Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ANALISIS PENERAPAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA(K3) di BENGKEL


LAS MAHAKARYA BESI
BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG
JAWA BARAT

Oleh:
Gigas Jouhan Arvyanto (1201174061)
Meidy Tataluckyta (1201170233)
Yosafat Yahowu Hia (1201174139)

FAKULTAS REKAYASA INDUSTRI


UNIVERSITAS TELKOM
BANDUNG
2019
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula
yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda (Permenaker No.
03/MEN/1998). Pengertian lain kecelakaan kerja adalah semua kejadian yang tidak
direncanakan yang menyebabkan atau berpotensial menyebabkan cidera, kesakitan, kerusakan
atau kerugian lainnya. Sedangkan definisi kecelakaan kerja menurut OHSAS 18001:2007 adalah
kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan cidera atau kesakitan
(tergantung dari keparahannya) kejadian kematian atau kejadian yang dapat menyebabkan
kematian. Angka kecelakaan kerja menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 2017 angka
kecelakaan kerja yang dilaporkan sebanyak 123.041 kasus, sementara itu sepanjang tahun 2018
mencapai 173.105 kasus dengan nominal santunan yang dibayarkan mencapai
Rp1,2Trilyun.Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Krishna Syarif mengungkapkan, setiap
tahunnya rata-rata BPJSTK melayani 130 ribu kasus kecelakaan kerja dari kasus ringan sampai
dengan kasus -kasus yang berdampak fatal.

Kemudian, kasus-kasus dengan fatalitas tinggi masih didominasi oleh kasus kecelakaan
pada usaha kecil dan kecelakaan pada perusahaan di industri pengolahan dan konstruksi. Selain
itu, kasus kecelakaan kerja yang dilaporkan masih didominasi oleh kasus-kasus kecelakaan
dilingkungan pabrik. Belum merata ke industri lainnya yang juga punya potensi risiko besar.
Kecelakaan kerja juga mempengaruhi indeks pembangunan manusia dan daya saing nasional.
Oleh karena itu, dalam rangka menekan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
Kementerian Ketenagakerjaan berupaya menyempurnakan peraturan perundang-undangan serta
standar bidang K3. Dari data kasus kecelakaan kerja, kemudian ada yang dinyatakan meninggal,
cacat total, cacat sebagian, cacat fungsi dan dinyatakan sembuh setelah mendapatkan perawatan
medis. Untuk tahun 2018, data sementara yang didapat hingga triwulan 1 tahun 2018 kecelakaan
kerja yang terlapor ada 5.318 kasus kecelakaan kerja dengan korban meninggal dunia sebanyak
87 pekerja, 52 pekerja cacat dan 1.,1361 pekerja lainnya dinyatakan sembuh setelah
mendapatkan perawatan medis.
Tingginya kasus kecelakaan kerja menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran tenaga
kerja maupun perusahaan dalam penanganan masalah keselamatan kerja. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu pengukuran risiko kecelakaan kerja dengan metode identifikasi bahaya yang bisa menganalisis
dan mengidentifikasi Keselamatan Kerja. Bengkel Las di daerah Baleendah Bandung merupakan
salah satu usaha non formal yang membuat peralatan interior dan eksterior yang terbuat dari besi dan
penjualan besi – besi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi bahaya yang ada pada
bengkel pengeslasan daerah Baleendah dengan menggunakan metode Job Safety Analysis.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa sajakah yang bisa menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pada
Bengkel Las Mahakarya Besi ?
2. Bagaimana melakukan analisis penanganan dan pencegahan agar mengurangi resiko
kecelakaan kerja ?

1.3 TUJUAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya


kecelakaan pada kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan dan pencegahan agar tidak terjadi
kecelakaan

1.4 BATASAN MAKALAH

Dalam makalah ini hanya memberikan sedikit pengetahuan tentang ” Kecelakaan dan Penegahannya
dalam Pengelasan pada Bengkel Las ”. Mengingat keterbatasan waktu dan keterbatasan kemampuan
dalam meyusun makalah ini, mungkin banyak kesalahan-kesalahan penulisan dan sistematika dari
makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kecelakaan Kerja
Menurut Permenaker No. 03/MEN/1998 pengertian kecelakaan kerja adalah suatu kejadian
yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau
harta benda. Kecelakaan adalah semua kejadian yang tidak direncanakan yang menyebabkan atau
berpotensial menyebabkan cidera, kesakitan, kerusakan, atau kerugian lainnya. (Standar AS/NZS
4801:2001). Sementara itu, menurut OHSAS 18001:2007 Kecelakaan Kerja didefinisikan sebagai
kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan cidera atau kesakitan
(tergantung dari keparahannya) kejadian kematian atau kejadian yang dapat menyebabkan kematian.
Pengertian ini digunakan juga untuk kejadian yang dapat menyebabkan merusak lingkungan (Sumber
: OHSAS 18001:2007). Pengertian kecelakaan kerja menurut Per 03/Men/1994 adalah kecelakana
berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian
pula kecelakaan yang terjadi dalma perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang
ke rumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui.

