Oleh :
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI, DELIMA PUTIH,
KECOMBRANG, KEMUNING, DAN JATI BELANDA TERHADAP
PENGHAMBATAN HEMOLISIS SEL ERITROSIT MANUSIA
SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
F24103103
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI, DELIMA PUTIH,
KECOMBRANG, KEMUNING, DAN JATI BELANDA TERHADAP
PENGHAMBATAN HEMOLISIS SEL ERITROSIT MANUSIA
SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
IANRE MEIKO RENALDO SIAGIAN
F24103103
Menyetujui :
Bogor, Agustus 2007
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr.Ir.Dahrul Syah
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
i
delima putih sebesar 5.88 %, bunga kecombrang sebesar 1.38 %, daun kemuning
sebesar 4.65 %, dan daun jati belanda sebesar 6.05 %.
Analisis kimia yang dilakukan terhadap hasil ekstraksi antara lain analisis
total kandungan fenol dan kapasitas antioksidan dengan menggunakan DPPH.
Analisis total kandungan fenol akan memberikan data mengenai kuantitas
komponen fenolik pada hasil ekstraksi. Sedangkan analisis kapasitas antioksidan
akan memberikan data mengenai aktivitas pereduksi radikal bebas oleh komponen
aktif pada hasil ekstraksi, diantaranya merupakan komponen fenolik.
Analisis total kandungan fenol dilakukan terhadap hasil ekstrak masing-
masing pelarut. Berdasarkan pengujian, kandungan fenol hasil ekstraksi pelarut
akuades pada daun ceremai sebesar 41.57x102 ppm, daun delima putih sebesar
62.31x102 ppm, bunga kecombrang sebesar 16.57x102 ppm, daun kemuning
sebesar 44.11x102 ppm, dan daun jati belanda sebesar 4.44x102 ppm. Sedangkan
kandungan fenol hasil ekstraksi pelarut etanol pada daun ceremai sebesar
32.24x102 ppm, daun delima putih sebesar 81.37x102 ppm , bunga kecombrang
sebesar 25.84x102 ppm, daun kemuning sebesar 77.84x102 ppm, dan daun jati
belanda sebesar 15.51x102 ppm.
Analisis kapasitas antioksidan dengan menggunakan DPPH dilakukan
terhadap hasil ekstrak masing-masing pelarut. Berdasarkan pengujian, kapasitas
antioksidan hasil ekstraksi pelarut akuades pada daun ceremai sebesar 86.31 %,
daun delima putih sebesar 87.47 %, bunga kecombrang 92.76 %, daun kemuning
sebesar 80.45 %, dan daun jati belanda sebesar 83.83 %. Sedangkan kapasitas
antioksidan hasil ekstraksi pelarut etanol pada daun ceremai sebesar 92.51 %,
daun delima putih sebesar 86.40 %, bunga kecombrang sebesar 93.42 %, daun
kemuning sebesar 70.86 %, dan daun jati belanda sebesar 79.04 %.
Sel eritrosit yang telah diisolasi akan diinkubasi dengan menggunakan
media Phosphat Buffered Saline. Ke dalam suspensi eritrosit ini ditambahkan
larutan pengoksidasi yaitu hidrogen peroksida (H2O2) 0.5 % dan formaldehid 5 %.
Uji respons perlindungan eritrosit dilakukan dengan penambahan hasil ekstrak
kepada masing-masing suspensi dan pembacaan nilai absorbansi pada
Spectrophotometer Microplate Reader selama 120 menit pada selang waktu 20
menit.
Hasil ekstraksi yang ditambahkan memiliki 3 konsentrasi, yaitu C1
(perbandingan sampel segar dua kali lebih banyak dari konsumsi normal pada
pelarut), C2 (perbandingan sampel segar sama dengan konsumsi normal pada
pelarut), dan C3 (perbandingan sampel segar setengah dari konsumsi normal pada
pelarut).
Berdasarkan pengamatan diperoleh data aktivitas penghambatan hemolisis
dengan menggunakan larutan penguji H2O2 0.5 %, tertinggi dicapai ekstrak C2
ceremai akuades sebesar 98.06 %. Aktivitas penghambatan hemolisis terkecil
dicapai ekstrak C3 delima etanol sebesar 12.01 %. Aktivitas penghambatan
hemolisis awal (menit ke-0) tertinggi dicapai ekstrak C1 ceremai etanol sebesar
90.84 % dan terendah diperoleh ekstrak C3 kecombrang akuades sebesar 30 %.
