan karakter bagi anak yang
mempelajarinya Konsep sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari, karena prinsip tersebut merupakan dasar untuk melaksanakan kehidupan yang oleh Suryobrongto
disebut dengan way of life.

I. PENGANTAR proporsional. Pelajaran tari di sekolah umum


yang diberikan sejak Sekolah Dasar hingga
Belum banyaknya masyarakat yang Sekolah Menengah Atas, masih berstatus
paham tentang nilai-nilai di balik pelajaran sebagai pelajaran ekstra di sebagian besar
tari adalah salah satu penyebab mengapa sekolah. Kalaupun ada sekolah yang
pelajaran tari di sekolah umum (baca: SD, menerapkan pelajaran tari sebagai bagian
SMP, dan SMA) masih dipandang sebelah pelajaran wajib tempuh, ini karena kepala
mata. Hal ini ditambah dengan persepsi sekolah yang menjabat sangat peduli dengan
mayoritas guru di sekolah terhadap seni tari seni. Ironisnya belum banyak kepala sekolah
masih sebatas pada pelajaran praktik yang di wilayah kota Yogyakarta atau DIY
hanya bermodalkan sampur dan kaset. umumnya yang peduli dengan pelajaran seni
Dampaknya, pelajaran tari dianggap tidak tari.
penting dan hanya dijadikan pelajaran Kenyataan ini menjadi keprihatinan kita
ekstrakurikuler yang sifatnya tidak wajib bersama, khususnya guru-guru tari yang
(pilihan). Sungguh memprihatinkan jika kita mayoitas telah lulus sertifikasi. Dengan
melihat perlakuan tersebut di sekolah umum persyaratan administratif yang mewajibkan
yang mendiskreditkan pelajaran tari. seorang guru harus mampu mengajar tiap
Permasalahan ini telah berlangsung sejak minggu minimal 24 jam, menjadikan guru tari
lama, dan hingga kini masih belum muncul kalang kabut. Kebijakan sekolah untuk
adanya tanda-tanda pelajaran tari di sekolah memanfaatkan guru tari mengajar bidang lain
umum mendapatkan tempat yang adalah alternatif yang “dipaksakan”, karena

17
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)

tidak sesuai dengan kompetensi keahliannya. II. SENI TARI


Bagaimana dengan hasil yang dicapai oleh
guru tari ketika harus mengajar bahasa Jawa Berkaitan dengan upaya untuk
atau bahasa Indonesia? Ini tentu saja akan menjadikan tari sebagai media untuk
menimbulkan masalah baru di dunia membentuk jatidiri, perlu kiranya kita paham
pendidikan kita. Namun itu adalah urusan terlebih dulu dengan apa yang dimaksud tari
bidang kurikulum untuk bisa mengatasinya. dalam konteks ini. Ada tiga kategori tari yang
Tugas berat yang harus mampu dikenal masyarakat berdasarkan latar
dibuktikan oleh guru tari di sekolah yang belakang penciptaanya. Ada tiga kategori
mayoritas ditempati alumni UNY dan ISI, yang bisa disebutkan di sini yakni, tari klasik
adalah bagaimana meyakinkan minimal yang berbasis di kraton. Kedua tari
kepada sesama guru di sekolah itu, Kepala kerakyatan, adalah tari yang berkembang di
Sekolah, dan pada masyarakat umumnya wilayah pedesaan. Dan ketiga, tari modern
tentang hakikat pelajaran seni tari. Ada kontemporer yang menjadi konsumsi
beberapa hal yang terlupakan di mata guru tari masyarakat di perkotaan dengan gaya atau
di sekolah yang hingga saat ini masih “malas” trend kekinian. Dalam konteks pembahasan
untuk mengembangkan kemampuan dirinya di ini kita akan mengambil seni tari klasik yang
luar masalah psikomotorik. Dua aspek lain berbasis di kraton. Mengapa tari klasik yang
yakni kognitif dan afektif belum optimal kita jadikan rujukan? Ini terkait dengan nilai-
diterapkan. Apalagi setelah menerima nilai yang ada di dalam tari klasik yang secara
sertifikasi, bukan untuk kepentingan universal sebenarnya memiliki muatan
peningkatan kemampuan profesional, tetapi edukatif yang sangat luar biasa dan dapat
justru untuk merubah gaya hidup yang tidak diterapkan untuk berbagai kepentingan. Tidak
ada relevansinya dengan kompetensi bidang bermaksud mengenyampingkan dua kategori
keilmuannya. Ini adalah satu ironi yang tari lain, tari klasik dipilih karena memiliki
sebenarnya bisa menjadi bumerang bagi guru kedekatan dengan prinsip dan pola hidup
yang akan memunculkan image buruk manusia yang oleh Suryobrongto disebut
terhadap pelajaran tari ke depan. sebagai way of life (Suryobrongto, 1981 : 23)
Permasalahan ini tentu saja berpulang pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta sering juga
nurani guru tari yang selama ini sudah disebut dengan joged méataram. Hal ini
mengikrarkan dirinya menjadi pendidik karena latar belakang historis, di mana
professional. penciptaan tari klasik gaya Yogyakarta lebih
Bagaimana langkah ke depan untuk dapat dekat dengan Kraton sebagai pusat
memaksimalkan pelajaran tari di sekolah, Kebudayaan yang ketika itu merupakan
sehingga tidak lagi dianggap sebelah mata patronase seni istana. Tari klasik gaya
sebagai pelajaran praktik ansich. Mengingat Yogyakarta merupakan tarian yang bersifat
pentingnya misi di balik pelajaran tari, abstrak dan simbolik, yang mengandung
sebenarnya guru-guru tari masih harus banyak maksud tertentu. Tari klasik merupakan
belajar tentang nilai-nilai filofosi dan edukasi permainan garis atau lijnenspel yang sekilas
yang terkait dengan karya tari yang diajarkan. jika dilihat tidak ada artinya, akan tetapi
Pemahaman guru tari terhadap makna di balik setelah di stilering ternyata terdapat
pelajaran tari ini yang perlu digali sebagai simbolisasi dari karakter yang dikandung
upaya untuk meyakinkan pada steakholder dalam ragam-ragam tari. Kompleksitas ragam
minimal di tingkat sekolah, sesama guru, dan dan unsur yang ada dalam tari klasik gaya
masyarakat secara umum. Upaya yang harus Yogyakarta itu memberikan daya tarik bagi
dilakukan guru-guru tari untuk memberikan orang yang ingin belajar tari secara holistik.
penyadaran kepada masyarakat bahwa Pemahaman tari klasik secara utuh belum
pelajaran tari dapat dijadikan media untuk banyak diketahui masyarakat, termasuk
membentuk jatidiri menuju insan yang sebagian guru tari yang baru belajar pada
berkarakter, adalah satu tuntutan yang tataran teknik saja. Namun kedalaman nilai-
mendesak segera ditemukan solusinya. nilai filosofi yang ada di balik tari klasik gaya
Yogyakarta, belum banyak orang paham. Ada
beberapa hal yang penting dipahami secara

18
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989

keilmuan tentang tari klasik gaya Yogyakarta. yang bernilai dengan yang baik. Nilai pada
Secara teknik tari gaya Yogyakarta memiliki dasarnya berhubungan dengan kebaikan yang
aturan baku yang harus dipenuhi seperti terdapat pada inti sesuatu hal. Dengan
wiraga, wirama, dan wirasa. Sedangkan demikian nilai itu merupakan kadar relasi
untuk pemaknaan dari sudut pandang positif antara sesuatu hal dengan orang
semiotik, tari memiliki beberapa simbol yang tertentu. Beberapa nilai itu antara lain nilai
jika dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan praktis, nilai sosial, nilai religius, nilai susila
akan menjadi lebih bermakna seperti tersirat atau norma, nilai kultural, nilai estetis, dan
dalam gerak pucang kanginan, ngenceng nilai yang bersifat konsepsional. Nilai dapat
encot, lénggot raga, dan sebagainya. saling berkaitan membentuk suatu sistem dan
Dari makna di balik tari klasik gaya antara satu dengan lain koheren serta
Yogyakarta ini, sebenarnya secara fungsional mempengaruhi segi kehidupan manusia.
tari gaya Yogyakata memiliki fungsi dan
tujuan sebagai media untuk mengembangkan IV. Terwujudnya Jatidiri Melalui
sikap dan kemampuan agar siswa mampu Pendidikan Tari
berkreasi dan peka dalam berkesenian. Oleh
karenanya, secara rasional pelajaran Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan seni di sekolah didasarkan pada kebudayaan melatarbelakangi konsepsinya di
hal-hal sebagai berikut : bidang pendidikan, yang antara lain
1. Pendidikan seni memiliki sifat mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:
multilingual, multidimensional, dan “Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang
multikultural bermaksud memberi bimbingan dalam hidup
2. Pendidikan seni memiliki peranan dalam tumbuhnya jiwa raga anak, agar dalam garis
pembentukan pribadi siswa yang kodrat pribadinya serta pengaruh
harmonis dalam logika, rasa estetis dan lingkungannya mereka memperoleh kemajuan
artistiknya serta etikanya dengan lahir-batin menuju kearah adab kemanusiaan”
memperhatikan kebutuhan dan (Ki Hadjar Dewantara I, 2004, 342). Lebih
perkembangan anak untuk mencapai lanjut Ki Hajar Dewantara mengemukakan
kecerdasan (EQ), kecerdasan intelektual nilai-nilai kehidupan yang berbunyi “Ing
(IQ), kecerdasan adversitas (AQ), dan Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
kreativitas (CQ), serta kecerdasan Karso, Tut Wuri Handayani”. Apa yang
spiritual dan moral. terkandung dalam nilai-nilai tersebut adalah
3. Pendidikan seni memiliki peranan dalam keteladanan, berkarya, dan dukungan. Dengan
pengembangan kreativitas, kepekaan demikian, nilai-nilai universal ini berlaku di
rasa, dan inderawi serta terampil dalam mana pun dan bagi siapapun, tidak dibatasi
berkesenian melalui pendekatan belajar oleh Barat dan Timur. Instruksi Presiden
dengan, belajar melalui seni, dan belajar (Inpres) Republik Indonesia No. 1 Tahun
tentang seni (Depdiknas, 2001 :7) 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional, berisi
III. Konsep Nilai dalam Tari Klasik penyempurnaan kurikulum dan metode
pembelajaran aktif yang didasarkan pada
Nilai adalah suatu penghargaan atau nilai-nilai budaya bangsa. Perubahan
kualitas terhadap sesuatu hal yang dapat kurikulum di Perguruan Tinggi dan di Sekolah
menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. harus memperhatikan instruksi presiden ini.
Sesuatu itu dianggap bernilai bagi seseorang Bagaimana memasukan nilai-nilai dalam
karena sesuatu itu menyenangkan (pleasant), kurikulum atau pada pembelajarannya. Ini
memuaskan (satisfying), menarik (interest), adalah kesempatan para guru kesenian di
berguna (useful), menguntungkan (profitable) sekolah untuk menerapkan sistem
atau merupakan satu keyakinan (bilief) pembelajaran secara kontekstual.
(Daroeso, 1988 : 20). Pendapat lain Berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan
dikemukakan Mardiatmaja (1986 ; 54), nilai dalam belajar seni, Ki Hajar Dewantara
menunjuk satu sikap orang terhadap sesuatu (1937 : 173) mengatakan bahwa:
hal yang baik. Ada kaitan yang erat antara

19
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)

pengajaran gendhing itu tidak saja untuk V. Mengimplementasikan Filososi Joged


memperoleh pengetahuan dan sebagai sarana membentuk karakter
kepandaian hal gendhing, namun perlu anak
juga bagi tumbuhnya rasa kebatinan,
karena selalu menuntun ke arah rasa Untuk mengimplementasikan filosofi
kewiramaan (perasaan ritmis)… rasa joged mataram sebagai sarana pembentuk
keindahan (perasaan estetis)…rasa karakter anak, terlebih dahulu diperlukan
kesusilaan (perasaan etis) (p. 173). pemahaman mendasar terkait dengan perilaku
dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku tersebut
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah ; kejujuran, keberanian, hormat,
rasa kebatinan ini dapat diperumpamakan para tanggung jawab dan adil merupakan nilai-nilai
pemimpin agama serta gereja yang dalam kehidupan yang harus dimiliki oleh
menggunakan musik untuk membuka rasa setiap manusia. Dengan kata lain, pendidikan
keagamaan dan juga sebagai pengasah budi karakter identik dengan pendidikan nilai-nilai
(pembentukan watak). Selain itu, Dewantara yang telah berlangsung setiap hari.
menjelaskan bahwa tari dapat mengajarkan Black seperti dikutip Masunah (2005:31)
pangkal kesopanan dan keadaban (moral), berpendapat bahwa pendidikan karakter berisi
serta keteraturan. Dengan kata lain, musik dan tiga elemen yaitu:
tari sangat berkaitan dengan keteraturan ritme 1. A common core of shared or universal
atau wirama yang akan berdampak pada suatu values
keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan, 2. The belief that there are rational,
perasaan senang, dan bahagia. Dewantara juga objectively valid, universally accepted
berpendapat bahwa pengajaran gendhing qualities to which people of all nations,
(musik) atau seni adalah suatu upaya creeds, races, socio-economic statuses,
penanaman rasa bangga akan kekayaan and ethnicity subscribe
budaya bangsa yang indah dan luhur. 3. The belief that traits (qualities) transcend
Pembelajaran nilai yang dikemukakan oleh political persuasions as well as religious
Dewantara tersebut merupakan dampak atau and ethnic differences.
manfaat belajar seni, nilai-nilai sendiri yang
tidak secara langsung direncanakan untuk Tiga elemen di atas menekankan pada
diajarkan. nilai-nilai universal dan kepercayaan terhadap
Juju Masunah (2011 : 31) mencontohkan keragaman dan keberbedaan. Lebih jauh
pendekatan pembelajaran nilai-nilai yang diungkapkan bahwa untuk memasukkan
sekaligus belajar seni pada mata kuliah Tari pendidikan karakter ke sekolah, kewajiban
Pendidikan. Dalam konteks ini, seni sebagai pertama sekolah adalah mengidentifikasi
alatnya dan metode adalah cara mencapai nilai-nilai universal yang akan menjadi fokus
tujuannya. Tari pendidikan bukanlah Tari pada program dan membuat sebuah komitmen
Bentuk atau Tari Kreatif, akan tetapi sebuah untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut. Jika
pendekatan pembelajaran tari yang dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada dalam
mengutamakan kreasi dan apresiasi. Seperti tari semua aspek tersebut dapat menjadi
halnya standar kompetensi yang dirumuskan rujukan. Misalnya keberanian ini akan
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berhubungan dengan rasa percaya diri ketika
(KTSP) tahun 2006, yaitu ekspresi dan seorang akan menari. Kedua saling percaya
apresiasi. ini identik dengan sengguh yang merupakan
Dengan membawakan sebuah tarian, bagian inti dari prinsip joged mataram.
siswa telah dididik untuk berbuat sesuatu Selanjutnya untuk menjabarkan
dengan penghayatan penuh. Kedua, terkait bagaimana penerapan nilai-nilai filosofis
dengan apresiasi terhadap karya orang lain joged mataram sebagai media untuk
yang harus dilakukan untuk menanamkan membentuk karakter anak dapat diawali dari
sikap menghargai karya orang lain dapat pemahaman non teknis ketika orang sedang
diterapkan ketika materi sebuah tarian akan atau akan belajar menari. Dari sisi inilah nilai-
diajarkan kepada siswa. nilai mendasar dari sebuah proses untuk

20
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989

membentuk budi pekerti itu mulai dapat yang dimaksud adalah kehalusan budi pekerti
disisipkan, termasuk cara penyampaian yang yang meliputi cara berikir, pandangn hidup
sesuai dengan karakteristik materi tari yang dalam kaitannya dengan kepercayaan terhadap
akan disampaikan. Proses berjalan menuju ke Tuhan Yang Maha Esa. Keteraturan
tempat pertunjukan, tata cara naik ke atas melaksanakan kedisiplinan yang ketat pasti
pentas, dan bagaimana bersikap terhadap guru akan berakibat seseorang percaya diri. Dengan
yang sedang mengajar, adalah bagian dari bekal percaya diri inilah, jika mampu
proses pembentukan karakter sebelum diperdalam seseorang melalui pelajaran tari
memasuki materi tari yang diajarkan. Dari gaya Yogyakarta, maka orang akan lebih
materi tari yang diajarkanpun dapat dijadikan banyak mendapatkan ilmu dari nilai-nilai di
media untuk membentuk perilaku siswa, balik tari itu dari pada sekedar teknik menari
ketika materi itu diberikan deskripsi, makna yang benar.
simbolik, serta nilai-nilai yang terkandung di Tahap berikut adalah menerapkan nilai-
dalamnya. nilai filosofis joged mataram dalam
Semua aspek tersebut dapat diuraikan membentuk karakter anak, dapat dijabarkan
sebagai media untuk membentuk karakter dari prinsip sawiji, greget, sengguh dan ora
anak, karena makna di balik sebuah tarian itu mingkuh yang secara lengkap dapat dilihat
sendiri merupakan pendidikan batin yang dalam tabel berikut ini.
tertuju pada kehalusan jiwa. Pendidikan batin

No Aspek Joged Deskripsi Prinsip perilaku Keterkaitan dengan


Mataram karakter anak
1 Sawiji Wujud untuk selalu Pemahaman, Orang dituntut untuk
konsentrasi dalam konsentrasi, konsentrasi penuh dalam
menghadapi segala kesungguhan, menghadapi segala hl
kegiatan ketekunan agar tidak melakukan
kesalahan.
2. Greget Ungkapan dinamika dalam Kesungguhan, Dinamika dalam
kehidupan yang harus kemauan, ketekunan kehidupan harus menjadi
dilalui manusia dasar untuk memahami
sesuatu
3. Sengguh Kepercayaan diri manusia Pemahaman, Sikap yang harus
dalam segala situasi anpa kesungguhan, dikedepankan oleh setiap
harus menyongbongkan ketekunan manusia dalam
diri menghadapi segala
situasi. Jangan cepat
puas sebelum apa yang
diperoleh itu jelas.
Jangan merasan bias
padahal tidak bias.
Jangan merasa lebih baik
dari pada teman lainnya
4. Ora mingkuh Sikap pantang menyerah Kemauan, Jangan menyerah
untuk menggapai sebuah kesungguhan, sebelum dicoba.
cita cita ketekunan Mempelajari sesuatu
tentu akan menghadapi
cobaan

Dari tabel di atas memberikan keyakinan menanamkan nilai-nilai edukatif, dalam


bahwa apa yang ada di dalam joged mataram, rangka pembentukan budi pekerti anak. Dari
ternyata dapat diimplementasikan ke dalam hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya
kehidupan sehari hari sebagai media untuk keterkaitan yang signifikan yang mampu

21
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)

memberi keyakinan kita bahwa aspek filosofis kehidupan yang tidak terlihat seperti hormat,
joged mataram dapat diterapkan sebagai peduli, tanggungjawab, cinta kasih, kejujuran,
media pembentukan karakter anak. keadilan dan demokrasi.
Selain itu konsep filosofis joged Untuk itulah belajar tari yang benar
mataram dapat dipahami sebagai dasar adalah belajar secara kontekstual dengan
pendidikan yang penerapannya dapat mempertimbangkan apa yang ada dalam tari
digunakan untuk membentuk karakter anak. itu secara utuh, sehingga kita tidak hanya
Hal tersebut terdapat di dalam konsep dasar terpancang pada aspek aspek teknik praktis
yang tertuang dalam prinsip wirasa sebagai dalam olah wiraga saja. Pemahaman nilai-
syarat belajar tari. Pengolahan rasa di sini nilai filosofi joged mataram menjadi penting
lebih banyak menekankan pada aspek mental, artinya, karena akan memberikan manfaat
di mana rasa percaya diri harus untuk pembentukan karakter bagi anak yang
ditumbuhkembangkan sejak dini. Berolah rasa mempelajarinya Konsep sawiji, greget,
dalam konteks umum tidak hanya dipahami sengguh dan ora mingkuh dapat diterapkan
sebagai penguasaan atau penjiwaan karakter dalam kehidupan sehari-hari, karena prinsip
seperti ketika menari. Namun penguasaan rasa tersebut merupakan dasar untuk melaksanakan
lebih memiliki makna yang universal dan kehidupan yang oleh Suryobrongto disebut
dapat diterapkan dalam pendidikan karakter dengan way of life.
anak. Dengan pemahaman secara kontekstual
Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi itu maka image tentang pelajaran tari yang
dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di selama ini dipandang hanya sebagai pelajaran
Indonesia menjelaskan bahwa, pendidikan praktik akan terkikis. Kini sudah saatnya
kesenian sangat penting sebagai pembentuk dibuktikan bahwa di balik pelajaran tari
watak dan mental anak. Pendidikan dan terdapat nilai-nilai yang dapat diterapkan
pengalaman tari memberikan manfaat secara dalam kehidupan sebagai sarana membentuk
pribadi, sosial, kebudayaan, maupun jatidiri. Oleh karena itu perlu dibangun sistem
kreativitas. Seni tari seperti cabang seni pendidikan yang dapat mengarahkan guru
lainnya, memberikan kesenangan dan untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan
kegembiraan pada pelakunya. Gerakan tari melalui pelajaran tari.
dilakukan oleh seluruh tubuh secara
intelektual, emosional, fisikal,tari merupakan DAFTAR RUJUKAN
sarana ideal untuk menumbuhkan kesadaran
diri, perkembangan diri pada anak anak (Sal Black, F.B., 2005. Democratic Practices as
Murgiyanto, 2004 : 152). Merunut dari Manifested through Character Education. In
pendapat Murgiyanto, kini semakin jelas Pearl, Art & Pryor, Caroline R. Democratic.
bahwa tari klasik gaya Yogyakarta dapat Eds. Practices in Education: Implication for
menjadi media untuk pendidikan anak. Teacher Education. A Division of Rowman &
Litlefield Publishers, Inc., Maryland, U.S.A.
VI. Kesimpulan
Daroeso, 1988. Konsep Nilai dalam Pendidikan.
Berdasarkan pada uraian tentang Kanisius, Yogyakarta.
pemanfaatan nilai-nilai filosofis joged
mataram sebagai media untuk membentuk Depdiknas, 2001, Kurikulum Berbasis Kompetensi
karakter anak. Pendidikan karakter adalah Mata Pelajaran Pendidikan Seni SLTP.
pendidikan nilai-nilai. Untuk membangun Depdiknas, Jakarta.
bangsa yang berkarakter di tengah pluralitas
budaya diperlukan guru yang memahami, ___________, 2002, Pendidikan Kontekstual
mendalami, menghayati, dan (CTL). Depdiknas, Jakarta.
mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan,
sehingga guru dapat mengajarkan nilai-nilai Kussudiardja, Bagong, 1992. Dari Klasik hingga
bersamaan dengan mengajarkan materi seni Kontemporer. Padepokan Press, Yogyakarta.
kepada siswa. Nilai dalam seni tidak hanya
nilai estetis yang terlihat, tetapi nilai-nilai

22
Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap
Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989

Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994. Karya ___________, 2010. “Pendidikan Multikultural
Ki Hadjar Dewantara. Percetakan Offset dan Demokrasi”, dalam Narawati dan
Tamansiswa, Jogjakarta Masunah, J. Eds. Quo Vadis Seni Tradisional
V: Meningkatkan
Masunah Juju, 2012. “ Peranan Pendidikan Seni
Dalam Konteks Pluralitas Budaya Untuk Murgiyanto, Sal, 1993. Tradisi dan Inovasi :
Membangun Bangsa Yang Berkarakter” Beberapa Permasalahan Tari di Indonesia.
dalam Kuswarsantyo, ed.al. Greget Joget Institut Kesenian Jakarta, Jakarta.
Jogja. Bale Seni Condroradono, Yogyakarta.
Suryobrongto, 1981. Mengenal Tari Klasik gaya
___________, 2011. “Konsep dan Praktik Yogyakarta, Editor Fred Wibowo. Dinas
Pendidikan Multikultural di Amerika Serikat Kebudayaan Propinsi DIY, Yogyakarta.
dan Indonesia” dalam Jurnal Ilmu
Pendidikan. pp. 298-306. Jilid 17, Nomor 4,
Februari 2011.

23
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 24-35

SISTEM PEWARISAN PENARI ROL


DALAM WAYANG ORANG PANGGUNG
Dr. Hersapandi,SST.,MS.
Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta
Email: hersapandi.17@gmail,com

ABSTRACT
The system of inheritance in the puppet stage appears to face a popular issue on the values of
professionalism that demands self-discipline and commitment to wrestle in total. Inheritance takes place in
two categories, namely: the first category that the inheritance according to the direct lineage or a child of
the dancer roller. The second category, the inheritance of acquired dancer roller which is not the biological
parent, but as a senior where he played the puppet people. Although they were aware that the dancer roller
is never created because it is considered as a replacement actor rivalry.
A top dancer is an individual who has a mastery of knowledge and the quality of the high technical
skills, and be able to incarnate into a figure that was delivered. The top dancer transmission regeneration in
the context of the puppet stage is a must propesional profession in building a public figure image as an
iconic of audience appeal.

Keywords: top dancer, professional, icons appeal, inheritance

ABSTRAK
Sistem pewarisan dalam wayang orang panggung populer tampaknya dihadapkan suatu
permasalahan tentang nilai-nilai profesionalisme yang menuntut adanya disiplin diri dan komitmen untuk
menggeluti secara total. Pewarisan berlangsung dalam dua kategori, yaitu: kategori pertama bahwa
pewarisan menurut garis keturunan langsung atau anak kandung penari rol. Kategori kedua, yaitu pewarisan
yang didapatkan dari penari rol yang bukan orang tua kandung, tetapi sebagai seniornya di tempat ia bermain
wayang orang. Meskipun disadari bahwa penari rol tidak pernah menciptakan aktor pengganti karena
dianggap sebagai rivalitas.
Seorang penari rol adalah individu yang memiliki kualitas penguasan pengetahuan dan keterampilan
teknik yang tinggi, serta mampu menjelma ke dalam tokoh yang dibawakan. Transmisi kaderisasi penari rol
dalam konteks wayang orang panggung propesional adalah suatu keharusan profesi dalam membangun
pencitraan figur publik sebagai ikon daya tarik penonton.

Kata kunci: penari rol, profesional, ikon daya tarik, pewarisan

I. Latar Belakang Masalah meniru sama sekali tergantung dalam konteks


sosial atau sesuai ' pedagogis alami‟.
Berbicara tentang sistem pewarisan Selektifitas tindakan mereka yang cenderung
manusia, maka pertanyaan pokok adalah meniru, mereka muncul untuk menunjukkan
apakah manusia memiliki sistem-tiruan apresiasi terhadap sifat disengaja model
berbasis mekanisme warisan yang berfungsi tindakan dan struktur kausal dari masalah
evolusi transmisi fenotipe perilaku andal dari yang itu diterapkan.
generasi ke generasi. Untuk memiliki (http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/
kekuatan evolusioner dari sistem warisan, 364/1528/2429.full). Sifat meniru bawaan dan
mekanisme berbasis imititasi harus memenuhi unik pada manusia dalam konteks sosial
berbagai tuntutan persyaratan. Mungkin adalah suatu mekanisme pembelajaran dengan
kekayaan budaya manusia karena kemampuan menyerap berbagai informasi tentang
meniru bawaan dan unik? Kualitas manusia pengetahuan dan keterampilan teknik yang

24
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

pada gilirannya membentuk karakter pribadi grup itu dapat hancur karena arogansi penari
individu. Ia sebagai individu yang memiliki rol (ahersapandi, 2011: 143). Dominasi
intelejensi dan integritas kualitasnya otoritas ini tentu memiliki kekuatan yang
ditentukan oleh seperangkat tata nilai dari melahirkan suatu kharisma karena
potensi diri yang berproses dan dibesarkan ketokohannya. Menurut Weber, keberhasilan
oleh lingkungannya. agen menjadi faktor penentu hal-hal yang ia
Fenomena penari rol sebagai agen adalah kehendaki (Weber, 1946: 295). Suatu
individu aktor yang memiliki kharisma yang keberhasilan aktor merupakan dasar
dibangun dari profesionalisme kesenimanan pembentukan kekuatan yang berujung pada
yang sempurna, baik secara fisik atau lahir kharisma dalam menjaga nilai-nilai
yang menyangkut kualitas keterampilan profesionalisme berkesenian. Menurut
teknik maupun secara psikis atau batin yang Waters, variasi kekuatan itu mencakup: (1)
menyangkut kualitas spiritualitas. daya tarik yang dimiliki aktor; (2) sejumlah
Keseimbangan kualitas kepenarian penari rol distribusi kekuatan yang tersebar atau
adalah sosok seniman yang memiliki tingkat terpusat; (3) lingkup kekuatan yang dibatasi
kemampuan pengetahuan dan keterampilan aktivitas khusus, dan (4) daerah kekuatan
yang tinggi dengan dibekali ilmu kebatinan yang dibatasi oleh kelompok yang
yang memadahi untuk membentengi diri subordinatif (Waters, 1994: 242). Kekuatan
untuk menghadapi medan pergolakan sosial aktor dalam tradisi pemain wayang orang atau
seperti adanya pengaruh jahat yang bersifat seniman tradisi lain, tampaknya harus
gaib. Hal ini dilatarbelakangi fenomena penari diimbangi dengan laku ritual sebagai upaya
rol tempo dulu yang cenderung mendapat penangkal pengaruh jahat dari luar.
persaingan yang tidak sehat melalui kekuatan Laku ritual penari rol sebagai agen ialah
gaib, sehingga yang bersangkut tiba-tiba tidak tindakan praktis sosial yang terkait dengan
dapat menari dan berbicara di atas pentas kebutuhan spiritual aktor untuk mempertebal
(Kies Slamet, wawancara tanggal 19 Juli rasa percaya diri dalam menjaga
2009). Dominasi otoritas dan kharisma penari kelangsungan hidup berkesenian. Di
rol sebagai agen mendorong para juragan lingkungan seniman wayang orang, seorang
wayang orang panggung populer berlomba- pemain secara individual cenderung
lomba mendapatkan mereka guna kepentingan mengelola diri dengan memadukan
bisnisnya. Oleh karena itu, maka dengan kemampuan keterampilan teknik dengan
segala cara bahkan kurang terpuji juragan- kemampuan keterampilan spiritual, sehingga
juragan wayang orang itu merekrut penari rol keseimbangan potensi diri itu diharapkan
melalui janji tawaran bayaran lebih tinggi dan mampu menjaga profesionalisme. Penguasaan
mendapatkan fasilitas yang lebih baik. olah batin ini merupakan bagian dari strategi
Persaingan tidak sehat ini merupakan hal yang aktor dalam menjaga pencitraan diri, sehingga
biasa terjadi, dan bagi seniman gejala ini yang bersangkutan memancarkan aura yang
dimanfaatkan untuk memperbaiki mampu menggetarkan penonton. Di era
kesejahteraan hidup keluarga dan sekaligus Rusman, tampaknya laku ritual dibutuhkan
untuk mencari pengalaman baru berkesenian. oleh penari untuk menjaga keseimbangan
Dominasi otoritas penari rol wayang lahir (fisik) dan batin (spiritual). Seperti
orang melekat dalam diri aktor, yaitu dijelaskan oleh Slamet Wiyono (adik Rusman
kualifikasi aktor yang memiliki kewenangan nomor 10 dari 11 bersaudara), bahwa Rusman
dalam menentukan kebijakan artistik, ukuran belum begitu mantap dengan kemampuan
dan kualitas estetis untuk kepentingan keterampilan tekniknya, sehingga secara
perkembangan karya seni. Dominasi otoritas spiritual ia melakukan laku ritual di makam
penari rol adalah kewenangannya dalam grup, Balakan di Langenharjo Sukoharjo untuk
bahkan manager dan sutradara pun tidak mendapatkan pelarisan (Hresapandi, 2011:
mutlak mempunyai kebijakan terhadap penari 179-180). Keterpaduan antara teknis dan
rol. Spiritnya dapat memotivasi grup dan spiritual adalah kesempurnaan seorang
penonton, sehingga tindakannya kalau tidak seniman wayang orang dalam menjual “adol
terkendali menjadi kendala kekompakan kabisan”, terutama dalam menjaga stabilitas
kelompok itu sendiri, yang memungkinkan berkesenian. Seperti diketahui, bahwa

25
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

persaingan antar penari rol merupakan Sistem pewarisan sebenarnya tidak hanya
fenomena zamannya sebab ketika itu tidak terbatas pada pengetahuan dan keterampilan
jarang mereka mencelakakan seniman lain teknik yang tinggi serta kemampuan
dengan cara menjatuhkan lewat kekuatan membalikkan karakter tokoh yang dibwakan,
gaib. Misalnya, penari rol tiba-tiba tidak tetapi juga pemakaian nama tokoh senior yang
mampu bersuara ketika sedang berdialog atau mewarisi. Misalnya, pemakaian nama
nembang, dan penari rol secara mendadak Harjowibaksa merupakan bentuk
tidak mampu menari di atas pentas yang nunggaksemi1 dari nama penari rol pemeran
berakibat fatal pada penampilannya (Ibid.) tokoh Gathutkaca wayang orang Sriwedari
Dalam sistem pewarisan penari rol yaitu Harjowugu Wibaksa. Hal yang menarik
wayang orang tampaknya berlaku sistem dari nunggaksemi ini adalah suatu bentuk
magang, yaitu proses transmisi secara longgar transmisi kader penari senior kepada penari
bagi penari yang dipandang memiliki junior sebagai aktualisasi nilai-nilai
kualifikasi kemampuan keterampilan teknik kesenimanan dan pencitraan aktor.
gerak dan vokal untuk memerankan tokoh Sayangnya, dalam wayang orang Sriwedari
tertentu dalam wayang. Sistem magang dalam tradisi nunggaksemi hanya berjalan sekali
wayang orang secara tradisi melakukan suatu dalam rentang waktu 101 tahun, sehingga
metode pendidikan yang didasarkan pada ketiadaan transmisi ini berdampak pada
aktivitas individu untuk melihat secara menurunnya kualitas aktor, terutama penari
langsung suatu pertunjukan dan secara detail rol sebagai daya tarik dan ikon penonton. Hal
mencatat. Kemudian aktor itu menirukan apa ini disebabkan oleh dua sebab, yaitu (1)
yang dilakukan oleh penari senior dan kurang harmonisnya hubungan dengan
menguasai semua perbendaharaan gerak, institusi keraton Kasunanan Surakarta sejalan
vokal, dan tembang. Tahap paripurna adalah dengan kehilangan pamornya, dan (2) sifat
aktivitas mengembangkan materi dominasi otoritas Rusman sebagai penari rol
perbendaharaan gerak sesuai dengan yang mempertahan reputasinya sampai akhir
membangun gaya pribadi aktor. hayatnya (Hersapandi, 2011: 5).
Kesempurnaan penari rol ketika ia mampu Ironisnya, dalam wayang orang penari rol
menampilkan gaya pribadi yang tidak menciptakan aktor pengganti karena
dikembangkan berdasarkan pengalaman dianggap sebagai rivalitas. Artinya, secara
belajar pada seniornya. Pola pewarisan dalam sistematik ia tidak mentrasmisikan
sistem magang dipandang strategis dalam keahliannya secara langsung kepada
mentransfer seluruh kemampuan aktor, yuniornya, sehingga ia mampu
sehingga memungkinkan terjadinya mempertahankan superioritasnya sebagai
kesinambungan regenerasi aktor. Substansi penari rol tak tertandingi di zamannya. Oleh
sistem pembeljaran ini sesungguhnya mirip karena itu, intensitas proses pewarisan dalam
dengan metode 3 N Ki Hadjar Dewantara, wayang orang sangat tergantung dari sikap
yaitu Niteni, Nirokake, dan Nambahi. Niteni proaktif individu aktor, intelejensi dan
adalah selalu memperhatikan sampai hal-hal integritas aktor sebagai pewaris aktif dalam
detail, Nirokake adalah selalu mencontoh hal- lingkungan aktor. Di samping itu juga,
hal yang dianggap bagus/hebat dsb, dan kualitas pewarisan ditentukan oleh bekal
Nambahi yaitu menambah hal-hal yang pengetahuan dan keterampilan teknik aktor.
dipandang bagus, sehingga menjadi the best. Misalnya, Rusman belajar menari dari guru
(http://husnimuarif.wordpress.com/tag/eman- dan empu tari Kadipaten Mangkunegaran dan
eman/). Belajar seni tradisi dan keterampilan Kasunanan Surakarta, antara lain guru Darmo
kerajinan seperti batik, ukir, anyam dapat yang mengawali nelajar menari Rusman,
dilakukan dengan menggunakan metode 3 N Demang Poncosewaka empu tari dari Pura
atau 3 M yaitu Mengamati, Meniru, dan Mangkunegara (Rusini, 2003: 45-46).
Mengembangkan yang digunakan dalam Pengalaman berkesenian menjadi faktor
pembelajaran di Tamasiswa oleh Ki Hajar
Dewantoro. Metode 3 N 1
Dalam tradisi Jawa, pengertian nunggaksemi biasanya
(http://eprints.uny.ac.id/3767/1/08Martono.pd dikenakan pada orang yang menggunakan nama ayahnya atau nama
tokoh senior yang memiliki nilai karismatik, (lihat Rustopo, 2008:
f). 292).

