Anda di halaman 1dari 11

BAB 8

KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM

Kurikulum merupakan suatu sistem yang memiliki komponen – komponen tertentu. komponen
– komponen apa saja yang membentuk sistem kurikulum itu? Bagaimana keterkaitan antar
komponen itu? Anda dapat memperhatikan bagan dibawah ini.

Bagan tersebut menggambarkan bahwa sistem kurikulum terbentuk oleh empat komponen,
yaitu : komponen tujuan, isi kurikulum, komponen metode atau strategi pencapaian tujuan, dan
komponen evaluasi. Sebagai suatu sistem, setiap komponen harus saling berkaitan satu sama
lain. Manakala salah satu komponen yang membentuk sistem kurikulum terganggu atau tidak
berkaitan dengan komponen lainnya, maka sistem kurikulum secara keseluruhan juga akan
tergganggu.

Komponen Tujuan

Komponen tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Dalam skala makro,
rumusan tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut
masyarakat. Bahkan, rumusan tujuan yang menggambarkan suatu masyarakat yang di cita –
citakan, misalkan, filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat Indonesia adalah pancasila,
maka tujuan yang diharapkan tercapai oleh suatu kurikulum adalah terbentuknya masyarakat
yang pancasilais. Dalam skala mikro, tujuan kurikulum berhubungan dengan misi dan visi
sekolah serta tujuan yang lebih sempit, seperti tujuan setiap mata pelajaran dan tujuan proses
pembelajaran.

Komponen Isi/ Materi Pelajaran

Isi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan dengan pengalaman belajar yang harus
dimiliki siswa. Isi kurikulum itu menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan
pengetahuan atau materi pelajaran yang biasanya tergambarkan pada isi setiap materi pelajaran
yang diberikan maupun aktivitas dan kegiatan siswa. Baik materi maupun aktivitas itu
seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Komponen Metode/ StrategI

Strategi dan metode merupakan komponen ketiga dalam pengembangan kurikulum. Komponen
ini merupakan komponen yang memiliki peran yang sangat penting, sebab berhubungan dengan
implementasi kurikulum. Bagaimana bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai tanpa
strategi yang tepat untuk mencapainya, maka maka tujuan itu tidak mungkin dapat tercapai.
Strategi meliputi rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai
tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat diatas, T. Rajakoni mengartikan strategi pembelajaran
sebagai pola dan urutan umum perbuatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Dari kedua pengertian diatas, ada dua hal yang patut kita cermati. Pertama, strategi
pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode
dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti penyusunan
atau strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja, belum sampai pada tindakan.
Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. artinya, arah dari semua keputusan
penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian penyusunan langkah –
langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan
dalam upaya pencapaian tujuan.

Upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar
tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal, dinamakan metode. Ini berarti metode
digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, bisa jadi satu
strategi pembelajaran digunakan beberapa metode. Misalnya untuk melaksanakan strategi
ekspositori bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode tanya jawab atau bahkan diskusi
dengan pemanfaatan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran.
Oleh karena itu, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjuk pada a plan of operation
achieving something, sedangkan metode adalah a way in achieving something.

Istilah lain juga yang memiliki kemiripan dengan strategi adalah pendekatan (approach).
Sebenarnya pendekatan berbeda dengan strategi maupun metode. Pendekatan dapat diartikan
sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Roy Killen (1998)
misalnya, mencatat ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat
pada guru (teacher centered approach) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student
centered approach). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran
langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran
discovery dan inquiry serta strategi pembelajaran induktif. Dengan demikian, istilah pendekatan
merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum.
Oleh karena itu, strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau
tergantung dari pendekatan tertentu.

Komponen Evaluasi

Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum. Melalui evaluasi, dapat
ditentukan nilai dan arti kurikulum sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah suatu
kurikulum perlu dipertahankan atau tidak, dan bagian – bagian mana yang harus
disempurnakan. Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektivitas pencapaian tujuan.
Dalam konteks kurikulum, evaluasi dapat berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang telah
ditetapkan telah tercapai atau belum, atau evaluasi digunakan sebagai umpan balik dalam
perbaikan strategi yang ditetapkan. Kedua fungsi tersebut menurut Scriven (1967) adalah
evaluasi sebagai fungsi sumatif dan evaluasi sebagai fungsi formatif. Evaluasi sebagai alat untuk
melihat keberhasilan pencapaian tujuan dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu tes dan
nontes.
BAB 9

DESAIN KURIKULUM

Desain yang berpusat pada subjek (desain yang berpusat pada mata pelajaran) . Merupakan
suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar, dan biasanya mencerminkan kegiatan
pembelajaran yang didikte oleh karakteristik, prosedur, dan struktur konseptual mata pelajaran,
serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu. Agar penempatan mata pelajaran dapat diatur, dapat
dilakukan dengan memfokuskan pada proses pembelajaran dan menggunakan metode
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, inkuiri , serta program komputer di kelas. Desain
jenis ini dapat dibedakan atas tiga desain, yaitu desain subjek, desain disiplin, dan desain
broadfields . Kurikulum desain mata pelajaran:merupakan bentuk desain yang paling murni dari
desain subjek yang berpusat . Materi pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk
mata-mata pelajaran. Model desain ini telah ada sejak lama, dan dalam rumpun subjek
berpusat, desain bidang luas merupakan pengembangan dari bentuk ini. Subjek desain
menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi. Disiplin desain kurikulum: merupakan
bentuk pengembangan dari desain subjek , yang masih fokus pada isi atau materi kurikulum.
Bedaan dengan desain subjek yang tidak memiliki kriteria yang dikonfirmasi tentang apa yang
disebut dengan subjek , pada desain disiplin ilmuKriteria tersebut telah jelas. Selain itu dalam
tingkat penguasaannya pun disetujui pada pemahaman ( pemahaman ), sehingga peserta didik
akan memecahkan masalah dan mampu melihat hubungan berbagai fenomena baru. Desain
bidang dewan: Baik desain subjek maupun desain disiplin masih menunjukkan keberadaan
antar-mata pelajaran. Salah satu upaya untuk memperbaiki dikembangkan adalah dengan
mengembangkan desain bidang papan . Model ini menyatukan beberapa mata pelajaran yang
terkait menjadi satu bidang studi. Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama.

Desain berpusat pada peserta didik (desain yang berpusat pada pembelajar) , adalah suatu
desain kurikulum yang mengutamakan peran siswa. Pengembangan kurikulum ini sangat
dipertanyakan oleh Dewey, seperti meminta sosial, ingin bertanya, keinginan membangun
makna, dan keinginan berkreasi yang menekankan sifat-sifat alami anak dalam mengembangkan
kurikulum. Jenis desain ini dapat dibedakan atas aktivitas (pengalaman) desain dan desain
humanistik. Desain aktivitas (pengalaman):Ciri utama dari desain ini pertama, struktur
kurikulum ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik; kedua, karena struktur
kurikulum berdasarkan minat dan kebutuhan peserta didik, maka kurikulum disusun bersama
oleh guru dan para siswa; ketiga, desain kurikulum tersebut membahas prosedur pemecahan
masalah. Desain humanistik: menekankan PADA fungsi fungsi Perkembangan Peserta didik
through pemfokusan PADA subjektif Hal-Hal, Perasaan, pandangan, penjadian ( menjadi ),
penghargaan, Dan pertumbuhan. Kurikulum humanistik berudsaha mendorong penangkapan
sumber daya dan potensi pribadi untuk menangkap sesuatu dengan memahami mandiri,
konsep sendiri, serrta tanggung jawab pribadi.

Desain yang berpusat pada masalah (desain yang berpusat pada masalah) , yaitu desain yang
berhubungan dengan masalah Pendidik berusaha memengaruhi perubahan sosial dengan
menyelesaikan berbagai masalah sosial. Desain kurikulum ini dibedakan atas bidang desain
hidup dan desain inti . Bidang desain kehidupan: penanganan prosedur belajar melalui
pemecahan masalah. Dalam prosedur belajar ini tujuan yang bersifat proses ( tujuan proses )
dan yang maksud isi ( tujuan konten) diintegrasikan. Penguasaan informasi-informasi yang
bersifat pasif tetap dirangsang. Ciri lain dari model desain ini menggunakan pengalaman dan
petualangan-nyata dari peserta didik sebagai pembuka jalan dalam bidang-bidang kehidupan.
Desain inti: kurikulum ini timbul sebagai reaksi utama terhadap desain subjek terpisah , yang
sifatnya terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata-mata
pelajaran / bahan ajar tertentu sebagai inti ( inti ). Pelajaran lain yang dikembangkan di sekitar
inti tersebut. Menurut konsep ini inti-inti bahan dipusatkan pada kebutuhan individu dan sosial.
Kurikulum intidiberikan guru-guru yang memiliki penguasaan dan berwawasan luas, bukan
spesialis. Disamping memberikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan sosial, guru-guru ini
juga memberikan bimbingan terhadap perkembangan sosial peserta didik.

BAB 10

KONTEN KURIKULUM
Konten atau materi pelajaran sebenarnya merupakan komponen kurikulum yang amat penting.
Konten menyangkut jawaban terhadap pertanyaan, “apakah yang diajarkan?”. Konten ini
seringkali tidak diperhatikan. Artinya, konten seringkali diserahkan saja pada keputusan guru
atau diambil saja dari buku teks yang berlimpah-limpah, tanpa mengaitkan dengan tujuan
pendidikan, tujuan kurikulum atau dengan tujuan instruksional.

Hal yang sama juga terjadi sebelum timbulnya reformasi kurikulum pada tahun 1960, terutama
di Amerika Serikat. Semua orang memberikan perhatian lebih terhadap metode, media dan
strategi yang digunakan dalam belajar, namun kurang memperhatikan isi yang disampaikan.
Oleh karenanya ahli kurikulum harus memahami hakekat dan struktur konten yang menyangkut
apa yang akan diajarkan. Karena konten merupakan elemen kedua yang penting setelah tujuan
untuk menyusun kurikulum.

Kalau dikaji kembali pengertian kurikulum yang sangat berbeda-beda, juga akan menghasilkan
perumusan konten yang berbeda-beda. Sesuai dengan gambaran konsep yang terkandung di
dalam pengertian kurikulum yang diajukan tersebut. Seperti yang telah ditinjau, ada yang
mengartikan kurikulum sebagai mata pelajaran, materi pelajaran atau judul-judul mata
pelajaran. Jika seperi ini, maka rencana tersebut tidak layak lagi disebut sebagai kurikulum
tetapi sebagai judul-judul pokok bahasan.

Secara singkat dapat dilihat bahwa Beaucham menyatakan bahwa kurikum itu sebagai dokumen
yang dipakai sebagai titik tolak perencanaan instruksional, Taba dan Mocdonal mengartikan
sebagai pengalaman belajar dan hasil belajar yang dibimbing dan direncanakan, yang tidak
tertulis, Krug dan Doll mendefenisikan sebagai pengalaman belajar yang dirancang sekolah dan
Tanner dan Tanner mendefenisikan sebagai pengalaman peserta didik. Berdasarkan
pemahaman masing-masing juga menimbulkan kontek yang berbeda-beda.

Implikasi dari pengertian kurikulum tersebut bahwa pengertian kurikulum lebih luas dari pada
dokumen atau rencana kurikulum tertulis saja, tetapi mencangkup juga implementasinya di
dalam kelas untuk dapat ditransformasikan agar menjadi pengalaman belajar yang
direncanakan mencapai tujuan pendidikan dan tujuan pembelajaran.
1. Konsep Konten

Konsep konten menurut Saylor dan Alexander (1966:160) adalah:

Fakta, observasi, data, persepsi, klasifikasi, disain dan pemecahan masalah yang telah dihasilkan
pengalaman dan hasil pikiran manusia yang tersusun dalam bentuk ide-ide, konsep, prinsip-
prinsip, kesimpulan, perencanaan dan solusi

Sedangkan menurut Hymen (1973:4) konten merupakan:

Ilmu pengetahuan (seperti fakta, keterangan, prinsip-prinsip, defenisi), keterampilan dan proses
(seperti membaca, menulis, berhitung, menari, berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan tulisan)
dan nilai-nilai (seperti konsep tentang hal-hal baik, buruk, betul dan salah, indah dan jelek)

Dari dua pengertian yang diajukan, dapat diterima bahwa secara umum konten kurikulum
mencakup tiga komponen utama, yaitu pengetahuan, proses dan nilai-nilai. Namun ada juga ahli
yang membedakan kedua konsep tersebut. John Dewey misalnya, menilai perbedaan materi
dengan ilmu pengetahuan sangat esensil. Bagi ahli yang membedakan mengartikan bahwa
materi atau konten merupakan catatan-catatan tentang pengetahuan (seperti grafik, simbol,
rekaman dll), sedangkan ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu hasil pemahaman dan
pengertian tentang catatan-catatan tersebut sebagai akibat interaksinya dengan pengalaman
individu

Sejalan dengan yang dikemukan, perancang kurikulum yang merancang materi kurikulum harus
menetapkan berdasarkan pertimbangan makna materi tersebut bagi individu. Penetapan
kurikulum tidak hanya dipilih sebagai materi saja, tetapi selalu dipilih sebagai ilmu pengetahuan
(pengetahuan, keterampilan dan ilmu)

Ada dua penyebab yang menimbulkan jurang pemisah antara materi dengan ilmu pengetahuan:

Materi kurikulum gagal ditransformasikan menjadi pengalaman belajar oleh guru melalui
implementasi kurikulum.
Pengalaman anak sangat berbeda dengan pengalaman orang dewasa sehingga materi yang
sama dipahami oleh kedua pihak secara berbeda.

Perbedaan materi dengan ilmu pengetahuan ini dapat menimbulkan ketidakpahaman dan
ketidaksadaran ahli kurikulum atas perbedaan psikologi orang dewasa dan anak-anak. Akibat
yang fatal dari ketidaktahuan perbedaan dua konsep ini menimbulkan anak didik hanya belajar
verbal. Yaitu belajar bagi kepentinngan sekolah, bagi tujuan hafalan dan naik kelas yang
keberhasilan ditentukan pada hasil ujian hafalan. Karena materi yang disampaikan dianggap
orang dewasa sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan anak didik menilainya hanya sekedar
informasi.

2. Proses sebagai konten

Proses pengajaran sebagai lawan dari materi pengajaran sangat penting. Pengajaran konten
kurikulum secara tradisional yang ditekankan pada pemompaan konten sebanyak mungkin
berupa data, informasi, fakta, dalil, rumus dan lain sebagainya. Akibatnya terjadi belajar verbal.
Dalam pelaksanan pemompaan ini sebagai hal yang logis bahwa kalau sebagian besar konten
yang diajarkan itu cepat dilupakan anak, tetapi suatu proses seperti penghafalan, kepenurutan
pada seseorang, ketergantungan pada guru, penerimaan tanpa kritis pada suatu ide tertinggal
dan berbekas dalam benak anak. Walau hal ini tidak diharapkan kurikulum, namun sepertinya
ini yang menjadi hal penting yang terdapat di dalam kurikulum. Meskipun itu hal yang tak
disadari saat menyampaikan kurikulum. Keadaan seperti ini juga sering disebut dengan
kurikulum terselubung.

3. Kegiatan dan pengalaman Belajar

Kegiatan belajar seringkali diasosiasikan dengan kegiatan seperti membaca, mendengar,


menjawab pertanyaan, melakukan perintah guru dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sudah
merupakan merk pelajaran dari suatu kurikulum yang terselubung menjelma menjadi anggapan
anak-anak bahwa kalau tidak ada yang memberikan informasi atau perintah-perintah maka
tidak ada belajar. Meski selama ini tidak terlalu banyak perubahan tingkah laku yang dialami
anak dengan diajarkannya cara-cara seperti itu. Jadi, jangan heran kalau pemompaan informasi,
data, fakta berpengaruh sangat sedikit sekali terhadap perilaku anak.

Untuk mempengaruhi tingkah laku anak ini, kegiatan belajar sebagai komponen pembelajaran
yang sangat penting dan bermanfaat lebih signifikan pengaruhnya, sebab kegiatan-kegiatan
itulah yang mempengaruhi pengalaman dan pendidikan pelajar. Pengalaman belajar jarang
terwujud dari materi atau konten saja, memiliki tujuan yang baik, konten yang tepat serta
prosedur evaluasi yang cocok ternyata juga belum memadai jika kegiatan belajar tidak
diprogramkan untuk menghasilkan pengalaman yang diinginkan.

Implikasi konsep ini adalah bahwa penetapan konten, materi, pokok-pokok bahasan dan tugas
lain yang diselesaikan guna menurut suatu kurikulum saja kurang memadai. Materi tersebut
hendaknya harus dilengkapi dengan kegiatan belajar yang dapat ditransformasikan menjadi
pengalaman siswa. Akibatnya, materi konten yang tersusun rapi perlu suplementasi berupa
kegiatan belajar terencana dan terpadu untuk menimbulkan pengalaman belajar bagi
pencapaian tujuan kurikulum tersebut.

4. Kriteria penetapan konten

a. Signifikansi

Kriteria signifikansi dipakai untuk menetapkan bagian apa dari suatu bidang yang perlu
dimasukkan atau ditekankan.

b. Kebutuhan sosial

Mempertibangkan kebutuhan sosial anak agar mereka memiliki kemampuan untuk


melaksanankan fungsi-fungsi sosial dan meningkatkan nilai-nilai masyarakat. agar berfungsi
sebagai orang dewasa kelak.

c. Kegunaan
Merupakan kriteria yang paling ilmiah jarena diperoleh dari hasil penelitian di lapangan.
Pengetahuan, keterampilan dan sikap seperti apa yang diharapkan masyarakat dari lulusan.
Tujuan pendidikan dan tujuan sekolah dapat pula ditetapkan dengan hasil temuan ini.

d. Minat

Merupakan salah satu usaha untuk membuat kurikulum relevan dengan peserta didik. Hal yang
menjadi minat bagi pelajar perlu dijabarkan untuk menghindari penetapan konsep yang
mungkin tidak sesuau dengan minat mereka seungguhnya

e. Perkembangan manusia

Ini didasarkan pada asumsi bhawa sekolah bukan saja merefleksikan masyarakat, tetappi juga
sebagai alat untuk mencerdaskan dan mengembangkan manusia untuk perubahan sosial.

f. Struktur disiplin ilmu

Kriteria ini didasarkan anggapan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai struktur tersendiri
karena itu materi kurikulum harus mencakup kajian yang menungkinkan anak memahami
struktur bidang ilmu tertentu.

Anda mungkin juga menyukai