Teori Frank E. Bird Petersen, mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak
dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian jiwa serta kerusakan harta benda dan biasanya terjadi
sebagai akibat dari adanya kontak dengan sumber energi yang melebihi ambang batas atau struktur.
Teori ini memodifikasi teori Domino Heinrich dengan mengemukakan teori manajemen yang
berisikan lima faktor dalam urutan suatu kecelakaan, antara lain:

a. Manajemen kurang control

b. Sumber penyebab utama

c. Gejala penyebab langsung

d. Kontak peristiwa

e. Kerugian gangguan (tubuh maupun harta benda)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa kecelakaan akibat kerja
adalah suatu peristiwa yang tidak terduga, tidak terencana tidak dikehendaki dan menimbulkan
kerugian baik jiwa maupun harta yang disebabkan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan
pekerjaan yaitu ketika pulang dan pergi ke tempat kerja melalui rute yang biasa dilewati.

2.2 Klasifikasi Kecelakaan Kerja


Pengertian kejadian menurut standar Australian AS 1885 1 (1990) adalah suatu proses atau
kejadian cidera atau penyakit akibat kerja. ( Mayendra,2009) Banyak tujuan yang dicapai dengan
melakukan pengklasifikasian kejadian kecelakaan akibat kerja. Salah satu diantaranya adalah untuk
mengidentifikasi proses alami suatu kejadian seperti dimana terjadinya kecelakaan, apa yang
dilakukan oleh karyawan dan alat apa yang digunakan oleh karyawan sehingga menyebabkan
kecelakaan. Dengan menerapkan kode-kode kecelakaan kerja maka akan sangat membantu proses
investigasi dalam menginterpretasikan informasi-informasi yang di dapat. ada banyak refrensi yang
menjelaskan mengnai kode-kode dari kecelakaan kerja, salah satunya adalah standar Australian 1885
(1990).
2.3 Teori Penyebab dan Model Kecelakaan
2.3.1 Model Kecelakaan
Dalam proses terjadinya kecelakaan terkait 4 unsur produksi yaitu People,
Equipment, Material, dan Environment (PEME) yang saling berinteraksi dan bersama-sama
menghasilkan suatu produk atau jasa. (Soehatman, 2010)

Kecelakaan dapat terjadi karena konsdisi alat atau material yang digunakan dalam
bekerja. Alat dan material ada kemungkinan besar memiliki kondisi yang berbahaya. Selain
itu kecelakan juga dapat disebabkan oleh lingkungan tempat bekerja. Hal ini dapat terjadi
karena lingkungan tempat bekerja yang tidak aman seperti, kebisingan, pencahayaan yang
kurang, banyaknya asap atau debu, dan bahan-bahan kimia yang bersifat toksik. Kemudian
faktor terakhir yang dapt menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah orang/pekerja itu
sendiri. Adanya human error pada perkerja yang mengakibatkan kecelakaan semakin sering
terjadi. Berdasarkan teori Heinrich dikatakan bahwa manusia memiliki kecendrungan untuk
melakukan kesalahan yang akan berasosiasi dengan faktor penyebab kecelakaan lainnya
sehingga menimbulkan an accident.

Menurut Mayendra, 2009 dalam makalahnya pentingnya mempelajari model


kecelakaan adalah sebagai berikut :

 Memahami klasifikasi sistem yang logis, objektif dan dapat diterima secara
universal. Dengan mengklasifikasikan sistem maka beberapa fenomena, kejadian
yang melatarbelakangi kecelakaan dapat dikelompok-kelompokkan sehingga mudah
dianalisa.
 Model kecelakaan dapat mempermudah identifikasi bahaya karena kerangka
logiknya jelas.
 Model kecelakaan dapat membantu investigasi kecelakaan dan membantu cara-cara
pengendaliannya.

2.3.2 Teori Penyebab Kecelakaan

Kecelakaan kerja umumnya disebabkan oleh berbagai faktor penyebab, berikut teori-teori
mengenai terjadinya suatu kecelakaan :

1. Pure Chance Theory (Teori Kebetulan Murni)


Teori yang menyimpulkan bahwa kecelakaan terjadi atas kehendak Tuhan,
sehingga tidak ada pola yang jelas dalam rangkaian peristiwanya, karena itu
kecelakaan terjadi secara kebetulan saja.

2. Accident Prone Theory (Teori Kecenderungan Kecelakaan)


Teori ini berpendapat bahwa pada pekerja tertentu lebih sering tertimpa
kecelakaan, karena sifat-sifat pribadinya yang memang cenderung untuk
mengalami kecelakaan kerja.

3. Three Main Factor (Teori Tiga Faktor)


Menyebutkan bahwa penyebab kecelakaan peralatan, lingkungan dan
faktor manusia pekerja itu sendiri.
4. Two main Factor (Teori Dua Faktor)
Kecelakaan disebabkan oleh kondisi berbahaya (unsafe condition) dan
tindakan berbahaya (unsafe action).

5. Human Factor Theory (Teori Faktor Manusia)


Menekankan bahwa pada akhirnya seluruh kecelakaan kerja tidak langsung
disebabkan karena kesalahan manusia.