26
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

penentu keberhasilan aktor dalam proses diperankan Harjowugu Wibaksa. Seperti


pewarisan tradisi yang berdampak popularitas dikemukakan oleh Soemardjo Hardjoprasonto,
sebagai figur publik yang menjadi daya tarik bahwa penampilan Rusman ketika
dan ikon wayang orang. menggantikan Wugu Harjawibaksa memiliki
Dalam berbagai kasus, bahwa munculnya kualitas yang mirif, terutama „gregetnya‟,
penari rol baru datangnya terkadang tidak namun Rusman mampu menciptakan dirinya
terduga-duga. Ia menggantikan seniornya sebagai Rusman, bukan Harjowugu.
ketika berhalangan hadir karena berbagai Akhirnya, penampilannya sudah Gathutkaca
alasan teknis seperti sakit, karena suatu tugas Rusman yang utuh yang sama sekali berbeda
pribadi, atau alasan lain yang menyebabkan dengan Gathutkaca Harjowugu
yang bersangkutan absen. Ketidakhadiran (Hardjoprasonto, 1997: 132). Kualitas
seniornya ini tentu menjadi kesempatan yang kepenarian yang luar biasa ini, merupakan
harus dimanfaatkan untuk membuktikan pencitraan aktor yang diidolakan para
kualitas kesenimannya. Pembuktian kualitas penggemarnya, bahkan mampu menjadi idola
kepenarian ini merupakan kondisi objetif yang Presiden Soekarno dan penari rol legendaris di
memungkinkan dirinya benar-benar membuat zamannya.
detak kagum penonton. Ukuran keberhasilan Fenomena pewarisan penari rol secara
penari rol pengganti adalah apabila ia mampu garis besar dipilahkan menjadi dua, yaitu (1)
merepresentasikan dirinya sebanding dengan penari rol yang berasal dari keturunan atau
penari rol yang digantikan. Bahkan jika anak penari rol, (2) penari rol yang bukan
memungkinkan, ia dapat mengungguli aktor berasal dari keturunan atau anak penari rol,
seniornya dalam membawakan tokoh yang tetapi memiliki kelebihan secara pengetahuan
dibawakan. Kesan yang ditangkap adalah dan keterampilan teknik yang tinggi, sehingga
kualitas penampilan, baik aspek kualiats ia layak memiliki kualifikasi penari rol.
keterampilan teknik gerak dan vokal maupun Pewarisan penari rol merupakan faktor
penguasaan dramatikalnya. determinan yang menjadi dasar pembentukan
kualitas aktor dalam rangka menjaga
II. Sistem Pewarisan Penari Rol Wayang pencitraan dan reputasi pertunjukan. Bahkan,
Orang kebijakan manajemen wayang orang
panggung populer tempo dulu senantiasa
Tiadanya penari rol yang handal dalam bergantung pada penampilan penari rol.
wayang orang panggung populer masa kini Menurutnya, tanpa penari rol, maka
sebenarnya dilatarbelakangi oleh lemahnya pertunjukan tidak laku dijual. Artinya,
sistem pewarisan penari rol. Hal ini superior penari rol menjadi kata kunci
disebabkan oleh dominasi otoritas penari rol keberhasilan sebuah pertunjukan profesional.
yang tidak menciptakan aktor pengganti Oleh karena itu, pewarisan penari rol
karena dianggap sebagai rivalitasnya. dipandang penting untuk mempertahankan
Menariknya, penari rol baru muncul secara reputasi sebuah grup kesenian komersial. Di
mendadak karena kekosongan atau Jepang salah satu negara modern yang masih
ketidakhadiran penari rol. Sebagai pemeran menghargai seni tradisinya, tampaknya
pengganti ada dua kemungkinan yang terjadi, memiliki tradisi sistem pewarisan pemain
yaitu: kemungkinan ia berhasil dan bahkan bintangnya sebagai bentuk pencitraan aktor.
kualitasnya melebihi aktor yang Misalnya, teater Kabuki yang masih
digantikannya, atau kemungkinan ia gagal mempertahankan tradisi transmisi pemain
karena tidak cukup memiliki kualitas bintang secara ketat, yakni (1) Ia harus
kesenimanan yang mampu menciptakan daya keturunan pemain bintang, (2) Ia menjadi
tarik penonton. Misalnya, kasus munculnya menantu anak pemain bintang, dan (3) Ia
Rusman sebagai penari rol yang menjadi idola diangkat menjadi anak angkat pemain bintang
penggemar wayang orang Sriwedari, (Himiko, wawancara pada tanggal 30 Januari
sebenarnya merupakan faktor kebetulan yang 2010). Tradisi transmisi dari tokoh tua ke
ketika itu ada kesempatan untuk main tokoh muda di lingkungan teater Kabuki
menggantikan tokoh Gathutkaca yang merupakan strategi untuk menjaga spirit
berkesenian terkait upaya pencitraan kesenian

27
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

itu dengan penonton sebagai basis sosial. individu yang mendukungnya tidak kuat
Bentuk pencitraan itu dicerminkan oleh sikap (Soekanto, 1986: 258).
maestro Kabuki dalam menciptakan pola tari Koesseno Brojo Kuncoro lahir 4 Juli
dan akting yang khas, yang kemudian 1952 di Semarang adalah anak pertama dari
diwariskan kepada keturunan-keturunannya seniman kondang wayang orang Ngesthi
(Tati Narawati dan Soedarsono, 2005: 237). Pandawa Semarang, yaitu Koesni. Koesni
Penciptaan tradisi pewarisan ini dipandang adalah penari rol dan sutradara terkenal
penting dan terbukti menjadi kunci sukses wayang orang Ngesthi Pandawa Semarang. Ia
pertunjukan teater Kabuki dan dicintai adalah anak tobong yang setiap hari bergelut
masyarakat modern Jepang mutakhir. dengan seniman wayang orang, sehingga
secara alami ia belajar dari lingkungan
III. Penari Rol yang berasal dari budayanya, baik menyangkut pengetahuan
Keturunan atau Anak Penari Rol tentang dunia pewayangan maupun
keterampilan teknik gerak dan suara. Sebagai
Fenomena anak tobong merupakan anak tobong ia demikian dekat dengan dunia
peristiwa proses kesenimanan yang didapat pemanggungan wayang orang. Koesseno
oleh para pemain wayang orang sebagai Brojo Kuncoro dikenal penari rol tahun 1970-
keturunan atau anak penari rol. Dominasi an yang memiliki kualifikasi keaktoran baik
otoritas penari rol melekat dalam diri aktor dan mumpuni. Ia lahir dan dibesarkan di
yang diposisikan sebagai pemimpin budaya. lingkungan wayang orang Ngesthi Pandawa
Dominasi otoritas dan kharisma yang melekat Semarang ketika masa pertumbuhannya di era
pada individu aktor adalah mencerminan kebesaran nama Rusman Harjowibaksa
parameter keunggulan kompetetif agen sebagai penari Gathutkaca. Kualitas
sebagai seniman di papan atas. Predikat anak keaktorannya dibentuk oleh spirit berkesenian
penari rol tentu memiliki kesempatan lebih di lingkungan seniman wayang orang Ngesthi
untuk menyerap pengetahuan dan Pandawa Semarang, sehingga tidak
keterampilan teknik dari orang tuanya. Sejak mengherankan apabila ia merupakan pewaris
usia dini, anak, dewasa, dan orang tua dari aktif dari struktur dominasi otoritas dan
aspek waktu senantiasa dapat belajar langsung kharisma Koesni. Duet permainan di atas
dengan orang tuanya. Mulai bangun tidur, panggung selalu menjadi tontonan yang
pagi, siang dan malam hari ia mendapat menarik dan ditunggu-tunggu oleh para
kesempatan untuk berinteraksi dengan orang penggemarnya. Oleh karena itu, tidak
tuanya. Proses perjalanan berkesenian ini mengherankan apabila BUMN Pertamina Unit
membentuk karakter aktor sebagai individu IV Semarang secara rutin memborong kursi
yang mampu menjadikan dirinya sebagai figur pertunjukan wayang orang Ngesthi Pandawa
publik yang populer di zamannya. dengan catatan harus melibatkan pemain
Pembentukan karakter penari rol sangat favoritnya, yaitu Koesni dan Koesseno.
tergantung dari kualitas individu, intejensi, Misalnya untuk lakon ”Kikis Tunggarana”,
dan integritas agen sebagai penari yang pemeran tokoh Boma harus Koesni dan tokoh
memiliki keunggulan kompetetif. Bahkan, Gathutkaca dimainkan Koeseno. Apabila
pada tingkat tertentu ia harus mendapatkan kedua penari rol itu tidak main, biasanya
pulung melalui laku spiritual yang berat. Oleh pentas dibatalkan dengan diganti hari lain
karena itu, menuju predikat penari rol bukan asalnya kedua pemain itu tampil sebagai
permasalahan yang mudah bagi aktor, tetapi pemainnya (Hersapandi, dkk, 1998: 92).
membutuhkan kerja keras lahir dan batin Koeseno sebagai pewaris aktif struktur
untuk mencapai impiannya sebagai penari dominasi otoritas dan kharisma penari rol
kesayangan penonton. Dominasi otoritas dan Koesni adalah pengagum Rusman sebagai
kharisma penari rol dapat berkurang atau seniman besar wayang orang Sriwedari.
bahkan hilang apabila individu yang Ekspresi kekaguman itu ia buktikan ketika
memilikinya berbuat kesalahan-kesalahan menjadi juara I Gathutkaca mirip Rusman
yang merugikan masyarakat atau mental dalam lomba tari tahun 1972 di mana Rusman
sebagai salah satu anggota Dewan Juri
(Hersapandi, 2011: 254) Hal ini menunjukkan

28
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

bahwa Koesseno memiliki kualifikasi Gathutkaca, bukanlah suatu pekerjaan yang


kepenarian yang baik dengan kualitas gerak di mudah, namun dibutuhkan kontinuitas
atas rata-rata peserta lomba. Pengakuan berkesenian dengan memerankan tokoh
kualitas kepenarian itu dibuktikan ketika ia Gathutkaca secara terus-menerus dengan
main bareng tiga kali dengan Rusman pada dilambari laku spiritual yang mendalam dan
tahun 1980-an sebagai pemeran tokoh kepasrahan dalam sebuah pengabdian pada
Gathutkaca asli dan Rusman pemeran tokoh profesinya.
Gathutkaca palsu dalam lakon yang Disiplin berkesenian ia terapkan ketika
menghadirkan dua peran tokoh Gathutkaca. menjadi sutradara di wayang orang Ngesthi
Baginya, bermain bersama Rusman adalah Pandawa mewarisi ayahnya, Koesni.
kebanggaan tersendiri seorang seniman Penguasaan pengetahuan dan keterampilan
wayang orang dalam menjaga nilai-nilai teknik gerak atau suara yang bagus dan
profesionalisme. Untuk menjadi penari yang mantab tampaknya membawa Koeseno
baik dibutuhkan sikap profesional dengan sebagai aktor yang mampu menciptakan
penguasaan pengetahuan dan keterampilan kreativitas dan inovasi dalam upaya
seni yang tinggi. Ia harus menjaga menjawab tantangan jaman. Oleh karena itu,
ketubuhannya dengan terus berlatih dan ia tidak banyak menemui hambatan yang
meningkatkan kualitas keaktorannya. Di berarti ketika menciptakan koreografi wayang
samping itu, ia harus mampu menciptakan orang garap baru. Bahkan sebagai seniman
kreativitas yang membuat penonton terkesima muda wayang orang Ngesthi Pandawa, ia
dengan atraksinya di atas pentas. Dengan mendirikan komunitas generasi muda wayang
potensi diri diharapkan mampu orang Ngesthi Pandawa. Berdirinya
mengembangkan kualitas gaya pribadi sebagai komunitas generasi muda Ngesthi Pandawa
modal untuk membangun pencitraan sebagai ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan
aktor, bukan meniru orang lain, bahkan aktor menurunnya minat dan kualitas pemain muda
idolanya. Kesadaran ini merupakan sikap sebagai dampak perubahan gaya hidup
proaktif untuk mengembangkan potensi diri masyarakat pendukungnya sebagai akibat
agar menjadi idola penonton. pengaruh kehidupan global.
Koordinasi tata urutan gerak dengan Kehidupan kesenimanan Koesseno
teknik mengolah suara ketika berdialog dan sebagai pemain wayang orang Ngesthi
bertembang serta penghayatan karakter tokoh Pandawa memang tidak berjalan mulus, sebab
yang dibawakan merupakan kekuatan ia harus mengorbankan profesinya untuk
Rusman, sehingga ia mampu mengeluarkan mengikuti kepindahan istrinya yang bekerja
suara secara keras dan lantang di ruangan sebagai staf pengajar pada Akademi Seni Tari
yang luas dengan kualitas suara yang mantab Indonesia Yogyakarta pada tahun 1976
dan indah tanpa terkesan ngoyo (dipaksakan). (sekarang Jurusan Tari Fakultas Seni
Elaborasi teknik gerak dan teknik suara yang Pertunjukan Institut Seni Indonesia
sempurna dan didukung pemahaman tentang Yogyakarta). Meskipun demikian, ia masih
struktur gending iringannya menjadi kekuatan wira-wiri (pulang-pergi) ke Semarang-
tersendiri bagi keaktoran Rusman. Di sini Yogyakarta untuk pentas, bahkan tahun 1980-
Koesseno mencoba mendalami karakter tokoh an ia mendirikan komunitas generasi muda
Gathutkaca yang ditampilkan Rusman, Ngesthi Pandawa. Wadah ini merupakan
sehingga kemampuan mengadaptasi tempat menuangkan ide-ide baru menggarap
ketubuhan dan keaktoran Rusman membawa format baru wayang orang, termasuk garap
konsekuensi logis terpilihnya ia menjadi wayang orang dengan memanfaatkan
pemeran tokoh Gathutkaca di mana Rusman multimedia. Namun sayangnya, peran
juga sebagai patner bermain. Hal ini Koesseno menjadi fasilitator kerja kreatif
menunjukkan bahwa Koesseno memiliki untuk generasi muda wayang orang Ngesthi
kualitas keaktoran yang mampu mengimbangi Pandawa terhenti karena faktor jarak dan
keaktoran Rusman dalam membawakan peran waktu serta kesibukan dalam keluarganya.
Gathutkaca. Ia menyadari untuk dapat
memahami gaya pribadi Rusman sebagai
penari ulung dalam memerankan tokoh

29
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

IV. Penari Rol yang Bukan berasal dari sebagai penari Gathutkaca pada tahun
Keturunan atau Anak Penari Rol 1930-an. Rusman demikian terinspirasi
dengan ketokohan Harjowugu Wibaksa
1. Pewarisan Rusman dari sebagai penari Gathutkaca yang ketika
Harjowugu Wibaksa menjadi idola para penggemar wayang
orang Sriwedari, terutama -
Dalam mendapatkan pewarisan atau tembangannya. Tanda-tanda
penerusan dominasi otoritas dan ketertarikan dengan wayang wong
kharisma penari rol yang berupa ternyata telah tampak ketika masih usia
pengetahuan dan keterampilan seni, anak-anak. Oleh karena itu, tidak
seorang pewaris atau penerus dapat mengherankan jika pada masa kanak-
menempuh melalui dua cara, yaitu (1) kanak Rusman bersama-sama teman
dengan cara berguru langsung kepada sebayanya sering melihat pertunjukan
seorang penari rol, (2) secara tidak wayang orang Sriwedari, terutama
langsung dengan jalan menonton terkesan dengan penampilan Harjowugu
pertunjukan di mana penari rol itu Wibaksa ketika memainkan tokoh
sebagai bintangnya. Dalam proses Gathutkaca. Bagi Rusman, melihat
pembelajaran itu seorang siswa didik pertunjukan wayang orang Sriwedari
harus mengikuti sistem pendidikan yang adalah cara belajar pasif secara langsung
berlaku, seperti latihan menari, ujian dan kepada seniman idolanya. Bahkan
pentas kenaikan peringkat sesuai dengan bersama teman–teman sebayanya, suatu
tingkat kesulitan materi ajar. Metode hari bermain wayang-wayangan di
pembelajaran yang mengutamakan halaman sekolah dekat rumahnya. Saat
penyampaian dan transfer pengetahuan mereka bermain itu, diketahui oleh
dan keterampilan seni melalui interaksi seorang guru di sekolah itu, bahwa
guru dengan murid secara individual dan Rusman adalah salah seorang anak yang
intensif disebut ”magang”. Tidak jarang dianggapnya mempunyai bakat menari.
calon penari rol itu menetap tinggal di Guru Darmo adalah orang pertama yang
rumah dan mengabdi pada seorang guru menjadi guru tari Rusman di masa kanak-
atau empu seni. Aktor calon penari rol kanak (Rusini, 2003: 44), sebelum
menjadi anggota keluarga baru dari sang Rusman menjadi murid dari R.Ng.
guru, ikut mengambil pekerjaan sehari- Wiryopradhata dan Demang
hari, dan acap kali menjadi pembantu Poncosewaka. Bakat seni yang dimiliki
atau pengikut dari sang empu seni. Rusman menempatkan ia sebagai seorang
Harapannya, aktor tidak saja terikat akan murid cerdas dan menonjol, sehingga
kebutuhan untuk mendapatkan dalam berbagai kesempatan pentas ia
pengetahuan dan keterampilan seni, lebih ditunjuk sebagai pemeran tokoh kunci
jauh lagi untuk meneruskan kehidupan yang membuat detik kagum penonton.
suatu jenis kesenian. Untuk Kekaguman pada sang tokoh idola
menyempurnakan pengetahuan dan itu mendorong Rusman untuk mencoba
keterampilan seni, seorang aktor biasanya mendekat dengan belajar secara langsung
memperkaya pengalaman berkesenian kepada Harjowugu Wibaksa sebagai
dengan rajin datang ke tempat-tempat penari Gathutkaca. Masyarakat pencinta
pertunjukan untuk menonton penampilan wayang orang Sriwedari kecanduan
para empu tari atau seniman-seniman penampilannya Gathutkaca Harjowugu.
yang sudah berpengalaman (lihat Dibia, Mereka kagum suara dan -
2004: 121-122). urannya, sehingga dulu menjadi
Bagi Rusman, posisi penari rol omongan dan menjadi model -
merupakan hasil perjuangan Harjowugu. Menurut R.Ng.
kesenimanannya sebagai relasi Wiryopradhata selaku manajer wayang
kharismatik seorang penari rol orang Sriwedari, bahwa ia mendapatkan
Harjowugu Wibaksa yang populer kembali Harjowugu, bahkan suaranya
lebih bagus, gayanya pun mirip. Seperti

30
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

Harjowugu terutama ”gregetnya”, namun memberi kekuatan pada seseorang yang


akhirnya Rusman menciptakan dirinya mendapatkan bimbingan seorang guru
sebagai Rusman, bukan Harjowugu. spiritual. Disadari bahwa pulung sudah
Gathutkaca Rusman yang utuh menjadi barang tentu tidak dapat diberikan kepada
lain sama sekali berbeda dengan setiap orang, tetapi hanya diberikan
Gathutkaca Harjowugu (Hardjoprasonto, kepada mereka yang benar-benar
1997: 132). Nama Rusman Harjowibaksa memiliki kualifikasi untuk
sesungguhnya nunggaksemi dari nama mendapatkannya. Keseimbangan
Harjowugu Wibaksa, artinya adaptasi kekuatan lahir dan batin ikut menentukan
nama penari rol seniornya merupakan apakah seseorang itu akan memperoleh
bentuk pewarisan atau transmisi suatu pulung, termasuk niat baik dalam
keaktoran sebagai penerus pemain diri seseorang juga menentukan untuk
wayang orang Sriwedari. mendapatkan pulung. Di sini sebenarnya
Sebagai pewaris aktif dominasi dukungan ayahnya yang ikut membantu
otoritas dan kharisma Harjowugu, dalam melakukan beberapa laku tirakat
Rusman bukannya duplikasi atau kopian berat, sehingga menjadi seorang penari
Harjowugu, tetapi gaya pribadi Rusman rol legendaris di zamannya.
merupakan pencerminan keaktoran yang Surono sebagai pewaris aktif dari
berbeda dengan pendahulunya. Sastra Dirun pemeran tokoh Petruk
Fenomena ini adalah bentuk spirit legendaris wayang orang Sriwedari
zamannya yang dibangun oleh rasional sebelumnya, atau Ranto Edi Gudel yang
tindakan aktor untuk mendapatkan tampil terlebih dulu sebagai pemeran
pengakuan masyarakat penggemarnya. tokoh Petruk sebelum Surono. Kehebatan
Ekspresi individual yang dibangun aktor Surono adalah perjalanan berkesenian
sudah barang tentu cenderung bersumber telah ia tempuh dengan belajar terlebih
pada bentuk-bentuk koreografi yang dulu dengan tokoh seniman tari dan
sudah ada, kemudian dengan karawitan dari Kadipaten
diinterpretasikan kedalam nilai-nilai Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan
spirit baru sesuai dengan semangat Surakarta, seperti Demang Poncosewaka,
zamannya, yang melahirkan gaya pribadi RM.Ng. Wignya Hambeksa, dan R.T.
aktor. Kehebatan Rusman adalah ketika Koesoemokesawa. Sikap keras sang
ia mampu belajar dari Harjowugu dan guiru itu, tampaknya membentuk kualitas
kemudian memberi penafsiran yang lebih Surono sebagai penari rol yang mumpuni
pop dari Harjowugu, yang disadari betul di bidang tari dan karawitan, sehingga
oleh Rusman bahwa hal inilah yang wajar ia dipercaya untuk menjadi
dibutuhkan oleh penonton (Rusini, 2003: sutradara wayang orang Sriwedari.
x). Bahkan karya fragmen wayang orang
Kehebatan Rusman adalah dalam bentuk garapan humor laku kears
kemampuan menafsirkan kemapanan dipasaran. Akhirnya, Surono bergabung
struktur tari ke dalam paradigma baru dalam komunitas sempalan wayang
sesuai dengan semangat zamannya. orang Sriwedari untuk keperluan
Keliaran berkesenian diyakini akan tanggapan yang terkenal dengan sebutan
melahirkan kejutan-kejutan baru dalam “Trio DRS” (Darsi, Rusman, Surono).
koreografinya dan memunculkan gaya Melalui kelompok “Trio DRS” ini
pribadi. Nilai kharismatik keberhasilan sebenarnya mereka mendapatkan
Rusman adalah disiplin dan totalitas menghasilan finansial yang mampu
penghayatan terhadap tokoh wayang meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
yang dibawakan. Wewenang kharismatik
merupakan wewenang yang didasarkan
pada kharisma, yaitu suatu kemampuan
khusus (wahyu, pulung) yang ada pada
diri seseorang. Kedudukan pulung
tampaknya irasional, namun pulung akan

31
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

2. Pewarisan Zamrud dari Rusman Indonesia (SMKI) Surakarta. Secara


Harjowibaksa informal ia memperdalam seni tari dan
wayang orang kepada Tan Guan Him
Pewaris aktif Rusman di lingkungan pelatih wayang orang Persatuan
internal wayang orang Sriwedari adalah Masyarakat Surakarta (PMS) dan Witoyo
Zamrud Haryo Yekti Wirutomo (42 pelatih tari dan wayang orang di Keraton
tahun). Dalam perjalanan berkesenian Kasunanan Surakarta. Selama kurun
sebagai penari wayang orang Sriwedari, waktu tahun 1985-tahun 1995, ia
ia belum pernah memainkan tokoh berkenalan dan banyak belajar dengan
Gathutkaca ketika Rusman masih aktif empu tari Solo yaitu S. Maridi, Rusman
sebagai pemain tokoh Gathutkaca. dan Surono. Bahkan masuk menjadi
Namun sebagai penari yunior, ia banyak pemain wayang orang Sriwedari sejak
belajar secara tidak langsung dengan tahun 1990 atas rekomendasi Rusman
Rusman dalam setiap kali pertunjukan. dan Surono dengan status sebagai Wiyata
Proses pembelajaran seni panggung ini Bakti tanpa menerima gaji selama 4
memiliki keunikan karena faktor tahun dan pada tahun 1994 ia diangkat
interaksi yang berulang-ulang dalam menjadi pegawai honorer dengan gaji Rp
konteks ruang dan waktu dalam struktur 60.000,- per-bulan. Pada bulan Juni tahun
sosial seni pertunjukan. Seorang seniman 1993 ia mengikuti misi kesenian Keraton
pada dasarnya adalah peniru, sehingga Kasunanan Surakarta selama 1 bulan di
untuk dapat bertahan dibutuhkan 12 negara Eropa, yaitu menjadi penari
komitmen untuk memiliki kemampuan tokoh Indrajit dan Jatayu dalam
meniru. Kemampuan meniru ini bukan sendratari Ramayana. Pada tahun 2000
hanya berlaku untuk seorang seniman secara resmi ia diangkat menjadi pegawai
pop, melainkan juga untuk para seniman negeri sipil (PNS) dengan golongan II-a,
elit (Sunardi, 2007: 5). Oleh karena itu, sehingga status ini menjadikan ia sebagai
spesifikasi peniru ini menempatkan seniman birokrat yang secara rutin
Zamrud sebagai pewaris aktif Rusman, bekerja menjadi penari wayang orang
meskipun demikian ia memiliki Sriwedari, kacuali hari Minggu malam
kebebasan kreatif sebagai aktualisasi libur dan Senin (hari Senin sekarang
aktor yang mandiri dan produktif. diberlakukan libur tidak ada
Zamrud adalah anak bungsu dari 7 pertunjukan).
bersaudara, ia lahir di Karanganyar Riwayat peran dapukan sebagai
tanggal 1 Oktober 1970 dari pasangan penari wayang orang Sriwedari, yaitu
Subanto Citroyudana-Srisuyekti. Ibunya periode tahun 1990-1991 masih
langsung meninggal dunia tahun 1970 mendapat peran prajurit atau bala dupak,
setelah melahirkan dirinya, ayahnya tahun 1991-1992 sering berperan raksasa
seorang kepala Sekolah Menengah Cakil, dan 1992-1994 selama 1 minggu 3
Pertama yang juga sebagai seniman serba kali berlatih peran antagonis (brantak),
bisa. Bakat seni Zamrud terlihat sejak ia perang, olah suara untuk dialog vokal dan
berumur 6 tahun yaitu seni tari, teater dan nembang ura-ura atau palaran.
menyanyi, yang kebolehannya Kepiawaian dalam menari dan bekal
ditampilkan pada acara peringatan hari suara yang baik, ia mulai dipercaya
kemerdekaan Republik Indonesia, acara peran-peran tertentu, terutama tokoh
penikahan, dan sebagainya. Hargiyanto, dugangan seperti Gathutkaca, Burisrawa,
Paimin dan Anjrah Sri Paramita adalah Baladewa, Bomanarakasura, Rahwana,
guru pemimbing seni tari, teater dan dan sebagainya. Sebagai pemeran tokoh
menyanyi ketika masih usia anak-anak. Gathutkaca baru dipercayakan kepada
Secara formal mulai mengenal wayang Zamrud setelah Rusman Harjowibakso
orang secara dekat pada tahun 1987 meninggal dunia 19 Oktober 1990, sebab
ketika ia mengikuti mata pelajaran di dominasi otoritas dan kharisma Rusman
kelas 2 Sekolah Menengah Kesenian begitu kuat yang tidak memungkinkan ia
tampil sebagai pemerankan tokoh

32
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

Gathutkaca. Pemilihan Zamrud sebagai Enthus Susmono seorang dalang wayang


pengganti Rusman karena pertimbangan kulit kontemporer. Kritikan yang muncul
kualitas artistik, bahwa ia memiliki gaya adalah garapan masih tampak
penampilannya mirip Rusman, meskipun konvensional, belum ada upaya
kualitas kesenimanannya belum mampu pembaharuan yang menjadi magnit
menyamai Rusman. Seperti kualifikasi membuat penonton tertawa dan terhibur.
keaktoran Rusman sebagai penari rol, Kemudian muncul kemasan tari
Zamrud masuk pada kategori pola Gathutkaca-Pregiwa lintas jenis kelamin
perjalanan berkesenian “tegak lurus‟, (cross gender) yang dielaborasikan
artinya bahwa sejak awal Zamrud dengan jenis musik pop, dangdut dan
menekuni jenis kesenian wayang orang campursari, serta kental dengan nuansa
gaya Surakarta, yang terbatas pada satu humor, tampaknya mampu menjawab
jenis karakter tokoh pewayangan putra selera dan kebutuhan penonton. Karya
gagah dugangan seperti Gathutkaca, tari ini memberikan sentuhan estetis
Bomanarasura, Baladewa, Burisrawa, kontemporer tokoh Gathutkaca dan
Rahwana, Indrajit dan sebagainya. Pregiwa kepada penontonnya. Fenomena
Zamrud menyadari, bahwa ini menunjukkan bahwa penonton masa
menduplikasi Rusman bukan pekerjaan kini membutuhkan sajian baru dan
yang mudah, tetapi membutuhkan penafsiran baru terhadap tokoh
komitmen dan kerja keras untuk Gathutkaca dan Pregiwa. Penonton tidak
meningkatkan kualitas pengetahuan dan lagi mendengarkan tembang
keterampilan seni wayang orang secara dhandhangula atau pangkur, tetapi
optimal, sehingga ia mampu mendengarkan lagu pop nasional atau
membawakan karakter Gathutkaca secara asing, dangdut, dan campursari yang
baik. Keyakinan atas dominasi otoritas akrab di telinga mereka. Sentuhan estetis
dan kharisma Rusman belum tergugurkan ini tampaknya mampu menyentuh hati
oleh penari-penari yang pernah lahir penonton masa kini, sehingga tidak
kemudian. Hal ini menunjukkan, bahwa mengherankan apabila tarian ini semakin
dominasi otoritas dan kharisma Rusman populer di kalangan masyarakat
sebagai penari rol hanya lahir sekali. pendukungnya.
Sebagai anak zaman, ia lahir dengan Popularitas tari “Gathutkaca-
kriteria estetika yang berlaku di Pregiwa” lintas jenis kelamin adalah
zamannya dan didukung oleh fenomena zamannya, yang khas dan
penggemarnya yang memiliki acuan eksotik. Hal ini sesuai dengan latar
normatif dengan standar artistik baku belakang kebudayaan populer yang
menurut estetika keraton. Kehebatan menawarkan suatu gaya hidup yang khas
Rusman adalah kualitas tubuh dan suara dan eksotik (Siregar, 1997: 219). Karya
yang ideal, sehingga muncul pendapat tari ini membawa Zamrud mencapai
bahwa Rusman adalah Gathutkaca dan popularitas di masa kini dan banyak
Gathutkaca adalah Rusman. Kondisi menerima tanggapan para penggemarnya
ideal ini tidak berlaku bagi Zamrud dari berbagai kota di Jawa Tengah seperti
sebagai pemeran tokoh Gahutkaca Semarang, Surakarta, bahkan sampai ke
pengganti Rusman, ia belum memenuhi Bandung (Zamrud, wawancara 14 Juli
kriteria ideal pemeran tokoh Gathutkaca, 2010).
sebab predikat itu sudah menjadi
monopoli Rusman. V. KESIMPULAN
Konsep kemasan kontemporer ini
diawali ketika Zamrud ditanggap main di Sistem pewarisan dalam wayang orang
kantor Gubernur Jawa Tengah pada tahun panggung populer tampaknya dihadapkan
1999, ia diminta oleh G.P.H. Heruwasta suatu permasalahan tentang nilai-nilai
pimpinan Suryasumirat Mangkunegaran profesionalisme yang menuntut adanya
Surakarta untuk menari Gathutkaca disiplin diri dan komitmen untuk menggeluti
Gandrung berkolaborasi dengan Ki secara total. Pewarisan berlangsung dalam dua

33
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

kategori, yaitu kategori pewarisan keturunan DAFTAR RUJUKAN


langsung atau anak kandung sanga penari rol,
sehingga ia dibesarkan oleh lingkungannya A. Sumber Tercetak
berkesenian. Dalam kasus wayang orang
panggung populer, biasanya ia anak tobong Clara van Groenendel, Victoria M. (1987),
yang memungkinkannya dapat melihat Dalang Di Balik Wayang, terjemahan.
langsung proses kreatif orang tuanya, baik Pustaka Utama Grafiti, Pustaka Grafiti,
dalam setiap pertunjukan maupun dalam Jakarta
setiap kegiatan latihan. Uniknya, pada
prakteknya tidak semua anak penari rol Dibia, I Wayan, (2004), Pragina: Penari,
tertarik untuk mendapatkan warisan orang Aktor dan Perilaku Seni Pertunjukan
tuanya mengikuti profesinya. Hal ini Bali. Sava Media, Malang.
disebabkan oleh faktor internalnya dengan
berbagai alasan yang sifatnya subjektif. Hardjoprasonto, Soemardjo,(1997), Bunga
Kategori kedua, yaitu pewarisan yang Rampai Seni Tari Solo. Taman Mini
didapatkan dari penari rol yang bukan orang Indonesia Indah, Jakarta.
tua kandung, tetapi sebagai seniornya di
tempat ia bermain wayang orang. Misalnya, Hersapandi, dkk, (1998), “Krisis Wayang
Rusman yang mendapat pewarisan aktif dari Orang di Era Orde Baru”. Penelitian Pada
Harjowugu Wibaksa, demikian juga Zamrud Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta,
yang mewarisi Rusman Harjowibaksa. Spirit Yogyakarta.
integritas kategori kedua ini tentu karena
pertimbangan ekonomi semata agar ia ________________, (1994), “Etnis Cina dan
mendapatkan kharisma dari pencitraan Wayang Orang Komersial: Suatu Kajian
seniornya. Meskipun disadari bahwa peanri Sosio-Historits”, dalam Jurnal Seni
rol tidak pernah menciptakan aktor pengganti Pertunjukan Indonesia. PT. Gramedia
karena dianggap rivalitas. Fenomena jarak Widiasarana Indonesia., Jakarta.
status sosial ini menyebabkan lahirnya penari
rol secara tiba-tiba karena seniornya ________________, (1999), Wayang Wong
berhalangan datang akibat sakit atau ada Sriwedari: Dari Seni Istana Menjadi Seni
keperluan lain yang dianggap penting. Di sini, Komersial. Yayasan Untuk Indonesia,
kategori penari rol biasanya telah memiliki Yogyakarta.
kepandaian dalam bermain wayang orang
yang ia pelajari dari tokoh-tokoh seniman tari Rusini, 2003, Gathuitkaca di Panggung
dan karawitan yang mumpuni di bidangnya. Soekarno. STSI Press, Surakarta.
Dalam mencari solusi tentang sistem
pewarisan penari rol dalam wayang orang, Siregar, Ashadi, (1997), “Budaya Massa:
tampaknya kita patut bercermin dan Catatan Konseptual tentang Produk
beradaptasi dengan sistem pewarisan yang Budaya dan Hiburan Massa”, dalam
berlaku di teater Kabuki di Jepang, seorang Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop
pemain bintang merupakan andalan pencitraan dalam Masyarakat Komoditas
bagi kepentingan bisnis hiburan seni Indonesia” editor Idi Subandy Ibrahim.
pertunjukan tradisional, yaitu (1) ia harus Jalasutra, Yogyakarta.
keturunan langsung dari pemain bintang,)\(2)
ia harus menjadi menantu anak pemain Soekanto, Soerjono, (1986), Sosiologi Sutau
bintang; (3) ia harus diambil anak angkat PengantarRajawali, Jakarta.
pemain bintang. Transmisi kaderisasi pemain
bintang itu disahkan dalam suatu upacara Sriyadi, (2003), “Surono: „Petruk‟ Wayang
yang diadakan untuk kepentingan itu, yaitu Wong Sriwedari, Sebuah Biografi”. Tesis
pencitraan pemain bintang sebagai ikon daya untuk memperoleh Derajat Sarjana S-2
tarik penonton. pada Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.

