Anda di halaman 1dari 28

KONTEKSTUALISASI IJTIHAD ULAMA DALAM MERUMUSKAN

NILAI KEISLAMAN DI ARUS MODERNITAS

(Relevansi Kepemimpinan Ulama Dalam Membangun Tatanan Pluralitas)

Disusun oleh :

IRHAM

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

CABANG GOWA RAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puja dan puji atas keagungan Allah Swt.yang telah memberikan kekuatan
lahir dan batin kepada kami atas segala yang tercipta, nafas-nafas kehidupan dan
jiwa-jiwa yang tenang selalu bersujud dan bermunazat pada sang ilahi robbi,
Tuhan yang maha penyayang sekalipun banyak hamba yang ingkar akan kasih
sayang-NYA, Tuhan yang penuh cinta walau hambanya masih banyak yang
meragukan akan cinta yang Tuhan berikan. Segala puja dan puji yang hanya
untuk-MU duhai Tuhanku yang maha di atas kata Maha.
Sholawat serta salam untuk junjungan Nabi Muhammad saw, seorang
manusia yang luar biasa yang tak pernah mengenal kata lelah, kata bosan dan
jenuh untuk mengajarkan nilai-nilai keislaman di dalam setiap manusia. Ia adalah
manusia yang agung yang bahkan di saat detik-detik terakhir azalnya masih
menyebut umatnya, dengan penuh harap dan kasih akan umatnya agar berada
pada garis ketetapan ajaran islam.
Ucapan terima kasih kepada segenap senior dan teman-teman
seperjuangan di Himpunan Mahasiswa Islam atas bantuan baik secara materi
maupun non materi yang kiranya bagi penulis sangatlah membantu di saat detik
detik waktu intermediate training. Makalah ini di tulis dengan hasil jerihpaya
penulis dan tak terlepas dari bantuan, maksud dari makalah ini adalah bagaimana
majelis ulama indonesia dalam membangun karakter nilai-nilai keislaman di arus
modernitas.
Ucapan permohonan maaf penulis jika dalam kepenulisan makalah ini
terdapat masih banyak kekurangan, kekeliruan serta kesalahan Karena itu tidak
terlepas dari terbatasnya pengetahuan yang dimiliki oleh penulis yang kiranya itu
bisa di maklumi. Semoga adanya tulisan dari makalah ini mampu memberi
manfaat terhadap para pembaca dan sekaligus mampu diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

i
Demikian yang bisa penulis antar lebih dan kurangnya penulis memohon
maaf dan membutuhkan masukan dan kritikan sebab bangunan tak akan berdiri
kokoh tanpa dasar yang kuat.

Makassar,28 Oktober 2019

IRHAM

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 2
C. Tujuan penulisan 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Kontekstualisasi ijtihad 4
B. Nilai keislaman 10
C. Peran ulama dalam merumuskan nilai keIslaman di arus perkembangan
modernitas 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 22
B. Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

BIODATA 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ulama mempunyai posisi tersendiri dalam masyarakat Islam,
meskipun telah terjadi beberapa perubahan dalam bidang penekanan dan bidang
garapannya, mereka tetap memiliki posisi penting sampai sekarang. Hal ini
dikarenakan pengetahuan agamanya yang benar-benar paham dan menguasai,
ini juga didukung oleh beberapa ayat Alqur’an dan hadits Nabi yang
menunjukkan posisi penting seorang ulama. Ulama dalam ajaran Islam
berkedudukan sebagai waratsah al-anbiya’(pewaris para Nabi) yang
secara historis sosiologis memiliki otoritas dalam keagamaan karena itu
ulama sangat dihormati dan disegani baik gagasan maupun pemikirannya.
Dalam berbagai dimensi gagasan dan pemikirannya tersebut dipandang
Mahdhah ialah ibadah dalam arti sempit yaitu aktivitas atau perbuatan yang
sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Maksudnya syarat itu hal-hal yang perlu
dipenuhi sebelum suatu kegiatan itu dilakukan. Sedangkan rukun itu hal-hal,
cara tahapan atau urutan yang harus dilakukan dalam melaksanakan ibadah itu
sebagai kebenaran, dipegang dan diakui secara ketat dan mengikat, dengan kata
lain ulama merupakan kelompok elit keagamaan yang sangat penting. Kategori,
kualifikasi dan ciri khas ulama ditentukan oleh tiga kriteria penting, yaitu bibit,
bebet, dan bobot.
Keulamaan seseorang dihubungkan kepada asal-usul keturunan,
pendidikan dan kualitas keilmuan yang melekat dan dimiliki oleh orang
tadi. Seorang alim yang besar dimungkinkan akan melahirkan anak
keturunannya sebagai alim pula karena faktor keturunan biasanya menyiratkan
adanya potensi kuat yang diwarisi oleh sang ayah atau orang tuanya, tetapi
tidak menjadi kemutlakan seorang ulama mewariskan keulamaannya kepada
keturunannya. Potensi keulamaan ini ditempa dan dikembangkan melalui
jalur dan jenjang pendidikan yang pada urutannya akan menjadikan dia
memiliki bobot keulamaan dengan tingkat kualitas keilmuan yang tinggi.

1
Dalam hubungan ini, tidak tertutup kemungkinan faktor pendidikan juga
memainkan peranan yang lebih jauh dominan yang bisa mengantarkan
seseorang yang bukan keturunan ulama menjadi ulama.
Selanjutnya, berkaitan dengan fungsi ulama sebagai pewaris nabi pada
fungsi tabligh (penyampaian), maka ulama harus mengacu beberapa tugas,
yaitu memberi ketenangan jiwa dan motivasi yang ikhlas. Materi penyampaian
dapat membangkitkan intensitas (kekuatan) imaniah, kemudian direalisasikan
dalam bentuk perbuatan. Sebagai fungsi tibyan, dalam penyampainnya ulama
memerlukan nalar untuk memaparkan ajaran agama secara jelas dan
mudah dipahami. Kemudian sebagai uswatun hasanah, ulama harus menjadi
suri tauladan dan pemimpin yang baik bagi masyarakat. Salah satu peran
sebagai pemuka agama Islam yang patut dicatat ialah posisi sebagai kelompok
terpelajar yang membawa pencerahan pada masyarakat sekitarya.
Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan oleh mereka, baik
dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Lembaga-lembaga tersebut
memiliki kontribusi yang sangat besar dalam meningkatkan pengetahuan,
baik dalam bidang agama maupun bidang ilmu pengetahuan umum. Para
tokoh umat Islam tersebut juga berperan dalam memajukan ilmu
pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya mereka yang ditulis atau
jalur dakwah mereka.Ulama berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan
umat sesuai dengan disiplin ilmu mereka masing-masing.
Pemikiran para ulama menjadi bahan rujukan-rujukan ilmiah yang
selalu dipegangi dan terus digali untuk selalu dikembangkan secara kreatif.
Fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan oleh para ulama selalu menjadi rujukan
pengetahuan, menjadi dasar bimbingan moral dan acuan hukum sehingga
umat tidak terombang-ambing, terutama dalam menghadapi komplektisitas
masalah sosial kemasyarakatan yang selalu timbul dalam kehidupan ini yang
sejalan dengan gerak laju modernitas.

2
B. Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kontektualisasi ijtihad?
2. Apakah yang di maksud nilai keIslaman?
3. Bagaimana peran ulama dalam merumuskan nilai keIslaman di arus
perkembangan modernitas?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui kontekstualisasi ijtihad
2. Untuk mengetahui nilai keIslaman
3. Untuk mengetahui peran ulama dalam merumuskan nilai keIslaman di arus
perkembangan modernitas

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kontekstualisasi ijtihad
Islam sebagai agama universal dipandang mampu untuk dapat berhadapan
dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan
masyarakat yang bersahaja dan tradisionalitas. Ketika berhadapan dengan
masyarakat modern, islam dituntut untuk dapat menghadapinya. Kesiapan islam
menghadapi tantangan zaman inilah yang selalu dipertanyakan oleh para pemikir
islam kontemporer. Dalam hal ini, ijtihad telah terbukti menjadi alat ampuh untuk
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oeh umat Islam sejak masa awal
Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang
baru dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis dapat dipecahkan oleh para
mujtahid. Dengan ijtihad, Islam dapat mampu berkembang dengan pesat menuju
kesempurnaannya. Ijtihad ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Pengertian ijtihad
Pengertian ijtihad menurut bahasa dan istilah Mujtahid menurut bahasa
ialah asal dari kata jahada ‫ جهد‬, yang bermakna sungguh-sungguh, sedangkan
mujtahid ‫ مجتهد‬dari isim fa’il yang bermakna orang yang bersungguh-sungguh.
Ijtihad ‫ اجتهد‬pada asalnya adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam
menuntut atau mengistimbatkan hukum untuk satu tujuan. Untuk menjadi
mujtahid ada beberapa syarat yang membatasi mengingat bahwa ijtihad
merupakan sebuah kegiatan dan aktifitas yang tidak mudah untuk dilakukan.
Oleh karenanya para ushul fiqh telah menetapkan beberapa kriteria yang
mesti dimiliki oleh seorang “mujtahid”, sehingga yang bersangkutan dianggap
layak dan cakap untuk melakukan istimbath al-hukum (penggalian hukum).
Kalangan ulama ushul fiqh kemudian memberikan penamaan terhadap beberapa
persyaratan ini dengan term “al-ahliyyah li al-ijtihad”.

4
Abdul Wahab Khalaf menyebut ada empat ada empat kriteria untuk menjadi
mujtahid, yaitu:
a. Hendaknya sesorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi
sintaktis dan filologinya (cara-cara dalalahnya, susunan kalimatnya dan
satuan-satuan katanya).
b. Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an. Maksudnya
haruslah mengetahui hukum-hukum syar’iyah yang terkandung di
dalamnya dan ayat-ayat yang menyebut hukum-hukum teersebut.
c. Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang as-Sunnah. Artinya
mengerti hukum-hukum syara’ yang ada dalam as-Sunnah dari segi
keshahihan atau kelemahan riwayatnya.
d. Hendaknya ia mengerti segi-segi Qiyas. Misalnya mengerti ‘illat dan
hikmah pembentukan syariat yang dengan itu disyariatkan beberapa
hukum.
Sebaliknya Imam Syatibi hanya mengajukan dua kriteria saja, yang tentunya
sangat berbeda dengan kebanyak ushuliyyun. Menurutnya orang yang berhak
melakukan ijtihad yaitu:
a. Memahami betul nilai universal islam (maqasid syari’ah) yang merupakan
nilai esensi hukum islam.
b. Mampu menggali hukum (istimbath) dari dalil-dalil yang ada dengan
dibangun diatas kemaslahatan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, al-Ghazali menambahkan bahwa
mujtahid adalah seseorang yang dapat memproduksi hukum Islam yang bersifat
zanni. Pada hakikatnya, mujtahid itu menempati posisi Nabi di tengah-tengah
umat dalam rangka menyampaikan risalah Islamiyyah (muballig), penyingkap
(kasyif), penjelas (mubayyin) dan penggali (mustanbit) terhadap kedudukan
hukum syar’I yang belum atau tidak dijelaskan secara tekstual; baik di dalam al-
Qur’an maupun Sunnah. Ulama mempunyai posisi tersendiri dalam masyarakat
Islam, meskipun telah terjadi beberapa perubahan dalam bidang penekanan dan
bidang garapannya, mereka tetap memiliki posisi penting sampai sekarang.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai subyek atau pelaku ijtihad
seorang mujtahid dituntut untuk membekali dirinya dengan beberapa persyaratan

5
(asy-syurut al-ijtihad); baik persyaratan yang bersifat (Asy-Syurut al-asasiyyah)
maupun yang bersifat sekunder (asy-syurut at-takmiliyyah).
2. Syarat Utama Mujathid
Adapun persyaratan yang bersifat primer (asy-syurut al-asaiyyah) adalah
berikut ini:
a. Seorang Mujtahid Mesti Menguasai Bahasa Arab
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa seorang mujtahid secara mutlak
mesti menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya; baik dari
segi tata bahasa (nahwu), sintaksis (sarf), dan sastra (balagah). Di samping itu,
mujtahid mesti memiliki zauq al-arabiyyah (rasa bahasa Arab), sehingga ia dapat
memahami seluruh aspek dan uslub (gaya bahasa) Arab. Persyaratan pertama ini
dapat dipahami dan diterima, dengan pertimbangan bahwa seluruh teks al-Qur’an
dan teks Hadis Nabawi sebagai obyek kajian mujtahid berbahasa Arab.
b. Seorang Mujtahid Mesti Memiliki Pengetahuan yang Memadai tentang
Kitabullah al-Qur’an al-Karim
Persyaratan primer kedua yang wajib dipenuhi oleh seorang mujtahid
adalah pengetahuannya yang memadai tentang Kitabullah al-Qur’an al-Karim. Hal
tersebut dapat dipahami, karena ia merupakan sumber ajaran dan sumber hukum
islam yang pertama dan utama. Untuk merealisir hal tersebut, kalangan ulama
ushul fiqh mempersyaratkan terhadap seorang mujtahid untuk menguasai ‘ulum
al-Qur’an. Dengan bekal ‘ulum al-Qur’an inilah para mujtahid dapat membedah
kandungan al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat
yang mengatur kehidupan manusia.
Sebagian ulama menyatakan bahwa seorang mujtahid sudah dianggap
cukup dengan hanya mengetahui ayat-ayat hukum, sehingga jika dibutuhkan yang
bersangkutan dapat merujuk kepadanya. Imam al-Ghazali tidak mempersyaratkan
seorang mujtahid harus mengetahui dan mengusai seluruh ayat-ayat al-Qur’an.
Akan tetapi, Ghazali menganggap cukup bagi seorang mujtahid menguasai sekitar
500 ayat huku. Pendapat Ghazali ini di dukung oleh Ibn al-‘Arabi, Ibn Qudamah
dan ar-Razi.
c. Seorang Mujtahid Mesti Mempunyai Pengetahuan yang Memadai tentang
As-sunnah (Hadis)

6
Para ulama telah sepakat bahwa segala yang bersumber dari Rasulullah
SAW baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan dan di dukung oleh
periwayatan yang sahih itu menjadi “hujjah syar’iyyah” yang berfungsi sebagai
referensi dan sumber hukum kedua sesudah al-Qur’an al-Karim. Hal tersebut bisa
dimengerti, jika kemudian as-Sunnah dijadikan sebagai persyaratan primair yang
mesti diketahui dan dikuasai secara memadai oleh seorang mujtahid yang hendak
melakukan ijtihad, terutama hadis-hadis yang berkaitan dengan aktifitas
kehidupan mukallaf sebagai subyek hukum yang lebih dikenal dengan hadis-hadis
hukum. Peranan hadis begitu sangat urgen karena ia berfungsi sebagai:
Mubayyin (penjelas), muqarrirah (penetap), dan muakkidah (pendukung)
terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh al-Qur’an, Mufassilah (pemerinci), dan
mufassirah (penjelas/tafsir), muqayyadah (pengikat), dan mukhassis (yang
mengkhususkan) terhadap teks nas al-Qur’an baik yang datang secara mujmal
(global), ,utlaq maupun ‘am. Musbitah (penetap), atau munsyiah (pembentuk)
terhadap hukum yang tidak tersentuh oleh al-Qur’an. Penguasaan mujtahid
terhadap hadis-hadis tersebut berkaitan dengan pengetahuannya terhadap kosa
kata, susunan kalimat, serta penunjukan dari teks matan hadis itu; di samping
yang bersangkutan mesti menguasai “ilmu musthalah al hadis”.
d. Seorang Mujtahid mesti menguasai ilmu Ushul Fiqh
Sebagaimana diketahui, bahwa ushul fiqh menempati posisi yang sangat
urgen dalam rangka memahami penunjukan serta kandungan hukum yang dibawa
oleh teks-teks al-Qur’an maupun hadis. Penguasaan materi ushul fiqh ini
merupakan kemestian bagi seorang mujtahid, sehingga ushul fiqh dijadikan
persyaratan primair yang tidak bisa diabaikan. Dengan menguasai usul fiqh
seorang mujtahid diharapkan dapat mengetahui hakikat dan subtansi suatu hukum
yang didukung oleh seperangkat argumen dalilnya.
Ijtihad harus faham al-Quran. Di samping itu, mujtahid dapat mengetahui
bentuk-bentuk al-Qiyas sebagai metode analogi hukum, serta mengetahui secara
spesifik tentang adanya ‘illat hukum yang terkandung dalam suatu teks nash dan
dampaknya terhadap status hukum sebagai akibatnya. Sehingga, di kalangan
ulama ushul fiqh dikenal sebuah kaidah yang sangat popular berkaitan dengan
‘illat ini, yaitu:

7
‫ا َِّن اْل ُح ْك َم يَد ُْو ُر َم َع ِع ِلتِ ِه ُو ُج ْودًا َو َعدَ ًما‬
Artinya : sesungguhnya hukum itu berputar/beredar bersama ‘illatnya, ada atau
tidak adanya (hukum) itu.
Disamping al-Qiyas, mujtahid pun diharapkan mengetahui dan menguasai
al-Ijma. Disamping persyaratan primair, ada beberpa persyaratan sekunder (asy-
syurut at-takmiliyyah) yang dianggap penting untuk dimiliki oleh soerang
mujtahid, yaitu: Seorang mujtahid diharap memahami persoalan (al-bara’ah al-
asasiyyah). Seorang mujtahid diharapkan memahami maqasid asy-syar’iyyah.
Menguasai qawaid al-fiqhiyyah. Seorang mujtahid mengetahui dan memahami
adat istiadat dan kebudayaan masyarakat. Seorang mujtahid diharapkan dapat
menguasai kasus dan peristiwa hukum yang statusnya diperselisihkan di kalangan
ulama, serta mengetahui faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut.
3. Tingkatan mujtahid
Pembicaraan tentang peringkat (urutan kedudukan) mujtahid berkaitan erat
dengan pemenuhan persyaratan dan kegiatan yang di lakukan dalam ijtihad
sebagaimana disebutkan di atas. Karena ulama berbeda titik pandangnya dalam
menjelaskan macam-macam ijtihad, maka berbeda pula kalangan ulama ushul
dalam membuat peringkat kedudukan mujtahid. Di bawah ini akan disebutkan
peringkat kedudukan mujahid. Di bawah ini akan disebutkan peringkat mujtahid
menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh, yang membuat urutan secara rinci:
a. Mujtahid dalam hukum syara’
Penempatan mujtahid ini dalam rangking pertama karena melihat temuan
hasil yang di capai dan di tetapkannya. Mujtahid ini menggali,menemukan dan
mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum dari Al-
Qur’an dan mengistinbathkan hukum dari hadits Nabi. Ia menggunakan Qiyas
dalam menetapkan hukum atas sesuatu dilihatnya adanya kesamaan ‘illat antara
hukum yang ada nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan
istishan karena dilihatnya qiyas tidak menyelesaikan masalah, dan menetapkan
hukum atas dasar maslahah mursalah, istishab dan dalil lain bila tidak menemukan
nash yang memberi petunjuk.
Mujtahid peringkat pertama ini harus memenuhi segala persyaratan
sebagaimana tersebut di atas, sehingga disebut mujtahid yang sempurna atau “al-

8
kamil” karena dalam berijtihad, ia merintis sendiri dengan menggunakan kaidah
dan ilmu ushul yang disusunnya sendiri. Ia juga termasuk “mujtahid mandiri” atau
“al-mustaqil” karena tidak memiliki keterkaitan dengan suatu kaitan apapun yang
mengurangi derajat ijtihadnya. Juga termasuk “mujtahid mutlaq”.
b. Mujtahid Muntasib
Rangking kedua mujtahid di sebut muntasib, dalam arti ijtihadnya di
hubungkan kepada mujtahid yang lain. Mujtahid ini dalam berijtihadnya memilih
dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh mujahid
terdahulu, namun ia tidak mesti terkait kepada mujtahdi tersebut dalam
menetapkan hukum furu’ (fiqh) meskipun hasil temuan yang ditetapkannya ada
yang kebetulan sama dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid
sebelumnya karena ia berguru kepada mujtahid tersebut dan mengambil cara-cara
yang digunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Dalam beberapa hal pun ia pun
berbeda pendapat dengan gurunya itu.
c. Mujtahid Madzhab
Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang mengikuti imam mazhab tempat ia
bernaung, baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu’. Kalaupun dia melakukan
ijtihad, ijtihaddnya terbatas dalam lingkup masalah yang ketentuan hukumnya
tidak diperoleh dari imam mazhab yang dianutnya. Dengan perkataan lain,
mujtahid mazhab ini berijtihad hanya dalam ruang lingkup mazhabnya, khususnya
terhadap kasus-kasus hukum yang belum dibahas oleh imam mazhabnya.
d. Mujtahid Murajjih
Mujtahid murajjih adalah mujtahid yang berusaha menggali dan mengenal
hukum furu’, namun ia tidak samapai mengistinbathkan sendiri hukum dari dalil
syar’i maupun dari nash imamnya. Pengerahan kemampuannya hanya
menemukan pendapat-pendapat yang pernah diriwatkan dalam mazhab dan
mentarjihkan diantara pendapat-pendapat tersebut bagi pengalamannya. Dibawah
tingkatan mujtahid adalah muttabi (orang yang ber-ittiba’). Ittiba’ artinya
menerima pendapat orang lain dengan mengetahui dasar hukumnya.
e. Mujtahid Muwazzin
Mujtahid muwazzin oleh Abu Zahrah di sebut dengan mustadillin yaitu ulama
yang tidak mempunyai kemampuan untuk mentarjih di antara beberapa pendapat

9
mazhab, tetapi hanya sekedar membanding-bandingkan pendapat dalam mazhab
kemudian berdalil dengan apa yang dianggapnya lebih tepat untuk diamalkan.
f. Golongan Huffaz
Golongan ini tidak melakukan kegiatan ijtihad dalam pengertian istilah (yang
berlaku pada umumnya), tetapi mempunyai kemampuan untuk menghafal dan
mengingat hukum-hukum yang telah ditemukan oleh mujtahid mazhab dengan
mantakhrijkannya dari pendapat imam mazhab. Di samping ia menghafal hukum
yang telah ditetapkan, juga menghafal periwayatannya.
Pendapat golongan huffaz ini tidak punya kekuatan dari segi ijtihad, namun
mempunyai kekuatan dari segi penghafalannya. Golongan ini mempunyai
kekuatan dalam menukilkan periwayatan yang kuat dalam mazhab dan pendapat
yang kuat dari hasil tarjih.
g. Golongan Muqallid
Golongan ini adalah kalangan umat yang tidak mempunyai kemampuan dalam
melakukan ijtihad dalam pengertian istilah (yang berlaku), juga tidak mempunyai
kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, ia juga tidak memahami dalil-
dalil. Dalam beramal ia hanya mengikuti apa yang dikatakan imam mazhab, baik
secara langsung atau menurut apa yang telah dikembangkan oleh pengikut
mazhab.
B. Nilai keIslaman
1. Pembaharuan pemikiran Islam
Paling tidak, ada dua faktor saling tarik-menarik yang menjadikan isu
pembaruan Islam—persisnya pembaruan pemahaman tentang Islam aktual
sekaligus kontroversial sepanjang sejarah pemikiran Islam. Kedua faktor ini
bersifat intrinsik, melekat pada Islam itu sendiri, karenanya dapat dipandang
sebagai watak-watak Islam.
Pertama, watak keuniversalan Islam. Watak ini meniscayakan adanya
pemahaman selalu baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang
selalu berubah, Islam yang universal— dalam arti cocok untuk segala ruang dan
waktu (shalih li-kulli zaman wa makan) menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam
dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya
menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman.

10
Hakikat Islam, kerahmatan dan kesemestaan (rahmat-an lil alamin),
berhubungan secara simbiotik dengan semangat zaman, yaitu kecondongan
kepada kebaruan dan kemajuan. Pencapaian cita-cita kerahmatan dan kesemestaan
(dalam ungkapan lain kemaslahatan untuk semua) sangat tergantung kepada
penemuan- penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan
yang lebih baik, lebih maju. Dengan demikian, keuniversalan mengandung
muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan
ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Kedua, watak kemutlakan Islam. Sebagai agama yang berdasar- kan wahyu
Ilahi Islam diyakini para pemeluknya sebagai kebenaran mutlak (al-haqq).
Keyakinan ini membawa implikasi bahwa Islam adalah sistem nilai yang
mengatasi sistem-sistem nilai lain (ya’lu wa la yu‘la ‘alayh), dan bahkan Islam
merupakan satu-satunya sistem nilai yang absah sedangkan selainnya adalah
absurd. Pemutlakan semacam ini juga mendorong penafian kebenaran dari
ideologi-ideologi modern dan segala bentuk ide serta lembaga yang dilahirkannya.
Pada akhirnya, sikap keberagamaan demikian menentang kemodernan dan
menantangnya dengan ideologi yang dianggap Islami, baik dengan kembali ke
masa lalu mengangkat “Islam sejati” (pristine Islam) seperti ditunjukkan oleh
puritanisme atau konservatisme Islam, maupun dengan menawarkan alternatif
yang menekankan “prinsip-prinsip” Islam seperti ditampilkan oleh prinsipalisme
atau fundamentalisme Islam. Kedua watak Islam di atas, keuniversalan dan
kemutlakan, masing-masing mempunyai sandaran dalam Kitab Suci.
Kemutlakan keagamaan merupakan sikap pandang yang cenderung
meyakini kebenaran subjektif sebagai kebenaran mutlak. Penghayatan tentang
kebenaran, dalam hal ini, mengandung arti “keyakinan adalah kebenaran, dan
kebenaran adalah keyakinan”. Dalam konteks Islam, premis di atas berbunyi
bahwa agama Islam (yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw) adalah kebenaran
mutlak yang tunggal. Segala “yang mungkin benar” atau “yang benar-benar
benar” tapi berasal dari luar Islam adalah “kebenaran palsu” atau “kebenaran
semu”. Begitu pula, keyakinan lain akan kebenaran yang timbul karena perbedaan
penafsiran terhadap Islam itu sendiri akan tidak dibenarkan sebagai kebenaran.