Fase perkembangan teori kecelakaan kerja


Menurut OHS Body of Knowledge dalam seri Models of Causation: Safety, 8 teori penyebab
kecelakaan kerja menjadi contoh dari 3 fase perkembangan teori:
 Fase Model Simpel Linear : Pada fase ini, para ahli berpendapat bahwa kecelakaan merupakan
gabungan dari rangkaian kejadian yang berinteraksi secara berurutan dengan yang lain sehingga
kecelakaan bisa dihindari dengan menghilangkan salah satu penyebab dalam urutan linear tersebut.
 Fase Model Kompleks linear : model ini berdasarkan dari anggapan bahwa kecelakaan
merupakan hasil dari kombinasi tindakan tidak aman dan kondisi bahaya laten dalam sistem yang
mengikuti garis lurus. Faktor yang terletak paling jauh dari kecelakaan dijadikan sebagai perilaku
dari organisasi atau lingkungan dan faktor di sisi lainnya sebagai perilaku manusia di mana pada
titik itu manusia memiliki interaksi paling dekat kepada kecelakaan. Model ini berpendapat bahwa
kecelakaan dapat dicegah dengan fokus kepada memperkuat penghalang dan pertahanan.
 Fase Model kompleks non-linear: model ini menyatakan bahwa kecelakaan sebagai hasil dari
kombinasi berbagai macam variable yang berinteraksi secara mutual dan terjadi dalam lingkungan
dunia yang nyata. Menurut Hollnagel, hanya dengan melalui pengertian terhadap kombinasi dan
interaksi dari beberapa faktor ini, kecelakaan dapat dimengerti dan dicegah.

2.4 Teknik Identifikasi Bahaya


Pemilihan teknik/metode identifikasi bahaya yang sesuai dengan sebuah perusahaan
sangat menentukan efektifitas identifikasi bahaya yang dilakukan. Ada beberapa
pertimbangan dalam menentukan teknik identifikasi bahaya antara lain:

 Sistematis dan tersetruktur,


 Mendorong pemikiran kreatif tentang kemungkinan bahaya yang belum pernah dikenal
sebelumnya,
 Harus sesuai dengan sifat dan skala kegiatan perusahaan,
 Mempertimbangkan ketersediaan informasi yang diperlukan.
Beberapa teknik identifikasi bahaya adalah sistem monitoring/checklist, safety review,
preleminary hazard analysis (pha), hazard operability studies (hazops), fault tree analysis
(fta), inspeksi, human error analysis, what if, brainstorming, failure models and effects
analysis, dan lain-lain. Pada kasus ini penulis menggunakan teori domino Heinrich sebagai
teknik analisis kecelakaan sekaligus teknik identifikasi bahaya pada kasus kecelakaan
tersebut.

2.5 Kebijakan dan Undang-Undang


Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan ketentuan perundangan dan memiliki landasan
hukum yang wajib dipatuhi semua pihak, baik pekerja, pengusaha atau pihak yang terkait
lainnya. Ada beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, beberapa
diantaranya :

 Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja

 Undang-unang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

 Undang-undang No. 8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen

 Undang-undang No. 19 tahun 1999 tentang jasa konstruksi

 Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung

 Undang-undang No. 30 tahun 2009 tentang keteknikan memuat aspek keselamatan

Kebijakan merupakan persyaratan utama dalam semua sistem manajemen seperti


Manajemen Lingkungan, Mutu dan lain-lain. kebijakan merupakan roh dari sebuah sistem.
Oleh karena itu, OHSAS 18001 mensyaratkan ditetapkannya kebijakan K3 dalam organisasi
oleh manajemen puncak. Kriteria kebijaka K3 adalah sebagai berikut

1. Sesuai dengan sifat dan skala resiko K3 organisasi


2. Mencakup komitmen untuk peningkatan berkelanjutan termasuk adanya komitmen untuk
sekurangnya memenuhi perundangan K3 yang berlaku
3. Didokumentasikan, diimplimentasikan, dan dipelihara
4. Dikomunikasikan kepada seluruh pekerja
5. Tersedia bagi pihak lain yang terkait
6. Ditinjau ulang secara berkalauntuk memastikan bahwa masih relevan dan sesuai dengan
organisasi.

Peraturan terbaru tentang bekerja di ketinggian yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja ini
memberikan panduan yang lengkap bagaimana suatu pekerjaan di ketinggian dapat dilakukan dengan
aman.Tahap perencanaan bekerja di Ketinggian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya potensi
bahaya dan langkah pengendalian yang perlu dilakukan agar pekerja tidak terjatuh seperti memasang
pagar pengaman, menggunakan Full Body Harness atau perangkat penahan atau pencegah jatuh
lainnya. Penerapan ijin kerja pada ketinggian juga diperlukan untuk memberikan instruksi atau
memastikan hal lainnya yang terkait kelengkapan yang dibutuhkan pada pekerjaan di atas ketinggian.
Prosedur Kerja juga wajib ada untuk memberikan panduan kepada pekerja, prosedur ini harus
dipastikan bahwa Tenaga Kerja memahami dengan baik isi yang ada di dalamnya. Beberapa hal yang
harus ada di dalam prosedur bekerja pada ketinggian meliputi:
1. Teknik dan Cara perlindungan Jatuh
2. Cara pengelolaan peralatan
3. Teknik dan cara melakukan pengawasan pekerjaan
4. Pengamanan tempat kerja
5. Kesiapsiagaan dan tanggap darurat.