34
Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol
dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

Sunardi, 2007, Fenomena Bintang, B. Sumber Internett


Universitas: Sanata Dharma, Yogyakarta.
http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/
364/1528/2429.full.

http://husnimuarif.wordpress.com/tag/eman-
eman/

http://eprints.uny.ac.id/3767/1/08Martono.pdf

35
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 36-48

REOG OBYOGAN SEBAGAI PROFESI


Oleh: Hendro Martono
Dosen Jurusan Tari Fak. Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta
Email: gendotrie@yahoo.com

Abstrak
Zaman telah berubah, penari seni rakyat tidak lagi dilirik orang karena tidak dapat menjadi profesi yang
menguntungkan dalam mengais uang. Tidak demikian di reog Obyogan yang hidup di desa-desa sekitar kota
Ponorogo Jawa Timur, penari Obyogan bisa menjadi profesi yang lumayan mendatangkan rejeki bagi para
gadis remaja. Profesi penari Obyogan bersifat sementara sampai kondisi fisik penari tidak menarik lagi atau
sudah menikah. Obyogan berbeda dengan reog Festivalan yang sudah dikenal masyarakat luas, justru penari
Obyog menjadi penari utama dengan bergerak goyang pinggul sensual, mirip goyang ngebor dan gergaji di
dangdut. Peran Jathil ditransformasikan menjadi peran wanita yang seksi, peran lain dihilangkan. Pemain
Dadak Merak masih dipertahankan sebagai ikon reog. Tulisan ini menyoroti upaya-upaya dan manajemen
penari Obyog yang terdiri dari: berlatih tari Obyog, mengubah karakter tari, pencitraan, strategi persaingan,
pendapatan, pengeluaran dan pemasaran. Profesi penari Obyog yang temporer tetap harus dihargai sebagai
pelaku pelestari dan pengembang seni tradisional. Penari Obyog juga membuka lapangan kerja non formal
dan mengurangi urbanisasi serta migrasi. Pemerintah wajib memberi penghargaan berupa pelatihan kerja
untuk masa datang, dan beasiswa sekolah hingga perguruan tinggi.

Keyword: reog, obyog, profesi

Abstract
Times have changed, folk art dancers are no longer a desirable profession because it isn’t profitable in day
to day struggle to make ends meet. This isn’t the case with reog Obyogan which persists in villages around
Ponorogo city in East Java, Obyogan dancer is a lucrative job for teenage girls. The profession of Obyogan
dancers is temporary until the dancers are no longer physically attractive or are married. Obyogan is
different from reog Festivalan which is already widely known in that the Obyog dancers are the main
dancers with their sensual hips movements, like the drill-like or saw-like dance in dangdut. The role of Jathil
is transformed into a sexy woman, other roles are removed. Dadak Merak player is still maintained as the
icon of reog. This paper highlights the efforts and management of Obyog dancers which consist of:
practicing Obyog dance, changing the characterization of the dance, imaging, competitive strategy, revenue,
expenses, and marketing. The temporary profession of Obyog dancers must be respected as the conservators
and developers of traditional arts. Obyog dancers also opened non formal job vacancy and reduce
urbanization and migration. The government must give appreciation in the form of work training in the
future and scholarship to college level.

Keyword: reog, obyog, profession

I. Penari Rakyat Sebagai Profesi menjaga asap dapur terus mengepul. Para
penari seni reog dan Jathilan yang banyak di
Di zaman sekarang masih adakah daerah Yogyakarta, tidak menggantungkan
beberapa seniman tari yang hidup dari profesi hidupnya dari keseniannya. Mereka pada
sebagai penari tradisional? Di Sragen yang umumnya para petani yang tergabung dalam
terkenal seni Tayub, di Indramayu dan kelompok kesenian rakyat. Kondisi demikian
Cirebon yang terkenal dengan tarian topeng. juga terjadi di kelompok kesenian topeng
Para pelakunya adalah penari profesional dan Malang yang berada di Kepanjen Malang
hanya menggantungkan hidup sebagai penari, Selatan dan di Tumpang Malang Timur. Para
walaupun tetap didukung usaha lain untuk pelaku kesenian topeng adalah para petani,

36
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

tukang ojek dan profesi lainnya. Para pemain reog tidak puas kalau hanya pentasnya 1 kali
wayang wong Sri Wedari di Surakarta sudah setahun, maka untuk memenuhi hasrat
diangkat menjadi pegawai negeri. Apalagi kesenimanannya pada tahun 1984/1985
para penari di tempat wisata sudah memiliki dibentuklah reog Obyogan oleh tokoh reog
profesi lain di luar profesi pelaku kesenian yaitu pak Upal yang berasal dari suatu desa
tradisional. Sangat jarang orang yang hidup Ponorogo (wawancara dengan pak Yuni dan
dari kesenian tradisi. pak Bambang Wibisono diijinkan dikutib,
Penulis memiliki teman baik sejak 2008). Tarian garapan baru tersebut
remaja hingga sekarang yang hidup dari berkembang dan dikembangkan sendiri oleh
kegiatan tari-menari, yaitu Chattam AR. Dari masyarakat sampai mencapai formatnya
Malang, yang dulunya sebagai penari Ludruk, seperti sekarang ini, yang hanya dikenal di
sebuah seni pertunjukan tradisional dari kalangan masyarakat pedesaan.
Surabaya. Kemudian berpindah menjadi Reog Obyog sangat berbeda
pelatih tari gaya Malangan. Hingga saat ini koreografinya dengan reog Festivalan yang
bukan pegawai negeri. Ternyata dapat hidup telah dikenal oleh masyarakat luas. Walaupun
layak di kota yang kering kesenian tarinya. tetap menggunakan unsur-unsur yang sama
Sesuatu yang terjadi di Ponorogo, sebuah kota dengan reog Festivalan, seperti tetap
kabupaten yang tersembunyi di antara menggunakan penari jathil namun wujudnya
perbukitan Seribu yang membentang di Jawa berbeda, tetap menggunakan Dadak Merak
bagian Selatan. Ternyata ada satu lahan hidup sebagai ikon reog, serta komposisi musik
yaitu: sebagai penari reog Obyog. Pada tarinya berbeda dengan instrumen musik yang
kenyataannya, para pelaku bisa hidup layak sama.
dan berkecukupan. Bukan penari reog kawak Perbedaan utama dengan reog festival
atau festivalan yang telah banyak dikenal adalah hanya ada dua peran, yaitu: Jathil
masyarakat. Namun sebagai penari reog tanpa membawa kuda kepang dan Barongan
Obyog yang merupakan kreativitas seniman (Dadak Merak), peran Bujang Ganong kadang
rakyat. Kalau di Sragen dan Indramayu ada dimainkan anak-anak, sedang Klana
maupun Cirebon, penarinya adalah wanita Sewandono dan Warok dihilangkan. Sehingga
yang sudah matang usia dan pengalaman. koreografi berbeda sangat jauh dengan reog
Beda dengan penari reog Obyog yang yang dikenal oleh masyarakat luas.
dominan para gadis remaja yang masih lajang Koreografinya berubah menjadi tari pergaulan
bahkan ada yang baru lulus sekolah menengah yang menghadirkan gerak lemah gemulai nan
pertama (SMP). Ada beberapa yang sudah seksi dari penari jathil yang berdandan menor,
menikah muda asal masih cantik, menarik dan seronok dan seksi bak penyanyi dangdut.
kualitas teknik tarinya bagus, tetap menjalani Pemerintah tidak terlalu banyak turut
penari Obyog sebagai profesi yang campur, dibiarkan masyarakat melestarikan
mendatangkan uang yang lumayan. Profesi Obyogan sendiri yang pada kenyataannya
penari Obyogan di desa pinggiran kota mendapat sambutan antusias yang luar biasa
Ponorogo menarik diamati dan disosialisasi dari masyarakat sampai sekarang. Dimanapun
sebagai satu kenyataan hidup di sudut ruang ada pentas reog Obyogan yang biasanya untuk
kesenian yang jauh dari hingar bingar hajatan pernikahan, khitanan dan perayaan
kehidupan urban. hari besar serta peresmian suatu acara,
penonton akan berdatangan dari seluruh
II. Reog Obyog penjuru pedesaan Ponorogo, apalagi bila
penarinya merupakan primadona.
Tari reog Ponorogo sudah terkenal di Walaupun demikian terkenalnya reog
seantero nusantara dan sudah banyak yang Obyog di pedesaan Ponorogo, banyak juga
menuliskan secara tektual maupun warga Ponorogo kota maupun desa yang tidak
kontekstual, tetapi yang ditulis adalah reog mengetahui keberadaan Obyogan.
tradisional atau sering disebut reog Festivalan Pemerintah melalui dinas terkait pernah
atau reog Kawak (lama/kuno), karena hanya mengadakan pembakuan gerak tari khususnya
dipentaskan saat ada festival reog setahun tarian Jathil sekitar tahun 1993 dan terus
sekali menjelang bulan Suro. Para seniman berkembang sampai sekarang ini (wawancara

37
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

dengan Bambang Wibisono diijinkan dikutib, (wawancara dengan pembarong, 2005).


2005). Kelahiran reog Obyog membangunkan Selanjutnya saat berjalan menuju lokasi
gairah baru terutama dari sisi penari Jathil dan hajatan, beberapa kali berhenti di tempat
pembarong yang semakin meningkat taraf strategis untuk memperagakan tarian. penari
hidupnya. Bagi penari Klana, Bujang Ganong, wanita menjadi tokoh utama menari bebas ala
Warok justru musibah karena jarang pentas Jaipongan yang erotis diikuti kendang yang
karena hanya pentas saat ada festival reog mirip Jaipongan pula, tidak ada lagi gerak
yang diadakan setahun sekali atau pentas loncat-loncat naik kuda, perang-perangan
apresiasi seni sebulan sekali setiap bulan yang heroik. Kadangkala penari wanita
purnama di panggung permanen alun-alun menari dengan Barong. Nuansa yang hadir
Ponorogo. justru erotisme mirip pertunjukan dangdut,
Kata obyog bisa diambil dari salah satu goyang gerjaji, goyang ngebor, serta gerak-
permainan atau komposisi musik tari gerak erotis dangdut banyak diadapatasi oleh
Barongan (Dadak Merak) atau tabuhan penari Obyog. Penonton yang mengikuti
menjelang pentas reog juga disebut Obyog. prosesi kebanyakan laki-laki muda yang
Ada juga istilah Obyog dari kata byok byog sedikit mabuk karena minum putihan
sebuah kosa kata dialektika Ponorogo yang beralkohol cukup tinggi. Mereka memberikan
diucapkan dengan berulang maka respon dengan teriakan dan ikut menari
menimbulkan arti kacau, meriah seperti dengan penari wanitanya, beberapa di
suasana reog Obyog yang hingar-bingar antaranya menggantikan penari Barong yang
(Tugas Kumorohadi, 2004: 94). Menurut menggigit Dadak Merak. Para penonton
pendapat penulis sendiri kata Obyog sesuai datang dari berbagai daerah yang fanatik
dengan komposisi gerak tarinya yang terhadap reog gaya baru tersebut. Ada satu
dominan bergoyang pinggul serta liukan aturan yang ditaati bersama antar penonton
badan sensual yang menggetarkan atau dan penari, yaitu penonton tidak boleh
mengobyog-obyog iman para lelaki. Perlu menyentuh sedikitpun anggota tubuh penari
diketahui struktur Obyog terdiri dari bagian 1 wanita walaupun hanya tangan, niscaya akan
disebut tari Massal 1995, bagian 2 dipukuli oleh sesama penonton (Pantja, 2008:
gambyongan, bagian 3 edrek, menari dengan 1-4).
Bujang Ganong dan Dadak Merak Masih di tahun 2005 saat bulan puasa,
(Kumorohadi, 2004:224-227 di Erlina Pantja, selama satu minggu penulis bersama-sama
2005: 66). grup reog dari Ponorogo menghadiri festival
Penulis pada tahun 2005 berkesempatan tari di Taipei dan I-lan. Di kesempatan itu
melihat dari dekat seni reog Obyog yang penulis manfaatkan untuk mengorek secara
berkembang dan beredar di wilayah pinggiran mendalam baik dari penari Obyog, maupun
dan pedesaan sekitar kota Ponorogo. Pada seniman reog lainnya, untuk mencari
waktu itu sedang ada perhelatan pernikahan informasi tentang kehidupan para penari reog
salah satu warga desa di Barat kota Ponorogo. Obyog saat itu dan perkembangan reog ke
Para seniman reog menyiapkan diri di salah depannya.
rumah warga yang jaraknya sekitar 1 km dari Pada hari Minggu tanggal 9 November
rumah hajatan. Setelah menampilkan diri pada 2008, berkesempatan lagi melihat reog
acara pembukaan di rumah warga, rombongan Obyogan kembali di sebuah desa Selatan
berjalan sambil diiringi tetabuhan gamelan Ponorogo yang dipertontonkan untuk acara
reog yang menimbulkan suasana riang peresmian kolam renang di desa tersebut.
gembira dan semangat. Tidak ketinggalan Sayang sekali hujan terus menerus jadi tidak
diikuti ratusan penonton yang setia menjadi bisa menikmati reog Obyog dengan nyaman,
penggembira dengan kadangkala menari justru banyak informasi tambahan yang
dengan irama reog. Ada beberapa orang yang didapat dari seniman reog yang melihat dan
menggantikan penari Barong dengan yang sedang pentas reog.
menggenakan Dadak Merak yang beratnya Pemaparan ini akan mengupas
sekitar 50 kg. Ternyata menjadi penari Barong manejemen reog masa kini yang disebut reog
yang menggigit Dadak Merak tidak melalui Obyog ada yang menyebut Obyogan. Sebagai
ritual sakral namun karena latihan yang lama penari Obyogan yang dilakukan oleh remaja

38
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

putri ternyata dapat menjadi mata pencaharian


yang lumayan walau hanya untuk beberapa
tahun. Eksistensi penari Obyogan ditentukan
oleh usia serta keunggulan fisik atau keelokan
wajah maupun tubuh, teknik tari bukan utama.
Penari utama Obyog adalah penari wanita
dengan tata rias dan busana:
a. Baju Kebayak (bisa warna apapun yang
menyolok) berlengan longgar.
b. Imbar semacam kacih besar yang
menutup hingga bahu dan dada, ciri khas
Obyog.
c. Berkain panjang batik motif parang,
dimodel prajuritan.
d. Rambut terurai lepas, mengenakan ikat
kepala model Jawa Timuran yang cara
pemasangannya kain dalam keadaan
basah.
e. Celana panji di atas lutut hampir seperti Gambar 1: Kostum penari Obyog lebih feminin
celana pendek yang ketat, warna hitam daripada Jathil, diperankan oleh Nurul penari
dengan hiasan payet di tepinya. Obyog yang laris (koleksi pribadi, 2009)
f. Stagen hitam, kamus timang (sabuk).
g. Boro samir dan sampur dua helai, yang Dampak ekonomis bagi penari wanita
depan gendala giri, yang belakang polos sangat menguntungkan, bila sekali pentas
dan lebih pendek untuk menambah efek dibayar sekitar Rp. 200.000,- dalam musim
gerak pinggul. perkawinan satu penari bisa tampil lebih dari
h. stocking warna kulit dan berkaos kaki 2 kali seminggunya, bila sebulan bisa jutaan
putih serta sepatu vantoufel 3-5 cm warna yang diraup. Tidak heran bila penari wanita
hitam (Pantja, 2005: 45-46). yang terdiri dari para gadis remaja itu
mempunyai handphone dan sepeda motor
Tidak berkuda kepang/Eblek. Selama ini keluaran terbaru. Bila menjadi penari Jathil
yang diketahui penari Jathil berdandan saja sangat jarang pentas.
prajurit berkuda kepang tanpa sepatu. Tidak Satu hal yang menarik untuk diamati
ada peran Warok, Klana Sewandana dan adalah terjadinya pergeseran nilai pada reog
Bujang Ganong, tinggal penari Barong yang Obyog yaitu: peran wanita yang lebih
mengenakan Dadak Merak. Menurut dominan dari pada peran putra, padahal di
informasi, penari wanita dapat menjadi hadiah dalam reog tradisional justru peran-peran
dari seseorang kepada yang punya hajat bisa putra yang menonjol, peran putri hanya
lebih dari satu dan yang membayar si sebagai pemanis. Kehadiran Obyogan di kota
penyumbang. Makanya penari wanitanya bisa santri yang memiliki pondok Gontor, menjadi
banyak dan menarinya berbeda-beda. Kelak fenomena yang menarik. Pemerintah
bila orang yang menyumbang punya hajat, kabupaten sengaja membiarkan eksistensi
harus dibalas juga dengan mengirim penari Obyogan yang semakin berkibar, melalui
Obyogan dalam jumlah yang sama atau lebih. Obyogan para seniman dapat mendapatkan
nafkah yang lumayan bila dibandingkan saat
pentas reog Festival.

39
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

Gambar 4: Antusias penonton Obyogan di


pinggiran kota Ponorogo (koleksi pribadi, 2005)

Peranan pemerintah Kabupaten Ponorogo


sangat besar dalam pendidikan pelestarian dan
pengembangan seni reog Festivalan, karena
Gambar 2: Penari Obyogan yang mengenakan merupakan identitas dan kebanggaan
sepatu dan tidak menggunakan kuda kepang lagi masyarakat Ponorogo. Peranan tersebut
(koleksi pribadi, 2005) terlihat dari upaya-upaya sebagai berikut:

1. Pemerintah Ponorogo sudah puluhan


tahun (lebih dari 20 tahun) menggelar
festival reog yang diadakan setiap tahun
menjelang bulan Suro, memiliki
ketentuan koreografi yang harus ditaati
oleh peserta dari manapun. Meluasnya
kesenian reog Ponorogo hingga ke luar
Jawa seperti Sumatra, Kalimantan
bahkan sampai ke Malaysia dikarenakan
terjadinya urbanisasi dari sebagian
masyarakat Ponorogo dan sekitarnya ke
daerah-daerah tersebut di atas. Jadi
pelaku penyebaran adalah warga
Ponorogo sendiri, bukan orang Sumatra
Gambar 3: Penari Obyogan menari dengan goyang atau Kalimantan yang belajar reog.
pinggul tidak lagi menari prajurit berkuda, lebih Termasuk yang di Malaysia, para
disukai masyarakat pedesaan kabupaten Ponorogo keturunan orang Ponorogo atau Jawa
(koleksi pribadi, 2005) yang urban di sana sejak sekian puluh
tahun yang lalu, membawa kesenian
daerahnya.
2. Sektor keuangan dengan menganggarkan
dana milyaran Rupiah setiap tahunnya
untuk penyelenggaraan Festival Reog
selama 5 hari menjelang bulan Suro.
Peserta dari berbagai daerah seperti
Surabaya, Jember, Lampung, Kalimantan
Timur, Jakarta, Yogyakarta, Magelang,
Wonogiri, dan setiap kecamatan di

40
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

Kabupaten Ponorogo diharuskan kecamatan atau independen yang diberi


mengirimkan minimal satu kelompok anggaran oleh pemerintah Rp.1.000.000,-
reog dan diberi bantuan biaya produksi disamping dibantu peralatan tata cahaya,
Rp. 5.000.000,- (tahun 2005) tata suara serta promosinya.
kekurangannya disuruh mengupayakan 7. Pemerintah juga gencar promosi melalui
sendiri. internet dengan memiliki website khusus
3. Pemerintah Kabupaten Ponorogo tentang seni reog festival dan
membangun panggung permanen yang kesejarahannya.
ukurannya sangat luas dan tanpa atap, di
alun-alun kota, bila pentas akan
dilengkapi tata dekorasi, tata cahaya dan
tata suara yang mampu mengangkat
prestise sebuah perhelatan besar yang
bertaraf Nasional. Penontonnya setiap
malam selama lima hari selalu ribuan
dengan membayar karcis Rp.3000-
Rp.10.000,- (tergantung duduk di depan,
di tengah dan dibelakang). Di sekitarnya
ada pasar malam yang jualan
perlengkapan pakaian reog, vcd reog dan
kaos reog. Jadi nuansa yang hadir betul-
betul nuansa reog,
4. Penulis yang pernah berkesempatan
menjadi Juri Festival Reog, kagum Gambar 5: Reog Festival terdiri dari peran
melihat upaya pemerintah untuk Sewandana (depan), Ganong di tengah, jathil dan
menanamkan kecintaan masyarakat barong serta warok di latar belakang (koleksi
terhadap reog. Salah satunya pribadi, 2005)
mengharuskan semua para pria pegawai
negeri mengenakan pakaian tradisional Situasi berbalik 180 drajad dengan reog
reog selama 1 minggu saat Festival Reog Obyogan, pemerintah tidak memberikan
digelar, baik saat bekerja maupun saat bantuan terhadap Obyogan, karena
tidak bekerja, jadinya sehari-sehari dan pemerintah tidak mendukung keberadaaannya,
dimanapun menjumpai masyarakat yang tetapi juga tidak bisa melarangnya
mengenakan pakaian reog. Belum lagi disebabkan:
para peserta festival juga mengenakan
pakaian demikian, maka semakin 1. Tarian itu berkembang dimasyarakat
mereogkan kota Ponorogo. Ditambahkan pedesaan saja atau di pinggiran kota dan
pula patung-patung reog di setiap lebih disenangi masyarakat, maka
perempatan, di panggung alun-alun serta Obyogan berkembang sendiri tanpa
di empat sudut alun-alun terdapat patung- bantuan pemerintah berkat intensitas
patung singa (kenapa bukan Harimau), permentasan yang sangat sering.
juga di halaman kantor Kabupaten ada 2. Tarian erotis tersebut dianggap
patung singa serta dewi Sanggalangit, menyalahi identitas Ponorogo sebagai
satu putri dari Kediri yang diperebutan kota santri, yang memiliki pondok
oleh Klana Sewandana dengan pesantren terbesar dan terkenal, yakni
Singabarong. Pondok Gontor.
5. Program pelatihan di sanggar-sanggar, di 3. Sebagai lapangan kerja, para penari
sekolahan dan di kecamatan juga Obyogan keadaan ekonominya lebih baik
difasilitasi pemerintah. dan bisa hidup layak di usia remaja.
6. Program pementasan reog yang terjadwal 4. Obyogan adalah seni warna lokal yang
rutin setiap bulan purnama di panggung hanya berkembang di pedesaan Ponorogo
permanen di alun-alun Ponorogo, yang saja, belum pernah ada Obyogan dari
diisi oleh kelompok-kelompok reog dari

41
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

daerah lain. Sehingga tidak perlu ada yang baik sehingga semakin laris dan banyak
festival Nasional. Kalau Lomba penari pemasukan uangnya.
Obyogan pernah ada, hanya sekali. Upaya-upaya yang dilakukan oleh penari
Jathil yang ingin menjadi penari Obyogan,
Tarian Obyog sangat berbeda jauh yaitu melalui beberapa tahapan:
dengan tarian Jathil, Jathil berkarakter gagah
karena sebagai prajurit berkuda (jaman dulu 1. Belajar Tari Obyog
dibawakan oleh laki-laki). Sedangkan a. Kebanyakan awal mulanya
Obyogan berkarakter wanita yang genit, berangkat dari kesadaran sendiri
geraknya lemah gemulai dan gerak setelah melihat bahwa menjadi
pinggulnya yang seronok. Maka sangat penari Obyogan dipuja-puja dan bisa
diperlukan pelatihan bila akan menari Obyog. mendatangkan uang yang tidak
Penari Obyog hampir semuanya bisa menari sedikit. Walaupun sebagian
Jathil, sebaliknya penari Jathil banyak yang masyarakat menilai negatif, dalam
tidak bisa menari Obyog. (wawancara dengan situasi serba sulit begini menjadi
Bambang Wibisono diijinkan dikutib, 2005) penari Obyogan adalah pilihan yang
menggiurkan. Motivasi terjun
III. Menuju Tari Sebagai Profesi menjadi penari Obyogan bukan
sebagai pelestari budaya, namun
Sebagai penari bayaran, para penari berdasarkan pertimbangan ekonomi
Obyogan telah berupaya meningkatkan semata, jadi terpisah antara
kualitas teknik tari serta memperluas berkesenian dengan bekerja di
pergaulannya dengan kelompok-kelompok sektor seni. (wawancara dengan
reog agar mendapat kesempatan pentas yang Wiwid dan diijinkan dikutib, 2005)
berkali-kali. Penari adalah manusia juga yang b. Dilanjutkan belajar tari Obyog
memerlukan beberapa kebutuhan hidup, melalui pengamatan, menirukan,
menurut Abraham Maslow, ada hirarki mengembangkan dengan ciri
kebutuhan manusia, yaitu: pribadi. Tidak ada sanggar maupun
kelompok reog yang memberi
1. Kebutuhan fisiologis (makan, sex, pelatihan tari Obyog, ada juga yang
hunian). belatih dari penari senior secara
2. Kebutuhan keselamatan (keamanan diri, individual. Disebabkan Obyogan
keluarga dan asetnya). bersifat individual tidak
3. Kebutuhan milik dan kecintaan (puas berkelompok seperti reog Festival,
sebagai anggota kelompok, berhubungan penari Obyogan bisa bergabung
dengan orang lain, kesenangan serta dengan kelompok reog mana saja.
pengakuan dari pihak lain). Keluwesan teknik tari menjadi
4. Kebutuhan atas penghargaan (reputasi, modal utama, maka harus berlatih
prestasi, kedudukan atau status dll). giat selama beberapa bulan dengan
5. Kebutuhan akan kenyataan diri uji coba dalam beberapa pentas.
(pengembangan diri semaksimal c. Berlatih ekspresi wajah yang selalu
mungkin, kreativitas, ekspresi diri). tersenyum genit diperkuat lirikan
mata yang menggoda. Hal ini
Kebutuhan awal merupakan kebutuhan penting karena selama menari penari
pokok, setelah terpenuhi akan berlanjut harus mampu menampilkan wajah
kebutuhan selanjutnya hingga kebutuhan ke yang semringah, murah senyum
lima (Dharmmesta, 2000: 48). tetapi tidak boleh tertawa lebar
Selaras dengan upaya penari reog Obyog nilainya akan turun karena dianggap
dalam meraih prestasi agar laris manis, maka kurang sopan.
mencapai tahapan kebutuhan ke 3 hingga ke
4. Kebutuhan milik dan kecintaan, diraih 2. Mengubah Karakter Tari
dengan upaya bergabung dengan kelompok Penari Obyog menggambarkan
seni reog yang terkenal dan menjadi penari wanita dalam arti sesungguhnya, menurut

42
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

sejarah penari Jathil dilakukan oleh laki- c. Datang ke lokasi biasanya sudah
laki yang menjadi simpanan para Warok, berhias dan mengenakan kostum
jadi ada yang berkarakter banci ada juga tarinya yang merupakan milik
yang tetap laki-laki normal. Seiring pribadi, dengan demikian terjadi
perubahan jaman, seni reog menjadi seni perubahan sikap dengan membuat
hiburan dan adanya pelarangan jarak dengan penonton atau sering
homoseksual secara agamis, maka penari disebut ”jaim” (jaga imej), yaitu
Jathil diganti menjadi wanita semua dengan bersikap anggun tidak
sampai sekarang agar lebih menarik. mengacuhkan pada ratusan pasang
Tarian Obyog memperkuat peran mata penonton yang melototinya.
wanitanya tidak sekedar jadi prajurit Seolah-olah penari tersebut selebriti
namun menjadi wanita yang seksi yang bukan dari kalangan masyarakat
menggoda iman para lelaki. Jadi ada biasa.
transisi karakter dalam penari Jathil, d. Penari Obyogan bisa sebagai hadiah
maka diperlukan penampilan berbeda dari seseorang teman kepada
yang mendukung kodrati kewanitaannya. temannya yang mengundang reog
Perubahan penampilan adalah meliputi: Obyog untuk hajatan penikahan
a. Gerak tari lemah gemulai, banyak misalnya. Bila yang punya hajat
gerak goyang pinggul bahkan orang terpandang, maka penari
memasukkan gerak dangdut yang Obyogan bisa banyak sekali karena
sensual, semakin pandai bergoyang beberapa diantaranya adalah
pinggul semakin disenangi penonton sumbangan dari teman-temannya.
yang kebanyakan para pemuda. Hal itu harus diketahui dan dicatat
b. Kostum tidak begitu seronok, hanya bila kelak temannya punya hajatan,
kebayaknya yang transparan dia harus ganti menyumbang penari
sehingga memperlihatkan perangkat Obyog. Hadiah penari Obyogan
baju dalam yang berupa kaos diartikan hanya sebatas menari tidak
singlet, serta celana pendeknya yang ada unsur seksualitas.
di atas lutut namun tertutup e. Mengubah penampilan dan
stocking. Penggunaan ikat kepala Perlakuan eksklusif tersebut perlu
dan sampur serta kain panjang dicapai oleh penari Obyog bertujuan
adalah sebagai upaya adanya benang untuk menimbulkan psikologis rasa
merah atau hubungan dengan aman, menjaga harga diri dan
kesenian tradisional. aktualisasi diri atau
merepresentasikan diri sebagai
3. Pencitraan penari yang terhormat. Sesuai
a. Mengubah citra dengan menjaga dengan hirarki kebutuhan manusia
jarak dengan penonton, tidak boleh (Dharmmesta, 2000: 48).
akrab dan selalu bersikap anggun
sebagai seorang wanita terhormat. 4. Strategi Persaingan
b. Perlakuan yang eksklusif, penari Persaingan sangat ketat dan profesi
Obyog selalu dijemput mobil yang penari Obyog berusia pendek, bila sudah
bagus dan diantar sampai tujuan tidak menarik lagi penampilannya akan
bahkan di depan masyarakat yang tergeser oleh pendatang baru yang lebih
sudah berkumpul. Datangnya sering segar dan cantik. Budaya populer sangat
kali terakhir daripada anggota kental dalam keberlangsungan tari
kelompok lainnya. Kesan eksklusif Obyog, yang harus dituntut menjaga
didapatkan dengan cara demikian. tubuh penari, kecantikan dan keluwesan
Penjemputnya yang menggunakan tariannya. Senantiasa mengikuti mode
mobil bisa yang punya hajat atau atau trend tarian dangdut yang menjadi
pihak keluarga atau panitia yang acuannya.
sudah mengetrahui persyaratan bila Ada kesadaran bahwa menjadi
antar-jemput Obyog. penari Obyog hanya bersifat sementara.

