Anda di halaman 1dari 9

Efusi Pleura Ganas (EPG)

Rongga pleura pada orang sehat berisi sekitar 20 ml cairan. Efusi pleura (Cairan pleura) normal ini
biasanya bersih tidak berwarna, mengandung < 1,5 gr protein/ 100 ml dan 1.500 sel/ microliter.
Cairan ini terdiri dari sel mesothelial, monosit, limposit dan granulosit. Efusi pleura dapat dideteksi
pada foto toraks bila > 50 ml. Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit tumor ganas intratoraks, organ
ekstratoraks maupun keganasan sistemik. Efusi pleura ganas (EPG) sering menimbulkan masalah di
bidang diagnostik maupun penatalaksanaan. Masalah yang perlu ditanggulangi adalah mencari dan
mengobati tumor primer, serta mengatasi gangguan pernapasan akibat akumulasi cairan pleura, yang
mungkin dapat mengancam hidup penderita.
Gejala klinik
Seperti pada penderita efusi pleura lain, EPG memberikan gejala sesak napas, napas pendek, batuk,
nyeri dada dan isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat bergantung pada jumlah cairan dalam rongga
pleura. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi trakea dan/atau
jantung kearah kontralateral, fremitus melemah, perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi
toraks yang sakit.
Pada kanker paru, infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi sekunder akibat perluasan langsung
(inviltrasi), terutama tumor jenis adenokarsinoma yang letaknya perifer. Dapat juga terjadi akibat
metastasis ke pembuluh darah dan getah bening. Bila efuasi pleura terjadi akibat metastasis, cairan
pleuranya banyak mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat
diharapkan memberi hasil positif.
Diagnosis
Diagnosis EPG dapat ditegakan bila didapat sel ganas dari hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura
atau biopsi pleura. Meski terkadang sulit didapatlkan dan dugaan/suspek EPG berdasarkan sifat dan
produktifiti cairan yang dihasilkan. Menegakkan diagnosis EPG serta menetapkan tumor primer yang
menjadi penyebabnya merupakan langkah pertama penanggulangan EPG. Seperti penyakit lain,
anamnesis yang sistematis dan teliti dapat menuju ke pencarian tumor primer. Pemeriksaan jasmani
perlu untuk menentukan lokasi dan tingkat berat ringannya keluhan dan perlu tidaknya tindakan
segera untuk mengurangi keluhan dan terkadang untuk menyalamatkan nyawa penderita.
Pemeriksaan fisik menyeluruh perlu dilakukan untuk mencari tumor primer. Pemeriksaan
laboratorium cairan pleura dapat memastikan cairan adalah eksudat. Pemeriksaan sitologi cairan
pleura adalah hal yang tidak boleh dilupakan jika kita menduga EPG. Pemeriksan radiologik dengan
foto toraks PA/Lateral untuk menilai masif tidaknya cairan yang terbentuk, juga kemungkinan melihat
terdapatnya tumor primer. Untuk mendapatkan data yang informatif, pemeriksaan CT-Scan toraks
sebaiknya dilakukan setelah cairan dapat dikurangi semaksimal mungkin. Pemeriksaan penunjang
lain seperti biopsi pleura akan sangat membantu. Tindakan bronkoskopi, biopsi transtorakal, USG
toraks, dan torakotomi eksplorasi adalah prosedur tindakan yang terkadang perlu dilakukan untuk
penegakan diagnosis.
Penatalaksanaan
Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksaannya yaltu pengobatan lokal dan
pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan dengan stage dan jenis tumor. Tidak jarang
tumor primer sulit diternukan, maka aspek pengobatan lokal menjadi pilihan dengan tujuan untuk
mengurangi sesak napas yang sangat mengganggu, terutama bila produksi cairan berlebihan dan
cepat. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan WSD dan pleurodesis
untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat dipakal, antara lain talk, tetrasikiin, mitomisin-
C, adriamisin dan bleomisin.
Bila tumor primer berasal dari paru dan dari cairan pleura diternukan sel ganas maka EPG termasuk
T4, tetapi bila diternukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila setelah dilakukan
berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan, dan tumor-tumor di luar paru juga tidak
dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal dari paru. Apabila tumor primer diternukan di luar
paru, maka EPG ini termasuk gejala sisternik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan
penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya.
Alur Diagnosis Efusi Pleura Ganas
EFUSI PLEURA GANAS, etiologi

Efusi pleura ganas (EPG) adalah efusi pleura yang disebabkan oleh proses keganasan, baik
primer atau sekunder atau metastasis. Cairan efusi biasanya berupa eksudat, namun sebagian
kecil dapat bersifat transudat. EPG biasanya unilateral sesuai letak proses keganasan
meskipun dapat pula bilateral.Ciri lain efusi pleura ini adalah banyaknya jumlah cairan dan
cepatnya cairan terakumulasi kembali di rongga pleura meskipun telah dilakukan
torakosentesis berkali-kali.