2.6 Kecelakaan Pengelasan Karena Cahaya dan Sinar

Dalam proses pengelasan tidak luput adanya cahaya dan sinar sewaktu kita mengelas. Namun
cahaya dan sinar ini dapat membahayakan juru las dan pekerja lain sewaktu di sekitar pengelasan.
Cahaya dan sinar las ini meliputi:

 Sinar Ultraviolet
 Cahaya Tampak
 Sinar Inframerah

2.6.1 Pelindung Mata dan Muka

 Pelindung mata tersebut harus mampu menurunkan kekuatan cahaya tampak dan harus dapat
menyerap atau melindungi mata dari pancaran sinar ultraviolet dan inframerah. Untuk
keperluan ini maka pelindung mata harus mempunyai warna transmisi tertentu, misalnya abu-
abu, coklat atau hijau (Harsono, 1996). Pelindung mata atau goegle yang mempunyai nomor
warna dan penggunaan seperti di tunjukkan pada tabel di bawah ini :

No.warna Las busur listrik Las gas


2,5 - Untuk cahaya rendah
3 - Untuk cahaya rendah
4 - Untuk cahaya rendah
5 Untuk busur di bawah 30 A Untuk cahaya sedang
6 Untuk busur di bawah 30 A Untuk cahaya sedang
7 Untuk busur di antara 30 s.d. 70 A Untuk cahaya kuat
8 Untuk busur di antara 30 s.d. 70 A Untuk cahaya kuat

 Pelindung muka dipakai untuk melindungi seluruh muka terhadap kebakaran kulit sebagai
akibat cahaya busur, percikan yang tidak dapat dilindungi dengan hanya memakai pelindung
mata saja. Bentuk dari pelindung muka bermacam-macam dapat berupa helmet dan dapat
berupa pelindung yang harus dipegang.
2.6.2 Kecelakaan Karena Listrik

Kecelakaan ini sangat rentan terjadi pada pekerja las yang melakukan pekerjaan mengelas
tidak pada tempat yang benar. Banyak juru las menganggap kejutan listrik yang kecil merupakan hal
sepele. Namun kejutan listrik yang kecil tersebut bisa saja membuat para pekerja las mengalami
gangguan pada peredaran darah, bahkan mengalami kematian. Listrik cukup berbahaya pada juru las,
tetapi bahaya listrik ini dapat dicegah dengan beberapa cara yaitu:

 Penggunaan Wearpack atau perlengkapan yang sesuai untuk pengelasan.


 Penggunaan pemegang elektroda berisolator.
 Penggunaan alat penurunan tegangan otomatik.
 Penggunaan kabel pengelasan yang sesuai.

2.7 Bahaya Gas Dalam Asap Pengelasan

 Gas karbon monoksida ( CO )


Gas ini mempunyai afinitas yang tinggi terhadap haemoglobin ( Hb ) yang akan menurunkan
daya penyerapannya terhadap oksigen .
 Karbon dioksida (CO2)
Gas ini sendiri sebenarnya tidak berbahaya terhadap tubuh tetapi bila konsentrasi CO2 terlalu
tinggi dapat membahayakan operator terutama bila ruangan tempat pengelasan tertutup.
 Gas Nitrogen monoksida (NO)
Gas NO yang masuk ke dalam pernafasan tidak merangsang, tetapi akan bereaksi dengan
haemoglobin (Hb) seperti halnya gas CO. Tetapi ikatan antara NO dan Hb jauh lebih kuat
daripada CO dan Hb maka gas NO tidak mudah lepas dari haemoglobin, bahkan mengikat
oksigen yang dibawa oleh haemoglobin. Hal ini menyebabkab kekurangan oksigen yang dapat
membahayakan sistem syaraf.
 Gas nitrogen dioksida ( NO2)
Gas ini akan memberikan rangsangan yang kuat terhadap mata dan lapisan pernafasan,
bereaksi dengan haemoglobine ( Hb ) yang dapat menyebabkan sakit mata dan batuk–batuk
pada operator . Keracunan gas ini apabila dipakai untuk jangka waktu yang lama akan
berakibat operator menderita penyakit TBC atau paru–paru .

2.7.1 Pencegahan Bahaya Gas Dalam Asap Las

 Ventilasi.
Ventilasi ini akan jalur keluarnya asap las yang mengandung gas diatas tersebut, sehingga
udara yang didalam ruangan dapat berganti.
 Pelindung Pernapasan.
Selain ventilasi, pelindung pernapasan atau masker ini juga berperan penting dari bahaya gas-
gas berbahaya yang berada dalam las. Alat pernapasan harus tetap memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam penggunaannya yaitu:
 Mempunyai daya tampung yang tinggi.
 Sesuai dengan bentuk muka.
 Tidak mengganggu pernapasan.
 Tidak mengganggu pekerjaan.
 Kuat, ringan dan mudah dirawat.