43
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

Maka mereka berusaha tetap menarik bagi para gadis-gadis remaja menjadi
serta mencari peluang pentas sesering penari Obyug.
mungkin untuk meneguk Rupiah yang Honorarium sekali menari Obyog
banyak. Setelah tidak laku lagi karena adalah sekitar 100.000–200.000, bayaran
dianggap tidak menarik lagi atau usianya tertinggi diterima oleh: pengendang,
sudah di atas 25 tahun, banyak yang penari Obyok, penari Barong, pemusik
beralih menjadi ibu rumah tangga dan dan pawang, kru.
bekerja disektor lain. Tidak ada yang Namun penari Obyog bisa pentas 2
berusaha menjadi pengelola penari kali dalam sehari di tempat lain dengan
Obyogan dengan mencari bibit-bibit kelengkapan yang sama, tanpa harus
baru, dilatih dan dipentaskan di bawah ganti rias dan kostum, sebab penari
naungan kelompoknya. Sehingga tetap Obyog berposisi individual tidak terikat
ada keterikatan dirinya dengan kesenian kelompok tertentu, sehingga bebas
reog Obyog. Selama ini yang terjadi bergabung dengan kelompok lain. Sudah
terjadi pemutusan hubungan dengan reog hal umum bila suatu kelompok reog yang
begitu seseorang penari mengundurkan terdiri dari pemusik, pembarong, pawang
diri sebagai penari Obyogan, jadi reog adalah anggota komunitas, tetapi penari
dianggap sebagai lahan kerja temporer. Obyognya datang dari luar kelompok.
Tidak berpikir idealistis bahwa reog Dengan posisi Obyog yang independen
sebagai kesenian warisan leluhur yang berdampak pada pemasukan
perlu dilestarikan dan dikembangkan. keuangannya lebih banyak daripada
Untuk itu penari Obyog berupaya pemusik, pembarong dan pawang yang
mencapai: terikat dalam satu kelompok.
Memiliki keunggulan fisik dan Sebagai contoh pendapatan saat
ketrampilan teknis menari dan merias bulan Agustus yang dianggap bulan
diri. Memperluas hubungan dengan paling baik dan laris manis, satu penari
sesama penari Obyogan dan seniman atau Obyogan senior seperti Wiwid, dalam
kelompok reog, agar ada jejaring kerja satu minggu rata-rata menari 3 kali x Rp.
yang solid dan saling menguntungkan. 200.000,- = Rp. 600.000,- x 4 minggu=
Melengkapi diri dengan handphone agar Rp. 2.400.000,- Uang sejumlah itu
mudah dihubungi dan sepeda motor tentunya sangat besar bagi orang desa,
untuk mobilitas yang cepat dan luas. makanya banyak remaja putri yang
Melengkapi diri dengan koleksi kebayak tetarik dengan profesi penari Obyogan
yang bagus dan selalu baru setiap ada dan memang semakin meningkat jumlah
pentas besar. penari Obyogan dari tahun ke tahun.
Mempromosikan diri saat tampil dengan Bulan paling sepi adalah bulan Suro,
sebaik-baiknya pada setiap pentas, hampir tidak ada tanggapan pentas.
penonton akan memperhatikan dirinya Dapat dikatakan penari Obyog
dan akan mencatat nama maupun nomor sebagai bintang tamu yang selalu
teleponnya. ditunggu-tunggu masyarakat, mereka
datang dari puluhan kilometer dari desa
5. Pendapatan lain hanya untuk melihat dan menari
Reog Obyog sangat laris, apabila bersama Obyog, bila penari Obyognya
musim hajatan perkawinan, nadar, bersih terkenal seperti Wiwid, Kus dan Utami
desa, sunatan dan tujuh belasan, hari maka semakin ramai penontonnya.
Raya dan lain-lain yaitu pada bulan Strata sosial penari Obyogan
Agustus Penari-penari panen duit. Reog berbeda dengan masyarakat umum,
Obyog sebagai seni profan, telah karena pendapatannya lumayan besar
mengubah paradigma lama tentang dibandingkan pendapatan masyarakat
fungsi reog tradisional untuk sarana ritual desa umumnya. Namun ada yang
komunitas, bukan untuk mencari nafkah. mencibir karena dianggap penari Obyog
Diubah oleh reog Obyogan menjadi sebagai penggoda iman laki-laki,
sarana untuk mencari nafkah terutama memang ada beberapa kasus yang

44
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

melibatkan hubungan terlarang antara tanggungan orang tuanya. Walaupun


penari Obyog dengan penggemarnya, ada penari yang menjadi tulang
menjadi istri simpanan. Semua profesi punggung keluarga dalam
bisa berbuah hal yang negatif, tergantung perekonomian, karena sudah
dari dua individu yang terlibat. menikah dan punya anak seperti
yang dialami oleh penari Utami,
6. Pengeluaran yang saat ini menjadi primadona
Sebagai penari Obyogan harus karena kecantikannya serta
mengeluarkan uamg untuk: keluwesannya yang berhasil
a. Membeli kosmetika seharga Rp. menobatkan dirinya sebagai juara 2
200.000,- untuk beberapa bulan ke dalam lomba penari Obyogan, di
depan. Biasanya belanja saat bawah Wiwid yang juara 1.
kosmetikanya sudah habis, tidak
setiap saat beli kecuali yang dipakai Bila dihitung-hitung dalam satu
untuk sehari-hari. tahun, penari yang laris tetap meneguk
b. Membeli kain untuk kebayak dan keuntungan yang lumayan banyak, bisa
ongkos jahitnya, sekitar Rp. membeli kesenangan yang diimpikan
200.000,- sepotong dan bisa oleh para remaja pada umumnya yaitu
digunakan untuk beberapa tahun ke makan minum di restoran, membeli hp
depan dengan bergantian dengan produk terbaru, membeli pakaian sehari-
koleksinya yang sudah dimiliki hari yang modis. Namun tidak ada
sebelumnnya. Ukuran harus pas dan pengeluaran yang ditujukan untuk
ketat melekat di badan, jadi harus meningkatkan kualitas teknik tari dan
memiliki sendiri beberapa kebayak teknik tata rias, yang akan berguna di
dengan warna-warna yang disukai. masa mendatang saat sudah tidak laris
Pada umumnya sudah bisa menjadi penari, berganti menjadi pelatih
menyesuaikan diri antara warna tari dan membuka salon kecantikan.
kulit dengan warna kain Belum ada penari Obyogan yang
kebayaknya. Seperti Wiwid yang memikirkan masa depan secara bisnis
berkulit gelap tidak akan mau atau menanamkan modal, masih
mengenakan warna-warna merah berpikiran pendek untuk bersenang-
muda dan kuning, lebih senang senang saja.
mengenakan warna biru sedang Menurut teori manajemen bahwa
dengan model kebayak dan kain pelaku harus memiliki standartisasi
yang berbeda-beda. Paling sering profesional, apakah penari Obyog
membeli stocking yang tipis karena memiliki ciri profesional?:
mudah robek, namun harganya yang a. Memiliki standar unjuk kerja yang
murah tidak menjadikan beban. baku dan jelas tentang hal-hal yang
c. Membeli hand phone, ada yang dikerjakannya. Sesuai kadarnya
seharga di atas Rp. 1.500.000,- memang demikian halnya di dalam
terutama bagi penari yang laris. penari Obyog, sangat jelas
Setiap saat harus membeli pulsa. peranannya sebagai penari serta
Hubungan bisnisnya sering melalui penghibur.
sms atau telepon, maka alat b. Anggota profesi memperoleh
komunikasi tersebut sata penting. pendidikan tinggi yang memberikan
d. Membeli sepeda motor untuk dasar pengetahuan yang
mobilitas dan menunjukan bertanggungjawab. Bila diukur
keberhasilannya. secara akademis justru penari Obyog
e. Mencukupi kebutuhan sekunder lebih banyak para gadis remaja yang
sehari-hari, para penari yang remaja lulus SMP atau SMA saja, tidak
masih ikut orang tua, maka berpendidikan akademi seni. Namun
kebutuhan primernya seperti: makan alam dan lingkungan yang
dan tempat tinggal masih menjadi membentuknya, bahkan

45
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

pengetahuan itu tidak akan didapat dengan harapan sarana itu sebagai
di bangku akademi. promosi yang ampuh. Apabila dalam
c. Memiliki lembaga pendidikan perkembangannya ada orang yang
khusus yang menghasilkan tenaga tertarik dan memanggil untuk pentas
profesi yang dibutuhkan. Lembaga secara independen, merupakan debutnya
atau sanggar tidak ada yang melatih memasuki arena kompetitif dalam
Obyogan, mereka tumbuh sendiri kesenian rakyat yang terlihat lembut
secara independen dan tidak ada namun sesungguhnya sangat keras
latihan yang intensif, bahkan penari persaingannya, sangat dimungkinkan
Obyog yang sudah laris tidak mau menggunakan jasa paranormal (dukun)
lagi berlatih meningkatkan kualitas untuk mendongkrak popularitas. Dunia
teknik tarinya, sudah puas dengan reog identik dengan dunia mistis.
kondisinya dan itupun sudah dapat Pemasaran masih menggunakan
duit yang cukup. gaya tradisional yaitu secara lisan atau
d. Memiliki organisasi profesi yang dari mulut ke mulut. Biasanya untuk
memperjuangkan hak-hak penari Obyogan yang belum dikenal,
anggotanya, serta bertangungjawab pemasarannya melalui pihak ke dua yaitu
untuk meningkatkan profesi yang ajakan dari penari Obyogan senior,
bersangkutan. Tidak ada organisasi ajakan dari kelompok reog atau
profesi yang menangani, hanya rekomendasi dari orang yang pernah
organisasi kesenian atau organisasi melihat. Sedangkan penari Obyogan yang
kemasyaratan yang mencintai reog sudah terkenal biasanya mendapat job
Obyog namun tidak jelas bentuknya. kerja langsung dari pihak pertama,
Sebab dari kalangan inilah reog melalui sms, telepon atau bertemu
Obyog menjadi bertahan hidup. langsung setelah pentas atau di
e. Adanya pengakuan yang layak dari kesempatan lain (wawancara dengan
masyarakat. Nampak jelas Wibisono diijinkan dikutib, 2008).
pengakuan dari masyarakat dengan Biasanya konsumen jarang
banyaknya undangan pentas bagi menanyakan berapa harga kontraknya,
penari Obyog. karena sudah mengetahui kisaran harga
f. Adanya sistem imbalan yang dari keterangan orang lain yang pernah
memadai, sehingga anggota profesi memanggilnya.
dapat hidup dari profesi. Belum Kontrak itu sudah termasuk sewa
merata, namun penari Obyog dapat kostum dan tata rias, tidak termasuk
hidup layak. Anggota lain tidak bisa transportasi dan konsumsi. Konsumen
hidup hanya dari reog, maka harus menyediakan mobil untuk
mencari pekerjaan lain seperti menjemput dan mengantar kembali
pegawai negeri, pengrajin pulang.
perlengkapan reog, jadi guru dan Pemasaran hanya untuk wilayah
sebagainya. Kabupaten Ponorogo, masih sangat
g. Memiliki kode etik yang mengatur jarang Obyogan dipentaskan di luar
setiap anggota profesi. Jelas Ponorogo, dikarenakan Obyogan
memiliki kode etik yang terwujud merupakan ekspresi warna lokal asli yang
dari masing-masing peran. berkarakter khas Ponorogo. Penulis
sudah berupaya untuk mementaskan
7. Pemasaran Obyogan di Taipei dalam suatu festival
Walaupun tidak bernaung pada Tari, sebenarnya yang dipentaskan hanya
suatu grup reog, penari Obyogan reog Festivalan, tetapi untuk variasi
bergabung dengan sesama penari diselipkan Obyogan karena pentasnya
Obyogan terutama yang senior, guna perhari 3 kali selama 5 hari. Terlihat
mendapat kesempatan ajakan pentas Penarinya lebih antusias saat menari
meski tanpa bayaran, yang terpenting Obyogan daripada menari Jathil,
berlatih tampil di depan masyarakat luas mungkin merupakan luapan emosinya

46
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

yang sebenarnya dan kalau menari festivalan sudah dimiliki banyak daerah.
Jathilan harus mengeluarkan tenaga Maka sikap pemerintah diam pura-pura tidak
ekstra kuat sedangkan menari Obyogan tahu tentang keberadaannya.
lebih santai dan hemat tenaga. Diperlukan turun tangan pemerintah
Surut sebagai penari biasanya untuk memberikan wawasan mengelola
disebabkan oleh: keuangan bagi penari Obyogan yang
a. Sudah menikah dan tidak diijinkan umumnya para remaja putri, untuk bekal masa
oleh suami. mendatang, agar tidak menjadi pengangguran
b. Usia sudah masuk dewasa dan tidak setelah tidak laku lagi menjadi penari.
menarik lagi secara fisik. Program tersebut justru membantu pemerintah
c. Tidak lagi menjadi anggota untuk mengentaskan kemiskinan dan
kelompok reog (wawancara dengan mengurangi pengangguran dengan membuka
Bambang Wibisono dan diijinkan lapangan kerja secara mandiri.
dikutib, 2008). Keberadaan penari reog Obyogan perlu
dilestarikan keberadaannya, juga akan berefek
IV. Kesimpulan pada pelestarian budaya tradisi kerakyatan.
Juga sebagai salah satu penghalang terjadinya
Manajemen Obyog masih tradisional, urbanisasi dan migrasi bila tecipta peluang
hanya berjalan secara alami, artinya tidak kerja mandiri, tidak tergantung pemerintah.
memiliki ketentuan seperti di dalam Perlu dicatat Ponorogo merupakan salah satu
manajemen profesional: daerah pensuplai tenaga kerja ke luar negeri.
Penari Obyog tidak memiliki manager Partisipasi para remaja putri sebagai penari
yang bisa mengurusi semua kebutuhan Obyogan juga perlu diberi penghargaan, saat
perlengkapan menari, mengurusi kontrak ini sangat jarang anak muda mau
kerja, mencarikan peluang-peluang pentas dan berkecimpung di kesenian tradisional.
menentukan nilai honorariumnya secara Penghargaan bisa berupa pelatihan kerja, bea
kompetitif. Masih menggunakan manajemen siswa sekolah lanjutan atas bahkan kalau bisa
tradisional yaitu semua ditangani sendiri dan sampai perguruan tinggi. Niscaya akan
hanya mengandalkan nilai kepercayaan. bermanfaat membangun kesenian rakyat
Tidak ada standart nilai kontrak secara Obyogan agar tidak dipandang sebelah mata
jelas, hanya kisaran harga Rp. 200.000,- sekali oleh sebagian orang.
pentas.
Penari Obyog banyak yang tidak mau DAFTAR RUJUKAN
meningkatkan kualitas teknik tarinya dengan
berlatih terus menerus guna meningkatkan Dharmmesta, Basu Swastha, T. Hani Handoko
nilai jual, karena dengan kondisi seperti itu (2000). Manajemen Pemasara: Abalisa
saja mereka sudah dapat uang. Uang adalah Perilaku Konsumen. BPEE, Yogyakarta
segalanya.
Memandang menari Obyogan sebagai Hartono. 1980. Reog Ponorogo. Proyek Penulisan
suatu pekerjaan yang mendatangkan Rupiah dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan
semata, bukan sebagai pahlawan pelestari Umum dan Profesi-Departemen Pendidikan
kebudayaan. dan Kebudayaan: tanpa kota
Ada unsur-unsur yang merusak nama
baik Obyogan, yaitu setiap pentas beredar Indrawijaya, Adam (2000). Perilaku Organisasi.
minuman keras yang dibawa sendiri oleh Sinar Baru Algensindo, Bandung.
penonton dan adanya oknum penari yang bisa
dibawa tidur dengan bayaran tertentu, bahkan Kotler, Philip. 1980. Manajemen Pemasaran:
ada beberapa penari yang menjadi istri Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan
simpanan dari oknum tokoh masyarakat. Kontrol. Terjemahan Hendra Teguh tahun
Pemerintah Ponorogo mengalami dilematis, 1997 dkk. PT. Prenhallindo, Jakarta.
tidak bisa melarang kesenian rakyat yang
dicintai masyarakatnya, disisi lain Obyog Kumorohadi, Tugas. 2004. ”Reog Obyogan:
menjadi identitas asli Ponorogo, karena reog Perubagan dan Keberlanjutan Cara penyajian

47
Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi)
ISSN: 1858-3989

dalam Pertunjukan Reog Ponorogo”. Tesis S2 Sumber Lisan:


Pengkajian Sekolah Tinggi Seni Indonesi
Surakarta 1. Bambang Wibisono (45 tahunan), sarjana tari
lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta
Maryaeni, 2005, Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya yang menjadi pegawai di kantor
PT. Bumi Aksara, Jakarta. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ponorogo,
dan menjadi pengurus organisasi reog Probo
Pantja, Erlina dan Hendro Martono (2009). Wengker milik pemerintah Kabupaten
”Perancangan Koreografi Reog Obyog: Upaya Ponorogo.
Pengembangan Seni Rakyat Ponorogo”.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing DP2M 2. Yuni (40 tahunan), sarjana tari lulusan IKIP
DIKTI Surabaya, sekarang mengajar di sebuah SMP
di Kabupaten Ponorogo dan menjadi pelaku
Permas, Achsan dkk. 2003. Manajemen Organisasi serta pengurus grup reog Probo Wengker
Seni Pertunjukan. PPM, Jakarta milik pemerintah.

3. Wiwid (25 tahunan) penari Obyogan pernah


meraih juara 1, eksis sebagai penari Obyogan
terlaris di tahun 2005.

48
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 49-56

Tari Gandrung Terob Sebagai Identitas Kultural


Masyarakat Using Banyuwangi
RINA MARTIARA* dan ARIE YULIA WIJAYA**
Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jalan Parangtritis
KM 6,5 Sewon, Bantul, tlp. 0274-375380, email:martiararina@yahoo.com

Abstract
Tari Gandrung Terob sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi. Gandrung Terob
merupakan objek yang dikaji guna mengupas pola pikir masyarakat Using Banyuwangi. Sudut pandang yang
dipakai adalah Strukturalisme Levi-Strauss. Struktur merupakan susunan bagian-bagian dari suatu sistem
yang saling terkait. Segala sesuatu yang memiliki bentuk diyakini memiliki struktur. Struktur kalimat dalam
bahasa yang terdiri atas susunan huruf, fonem, dan kata, tidak akan memiliki arti apabila tidak terdapat
relasi-relasi yang menghubungkannya untuk mendapatkan struktur yang bermakna.
Keberadaan tari Gandrung Terob dilihat secara menyeluruh, tidak saja sebatas teks dan keterkaitan antar
teks saja, melainkan pada konteks sosial budaya masyarakatnya. Melalui cara pandang holistik ini akan
ditemukan pola pikir masyarakat Using sebagai pemilik tari Gandrung Terob. Hal yang paling mendasar
dalam melihat pola pikir adalah melihat konsep, sehingga Gandrung Terob tidak hanya dilihat sebagai
artefak semata melainkan sebagai pandangan hidup atau ideologi masyarakat Using sebagai penyangganya.

Key Words: Gandrung Terob, Using, Identitas Kultural

Pendahuluan gawe. Untuk itu ada perbedaan antara pertunjukan


Gandrung yang dipakai sebagai tarian
Gandrung Terob merupakan salah satu bentuk penyambutan tamu dengan Gandrung Terob yang
kesenian tradisional masyarakat Using dilaksanakan berkaitan dengan sebuat gawe yang
Banyuwangi. Kata Ganrung sangat lekat dengan dilakukan oleh seseorang.
seorang wanita yang berbusana basahan, kain Bentuk pertunjukan Gandrung Terob
panjang, sampur, kaos kaki berwarna putih, Banyuwangi dipahami sebagai seni yang
omprog serta membawa properti kipas. Omprog menghadirkan tari dan vokal, dengan dua orang
adalah hiasan kepala seperti mahkota yang dibuat atau lebih penari puteri yang disebut Gandrung.
dari kulit lembu dengan berbagai ragam pahatan, Pada saat pertunjukan, akan terjadi interaksi antara
yang di bagian bawahnya diberi rumbai berwarna penari Gandrung, pengrawit, pemaju1 dengan
kuning emas, sedangkan bagian atasnya dihiasi penonton. Instrumen pengiring yang digunakan
kembang goyang berwarna emas pula, dengan yaitu seperangkat gamelan Banyuwangi yang
bentuk kelompok bunga masing-masing berjumlah terdiri dari dua buah biola, kethuk, dua buah
empat buah yang terbuat dari kulit atau logam, dan kendhang, gong, dan kluncing (triangle). Suara
ditopang dengan pegas, sehingga saat penari instrumen musik yang digunakan dalam
Gandrung bergerak, hiasan pada omprog dapat pertunjukan Gandrung Terob terbilang unik dan
bergoyang-goyang. Di dalam pandangan khas yang ditandai dengan suara biola yang
masyarakat Banyuwangi, Gandrung dimaknai melengking disertai vokal penari Gandrung yang
dalam beragam arti; yakni dapat berarti sebagai melengking pula.
keseluruhan bentuk pertunjukan, sebagai sebutan Tulisan ini memandang tari Gandrung Terob
untuk si penari putri, bahkan wanita yang memakai sebagai identitas kultural masyarakat Using
busana dan tata rias untuk event-event tertentu Banyuwangi guna mengupas humand mind dengan
(misal dalam karnaval) juga disebut Gandrung menggunakan analisis struktural Lévi-Strauss.
walaupun ia tidak menari. Adapun terob berarti Fokus strukturalisme Lévi-Strauss bertolak pada
tenda, yaitu satu bangunan yang dibuat non
1
permanen ketika seseorang memiliki hajat atau Pemaju adalah penari laki-laki yang menari bersama penari
gandrung saat babak paju dalam pertunjukan Gandrung Terob.

49
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)

linguistik, akan tetapi penekanannya bukan pada upacara perkawinan terdiri dari 3 rangkaian yaitu:
makna kata, melainkan pada bentuk kata. Prinsip Giro, Topengan, dan Gandrung.
fundamentalnya adalah bahwa pengertian (atau
istilah) struktur sosial tidak berkaitan dengan Giro
realitas empiris, melainkan dengan model-model Sebelum pertunjukan tari Gandrung dimulai,
yang dibangun menurut realitas empiris tersebut akan selalu diawali dengan memainkan gendhing
(2009:378). Bangunan dari model-model yang disebut Giro. Giro adalah bentuk gendhing
tersebutlah yang akan membentuk struktur sosial. yang lazim digunakan di wilayah Jawa Timur pada
Melalui Gandrung Terob sebagai teks sekaligus umumnya. Bentuk gendhing giro yang
sebagai model akan digali struktur sosial berkembang di wilayah Jawa Timur ini dapat
masyarakat Using yang berkaitan dengan nilai- disetarakan dengan gendhing Lancaran yang
nilai budaya, pola pikir maupun gejala sosial dikenal di daerah Yogyakarta dan Surakarta, yaitu
budaya. Lévi-Strauss memandang bahwa apa yang bentuk gendhing yang dalam satu gongannya
ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia terdiri dari 8 ketukan.2 Gendhing Giro merupakan
tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan bentuk musik instrumental yang memiliki beberapa
dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, fungsi, antara lain:
untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu a. Sebagai tanda bahwa akan ada pertunjukan
masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa. Gandrung di tempat tersebut, yang bagi
Struktur kalimat dalam bahasa yang terdiri atas masyarakat sekitar merupakan undangan
susunan huruf, fonem, dan kata tidak akan untuk turut hadir berpartisipasi di dalam
memiliki arti apabila tidak terdapat relasi-relasi kegiatan tersebut.
yang menghubungkannya. Berkaitan dengan b. Sebagai pengawal pertunjukan Gandrung.
Gandrung Terob yang tersusun dari beberapa c. Sebagai musik pengiring kehadiran tamu-
unsur, dalam mendeskripsikannya harus dipilah tamu undangan yang merupakan wujud
unsur-unsur tersebut beserta penghubungnya untuk penghormatan tuan rumah kepada tamu-tamu
mendapatkan struktur yang bermakna. yang menghadiri acara.
Penentuan Gandrung Terob sebagai identitas d. Sebagai pengisi waktu kosong sebelum
kultural yang dapat mengungkapkan humand mind pertunjukan dimulai, saat menunggu penari
masyarakat Using Banyuwangi didasarkan pada Gandrung berdandan.
dua alasan, pertama Gandrung merupakan seni
tradisi yang bisa dikatakan paling tua yang ada di Topengan
Banyuwangi sebagaimana tertulis dalam Serat Di beberapa kelompok kesenian Gandrung
Bayu yang menyatakan bahwa Gandrung pertama Terob, pada bagian pertunjukan diawali dengan
kali muncul, pada saat terjadinya Perang Puputan tari yang disebut dengan Topengan. Topengan ini
Bayu. Alasan kedua karena dalam setiap upacara- merupakan tari yang menggambarkan kesatria
upacara penting di masyarakat Using, seperti Petik yang dilakukan sebelum pertunjukan tari Gandrung
Laut dan perkawinan, selalu menampilkan Terob dimulai. Topengan dilakukan oleh salah
pertunjukan Gandrung Terob. seorang penari Gandrung yang memakai kostum
celana panji dan kemben (bukan menggunakan
Struktur Pertunjukan Gandrung Terob kostum tari Gandrung). Menurut cerita turun
temurun, penari Gandrung yang pertama kali
Struktur pertunjukan adalah keseluruhan menarikan Topengan sebelum pertunjukan
peristiwa yang merangkai kehadiran tari di Gandrung Terob dimulai bernama Awiyah, pada
dalamnya. Gandrung Terob sangat lekat dengan sekitar tahun 1930-an.3 Urutan pertunjukan
upacara perkawinan, dan khususnya hanya
dipertunjukkan pada pesta perkawinan. Pemilihan 2
Wawancara dengan Untung Muljono pada tanggal 4
tari Gandrung Terob dan rangkaian urut-urutan Desember 2010.
pada pesta perkawinan masyarakat Using menjadi 3
Menurut Fatrah Abal, Awiyah merupakan penari Gandrung
bermakna dan bisa dimengerti dalam totalitas yang berasal dari daerah Mangir, tetapi Awiyah menarikan tari
Topengan pertama kali di Desa Bakungan. Pernah dijumpai pula
konteks masyarakat Using, dan setiap urutannya pertunjukan Gandrung yang diawali dengan tari Bondan pada tahun
tidak akan memberikan penjelasan yang berarti 1950-an. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Jawa Kulonan pada
kesenian Gandrung saat itu. Jawa Kulonan merupakan istilah yang
bila dilihat sebagai peristiwa terpisah. Adapun digunakan masyarakat Using terhadap orang-orang Jawa yang berasal
struktur pertunjukan Gandrung Terob dalam dari Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.

50
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989

selanjutnya adalah Gandrung yang merupakan inti Pemendekan delapan bait lirik Padha Nonton
dari keseluruhan pertunjukan Gandrung Terob. menjadi hanya 2 bait saja, dikarenakan pada sekitar
Untuk itu struktur tari Gandrung Terob diuraikan tahun 90-an para peminat kesenian Gandrung
dalam deskripsi yang lebih terperinci. mulai terpengaruh adanya ekses minuman keras
saat pertunjukan.5 Hal ini seringkali menyebabkan
Struktur Tari Gandrung Terob kegaduhan dan keadaan yang kurang
menyenangkan yang diakibatkan ulah sebagian
Tari merupakan salah satu bentuk seni penonton yang mulai kehilangan kendali kesadaran
pertunjukan yang kompleks. Ia tidak hanya diri akibat pengaruh minuman keras tersebut. Oleh
dipahami sebagai wujud dari gerak semata, karena itu dengan tujuan agar tidak menimbulkan
melainkan keseluruhan peristiwa yang merangkai hal yang tidak diinginkan tersebut maka waktu
hadirnya wujud itu di dalam masyarakat. Dalam dipersingkat dengan cara memotong delapan bait
pertunjukan tari terdapat banyak unsur-unsur yang lirik lagu menjadi hanya dua bait saja.
mendukung seperti musik, properti, kostum, tata
rias, setting, tata cahaya, dan tubuh penari itu Paju
sendiri. Tari juga dapat dikatakan sebagai media Pada babak paju penari Gandrung akan
komunikasi, karena gerak yang ada dalam tari memberi kesempatan kepada para penontonnya
adalah bahasa tubuh. Bahasa tubuh yang muncul untuk maju bersama dalam kalangan (arena
merupakan ungkapan perasaan dari masyarakat pertunjukan) guna menunjukkan kemampuan
pemiliknya. Berkaitan dengan tari yang merupakan mereka dalam bidang seni tari atau seni bela diri.
ungkapan perasaan dari masyarakat pemiliknya, Gendhing-gendhing yang digunakan sebagai
tari Gandrung merupakan bentuk ungkapan yang pengiring dalam babak ini sangat beraneka ragam
jujur mengenai perasaan dan pengalaman dan bisa disesuaikan dengan permintaan penonton.
masyarakat Using yang mencerminkan nilai-nilai Dalam pengaturan urutan penonton yang menari
humand mind (nalar kemanusiaan) di balik bentuk bersama Gandrung, diatur oleh seorang laki-laki
pertunjukan. Struktur tari Gandrung Terob terdiri pengatur acara yang disebut Pramugari atau
dari 3 babak, yaitu Jejer, Paju, dan Seblang- Gedhog.
seblang. Pertunjukannya biasanya dimulai pada
pukul 21.00 dan berakhir pukul 04.00 dini hari,
berlangsung sekitar 7 jam.

Jejer
Pada babak ini penari Gandrung memulai
pertunjukan dengan berdiri di tengah-tengah
kalangan (arena pertunjukan) dengan melantunkan
Gendhing Padha Nonton. Saat menyanyi, ia
menutupi wajahnya dengan membentangkan kipas
di depan mulutnya. Sebelum melantunkan
gendhing Padha Nonton, penari Gandrung menari
sesuai dengan ketukan musik pengiringnya. Tarian
ini disebut Jejer4 dan berlangsung sekitar 15
sampai 20 menit. Gendhing Padha Nonton wajib
dilantunkan pada babak ini, terdiri dari delapan
bait dan setiap baitnya terdiri dari empat lirik. 5
Dari sudut pandang ajaran agama Islam, minuman beralkohol
Delapan bait dalam lirik ini menggunakan bahasa haram hukumnya untuk dikonsumsi. Hal ini berbeda dengan konsep
Using Cara Besiki. Satu bait dalam tembang Jawa minuman beralkohol yang tidak jarang ditemui dalam seni tradisi
rakyat. Minuman beralkohol dalam seni tradisi rakyat dianggap
disebut juga sak pada. Pada perkembangan memberikan efek keberanian agar penari menari lebih bebas, spontan,
sekarang ini Gending Padha Nonton dalam dan tanpa beban. Ketika penari dalam keadaan tidak sadar dipercaya
praktiknya hanya dilantunkan dua bait pertama. mampu untuk berhubungan atau melakukan kontak dengan dunia
magis yang berhubungan dengan para leluhur. Tujuan meminum
minuman beralkohol diasumsikan juga bahwa si penari bukan lagi
4
Jejer berarti berjajar, dalam bahasa Jawa disebut jéjér. Istilah „mejadi dirinya sendiri‟, melainkan menjadi sosok lain yang nantinya
jejer digunakan sebagai nama babak pertama dalam pertunjukan tari akan menjadi wadah atau sarana pertemuan antara yang ghaib, yang
Gandrung Terob Banyuwangi, karena pada babak pertama penari diharapkan dapat mempengaruhi manusia dalam hubungannya dengan
Gandrung memulai atraksinya dengan berjajar. yang di atas.

51
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)

1. Pelaku Pertunjukan

Pelaku pertunjukan adalah semua orang


yang turut berpartisipasi dalam sebuah
pertunjukan. Pelaku pertunjukan dalam
Gandrung Terob terdiri dari penari Gandrung,
pemaju, pemusik, pengudang, dan gedhog.
Penari Gandrung ada dua macam, yaitu penari
Gandrung keturunan dan bukan keturunan.
Penari Gandrung keturunan yaitu penari
Gandrung yang memiliki darah keturunan dari
seorang penari Gandrung, bisa diperoleh dari
ibu atau nenek. Penari Gandrung bukan
Gambar 1: Pertunjukan Gandrung dalam babak
keturunan adalah penari Gandrung yang
paju
berasal dari masyarakat biasa yang tidak
(sumber:Dariharto, 2009, Kesenian Gandrung
memiliki garis keturunan dari seorang
Banyuwangi, Dinas kebudayaan dan Pariwisata
Gandrung. Pemaju adalah orang yang menari
Banyuwangi, p. 44.
bersama penari Gandrung saat babak Paju.
Pemaju berasal dari tamu dan penonton yang
Seblang-seblang
hadir dalam pertunjukan Gandrung Terob.
Dalam babak ketiga penari Gandrung wajib
Pemusik dalam pertunjukan Gandrung
melantunkan gendhing sebanyak lima buah antara
Terob biasanya berasal dari masyarakat Using
lain gendhing Seblang Lokinta, Sekar Jenang,
yang senang akan kesenian. Ada pemusik
Kembang Pepe, Sondreng-sondreng, dan Kembang
yang memiliki latar belakang pekerjaan
Dirma. Seblang-seblang berasal dari kata seblang6
sebagai petani, pegawai, buruh, dan pedagang.
yang berarti trance yaitu keadaan seseorang yang
Ada pula yang berprofesi sebagai pemusik
sedang terputus dengan sekelilingnya, seperti
untuk mata pencahariannya. Pemusik dalam
orang meditasi.7 Seblang juga diartikan keadaan
pertunjukan Gandrung Terob pada umumnya
orang yang sedang kesurupan atau kemasukan roh
tidak mengenal notasi musik secara formal,
halus sebangsa jin atau arwah orang yang sudah
mereka bisa memainkan alat musik secara
meninggal dunia. Ketika penari Gandrung
otodidak. Mereka mengandalkan indera
melantunkan gendhing-gendhing wajib di babak
pendengaran dan mengasah kepekaan rasa
ini dengan penuh penghayatan, maka penari
terhadap musik yang mereka mainkan.
Gandrung bisa kesurupan atau dalam keadaan tidak
Pengudang yaitu seorang panjak atau
sadar. Hal tersebut menyebabkan babak akhir
wiyaga8 yang bertanggung jawab memandu
pertunjukan Gandrung disebut dengan babak
penari Gandrung selama pertunjukan
Seblang-seblang.
berlangsung. Pengudang disebut juga Tukang
Kudang karena selama pertunjukan selalu
Analisis Teks Pertunjukan melontarkan celotehan-celotehan yang lucu
atau bersifat komedi. Gedhog adalah seorang
Memandang tari dari sisi bentuk atau teks, yang bertugas sebagai pengatur acara dalam
dapat diuraikan antara lain: pelaku pertunjukan, pertunjukan Gandrung Terob. Gedhog
tata busana dan tata rias, waktu dan tempat mengatur giliran para pemaju untuk menari
pertunjukan, pola lantai, dan gerak tari. bersama penari Gandrung.