11
Sikap pandang di atas akan menafikan segi-segi kebenaran yang mungkin
ada dalam agama-agama selain Islam (baik samawi maupun ardli), betapapun
distorsi historis dan teologis yang dialami agama-agama tersebut. Penafian ini
dapat dihadapkan dengan pandangan bahwa Islam, dalam konteks agama-agama
terdahulu, mempunyai fungsi tashdiq dan tabyin. Fungsi pertama mengandung
arti konfirmasi dan koreksi, yakni bahwa Islam membenarkan kebenaran-
kebenaran yang masih ada, dan mengoreksi penyimpangan-penyimpangan yang
tejadi dalam agama-agama terdahulu.
Fungsi kedua mengandung arti Islam membawa keterangan dan penjelasan
baru tentang kebenaran- kebenaran itu. Kedua fungsi ini tidaklah dengan ekstrem
dan apriori menolak segi-segi kebenaran universal yang ada dalam proses panjang
bimbingan Tuhan terhadap manusia lewat pengutusan para Rasul (baik yang
dikisahkan maupun yang tidak dikisahkan dalam al-Qur’an).
Dalam konteks tantangan modernitas, absolutisme keagamaan cenderung
melakukan penolakan dan penentangan. Penolakan dan penentangan tersebut
didasarkan pada suatu persepsi bahwa modernitas adalah produk kebudayaan
Barat, sedangkan Barat adalah musuh Islam dan umat Islam secara politik dan
kultural. Karena itu, pembaruan paham keislaman menghadapi tantangan
modernitas itu sendiri harus pula ditolak dan ditentang.
Orientasi keberislaman di atas memuat pertentangan dalam dirinya,
terutama jika dihadapkan kepada misi kerasulan: menye- barkan rahmat kepada
semesta. Seperti telah disebutkan di muka, misi kerasulan tersebut, yang juga
dapat disebut sebagai cita- cita kultural Islam, mengandung arti kemaslahatan
universal.
Karena itu, segala bentuk penemuan dan pengembangan metode dan teknik
mempertinggi kualitas hidup manusia lewat proses modernisasi kebudayaan,
merupakan langkah-langkah yang paralel dengan pewujudan kemaslahatan umum
itu, dan dalam waktu yang sama sinkron dengan cita-cita kultural Islam. Islam,
dalam hal ini, tidak hanya tidak melarang, tapi bahkan “mengharuskan”,
pembaruan pemahaman terhadap dirinya. Karena hanya dengan demikian Islam
menjadi aktual dan fungsional terhadap dinamika kebudayaan.

12
Dalam perspektif di atas, modernisasi paham keislaman merupakan suatu
keniscayaan, seperti halnya modernitas itu sendiri merupakan keniscayaan dari
proses dinamis peradaban manusia. Pembaruan paham keislaman mempunyai
konsekuensi logis terhadap peninjauan dan penelaahan dengan kritis paham-
paham keislaman yang ada selama ini, baik menyangkut bidang kebudayaan
(muamalat), maupun bidang kepercayaan (akidah) yang dapat menghambat proses
penyempurnaan kebudayaan tersebut.
Pembaruan paham keislaman tidak semata-mata bertolak dari asumsi
tentang kerelatifan kebenaran paham-paham yang ada, tapi juga berdasarkan pada
kerelatifan kepenunjukan arti (signifikansi) sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an
yang merupakan dasar dari pemahaman Islam. Sebagai manifestasi pengetahuan
Tuhan Zat Yang Tak Terhingga (unlimited being), maka penyampaian
pengetahuan tersebut harus menggunakan media yang bisa dipahami, yaitu bahasa
manusia yang juga terbatas.
Dalam hal ini, teks al-Qur’an tidak dapat sepenuhnya menyampaikan pesan-
pesan Ilahi yang tak terhingga. Pendekatan tekstual dan literal terhadap al-Qur’an
hanya akan mengantarkan kepada pemahaman dimensi eksoteris (zhahir); tidak
dapat mengantarkan kepada penyingkapan dimensi esoteris (bâthin) ayat-ayat al-
Qur’an. Hal terakhir dapat dilakukan dengan melakukan penakwilan (ta’wil) al-
Qur’an, bukan sekadar penafsiran (tafsir).
Karena itu, pemahaman terhadap al-Qur’an, sebagai dasar pema- haman
Islam, memerlukan pendekatan rasional dan kontekstual. Kendati pendekatan ini
tidak berarti sama secara kualitatif dengan penakwilan, namun ia lebih dalam dari
penafsiran tekstual dan literal. Jika yang terakhir sangat berorientasi kepada
pengertian yang dimunculkan bahasa, maka penafsiran rasional dan kontekstual,
di samping itu, juga mempertimbangkan kesimpulan-kesimpulan logika dan
pesan-pesan moral dari konteks sosio-historis ketika ayat-ayat itu diturunkan,
serta peluang-peluang dari konteks sosio-kultural di mana ia akan diterapkan.
Pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik (hermeneutik) tentu dapat
membawa pemahaman yang lebih luas dan utuh terhadap al-Qur’an.
Pembaruan Islam yang berlangsung selama ini sejatinya mela- kukan
penafsiran al-Qur’an dengan pendekatan rasional dan kontekstual. Pembaruan

13
Islam, dengan demikian adalah rasiona- lisasi pemahaman Islam dan
kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu
pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti upaya penemuan
substansi dan penanggalan lambang-lambang. Sedangkan kontekstualisasi
mengandung arti upaya pengaitan substansi tersebut dengan pelataran sosial-
budaya tertentu dan kemungkinan penggunaan lambang-lambang budaya tersebut
untuk membungkus kembali substansi tersebut.
Dalam ungkapan lain, rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut
sebagai proses substansiasi (pemaknaan secara hakiki etika dan moralitas) Islam
ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi (penanggalan
lambang-lambang) budaya asal (baca: Arab), dan pengalokasian nilai-nilai
tersebut ke dalam budaya baru (lokal). Sebagai proses substansiasi, pembaruan
Islam melibatkan pendekatan substantivistik (menekankan isi daripada bentuk)
terhadap Islam. Hal inilah yang membedakan para pembaru dengan para
pengkritik mereka yang cenderung mempertahankan pendekatan formalistik
(menekankan bentuk) dalam memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Islam.
Perbedaan mendasar antara kelompok pro dan kontra pembaharuan
sesungguhnya terletak pada kerangka metodologis dalam memahami Islam, dan
pada persepsi serta aksentuasi masing- masing terhadap dua watak Islam—
keuniversalan dan kemutlakan. Perbedaan antara keduanya berada dalam gairah
pemahaman atau penafsiran, dan tidak ada kaitannya, karenanya tidak dapat
dikaitkan dengan keimanan atau kekafiran.
2. peta perkembangan gerakan ulama Indonesia
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya pemikiran
intelektual Muslim, yang lebih dikenal dengan “Neo-modernisme Islam” mulai
berkembang pada awal tahun 1970-an. Munculnya gerakan pembaharuan ini
dipicu oleh kesulitan kalangan santri, yang umumnya pendukung ideologi Islam,
untuk bisa berpartisipasi secara produktif dalam sistem pemerintahan Indonesia;
khususnya Orde Baru, karena adanya hambatan teologis. Sistem negara kesatuan
Indonesia belum bisa diterima secara penuh oleh sebagian kalangan umat. Hal itu
yang sering menimbulkan kecurigaan antara umat Islam, baik masa Orde Lama
maupun Orde Baru terutama di masa-masa awalnya. Usaha yang dilakukan

14
gerakan pembaharuan “Neo-Modernisme” berbeda dengan gerakan tokoh-tokoh
pembaharuan sebelumnya, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Yang
pertama menekankan pada rekonstruksi pemikiran teologi, sedangkan yang kedua
bersifat puritan yakni menekankan pada pemurnian pemahaman keagamaan.
Konsentrasi gerakan pembaharuan puritan adalah membersihkan praktek
keagamaan masyarakat yang dipandang tidak memiliki preseden dalam al-Qur’an
dan Sunnah.
Gerakan ini mendukung pentingnya ijtihad, terutama yang berkaitan
dengan hal-hal yang normatif dan penalaran hukum. Hak ijtihad, menurutnya,
tidak hanya terbatas kepada ulama tetapi juga kepada setiap Muslim yang
memiliki kemampuan diharapkan berpartisipasi dalam proses tersebut. Karena itu,
gerakan puritan ini mengecam sikap taklid (mengikuti tanpa mengetahui
alasannya) yang selama ini banyak dipraktikkan masyarakat Muslim dan
tergantung pada otoritas ulama atau kiai.Pandangannya bahwa Islam itu
mencakup semua aspek kehidupan; dunia dan akhirat, maka gerakan pembaharuan
puritan ini tidak jarang menjadikan Islam sebagai ideologi politik perjuangannya.
Sedangkan titik tekan gerakan pembaharuan Neo-Modernisme bukan persoalan
normatif dan penalaran hukum (fikih) tetapi diarahkan kepada reformulasi ide-ide
dasar teologi Islam.
Para pendukung gerakan pembaharuan rekonstrusionis ini adalah para
intelektual Muslim yang memiliki pengetahuan yang berasal dari tradisi
intelektual kaum Muslim dan Barat. Hal ini bukan berarti, tokoh-tokoh
intelektual yang tergabung dalam gerakan ini bersifat monolitik. Pada tingkatan
individu jelas memiliki titik tekan dan perspektif yang beragam, baik terhadap
tradisi intelektual muslim sendiri maupun terhadap terhadap modernitas Barat.
Tetapi mereka memiliki epistemik (kerangka berpikir) yang sama. Mereka
menolak adanya “tirani iman” yang selama ini diidentikkan dengan nalar yang
berasal dari tradisi Islam dan “tirani rasio” yakni ide-ide yang berasal dari
peradaban Barat. Tujuan utama gerakan pembaharuan Islam model ini adalah
menggabungkan semangat “spiritualisme” yang merupakan sumber nilai-nilai
agama dan “rasionalisme” yang menjadi dasar kemajuan peradaban Barat. Titik
tekan pembaharuan Neo Modernisme adalah teologi Islam (kalam), sebab kalam

15
merupakan pondasi keilmuan dan dasar sistem masyarakat Muslim, baik untuk
kehidupan pribadi maupun publik. Karena itu, persoalannya tidak hanya
menyangkut persoalan iman semata (hubungan manusia dengan Tuhan), tetapi
juga berkaitan dengan persoalan kemanusian dan kemasyarakatan; yakni
menyangkut permasalahan kekuasan atau negara (dulu khilafah), hukum (syar‘i),
ortodoksi (husn wa qubh), rasio atau nalar (ijtihad), hakikat tindakan manusia
(qudrah, human agency), komunitas (ummah) dan nilai-nilai kolektifnya seperti
keadilan dan persamaan.
Karena itu, dalam masyarakat Muslim sangat tidak tepat apabila persoalan
agama dapat dipisahkan dari persoalan publik, seperti dalam konsep sekularisme
di Barat. Meskipun antara persoalan agama yang murni (ibadah) dan persoalan
publik (mu‘amalah) bisa dibedakan dari segi hakikat dan cara memahaminya. Neo
Modernisme berusaha untuk merekonfigurasi sistem keyakinan mayoritas Muslim
Indonesia yang didominasi oleh mazhab Asya‘riyah atau Sunni. Sebab sistem
teologi Sunni dianggap tidak memadai untuk dijadikan dasar bagi umat dalam
mengalami kehidupan modern. Kalam Sunni ini menekankan pada
kemahakuasaan Allah dan menolak kebaikan dan keburukan di luar yang sudah
ditetapkan Allah melalui wahyu (al-Qur’an dan Sunnah).
Kalam Sunni pun menolak kemampuan akal manusia (qudrah) untuk
menilai baik atau buruk tindakan manusia. Karena itu sangat menekankan pada
penerapan syariah yang dipandang sebagai representasi dari wahyu dan menjadi
dasar dari etika Islam. Konsekuensinya penganut mazhab Sunni kurang
menghargai usaha untuk melakukan penalaran (ijtihad). Sikap seperti itu awalnya
untuk menjamin supermasi syariat sebagai pembimbing kehidupan ummah dan
untuk melindunginya dari manuver politik yang sembarangan. Namun pada
akhirnya juga berimplikasi pada sistem kekuasaan atau politiknya. Negara
dipandang sebagai pelindung agama dalam hal ini syariat. Implikasi dari hal itu
adalah sistem kekuasaan dalam masyarakat muslim tradisional sangat elitis dan
feodal karena hanya bertumpu pada ulama, sebagai pemegang otoritas syariat
(agama) dan khalifah/sultan sebagai pemegang kekuasaan.
Sedangkan masyarakat Muslim dianggap hanya menjadi obyek kekuasaan
karena dipandang tidak memiliki kemampuan untuk menilai kebaikan dan

16
keburukan suatu tindakan, selain yang telah ditentukan oleh pemegang otoritas
agama dan politik. Sikap seperti itu jelas kurang sesuai dengan tuntutan sistem
kekuasaan negara modern yang memandang manusia sebagai individu rasional
yang memiliki sejumlah potensi. Sistem kekuasaan yang sesuai dengan cara
pandangan yang demikian adalah sistem yang bisa melindungi realisasi potensi
yang dimiliki setiap warganya, yaitu demokrasi. Sistem demokrasi bukan saja
bertujuan untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan politik, hal yang terabaikan
dalam sistem politik Islam selama ini, tetapi juga sistem yang bisa menjaga dan
menghargai nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Sistem ini pun membutuhkan individu-individu yang memiliki nilai-nilai
keadaban seperti persamaan, toleran dalam perbedaan, saling menghargai dan
tidak memaksakan kehendak. Pengetahuan dan sistem kekuasan negara modern
tersebut berasal dari Barat yang berasaskan kepada sekularisme. Artinya
demokrasi dan hak asasi manusia tumbuh di Barat setelah agama dipinggirkan
perannya dari masyarakat sipil, negara dan politik. Akankah agama dalam
masyarakat Muslim pun mengalami hal yang sama untuk menjadi masyarakat
modern Tantangan yang demikian itu yang dihadapi intelektual Muslim di era
modern.
C. Peran ulama dalam merumuskan nilai keIslaman di arus perkembangan
modernitas
Dalam upaya menciptakan subjek Muslim modern, para Ulama tidak
menggunakan konstruksi nalar dan praktik disiplin yang berasal dari tradisi liberal
Barat yang sekular, tetapi mereka merekonstruksinya secara cerdas dengan
menggunakan wacana dan praktik disiplin yang bersumber dari tradisi Islam.
Mereka menggunakan berbagai macam bentuk wacana, ritual dan praktik disiplin,
seperti rekontruksi makna tauhîd, islam, iman, fithrah, reformasi pendidikan dan
hukum Islam, untuk membentuk subyek muslim baru yang diharapkan secara
moral sangat peduli pada kebaikan masyarakat.
Kaum pembaharu menekankan dalam pembentukan subjek Muslim
modern yang menghayati nilai-nilai intrinsik dalam Islam, yang bisa menemukan
makna hidup yang sesungguhnya, bukan pada terbentuknya sikap individualisme
dan sekularisme yang hanya menekankan pada pragmatisme dan materalisme. Hal

17
ini menjelaskan bahwa keyakinan menjadi subjek Muslim dicapai melalui
pengalaman batin yang mendalam dalam menghayati kehadiran Tuhan (taqwa)
dan penggunaan rasionalitas (aql) yang sesuai dengan nalar modern.
Penjelasan kaum pembaharu tentang pentingnya pengalaman batin dan
penghayatan nilai-nilai keislaman dalam pembentukkan subjek Muslim memiliki
analogi dengan pemikiran Foucaults tentang “subyektivitas kebenaran”
(subjectivization of truth), yakni proses yang mengharuskan pengujian dan
dorongan yang terus berkelanjutan terhadap jiwa seseorang sehingga kebenaran
itu benar-benar dihayati. Para ulama menyatakan bahwa Islam bukan sebatas pada
ungkapan yang dangkal dan ritual yang kosong dari makna. Pemikiran dan ritual
ibadah merupakan usaha menanamkan kerohanian melalui refleksi dan latihan.
Ritual merupakan sarana latihan dan pendisiplinan kaum Muslim untuk
lebih dekat kepada Allah baik dalam segi keruhanian maupun dalam tindakan
lahiriah. Ibadah salat, yang mengharuskan gerakan tubuh untuk rukuk dan sujud
secara berulang-ulang, dimaksudkan untuk melatih tubuh, pikiran dan jiwa secara
simultan agar tunduk dan pasrah ke Allah, untuk melakukan tindakan kepasrahan
kepada kebenaran dengan ketaatan diri secara penuh kepada Allah. Tujuan salat
adalah menanamkan sikap kerendahan hati dan kesalehan dalam diri seorang
Muslim Demikian pula dengan ibadah ritual yang lainnya, seperti zakat, yang
lebih nampak sifat lahiriahnya dari pada salat, memiliki tujuan yang sama, yaitu
menanamkan sifat yang utama, yakni keadilan untuk sesama.
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa perintah berzakat selalu diikuti dengan
perintah mendirikan salat. Hal itu menunjukkan bahwa ibadah ritual berfungsi
untuk menciptakan individu yang cenderung kepada kebaikan dan. Pada akhirnya,
akan berimbas ke masyarakat. Dengan demikian, tujuan salat adalah untuk
pendisiplinan dan peningkatan kualitas batin setiap Muslim, sedangkan tujuan
zakat adalah menanamkan kebaikan dan mencapai keadilan sosial.
Secara singkat, aturan dan praktik ritual yang diwajibkan dalam agama
bertujuan untuk menanamkan kebenaran dalam jiwa setiap orang melalui disiplin
diri yang terus menerus (pelatihan tubuh melalui ritual yang berulangulang)
sehingga nilai-nilai yang baik ini tertanam dalam jiwa, dihayati dan menjadi
sesuatu yang tidak terpisahkan dari tindakan-tindakan lahiriah. Kaum pembaharu

18
menjelaskan bahwa proses menciptakan realisasi dan peningkatan kualitas diri
tersebut merupakan bagian yang terpisahkan dalam usaha menciptakan pemikiran
moral subjek Muslim sebagai sesuatu yang melekat pada dirinya (malaka), suatu
konsep yang sejajar dengan habitus, konsep yang dikenalkan oleh Piere Bourdieu.
Sedangkan pada masa modern ini, konsep tentang diri (subjek Muslim)
yang dikemukakan Nurcholish Madjid memiliki fungsi yang berbeda dan
pencapaiannya pun menggunakan sarana yang berbeda pula. Dihadapkan pada
konteks hegemoni kebudayaan Barat yang sekular yang memandang agama
sebagai irasional, respons Nurcholish Madjid adalah berusaha membuktikan
bahwa tradisi Islam dan kaum Muslim bukan lah orang-orang yang tidak rasional.
Karena itu mengikuti model sekularisme barat bukan suatu keharusan bagi bangsa
Indonesia, yang mayoritas memeluk Islam, untuk menjadi bangsa modern.
Berdasarkan hal itu, kaum pembaharu di Indonesia kontemporer
memberikan perhatian yang lebih kepada nalar (rasio) dari pada yang dilakukan
Ibn Taimiyyah atau al-Ghazali dalam menanamkan sikap keruhanian Islam dalam
pembentukan subjek muslim. Dengan menekankan pada pentingnya keruhanian,
seperti yang ditekankan oleh Ibn Taymiyah atau al-Ghazali dalam pembentuk
kepribadian Muslim, namun pada yang saat sama kaum pembaharu juga
menekankan pentingnya penggunaan rasio dalam memahami problema
kerohanian Islam.
Lebih dari pada itu, tujuan kaum pembaharu sangat berbeda dari para
ulama klasik. Mereka “dipaksa” untuk merekonseptualisasi subjektivitas Islam
yang sesuai dengan tuntutan modern beserta lembaga-lembaga dan sikap-sikap
yang dilahirkannya, dari pada menghadapi tantangan formalisme keberagamaan
dan nalar spekulatif dari ahli kalam atau filosof. Namun di sisi lain, pembentukkan
subjek Muslim modern ini juga secara fundamental berbeda dari yang
diasumsikan oleh tradisi liberal Barat sekular.
Kaum pembaharu dalam melakukan reformasi masyarakat Muslim
Indonesia terlihat juga pada strategi yang digunakan. Mereka lebih menekankan
transformasi pada nilai-nilai dan kecenderungan individu melalui berbagai
institusi pendidikan, organisasi masyarakat dan keluarga. Strategi ini sejalan
dengan konsepnya yang menekankan pemahaman substansi Islam dan