2.8 Bahaya Percikan dan Terak Las


Percikan terjadi sewaktu berlangsungnya pengelasan, dan percikan ini juga berbahaya jika
terkena pada mata dan pada kulit. Biasanya kulit akan mengalami luka bakar jika terkena percikan api
las ini. Terak las juga berbahaya jika terkena ke kulit dan mata. Ini terjadi sewaktu juru las
membersihkan hasil las maupun mengkikis terak las tersebut. Untuk mencegah bahaya percikan dan
terak las ini perlu yang dinamakan dengan pelindung yaitu:

 Pelindung Mata.
Pelindung ini berfungsi menghindari percikan maupun pecahan terak las masuk ke mata. Jika
juru las sudah menggunakan pelindung ini, percikan-percikan akan memantul ke pelindung
mata yang berbentuk kacamata maupun gogel yang berkaca bening.
 Pelindung Kulit.
Percikan las bila mengenai kulit akan menyebabkan luka bakar. Karena itu juru las harus
dilindungi terhadap hal ini terutama apabila harus melakukan pengelasan tegak dan atas
kepala. Untuk itu juru las harus menggunakan sarung tangan yang terbuat dari kulit dimana
bagian dalam sarung tangan ini dilapisi sarung tangan yang terbuat dari katun, agar
menghindari bahaya listrik.

2.9 Bahaya Pengelasan Lainnya

 Bahaya Ledakan.
Bahaya ledakan yang sering terjadi pada proses pengelasan produk yang berbentuk tangki atau
bejana bekas tempat penyimpanan bahan – bahan yang mudah menyala atau terbakar . Pada
proses pengelasan / pemotongan ini diperlukan beberapa hal persiapan pendahuluan untuk
menghindari bahaya ledakan , seperti :
 Pembersihan bejana atau tangki.
Sebelum proses pengelasan berlangsung maka bejana atau tangki perlu dibersihakan
dengan : Air untuk bahan yang mudah larut, uap untuk bahan yang ,mudah menguap
dan soda kostik untuk membersihkan minyak , gemuk atau pelumas.
 Pengisian bejana atau tangki.
Setelah proses pembersihan selesai isilah tangki atau bejana dengan air sedikit di
bawah bagian yang akan dilas/dipotong.
 Kondisi tangki sewaktu proses pengelasan.
Selama proses pengelasan berlangsung kondisi tangki atau bejana harus dalam keadaan
terbuka agar gas yang menguap karena pada proses pemanasan gas dapat keluar.
 Penggunaan gas lain.
Apabila dalam proses pengisian tangki atau bejana dengan air mengalami kesulitan
maka sebagai gantinya dapat digunakan gas CO2 atau gas N2 dengan konsentrasi
minimum 50 % dalam udara .
 Bahaya Kebakaran.
Proses pengelasan selalu berhubungan dengan api sehingga bahaya kebakaran sangat mungkin
terjadi mengingat proses ini sangat berhubungan erat dengan api dan gas yang mudah terbakar,
untuk itu operator perlu sekali mengambil langkah – langkah pengamanan seperti :
 Ruangan atau areal pengelasan harus bebas dari kain, kertas, kayu, bensin, solar,
minyak atau bahan – bahan lain yang mudah terbakar atau meledakharus ditempatkan
di tempat khusu yang tidak akan terkena percikan las.
 Jauhkan tabung – tabung dan generator dari percikan api las, api gerinda atau panas
matahari.
 Perbaikan pada sambungan – sambungan pipa atau selang – selang terutama saluran
Asetilen.
 Penyediaan alat pemadam kebakaran di tempat yang mudah dijangkau seperti bak air,
pasir, hidrant .
 Kabel yang ada didekat tempat pengelasan diisolasi dari karet ban.
BAB III

Pembahasan

Menurut Kurniawidjaja (2015) dalam Ashari (2015), tingkat kecelakaan kerja pada unit usaha
kecil di Indonesia masih tergolong tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya, bahkan data dari
lembaga internasional maupun nasional menunjukkan kecelakaan kerja masih tinggi. Tingginya kasus
kecelakaan kerja menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran tenaga kerja maupun perusahaan
dalam penanganan masalah keselamatan kerja. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengukuran risiko
kecelakaan kerja dengan metode identifikasi bahaya yang bisa menganalisis dan mengidentifikasi
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Bengkel Las di daerah Baleendah kabupaten
Bandung merupakan salah satu usaha kecil yang membuat dan memproduksi barang barang interior
dan eksterior seperti pagar , pintu besi lemari besi dan lain lain.

Berdasarkan hasil dari kunjugan dan pengamatan di bengkel Baleendah Bandung, dengan cara
melakukan pengamatan secara lansung dapat dilihat bahwa banyak faktor keamanan kerja yang masih
dilupakan. Berdasarkan uraian tersebut kami memilih metode Job Safety Analysis karena metode ini
menggunakan empat tahap sederhana dan mengidentifikasi hazard yang berhubungan dengan
aktivitas pekerjaaan seseorang dan untuk mengembangkan pengendalian terbaik untuk mengurangi
risiko serta terlebih lagi di Bengkel Las belum pernah dilakukan pengidentifikasian bahaya dan
penilaian resiko menggunakan metode JSA, maka dari Itu penulis tertarik melakukan penelitian terkait
identifikasi bahaya menggunakan metode JSA di workshop di Bengkel Las Mahakarya Besi
Baleendah.