6
Di Banyuwangi, daerah Oleh Sari dan Bakungan terdapat pula
upacara sakral yang disebut Seblang. Seblang merupakan upacara
sakral yang berkaitan dengan upacara magis untuk mendatangkan roh
8
halus, roh leluhur atau Sang Hyang. Panjak atau wiyaga yaitu pemain musik tradisional. Dalam
7
Wawancara dengan Hasnan Singodimayan pada tanggal 27 pertunjukan Gandrung Terob, panjak digunakan sebagai sebutan
Februari 2010 untuk pemusik.

52
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989

2. Tata Busana dan Tata Rias Pelaku


Kesenian Gandrung Terob

Busana penari Gandrung terdiri dari


omprog, basahan, sampur, kain panjang, kaos
kaki berwarna putih, dan membawa properti
kipas. Basahan, yaitu busana penari Gandrung
yang terdiri dari kemben, kelat bahu, ilat-ilat,
pending, semong, dan oncer.
Tata rias yang digunakan oleh penari
Gandrung yaitu rias korektif atau riasan yang
bertujuan mempercantik wajah penari. Tidak
terdapat pakem atau aturan khusus dalam tata
rias yang dikenakan, akan tetapi penari
Gandrung wajib menggunakan lulur yang
diusapkan merata ke seluruh bagian tubuh.
Lulur yang digunakan biasa disebut dengan
boreh. Boreh yang digunakan berwarna
kuning emas yang dipercaya memiliki unsur
magis sebagaimana warna kuning emas yang
merupakan lambang dari keagungan dan
menolak bala.
Kostum yang dikenakan oleh wiyaga
atau pemusik yaitu atasan lengan panjang dan
Gambar 2: Seorang penari Gandrung (Foto: Arie
celana panjang yang diseragamkan warnanya.
Yulia Wijaya)
Tidak terdapat ketentuan khusus untuk
kostum pemusik. Aksesoris yang dikenakan
pemusik adalah udeng, yaitu hiasan dari kain
3. Waktu dan Tempat Pertunjukan
khas Banyuwangi yang dikenakan di kepala.
Pertunjukan Gandrung dilaksanakan pada
malam hari, beberapa saat setelah waktu
Sholat Isya‟ hingga menjelang waktu Subuh
atau sekitar pukul 21.00 sampai 04.00.
Tempat pelaksanaan pertunjukan Gandrung
Terob yaitu di halaman rumah, di dalam tenda
hajatan atau terob. Arena pertunjukannya
disebut dengan kalangan.
Gandrung Terob diselenggarakan setelah
acara inti dari hajatan dilaksanakan. Apabila
dalam pernikahan, maka Gandrung Terob
dipertunjukkan setelah acara akad nikah
berlangsung dan apabila dalam acara
khitanan, si anak lelaki sudah dikhitan. Pada
umumnya kelompok kesenian Gandrung
Terob memiliki pembagian waktu dalam
pertunjukannya. Hal ini bertujuan untuk
menyiasati agar pertunjukan Gandrung Terob
dapat selesai tepat waktu, tidak sampai
melampaui setelah waktu Subuh, walaupun
tamu yang datang banyak jumlahnya.
Pembagian waktu dalam pertunjukan
Gandrung Terob:

53
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)

Babak dalam Pukul


Pertunjukan
Gandrung Jumlah tamu banyak Jumlah tamu sedikit
Giro 20.30-21.00 20.30-21.00
Jejer 21.00-21.30 21.00-21.30

21.30-03.30 21.30-01.30

Paju (setelah babak ini kelompok (setelah babak ini biasanya


kesenian Gandrung istirahat penari Gandrung istirahat sekitar
hingga waktu Sholat Subuh 30 menit)
selesai)
Seblang-seblang 04.00-05.00 02.00-03.00

4. Pola Lantai melantunkan gending Padha Nonton. Ada


kelompok kesenian Gandrung yang
Pola lantai penari Gandrung sebagian memasukkan unsur gerak tari jaipongan,
besar berbentuk lintasan yang melingkar atau kuntulan, jaranan, bahkan goyang pinggul
mengitari arena pertunjukan. Pada babak dengan berbagai variasinya.
Jejer, penari Gandrung baris berjajar di arena Menurut Bapak Serade, yang perlu
pertunjukan dan di bagian akhir yakni babak dijadikan pegangan oleh penari dalam
Jejer penari Gandrung melakukan gerak tari pertunjukan Gandrung yaitu bunyi gong cilik
langkah nyiji9 dengan melintasi arena harus jatuh pada kaki kiri sedangkan bunyi
pertunjukan. Pada saat babak Paju, penari gong gedhe jatuh pada kaki kanan. Dalam
Gandrung mengawali babak dengan menari pertunjukan Gandrung, penari laki-laki tidak
dan melantunkan gendhing permintaan tuan boleh mengangkat kaki terlalu tinggi, hanya di
rumah di atas pelaminan. Setelah semua bawah lutut untuk ukuran angkatan kakinya,
permintaan gendhing dari tuan rumah berbeda dengan gerak kaki dalam tari Jawa
dilantunkan, penari Gandrung mulai turun ke yang disebut dengan junjungan. Menurut
arena penonton dan kemudian menyanyi serta masyarakat Using, gerak mengangkat kaki
menari bersama tamu. Tamu dan penonton yang terlalu tinggi dianggap kurang sopan
yang menari bersama penari Gandrung (bengkak).
disebut pemaju. Pada babak terakhir yaitu Instrumen pengiring yang digunakan
babak Seblang-seblang, penari Gandrung yaitu seperangkat gamelan Banyuwangi yang
menari dan melantunkan gendhing terdiri dari dua buah biola, kethuk, dua buah
penutupnya di tengah-tengah arena kendhang, gong, dan kluncing (triangle).
pertunjukan. Suara instrumen musik yang digunakan dalam
pertunjukan Gandrung Terob yang merupakan
5. Gerak Tari dan Instrumen Pengiring khas Banyuwangi adalah suara biola yang
melengking, disertai vokal penari Gandrung
Tidak terdapat pakem atau aturan khusus yang melengking pula.
mengenai motif-motif gerak yang ada dalam
pertunjukan Gandrung, namun tiap gerakan Struktur Pola Pikir Masyarakat Using
harus sesuai dengan ketukan pada musik Banyuwangi
pengiringnya. Saat ini motif gerak dalam
Gandrung mengalami perkembangan karena Berbagai penanda dalam pertunjukan tari
telah banyak dikreasikan oleh para pelakunya. Gandrung Terob adalah sebuah struktur. Struktur
Motif gerak yang banyak dikreasikan ada merupakan unsur-unsur pembangun yang saling
pada bagian Jejer, sebelum penari Gandrung berkaitan dalam sebuah karya seni, oleh karena itu
setiap karya seni selalu memiliki struktur.
9
Langkah nyiji yaitu gerak tari dengan langkah kaki melangkah Memaknai struktur tari Gandrung Terob berarti
seperti orang berjalan yang disesuaikan dengan tempo musik memaknai unsur-unsur yang terdapat dalam tari
pengirngnya.

54
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989

tersebut. Dalam tulisan ini pemaknaan struktur tari membersihkan diri dan lingkungannya, yaitu
Gandrung Terob hanya dibatasi pada unsur menyapu hati dan keluarganya dari berbagai
dramatik, bentuk gerak, koreografi, dan jenis perbuatan dosa.
kelamin penari. Pemilihan tersebut didasarkan atas Jenis kelamin penari menjadi penanda yang
relasinya tari Gandrung Terob dengan konsep penting dalam melihat makna yang terkandung di
kesuburan. sebuah tarian. Hal tersebut juga terlihat dalam tari
Babak jejer menjadi penanda bahwa Gandrung Terob, semua penarinya adalah wanita
pertunjukan tari telah dimulai dan mengajak orang- dan pada saat adegan tertentu (paju) melibatkan
orang untuk bersama-sama menonton pertunjukan. laki-laki untuk diajak menari bersama. Pada fase
Hal itu dibuktikan dengan gendhing wajib yang inilah sebetulnya menjadi kunci sebagai petanda
harus dimainkan dalam babak ini yaitu gendhing fertility dance, yaitu bertemunya antara laki-laki
Padha Nonton. Babak paju berlangsung tengah dan perempuan. Penari wanita melambangakan
malam sampai menjelang pagi, hal ini bumi dan penari laki-laki adalah benih yang
dimaksudkan memberikan ruang khusus kepada nantinya akan bertemu dalam babak paju. Salah
laki-laki dewasa untuk berekspresi, menunjukkan satu penanda koreografis yang ditunjukkan dalam
kemampuannya dalam bidang seni tari. pertunjukan tari Gandrung Terob adalah
Sebagaimana Toer dalam Mangir (2000:14) penggunaan pola lantai yang melingkar. Dalam
mengatakan, kehebatan seorang laki-laki Jawa pertunjukan Gandrung Terob penggunaan pola
dapat diukur dari “ketangkasannya di medan lantai melingkar dimaknai sebagai wujud rasa
perang dan kelincahannya di medan tari”. kebersamaan masyarakat Using dalam mensyukuri
Dalam upacara perkawinan, pemaju yang berkah kesuburan dari Dewi Padi.10 Berbagai
pertama kali dipersilakan untuk menari adalah bentuk lingkaran yang ada menyiratkan sebuah
pengantin laki-laki. Hal itu menjadi semacam makna kesatuan atau keutuhan antara diri manusia
petanda ritual bukak kelambu atau malam pertama. dengan alam. Melalui kesatuan atau keutuhan
Babak seblang-seblang berlangsung menjelang tersebut akan menghasilkan pertemuan yang
subuh oleh karena itu disebut juga seblang subuh. diharapkan mencapai „kesuburan‟, baik bagi benih
Kata seblang juga berarti „keadaan seseorang pada padi yang ditanam maupun bagi pasangan
kondisi kosong‟, hal itu menjadi petanda berserah pengantin.
diri kepada Yang Maha Kuasa. Rangkaian struktur Perkawinan dalam masyarakat Using di
dramatik tari Gandrung Terob tersebut seakan Banyuwangi selalu menyertakan pertunjukan tari
menjadi petanda siklus hidup manusia, yaitu lahir Gandrung Terob, sehingga dalam upacara tersebut
atau anak-anak melalui babak jejer, kemudian terjadi dua peristiwa yaitu, peristiwa perkawinan
dewasa dan mengenal pasangan sampai akhirnya dan peristiwa tari. Kedua peristiwa tersebut tidak
menikah melalui babak paju, dan yang terakhir bisa dipisahkan, karena Gandrung Terob
babak seblang-seblang sebagai siklus manusia tua diperlukan sebagai sarana upacara perkawinan,
yang harus lebih mendekatkan diri kepada Sang sedangkan perkawinan itu sendiri tempat di mana
Pencipta. tari Gandrung Terob dilangsungkan. Fungsi
Berbagai bentuk gerak yang tampak dari Gandrung Terob dalam upacara perkawinan
ketiga babak yaitu jejer, paju, dan seblang-seblang masyarakat Using di Banyuwangi selain sebagai
menjadi petanda bahwa, gerak pada babak jejer kekuatan magi dan doa untuk kesuburan, juga
adalah gerakan awal atau pertama, dapat juga berisi petuah atau nasihat-nasihat dalam
dimaknai sebagai gerakan anak-anak yang baru mempersiapkan hubungan berumah tangga.
belajar, sehingga gerakan tersebut terlihat lebih Misalnya saja bagaimana seorang suami dan isteri
rapi dan seirama dengan musik. Sebagaimana harus bersikap. Tarian tersebut juga memberikan
seorang anak-anak yang masih polos dan jujur. Hal gambaran sebuah rumah tangga yang harmonis,
tersebut tentu saja berbeda dengan gerak pada berjalan dalam keseimbangan, dengan peran dan
babak paju yang lebih „liar‟ dan mengandalkan tanggung jawab masing-masing orang pada
improvisasi. Seakan mengingatkan pada masa posisinya. Seorang suami sebagai kepala rumah
remaja yang bebas dalam mencari eksistensi diri. tangga bertanggung jawab pada urusan „luar‟
Semakin tambah usia maka seseorang juga akan sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga
semakin tenang dan merunduk, sebagaimana bertanggung jawab pada urusan „dalam‟.
terlihat dalam gerak pada babak seblang-seblang.
Seorang yang sudah tua diharapkan lebih 10
Wawancara dengan Cak Wan pada tanggal 6 Oktober 2010

55
Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob
ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)

Pertunjukan Gandrung Terob dalam upacara saling menyentuh (kontagius) antara Gandrung dan
perkawinan masyarakat Using di Banyuwangi sarat pemaju merupakan unsur dari kesuburan. Urutan
dengan posisi berpasangan, seperti laki-laki dan periode, lahir-hidu-mati, dianggap juga
perempuan, ordinat dan subordinat, luar dan melambangkan akhir dari tujuan setiap manusia.
dalam, keras dan lembut, menguasai dan dikuasai,
dan lain sebagainya. Dalam pertunjukan Gandrung Penutup
Terob, berbagai posisi berpasangan tersebut saling
berelasi, sehingga menciptakan sebuah posisi baru. Nalar manusia (humand mind) masyarakat
Posisi baru inilah yang dalam pandangan Victor Using Banyuwangi yang pertama adalah,
Turner disebut sebagai liminal, yaitu posisi menganut struktur patriarki yaitu garis keturunan
ambang yang berada dalam dua posisi yang dari pihak laki-laki, oleh karena itu laki-laki dalam
berbeda. Liminalitas berarti tahap atau periode masyarakat Using di Banyuwangi memiliki peran
waktu di mana subjek ritual mengalami keadaan yang penting yaitu, peran memimpin dan
yang ambigu yaitu “tidak di sana dan tidak di sini”. mencukupi kebutuhan rumah tangga dan peran
Liminal sering diartikan sebagai peraliha. dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Kedua,
(Winangun, 1990:31). Posisi-posisi berpasangan masyarakat Using di Banyuwangi meskipun
dalam setiap fenomena kebudayaan selalu terjadi, mayoritas beragama Islam namun tetap
hal itu sesungguhnya menunjukkan bahwa sebuah menghargai keberadaan para leluhur dan berperan
kehidupan telah terjadi. Persinggungan dari kedua dalam pelestarian seni budaya daerah. Ketiga,
posisi berpasangan tersebut yang dianalisis dalam masyarakat Using di Banyuwangi kebanyakan
tulisan ini. adalah bertani, hal ini dibuktikan dengan
Berbagai posisi berpasangan dalam tari penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan
Gandrung Terob menunjukkan bahwa penari Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Keempat, posisi
berada dalam kawasan liminal, baik di dalam liminal penari Gandrung Terob di atas justru
peristiwa tari maupun dalam kehidupan sosial. menunjukkan bahwa penari Gandrung berada
Dalam peristiwa tari, posisi penari Gandrung dalam posisi yang sangat penting yaitu, posisi di
Terob adalah pemain yang sedang berhadapan tengah, sebuah posisi yang menyatukan,
langsung dengan penonton. Jarak antara penonton menyelaraskan, menjaga kesinambungan, dan
dan ruang permainan telah terbagi, namun seorang menyeimbangkan kehidupan masyarakat Using di
penari Gandrung harus sesekali memecah jarak Banyuwangi. Posisi di tengah, di pusat, adalah
tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya sebuah posisi yang tenang, diam, hening, dan juga
interaksi yang akrab antara pemain dan penonton. abadi (Ahimsa-Putra, 2001:304).
Seni pertunjukan kerakyatan seperti halnya tari
Gandrung Terob, tampaknya menyadari bahwa DAFTAR RUJUKAN
meleburnya antara ruang permainan dan penonton,
mampu menyatukan energi atau kekuatan untuk Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2000), Strukturalisme
mempengaruhi alam. Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Galang
Posisi berpasangan yang lain tampak juga Press, Yogyakarta.
dalam pertunjukan tari Gandrung Terob.
Pertunjukan Gandrung Terob yang dibagi menjadi Lévi-Strauss, Claude (2009), Antropologi
tiga babak yaitu jejer, paju, dan seblang-seblang Struktural, terj. Ninik Rochani Sjams, Kreasi
berpasangan dengan anak-anak, dewasa, dan tua. Wacana, Yogyakarta.
Jejer sebagai babak pembuka berpasangan dengan
anak-anak, paju sebagai bagian klimaks Toer, Pramodya Ananta (2000), Mangir,
berpasangan dengan dewasa, dan seblang-seblang Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
sebagai babak penutup berpasangan dengan tua.
Masa anak-anak adalah masa meniru (imitatif), Winangun, Wartaya Y.W., 1990, Masyarakat
setiap gerakan dan ucapan orang lain ditirukan. Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas
Masa dewasa adalah masa pencarian identitas diri Menurut Victor Turner, Kanisius, Yogyakarta.
dan saling mempengaruhi (simpatetis), ada saatnya

56
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 57-69

SISTEM TRANSMISI
WAYANG WONG GAYA YOGYAKARTA:
STUDI KASUS KARAKTERISTIK POCAPAN
Oleh: Sarjiwo
Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Telp. 0274 8337 889/0815 7888 7707. Email: sarjiwo_tari@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta: Studi
kasus karakteristik pocapan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan
studi dokumentasi. Observasi dilakukan dengan melihat serta mengikuti aktivitas latihan dan pementasan
yang dilakukan di sanggar-sanggar atau paguyuban, wawancara dilakukan secara terstruktur dengan panduan
pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan agar proses penjaringan data dapat lebih terfokus dan terarah,
dan studi dokumentasi dilakukan dengan melihat hasil rekaman pementasan Wayang Wong Gaya
Yogyakarta. Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sistem transmisi pocapan Wayang Wong Gaya Yogyakarta terjadi
dalam dua sistem. Pertama dari sisi para penari atau pelaku generasi sebelumnya dan dari sisi generasi
berikutnya. Sementara karakteristik di dalam Wayang Wong Gaya Yogyakarta dapat didapat pada karakter
suara, nada suara, irama pocapan, dan kemampuan pengaturan volume suara. Karakter suara di dalam
Wayang Wong Gaya Yogyakarta tidak dapat lepas dari karakter yang ada dalam Wayang Kulit Purwa,
karena pada dasarnya wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa. Nada suara setiap
pemeran harus memperhatikan suasana gamelan yang diatur dalam pathet yang sedang berlangsung. Irama
pocapan sangat berkaitan dengan karakter tokoh dalam pewayangan yang merujuk pada lagak, lagu,
lageane.

Kata kunci: Sistem transmisi, Wayang Wong, karakteristik pocapan.

ABSTRACK
This research purpose was to lay open the transmission system of Yogyakarta Style of Wayang Wong:
Case study was characteristic of pocapan (dialogue). Data collecting techniques that used are by
observation, interview and documentation study. Observation done not only by seeing and doing the practice
of activity but also by staging that done in gallery and society, interview done structurally with the interview
guidelines that prepared before so the data network process can be more focused and directional, and
documentation study done by watched the staging record of Yogyakarta Style of Wayang Wong. After that,
collected data analyzed done with qualitative description analyze technique.
Result research indicated that, pocapan (dialogue) transmission system of Yogyakarta Style of Wayang
Wong happened in two systems. The first is come from dancers or previous generation side and the second
was come from next generation side. For a while, in the characteristic of Yogyakarta Style of Wayang Wong
there are voice characteristic, voice tone, rhythm of pocapan and the ability of voice volume control. Voice
characteristic that appear in the Yogyakarta Style of Wayang Wong in not far away from the existing of
characteristic in the Purwa Shadow Play, because basically Wayang Wong was Purwa Shadow Play
characterization. Every character voice tone must to pay their attention to the atmosphere of gamelan that
arranged in the happening pathet. Pocapan rhythm has a very close relation with the figure character in the
Puppet, which was refers to lagak, lagu, lageane.

Key words: Transmission system, Wayang Wong, pocapan characteristic

57
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

I. Pendahuluan punya idiom yang berlaku terhadap seorang


penari yang belum terisi jiwanya dengan
Melihat dan mengikuti dari beberapa istilah “isa njoged nanging durung ngerti
pementasan Wayang Wong Gaya Yogyakarta joged” sehingga belum mampu melihat
yang dilaksanakan di beberapa tempat yang nuansa antara “anjoged” (menari) dan
berbeda yaitu di Pendhapa nDalem “jogedan” (menari-nari). (Fred Wibowo,
Yudaningratan (ruang pentas yang secara 1981: 105-107). Pernyataan ini dapat
tradisi sebagai tempat pentas Wayang Wong dimaknai sebagai satu kesatuan yang utuh di
Yogyakarta), Monumen Serangan Umum 1 dalam memerankan tokoh. Pocapan atau
Maret di jalan Malioboro (ruang publik yang dialog merupakan hal pokok dalam penyajian
lebih terbuka), dan di gedung Societet Taman Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Oleh karena
Budaya Yogyakarta (ruang pentas dalam itu setiap pemeran harus menempatkan
gedung tertutup), dalam hal teknik tari pada pocapan sebagai bagian yang tak terpisahkan
umumnya penari telah mampu menunjukkan dari diri pemeran. Namun demikian,
kemampuan kepenariannya secara baik. penguasan pocapan masih belum dapat
Sebagian besar penari dari kalangan generasi dikuasai dengan baik oleh sebagian besar
muda yang sangat potensial berkembang. pemeran. Indikator belum dikuasainya
Namun demikian, yang perlu mendapat pocapan dalam Wayang Wong Gaya
perhatian adalah kemampuan pocapan atau Yogyakarta adalah, karena pocapan atau
dialog bagi penari masih belum dialog yang diucapkan para pemeran belum
menampakkan hasil yang optimal. Hal ini mampu tersampaikan ke penonton dengan
dilandasi oleh komentar beberapa penonton baik. Beberapa permasalahan yang terjadi
yang menyaksikan pergelaran tersebut yang dapat diidentifikasi antara lain: Pocapan
mengatakan bahwa pocapan terdengar lamat- untuk pemeran putri luruh tidak terdengar
lamat, tidak jelas, dialog perlu bantuan clip oleh penonton, Pocapan pada pemeran tokoh
on, pocapan ora cetha yang kesemuanya alusan luruh dengan nada rendah tidak
tersebut menandakan adanya pocapan yang terdengar oleh penonton, Pemeran tokoh
tidak sampai ke telinga penonton dengan baik. alusan lanyap dengan nada tinggi dapat
Sementara kejelasan pocapan yang mampu terdengar dari arah penonton, akan tetapi tidak
didengar penonton, akan berakibat pada jelas suku kata dan kalimat yang diucapkan,
jalinan cerita dan informasi yang disampaikan Pemeraran putra gagah walaupun volume
pemeran dapat diikuti oleh penonton. Padahal suara dapat keras, akan tetapi artikulasi dan
dimensi pokok dalam Wayang Wong adalah kejelasan suku kata mapun kalimat yang
aspek gerak dan aspek pocapan atau dialog. diucapkan tidak jelas, Pemeran yang
Keduanya harus menjadi bagian yang harus menggunakan topeng tidak jelas pocapan
dikuasai oleh penari agar karakter yang yang diucapkan, Pemahaman dan penguasaan
dimainkan menjadi utuh sesuai tuntutan peran pocapan dalam karakter masih kurang,
yang dibawakan. Penguasaan nada suara belum dikuasai
Kekurangan dalam hal kemampuan dengan baik, Karakter suara belum dikuasai
pocapan atau dialog semestinya tidak terjadi dengan baik.
apabila sistem transmisi terhadap karakteristik
pocapan Wayang Wong Gaya Yogyakarta II. Metode Penelitian
berlangsung dengan baik. Dengan demikian,
adanya kontinyuitas latihan akan berakibat A. Tempat dan Waktu Penelitian
pada kualitas pocapan akan meningkat lebih
baik. Sebab kemampuan pocapan diperlukan Penelitian ini bertempat di yayasan
untuk memperkuat karakter yang diperankan. dan paguyuban tari di wilayah
Dengan demikian, terjadi transformasi Yogyakarta yang masih melestarikan
karakter secara utuh. Seorang penari menurut Wayang Wong Gaya Yogyakarta.
para guru tari di Kraton Yogyakarta adalah, Yayasan dan paguyuban tersebut adalah
seseorang dianggap sudah “njoged” (menari) Krida Beksa Wirama Yogyakarta,
apabila dia menari dengan penuh disiplin, Paguyuban Kesenian Irama Citra
konsentrasi, motivasi dan dedikasi. Mereka

58
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

Yogyakarta, Yayasan Siswa Among C. Pendekatan Penelitian


Beksa Yogyakarta, Yayasan Pamulangan Penelitian ini menggunakan
Beksa Sasminta Mardawa Yogyakarta, pendekatan kualitatif. Peneliti berusaha
dan Perkumpulan Kesenian Surya untuk mengungkap berbagai fenomena
Kencana Yogyakarta. Kelima yayasan dan permasalahan sistem transmisi serta
dan perkumpulan tersebut selama ini karakteristik pocapan Wayang Wong
berkiprah pada pembelajaran Tari Klasik Gaya Yogyakarta secara alami dan
Gaya Yogyakarta khususnya serta masih mendalam. Permasalahan tersebut mulai
melestarikan Wayang Wong Gaya dari sistem transmisi, karakteristik
Yogyakarta. pocapan yang meliputi karakter suara,
Waktu penelitian dilaksanakan nada suara, irama pocapan, volume suara
mulai bulan April–Nopember 2009. dalam pemeranan Wayang Wong Gaya
Secara kebetulan pada tanggal 12, 13, 14 Yogyakarta.
Nopember 2009 dilaksanakan Festival
Wayang Wong Gaya Yogyakarta untuk D. Teknik Pengumpulan Data
yang ketiga kalinya. Penulis sebagai
salah satu panitia (salah satu nara Teknik pengumpulan data yang
sumber) sangat berkepentingan untuk digunakan dalam penelitian ini
mengikuti berbagai proses yang menggunkan beberapa cara agar data
dilaksanakan. Walaupun proses yang dapat diperoleh dapat mengungkap
penelitian dilakukan mulai bulan April permasalahan dari tujuan penelitian.
2009 dengan melakukan studi pustaka, Teknik pengumpulan data yang
observasi dan wawancara dengan para digunakan adalah wawancara, studi
informan biasa dan informan terpilih (key dokumen dan pengamatan (observasi).
informant), akan tetapi proses latihan dan Wawancara adalah metode untuk
pementasan pada saat festival menjadi mendapatkan data melalui tanya jawab
bagian dalam melengkapi data agar langsung dan tatap muka langsung antara
mempunyai validitas yang tinggi. Dari peneliti dengan informan. Di dalam
peristiwa festival tersebut akan banyak wawancara, pewawancara/peneliti
data yang sangat dibutuhkan dalam mempunyai peran penting agar mampu
kelengkapan laporan. mendapatkan berbagai informasi (data)
yang sesuai dengan tujuan penelitian.
B. Penentuan Informan Oleh karena itu sebelum mengadakan
wawancara pewawancara/peneliti perlu
Informan dalam penelitian ini terdiri melakukan persiapan antara lain;
dari informan terpilih (key informant) dan menentukan responden, menyiapknan
informan biasa yang merupakan bagian dan menyusun daftar pertanyaan,
dari komunitas. Informan terpilih (key menyiapkan berbagai peralatan yang
informant) terdiri dari para empu tari tari diperlukan misalnya buku catatan, alat
klasik Gaya Yogyakarta, pimpinan tulis, alat perekam dan sebagainya.
yayasan dan perkumpulan serta Dalang Teknik wawancara dilakukan dengan
Wayang Kulit Purwa. Sementara wawancara terstruktur dan wawancara
informan biasa terdiri dari sutradara, tidak terstruktur. Wawancara terstruktur
penulis naskah wayang, guru tari klasik, pewawancara/peneliti telah menyiapkan
pemerhati wayang dan para penari atau daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan
pelaku yang sering menjadi peran dalam sebelumnya. Sedangkan wawancara tidak
pergelaran Wayang Wong Gaya terstruktur yaitu wawancara dilakukan
Yogyakarta. Pemilihan dan penentuan dengan tidak menyiapkan daftar
informan dilakukan dengan proses pertanyaan. Di dalam penelitian ini
penjajakan terlebih dahulu agar tidak peneliti menerapkan kedua teknik
terjadi kekeliruan dalam memilih wawancara tersebut agar data penelitian
informan. dapat saling melengkapi. Pelaksanaan
wawancara dilakukan dalam situasi

59
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

serileks mungkin agar berbagai informasi dianalisis dengan teknik analisis


dapat terjaring lebih alami. Untuk deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan
pelaksanaa wawancara dengan key tingkat validitas yang tinggi dilakukan
informan atau informan terpilih analisis triangulasi data diantara pada
dipergunakan alat perekam, sementara nara sumber dan para anggota. Sementara
wawancara yang ditujukan pada agar reliabilitas data terpenuhi dilakukan
responden spontan informasi hasil wawancara secara mendalam (indeph
wawancara disalin ke dalam buku interview) di antara sumber apabila ada
catatan. sesuatu yang kurang jelas serta untuk
Studi dokumen dalam penelitian ini mengetahui tingkat keajegan (reliabilitas)
dilakukan dengan melihat beberapa jawaban.
rekaman audio visual tentang pementasan
Wayang Wong Gaya Yogyakrta. Hal ini III. Hasil Penelitian dan Pembahasan
dilakukan untuk memahami serta
mendalami tentang karakter pocapan A. Sistem transmisi pocapan Wayang
Wayang Wong Gaya Yogyakarta yang Wong Gaya Yogyakarta
mempunyai kekhasan tersendiri. Dari
rekaman audio visual tersebut akan Sistem transmisi pocapan Wayang
diperoleh gambaran tentang Wong Gaya Yogyakarta terjadi dalam
implementasi pocapan dalam unjuk kerja dua sistem.Pertama dari sisi para penari
yang sesungguhnya yang diujudkan atau pelaku generasi sebelumnya dan dari
dalam pementasan. Studi dokumen ini sisi generasi berikutnya. Generasi
akan melengkapi di dalam analisis sebelumnya adalah para penari atau
pocapan yang telah dipraktekkan oleh pelaku yang lebih dahulu belajar dan
para pelaku/pemeran Wayang Wong melakukan tugas pemeranan dalam
Gaya Yogyakarta. wayang wong. Sementara generasi
Observasi dilakukan dengan berikutnya adalah para penari atau pelaku
melihat aktivitas latihan serta yang masih dalam proses belajar untuk
pertunjukan yang dilaksanakan. melakukan tugas pemeranan maupun
Observasi dilakukan dengan mendatangi teknik pocapan dalam Wayang Wong
tempat-tempat pelaksanaan latihan dan Gaya Yogyakarta. Apabila sistem
pementasan dengan mencatat gejala- transmisi pocapan Wayang Wong Gaya
gejala yang tampak pada objek Yogyakarta ditinjau dari para pelaku
penelitian. Oleh karena peneliti generasi sebelumnya, dapat terjadi karena
merupakan salah sorang pelaku yang adanya kegiatan latihan untuk
sering berperan dalam pementasan mempersiapkan sebuah pergelaran
wayang wong, maka peneliti dapat lebih wayang wong. Secara alami proses
membaur dalam lingkungan objek transmisi pocapan terjadi pada saat
penelitian. Dengan demikian, data yang pemaos kandha atau pembaca narasi
terkumpul dapat lebih alami dan sesuai menuntun pocapan bagi para pemeran
dengan kebutuhan penelitian. dalam suatu adegan. Pada saat proses
latihan pemaos kandha atau pembaca
E. Teknik Analisis Data narasi akan menuntun kata atau kalimat
pocapan yang tertulis pada naskah
Proses analisis data dalam penelitian kepada penari atau pemeran. Selanjutnya
kualitatif dilakukan bersamaan dengan penari atau pemeran akan menirukan kata
proses pengumpulan data. Oleh karena atau kalimat pocapan sebagaimana yang
itu setelah pengambilan data dari diucapkan oleh pemaos kandha. Peniruan
lapangan lalu mendeskripsikan data hasil ini dilakukan penari atau pemeran persis
wawancara dalam bentuk catatan sama sebagaimana yang diucapkan
lapangan, mengedit, mengklasifikasi pemaos kandha. Baik diksi, intonasi,
untuk dijadikan bahan laporan penelitian. nada suara, irama suara, karakter suara
Data yang berhasil dikumpulkan