Aktivitas penghambatan hemolisis akhir (menit ke-120) tertinggi dicapai ekstrak
C2 ceremai akuades sebesar 98.06 %, dan terendah diperoleh ekstrak C1
kemuning akuades sebesar 28.74 %.
Aktivitas penghambatan hemolisis dengan menggunakan larutan penguji
formaldehid 5 %, tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning etanol sebesar 99.53 %.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus sehingga penulis
dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini
dengan baik. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
sebesar-besarnya serta permohonan maaf atas semua hal yang kurang berkenan
selama ini kepada ;
1. Prof. Dr. Ir. Fransisca Zakaria Rungkat, MSc selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam studi dan
penyelesaian skripsi ini.
2. Dr. Ir. Sukarno yang telah berkenan menguji dan memberi masukan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Dias Indrasti, STP selaku dosen penguji atas kesediaan menguji dan saran-
saran yang diberikan kepada penulis.
4. H.M.Siagian dan R.Sinaga, kakakku : Linggom, Donni, Susi, dan Asido
atas perhatian, kesabaran, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanannya
yang selalu diberikan kepada penulis.
5. Buat Agnes, yang selalu menemani, memberi kasih sayang, pengorbanan,
pemikiran dan dukungan, serta semua tingkah laku dan perbuatan yang
pernah dilakukannya secara sadar atau tidak (SuarakuwAbzJDNygNd.
Panahnyanah???), I Always Love U.
6. Temanku satu bimbingan Novi, atas perhatian, dukungan, masukan dan
semangatnya.
7. Anak malam dan gamers TPG’40 (Teddy, Ryal, Aca, Steph, Widhi, Iin,
Dini, Hendi, Agus) untuk waktu dan masukan-masukannya.
8. Teman-temanku sekost (Kaninta, Martin, Steph, Hengky) yang telah
menemani penulis melewati hari-harinya, khusus Babeh atas pengorbanan
komputernya.
9. Kakak-kakakku tercinta Paula dan Ratna, serta saudaraku Andal, atas
bantuan, tawa, dan kebersamaannya.
v
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B. TUJUAN .............................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
A. CEREMAI (Phyllanthus acidus [L.] Skeels) ...................................... 3
B. DELIMA PUTIH (Punica granatum Linn) ........................................ 4
C. KECOMBRANG (Nicolaia speciosa Horan)..................................... 6
D. KEMUNING (Murraya paniculata [L.] Jack) ................................... 7
E. JATI BELANDA (Guazoma ulmifolia Lamk) .................................... 8
F. ERITROSIT ........................................................................................ 9
G. HEMOLISIS ERITROSIT .................................................................. 10
H. ANTIOKSIDAN ................................................................................. 13
I. KOMPONEN FENOLIK .................................................................... 16
J. PENGGUNAAN SEL ERITROSIT UNTUK UJI IN VITRO ............ 17
III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 20
A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 20
B. METODE PENELITIAN .................................................................... 21
1. Ekstraksi .......................................................................................... 21
1.1. Ekstraksi dengan pelarut akuades ............................................ 22
1.2. Ekstraksi dengan pelarut etanol ............................................... 22
1.3. Persiapan hasil ekstraksi untuk inkubasi sel eritrosit ............... 23
2. Analisis Kimia................................................................................. 23
2.1. Analisis kadar air metode oven ................................................ 23
2.2. Analisis kadar protein .............................................................. 24
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Ceremai .............................................................................. 4
Gambar 2. Delima putih ........................................................................ 5
Gambar 3. Kecombrang ....................................................................... 6
Gambar 4. Kemuning ........................................................................... 8
Gambar 5. Jati belanda .......................................................................... 9
Gambar 6. Sel eritrosit .......................................................................... 10
Gambar 7. Perbandingan eritrosit, trombosit, dan leukosit................... 10
Gambar 8. Mekanisme reaksi antioksidan pada DPPH ........................ 15
Gambar 9. Hasil pemisahan sel eritrosit menggunakan Hystopaque .... 27
Gambar 10. Total kandungan fenol hasil ekstraksi ................................. 34
Gambar 11. Kapasitas antioksidan ekstrak dengan metode DPPH......... 36