3.1 Proses Pembuatan Kerangka


Pada prosesnya terdapat tiga tahapan sehingga kami menganalisis potensi bahaya dimana pada proses
pembuatan kerangka banyak menggunkan alat gerinda dan pengendaliannya sebagai berikut :

Tahapan Kerja Potensi Bahaya Pengendalian


Memindahkan Terbentur dan tertimpa Menggunakan sarung
material ketempat gerinda material, tergores material tangan dan safety shoes.
Menyalakan gerinda Tersengat listrik, terjatuh Menggunakan
karena kabel tidak beraturan sarung tangan, dan
pemeriksaan rutin alat
gerinda
Gerinda Tangan terkena roda Menggunakan sarung
(memotong material) gerinda, terkena serpihan tangan , dan pemakaian
api akibat gerinda, terkena penutup gerinda
material yang terlepas
akibat pekeja
Mematikan gerinda Tersengat listrik Menggunakan
sarung tangan, dan
pemeriksaan rutin alat
gerinda
Memindahkan Terbentur dan tertimpa Menggunakan sarung
material ketempat las material, tergores material tangan dan safety shoes.

Tahapan Kerja Potensi Bahaya Pengendalian


Mempersiapkan material yang Tergores material tajam Menggunakan sarung
akan di las tangan dan
safety shoes
Membersihkan material yang Debu material Memakai masker
akan di las terhirup pekerja

Menyambung tang Tangan terjepit Menggunakan sarung


tangan
Memasang elektroda Tangan terjepit elektroda Menggunakan sarung
tangan
Mengaktifkan mesin las dan Tersengat listrik Menggunakan sarung
mengatur ampere tangan dan
safety shoes

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa kecelakaan kerja yang paling berat yaitu
tersengat listrik yang dapat menyebabkan kematian. Tetapi di bengkel tersebut jarang terjadi
kecelakaan kerja tersebut.

3.2 Proses Pengelasan dan Penghalusan

Tahapan Kerja Potensi Bahaya Pengendalian


Pengelasan Terbakar ke tubuh pekerja Menggunakan pelindung
Asap pembakaran terhirup muka atau kacamata las,
pekerja Terkena sinar las menggunakan sarung
tangan dan
safety shoes

Mendinginkan material Tangan tersentuh logam Menggunakan sarung


panas tangan
Membersihkan Tangan terpukul palu trak Menggunakan
material dengan palu t Tangan pekerja tergores sarung tangan kulit
material
tajam

Memindahkan material Tangan tergores Menggunakan sarung


yang material yang tajam tangan dan
sudah di las Terbentur atau safety shoes
tertimpa material

Berdasarkan tabel diatas potensi bahaya yang sering terjadi pada pekerja menurut hasil analisis
diketahui yaitu pada tahapan pekerjaan pengelasan. Dapat dianalisis pekerja bahwa kecelakaan kerja
yang paling beresiko yaitu terkena sinar las yang dapat menyebabkan cedera pada mata.
Tahapan kerja Potensi Bahaya Pengendalian
Memindahkan material ke Tertimpa dan tergores material Memakai safety shoes
tempat gerinda dan sarung tangan

Pengukuran material Tergores material Menggunakan masker


Terkena debu dari kapur dan sarung tangan

Menyalakan gerinda Tersengat listrik Pemeriksaan


berkala instalasi
listrik
Gerinda (pemotongan) Terkena serpihan api Terkena Menggunakan kacamata,
material roda gerinda dan
sarung tangan

Tahapan Kerja Potensi Bahaya Pengendalian


Memindahkan material ke Tergores dan tertimpa material Menggunakan sarung
tempat gerinda tangan dan
safety shoes
Menyalakan gerinda Terkena sengatan listrik Menggunakan sarung
Putaran gerinda tangan dan pemasangan
mengenai pekerja tameng pada
gerinda
Gerinda Terkena serpihan api akibat Menggunakan sarung
(menghaluskan) gerinda tangan, pemasangan
Material Tangan terkena roda gerinda tameng pada roda gerinda,
Terkena material yang terlepas kacamata gerinda dan
oleh pekerja gemgam erat material
saat
gerinda

Berdasarkan tabel diatas tahapan pekerjaaan pada proses penghalusan material cukup mempunyai
risiko yang tinggi dikarenakan berhubungan dengan listrik dan putran roda gerinda yang tajam.