60
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

atau warna suara, panjang pendeknya mengembangkan sikap untuk berhasil,


kata atau kalimat, seorang pemeran akan menyenangi kehidupan dan keinginan
menirukan pocapan yang diucapkan oleh diterima oleh orang lain. Sementara
pemaos kandha sebagaimana adanya. motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang
Dengan demikian, sistem transmisi disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.
pocapan bagi pemeran generasi (Oemar Hamalik, 2001: 2). Dalam hal
berikutnya bersifat transformatif. Pelaku motivasi intrinsik tersebut sangat
atau penari tidak mempunyai kesempatan tergantung pada diri individu di dalam
untuk bertanya, berinteraksi secara meningkatkan diri, sementara motivasi
langsung dengan pemaos kandha apabila ekstrinsik peran berbagai pengadaan
di dalam melakukan pemeranan masih aktivitas latihan ataupun pertunjukan
kurang atau belum optimal di dalam wayang wong sangat membantu
membawakan perannya. Namun merangsang timbulnya motivasi
demikian tidak semua pemaos kandha ekstrinsik. Di dalam tari klasik
melakukan proses yang demikian. Yogyakarta pada aspek penjiwaan yang
Adanya pemaos kandha yang hanya dinamakan dengan Kawruh Joged
membacakan teks pocapan tanpa disertai Mataram yang diciptakan Sri Sultan
dengan karakter suara, nada suara dan Hamengkubuwono I (1755-1792), dapat
irama suara yang didasarkan oleh dipahami sebagai motivasi intrinsik yang
karakter tokoh yang sedang diperankan berasal dalam diri penari. Kawruh Joged
menimbulkan kesulitan bagi para penari Mataram (Ilmu Joged Mataram) ini
atau pemeran di dalam pocapan. terdiri dari 4 unsur yaitu: (1) Sawiji
Apabila ditinjau dari sisi para penari (konsentrasi), (2) Greged (semangat), (3)
atau pelaku generasi berikutnya, maka Sengguh (percaya diri), dan Ora mingkuh
motivasi setiap individu di dalam (pantang menyerah) (Fred Wibowo, ed.,
peningkatan kualitas kepenarian atau 1981: 90- 92). Untuk mencapai tataran
pemeranan sangat berperan. Banyak ahli kualitas kepenarian yang lebih baik
perpendapat bahwa motivasi dibedakan sangat diperlukan Sawiji (konsentrasi)
menjadi dua yaitu motivasi ekstrinsik dan agar apa yang menjadi tujuan dan
motivasi intrinsik. Menurut Woolfolk dua tuntutan setiap melakukan tugas
demensi tersebut adalah: pemeranan dapat dilakukan dengan baik.
Oleh karena itu diperlukan Greget
…Motivation caused by external (semangat yang tinggi) agar peningkatan
events or outside rewards that have kualitas tersebut dapat setapak demi
nothing to do with the learning setapak meningkat. Selanjutnya Sengguh
situation itself generaly is called atau percaya diri merupakan sikap yang
extrinsik motivation. … In contras to bertolak pada dorongan dari dirinya
the behavioral view, the cognitive sendiri berupa hasrat dan keinginan untuk
view emphasizes intrinsik (internal) berhasil. Agar sesuatunya dapat berhasil
sources of mativation, such as the diperlukan sikap Ora mingkuh atau
satisfaction learning or pantang menyerah, adalah sebuah kinerja
accomplishment (Woolfolk, 1984 : yang dilandasi oleh usaha yang terus
272-273). menerus dan tidak takut menghadap
kesukaran-kesukaran.
Pendapat tersebut sejalan dengan Bagi individu yang greteh atau suka
pernyataan Oemar Hamalik bahwa pada bertanya, peningkatan kualitas
pokoknya motivasi dibagi menjadi dua kepenarian atau pemeranan dapat lebih
jenis yaitu motivasi instrinsik dan cepat meningkat. Hal tersebut tampak
motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik pada seringnya mereka terlibat di dalam
adalah motivasi yang hidup dalam diri, suatu pementasan tari klasik Gaya
misalnya keinginan untuk mendapatkan Yogyakarta khususnya. Keterlibatan ini
ketrampilan tertentu, memperoleh secara alami akan memberi kontribusi
informasi dan pengertian, terhadap peningkatan kualitas bagi

61
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

mereka yang terlibat. Seringnya terlibat B. Karakter dalam Wayang Kulit


dalam pertunjukan tari tersebut secara Purwa Gaya Yogyakarta
alami maka frekuensi latihan akan
semakin sering dilakukan. Seringnya Menurut Mas Lurah Cermosutejo
melakukan latihan maka proses adaptasi seorang dhalang wayang kulit dan abdi
otot untuk melakukan berbagai macam dalem Kraton Yogyakarta, perbedaan
gerak akan lebih fleksibel. Demikian juga karakter di dalam wayang kulit dapat
keterlibatan pertunjukan yang diketahui pada wanda wayang.
menggunakan dialog, maka kemampuan Pengertian wanda pada wayang kulit
vokalpun akan dapat meningkat pula. adalah gambaran air muka atau pasemon
Dengan demikian, proses adaptasi diri suatu tokoh yang merupakan perwujudan
terhadap berbagai gaya tari di luar yang kasat mata dari suasana hati tokoh
tradisinya akan semakin cepat dalam tersebut, misalnya keadaan tenang,
proses adaptasi. keadaan marah atau sedang dimabuk
Usaha yang dilakukan para penari asmara (Soedarso, 1986: 61). Karakter
atau pelaku generasi berikutnya untuk atau watak sebagian besar terwujud
meningkatkan diri dilakukan dengan dalam bentuk raut muka, yaitu dalam
berlatih di luar dari latihan yang bentuk sikap dan warnanya. Perwujudan
dilakukan paguyuban. Bagi mereka yang watak dasar dilukiskan dalam pola
mempunyai motivasi tinggi untuk bentuk dan warna raut muka atau wajah;
meningkatkan diri dengan melakukan yaitu pada pola, bentuk mata, bentuk
latihan secara mandiri. Untuk latihan hidung, bentuk mulut, warna muka,
vokal dan pocapan mereka melakukan posisi muka dan posisi dan perbandingan
latihan di tempat-tempat terbuka tubuh (Soekanto, 1992: 23). Berdasar
misalnya di pantai, tepi sungai, grojogan dari karakter tersebut akan mendasari di
(air terjun) bahkan di makampun dalam karakter suara dari masing-masing
dilakukan. Di samping itu latihan yang tokoh. Menurut Mas Lurah Cermosutejo
dilakukan tidak semata-mata untuk ada tiga karakter suara dalam wayang
persiapan menjelang pentas saja, akan kulit yaitu luruh, magak, lanyap. Untuk
tetapi mereka berlatih sendiri dengan karakter suara luruhpun ada luruh
menirukan beberapa tokoh senior dalam tanggung seperti Puntodewa,
berbagai peran dan karakter yang Abimanyau, Irawan, Sumitra dan
berbeda. Sebagaimana banyak diketahui Bambangan lainnya. Sementara untuk
bahwa para tokoh atau empu terdahulu luruh mardawa seperti Janaka, Rama dan
mempunyai spesifikasi dalam Lesmana. Untuk suara magak adalah
memerankan tokoh dalam pewayangan. karakter suara diantara karakter suara
Oleh karena itu beberapa tokoh atau alus dan katakter suara lanyap seperti
empu yang mempunyai spesifikasi dalam tokoh Karno, Dewabrata, untuk suara
peran-peran tertentu tersebut perilakunya lanyap suara terkesan nyengka atau
kadang berpengaruh dalam kehidupan bersuara seperti dipaksakan, nyentak,
sehari-hari. Bagi penari generasi emosi masuk dalam titi laras barang cilik
berikutnya hal tersebut dapat menjadi (Wawancara, tanggal 25 Agustus 2009).
nara sumber di dalam mendalami tokoh- Sejalan dengan penggolongan dalam tiga
tokoh tertentu dalam pewayangan. karakter tersebut di atas, Soekanto juga
Dengan demikian, motivasi instrinsik membagi dalam tiga posisi muka dalam
dapat menghasilkan kualitas kepenarian wayang kulit purwa yaitu posisi luruh
dan pocapan yang lebih baik. Hal ini yang berarti menunduk ke bawah, posisi
disebabkan bahwa latihan secara mandiri longok yang berarti memandang ke depan
tidak dibatasi oleh ruang maupun waktu. dan posisi langak agak menengadah,
Dimanapun dan kapanpun mereka memandang agak ke atas. Luruh
menginginkan latihan dapat dilakukan mempunyai karakter tenang, sabar, tak
tanpa dibingkai oleh karakter tertentu. tergesa-gesa segala tindakannya.

62
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

Kebalikannya adalah posisi langak, D. Nada suara dalam Wayang Wong


sementara longok mempunyai karakter Gaya Yogyakarta
antara luruh dan langak (Soekanto, 1992:
31). Nada mengandung unsur-unsur
tinggi rendahnya suara atau bunyi. Besar
C. Karakter suara dalam Wayang kecilnya suara adalah kodrat lahiriah,
Wong Gaya Yogyakarta tetapi nada suara dapat dirubah dengan
latihan secara teratur serta adanya
Karakter suara di dalam Wayang kesadaran untuk membentuk pribadi dari
Wong Gaya Yogyakarta tidak dapat lepas pribadi orang itu sendiri (Djoddy, Tt. 22).
dari karakter yang ada dalam Wayang Nada suara diperlukan agar pocapan atau
Kulit Purwa. Karena pada dasarnya dialog tidak monoton sehingga terjadi
Wayang Wong merupakan personifikasi dinamika dalam pocapan. Nada suara
dari wayang kulit. Di dalam wayang kulit setiap pemeran harus memperhatikan
purwa tipe karakter tokoh secara visual suasana gamelan yang diatur dalam
dapat dilihat pada bentuk muka wayang, pathet yang sedang berlangsung. Dengan
wanda wayang dan bentuk tubuh kata lain, nada suara penari kawengku ing
wayang. Banyak macam bentuk tubuh pathet atau dibingkai oleh pathet.
yang ada pada wayang kulit purwa Menurut RMT Djojodipura pathet adalah
dengan karakter suara yang berbeda- tempat duduk gending. Sementara Jakub
beda. Secara garis besar karakter suara dan Wignyarumeksa menyatakan “Pathet
dapat dikelompokkan menjadi swara kuwi kanggo nglungguhake gendhing“
weteng/padharan (suara perut), swara (Yudoyono, 1984: 53). Oleh karena
dhadha (suara dada), swara pergelaran wayang wong menggunakan
jangga/gulu/tenggak (suara leher) sampai iringan gamelan yang didasarkan oleh
swara metu (suara keluar yang berada penyajian wayang kulit, maka urutan
pada rongga mulut). Ketiga karakter pathet adalah (1) Slendro pathet 6, Pelog
suara tersebut pada dasarnya merupakan pathet 5, (2) Slendro pathet 9, Pelog
karakter suara alami setiap manusia. Sifat pathet 5, (3) Slendro pathet Manyura,
suara alami manusia ini dalam keseharian Pelog pathet Barang (Yudoyono, 1984:
dapat dijumpai pada saat kita berbicara 54). Masing-masing pathet tersebut
yang bersifat rahasia akan menggunakan membawa suasana atau atmosfir nada
suara bisik-bisik yang mempunyai yang berbeda tinggi rendahnya. Misalnya
kecenderungan bernada rendah besar, hal sama-sama nada dasar suara enam dalam
demikian dihasilkan dari jangga andhap Laras Slendro pathet enem atau Pelog
(leher bagian bawah), di dalam kebiasaan pathet lima, akan berbeda ketinggiannya
berbicara keseharian banyak apabila berada pada Laras Slendro pathet
menggunakan jangga tengah (leher sanga atau Pelog pathet enem, dan akan
bagian tengah) dan untuk marah, teriak, jauh berbeda lagi dalam suasana Slendro
nyentak terdapat pada jangga inggil pathet Manyura atau Pelog pathet
(leher bagian atas) yang bernada tinggi Barang. Oleh karena itu setiap penari
(barang cilik). Swara weteng/padharan atau pemeran dalam Wayang Wong Gaya
(suara perut) akan menghasilkan suara Yogyakarta harus dapat beradaptasi
yang berat, besar dan terkesan menahan, dengan suasana gending yang
swara dhadha untuk suara yang besar, mengiringinya. Apabila tidak, maka
anteb dan untuk mbengok (teriak), swara pocapan yang disampaikan terasa
jangga sampai swara metu untuk suara hambar dan tidak sesuai dengan tinggi
sedang sampai tinggi dalam tokoh alus rendahnya laras gamelan.
lanyapan.
1. Nada suara bagi peran putri
Pada umumnya seorang wanita
mempunyai nada suara tinggi. Dasar

63
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

suara ini tidak jauh berbeda dengan harus lebih rendah daripada Larasati
nada suara untuk peran-peran putri atau Dewi Wara Srikandi. Sebab
dalam Wayang Wong Yogyakarta. apabila nada dasarnya menggunakan
Untuk peran putri dapat nada dasar terlampu tinggi
menggunakan nada dasar barang, kemungkinan Larasati atau Dewi
satu dan jangga alit atau dua tinggi. Wara Srikandi tidak akan dapat
Nada dasar inipun tidak selalu lebih tinggi dari nada yang
mengikat apabila beberapa peran digunakan Dewi Wara Sembadra.
putri berada pada satu adegan yang Demikian juga apabila Dewi Wara
secara bersamaan dengan nada dasar Srikandi melakukan pocapan yang
sama. Untuk itu seorang pemeran pertama kali, maka nada dasar untuk
putri yang melakukan pocapan yang pocapan tidak boleh lebih rendah
pertama kali, akan dijadikan dasar dari Dewi Wara Sembadra. Aturan
untuk pocapan peran putri yang lain. pengambilan nada dasar untuk
Oleh karena itu bagi pemeran putri peran-peran putri berada pada nada
yang melakukan pocapan pertama dasar barang atau bem untuk putri
kali harus tahu betul nada dasar luruh dan untuk karakter putri
yang harus dipakai untuk mengawali branyak pada jangga alit atau dua
pocapan. Misalnya pada adegan tinggi. Ini semua tergantung dari
yang sama ada peran Dewi Wara karakter yang dimainkan, nada suara
Sembadra, Larasati dan Dewi patokannya pada ambah-ambahan
Srikandi, maka pada saat Dewi gamelan yang mengiringinya pada
Wara Sembadra yang melakukan saat pocapan berlangsung.
pocapan pertama kali nada dasarnya

Tabel: 1
Nada suara peran putri

No Karakter tokoh Contoh tokoh Nada suara


1 Luruh Dewi Wara Sembadra, Dewi Barang alit atau
Sinta, Larasati, bem
2 Lanyap atau Branyak Wara Srikandi Jangga alit

2. Nada suara bagi peran putra alus dalam pewayangan. Artinya nada
Nada suara untuk karakter alus suara dapat disesuaikan dengan
dibedakan menjadi dua yaitu putra situasi atau suasana hati tokoh
alus luruh dan putra alus mbranyak sedang dalam kondisi apa.
atau lanyap. Untuk putra alus luruh Permasalahan ini sering tidak
menggunakan nada dasar lima atau dipahami oleh para pemeran. Proses
enem ageng. sementara untuk nada adaptasi tersebut diperlukan agar
dasar mbranyak dapat menggunakan diantara tokoh dengan nada dasar
nada dasar enem atau barang alit (titi laras) yang sama, dapat
untuk tokoh yang di dalam wayang menyesuaikan kembali dengan
kulitnya tergolong dalam karakter menurunkan atau menaikkan nada
muka longok, untuk tokoh yang yang disesuaikan dengan karakter
tergolong dalam karakter langak tokoh. Misalnya dalam suatu adegan
dapat menggunakan barang alit dan secara bersamaan terdapat peran
loro inggil. Namun demikian apabila Janaka, Putadewa dan Abimanyu,
dalam suatu adegan terdapat maka nada suara ketiganya harus
beberapa tokoh dengan karakter disesuaikan kembali dengan situasi
yang sama, maka pemeran harus yang terjadi. Karena pocapan ketiga
memperhatikan karakter tokoh tokoh tersebut tinggi rendahnya

64
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

nada dasar yang digunakan berbeda Wayang Wong Gaya Yogyakarta


antara wayang kulit dan wayang Janaka menggunakan nada dasar
wong. Di dalam wayang kulit lebih tinggi dari Abimanyu
Janaka lebih rendah dengan nada disebabkan karakter Janaka yang
dasar lima atau enem ageng lebih mempunyai sifat ada kongasnya dan
rendah dari Puntadewa atau sifat pocapan yang romantis.
Abimanya. Akan tetapi di dalam

Tabel: 2
Nada Suara Peran Putra Alus

No Karakter tokoh Contoh tokoh Nada suara


1 Alus luruh Arjuna, Rama, Lima, atau enem
Lesmana, ageng
Angkawijaya
2 Alus Lanyap atau branyak Nakula, Sadewa, Barang alit atau
Wibisana, Prabu loro inggil
Jungkung Mardeya,
Prabu Sri Suwela
dan Para Raja
Alusan yang berada
di pihak yang kalah
Samba, Wisanggeni Loro inggil

3. Nada suara bagi peran putra gagah yang biasa digunakan untuk karakter
Nada suara di dalam peran gagah dan swara jangga (leher)
putra gagah dapat dilihat dan untuk menghasilkan suara kecil
dibedakan oleh ragam tari yang (Wawancara dengan KRT
digunakan. Untuk penggunaan Pujaningrat, 25 Agustus 2009).
ragam tari gagah Kambeng lebih Misalnya untuk Gatutkaca
besar dari yang menggunakan ragam menggunakan suara dari swara
tari Kalangkinantang. Di dalam dhadha, untuk raksasa
ragam Kalangkinantangpun tidak menggunakan suara dari swara
semua tokoh mempunyai nada dasar weteng, Dasamuka lebih berat atau
yang sama tergantung dari mambeg yang berada pada swara
karakternya. Untuk Werkudara weteng sampai swara dhadha, Setija
misalnya dapat menggunakan nada berat dan magak dari swara dhadha
dasar dhadha ageng, lima ageng karena mempunyai karakter
atau enem ageng tergantung dari setengah Kambeng disebabkan
kemampuan suaranya, lebih tegas, dalam wayang kulitnya bermata
nugel atau getas, Gatutkaca dengan thelengan, Prabu Baladewa dari
nada dasar enem ageng, dan untuk swara jangga sampai pada swara
peran-peran dengan ragam metu tidak berat. Hal yang tidak
Kalangkinantang menggunakan boleh dilupakan adalah, bahwa
nada dasar jangga atau enem, yang pocapan harus jelas, keras, anteb
tinggi rendahnya disesuaikan dengan dan manteb, suku katanya tidak
karakter pada wayang kulitnya. tertelan dan tidak ada yang hilang.
Prinsipnya harus menguasai swara Untuk keperluan itu sering dijumpai
weteng (perut) untuk jenis suara pada saat membaca dan
yang berat dan besar, swara dhadha menyuarakan huruf a disuarakan
(dada) untuk menghasilkan swara jadi ha, d disuarakan jadi dha, k
angglung (suara yang menggema) disuarakan jadi g, misalnya

65
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

“Prajurit sapa aranmu, maju sura “Prajurit sapha haranmu, maju sura
ngadilaga” akan disuarakan menjadi ngadilaga” dan sebagainya.

Tabel: 3
Nada suara peran putra Gagah

No Karakter Tokoh Contoh Tokoh Nada Suara


1 Gagah Kambeng Werkudara, Telu,lima atau
enem ageng
2 Gagah Kinantang Setija Jangga
3 Gagah Bapang Dursasana, Burisrawa Jangga
4 Gagah Impur Duryudana Enem ageng

4. Irama pocapan dalam Wayang Wong perlu bantuan clip on, pocapan ora cetha
Gaya Yogyakarta yang kesemuanya tersebut menandakan
Irama pocapan adalah cepat adanya pocapan yang tidak sampai ke
lambatnya pocapan yang diucapkan oleh telinga penonton dengan baik Padahal
setiap pemeran menurut karakter tokoh pocapan yang mampu didengar
pewayangan yang diperankan. Irama penonton, akan berakibat pada jalinan
pocapan diperlukan agar di dalam cerita dan informasi yang disampaikan
pocapan tidak sekedar menyampaikan pemeran dapat diikuti oleh penonton. Hal
teks pocapan tanpa dilandasi oleh tersebut dapat terjadi apabila kemampuan
karakter tokoh, suasana serta makna teks pemeran di dalam mengatur volume
pocapan. Terlebih lagi bahwa pocapan suara dapat jelas terdengar dari arah
Wayang Wong Gaya Yogyakarta penonton. Tantangan bagi para pemeran
mempunyai gaya yang berbeda dengan dengan nada rendah untuk meningkatkan
antawecana Wayang Wong Gaya kemampuan vokalnya agar volume
Surakarta maupun gaya pakeliran. Irama pocapan dapat lebih keras.
pocapan diperlukan agar pocapan
menjadi tidak terkesan monoton. Kesan IV. Kesimpulan dan Saran
ini dapat muncul disebabkan oleh
ketidakmampuan seorang penari/pemeran A. Sistem transmisi pocapan Wayang
di dalam memahami karakter ataupun Wong Gaya Yogyakarta
makna teks pocapan. Tidak jarang
ditemukan seorang penari/pemeran pada 1. Sistem transmisi pocapan Wayang
saat pocapan seakan sedang membaca Wong Gaya Yogyakarta terjadi
teks, padahal dia tidak sedang membaca dalam dua sistem. Pertama dari sisi
teks. Hal ini terjadi karena para penari atau pelaku generasi
penari/pemeran tidak mengatur cepat sebelumnya dan dari sisi generasi
lambatnya pocapan yang didasarkan berikutnya. Secara alami proses
pada karakter atau suasana adegan. transmisi pocapan terjadi pada saat
pemaos kandha atau pembaca narasi
5. Volume suara dalam pemeranan menuntun pocapan bagi para
Sebagaimana telah dijabarkan pada pemeran dalam suatu adegan.
bab terdahulu bahwa banyak komentar 2. Apabila ditinjau dari sisi para penari
dari para penonton yang mengatakan atau pelaku generasi berikutnya,
bahwa kemampuan pocapan atau dialog maka motivasi setiap individu di
bagi penari masih belum menampakan dalam peningkatan kualitas
hasil yang optimal. Sebagian besar kepenarian atau pemeranan sangat
penonton mengatakan bahwa volume berperan. Bagi mereka yang
suara dalam pocapan para pemeran mempunyai motivasi tinggi untuk
terdengar lamat-lamat, tidak jelas, dialog

66
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

meningkatkan diri dengan peran-peran putri berada pada


melakukan latihan secara mandiri. nada dasar barang atau bem
3. Karakteristik pocapan Wayang untuk putri luruh dan untuk
Wong Gaya Yogyakarta karakter putri branyak pada
a. Karakter suara jangga alit. Ini semua
Karakter suara di dalam tergantung dari karakter yang
Wayang Wong Gaya dimainkan, nada suara
Yogyakarta tidak dapat lepas patokannya pada ambah-
dari karakter yang ada dalam ambahan gamelan yang
Wayang Kulit Purwa. Karena mengiringinya pada saat
pada dasarnya Wayang Wong pocapan berlangsung. Untuk
merupakan personifikasi dari putra alus luruh menggunakan
wayang kulit. Secara garis nada dasar lima atau enem
besar karakter suara dapat ageng sementara untuk nada
dikelompokkan menjadi swara dasar mbranyak dapat
weteng/padharan (suara perut), menggunakan nada dasar enem
swara dhadha (suara dada), atau untuk tokoh yang di dalam
swara jangga/gulu/tenggak wayang kulitnya tergolong
(suara leher) sampai swara dalam karakter muka longok,
metu (suara keluar yang berada untuk tokoh yang tergolong
pada rongga mulut). Ketiga dalam karakter langak dapat
karakter suara tersebut pada menggunakan barang alit dan
dasarnya merupakan karakter loro inggil. Nada suara di
suara alami setiap manusia. dalam peran putra gagah dapat
Pemeran putri mempunyai dilihat dan dibedakan oleh
karakter suara yang cenderung ragam tari yang digunakan.
terletak pada tenggorokan Untuk penggunaan ragam tari
bagian atas (swara jangga dan gagah Kambeng lebih besar dari
swara metu). Untuk karakter yang menggunakan ragam tari
suara alus luruh menggunakan Kalangkinantang.
suara dari swara dhadha, untuk Kalangkinantangpun tidak
karakter suara alus branyak semua tokoh mempunyai nada
atau lanyapan menggunakan dasar yang sama tergantung
swara jangga/gulu/tenggak dari karakternya. Hal yang
atau leher bagaian atas sampai tidak boleh dilupakan adalah,
pada swara metu. Sedangkan bahwa pocapan harus jelas,
karakter suara untuk peran keras, anteb dan manteb, suku
putra gagah secara garis besar katanya tidak tertelan dan tidak
dapat digolongkan dalam ada yang hilang.
karakter suara berat dan besar,
suara angglung atau c. Irama pocapan
menggema, untuk gagah Irama pocapan adalah
magak, dan suara kecil cepat lambatnya pocapan yang
melengking untuk raksasa diucapkan oleh setiap pemeran
seperti Cakil. menurut karakter tokoh
pewayangan yang diperankan.
b. Nada suara Irama pocapan sangat berkaitan
Nada suara setiap pemeran dengan karakter tokoh dalam
harus memperhatikan suasana pewayangan yang merujuk
gamelan yang diatur dalam pada lagak, lagu, lageane.
pathet yang sedang Lagak adalah pembawaan atau
berlangsung. Aturan sikap dari tokoh yang satu
pengambilan nada dasar untuk dengan lainnya berbeda, lagu

67
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

adalah tinggi rendahnya 3. Pemeran tokoh alusan lanyap dengan


intonasi suara diantara wayang nada tinggi dapat terdengar dari arah
satu dengan lainnya, dan lagean penonton, akan tetapi tidak jelas
adalah watak atau karakter dan suku kata dan kalimat yang
kebiasaan dari tokoh dalam diucapkan. Oleh karena itu perlu
wayang yang satu dengan banyak latihan vokal untuk
lainnya berbeda. memperjelas artikulasinya.
4. Pemeraran putra gagah kambeng
d. Volume suara dengan nada rendah harus banyak
Kemampuan terhadap latihan vokal agar volume suara
volume suara dalam pocapan dapat keras, dan kejelasan suku kata
bagi para pemeran masih belum maupun kalimat yang diucapkan
optimal, sebagian besar kalimat dapat di dengar penonton.
pocapan tidak sampai ke 5. Bagi pemeran yang menggunakan
telinga penonton dengan baik topeng harus beradaptasi dengan
Untuk keperluan itu topeng yang dikenakan, dan banyak
kemampuan pemeran di dalam melakukan latihan mengoptimalkan
mengatur volume suara harus kemampuan volume suara. Hal
ditingkatkan agar kemampuan tersebut diperlukan karena
pocapan dapat jelas terdengar pengaturan nafas kadang terganggu
dari arah penonton. Terlebih dengan adanya topeng yang
lagi bagi para pemeran dengan dikenakan.
nada rendah untuk 6. Oleh karena pemahaman dan
meningkatkan kemampuan penguasaan pocapan dalam karakter
vokalnya agar volume pocapan masih kurang, maka setiap pemeran
dapat lebih keras. harus banyak bertanya pada para
guru atau dhalang agar transformasi
B. Saran karakter dapat luluh menyatu.
7. Adanya temuan bhwa tidak semua
1. Lembaga-lembaga yang pemeran mengetahui titi laras atau
berkompeten menyelenggarakan nada suara bagi tokoh yang
pertunjukan Wayang Wong Gaya diperankan, maka setiap pemeran
Yogyakarta sebaiknya harus mengetahuinya. Hal tersebut
meningkatkan frekuensi pertunjukan diperlukan agar pada saat
Wayang Wong Gaya Yogyakarta mengawali untuk pocapan, langsung
agar sistem transmisi Wayang Wong dapat memasuki wilayah tranformasi
Gaya Yogyakarta dapat terjadi. karakter tokoh yang diperankan.
2. Oleh karena terikat oleh karakter,
untuk pocapan pemeran putri luruh DAFTAR RUJUKAN
kadang tidak terdengar oleh
penonton. Oleh sebab itu para B.P.A. Soerjadiningrat, 1934, Babad lan Mekaring
pemeran putri luruh harus Djoged Djawi. Kolf Buning, Jogjakarta.
membiasakan diri untuk berlatih
vokal dengan volume yang keras. Dewan Ahli Yayasan Siswo Among Bekso, 1981,
3. Untuk pemeran tokoh alus luruh Kawruh Joged Mataram. Yayasan Siswo
dengan nada rendah kadang Among Bekso, Yogyakarta.
pocapan tidak terdengar dari arah
penonton. Oleh sebab itu Djoddy, M., Tt, Mengenal Permainan Seni Drama.
sebagaiman pada pemeran putrid Arena Ilmu, Jakarta-Surabaya.
luruh, para pemeran putra alus luruh
harus membiasakan diri untuk Hamzah, A. Adjib, 1985, Pengantar Bermain
berlatih vokal dengan volume yang Drama. CV Rosda, Bandung.
keras.

68
Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta :
Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

Hardjowirogo, 1982, Sejarah Wayang Purwo. PN Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New
Balai Pustaka, Jakarta. Jersey.

Herman, J. Waluyo, 2001, Drama: Teori dan Yudoyono, Bambang, 1984, Gamelan Jawa: Awal
Pengajarannya. PT Hanindita Graha Widya, Mula, Makna Masa Depannya. PT Karya
Yogyakarta. Unipres, Jakarta.

Sumaatmadja, Nursid. 1998, Manusia dalam Nara Sumber:


Kontek Sosisal, Budaya dan Lingkungan
Hidup. CV Alvabeta, Bandung. Drs. H. GBPH Yudaningrat, MM., Pengageng
Kawedanan Hageng Kraton Yogyakarta.
Rendra, 1982, Tentang Bermain Drama. PT. Dunia
Pustaka Jaya, Jakarta. Drs. Yudono, Penari dan Pembina Kesenian
Tradisi Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta
Oemar Hamalik, 2003, Proses Belajar Mengajar.
PT Bumi Akasara, Jakarta. Kanjeng Raden Tumenggung Pujaningrat (RM
Dinusatomo), Ketua Yayasan Siswo Among
Samuel Soeitoe, 1982, Psikologi Pendidikan. Bekso Yogyakarta.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta. Kanjeng Mas Tumenggung Widyowinoto, Guru
SMK I Kasihan Bantul, abdi dalem Kraton
Siagian, Sondang. P., 1995, Teori Motivasi dan Yogyakarta
Aplikasinya. PT. Rineka, Jakarta.
Kenthus, Sutradara dan pemain Wayang Wong
Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-faktor yang Gaya Surakarta anggota Sekar Budaya
Mempengaruhinya. PT Rineka Cipta, Jakarta. Nusantara Jakarta.

Soedarso, SP., 1986, “Wanda Suatu Studi tentan L. Danis Subroto, Penari Wayang Wong Gaya
Resep Pembuatan Wanda-wanda Wayang Yogyakarta.
Kulit Purwo dan Hubungannya dengan
Presentasi Realistik”, (Laporan Penelitian), Mas Lurah Cermosutejo, 53 tahun, Seorang dalang
Proyek Penelitian dan pengkajian Kebudayaan wayang kulit Gaya Yogyakarta, abdi dalem
Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kraton Yogyakarta.
Kebudayaan Depdikbud.
RM. Ibnu Mutarto, Penari senior sesepuh Yayasan
Soekatno, 1992, Mengenal Wayang Kulit Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa
PurwaAneka Ilmu, Semarang. Yogyakarta.

Suharto, Ben, 1991, “Tari dalam Pandangan RM. Krisyadi, Penari, Sutradara Wayang Wong
Kebudayaan”, dalam Jurnal SENI Edisi Gaya Yogyakarta.
Perdana, BP. ISI, Yogyakarta.
Siti Sutiyah Sasminta Mardawa, Ketua Yayasan
Tjondroradono, Soenartomo, 1996, “Pengetahuan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa.
Tari Gaya Yogyakarta: Jenis dan
Perwatakannya”, (Diktat), Sekolah Menengah Undung Wiyono, Penulis naskah Wayang Wong
Karawitan Indonesia, Yogyakarta. Gaya Surakarta di Sekar Budaya Nusantara
Jakarta.
Wibowo, Fred. (Ed), 1981, Mengenal tari Klasik
Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Propinsi Widodo Pujobintoro, Guru SMK I Kasihan Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta. Penari Wayang Wong Gaya Yogyakarta.

Woolfolk, Anita E. & Nicolich, Lorraine McCune,


1984, Educational Psychology for Teacher,

69
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 70-77

WAYANG WONG
LANGEN LESTARI BUDOYO DONOMULYO
SEBUAH KAJIAN GAYA WAYANG WONG PEDESAAN
Surojo
Jurusan Tari, Fak. Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta

ABSTRACT
Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo who was born and developed in rural communities
Donomulyo an individual and collective expression of the rural art style. This Wayang wong was founded in
1932 by R. Sanghadi as a palace of Yogyakarta Sultanate courtiers.This transformation and culture of
palace formality was a cultural diffusion of the cultural center of the (palace) to a small cultural center
(rural), thus giving birth to an art style that is different from the original. This diffusion certainly related to
the role Kridha Beksa Wirama in 1918 as an arts institution devoted to the general public, including people
from the countryside
The rural of wayang wong is a rustic contemporary art form of the distribution and development of the
foregoing, where the elements that influence complex either in a linear kesejarahannya of Kridha Beksa
Wirama and social culture. That is, in the process of formation of wayang wong arable quality, especially
choreography has a unique claim as the expression of which is produced by the artist that is a blend of rustic
palace of art with the art of rural tradition "ndeso". This traditional art is an art form that originates and
stems as well have been perceived as belonging to the arts community. Hasil accepted as tradition, the
inheritance devolved from the older to the younger generation.

Keyword : wayang wong, traditional, rural style, the diffusion

ABSTRAK
Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo yang lahir dan berkembang di komunitas masyarakat desa
Donomulyo merupakan ekspresi individu dan kolektif sebagai gaya seni pedesaan. Wayang wong ini
didirikan pada tahun 1932 oleh R. Sanghadi sebagai seorang abdi dalem keraton Kasultanan Yogyakarta.
Transformasi dan formalitas budaya keraton ini adalah suatu difusi budaya dari pusat budaya besar (keraton)
ke pusat budaya kecil (pedesaan), sehingga melahirkan suatu gaya seni yang berbeda dari aslinya. Persebaran
ini tentu terkait dengan peran Kridha Beksa Wirama pada tahun 1918 sebagai lembaga kesenian yang
disediakan untuk masyarakat umum, termasuk orang-ortang yang berasal dari pedesaan.
Wayang wong pedesaan adalah sebuah bentuk kesenian kontemporer dari hasil persebaran dan
perkembangan sebelumnya, di mana unsur-unsur yang turut mempengaruhi sangat kompleks, terutama
sejarah secara linier dari Kridha Beksa Wirama. Artinya, dalam proses pembentukan kualitas garapan
wayang wong, terutama garapan koreografi memiliki keunikan sebagai ekspresi yang diproduksi oleh
seniman pedesaan yakni perpaduan antara seni keraton dengan seni tradisi pedesaan yang ”ndeso”. Kesenian
tradisional ini adalah bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik
masyarakat..Hasil kesenian diterima sebagai tradisi, yang pewarisannya dilimpahkan dari angkatan tua
kepada angkatan muda.