19
pembentukan subyek muslim yang baru. Pendekatannya untuk melakukan
perubahan yang dimulai dari level mikro (budaya), dengan membentuk generasi
subyek Muslim, membuatnya berbeda pandangan dengan para aktivis Muslim
sebelumnya yang lebih menekankan pada reformasi dari atas ke bawah, utamanya
melalui sarana politik, yakni gerakan pendukung Masyumi.
Dalam menghadapi keterbatasan pemikiran para ulama terdahulu tersebut,
Nurcholish berusaha mencari jalan keluar tentang hubungan antara wahyu dengan
nalar sebagai fondasi etika muslim modern. Dengan meminjam konsep dari Ibnu
Taimiyah tentang fithrah, bermakna sebagai bentuk alamiah manusia dan
kecenderungan kepada kebaikan, dan nalar sebagai naluri manusia yang bersifat
universal, membuat tindakan etis dan rasional menjadi mungkin pada setiap
tindakan manusia.
Keputusan politik, sepanjang itu sesuai dengan Dengan memandang
bahwa agama (Islam) adalah fithrah yang ada pada setiap manusia, Nurcholish
berusaha untuk mempertahankan iman (agama) dari serangan para pemikir sekular
yang memandang agama sebagai “benda asing” bagi manusia serta
mempertahankan kebebasan nalar manusia dari monopoli epistemologi dan
otoritas ahli kalam dan filosof Islam terdahulu dalam merumuskan sistem
pemikiran untuk mencapai suatu kebenaran tentang Islam.
Karena dalam setiap manusia sudah tertanam dalam dirinya fithrah, maka
setiap individu memiliki potensi untuk meraih kebenaran agama (Islam), bukan
hanya kaum ulama, teolog dan filosof. Dengan demikian, fitrah itu menghasilkan
penilaian yang positif serta pandangan yang optimis tentang manusia. Fithrah
menjadi pangkal adanya segisegi yang positif tentang manusia dan kemanusian.”
tujuan umum syariah, patut mendapatkan status normatif yang harus ditaati.
Dengan demikian para pembaharu berusaha melakukan terobosan baru
untuk keluar dari pertentangan teologi yang terjadi dalam tradisi Islam tentang
nilai etis dari suatu perbuatan. Suatu persoalan yang selama ini menjadi
perdebatan adalah bagaimana menilai suatu perbuatan itu baik atau buruk.
Jawabannya bukan suatu penegasan sederhana, seperti yang dilakukan oleh
mazhab kalam Muktazilah yang dikenal sebagai “rational objectivism”

20
(obyektivisme rasional), yakni mendefinisikan kebaikan dan keburukan
berdasarkan esensinya semata atau hanya pertimbangan rasionalitas murni.
Pemikiran tersebut itu yang kemudian mendapat kritik yang keras dari
kalangan ahli kalam Suni selama beberapa abad. Pandangan kalam Muktazilah
itu, yang dikenal di Barat pada Abad Pertengahan sebagai intellectualism,
memiliki konsekensi tidak bisa menerima perintah Tuhan yang telah diketahui
secara nalar tentang nilai perbuatan tersebut, demikian juga sebaliknya, perbuatan
itu mengikat Tuhan untuk melakukan suatu tindakan tertentu terhadap perbuatan
yang telah diketahui nilainya oleh nalar manusia.
Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan pemikiran ulang tentang
pemikiran teologi dan etika dalam tradisi Islam, khususnya dalam tradisi Sunni,
aliran teologi yang dianut mayoritas masyarakat muslim Indonesia. Sebab
persoalan hubungan antara wahyu-nalar dalam teologi Suni bersifat ambigu.
Seorang ulama atau intelektual dituntut memiliki pemikiran yang rasional, tetapi
sebagai penjaga ortodoks, rasionalitas dianggap tidak efektif dalam menentukan
akibat dari suatu tindakan. Para ahli ilmu kalam Suni memandang bahwa
pengetahuan tentang etika tidak bisa diakses oleh nalar manusia. Dengan
demikian mereka menolak ontologi suatu etika.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemikiran para ulama menjadi bahan rujukan-rujukan ilmiah yang
selalu dipegangi dan terus digali untuk selalu dikembangkan secara kreatif.
Fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan oleh para ulama selalu menjadi rujukan
pengetahuan, menjadi dasar bimbingan moral dan acuan hukum sehingga umat
tidak terombang-ambing, terutama dalam menghadapi komplektisitas masalah
sosial kemasyarakatan yang selalu timbul dalam kehidupan ini yang sejalan
dengan gerak laju modernitas
Hakikat Islam, kerahmatan dan kesemestaan (rahmat-an lil alamin),
berhubungan secara simbiotik dengan semangat zaman, yaitu kecondongan
kepada kebaruan dan kemajuan. Pencapaian cita-cita kerahmatan dan kesemestaan
(dalam ungkapan lain kemaslahatan untuk semua) sangat tergantung kepada
penemuan- penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan
yang lebih baik, lebih maju. Dengan demikian, keuniversalan mengandung
muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan
ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Para ulama menyatakan bahwa Islam bukan sebatas pada ungkapan yang
dangkal dan ritual yang kosong dari makna. Pemikiran dan ritual ibadah
merupakan usaha menanamkan kerohanian melalui refleksi dan latihan.
Ritual merupakan sarana latihan dan pendisiplinan kaum Muslim untuk lebih
dekat kepada Allah baik dalam segi keruhanian maupun dalam tindakan lahiriah
B. Saran
Kita sebagai kader HMI harus berperan aktif dalam menjaga
keharmonisan organisasi HMI sebagai organisasi yang berbasis intelektual, karena
HMI adalah organisasi kader dan sebagai organisasi perjuangan harus selalu
tertanam dalam setiap jiwa kader HMI, salah satunya berjuang membela masrakat
yang lemah, sebagai kader HMI harus terlibat dan berperan penting demi
tercapainya cita-cita masyarakat Indonesia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Mukri, Ahmad, DR, KH, MA. Kontekstualisasi ijtihad dalam diskursus pemikiran
hukum Islam di Indonesia. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Syarifuddin, Amir. USHUL FIQH. Jakarta: Kencana, 2011.
Syarifuddin, Amir. USHUL FIQH jilid 2. Jakarta: Kencana, 2008.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998).
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005).
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1995).
Fazlur Rahman, “Islam: Past Influence and Present Challenge” dalam Alford T.
Welch and Cachia Pierre (ed.), Islam: Challenges and Opportunities
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979).
Harun Nasution, Islam Rasional,
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina,
1992

23
BIODATA DIRI

Irham lahir di Bantaeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 30 oktober 1999,


Menyelesaikan pendidikan SD Inp.Puro’ro 2011, MTs PPMQ HASYIM
ASY’ARI Bantaeng tahun 2014, MA PONPES DDI MATTOANGING Bantaeng
tahun 2017, dan sekarang masih berstatus mahasiswa S1 di Universitas Islam
Negri Alauddin Makassar (UIN Alauddin Makassar), Fakultas Syairah dan
Hukum, dan mengambil jurusan Peradilan Agama / Hukum Acara Peradilan dan
Kekeluargaan.

Kini aktif di berbagai bidang organisasi diantaranya sebagai kader LK-1 di


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), menjabat sebagai anggota bidang Aksi dan
Advokasi di Himpunan Mahasiswa Jurusan Peradilan Agama (HMJ peradilan
Agama), dan menjabat sebagai Ketua bidang Aksi dan Advokasi di organisasi
daerah Himpunan Pelajar Mahasiswa Bantaeng- Raya (HPMB-Raya).

Informasi kontak email irhamrewa93@gmail.com

Via Whatsapp 082393005001

24

Anda mungkin juga menyukai