Gambar 12. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak ceremai akuades ...................................................... 41
Gambar 13. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak ceremai etanol ......................................................... 41
Gambar 14. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak delima akuades ....................................................... 43
Gambar 15. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak delima etanol........................................................... 43
Gambar 16. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kecombran akuades ................................................ 44
Gambar 17. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kecombrang etanol ................................................. 45
Gambar 18. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kemuning akuades .................................................. 45
Gambar 19. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kemuning etanol ..................................................... 46
Gambar 20. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak jati belanda akuades ................................................ 47
Gambar 21. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak jati belanda etanol ................................................... 48
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak ....................... 65
Lampiran 2. Data persentase penghambatan hemolisis sel eritrosit .. 66
Lampiran 3. Perhitungan kurva standar total kandungan fenol ......... 73
Lampiran 4. Perhitungan kapasitas antioksidan (DPPH) .................. 74
Lampiran 5. Inform Concern ............................................................. 75
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbagai jenis tanaman telah dipercaya berkhasiat untuk meningkatkan
atau menjaga kesehatan seseorang. Indonesia memiliki banyak sekali jenis
tanaman obat yang belum sepenuhnya diteliti kandungan dan khasiatnya.
Seperti diketahui, penduduk Indonesia telah sejak lama menggunakan
berbagai tanaman tersebut secara tradisional dalam bentuk ramuan untuk
pengobatan atau bahan olahan pangan sehari-hari.
Terdapat lima tanaman yang memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi salah satu komponen pangan fungsional. Tanaman tersebut antara lain
adalah Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.), Delima Putih (Punica
granatum Linn), Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan), Kemuning
(Murraya paniculata [L..] Jack.) dan Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk).
Kelima tanaman ini mengandung komponen aktif yang dipercaya memiliki
aktivitas antioksidan yang cukup tinggi seperti komponen fenolik.
Pengembangan suatu produk pangan memerlukan beberapa langkah-
langkah tertentu agar dapat diterima sebagai salah satu produk yang dipercaya
bersifat fungsional. Metode uji untuk memastikan fungsionalitas dari bahan
pangan atau pangan olahan sangat penting untuk menentukan dosis keamanan,
klaim dan pelabelan. Uji bioavailabilitas dan fungsi metabolik juga bersifat
esensial karena hasil analisa kimia mengenai kadar suatu senyawa belum tentu
merefleksikan fungsionalitasnya karena adanya faktor-faktor pencernaan,
metabolisme, dan matriks bahan pangan yang mempengaruhi ketersediaan zat
tersebut (Zakaria et.al., 2001).
Umumnya, pengujian aktivitas komponen suatu senyawa dalam bahan
pangan dapat memberikan data positif atau negatif berkaitan dengan
interaksinya secara in vivo atau in vitro. Hasil positif yang dimaksudkan di
sini dapat berarti aktivitasnya dalam memperkuat fungsi-fungsi tubuh atau
kapasitasnya sebagai antioksidan, sedangkan hasil negatif sendiri berarti
adanya kemungkinan komponen tersebut dapat mengakibatkan kerusakan
seperti toksik bagi sel-sel biologis dalam tubuh.
2
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas antioksidan (aktivitas
penghambatan hemolisis) ekstrak daun ceremai, daun delima putih, daun jati
belanda, daun kemuning, dan bunga kecombrang secara in vitro terhadap sel
eritrosit. Tujuan lain penelitian ini adalah mengembangkan potensi tanaman
indigenus Indonesia dan memperoleh data-data yang dapat dijadikan salah
satu acuan dalam pengembangan pangan fungsional.
3
F. Eritrosit
Eritrosit adalah sel darah merah dan terdapat sekitar 4 – 6 juta/mm3.
diameternya 6.6 – 7.5 um, namun ada pula yang diameternya lebih dari 9 um
(macrocytes) atau kurang dari 6 um (microcytes). Sel darah merah kaya
hemoglobin, suatu protein yang dapat mengikat oksigen. Dengan begitu, sel darah
merah bertanggungjawab untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang sebagian karbondioksida. Namun, kebanyakan CO2 dibawa oleh
plasma dalam bentuk karbonat terlarut.
Eritrosit merupakan sel yang sangat terdiferensiasi, berupa kantung-
kantung dikelilingi oleh membran plasma yang mengandung hemoglobin. Sebesar
33% berat sel eritrosit merupakan hemoglobin. Eritrosit yang telah dewasa, selain
tidak mengandung nukleus, ribosom, dan mitokondria, juga telah kehilangan
kemampuan untuk mensintesis protein dan metabolisme aerobik. Selain itu,
eritrosit yang telah dewasa juga telah kehilangan kemampuannya untuk
mensintesis membran yang baru (Weiss et.al., 1977).
Sel darah merah mamalia yang tidak memiliki nukleus, membuat lebih
banyak ruang bagi hemoglobin. Selain itu, bentuknya yang bikonkaf
meningkatkan rasio volume permukaan dan sitoplasma. Karakteristik ini membuat
10
difusi oksigen lebih mudah pada sel darah merah. Dengan mikroskop elektron,
eritrosit dapat memiliki berbagai macam bentuk, yaitu normal (discocyte).,
crenated, echinocyte, codocyte, oat, bulan sabit, helmet, pinched, pointed,
berlekuk, poikilocyte, dan sebagainya. Paruh hidup eritrosit sendiri adalah sekitar
120 hari.
Eritrosit sendiri memiliki beberapa sistem membran yang dapat
melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida
dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam
askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air
(berada di plasma) dan α-tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal
bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit (Qin Yan Zhu et.al., 2002).
3
1
G. Hemolisis eritrosit
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit disebabkan oleh kehadiran tiba-tiba
larutan merah cerah yang berasal dari hemoglobin keluar dari eritrosit, dan sering
digunakan untuk mengukur kecepatan penetrasi suatu komponen masuk ke dalam
eritrosit (Girrese, 1979). Parameter-parameter yang penting dan dapat digunakan
untuk mendeteksi kerusakan akibat toksik pada membran eritrosit antara lain
adalah hemolisis, kehilangan ion potasium, autooksidasi membran lipid,
perubahan fluiditas eritrosit, perubahan bentuk membran, pengendapan protein
11
membran, dan perubahan rasio volume terhadap luas permukaan membran sel
(Luke et.al., 1987).
Eritrosit sangat mudah mengalami lipid peroksidasi dikarenakan
kandungan lemak tidak jenuh ganda yang sangat tinggi, kandungan oksigen yang
tinggi, dan keberadaan logam transisi. PUFA, fosfolipid, dan kolesterol bebas
adalah dasar dan konstituen permanen bagi membran seluler. Membran-membran
seluler ini terbentuk dalam lapisan bilayer dimana senyawa makromolekul protein
seperti reseptor, pembawa spesifik, dan enzim dimasukkan. Pada sistem biologis,
PUFA merupakan komponen esensial dari biomembran, yang bersifat sangat
rentan terhadap peroksidasi (Bermond, 1990).
Oleh sebab itu, eritrosit merupakan media yang tepat untuk menganalisa
kapasitas antioksidan ataupun daya toksik suatu zat tertentu secara in vitro,
terutama terhadap stabilitas biomembrannya. Reactive oxygen species (ROS) yang
terbentuk pada fase air atau lipid dapat menyerang membran eritrosit yang
mengakibatkan oksidasi lipid dan protein, memicu kerusakan membran yang
berakibat pada terjadinya hemolisis (Qin Yan Zhu et.al.,, 2002).
Pada fungsi fisiologis normal, mayoritas ROS diproduksi pada rantai
transport elektron di dalam mitokondria, karena sebanyak 90% konsumsi oksigen
oleh tubuh direduksi menjadi air terjadi di mitokondria. Walaupun begitu, ROS
juga dihasilkan di jalur biokimia lain pada tubuh. Contohnya, proses
penghancuran oleh neutrofil terhadap bakteri, virus, dan senyawa xenobiotik, β-
oksidasi dari lemak, aktivasi sitokrom P450 dan lainnya (Ji, 1999)
Oksigen merupakan elektron penerima yang sifatnya universal berfungsi
menghasilkan energi bagi organisme aerobik dari dalam bahan pangan seperti
karbohidrat, lemak, dan protein. Proses katabolisme dapat menghasilkan radikal
bebas oksigen dan reactive oxygen species (ROS) seperti superoksida (°O2-),
radikal hidroksil (OH°), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Ji, 1999).
H2O2 dapat dihasilkan dari proses pengubahan °O2- (superoksida) yang
dihasilkan dari hasil kerja enzim superoksida dismutase (SOD) yang terdapat pada
membran eritrosit. H2O2 yang terbentuk nantinya akan diubah menjadi air (H2O)
oleh enzim katalase dan glutation peroksidasi. Hidrogen peroksida sendiri
merupakan oksidator yang tidak terlalu berbahaya, akan tetapi kehadiran ion
12
logam transisi seperti besi, yang diubah dari bentuk ferric menjadi ferrous oleh
°O2-, dapat bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan radikal hidroksil (°OH)
yang sangat reaktif (Yoshikawa et.al., 1997). Reaksi H2O2 dan Fe2+ digambarkan
sebagai berikut ; H2O2 + Fe2+ → Fe3+ + OHº + OH-.
Kekurangan pada sistem antioksidan, terjadinya proses oksidasi yang
tinggi, atau terjadinya beberapa kelainan pada darah seperti β-thalasemia, sickle
cell anemia, dan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase dapat meningkatkan
kecenderungan eritrosit terhadap peroksidasi (Qin Yan Zhu et.al., 2002).
Penggunaan eritrosit sebagai media uji kapasitas antioksidan alami dapat
menentukan kekuatan aktivitas antioksidan tersebut, interaksinya dengan sel
hidup, dan kemungkinan sinergisme dengan keberadaan komponen lain dalam
sistem seluler.
Pengujian aktivitas anti hemolisis pada sel darah merah banyak dilakukan
dengan penambahan larutan pengoksidasi seperti H2O2 atau senyawa-senyawa
aldehid (asetaldehid, formaldehid, dan glutaraldehid). Senyawa-senyawa aldehid
dapat bereaksi mengakibatkan hemolisis dengan banyak cara. Formaldehid
bereaksi dengan protein dan asam nukleat, yang dapat mengakibatkan kerusakan
membran. Dalam sistem tubuh manusia, terdapat beberapa enzim yang dapat
mengkatalisis oksidasi formaldehid menjadi asam format. Salah satu enzim
terpenting adalah NAD-dependent formaldehyde-dehydrogenase, yang
membutuhkan GSH (reduced glutathione) sebagai kofaktor (Andel et.al., 2002).
Sedikitnya ada 7 enzim berfungsi sebagai katalisator oksidasi formaldehid
pada jaringan mahluk hidup, antara lain ; aldehid dehidrogenase, xantinoksidase,
katalase, peroksidase, gliserinaldehid-3-fosfat dehidrogenase, aldehid oksidase,
dan DPN-dependent formaldehyde dehydrogenase. Proses oksidasi tersebut terjadi
sebagian besar di hati, tetapi juga terjadi di eritrosit, otak, ginjal, dan otot (Andel
et.al., 2002).
Hasil penelitian oleh Horwitt (1956), menunjukkan bahwa persentase
hemolisis pada panelis dengan suplai tokoferol dan tidak disuplai tokoferol
mengalami kenaikan dan penurunan selama selang waktu pengamatan. Pengujian
dilakukan dengan metode absorbansi pada panjang gelombang 540 nm dari
13
suspensi eritrosit yang telah didiamkan selama 3 jam dan diagitasi pada selang
waktu 15 menit agar sel eritrosit tetap tersuspensi pada larutan balanced salt.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Qin Yan Zhu (2002), terhadap
aktivitas penghambatan hemolisis eritrosit menggunakan ekstrak kokoa yang
diinduksi dengan AAPH (2,2’-azo-bis (2-amidinopropane) dihidroklorid). Ekstrak
kokoa dihilangkan kandungan lemaknya dengan menggunakan aseton dan
dibandingkan dengan aktivitas penghambatan hemolisis dari asam askorbat pada
konsentrasi 2, 4, 6, dan 8 mg/ml. Ekstrak kokoa memberikan nilai aktivitas
penghambatan hemolisis lebih tinggi dibandingkan dengan asam askorbat pada
masing-masing konsentrasi. Nilai aktivitas penghambatan hemolisis dengan
ekstrak kokoa mencapai 60 %, dan asam askorbat mencapai 40 % pada
konsentrasi 8 mg/ml.
Penelitian yang dilakukan oleh Lanping (2000), menunjukkan aktivitas
penghambatan hemolisis menggunakan komponen polifenol ekstrak teh hijau
(epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin, dan epigalokatekin galat). Pada
penelitian ini, hemolisis eritrosit diinduksi secara in vitro dengan menggunakan
berbagai konsentrasi AAPH (2,2’-azo-bis (2-amidinopropane). Hasil penelitian ini
dinyatakan sebagai persentase hemolisis sel eritrosit pada rentang waktu
pengamatan 60 hingga 240 menit. Persentase hemolisis terendah terdapat pada sel
eritrosit yang ditambahkan epigalokatekin galat 30.0 mmol/L (konsentrasi
tertinggi) yaitu 20 %. Pada penelitian ini juga dilakukan perbandingan interaksi
komponen polifenol (30.0 mmol/L) secara langsung terhadap sel eritrosit yang
diinduksi oleh AAPH. Penambahan epikatekin menyebabkan hemolisis sel
eritrosit hingga 80 %, lebih tinggi bila dibandingkan kontrol sel eritrosit tanpa
penambahan komponen polifenol yaitu 65 %.
H. Antioksidan
Antioksidan merupakan jenis senyawa yang digunakan untuk menangkap
radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dengan menstabilkan
radikal tersebut. Senyawa ini berfungsi untuk melindungi bahan pangan dari
kerusakan karena terjadinya reaksi oksidasi lemak yang menjadikan bahan pangan
yang berasa dan beraroma tengik (Andarwulan, 1995).
14
5) Chelating agent atau sekustran, seperti asam sitrat, asam amino, EDTA,
yang mengkelat ion logam seperti tembaga (Cu) dan besi (Fe) yang
mengkatalisis oksidasi lemak.
Sedangkan menurut Ranney (1979), antioksidan dapat digolongkan
menjadi tiga berdasarkan prinsip kerja dalam mencegah oksidasi, yaitu :
1) Antioksidan gugus fenol dan amin aromatik yang akan bereaksi dengan
radikal bebas dari sistem membentuk produk substrat non-radikal dan
radikal antioksidan
2) Antioksidan yang dapat menghilangkan molekul-molekul hidroperoksida
dari substrat tetapi tanpa melibatkan radikal bebas
3) Antioksidan menginaktifkan logam yang digunakan untuk mempercepat
reaksi oksidasi.
Komponen antioksidan yang ada pada alam mempunyai struktur kimia
yang berbeda-beda. Pada umumnya senyawa tersebut adalah asam amino, asam
askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavanoid, melanoidin, asam organik tertentu,
zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin, dan tokoferol (Dugan, 1985)
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa cara..
DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil)
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol dan
berwarna ungu tua. Pada metode DPPH, pencegahan radikal DPPH biasanya
diikuti dengan pengamatan terhadap penurunan nilai absorbansi pada 515 nm
yang terjadi akibat reaksi antara antioksidan (AH) atau reaksi dengan radikal.
DPPH° + AH → DPPH-H +A°
DPPH° + R → DPPH-R
N N
N• NH
NO2 NO2 NO2 NO2
+ AOH
NO2 NO2
Reaksi yang cepat dari radikal DPPH terjadi dengan beberapa polifenol,
termasuk tokoferol, tetapi reaksi sekunder yang lambat dapat menyebabkan
penurunan yang progresif pada nilai absorbansi, oleh sebab itu keadaan tetap
(steady state) mungkin tidak tercapai pada beberapa saat lamanya. Beberapa
laporan mengatakan bahwa aktivitas pencegahan terjadi setelah 15 hingga 30
menit. (Gordon, 1992)
I. Komponen fenolik
Senyawa fenolik merupakan senyawa kimia yang memiliki satu buah
cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi, termasuk
turunan fungsionalnya (ester, metil ester, glikosida, dan lainnya). Kebanyakan
polifenol memiliki 2 atau lebih grup hidroksil dan merupakan komponen bioaktif
yang terdapat secara luas pada pangan nabati (Tang, 1992).