Kata kunci : wayang wong, tradisi, gaya pedesaan, difusi

Latar Belakang Masalah sebagai seorang guru dan abdi dalem keraton.
Transformasi dan formalitas budaya istana ini
Keberadaan wayang wong Langen Budaya mencerminkan kuatnya pengaruh budaya elit atau
Donomulyo yang didirikan pada tahun 1932 keraton terhadap budaya rakyat atau kecil. Seperti
sebenarnya tidak bisa lepas dari peran R. Sanghadi dikemukakan oleh Kuntowijoyo, bahwa dualisme

70
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989

budaya Jawa menempatkan budaya besar (elit) yang menyangkut kaum kerabat dan nenek
yang dikuasai kerajaan adalah sebagai pusat moyang tadi, dengan pertanyaan-pertanyaan
kreativitas yang sah, sehingga kebudayaan keraton yang bersifat konkret (Koentjaraningrat,
memancarkan sinarnya ke kebudayaan desa. 1987:118)
Sebaliknya, desa hanya diakui daerah pinggiran
budaya dan kreativitasnya hanya dianggap sebagai Pernyataan ini tampaknya dapat dipahami
karya yang belum selesai dan mentah. dalam konteks menelusuri sejarah perkembangan
Perkembangan budaya tradisional hanya bersifat wayang wong Lestari Budaya Donomulyo,
perkembangan sintagmatis, yaitu pluralisme terutama melacak dari keturunan R. Sanghadi dan
budaya ditampakkan lebih dalam perbedaan variasi para kerabat atau para murid-muridnya yang
atau cengkok semata-mata dan tidak mengubah dewasa ini sebagai pelestari wayang wong
polanya (Kuntowijoyo, 1987: 24-25). Oleh karena pedesaan itu. Keberadaan grup wayang wong
itu, maka tidak mengherankan apabila muncullah Lestari Budaya ini merupakan bukti bahwa
gaya wayang wong pedesaan sebagai ekspresi kesenian tradisi itu tumbuh dan berkembang
kolektif mereka yang „ndeso‟. Peniruan genre sebagai warisan budaya nenek moyangnya.
wayang wong gaya Yogyakarta oleh seniman desa Proses persebaran itu tentu diwarnai adanya
Donomulyo sebenarnya dilatarbelakangi oleh spirit dialektika budaya antara budaya besar (keraton)
komunal yang menganggap seni keraton sebagai dengan budaya kecil (desa) sebagai proses
seni keramat, sehingga kesadaran mereka semata- pembentukan jatidiri budaya lokal. Secara umum
mata ditujukan untuk menjaga kepentingan desa dialektika berarti sebuah proses pelik konflik
sebagai kesatuan sistem kenegaraan kerajaaan konseptual atau sosial, interkoneksi dan perubahan,
Kasultanan Yogyakarta dalam konteks terutama penciptaan, interpenetrasi, dan
keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos. pertentangan yang menghasilkan mode pemikiran
Transformasi dan formalitas budaya keraton atau bentuk kehidupan yang cenderung memainkan
ke dalam budaya rakyat pedesaan ini peran penting (William Outhwaite,editor, 2008
sesungguhnya merupakan bentuk difusi budaya :211). Proses tawar-menawar atau tarik-menarik
yang dibawa oleh seorang abdi dalem keraton merupakan bagian penting untuk mendapatkan
Kasultanan Yogyakarta yang bernama R. Sanghadi format baru dalam bentuk kesenian, yang akhirnya
ke dalam lingkungan budaya pedesaan sebagai diperoleh suatu kesepakatan atau persamaan
tempat tinggalnya. Menurut teori difusi, bahwa persepsi terhadap gaya seni yang disajikan. Gaya
gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di wayang wong pedesaan ini dijadikan fokus kajian,
berbagai tempat di dunia disebabkan karena sehingga diperoleh suatu gambaran menyeluruh
persebaran atau difusi dari unsur-unsur itu ke tentang koreografi sebagai sintesis dari proses
tempat-tempat lain. Untuk melacak adanya difusi budaya.
kesamaan unsur-unsur, maka sebagian besar dari R. Sanghadi sebagai guru Kawula Kasultanan
keterangannya akan diperolehnya dari para yang memiliki separangkat gamelan memberikan
informan, dengan berbagai macam metode kesempatan kepada masyarakat Klangon, Sedayu
wawancara. dan Moyudan untuk melakukan kegiatan uyon-
uyon, sehingga kegiatan ini menjadi faktor penting
Rivers mengalami bahwa banyak bahan perkembangan wayang wong gaya Yogyakarta di
keterangan mengenasi kehidupan sesuatu wilayah perbatasan antara D.I.Y. dengan Jawa
masyarakat dapat dianalisis dari daftar-daftar Tengah. Di samping itu, status R. Sanghadi sebagai
asal-usul, atau genealogi, dari para informan abdi dalem keraton Kasultanan Yogyakarta adalah
itu. Dengan demikian seorang peneliti harus faktor penentu tumbuh dan perkembangan genre
mengumpulkan sebanyakmungkin daftar asal- wayang wong di Kabupaten Kulonprogo. Hal ini
usul individu-individu dalam masyarakat menunjukkan seni pertunjukan ini yang semula
obyek penelitian penelitiannya itu. Dengan lahir, tumbuh dan berkembang di dalam keraton,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kemudian berkembang dan tersebar di luar tembok
kaum kerabat dan nenek moyang para keraton, sampai di pedesaan. Wayang wong di
individu tadi sebagai pangkal, seorang peneliti Yogyakarta berkembang dan mengalami
dapat menembangkan (baca: persebaran sejak pemerintahan Hamengku Buwana
mengembangkan) suatu wawancara yang luas I dengan lakon Gandawardaya sekitar akhir tahun
sekali, mengenai bermacam-macam peristiwa 1750-an dan mencapai puncak kejayaan pada masa

71
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan)

pemerintahan HB VIII (1921-1939) yang ketika itu mengacu pada wayang wong gaya Yogyakarta.
memproduksi wayang wong untuk waktu berhari- Grup kesenian ini adalah sebuah bentuk kesenian
hari (Soedarsono, 1990: 19 dan 29). Dengan yang aktual sebagai hasil persebaran dan
demikian, perkembangan wayang wong gaya perkembangan sebelumnya, di mana unsur-unsur
Yogyakarta di luar tembok keraton, tampaknya yang turut mempengaruhi sangat kompleks, baik
berada pada masa pemerintahan Sultan Hamengku aspek kesejarahannya secara linier dari Kridha
Buwana VIII yang ketika itu R. Sanghadi sebagai Beksa Wirama maupun aspek sosial budaya
abdi dalem keratoan. masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan
Fenomena persebaran seni tradisi keraton sesuai spirit zamannya..
sebenarnya sudah terjadi pada masa pemerintahan
HB VII, tepatnya pada tahun 1918, atas restu Proses Pembentukan
Sultan di Yogyakarta berdiri sebuah lembaga
kesenian bernama Kridha Beksa Wirama. Lembaga Proses pembentukan wayang wong Lestari
ini diprakarsai Pangeran Soerjodiningrat dan Budaya erat kaitannya dengan pertemuan dua
Pangeran Tejakusuma. Murid-murid KBW budaya yaitu budaya besar (istana) dan budaya
sebagian besar terdiri dari para pelajar Yogyakarta kecil (rakyat). Hal ini merupakan bentuk
yang bergabung dalam Jong Java. Semenjak itu persebaran budaya yaitu berangkat dari keraton
kesenian keraton termasuk wayang wong dapat Kasultanan Yogyakarta yang berfungsi sebagai
dipelajari oleh masyarakat luas dan berkembang salah satu pusat kebudayaan Jawa yang dikenal
pesat, bahkan Krida Beksa Wirama pernah seni tradisi klasik menuju ke pedesaan sebagai
mementaskan wayang wong di Bandung yang salah satu pusat kebudayan yang dikenal seni
diselenggarakan oleh Java Instituut pada tahun tradisi rakyat. Proses pembentukannya ditandai
1921 (Soedarsono, 1990: 29). Pertunjukan wayang oleh kuatnya pengaruh seni tradisi keraton
wong gaya Yogyakarta ini kemungkinan memberi terhadap seni tradisi rakyat, sehingga
inspirasi seniman local untuk diadaptasi, meskipun menghasilkan bentuk gaya seni ysng khas
di wilayah Priangan (Bandung) sebenarnya sudah pedesaan sebagai formalitas budaya keraton yang
berkembang wayang wong pada awal abad ke -20, “ndeso”. Seperti dikemukakan oleh D.H. Burger:
sebab kesenian ini sangat digemari oleh khalayak
umum, yang diduga merupakan awal lahirnya Gaya hidup Jawa ini berakar dalam khazanah
wayang wong gaya Priangan (Iyus Rusliana, 2002: kebudayaan yang terhimpun dalam
28). Pengaruh kebudataan Mataram terjadi pada kesusasteraan kuno dan dalam wayang
masa pemerintahan Sultan Agung dan dilanjutkan (pertunjukan pemainan bayangan yang
pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I pada diiringi musik dan seni tari). Wayang
tahun 1645 yang ditandaio perkawinan antara mempunyai makna keagamaan. Pertunjukan
Sunan Amangkurat I dengan cucu Panembahan wayang diadakan pada saat-saat terpenting
Ratu Alit yang bernama Panembahan Girilaya dalam kehidupan manusia seperti kelahiran,
(Ibid.,: 48). Persebaran budaya keraton Mataram perkawinan dan khitanan, juga untuk
dan Kasultanan Yogyakarta tampaknya sudah mengelakkan mala petaka atau menghalau
berlangsung sangat lama, termasuk pesrevaran penyakit, dan segala pengaruh lain yang
wayang wong gaya Yogyakarta ke desa merusak. Pertunjukan wayang merupakan
Dopnomulyo Kulonprogo. tontonan suci. Karena leluhur yang didewakan
Fenomena perkembangan wayang wong gaya muncul di atas pentas. Terutama kaum
Yogyakarta di luar tembok istana ini tentunya bangsawan menganggap tokoh-tokoh wayang
berkembang menurut spirit komunal yang selaras itu nenek moyang mereka (Burger, 1983: 43-
dengan kebutuhan dan kualitas seniman 44)
pendukungnya, terutama pengetahuan dan
kemampuan keterampilan tekniknya. Oleh karena Latar belakang ini sebenarnya mengilhami
itu, tulisan kali ini lebih difokuskan pada garap, keberadaan wayang wong Lestari Budaya di Desa
dan berbagai pengaruh yang turut membentuk Donomulyo, yakni formalitas budaya keraton
garap tersebut, baik social budaya maupun dari sebagai khazanah penghayatan terhadap dunia
pemngaruh kesenian lainnya. Fenomena wayang spiritualitas orang Jawa yang ”ndeso”. Persamaan
wong pedesaan di Donomulyo Nanggulan Kulon persepsi bangsawan keraton dengan rakyat kecil
Progo adalah produk seniman pedesaan yang yang ”ndeso” terhadap budaya wayang, bahwa seni

72
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989

kuno adalah satu ungkapan dari pandangan hidup Peterson Royce. Gaya tersusun dari simbol,
Jawa yang kuno, yang didukung oleh ”rasa bentuk, dan orientasi nilai yang mendasarinya.
kerukunan alam semesta (Ibid.,: 75) Bentuk dan simbol terang-terangan memasukkan
Pemaknaan budaya keraton dalam konteks pakaian, bahasa, musik, tari, tipe rumah, dan
budaya pedesaan tentu diyakini sebagai unsur agama (Royce, 2007: 171). Transformasi tata rias–
pembentuk karakter masyarakat pedesaan dalam busana tentu disesuaikan dengan ketersediaan dan
pengukuhan jatidiri mereka sebagai bentuk media kualitas bahan yang didasarkan pada kemampuan
legitimasi komunal yang ”ndeso”. Masyarakat daya beli mereka serta kemampuan
pedesaan Jawa dalam menentukan identitas menginterpretasinya. Di samping itu, pengalaman
kebudayaan cenderung menerima pancaran budaya mereka ketika melihat pertunjukan tertentu yang
keraton yang diaktualisasikan dalam spirit memberi inspirasi variasi warna dan desain tata
komunal sebagai pernyataan yang menyatukan tata busana. Transformasi gerak tari sangat jelas
nilai kawula-gusti. Pernyataan seni tradisi dilatarbelakangi oleh kekurang sempurnaan
pedesaan ini merupakan pencerminan dari penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknik
kesederhaaan dasn kepolosan berpikir fan ketika mereka menjadi murid KBW, sehingga
bertindak dalam dunia kesenian yang diukur kesederhanaan bentuk gerak dan cara
menurut kemampuan mereka, sehingga ekspresi pengungkapannya menjadi unik yang menandai
individual dan kolektif lokalitas memberi gaya „ndeso”. Tipe rumah atau panggung
gambaran tentang keseimbangan dunia manusia pertunjukan juga sangat tergantung dari fasilitas
dan alam semesta. ruang pentas yang disebut pendopo atau panggung
Pada awal keberadaan Kridha Beksa Wirama yang dibuat untuk kepentingan pertunjukan.
sebenarnya dilatarbelakangi oleh antusias dan Keseluruhan unsur pembentuk gaya itu ditunjang
peminat para peserta didik yang mayoritas dari oleh nilai-nilai etika, moral dan spirit yang ada
kalangan umum atau mereka yang berasal dari dalam wayang sebagai media pendidikan budi
desa-desa, sehingga tidak mustahil tari keraton pekerti orang Jawa tempo dulu, dan mungkin
(baca wayang wong) berkembang secara luas di masih berlaku di masa kini dan masa yang akan
luar tembok keraton.. Namun karena belum datang.
tuntasnya pengusaan materi tari yang dipelajari di Jennifer Liindsay dalam penelitiannya melihat
Kridha Beksa Wirama, maka perkembangan tarian sebuah perjalanan panjang wayang wong sendiri di
keraton di pedesaan cenderung mengalami keraton dikategorikan menjadi klasik, kitch dan
penurunan kualitas penguasaan dan keterampilan kontemporer. Dengan batasan ketiga istilah ini
teknik gerak. Akibat dari proses pembentukan ditemukan perbandingan dan tolok ukur pada
yang kurang optimal itu diyakini akan berdampak “waktu pertunjukannya”. Pertunjukan di masa
pada kualitas pengembangan wayang wong dari Hamengku Buwana I hingga masa Hamengku
waktu ke waktu sejalan dengan perubahan zaman. Bubawa VIII telah mengalami perbedaan bentuk.
Bercampuran dari berbagai gaya dan potensi seni Artinya, bahwa aspek “waktu” yang bersifat
di desa, merupakan fenomena sosial budaya diakronis dalam tempat yang sama cenderung
sebagai proses pembentukan karakter identitas mengalami perubahan bentuk sejalan dengan spirit
masyarakat pemilik kesenian itu. masyarakat pendukungnya sebagai kreator dan
Gaya wayang wong pedesaan ini adalah innovator karya seni. Persebaran ke arah luar
realitas kreativitas seniman pedesaan yang keraton di mana lingkungan masyarakat
memiliki pemahaman dan interpretasi yang unik. pendukung budaya tidak sama dengan masyarakat
Keunikan yang dimaksud adalah kesederhaaan dan keraton tentu interpretasi akan mengalami
kepolosan dalam menginterpretasikan seni tradisi penyesuaian dengan potensi budayanya, sehingga
istana dengan kemampuan apa adanya. Oleh produk budaya yang diciptakan akan memiliki
karena itu, maka wayang wong gaya pedesaan ini kualitas sendiri, termasuk ukuran estetiknya. Hal
memiliki ciri khas, versi dan gaya yang berbeda ini sesuai dengan pemahaman teori difusi yang
menurut atmosfir budaya di pedesaan yang menunjuk adanya pusat budaya dan luar pusat
sederhana, apa adanya, “bentuk tari tampak belum budaya, yakni seni tradisi keraton yang dibawa
selesai” dan unik bila dilihat dari sisi pandang oleh individu yang berstatus abdi dalem untuk
kesenian keraton. Seluruh ciri-ciri kompleks ini dikembangkan di daerah asalnya. Unsur-unsur
sebenarnya merupakan unsur pembentuk suatu yang membentuk wayang wong pedesaan ini
gaya seni sebagai dikemukakan oleh Anya cenderung dikolaborasikan menurut

73
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan)

kemampuan dan selera seniman menjaga keseimbangan mikrokosmos dan


pendukungnya. Kasus pembentukan koreografi makrokosmos. Sistem pengetahuan tentang
wayang wong Lestari Budaya ini lebih wayang secara tersirat dan tersurat merupakan
mencerminkan suatu proses kreatif dengan simbol kehidupan manusia yang mewakili tentang
memadukan unsur-unsur wayang wong gaya sifat baik dan buruk, sehingga simbol-simbol itu
Yogyakarta, unsur-unsur seni tradisi lokal, atau memiliki sistem nilai yang dipakain acuan normatif
unsur lain seni lainnya sebagai pengalaman untuk diimplementasikan dalam berinteraksi dan
berkesenian mereka, sehingga kesan kepolosan berkomunikasi dengan sesama manusia dan
dan kesederhanaan berpikir mereka serta lingkungan.
keterbatasan kemampuan penguasaan dan Jika melihat teks koreografi wayang wong
keterampilan teknik tentu berakibat pada Lestari Budaya sebenarnya transformasi
kualitas bentuk koreografi. koreografi wayang wong pedesaan ini dapat
Kesenian tradisional ini adalah sebuah bentuk dikategorikan merupakan bentuk kitch atau
seni yang bersumber dan berakat serta telah kontemporer dari sebuah daya kreatifitas seniman
dirasakan sebagai miliki sendiri oleh masyarakat pemangkunya (lihat Jeniffer Liindasy). Menurut
lingkungannya. Penciptaan karya seni ini Hersapandi, wayang wong gaya Surakarta telah
didasarkan atas cita-rasa masyarakat mengalami perubahan status dan fungsi yaitu dari
pendukungnya. Cita-rasa menunjuk pada seni istana menjadi seni komersial. Komersialisasi
pemahaman pengertian yang luas, termasuk nilai wayang wong yang dibarengi kualitas bentuk
kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan menjadikan seni wayang wong yang berkembang
falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan di daerah Surakarta menjadi meluas dan disukai
budaya lingkungan (Jennifer Lindsay, 1991). masyarakat urban di kota-kota besar di Jawa
Totalitas keseluruhan ungkapan budaya ini (Hersapandi, 1999). Kemasan wayang wong
merupakan pencerminan integritas individu dan komersial dibarengi dengan penggunaan teknologi
kelompok terhadap tata nilai yang diyakini menjadi canggih dalam pertunjukannya, misalnya: tata
sumber inspirasi untuk menjaga tertib sosial dalam panggung, tata suara, tata lampu dan segi-segi lain
upaya mencapai cita-cita bersama sebagai kearifan (trik-trik) yang dapat menarik penonton. Namnun
budaya lokal. Ketika kesenian tradisional itu karena wayang wong Lestari Budaya bukan
mengalami perubahan sesuai dengan spirit merupakan seni peruntjukan yang bersifat
zamannya, maka kesenian itu bersifat kontemporer komersial, tetapi sebagai pertunjukan yang bersifat
atau seni kitsch yang ditujukan untuk kepentingan komunal, maka kegiatan pentasnya disposori oleh
dan kebutuhan estetis dan hiburan masyarakat masyarakat dan masyarakat sebagai basis sosial
pendukungnya. Pertunjukan kitch bagi wayang diberi kesempatan menonton secara gratis. Artinya,
wong di luar keraton dipahami adanya pergeseran bahwa masyarakat sebagai konsumen dan
fungsi pertunjukan dan tempat pertunjukan. Ketika sekaligus sebagai pelindung kesenian di pedesaan.
wayang wong berada di luar keraton dan beralih Proses pembentukan wayang wong Lestari
fungsi sebagai hiburan, maka seni pertunjukan itu Budaya tentu tidak dapt dipisahkan dengan peran
merupakan genre yang dikemas untuk kepentingan organisasi kesenian yang dibentuk untuk
komunal dan suatu pernyataan ekspresi kolektivtas kepentingan ituy. Menurut Y. Sumandiyo Hadi,
mereka sebagai rakyat pedesaan. Seni kitch dan bahwa kelembagaan kesenian atau organisasi
bukan kitch dapat dibedakan hanya karena fungsi kesenioan dimaknai sebagai agen of change di
pertunjukan, sedang pandangan klasik dan bukan mana actor di dalamnya merupakan agen yang
klasik tergantung dari menyimpang atau tidaknya mampu menggerakkan roda organisasi untuk
dari kaidah-kaidah tari klasiknya. (Jennifer mencapai tujuan. Misalnya, KBW pada saat tahun
Lindsay, 1991). 50-an menjadi kancah pembelajaran penari-penari
Keseluruhan hasil interpretasi dan kreativitas desa dan kemudian setelah kembali ke desa baik
kolektif seperti tercermin pada gaya wayang wong belajarnya tuntas maupun belum tuntas, mereka
pedesaan merupakan suatu pernyataan budaya dari berkarya di desanya. Dengan modal dan
sistem pengetahuan masyarakat terhadap wayang kemampuan yang terbatas itu, tampaknya spirit
wong tentang kehidupan manusia sebagai media untuk mendirikan organisasi kesenian merupakan
pendidikan dan komunikasi untuk meningkatkan tekad dan cita-cita mereka sebagai kawula kerajaan
kualitas manusia dalam memahami tata nilai etika Kasultanan Yogyakarta untuk berperan serta dalam
dan moral serta spiritual agar manusia mampu mengaktualisasikan pencitraan seni keraton di

74
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989

wilayah pedesaan. Komunitas atau lembaga baru di Sarjono murid tari dari Suwardi yang tinggal di
desa itu berfungsi sebagai perwakilan seni keraton Donomulyo mengatakan :
di pedesaan, yang implementasinya merupakan
sebuah pernyataan social dari suatu komunitas “ kula angsal kapinteran joged menika
pedesaaan. sangking Pak Wardi ing Banaran
Banguncipto. Griyanipun wiyar lan kangge
Wayang Wong Donomulyo Sebagai Bentuk gladhen wayang wong. Piyambakipun menika
Seni Gaya Pedesaan ingkang langsung nate sinau dhateng Kridha
(KBW), menawi kula dereng nate. Kula sak
Keberadaan wayang wong di desa kanca kalih Mudiharjo angsal latihan saking
Donomulyo tidak bisa lepas dari sejarah Pak Wardi kemawon. Kula dereng nate sinau
pembentukannya. Pada tahun 1932 seorang guru joged wonten kridha, namung mireng
sekolah Kawula Kasultanan bernama R. Sanghadi kemawon”.
memiliki seperangkat gamelan. Oleh masyarakat
Klangon, Sedayu dan Moyudan sering digunakan (saya bisa menari dari Pak Wardi di Banaran
uyon-uyon. R. Sanghadi sendiri selain sebagai guru Banguncipto, rumahnya luas dan untuk
juga merupakan abdi dalem keraton yang aktif. wayang wong. Dia (Pak Wardi) yang pernah
Menurut Sumanggakarso guru karawitan di belajar dari kridha, kalau saya belum pernah.
Klangon menceritakan keadaan Klangon wilayah Saya dengan teman-teman termasuk
perbatasan dengan kabupaten Kulon Progo, Mudiharjo mendapat pelajaran dari Pak Wardi
merupakan daerah strategis untuk pengembangan saja).
kesenian. Di rumah R. Sanghadi sendiri telah
digunakan latihan Langen Mandra Wanara dengan Berbekal 13 jenis motif gerak yang
lakon Sugriwa-Subali. Menurut surat kekancingan dikuasainya, Sarjono dan Mudiharjo mendirikan
nomor 9726 tertanggal 4 April 1932 R. Sanghadi kelompok wayang wong di Donomerto
ditetapkan sebagai putra Mangkusentana diberi Donomulyo. Namun kelompok ini tidak terlalu
tanggung jawab dari pihak keraton untuk membuka lama berlangsung. Berkat kegigihan Harjo Sukirno
sekolah Kasultanan di Moyudan. ayah Siswo Prajono, kemudian latihan dipusatkan
Pada tahun 1945 hingga tahun 1950 peran di dusun Jambon hingga sekarang. Siswa Prajono
KBW semakain nyata dengan melibatkan warga yang menjadi pimpinan wayang generasi sekarang
masyarakat dari berbagai daerah, terutama kegiatan mengakui bahwa wayang wong di Jambon adalah
tari yang mermunculkan banyak tokoh penari, kelanjutan dari wayang wong Donomerto, bahkan
seperti muncullah generasi Sumanggakarso yang setiap akan mengadakan pergelaran melibatkan
menghimpun penari-penari di rumahnya di pengasuh terdahulu yaitu Sumidi, Sastyradiwiryo
Klangon. Kesungguhan belajar menari generasi dan Sarjono. Siswa Prajono sendiri dalam hal
muda Klangon dibuktikan pernah datangnya guru- penyutradaraannya banyak dibimbing oleh seorang
guru dari KBW meresmikan Balai Kesenian dalang Sastra Sencaka.
Klangon seperti K.R.T. Kusumabrata, K.R.T. Sarjono sebagai nara sumber wayang wong
Pringgabrata dan K.R.T. Jagabrata. Hal ini Jambon ini mengatakan :
menunjukkan bahwa persebaran budaya dari
pusatnya ke daerah berjalan secara baik dan “ Lare-lare Jambon sakmenika remen
berkesinambungan melalui pewarisan menurut dhateng kesenian lan majeng, nanging
garis hubungan petemanan dan kaderisasi seniman sampun mboten disiplin anggenipun sinau
lokal. Wilayah pengembangan Balai Kesenian joged. Kalang kinantang rojo menika
Klangon terdiri dari penduduk Kulon Progo hingga kedahipun angklung-angklung mekaten,
daerah pelosok di kaki pegunungan Menoreh. mboten ngepel kados kambeng”.
Singkat kata wayang wong di tahun-tahun
berikutnya telah berkembang di daerah Sentolo dan (Anak-anak Jambon sekarang senang terhadap
Donomulyo. Di rumah Suwardi di Banguncipto kesenian, dan maju tetapi sudah tidak begitu
Sentolo Kulon Progo merupakan tempat disiplin dalam belajar menarinya. Kalang
berkembangnya wayang wong yang sangat berarti kinantang rojo itu seharusnya melingkar
bagi perkembangan wayang wong di Donomulyo. demikian (sambil memperagakan), tidak
ngepel seperti kambeng saja).

75
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan)

Sesuai dengan tuntutan zaman yang sekarang masyarakat lebih tertarik untuk menggunakan tata
sudah berubah ke masyarakat industri modern, busana gaya Suraikarta yang tampak gebyar dan
yang dalam kehidupannya tidak lepas dari sarana mewah.
hiburan dari media elektronik. Media elektronik Slamet tampaknya tertarik untuk memadukan
seperti televisi, radio, VCD dan bentuk yang lain kedua gaya tersebut mulai dengan karya miliknya
telah menawarkan berbagai pilihan dalam dalam persewaan tata busana wayang. Sifat
acaranya. Namun demikian masyarakat yang sederhana dan tanpa banyak warna pada kostum
terhimpun dalam kelompok wayang wong masih gaya Yogyakarta, tetapi Slamet tertarik desainnya
setia untuk latihan dan mengadakan pergelaran terutama irah-irahan. Maka Slamet memberi warna
tatkala dibutuhkan pentas. Wayang wong sunggingan seperti gaya Surakarta sehingga
Donomulyo di samping tetap memelihara sekuat terwujud perpaduan gaya yang disebutnya gaya
tenaga untuk bertahan dengan sajian klasik tradisi, prayungan itu. Dalam hal gerak tari, karakter dan
juga menerima trend budaya yang sedang semarak tata laku, wayang wong pedesaan termasuk di
misalnya campursari. Pada limbukan dan gara- Donomulyo ini umumnya berbekal tari dari KBW.
gara trend budaya campursari menjadi favorit dan Namun tata busana tidak sama sekali mengacu
dinanti-natikan oleh penggemarnya. Tidak bisa wayang keraton. Hal yang demikian disebabkan
tidak wayang wong Donomulyo sesuai fungsinya sulitnya di desa mendapatkan kostum gaya
sebagai sarana hiburan masyarakat, bentuk keraton, karena yang memiliki busana wayang
sajiannya mengalami perubahan dan keraton adalah keraton sendiri. Di samping busana
perkembangan. wayang keraton tidak diperbolehkan keluar
keraton, juga pengadaan kostum tari harus dengan
Wayang Wong Pedesaan sebagai Gaya cara memesan kepada pembuatnya serta dengan
Prayungan waktu yang lama dan relatif mahal harganya.
Perpaduan dua gaya yang muncul di wayang
Hasil dari persebaran wayang wong dari wong pedesaan lainnya adalah pada gerak tarinya.
keraton ke luar keraton sesuai denga teori difusi Gerak tari yang dilakukan oleh Slamet nampak
menyebabkan adanya bentuk baru yang berbeda menunjukkan gaya yang spesifik. Gerak kaki
dengan sumber aslinya. Wayang wong pedesaan jujungan (genjot dan jomplang) menggunakan
yang telah mengalami sejarah panjang, akhirnya teknik gaya Yogyakarta sedang posisi tangan
membentuk gaya tersendiri yang disebut menggunakan pola gaya Surakarta. Teknik menari
prayungan. Prayungan menurut Slamet seorang dengan pola gaya Yogyakarta yang kuat
dalang dan penari wayang wong yang kini disebabkan pada umumnya bekas siswa KBW
menekuni tata rias dan busana khusus wayang selalu mengikuti latihan dasar yang dikenal dengan
wong, mengatakan bahwa perpaduan antara gaya “tayungan”. Dalam tayungan ini ditekankan pada
Yogyakarta dan Surakarta terutama dalam hal tata pentingnya gerak kaki di dalam mendasari tarian
gerak dan tata busana wayang tidak dapat berkarakter apapun, sedangkan gerak tangan, leher
dihindari. Hal ini disebabkan adanya permintaan dan lainnya menjadi prioritas kemudian. Seorang
masyarakat peminat wayang wong di pedesaan. penari klasik diwajibkan memiliki “deg” yang
Di Yogyakarta pertunjukan wayang wong benar, walau belum melakukan gerak sekalipun.
klasik keraton yang berkembang di luar keraton Gendhing pengiring pada wayang wong
masioh terbatas pada perkembangan tarinya. pedesaan lebih longgar, bahkan gendhing-
Sedang di luar keraton juga sudah berkembang gendhing pedalangan gaya Yogyakarta menjadi
wayang wong panggung (komersial) gaya pilihan utama dari pada gendhing-gendhing gaya
Surakarta. Dalam pertunjukan di panggung sajian Surakarta. Namun dalam hal kandha dan
wayang telah dikemas dengan bantuan tata busana antawecana, wayang wong ini lebih mengacu pada
dan tata teknik pentas yang sudah barang tentu gaya Surakarta. Kandha dan pocapan atau
lebih menarik, sedangkan wayang wong hasil antawecana gaya keraton merasa kesulitan, sebab
perkembangan gaya Yogyakarta berkembang artikulasinya telah ditentukan dengan standart
dengan sajian “pendapan” dan kelengkapan busana klasik yang ada, sedang gaya Surakarta lebih
klasik yang bersifat sederhana sangat terbatas serta santai, longgar, tidak sulit dan komunikatif tidak
belum dibantu dengan tata busana dan tata jauh dari pola keseharian. Kandha dan pocapan
panggung yang lebih menarik. Akibat dari itu gaya Surakarta dapat dilakukan secara spontan dan

76
Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo
Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989

boleh dikembangkan sendiri, sedang gaya keraton terpinggirkan seni tradisi rakyat pedesaan sebagai
Yogyakarta telah terstruktur dalam teks. akibat perkembangan budaya global yang
Kemampuan dan kemauan untuk belajar mendominasi kehidupan masyarakat, terutama seni
membaca dan mempelajari teks wayang wong gaya pop yang difasiitasi oleh media elektronik televisi.
keraton merupakan beban tersendiri dan tidak
semua penari dari desa ketika belajar di KBW DAFTAR RUJUKAN
sampai pada pelajaran kandha dan pocapannya.
Kesenjangan inilah menjadikan wayang wong Burger, D.H., 1983, Perubahan-Perubahan
pedesaan tidak tuntas dalam menstranfer seluruh Struktur Dalam Masyarakat Jawa, terjemahan
materi wayang wong keraton, sehingga yang
terjadi adalah intrepretasi penari dari desa itu Dewan Redaksi, Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
sendiri yang muncul dalam kreasinya serta
mengadopsi dari gaya Surakarta dan gaya Hersapandi, 1999, Wayang Wong Sriwedari: Dari
pedalangan. Seni Istana Menjadi Seni Komersial, Yayasan

Penutup Untuk Indonesia, Yogyakarta.

Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo Koentkaraningrat, 197, Sejarah Teori Antropologi,
adalah produk budaya seniman pedesaan yang Universitas Indonesia Press, Jakarta.
mengacu pada wayang wong gaya Yogyakarta. Hal
ini merupakan bentuk persebaran budaya yaitu Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat,
berangkat dari keraton Kasultanan Yogyakarta Taiara Macana, Yogyakarta.
yang berfungsi sebagai salah satu pusat
kebudayaan Jawa yang dikenal seni tradisi klasik Liindsay, Jenifer, 1991, Klasik Kitsch
menuju ke pedesaan sebagai salah satu pusat Kontemporer, Sebuah Studi Tentang Seni
kebudayan yang dikenal seni tradisi rakyat. Proses Pertunjukan
pembentukannya ditandai oleh kuatnya pengaruh
seni tradisi keraton terhadap seni tradisi rakyat, Jawa, terjemahan Nin Bakdi Sumanto, Gadjah
sehingga menghasilkan bentuk gaya seni ysng khas Mada University Press, Yogyakarta.
pedesaan sebagai formalitas budaya keraton yang
“ndeso”. Outhwaite, William,editor, 2008, Ensiklopedi
Wayang wong gaya pedesaaan ini Pemikiran Sosial Modern, edisi kedua,
mencerminkan ekspresi individu dan kolektif terjemahan
seniman desa yang mencoba untuk
mendistribusikan seni istana menjadi seni rakyat Tri Wibowo, Kencana Predana Media Gourp,
pedesaan. Kualitas pengetahuan dan kemampuan Jakarta.
keterampilan teknik gerak wayang wong
cenderung rendah atau belum tuntas, sehingga Royce, Anya Peterson, 2007, Antropologi Tari,
gaya seni pedesaan ini justru melahirkan keunikan terjemahan F.X. Widaryanto, Sunan Ampu
yang khas ”ndeso” yang sederhana dan polos yang Press, Bandung.
didukung oleh spirit komunal pedesaan untuk
kepentingan media komunikasi pendidikan dan Rusliana, Iyus, 2002, Wayang Wong Priangan:
ritual. Kajian Mengenai Pertunjukan Dramatari
Ekspresi kreativitas individu dan kolektif ini Tradisional di Jawa Barat, Kiblat Buku
tentu diwariskan dari satu generasi ke generasi Utama, Bandung.
berikutnya dengan tingkat pemahaman artistik
yang berbeda, sehingga bentuk pewarisan tradisi Soedarsono, 1999, Wayang Wong: The State Ritual
ini cenderung mengalami dinamika perkembangan Dance Drama in The Court of Yogyakarta,
sejalan dengan prubahan sosial budaya masyarakat Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
pedesaan di zamannya. Hal ini diwarnai semakin

77
Volume 3 No. 1 Mei 2012
ISSN: 1858-3989 p. 78-86

PERAN MAJLIS PUSAT PERTUBUHAN-PERTUBUHAN


BUDAYA MELAYU SINGAPURA
DALAM FESTIVAL TARI SERUMPUN
Oleh :
RAJA ALFIRAFINDRA

ABSTRACT
Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura, merupakan satu di antara badan-badan
Budaya Melayu yang tertua di Singapura. Sebelumnya dikenal Sriwana yang telah membuktikan dan
memainkan peran dalam mengetengahkan warisan budaya Melayu di Singapura dari tahun 1955 sampai
sekarang. Kedua badan ini berjalan seirama sesuai dengan peran masing-masing guna mengangkat martabat
masyarakat Melayu di Singapura. Sriwana dalam kehadirannya lebih memokuskan pada kesenian baik tari,
musik, dan teater, sedangkan Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura lebih
menekankan pada pelestarian kegiatan keagamaan, kebangsaan, dan kebudayaan yang merupakan identitas
budaya Melayu.

Pendahuluan usaha melestarikan budaya Melayu serta nilai-nilai


nuraninya dalam konteks masyarakat Singapura
Perpisahan Singapura dari salah satu anggota yang berbilang kaum yang majemuk sekaligus
persekutuan Malaysia pada tanggal 9 Agusttus menyumbang ke arah pembangunan negara.
1965 telah mencetuskan keadaan yang kurang Terbentuknya Majlis Pusat Pertubuhan-
stabil pada kehidupan masyarakat Melayu Pertubuhan Budaya Melayu Singapura pada tahun
Singapura. Perpisahan ini menyebabkan 1969, memberi angin segar bagi perkumpulan-
masyarakat Melayu Singapura harus mampu untuk perkumpulan Melayu yang berada di seluruh
menentukan masa depan mereka yang tinggal di wilayah Singapura dengan kegiatan yang utuh dan
dalam sebuah negara yang secara mayoritas bukan menyatu di bawah naungan Majlis Pusat. Seluruh
dari bangsa mereka. Masyarakat Melayu Singapura kegiatan masyarakat Melayu Singapura yang
harus mencari jalan dengan upaya sendiri agar dikoordinir oleh Majlis Pusat lebih ditekankan
dapat menghidupkan agama Islam, kebangsaan, kepada pendidikan, kemasyarakatan, keagamaan,
dan kebudayaan Melayu agar tidak hilang ditelan olahraga, kesenian, kepemudaan dan kebudayaan
arus perubahan masyarakat di negara yang Melayu pada khususnya (wawancara dengan
metropolis itu. Cekgu Hisam). Pada perkembangan selanjutnya,
Tahun 1967, muncul upaya untuk menyatukan muncul perkumpulan yang mengembangkan pada
langkah-langkah guna melestarikan kegiatan kegiatan kebudayaan dan kesenian. Perkumpulan
keagamaan, kebangsaan, dan kebudayaan Melayu Persatuan Kemuning dan perkumpulan Seni Kedua
Singapura. Pada tanggal 12 April 1969, yang pertama terbentuk, kedua perkumpulan ini
terbentuklah Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan sangat aktif dalam bidang tari, musik, dan teater
Budaya Melayu Singapura yang menjadi yang menitikberatkan pada kesenian Melayu di
penggerak utama dalam upaya pelestarian dan Singapura, sehingga menjadi duta kesenian Majlis
pengembangan budaya melayu Singapura. Dalam Pusat pada masa itu. Pada perkembangan
perkembangannya Majlis Pusat Pertubuhan- selanjutnya, kedua perkumpulan ini memisahkan
Pertubuhan Budaya Melayu Singapura ini lebih diri dari Majlis Pusat, sehingga Majlis Pusat
dikenal dengan sebutan Majlis Pusat. Visi Majlis mendirikan perkumpulan yang diberi nama Kirana
Pusat ini menekankan pada kepimpinan mandiri Seni yang khusus menekankan pada tari Melayu.
dalam persatuan bangsa, memelihara serta
membangun budaya Melayu dan negara. Adapun
misi Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya
Melayu Singapura memainkan peran utama bagi

78
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989

Peran Negara dalam Perkembangan berupa emas dan perak sebagai hadiahnya.
Budaya Melayu Sedangkan materi pertandingan tari lebih
difokuskan pada tari kreasi yang berdasarkan
Singapura merupakan sebuah negara kecil konsep tradisional dan kontemporer Melayu.
yang luasnya lebih kurang 704 km2, dengan Fasilitas dalam pengembangan tari Melayu di
jumlah penduduk ras Melayu lebih kurang 659.000 Singapura dari pihak Majlis Pusat dan Taman
orang. Dalam hal pelestarian budaya Melayu, Warisan Melayu beberapa kali mengadakan
negara memelihara banyak kumpulan tari, baik pelatihan tari Melayu untuk pelajar dengan
kumpulan yang sudah mapan, sekolah-sekolah, dan mendapat bantuan dari Majlis Seni Kebangsaan,
perorangan di bawah kelompok-kelompok dengan mengundang beberapa koreografer tari
masyarakat yang biasa disebut kelab-kelab Melayu dari Indonesia salah satunya adalah penulis
masyarakat sesuai lokasi daerah masing masing. (Raja Alfirafindra). Beberapa kumpulan tari
Kehadiran mereka dibantu oleh negara dalam Melayu yang sudah mapan banyak juga
bidang keuangan dan fasilitas, melalui Majlis Seni mengirimkan penari, dan pemusik untuk belajar di
Kebangsaan, sesuai kebutuhan masing-masing Indonesia.
kumpulan. Majlis Pusat dalam perkembangannya dekade
Kementrian Pendidikan Singapura setiap 2 sekarang ini, lebih memberikan ruang pada
(dua) tahun sekali mengadakan pertandingan tari kumpulan-kumpulan seni yang menekankan pada
yang diikuti seluruh sekolah rendah, menengah, seni pertunjukan Melayu Singapura. Hal ini dapat
dan mahtab rendah. Pertandingan Singapore Youth dilihat dari struktur organisasi yang
Festival ini, ternyata sangat diminati seluruh mengetengahkan seni Melayu Singapura antara
pelajar Singapura guna memperebutkan anugerah lain:

MAJLIS PUSAT
ARTS & PERFORMANCES SECRETARIAT

Majlis Pusat Kirana Seni Majlis Pusat Orkes Mutiara


(Traditional Malay Dance Group) (Traditional Malay Musik Ansamble)

Majlis Pusat Darma Pusaka Majlis Pusat Paluan Gempita


(Malay Martial Art Performance) (Kobapang Group)

Karaoke and Entertainment for D’Astir


Wedding (Wedding Banquet Service Team)

PERSATUAN PECINTA WARISAN TEMASEK (PPWT)


(KERIS & MALAY WEAPON CONNOISSEURS)

Perkembangan Budaya Melayu Singapura Singapura seperti artis, aktor, penari, pemusik,
sutradara, dan tenaga lainnya yang terlibat dalam
Sejarah tari Melayu Singapura sedikit banyak pertunjukan teater Bangsawan. Sutradara Melayu
dipengaruhi oleh industri perfilman yang yang terkenal pada masa itu adalah P.Ramlee,
mengangkat tari Melayu dalam cerita-cerita sejarah mengangkat film Melayu dengan pertunjukan tari
Melayu serantau. Pertunjukan teater Bangsawan, dan lagu Melayu, sebagai citarasa keMelayuan.
banyak terlibat dalam pembuatan perfilman di Pada film-film Melayu yang disutradarai oleh

79
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

P.Ramlee, tari dan lagu Melayu menjadi


identitasnya. Selain P.Ramlee, adalah Omar Rojik
dan Jamil Sulong yang berkecimpung di dalam
studio Malay Film Production di jalan Ampas, dan
sutradara lainnya seperti S.Roomai Noor, M.Amin
dan Salleh Ghani di bawah naungan studio Chatay-
Keris selalu menggunakan tari dan lagu Melayu
sebagai identitas mereka. Industri perfilman
Melayu di Singapura lahir pada tahun 1933 hingga
1972, telah melahirkan pula penata tari yang
terkenal pada masa itu. Di Shaw Malay Production
penata tari seperti Osman Gumanti yaitu penari
dan aktor dalam pertunjukan sandiwara yang
berasal dari Sumatera-Indonesia, Habsah Buang,
Normadiah dan Rahmah Rahmat. Penata tari
Habsah Buang dan Normadiah mendapat tempat
yang terhormat dengan karya tari mereka yang
dikuti oleh penata tari di luar perfilman seperti tari Gambar 1:
“Semerah Padi”, tari “Tudung Periuk”, tari Osman Gumanti bersama Dato’ Maria Menado
“Tualang Tiga” ciptaaan Normadiah. Karya karya dalam Film Pulau Mutiara, 1951
tari yang diciptakan oleh Normadiah dan Habsah (sumber: dokumentasi pribadi Cekgu Hisam)
Buang menjadi tolok ukur dalam perkembangan
tari Melayu di Singapura sampai sekarang ini. Nama Habsah Buang dan Normadiah
Memang ada perbedaan tari yang dipertunjukkan mendapat tempat sebagai penata tari terkenal
untuk film dengan tari yang dipertunjukkan pada setelah karya tari mereka menjadi acuan para
pentas Sandiwara Bangsawan. Film-film yang penari di luar studio perfilman. Karya tari
mengetengahkan tari Melayu dari Studio Chatay- Normadiah adalah tari “Semerah Padi”, tari
Keris Film Production adalah tari “Lancang “Tudung Periuk” dan tari “Tualang Tiga”. Tarian-
Kuning”, tari “Selendang Delima”, tari “Cucu tarian tersebut merupakan karya baru yang
Datok Merah” dan tari “Bawang Putih Bawang berlandaskan tari tradisional yang diwarisi
Merah”. Perkembangan film Melayu yang tumbuh masyarakat Melayu Singapura dengan
subur pada saat itu, menyebabkan kehadiran penata memasukkan unsur-unsur baru.
tari bertambah regenerasi seperti: Suryati Arifin
dengan karya tari “Sirih Pinang”, Fatimah Syarif
dengan karya tari “Bentan Telani”, dan Norsiah
Yem dengan karya tari “Nuri Bertuah”.

Gambar 2. Habsah Buang (koleksi: Cekgu Hisam)

80
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989

Gambar 5. Tarian Bentan Telani dalam Film


Lancang Kuning
(sumber: dokumentasi pribadi Cekgu Hisam)

Gambar 3. Normadiah (koleksi Cekgu Hisam)

Gambar 6. Tari Sirih Pinang dari Film Bawang


Putih Bawang Merah
(sumber: dokumentasi pribadi Cekgu Hisam)

Gambar 4: Peran Majlis Pusat dalam Perkembangan


Tari Nurih Bertuah dalam Film Cucu Datuk Budaya Melayu
Merah
(sumber: dokumentasi pibadi Cekgu Hisam) Majlis Pusat merupakan salah satu penggerak
utama dalam perkembangan seni tari Melayu di
Singapura. Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura merupakan satu di
antara lembaga budaya Melayu yang tertua di
Singapura yang telah banyak memberikan
perkembangan budaya Melayu baik di dalam
muapun di luar dengan tidak meninggalkan
identitas Melayu itu sendiri. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa kegiatan yang pernah dilaksanakan
oleh lembaga ini dalam mengetengahkan seni
pertunjukan dalam hal ini tari Melayu yaitu:

81
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

1. Festival Tari Serumpun dengan latar belakang bentuk Joget yang


diberi nama Festival Dangkong. Dari sini
Pertama kali dilaksanakan pada tanggal Majlis Pusat mencoba untuk memberi ruang
19 September 2004 di Singapura. Pada bentuk joget dalam Festival Melayu
Festival Tari Serumpun mengetengahkan Serumpun. Salah satu koreografer
bentuk Joget sebagai materi dalam didatangkan dari Kabupaten Karimun yaitu
penyajiannya. Hal ini disebabkan kesepakatan Suryaminsyah untuk membantu mengemas
dari Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan acara tersebut dengan mengadakan pelatihan,
Budaya Melayu Singapura untuk dan kolaborasi dengan sanggar Awang
mengembangkan bentuk Joget sebagai ikon Sambang yang dipimpin Suryaminsyah
Majlis Pusat dalam penyelenggaraaan Festival dengan Kirana Seni Majlis Pusat (wawancara
Tari Serumpun. Menurut salah satu dengan Cekgu Norlie Ismail). Malaysia, dan
koreografer Kirana Seni, Cekgu Norlie Ismail, Indonesia terlibat dalam acara ini. Dari
Festival Tari Serumpun dengan Indonesia peserta didatangkan antara lain dari
mengetengahkan bentuk Joget terinspirasi dari Kabupaten Bengkalis Riau, Kabupaten
beberapa lawatan dan mengikuti festival di Indragiri Hilir Riau, Kabupaten Karimun
Indonesia terutama di Kepulauan Riau. Di Kepulauan Riau.
daerah Riau banyak sekali bentuk bentuk Festival Tari Serumpun kedua
joget yang berkembang antara lain: Joget Mak dilaksanakan pada tahun 2006, Festival Tari
Dare, Joget Kak Long, Joget Mak Cik Norma, Serumpun ketiga dilaksanakan pada tahun
Joget Mantang, yang dulunya cukup terkenal 2008 dan pada tahun 2011 dilaksanakan
di Singapura dan banyak dipelajari dalam Festival Serumpun keempat dengan jangkauan
kumpulan Sriwana pada masa itu, namun lebih luas dengan mengundang Brunei
sekarang koreografer-koreografer muda Darussalam, Pattani Thailand, Malaysia,
Singapura tidak lagi memahami secara Singapura, dan Indonesia. Pada acara lain
matang konsep Joget tersebut. Kirana Seni seringkali mengikuti beberapa
Di Indonesia terutama di Kepulauan Riau festival tari melayu di Indonesia antara lain di
bentuk Joget masih hidup dengan pola-pola Pekanbaru, Karimun, Bengkalis, dan
koreografi aslinya. Pemerintah Kabupaten Tembilahan.
Karimun mengetengahkan sebuah festival

Gambar 7. Festival Tari Serumpun


yang diselenggarakan oleh Majlis Pusat Singapura
(dokumentasi: Majlis Pusat Singapura)

2. Rewang Nak Tari kumpulan-kumpulan tari Melayu Singapura.


Pertunjukan pertama digelar pada tanggal 8
Rewang Nak Tari merupakan usaha awal Juli 2007 untuk menyatukan rasa
dari Majlis Pusat untuk mengetengahkan kebersamaan dalam perkembangan seni tari

82
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989

Melayu di Singapura, melalui sanggar-


sanggar tari Melayu. Keberhasilan Majlis
Pusat dalam mengadakan produksi tari
Rewang Nak Tari, memberi motivasi kepada
sanggar-sanggar tari Melayu Singapura untuk
membuat produksi tari dengan kesamaan yang
dilakukan oleh Majlis Pusat.
Sanggar tari Melayu Singapura yang
menjadi acuan dari karya-karya tari Melayu
yang berkembang di Singapura antara lain: Sri
Warisan, koreografer Som Said; Sriwana,
koreografer Fauziah Hanun; Era Dance
Theatre, koreografer Osman Hamid; Aspirasi Gambar 8. Penari Kirana Seni dan koreografer
koreografer Azmi Johari; Attri Dance Cikgu Norlie Ismail
Foundation, koreografer Rizal Yusuf; Dian (dokumentasi: Majlis Pusat Singapura)
Dancer dengan koreografer M. Yazid; Artis
Budaya Tepak Sirih, koreografer Rizman; 3. Ristari Zaman
Atrika Dancer, koreografer Mazlina Buang
Kasim; Perkumpulan Seni, koreografer Kama Ristari Zaman adalah pertunjukan untuk
Ridzuan; Dharma, koreografer Faturahman mempringati berdirinya Kirana Seni yang ke 6
Said; Kirana Seni koreografer Norlie Ismail. pada tahun 2007. Kegiatan ini dianggap
Acara Rewang Nak Tari merupakan salah satu berhasil dalam perkembangan tari Melayu di
perwujudan keberhasilan Majlis Pusat dalam Singapura yang diwadahi dari Majlis Pusat.
memberikan peluang bagi kelompok tari yang Ini dapat dilihat dari beberapa pejabat
dibentuk oleh Majlis Pusat yang diberi nama pemerintahan Singapura yang menghadiri
Kirana Seni. Kelompok Kirana Seni terbentuk acara tersebut, yaitu Hawazi Daipi, Senior
pada tanggal 4 April 2003 dengan koreografer Parliamentary Secretary Ministry of Health
Cikgu Norlie Ismail yang cukup terkenal dan and Ministry of Manpower & Chairman,
sudah lama berkecimpung di dunia tari Malay Language Council, Singapore;
Melayu sejak tahun 1974. Sebelumnya ia Edmund Cheng, Chairman National Arts
adalah seorang penari di Sriwana yaitu sebuah Council; Osman Abdul Hamid, Teater Tari
kumpulan kesenian yang terbentuk pada tahun Era, Lisatari (CFA NUS), PA Talens-Malay
1950 yang dipimpin oleh Nong Chik Ghani. Dance; Fauziah Hanom Yusof,
Sriwana boleh dikatakan sebagai tempat Presiden/Pengarah Artistik Sriwana; Som
mencetak penari dan koreografer Melayu di Mohammed Said PBM, Pengasas & Pengarah
Singapura. Sekarang ini sebagian besar Artistik Sri Warisan Som Said Performing Art
kumpulan tari Melayu di Singapura, Ltd, memberikan dukungan moral dalam
koreografernya pada umumnya pernah belajar perkembangan budaya Melayu Singapura.
di Sriwana sebagai cikal bakal mencetak Pertunjukan yang dilaksanakan pada
penari penari Melayu yang handal. Dalam dasarnya kelompok-kelompok tari Melayu
acara Rewang Nak Tari sebagian besar Singapura bersatu dalam mewujudkan Ristari
koreografi yang ditampilkan kebanyakan lebih Zaman Kirana Seni, dengan karya terbaru
kepada bentuk joget. masing masing kelompok tari Melayu yang
ada di Singapura. Keberhasilan Majlis Pusat
Pertubuhan-Pertubuhan Melayu Singapura
dalam mengembangkan seni tari Melayu tidak
lepas dari beberapa koreografer Indonesia
yang telah memberi kontribusi yang besar
dalam perkembangan tari Melayu di
Singapura antara lain: Tom Ibnur,
Suryamsyah, Raja Alfirafindra, yang banyak
memberikan masukan lewat workshop tari
Melayu, maupun pementasan yang

83
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

dilaksanakan di Singapura maupun di Pekajang, Zapin Bunian, Zapin Johor, Zapin Putar
Indonesia. Alam, dan banyak lagi Zapin yang dikembangkan
di Johor Malaysia.
Ajang festival Zapin juga dilaksanakan oleh
Yayasan Warisan Johor dengan mengundang
sebagian besar peserta dari Indonesia seperti dari
Provinsi Kepulauan Riau dengan Zapin Pulau
Penyengat, Provinsi Riau dengan Zapin Siak,
Provinsi Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,
Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara,
Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan
Gambar 9. Para penari Ristari Zaman Kirana Seni Timur, Kalimatan Selatan, Sulawesi Selatan,
4 April 2009 di Republik Politeknik TRCC Teater Ambon, Ternate, DKI, Jawa Timur, Kalimantan
Singapura Tengah, Sulawesi Selatan, Singapura, dan Brunai
(dokumentasi: Majlis Pusat Singapura) Darussalam.Intrumen gambus untuk mengiringi
tari Zapin yang berkembang di seluruh masyarakat
Tari Melayu yang Berkembang di Negara Melayu serumpun menggunakan Gambus
Serumpun (Indonesia, Malaysia, dan Selodang atau menggunakan gambus Arab atau
U’d.Ciri ciri genre Gambus seperti berikut ini :
Singapura)
1. Tiga hingga empat Marwas (hand-drum)
2. Bentuk musikal terbagi (musical form) dalam
Tari Melayu pada dasarnya mengetengahkan
tiga sekmen;
pada bentuk Senandung atau Langgam, bentuk
a. Introduksi (taksim) melalui permainan
Inang, bentuk Joget, bentuk Zapin dan bentuk
gambus a (ad.Lib)
Silat. Beberapa bentuk tari yang berkembang di
b. Pola marwas bersahut-sahutan (beraksen)
Indonesia, juga dikenal di Singapura, sebagai dasar
menandai atau akhir bait pantun
tari Melayu antara lain Tari Lenggang Patah
(guatrain)
Sembilan, Tari Mainang Pulau Kampai, Tari
c. Syair lagu terdiri dari empat baris
Tanjong Katong, Tari Anak Kala, Tari Gunung
(guatrain)umumnya dinyanyikan dalam
Banang, Tari Serampang 12, Tari Hitam Manis,
bentuk pantun sampiran dan isi.
Tari Mainang Kayangan, Tari Rentak 106 dan
d. Melodi menggunakan ornamentasi khas
lainnya.
Melayu yang disebut Grenek (Musmal,
Tari-tarian ini merupakan tari dasar yang
2010:24-25).
cukup dikenal di Singapura dan di Indonesia
terutama di Sumatera Utara (Medan) tempat tarian-
Keberadaan tari di Malaysia banyak
tarian ini bermula. Tari-tarian ini sangat dikenal di
dipengaruhi dari beberapa daerah Indonesia, hal ini
Singapura pada tahun 60-an, dengan banyak
dapat dilihat dalam maskot tari Malaysia, Negeri
seniman-seniman Tari Melayu dan pemusik-
Perlis dengan tarian Canggung dan Inai; Negeri
pemusik Melayu dari Medan memberikan
Kedah dengan tarian Hadrah, Ayam Didik, Gazal
pembelajaran musik dan tari Melayu di Singapura
Parti, Cinta Sayang; Negeri Perak dengan tari
salah satunya Sauti yang menciptakan Tari
Dabus dan Lenggok; Negeri Pulau Pinang dengan
Serampang 12.
persembahan Chinggay dan Boria; Negeri
Begitu juga keberadaan Tari Zapin yang
Selangor dengan Gendang Silat dan Tarian
berkembang di Johor Malaysia, berawal dari
Bugis;Wilayah Persekutuan dengan persembahan
mempelajari Zapin Riau dan Zapin Siak, lalu
dengan berbagai bentuk repertoar berbagai
berkembang luas di Johor, Malaysia dikarenakan
etnik;Negeri Sembilan dengan tari Rantak Kudo,
Menteri Besar Johor memberi ruang kepada
Piring, dan Tumbuk Kalang; Negeri Malaka
Yayasan Warisan Johor untuk mengembangkan
dengan Dondang Sayang, Ronggeng dan Joget
Zapin di negerinya dan sekarang ini berbicara
Lambak; Negeri Johor dengan Zapin dan Kuda
Zapin di Malaysia tidak lepas peranan dari
Kepang; Negeri Kelantan dengan Persembahan
Yayasan Warisan Johor dengan koreografer On.
Makyong, Dikir Barat dan Menora; Negeri
Rekonstruksi Zapin yang berkembang di Johor
Terengganu persembahan Rodat dan Joget
sekarang ini dapat dilihat dari Zapin Tenglu, Zapin
Gamelan; Negeri Pahang dengan Joget Pahang,

84
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989

dan tarian Labi Labi;Negeri Sabah dengan tarian nantinya tidak sesuai dengan apa yang
Mangilok dan Mangunatip;Negeri Serawak dengan diharapkan dari pihak yang mengundang.
tari Ngajat, Ajat atau Kanjet (Imran, 2011: 81). Menurut sebagaian besar masyarakat di
Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Riau Kepulauan Riau, ketika lagu Betabek
pada setiap acara festival Melayu baik tingkat dimainkan, anak anak muda dan laki-laki
nasional maupun internasional selalu mengundang yang baru menikah dilarang memandang
negara Melayu serumpun Singapura, Malaysia, wajah penari, dikarenakan nantinya akan
Brunai dan Indonesia dalam hal ini Kepulauan tergila-gila dengan penari Joget tersebut lewat
Riau dan Riau, Festival yang pernah mantra mantra yang disampaikan oleh pawang
diselenggarakan seperti: Festival Melayu sedunia atau dukun kelompok Joget tersebut. Mantra
di Pekanbaru Riau, Festival Melayu di Tanjung mantra yang disampaikan akan memberikan
Pinang, Festival Zapin di Tanjung Pinang, Kenduri aura kecantikan dan kemerduan penari dan
Melayu di Batam, Festival Dangkong di Karimun, penyanyi selama pertunjukan berlangsung.
Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang,
Rampai Budaya Melayu di Pelalawan, Festival 2. Lagu Dondang Sayang,
Siak Bermadah di Siak Sri Indrapura, Festival Sri Seluruh penari wanita menarikan dalam
Gemilag di Tembilahan. satu repertoar tari sebagai tari selamat datang,
Festival-festival tari melayu yang dengan rentak langgam atau senandung
diselenggarakan oleh beberapa daerah di Indonesia (lambat)
beberapa kelompok tari dari Singapura selalu
mengikuti antara lain Kirana Seni Majlis Pusat 3. Lagu Serampang Laut,
pertubuhan-pertubuhan Budaya Melayu Singapura Seluruh penari wanita sudah bisa menari
koreografer Norlie Ismail, Sri Warisan dengan dengan pasangan penari putra, dengan syarat
koreografer Som Said, Sriwana dengan koreografer penari putera terlebih dulu membeli karcis
Fauziah Hawai, Era Dance Theatre koreografer sesuai kesepakatan dari pimpinan joget.
Osman Hamid, Aspirasi koreografer Azmi Johari, Rentak dalam lagu Serampang Laut dengan
Dharma koreografer Faturahman Said. bentuk Joget (cepat).
Koreografi kelompok-kelompok tari Melayu
di Singapura kebanyakan karyanya 4. Lagu Patam Patam,
mengetengahkan bentuk joget yang telah Seluruh penari menarikan dengan rentak
dikembangkan. Namun dapat dirasakan joget yang sangat cepat dengan langkah dua.
kebanyakan koreografer pemula di Singapura yang Lagu patam patam sangat berkembang di
berpijak pada konsep Melayu tidak memahami arti Melayu Deli, Medan Sumatera Utara. Setelah
joget yang susungguhnya. Lain halnya dengan itu baru dilakukan dengan selingan lagu lagu
joget yang berkembang di Kepulauan Riau, yang bertempo sedang seperti rentak Inang,
terorganisir dalam suatu kumpulan yang disebut rentak Langgam, rentak Joget, dan rentak
Pasok. Setiap Pasok Joget terdiri dari Pemimpin zapin semuanya sesuai permintaan dari para
Joget yang disebut Wak Joget, dan istri Wak Joget pengunjung dan pengibing.
disebut juga Mak Joget; Panjak Joget terdiri dari 1 Joget yang berkembang di Kapulauan
orang pemukul Tambur, 1 orang Penggesek Biola, Riau adalah: Joget Duara, Joget Sekanak,
1 orang pemukul kecapak; dan penari joget terdiri Joget Tanjung Biru, Joget Teluk Tangku,
dari 4 sampai 10 penari sekaligus sebagai penyanyi Joget Bakong, Joget Posek, Joget Sugi atau
dan berpantun. Dalam pertunjukan Joget biasanya Joget Moro, Joget Tembeling, Joget Mantang
dilakukan beberapa lagu yang memberikan tahapan Arang, Joget Sawang, dan Joget Kasu. Di
proses pertunjukan Joget antara lain : Kabupaten Bengkalis disebut dengan Joget
Bontek, dan di Rupat disebut Joget Hutan. Di
1. Lagu Betabek Kabupaten Indragirihilir disebut dengan Joget
Disebut juga dengan pembuka tanah yang Belaras, Joget Bogong, dan Joget Bontaian.
memberi pesan kepada penonton sebagai Keberadaaan letak geografis Singapura
pemula dalam pertunjukan Joget. Syair yang dengan Provinsi Kepulauan Riau, Malaysia
dilantunkan oleh penyanyi Joget mengandung dan Provinsi Riau, sangat mempengaruhi
makna selamat datang kepada penonton dan keberadaaan dan perkembangan joget, ini
meminta maaf jika dalam pertunjukan Joget dapat dilihat dari tokoh Joget yang terkenal di

85
Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan
ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

Riau pada masa lalu bernama Kencong berskala besar seperti: Festival Melayu Serumpun,
berasal dari Moro Kepulauan Riau, adalah Rewang Nak Tari, dan Ristari Zaman.Festival
pemain biola yang terkenal sampai ke Melayu Serumpun salah satu kegiatan yang
Singapura dan Malaysia. Kencong adalah menghadirkan beberapa kelompok tari dari negara
guru dari Dolmat ayah dari Hamzah Dolmat, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, dan
seorang pemain biola terkenal di Singapura Brunai Darussalam.
dan Malaysia. Dolmat berasal dari Mantang Dalam kegiatan ini pihak Majlis Pusat
Arang, kecamatan Bintan Timur Kepulauan memberikan pembelajaran kepada kelompok-
Riau (Kadir, 1994: 2-16). kelompok tari Melayu Singapura untuk melihat
Dalam pengamatan penulis yang telah secara langsung koreografi tari Melayu yang
beberapa kali terlibat dalam Festival Tari berkembang di masing-masing negara, sehingga
Serumpun, festival tari Melayu di Nusantara, hal ini menjadi motivasi untuk kelompok tari
kehadiran delegasi Singapura umumnya karya Melayu Singapura. Majlis Pusat dalam
tarinya masih bersifat tari-tari Melayu yang penyelenggaraan Festival Tari Serumpun dalam
berkembang pada masa lalu, seperti Langgam, manajemen pertunjukan dan fasilatas pertunjukan
Inang, Joget, Zapin dan Silat. Terasa sekali sangat modern, berbeda dengan Indonesia yang
konsep garapan tari Melayu Singapura jauh sekali dalam fasiltas pertunjukannya.
berbeda dengan karya karya tari Melayu masa Pembelajaran yang dapat dihasilkan dalam Festival
kini. Hal serupa juga dirasakan beberapa Melayu Serumpun yang dilaksanakan oleh Majlis
tokoh tari di Singapura. Kelebihan karya tari Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu
Melayu Singapura ada pada busana yang Singapura, merupakan langkah awal untuk
dikenakan yang dibuat begitu semarak dan memberikan wacana baru dalam perkembangan
mewah, namun kadangkala tidak sesuai Tari Melayu dengan kekinian dengan tidak
dengan tema yang diangkat. Hal ini menjadi meninggalkan esensi dari tari melayu pada
inspirasi sebagian seniman tari di Kepulauan umumnya
Riau dan Riau, yang mengikuti jejak seperti
Singapura yang mengandalkan busana Melayu DAFTAR RUJUKAN
lengkap tetapi tidak sesuai dengan tema
garapan. Andalan karya tari Melayu Imran, Mhd. Nefi, 2011, Tari Melayu Malaysia:
Singapura juga pada permainan komposisi Satu Kajian Berdasarkan Festival Tari
pola lantai penari yang sangat Kebangsaan, Kuala Lumpur:Akademi Seni
memperhitungkan ke luar masuk penari, tetapi Budaya dan Warisan Kebangsaan Kementrian
tema dan konsep sebagian besar hanya sebatas Penerangan, Konunikasi dan Kebudayaan.
repertoar dalam rentak Langgam, Inang,
Joget, Zapin, dan Silat. Hal ini disadari Kadir, Mohd. Daut, 1994, Lagu-lagu Joget
sebagian seniman tari di Singapura sangat Tradisional Daerah Riau, Pekanbaru: Dewan
sulit untuk mengatasi hal serupa dikarenakan Kesenian Daerah Riau.
Singapura lebih bersifat modern dengan
segala aspek sehingga bentuk bentuk repertoar Musmal, 2010, Gambus Citra Budaya
masih dalam lingkup tari Melayu Cantik, Melayu,Yogyakarta: Media Kreativa.
sedangkan bentuk, teknik, dan isi, hanya
sebatas yang mereka kenal sekarang ini, dan Sumber Lisan:
makna dari gerak sebagian besar mereka tidak
mengerti hakikat dari tari Melayu itu sendiri. Cekgu Hisam, Pengajar Bahasa Melayu di
Singapura dan Pernah Aktif Sebagai Staf
Kesimpulan Majlis Pusat.

Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Cikgu Norlie Ismail


Melayu Singapura adalah suatu badan yang telah
menyatukan keberadaannya dalam menjunjung
harkat dan martabat masyarakat melayu Singapura
pada khususnya. Ini dapat dilihat bagaimana Majlis
Pusat dalam melakukan beberapa kegiatan yang

86

Anda mungkin juga menyukai