Etiologi
Proses keganasan yang melibatkan pleura merupakan penyebab terbanyak kedua efusi pleura
dengan cairan eksudat setelah penyakit infeksi, dan sebuah penelitian di Baltimore, dari 102
kasus efusi pleura bersifat eksudat, 42% disebabkan oleh keganasan.
Dari seluruh keganasan yang dapat menyebabkan efusi pleura, yang terbanyak adalah kanker
paru (43%), kemudian metastasis karsinoma mammae (25%), disusul limfoma dan leukemia
(8%)

1. Kanker paru. Jenis tumor ini paling banyak menimbulkan efusi pleura ganas.
Sedikitnya 40% pasien dengan kanker paru yang telah menyebar luas mengalami
efusi pleura. Hampir semua jenis kanker paru dapat menyebabkan efusi pleura, namun
yang paling sering ditemukan adalah dari jenis adenokarsinoma, sebaliknya insidens
efusi pleura pada karsinoma sel kecil hanya sekitar 10%.
2. Metastasis karsinoma mammae. Penelitian yang dilakukan Fracchia, dari 601
pasien karsinoma mammae stadium akhir, 48% diantaranya mengalami efusi pleura
yang cukup berat hingga memerlukan penanganan terapeutik. Efusi pleura lebih
sering muncul pada karsinoma mammae dengan penyebaran limfatik (63%). Pada
penelitian ini, 58% pasien mengalami efusi pleura pada sisi ipsilateral dari letak tumor
primernya, 26% pada sisi kontralateral dan 16% bilateral. Waktu rata-rata antara
tumbuhnya tumor primer dengan munculnya efusi pleura adalah 2 tahun, meskipun
interval tersebut dapat memanjang hingga 20 tahun.
3. Limfoma malignum dan Leukemia. Dari berbagai kasus limfoma malignum (baik
Hodgkin maupun non Hodgkin) ternyata 30% bermetastasis ke pleura dan
menimbulkan efusi pleura. Pada pasien dengan leukemia limfositik dan
mieloblastikjuga dapat terjadi efusi pleura meskipun dalam prosentase yang lebih
kecil, berturut-turut 12% dan 4%. Saat pertama didiagnosis limfoma atau leukemia,
kebanyakan belum ditemukan efusi pleura namun rata-rata tidak sampai 2 tahun
setelah itu akan terjadi efusi pleura. Dalam cairan efusi, tidak selalu ditemukan sel
ganas seperti pada proses keganasan lain. Efusi pleura yang biasa terjadi pada
limfoma berupa kilotoraks.
4. Mesotelioma. Ini adalah tumor primer yang berasal dari pleura, jarang ditemukan.
Bila tumor masih terlokalisasi, tidak akan menimbulkan efusi pleura, sehingga
dikelompokkan sebagai tumor jinak. Sebaliknya, bila tersebar (difus), dapat
menimbulkan efusi pleura ganas. Kemungkinan mesotelioma ganas harus
dipertimbangkan bila hasil sitologi PA atau biopsi menyatakan adenokarsinoma
metastasis, karena bentuk epitelial mesotelioma ganas sering salah interpretasi sebagai
adenokarsinoma. Jika tidak tampak tumor primer, sebaikknya dilakukan CT scan
toraks.

EFUSI PLEURA GANAS, patofisiologi

Ada berbagai mekanisme timbulnya efusi pleura pada keganasan, secara garis besar dibagi
menjadi langsung dan tidak langsung sebagai berikut:
Secara langsung
o Metastasis ke pleura dengan peningkatan permeabilitas permukaan pleura

o Metastasis dengan obstruksi pembuluh limfe di pleura

o Pembesaran kelenjar getah bening mediastinum yang mengakibatkan


penurunan kemampuan drainase pleura melalui sistem limfatik
o Sumbatan di duktus torakikus (kilotoraks)
o Obstruksi bronkus, menyebabkan penurunan tekanan intrapleura

o Gangguan perikardial

Secara tidak langsung

o Hipoproteinemia

o Emboli paru

o Pasca radioterapi

Beberapa pasien dengan tumor yang bemetastasis ke pleura akan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas permukaan pleura sehingga volume cairan yang masuk ke rongga pleura akan
lebih banyak daripada volume cairan yang dapat dikeluarkan. Sebaliknya, penurunan
kemampuan untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura juga dapat menyebabkan
terjadinya efusi pleura. Penurunan drainase limfatik ini disebabkan oleh dua mekanisme yang
berbeda.