3.3 Proses Pengecatan

Tahapan Kerja Potensi Bahaya Pengendalian


Menyiapkan alat cat Tekanan gas tidak stabil Pengecekan rutin
kompresor menyebabkan
ledakan
Mencampur cat Cat menyebabkan tumpah Menggunakan
dengan tiner kulit iritasi sarung tangan kulit

Menuangkan cat ke alat Cat menyebabkan tumpah Menggunakan


kompresor kulit iritasi sarung tangan kulit

Pengecatan Terkena asap Menggunakan sarung


pengecatan material tangan dan masker
Tergores tajam

Berdasarkan tabel diatas tahapan pekerjaaan pada proses pengecatan cukup mempunyai risiko
kecelakaan dikarenakan berhubungan dengan bahan kimia dan tekanan gas pada kompresor.
Tahapan Kerja Potensi Bahaya Pengendalian
Menyiapkan alat kompresor Terjepit Pengecekan rutin
Kompresor rusak kompresor
Terkena lentingan engkol
Mencampurkan Terpajan bahan kimia Risiko Menggunakan masker kimia,
bahan cat kebakaran sarung tangan dan kacamata

Menyiapkan Material terjatuh, tangan tergores Memakai sarung tangan


material yang di cat dan membawa materialnya
dengan hati-hati

Pengecatan Terpapar semprotan Menggunakan masker kimia


cat Uap kimia beracun

3.4. Analisis Identifikasi Potensi Bahaya Pada Bengkel Pengelasan


Dari analisis menggunakan metode Job Safety Analysis dari bengkel Las Mahakarya Besi dalam
proses ini bengkel las tidak melakukannya dikarenakan material sudah dikirim oleh supplier
langganan. Potensi bahaya .. Menurut Ramli (2010) bahaya merupakan tahapan awal manajemen
risiko untuk menentukan bahaya yang terdapat di lingkungan kerja dengan melihat karakteristik dari
bahaya.identifikasi bertujuan untuk menentukan besar suatu risiko. Risiko K3 menurut OHSAS
181001 risiko K3 adalah kombinasi dari kemungkinan terjadinya bahaya (paparan) dengan keparahan
cidera atau gangguan kesehatan oleh paparan (Ramli,2010) Observasi perilaku atau penerapan
pengendalian potensi bahaya juga dilakukan dari pengamatan peneliti ditemukan banyak pekerja yang
tidak memakai alat pelindung diri serta melakukan perilaku tidak aman. Seharusnya menurut

Undang- Undang No. 1 tahun 1970 pasal 13 menyebutkan “Barang siapa akan memasuki sesuatu
tempat kerja, diwajibkan menaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat- alat
perlindungan diri yang diwajibkan

3.4.1. Analisis Potensi Bahaya Pada Proses Pemotongan dan Pengelasan


Pekerja dalam proses pemotongan atau penggerindaan memiliki tingkat risiko tinggi karena
bisa menyebabkan kecelakaan tinggi dengan kategori fatality karena menggunakan mesin gerinda.
Apalagi dalam sektor informal yang kurang menerapkan standar keselamatan kerja yang tinggi. Masih
banyak ditemukan perilaku unsafe dari pekerja kedua bengkel tersebut yaitu ada beberapa pekerja
yang tidak menggunakan alat pelindung diri dalam bekerja. Dan meletakkan gerinda tidak di tempat
yang aman dapat menambah potensi bahaya yang ada. Alat pengaman pada gerinda juga sudah
dicopot..

Seharusnya menurut Syukri sahab (1997) dalam Hayati (2009) menerangkan bahwa dalam instalasi
digunakan berbagai peralatan yang mengandung bahaya. Apalagi tidak dipergunakan dengan
semestinya serta tidak dilengkapi pelindung dan pengaman peralatan tersebutdapat menimbulkan
berbagai macam bahaya. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 4 tahun 1985 tentang pesawat tenaga
dan produksi pasal 9 ayat 1 menjelaskan “Pada pekerjaan yang menimbulkan serbuk, serpih, debu
dan bunga api yang dapat menimbulkan bahaya harus diadakan pengaman dan perlindungan dan ayat
2 Semua Pesawat Tenaga dan Produksi harus dipelihara secara berkala dan baik”.

Padahal saat observasi pekerja memiliki kacamata pelindung sedehana namun tidak digunakan.
Perilaku dan sikap pekerja yang tidak mnggunakan alat pelindung diri dari bengkel pengelasan
merupakan perilaku unsafe atau tidak aman. Hal ini dapat membahayakan pekerja itu sendiri dan tidak
sesuai dengan peraturan yang ada. Juru las juga harus melakukan sertifikat juru las tetapi untuk kedua
bengkel tersebut tidak memiliki sertifikat juru las dan hanya belajar otodidak.

Seharusnya menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 tahun 1982 pasal 3 menerangkan bahwa
“(1) Juru las dianggap trampil apabila telah menempuh ujian las dengan hasil memuaskan dan
mempunyai sertifikat juru las. (2) Juru las tersebut (1) dianggap tidak terampil apabila selama 6
(enam) bulan terus menerus tidak melakukan pekerjaan las sesuai dengan yang tercantum dalam
sertifikat juru las”.
3.4.2 Analisis Potensi Bahaya Pada Proses Finishing
Pada proses akhir ini ada beberapa potensi bahaya yang ada pada pekerja maupun bengkel
pengelasan dua tahapan itu antara lain:

a. Tahapan penghalusan material


Pada tahapan ini terdapat potensi bahaya yang sama dengan proses pemotongan. Hal yang sering
dilakukan dan berbahaya bagi keselamatan yang dilakukan pekerja yaitu tidak menggunakan masker
dan sarung tangan. Dalam hasil observasi juga ditemukan mesin gerinda tidak dilengkapi dengan
cover atau pengaman sehingga percikan api langsung mengenai tubuh pekerja. Hal ini merupakan
tindakan yang unsafe atau tidak aman dan harus segera diperbaiki. Penerapan APD belum dilakukan
karena ada beberapa pekerja yang tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri). Seharusnya
menurut Ramli (2013) menerangkan dalam hal tersebut manajemen dapat meningkatkan pengetahuan
tenaga kerja terhadap perilaku aman dan K3 dengan menggunakan pendekatan manusia, seperti
pembinaan dan pelatihan, promosi dan kampanye K3,dan komunikasi K3. Dengan strategi untuk
meningkatkan pengetahuan ini diharapkan tenaga kerja dapat berperilaku aman sesuai dengan
pengetahuannya. Strategi ini memang membutuhkan waktu yang relatif lama namun perubahan
perilaku yang terjadi dapat bersifat permanen (Notoatmodjo, 2007).

b. Tahapan pengecatan
Pada tahapan kerja pengecatan ditemukan potensi bahaya berupa zat kimia dan uap dari semprotan
kompresor. Pekerja tidak menggunakan masker, sarung tangan dan safety shoes. Dalam tahapan ini
sering pekerja tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri ) secara lengkap dikarenakan mereka
mengeluhkan rasa kurang nyaman. Salah satu faktor lain yaitu jarangnya terjadi kecelakaan kerja dan
kebiasaan dari pekerja itu sendiri. Mahakarya Besi belum melakukan pengendalian bahaya pada
tahapan pengecatan . Seharusnya menurut Syukri Sahab (1997) dalam Hayati (2009) menjelaskan
bahwa metode kerja atau cara kerja yang salah dapat membahayakan pekerja itu sendiri maupun orang
lain disekitarnya. Teori Bird menyatakan bahwa near miss yang terus berulang dan kebanyakan
disebabkan karena unsafe act atau unsafe dapat meningkatkan risiko kecelakaan kerja yang lebih
serius. 3.4.1 Penerapan JSA ( Job Safety Analysis) di bengkel pengelasan.

Menurut Cooper (2009) juga menyatakan bahwa risk assessment, JSA (Job safety analysis) dan data
insiden merupakan data berharga yang perlu dianalisis lebih lanjut untuk dapat mengidentifikasi
perilaku yang akan diobservasi. Hal ini juga sejalan dengan Geller (2001) yang menegaskan bahwa
tahapan define lebih baik berfokus pada tempat kerja tergantung pada review catatan keselamatan
yang ada, temuan audit, laporan near miss, wawancara kepada tenaga kerja maupun sumber informasi
lain yang berguna di tempat kerja.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada hakikatnya kecelakan merupakan proses interaksi dari faktor-faktor penyebab yang
menimbulkan peluang terjadinya hal tersebut. Kecelakaan bukan merupakan sebuah kejadian
tunggal yang spontanitas terjadi, tetapi ia telah didahului oleh insiden-insiden kecil sehingga
pada tahap akhirnya akan menyebabkan accident atau kecelakaan tersebut (FTA). Kecelakaan
bukan kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari. Kecelakaan dapat dicegah dengan
menerapkan prinsip sistem K3 dan pendekatan pencegahan kecelakaan. Pada bengkel las
Mahakarya Besi merupakan contoh kecil dari banyak usaha kecil yang masih kurang
memperhatikan akan kesehatan dan keselamatan kerja saat bekerja . Meskipun Bengkel
Pengelasan Mahakarya Besi telah melakukan pengendalian risiko dengan cara penggunaan
beberapa APD (Alat Pelindung Diri) sederhana namun hal ini disebabkan karena kesadaran dari
pekerja tentang safety pada saat masih bekerja masih kurang. Juga pihak bengkel pengelasan
tidak melakukan training ke pekerja sehingga semakin besar munculnya kecelakaan kerja

4.2 Saran
Pada kesempatan ini penulis hanya berpesan bahwa pada prinsipnya kecelakaan dapat kita
cegah. Angka kecelakaan yang semakin memuncak dapat kita hindari dengan melakukan
tindakan preventif dan berpedoman pada prinsip kehati-hatian. Mematuhi segala peraturan
undanng-undang dan kebijakan sistem K3 bukan merupakan hal yang berat jika menyangkut
dengan nyawa. Tumbuhkan kesadaran dalam diri kita akan pentingnya K3. Maka kecelakaan
dapat kita hindari dan angka mortalitas dapat dieliminir seminimal mungkin. Kita harus
meningkatkan angka kesadaran keselamatan kerja pada tiap usaha kecil di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Yoga Tjandra. (2006). Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Universitas
Indonesia press.

King, R.W. and Hudson, R. (1985). “Construction Hazard and Safety Handbook: Safety.”
Butterworths, England.

Ramli, S. (2010). Manajemen Risiko dalam Perspektif K3 OHS Risk Management. Dian
Rakyat: Jakarta

Robert, W.,K., 1993, Dasar-dasar Pengelasan, Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai