Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10 – 20 ml cairan yang berfungsi
sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. Akumulasi cairan
melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura
parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura
viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan.
Akumulasi cairan pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa kelainan, antara lain
infeksi dan kasus keganasan di paru atau organ luar paru.

Efusi pleura ganas (EPG) sering terjadi pada kasus kanker dan merupakan salah satu
faktor penyulit pada penatalaksanaan kanker paru. Pada kanker paru karsinoma bukan sel kecil
(KPKBSK) dengan EPG diklasifikasikan sebagai stage IIIB ( T4NxMx) yang prognosisnya tidak
dapat disamakan dengan stage IIIB lain tanpa EPG. Penampakan EPG pada KPKBSK
menggambarkan kondisi terminal (end stage) penyakit keganasan dengan prognosis buruk tetapi
penatalaksanaan EPG yang baik dapat meningkatkan kualiti hidup penderita.3-5Kanker lain yang
juga sering menyebabkan EPG adalah limfoma, kanker payudara, kanker sistem gastrointestinal
dan genitourinaria.

Kanker paru adalah penyakit pertumbuhan jaringan yang tidak dapat terkontrol pada
jaringan paru. Munculnya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak
terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal.

Penyebab utama kanker paru adalah asap rokok yang telah diidentifikasi dapat
menyebabkan kanker dengan 63 jenis bersifat karsinogen dan beracun (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003: 2). Menurut American Cancer Society (2013) 80% kasus kanker paru
disebabkan oleh rokok (perokok aktif) dan 20% (perokok pasif). Penyebab kanker paru lainnya
adalah radiasi dan polusi udara. Selain itu, nutrisi dan genetik terbukti juga berperan dalam
timbulnya kankerparu (Albert & Samet, 2003: 21).
BAB II

EFUSI PLEURA GANAS

2.1 DEFINISI
Efusi pleura ganas didefinisikan sebagai efusi yang terjadi berhubungan dengan
keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel ganas pada pemeriksaan sitologi cairan pleura
atau biopsi pleura. Pada kasus efusi pleura bila tidak ditemukan sel ganas pada cairan atau hasil
biopsi pleura tetapi ditemukan kanker primer di paru atau organ lain, Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
memasukkannya sebagai EPG. Pada beberapa kasus, diagnosis EPG didasarkan pada sifat
keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik/ hemoragik, berulang, masif,
tidak respons terhadap antiinfeksi atau sangat produktif meskipun telah dilakukan torakosentesis
untuk mengurangi volume cairan intrapleura.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Meskipun belum ada penelitian epidemilogi untuk EPG tetapi insidensinya dapat
diestimasi berdasarkan data-data yang ada yaitu sekitar 15% dari seluruh penyakit keganasan.8
Efusi pleura ganas dapat disebabkan oleh hampir semua jenis keganasan, hampir sepertiga kasus
EPG disebabkan oleh kanker paru.9 Penelitian postmortem yang dilakukan di Amerika Serikat
mendapatkan EPG sekitar 15% dari 191 kasus keganasan yang diteliti.10 Dari kasus kematian
karena keganasan pertahun di Amerika Serikat ditemukan EPG 83.000 dari 656.500 kasus
kanker. Pengamatan selama 3 tahun terhadap kasus efusi pleura di RS persahabatan pada tahun
1994-1997 didapatkan EPG 120 dari 229 (52,4%) kasus.12 Berdasarkan jenis sel kanker paru,
kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) adalah penyebab terbanyak EPG, proporsinya
adalah 40% adenokarsinoma, 23% karsinoma sel skuamosa dan hanya 17,6% karsinoma sel
kecil.13 Hal ini mungkin disebabkan jumlah kasus terbanyak kanker paru adalah KPKBSK
sekitar 75% dari seluruh kasus kanker paru. Peneliti lain mendapatkan 50-60% EPG disebabkan
oleh metastasis tumor paru dan payudara di pleura, 25% disebabkan keganasan lain misalnya
limfoma, kanker sistem gastrointestinal dan genitourinaria dan 7-15% tidak diketahui tumor
primernya. Peneliti dari Singapura melakukan biopsi pleura pada 200 pasien dengan efusi pleura
dan mendapatkan sel adenokarsinoma pada 71 kasus.
2.3 ETIOLOGI
Obstruksi limfatik merupakan penyebab terbanyak terjadinya efusi pleura paramalignan
dan merupakan mekanisme paling sering menyebabkan terakumulasinya sejumlah cairan dalam
volume yang besar. Efek lokal lainnya dari suatu tumor juga menyebabkan terbentuknya efusi
pleura paramalignan, yaitu obstruksi bronkus yang mengakibatkan pneumonia ataupun
atelektasis. Selanjutnya, sangat penting untuk mengenali efusi yang berasal dari efek sistemik
tumor dan efek samping terapi

Proses keganasan yang melibatkan pleura merupakan penyebab terbanyak kedua efusi
pleura dengan cairan eksudat setelah penyakit infeksi, dan sebuah penelitian di Baltimore, dari
102 kasus efusi pleura bersifat eksudat, 42% disebabkan oleh keganasan.

Dari seluruh keganasan yang dapat menyebabkan efusi pleura, yang terbanyak adalah
kanker paru (43%), kemudian metastasis karsinoma mammae (25%), disusul limfoma dan
leukemia (8%)

1. Kanker paru. Jenis tumor ini paling banyak menimbulkan efusi pleura ganas. Sedikitnya
40% pasien dengan kanker paru yang telah menyebar luas mengalami efusi pleura.
Hampir semua jenis kanker paru dapat menyebabkan efusi pleura, namun yang paling
sering ditemukan adalah dari jenis adenokarsinoma, sebaliknya insidens efusi pleura pada
karsinoma sel kecil hanya sekitar 10%.
2. Metastasis karsinoma mammae. Penelitian yang dilakukan Fracchia, dari 601 pasien
karsinoma mammae stadium akhir, 48% diantaranya mengalami efusi pleura yang cukup
berat hingga memerlukan penanganan terapeutik. Efusi pleura lebih sering muncul pada
karsinoma mammae dengan penyebaran limfatik (63%). Pada penelitian ini, 58% pasien
mengalami efusi pleura pada sisi ipsilateral dari letak tumor primernya, 26% pada sisi
kontralateral dan 16% bilateral. Waktu rata-rata antara tumbuhnya tumor primer dengan
munculnya efusi pleura adalah 2 tahun, meskipun interval tersebut dapat memanjang
hingga 20 tahun.
3. Limfoma malignum dan Leukemia. Dari berbagai kasus limfoma malignum (baik
Hodgkin maupun non Hodgkin) ternyata 30% bermetastasis ke pleura dan menimbulkan
efusi pleura. Pada pasien dengan leukemia limfositik dan mieloblastikjuga dapat terjadi
efusi pleura meskipun dalam prosentase yang lebih kecil, berturut-turut 12% dan 4%.
Saat pertama didiagnosis limfoma atau leukemia, kebanyakan belum ditemukan efusi
pleura namun rata-rata tidak sampai 2 tahun setelah itu akan terjadi efusi pleura. Dalam
cairan efusi, tidak selalu ditemukan sel ganas seperti pada proses keganasan lain. Efusi
pleura yang biasa terjadi pada limfoma berupa kilotoraks.
4. Mesotelioma. Ini adalah tumor primer yang berasal dari pleura, jarang ditemukan. Bila
tumor masih terlokalisasi, tidak akan menimbulkan efusi pleura, sehingga dikelompokkan
sebagai tumor jinak. Sebaliknya, bila tersebar (difus), dapat menimbulkan efusi pleura
ganas. Kemungkinan mesotelioma ganas harus dipertimbangkan bila hasil sitologi PA
atau biopsi menyatakan adenokarsinoma metastasis, karena bentuk epitelial mesotelioma
ganas sering salah interpretasi sebagai adenokarsinoma. Jika tidak tampak tumor primer,
sebaikknya dilakukan CT scan toraks.

2.4 PATOFISIOLOGI

Rongga pleura dalam keadaan normal mengandung cairan dengan kadar protein rendah
(<1,5g/dl) yang dibentuk oleh pleura viseral dan parietal. Cairan kemudian diserap oleh pleura
parietal melalui pembuluh limfe dan pleura viseral melalui pembuluh darah mikro. (De Camp
MM dkk; 1997 Light, Broaddus; 2000) Produksinya sekitar 0,01 ml/kgBB/jam hampir sama
dengan kecepatan penyerapan dan dalam rongga pleura volume cairan pleura lebih kurang 10 –
20 ml. ( Light; 2000)
Mekanisme ini mengikuti hukum Starling yaitu jumlah pembentukan dan pengeluaran
seimbang sehingga volume dalam rongga pleura tetap. Cairan pleura berfungsi sebagai pelicin
agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. (De Camp MM dkk; 1997, Light,
Broaddus; 2000, Light; 2000) Patofisiologi efusi pleura ganas belum jelas benar tetapi
berkembang beberapa hipotesis untuk menjelaskan mekanisme efusi pleura ganas itu. Akumulasi
efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah karena
reaksiinflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal dan/ atauviseral.
Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung tumor yang berdekatandengan pleura,
obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran hematogen atau tumor primer pleura(mesotelioma).
Gangguan penyerapan cairan oleh pembuluh limfe pada pleura parietal akibat deposit sel kanker
itu menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga pleura. Teori lain menyebutkan terjadi
peningkatan permeabilitas yang disebabkan oleh gangguan fungsi beberapa sitokin antara
laintumor necrosing factor-α (TNF-α), tumor growth factor-β (TGF-β) dan vascular endothelial
growth factor (VEGF). Penulis lain mengaitkan efusi pleura ganas dengan gangguan
metabolisme, menyebabkan hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotik yang memudahkan
perembesan cairan ke rongga pleura.(Syahruddin E dkk; 2009).

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Pada anamnesis kecuali gejala klinis seperti sesak napas yang berkaitan dengan volume
cairan atau keluhan lain maka riwayat perjalanan klinis yang mengarah ke penyakit keganasan
rongga toraks dan organ luar toraks lain harus dapat digali secara baik, sistematik dan tepat.
Faktor risiko untuk penyakit keganasan lain yang dipunyai pasien dapat memperkuat analisis,
misalnya laki-laki usia lebih dari 40 tahun dan perokok atau perempuan dengan riwayat pernah
dikemoterapi untuk kanker payudara. Kebanyakan kasus EPG simptomatis meskipun sekitar
15% datang tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500ml.7-19 Sesak
napas adalah gejala tersering pada kasus EPG terutama jika volume cairan sangat banyak.20-22
Sesak napas terjadi karena refleks neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan
keteregangan (compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum
ke arah kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral.1,21,22Estenne dkk menyimpulkan
bahwa meskipun terjadi perubahan fungsi paru pada penderita EPG misalnya perubahan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja belum memadai untuk dapat
menjelaskan mekanisme sesak. Mereka membuat hipotesis lain yaitu sesak napas terjadi karena
berkurangnya kemampuan meregang otot inspirasi akibat terjadi restriksi toraks oleh cairan.20
Gejala lain adalah nyeri dada sebagai akibat reaksi inflamasi pada pleura parietal, batuk,
anoreksia dan berat badan turun.

2.6 PENEGAKKAN DIAGNOSA


1. Anamnesa
Keluhan : sesak, nyeri dada, batuk, anoreksia dan penurunan berat badan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis bukan hanya berguna untuk menentukan lokasi dan perkiraan volume
cairan saja, tetapi untuk menemukan kelainan lain di tubuh penderita.
 Inspeksi
- Statis : dada tampak cembug
- Dinamis : grakan napas tertinggal
 Palpasi
 Stem fremitus ka=ki melemah
 Perkusi
 Redup / sonor memendek
 Auskultasi