Mekanisme pertama, karena cairan yang meninggalkan rongga pleura menuju daerah
pembuluh limfe di pleura parietal, maka metastasis di pleura parietal dapat menyumbat
saluran tersebut sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengeluarkan
cairan dari rongga pleura dan pada akhirnya akan terjadi penumpukan cairan pleura.

Mekanisme kedua, karena pembuluh limfe dari pleura parietal terutama mengalir menuju
kelenjar getah bening mediastinal, maka suatu keganasan yang menyerang daerah mediastinal
baik itu primer atau metastasis akan menyebabkan penyumbatan saluran ini sehingga
kemampuan drainase cairan pleura berkurang.

Keganasan juga dapat menimbulkan efusi pleura dengan penyumbatan duktus torakikus dan
efusi pleura yang terjadi adalah kilotoraks. Keganasan adalah penyebab kedua kilotoraks
sedang penyebab tersering adalah trauma. Dari seluruh keganasan yang menyebabkan
kilotoraks, 70% disebabkan oleh limfoma.

Mekanisme lainnya adalah obstruksi bronkus. Ketika neoplasma menyebabkan obstruksi


bronkus utama atau bronkus salah satu lobus, parenkim paru sebelah distal tempat obstruksi
akan mengalami atelektasis. Atelektasis paru atau bronkus akan menyebabkan timbulnya
tekanan negatif dalam rongga pleura sehingga akan terjadi akumulasi cairan dalam rongga
pleura dan pada akhirnya akan terbentuk efusi pleura.

Efusi perikardial yang disebabkan peningkatan tekanan hidrostatik baik sistemik maupun
lokal (pada sirkulasi pulmonal), bisa menyebabkan timbulnya efusi pleura dan biasanya jenis
transudat. Tidak semua efusi pleura ganas disebabkan oleh kelainan intratorakal akibat
keganasan. Banyak pasien keganasan mengalami malnutrisi sehingga terjadi hipoproteinemia,
dan kondisi ini dapat menimbulkan efusi pleura.

Emboli paru yang sering terjadi pada keganasan sering menyebabkann efusi pleura. Selain itu
pasien dengan keganasan intratoraks sering menjalani radioterapi pada toraks, dan terapi ini
dapat menyebabkan efusi pleura. Efusi pleura bisa juga terjadi pada beberapa jenis
kemoterapi.
ANALISIS CAIRAN PLEURA

Dalam keadaan normal, pembentukan lapisan tipis cairan antara pleura parietal dan pleura
viseral (disebut cairan pleura) merupakan ultrafiltrasi plasma. Kedua pleura bekerja seperti
membran semipermiabel, sehingga kadar molekul kecil (misalnya glukosa) sama dengan
plasma, sedangkan kadar molekul besar (seperti albumin) kadarnya sangat rendah bila
dibandingkan dengan kadar dalam plasma.

Perbedaan transudat & eksudat


Cairan pleura normal tampak seperti air jernih dan tidak berbau. Cairan normal ini
mengandung sekitar 1000 sel per mililiter, sebagian besar sel mesotelial kemudian sel-sel
lainnya adalah monosit dan limfosit. Komposisi normal cairan pleura bisa dilihat di sini.
Abnormalitas cairan pleura, dengan dukungan pemeriksaan lain, biasanya berhasil untuk
menentukan atau konfirmasi penyebab efusi pleura.

Chilotoraks
Berbagai uji pemeriksaan bisa dilakukan, namun pemeriksaan gross dan mikroskopik, dan
perbedaan kadar protein total dan LDH cairan pleura dibandingkan dengan plasma, biasanya
cukup untuk menentukan apakah cairan tersebut transudat atau eksudat. Hasil pemeriksaan
tersebut biasanya bisa didapatkan dalam beberapa jam. Bila hasilnya eksudat, perlu
dipertimbangkan pemeriksaan kimia, bakteriologi dan sitologi.

Gambaran makroskopis
Transudat biasanya jernih, kadang warnanya sedikit kuning. Eksudat biasanya mengandung
lebih banyak sel dan protein, warnanya lebih gelap, lebih keruh. Eksudat, berisi sejumlah
besar sel, berhubungan dengan pneumonia, biasanya tampak seperti awan, sedangtkan cairan
empiema tampak opak dan kental. Cairan pleura yang kaya dengan kolesterol mempunyai ciri
khas tampak kemilau seperti satin. Efusi kilous (chilotoraks) warnanya putih seperti susu.

Gambaran mikroskopis
Informasi penting berkaitan dengan etiologi efusibisa didapatkan dari pemeriksaan komposisi
selular cairan pleura. Efusi pleura disertai darah yang tampak dengan mata telanjang (kadar
eritrosit >100.000/mm3 disebabkan oleh trauma, infark pulmonal atau keganasan.
Pemeriksaan lain bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Pemeriksaan Nilai Kondisi yang biasanya berkaitan


abnormal
Jumlah Eritrosit > 100.000 Malignansi, trauma, emboli pulmonary
(/mm3)
Jumlah Leukosit > 10.000 Infeksi pyogenik
(/mm3)
Neutrofil (%) > 50 Pleuritis akut
Limfosit > 90 Tuberkulosis, keganasan
Eosinofilia > 10 Asbestos effusion, pneumotoraks, sembuh dari
infeksi
Sel mesotelial Nihil Tuberkulosis
Protein (CP/S)* > 0,5 Eksudat
LDH (CP/S) > 0,6 Eksudat
LDH (IU)** > 200 Eksudat
Glukosa (mg/dl) < 60 Empyema, Tuberkulosis, malignansi, rheumatoid
arthritis
pH < 7,20 Efusi parapneumonik dengan komplikasi, empyena,
ruptur oesofagus, tuberculosis, kganasan,
rheumatoid arthritis
Amilase (CP/S) > 1 Pankreatitis
Bakteriologik Positif Disebabkan infeksi
Sitologi Positif Diagnosis malignansi

*CP/P = rasio kadar dalam cairan pleura dibandingkan dengan dalam serum
**IU = kadar dalam International Units

Sumber: Fishman's, Pulmonary diseases and disorder

PLEURA, fungsi

Pleura terdiri atas pleura parietal dan pleura viseral. Pada keadaan normal, terdapat sedikit
cairan diantara permukaan serosa kedua pleura, yang selalu mengalami pergantian. Selain
berfungsi sebagai lapisan dalam rongga pleura agar tidak menimbulkan friksi, membran ini
juga berhubungan dengan transportasi cairan. Komposisi normal cairan pleura sebagai
berikut:
Struktur pleura
Volume :0,1-0,2 ml/kgBB
Jumlah sel / mm3 : 1000-5000

o sel mesotelial: 3-70%

o monosit :30-75%

o limfosit : 2-30%

o granulosit : 10%

Protein : 1-2 g/dl

o % albumin : 50-70%

Glukosa : ~ kadar dalam plasma

LDH :< 50% kadar dalam plasma

pH : > plasma

Jarak antara pleura viseral dan parietal dalam rongga pleura sebesar 5-10 mm, berisi cairan
dan sel bebas.Cairan tersebut mengandung glikosaminoglikan, terutama hialuronat, yang
berfungsi sebagai pelicin. Tekanan hidrostatik dalam kapiler serosa mendorong cairan dalam
aliran darah menembus dinding kaliper dan masuk ke rongga pleura, sebaliknya tekanan
osmotik kapiler akan menarik cairan dari rongga pleura masuk ke dalam aliran darah.

Tekanan hidrostatik normal dalam kapiler pleura parietal serupa dengan kapiler sistemik
lainnya (sekitar 25 mmHg), sedang tekanan dalam rongga pleura sedikit subatmosfer, rata-
rata sekitar -3 mmHg. Perbedaan tekanan hidrostatik tersebut menyebabkan filtrasi cairan
dari kapiler pleura parietal menuju rongga pleura. Berlawanan dengan tekanan hidrostatik,
perbedaan tekanan onkotik akibat kadar protein plasma lebih tinggi dibanding cairan pleura
sehingga terjadi reabsorbsi cairan dalam rongga pleura menuju ke kapiler pleura parietal.
Karena perbedaan tekanan hidrostatik (25 + 3 = 28 mmHg) lebih besar daripada perbedaan
tekanan onkotik (21 mmHg) maka terjadi filtrasi cairan dari kapiler menuju rongga pleura.

Dalam kapiler pleura viseral, keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik hasilnya
sebaliknya, meskipun tekanan onkotik besarnya sama dengan kapiler parietal, tekanan
hidrostatik kapiler pleura viseral lebih rendah dan lebih dekat dengan tekanan arteri pulmonar
(sekitar 10 mmHg). Akhirnya, keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik menyebabkan
reasorbsi cairan dari rongga pleura menembus permukaan pleura viseral. Mesotelium juga
berperan dalam reasorbsi cairan pleura.

Sistem limfa pada pleura parietal berfungsi menjaga kelebihan cairan dalam rongga pleura
dan mengembalikan protein dalam rongga pleura ke dalam sirkulasi plasma. Kadar protein
dalam kapiler pleura parietal dan viseral lebih tinggi daripada dalam rongga pleura, sehingga
sejumlah kecil protein secara terus menerus akan masuk ke rongga pleura. Jika tidak ada
mekanisme yang mampu mengeluarkan protein dari rongga pleura maka tekanan onkotik
rongga pleura meningkat dan menarik cairan sehingga terjadi akumulasi cairan dalam rongga
pleura. Sistem limfa dalam pleura mengeluarkan protein dari rongga pleura dalam jumlah
tertentu sehingga terjadi perbedaan kadar protein dalam plasma dan rongga pleura, hasilnya
adalah volume cairan pleura relatif konstan.

PLEURA, anatomi dan histologi

Anatomi pleura
Pleura merupakan lapisan selubung permukaan rongga pleura dan isinya, terdiri atas pleura
viseral dan pleura parietal. Pleura viseral menyelubungi paru sampai ke celah interlobus,
sedang pleura parietal melapisi dinding toraks, sisi lateral mediastinum, membran
suprapleura, thoracic inlet, dan diafragma sisi toraks.
Pleura viseral menerima perdarahan dari arteri bronkialis sedangkan pleura parietal menerima
darah dari sirkulasi sistemik (arteri interosteal, mamari interna, dan frenik. Pembuluh balik
(vena) berjalan paralel dengan arteri.

Kedua jenis lapisan pleura memiliki pleksus limfatik. Dari pleura viseral dialirkan ke kelenjar
limfe pulmoner di hilus, sedangkan yang berasal dari pleura parietal anterior dialirkan
melalui jaringan interkosta. Aliran limfe pleura diafragmatika menuju kelenjar limfe
mediastinum bawah. Limfe di pleura parietal bawah mengalir ke kelenjar limfe
retroperitoneal di regio adrenal dan ginjal. Aliran limfe keluar dari parenkim paru ke pleura
viseral terjadi dengan bantuan katup pembuluh limfe. Aliran limfe ini membantu menjelaskan
penyebaran tumor ganas dan infeksi dari dalam paru ke pleura viseral.

Persyarafan pleura parietal dan viseral, sebagaimana peritoneum, berbeda. Pleura parietal
mendapatkan persyarafan dari serabut syaraf interkosta, mengantarkan sensori nyeri. Sedang
pleura viseral mendapat serabut saraf dari vagus dan trunkus simpatik tanpa sensori rasa
nyeri.

Gambaran histologi pleura viseral berbeda dengan pleura parietal. Pleura terdiri atas selapis
sel mesotel pipih bersandar pada mambran basal dengan lapisan jaringan ikat submesotel
yang tebalnya bervariasi. Sel mesotel di bagian dasar dan kaudal paru mengandung lebih
banyak mikrovili dibandingkan sel mesotel di daerah iga, dipercaya menghasilkan substansi
musin dan mukopolisakarida untuk mengurangi pergesekan di tempat ini, serta fungsi
absorbsi cairan. Kandungan mikrovili lebih banyak terdapat pada sel mesotel pada pleura
viseral dibandingkan dengan parietal. Lapisan mesotel di pleura parietal memiliki stomata
yang memungkinkan hubungan langsung antara rongga pleura dan saluran limfe di
bawahnya.

Sel mesotel pleura mudah rusak dan mengelupas dalam jumlah besar pada berbagai kelainan
patologik. Perbaikan kerusakan tersebut melibatkan proliferasi berbagai sel, termasuk sel
mesotel, sel jaringan ikat submesotelial dan makrofag

Anda mungkin juga menyukai