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologis
a. Foto Toraks
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang mengalir bebas
tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling bawah dari rongga pleura, ruang
subpulmonik dan sulkus kostofrenikus lateral. Efusi pleura biasanya terdeteksi pada foto toraks
postero anterior posisi tegak jika jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Tanda awal efusi pleura
yaitu pada foto toraks posterior anterior posisi tegak maka akan dijumpai gambaran sudut
kostofrenikus yang tumpul baik dilihat dari depan maupun dari samping. Dengan jumlah yang
besar, cairan yang mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari foto toraks
postero anterior. (Roberts JR et al, 2014). Berdasarkan foto toraks, efusi pleura terbagi atas
small, moderate dan large. Dikatakan efusi pleura small jika cairan yang mengisi rongga pleura
kurang dari sepertiga hemitoraks. Efusi pleura moderate jika cairan yang mengisi rongga pleura
lebih dari sepertiga tetapi kurang dari setengah hemitoraks. Sedangkan efusi pleura dikatakan
large jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih dari setengah hemitoraks.(Light RW, Lee
YCG, 2008)
Gambar 2.1(a) Efusi pleura kiri pada foto toraks tampak dari postero anterior dan lateral
(b) Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi tersebut.(Roberts JR et al, 2014)

b. USG Toraks
Ada beberapa keuntungan dari penggunaan USG toraks untuk menilai suatu efusi pleura.
USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan dan merupakan tindakan yang tidak
invasif dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien. USG toraks lebih unggul daripada foto toraks
dalam mendiagnosis efusi pleura dan dapat mendeteksi efusi pleura sekecil 5ml. meskipun
beberapa hal yang detail hanya bisa terlihat pada CT scan, USG dapat mengidentifikasi efusi
yang terlokalisir, membedakan cairan dari penebalan pleura, dan dapat membedakan lesi paru
antara yang padat dan cair. USG juga dapat digunakan untuk membedakan penyebab efusi pleura
apakah berasal dari paru atau dari abdomen. Selain itu USG dapat dilakukan di tempat tidur
pasien yang sangat berguna untuk identifikasi cepat lokasi diafragma dan tingkat interkostal
untuk menentukan batas atas efusi pleura.(Roberts JR et al, 2014)

Gambar 2.2 Gambaran efusi pleura pada USG toraks (Lee YCG, 2013)
c. CT Scan Thoraks
Meskipun tindakan torakosentesis biasanya dilakukan berdasarkan temuan foto toraks,
tetapi CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto toraks biasa untuk mendeteksi
efusi pleura yang sangat minimal dan mudah menilai luas, jumlah, dan lokasi dari efusi pleura
yang terlokalisir. Lesi lokulasi bisa tampak samar – samar pada foto toraks biasa. Pada gambaran
CT scan toraks, cairan yang mengalir bebas akan membentuk seperti bulan sabit dapa daerah
paling bawah, sedangkan penumpukan cairan yang terlokalisir akan tetap berbentuk lenticular
dan relatif tetap berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan toraks dapat digunakan untuk
menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa yang mengarah keganasan dan penyakit –
penyakit lain yang menyebabkan efusi pleura eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras intra
vena, CT scan toraks dapat membedakan penyakit parenkim paru, seperti abses paru. Emboli
paru juga dapat terdeteksi dengan menggunakan zat kontras intra vena. CT scan toraks juga
berguna dalam mengidentifikasi patologi mediastinum dan dalam membedakan ascites dari efusi
pleura subpulmonik yang terlokalisir.(Roberts JR et al, 2014)

Gambar 2.3 Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan toraks(Lee YCG, 2013)

d. Torakosintesis Untuk Diagnostic


Torakosintesis yang dilanjutkan dengan analisis cairan pleura dapat dengan cepat
mempersempit diagnosis banding efusi pleura. Sebagian besar cairan pleura berwarna
kekuningan. Temuan ini tidak spesifik karena cairan berwarna kekuningan terdapat pada
berbagai kasus efusi pleura. Namun tampilan warna lain efusi pleura dapat membantu untuk
mendiagnosis penyebab efusi pleura. Cairan yang mengandung darah dapat ditemukan pada
kasus pneumonia, keganasan, dan hemotoraks. Jika warna cairan sangat keruh atau seperti susu
maka sentrifugasi dapat dilakukan untuk membedakan empiema dari kilotoraks atau
pseudokilotoraks. Pada empiema, cairan yang berada di bagian atasakan bersih sedangkan debris
– debris sel akan mengendap di bagian bawah, sedangkan pada kilotoraks ataupun
pseudokilotoraks warna cairan akan tetap sama karena kandungan lipid yang tinggi dalam cairan
pleura. Cairan yang berwarna kecoklatan atau kehitaman dicurigai disebabkan oleh abses hati
oleh infeksi amuba dan infeksi aspergillus. Setelah dilakukan torakosintesis, cairan harus
langsung dikirim untuk analisis biokimia, mikrobiologi dan pemeriksaan sitologi. Analisis
biokimia cairan pleura meliputi menilai kadar protein, pH, laktat dehydrogenase (LDH), glukosa,
dan albumin cairan pleura. Karena rongga pleura terisi oleh cairan, maka protein menjadi
penanda yang penting untuk membedakan apakah cairan pleura termasuk transudat atau
eksudat.(McGrath E, Anderson PB, 2011) Efusi pleura dikatakan ganas jika pada pemeriksaan
sitologi cairan pleura ditemukan sel – sel keganasan. Diagnosis hemotoraks ditegakkan jika ada
bukti trauma dada pada pasien yang menjalani operasi dalam waktu 24 jam terakhir, memiliki
kecenderungan untuk terjadinya pendarahan, serta perbandingan nilai hematokrit cairan pleura
dengan serum lebih besar dari 50%.(Liu YH et al, 2010)

Gambar 2.4 Proses Torakosentesis atau punksi pleura (Roberts JR et al, 2014)
Tabel 2.1Tampilan cairan pleura untuk membantu diagnosis(Light RW, Lee YCG, 2008)
Perkiraan Diagnosis
Warna Cairan
-Kuning pucat (jerami) -Transudat,eksudat pauci-cellular
-Merah (seperti darah)
Hematokrit <5% -Keganasan,BAPE (benign asbestos pleural
effusion),PCIS (post cardiac injury syndrome),
infark paru
Hematokrit cairan -Trauma
Pleura/serum ≥0,5
-Putih susu -Kilotoraks atau efusi pleura karena kolestrol
-Coklat -Efusi pleura menyerupai darah yang sudah
berlangsung lama; pecahnya abses hati amuba
ke rongga pleura
-Hitam -Spora Aspergillus niger
-Kuning Kehijauan -Pleuritis rheumatoid
-Warna dari selang makanan atau infuse vena -Selang makanan masuk ke dalam rongga
sentral pleura, perpindahan kateter ekstravaskuler ke
mediastinum/rongga pleura

Karakteristik cairan
-Nanah -Emfiema
-Kental -Mesotelioma
-Debris -Pleuritis rheumatoid
-Keruh -Eksudat inflamasi atau efusi lipid
-Anchovy paste -Pecahnya abses hati amuba
-Bau atau cairan busuk -Empiema anaerobic
-Ammonia -Urinotoraks
2.7 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan mengurangi gejala
yang ditimbulkan dengan jalan mengevakuasi cairan dari dalam rongga pleura kemudian
mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan terapinya bergantung pada jenis efusi pleura,
stadium, dan penyakit yang mendasarinya. Pertama kita harus menentukan apakah cairan pleura
eksudat atau transudat.(Yu H, 2011)
Penatalaksanaan efusi pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun pemasangan
selang dada. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostik misalnya pada efusi pleura
yang tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu untuk mengevakuasi cairan maupun
udara dari rongga pleura ketika pasien tidak sanggup lagi untuk menunggu dilakukan
pemasangan selang dada misalnya pada pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi cairan
pleura dapat juga dilakukan pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik. Pemasangan
selang dada diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem pernapasan dan
kardiovaskular.(Klopp M, 2013)
Selain torakosentesis, prinsip penanganan efusi pleura adalah dengan mengobati penyakit
yang mendasarinya. Tindakan emergensi diperlukan ketika jumlah cairan efusi tergolong besar,
adanya gangguan pernapasan, ketika fungsi jantung terganggu atau ketika terjadi perdarahan
pleura akibat trauma tidak dapat terkontrol. Drainase rongga pleura juga harus segera dilakukan
pada kasus empiema toraks
Efusi pleura minimal yang disebabkan oleh proses malignansi terkadang akan teratasi
dengan sendirinya setelah dilakukan tindakan kemoterapi, namun tindakan pleurodesis harus
tetap dilakukan setelah cairan berhasil dievakuasi pada kasus di mana efusi pleura berulang atau
ketika jumlah cairan dalam rongga pleura tergolong moderat.(Sato T, 2006)

A.Torakosentesis
Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan yang sederhana
untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi juga untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan akibat efusi pleura tersebut. Tetapi bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang
bukan pilihan yang tepat untuk penanganan efusi pleura ganas yang progresif. Torakosintesis
hanya mengurangi gejala untuk sementara waktu dan akan membutuhkan kunjungan yang
berulang ke rumah sakit untuk melakukannya.(Yu H, 2011)

Indikasi Torakosentesis
Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi diagnostik dan terapeutik
1.)Diagnostik Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat diambil dan
diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi. Untuk pemeriksaan laboratorium dibutuhkan 50
– 100 ml. Sebagian besar efusi pleura yang masih baru terukur lebih dari 10 mm pada foto toraks
posisi lateral dekubitus, CT scan toraks, atau USG toraks.
2.)Terapeutik Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang diakibatkan jumlah cairan yang besar dan
membutuhkan evakuasi segera. Kontraindikasi torakosentesis Tidak ada kontraindikasi untuk
torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan bahwa jika torakosentesis dilakukan dengan tuntunan
USG, maka hal ini aman untuk dilakukan meskipun terdapat kelainan koagulasi. Perhatikan
pasien dengan kelainan koagulasi, termasuk gagal ginjal, tanda – tanda perdarahan yang terjadi
setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat selulitis maupun herpes zoster dengan memilih
lokasi torakosentesis alternative.(Roberts JR et al, 2014)

Kontraindikasi torakosentesis
Tidak ada kontraindikasi untuk torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan bahwa jika
torakosentesis dilakukan dengan tuntunan USG, maka hal ini aman untuk dilakukan meskipun
terdapat kelainan koagulasi. Perhatikan pasien dengan kelainan koagulasi, termasuk gagal ginjal,
tanda – tanda perdarahan yang terjadi setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat selulitis
maupun herpes zoster dengan memilih lokasi torakosentesis alternatif.(Roberts JR et al, 2014)

2.8 KOMPLIKASI
 Kollaps Paru
Hal ini terjadi jika paru – paru dikelilingi kumpulan cairan dalam waktu yang
lama
 Empiema
Bila cairan pleura terinfeksi menjadi abses, yang akan membutuhkan drainase
yang lama
 Pneumothoraks
Merupakan salah satu komplikasi dari toracocentesis
 Gagal napas
2.9 PROGNOSIS
Efusi pleura ganas merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk, dengan median
harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada pria hal ini paling sering
disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita lebih sering karena keganasan pada
payudara. Median angka harapan hidup adalah 3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya.
Efusi yang lebih respon terhadap kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki
harapan hidup yang lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan
analisa biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan pleura dengan
pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan tumor yang lebih berat dan
prognosa yang lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. Management of malignant pleural effusions. Am J Respir


Crit Care Med 2000; 162: 1987-2001.

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker paru ( kanker paru karsino bukan sel kecil).
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.; 2001.

3. Jablons D. Management of the pleural effusions. In: Perry MC editor. American society
of clinical oncology educational book. Alexandria : ASCO; 2004.p.481-7.

4. Putnam JB Jr, Light RW, Rodriguest RM, Ponn R, Olak J, Pollah JS, et al. A randomized
comparison of indwelling pleural catheter and doxycycline pleurodesis in the
management of malignant pleural effusions. Cancer 1999; 86: 1992-9.

5. Burrows CM, Mathews WC, Colt HG. Predicting survival in patients with recurrent
symptomatic malignant pleural effusions. Chest 2000; 104: 73-8.

6. Sallach SM, Sallach JA, Vasquez E, Schultz I, Icvak P. Volume of pleural fluid required
for diagnosis of pleural malignancy. Chest 2002; 122: 1913-7.

7. Antunes G, Neville E, Duffy J, Ali N. BTS guidelines for management of malignant


pleural effusions. Thorax 2003; 58(Suppl II): ii29-ii38.

8. Light RW. Pleural effusion. N Engl J Med 2002; 346: 1971-7.


9. Johnston WW. The malignant pleural effusion: A review of cytopathologic diagnosis of
584 speciment from 472 conseccutive patients. Cancer 1985; 56: 905-9.

10. Rodriguez-Panadero F, Borderas Naranjo F, Lopez Menjias J.Pleural metastatic tumors


and effusions: Frequency and pathogenic mechanism in a post-mortem series. Eur Respir
J 1989; 2: 366-9.

11. Jemal A, Murray T, Samuels A, Ghafoor A, Ward E, Thun MJ. Cancers statistics
2003.CA Cancer J Clin 2003; 53: 5-26.

12. Mangunnegoro H. Masalah efusi pleura di Indonesia. J Respir Indo 1998; 18: 48-50.

13. Subagyo, Jusuf A, Hudoyo A. Efusi pleura ganas. J Respir Indo 1998; 18: 155-60.

14. Ang P, Tan EH, Leong SS, Koh L, Eng P, Agastan P, et al. Primary intrathoracic
malignant effusion. Chest 20021; 120: 50-4.

15. Putnam JB Jr. Malignant Pleural Effusions. Surg Clin North Am 2002; 82: 867-83.

16. DeCamp MM, Mentzer SJ, Swanson SJ, Sugarbaker DJ. Malignant effusive diseases of
pleural and pericardium. Chest 1997; 112: S291-5.

17. Thinkett DR, Amstrong L, Miller AB.Vascular endhotelial growth factor (VEGF) in
inflammatory and malignant pleural effusions. Thorax 1999; 54: 707-10.

18. Cheng D, Rodriguesz RM, Parkett EA. Vascular endhotelial growth factor in pleural
fluid. Chest 1999; 116: 760-5.
19. Journal of respiratory diseases: Managing malignant pleural effusions. Available at:
htth://www.findarticles.com/p/articles/m_mOBSO/is_4_22/ai_74699692.

20. Estenne M, Yernault JC, De Troyer A. Mechanism of relief of dyspnea after


thoracocentesis in patients with large pleural effusions. Am J Med 1983; 74: 813-9.

21. Sahn SA. Malignant pleural effusions. Semin Respir Crit Care Med 2001; 22: 607-15.

22. Antony VB, Loddenkeper R, Astoul P, Boutin C, Golsstraw P Hott J, et al. ERS/ATS
statement. Management of malignant pleural effusions. Eur Respir J 2001. 18: 402-19.

23. Wang ZJ, Reddy GP, Gotway MB, Haggins CB, Johnoni DM, Namaswang M, et al.
Malignant pleural mesothelioma: Evaluation with CT, MR imaging and PET.
Radiographics 2004; 24: 105-19.

24. Schneider DB, Clary-Macy C, Challa S, Sasse KC, Merrick SH, Hawkins R, et al.
Positron emission tomography with f18-fluorodeoxyglucose in the staging and
preoperative evaluation of malignant pleural mesothelioma. J Thorac Cardiovasc Surg
2000; 120: 128-33.

25. Goldstarw P, Asamura H, Bunn P, Crowley J, Jett J, Rami-Porta R, et al. 7th edition on
TNM for lung and pleural tumours. In: Staging manual in thoracic Oncology.
International Association for the Study of Lung Cancer. Ed. Golstraw P.Editorial Rx
Press. Orange Park, 2009, p: 56-65
2.7 PENATALAKSANAAN

Anda mungkin juga menyukai