Senyawa ini merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman.
Kebanyakan komponen fenolik pada tanaman terdapat pada vakuola dari tanaman
tersebut, oleh sebab itu, kebanyakan dari polifenol yang telah dikenal luas
memiliki potensi untuk bereaksi dengan protein atau komponen sitoplasma
lainnya (Tang, 1992).
Senyawa polifenol tanaman banyak terdapat pada kulit kayu, batang, daun,
buah, akar, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt, 1992). Pada tanaman, komponen
fenolik digunakan sebagai respons perlindungan terhadap serangan patogen.
Komponen fenolik dapat terdiri dari fenol-fenol sederhana, asam fenolik,
turunanan asam hidroksinamat, dan flavanoids (Tang, 1992).
Senyawa fenol pada tanaman dapat mengalami berbagai reaksi. Salah
satunya adalah browning enzimatis. Reaksi ini diakibatkan oleh polifenol oksidase
pada tanaman tersebut. Proses tersebut dapat mengakibatkan penurunan
kandungan gizi dan perubahan warna serta flavor. Proses kompleks polifenol
dapat terjadi secara reversible atau irreversible dan dapat melibatkan banyak
komponen, seperti protein, polisakarida, alkaloid, antosianin, dan lainnya. Fenolik
bebas dan produk oksidasinya dapat berinteraksi dengan protein makanan dan
menghambat aktivitas enzim seperti oksidase, tripsin, arginase dan lipase
(Haslam, 1992).
17
maka pertumbuhan sel akan terhambat. Kapasitas buffer dari medium dapat
ditingkatkan dengan keberadaan fosfat pada balanced salt solution.
Suhu dipertahankan 370C dengan konsentrasi CO2 5% dan O2 95% untuk
menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh
langsung terhadap sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan
kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer
(Freshney,1994).
20
2. Alat
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu :
1. Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu
aquades dan etanol 96 %. Bagian tanaman yang diekstrak adalah daun
(ceremai, delima putih, kemuning, jati belanda) dan bunga (kecombrang).
Hasil ekstraksi kemudian dianalisis kapasitas antioksidan dan total
fenolnya. Proses ekstraksi menggunakan perbandingan bahan segar dan
pelarut sebanyak dua kali konsentrasi normal, atau disebut C1.
Perbandingan bahan segar dan pelarut pada konsentrasi normal dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Konsumsi normal masyarakat terhadap kelima tanaman
Tanaman Konsumsi Normal
Bahan segar (g) Pelarut (ml)
a
Daun ceremai 3 – 25 200
b
Daun delima putih 5 – 10 200
c
Bunga kecombrang 20 – 50 200
d
Daun kemuning 20 – 60 200
e
Daun jati belanda 5 – 10 150
a a
) IPTEK , 2005
b
) IPTEKb, 2005
c
) Warintek.Ristek., 2005
d
) IPTEKc, 2005
e
) IPTEKd, 2005
22
2. Analisis Kimia
Analisis kimia yang dilakukan mencakup analisis kadar air, kadar
protein, kadar total fenol, dan kapasitas antioksidan. Pengujian kadar air
dan kadar protein dilakukan terhadap sampel segar tanaman, sedangkan
kadar total fenol dan kapasitas antioksidan dilakukan terhadap hasil
ekstraksi tanaman.
Sel limfosit
Sel eritrosit
Keterangan :
Abs. Kontrol Negatif : Absorbansi suspensi eritrosit + oksidator
Abs. Sampel : [(Absorbansi suspensi eritrosit + hasil ekstraksi +
oksidator)-(Absorbansi hasil ekstraksi)]
29
1. Ekstraksi
Tahap ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu
akuades dan etanol 96 %. Ekstraksi dilakukan pada daun ceremai, delima
putih, jati belanda, dan kemuning, sedangkan pada kecombrang, ekstraksi
dilakukan pada bunganya. Bagian tanaman tersebut merupakan bagian
tanaman yang umum untuk dikonsumsi oleh masyarakat secara tradisional.
Proses ekstraksi harus dilakukan dengan menggunakan pelarut yang
sesuai. Pelarut polar digunakan untuk mengekstrak komponen polar pula, dan
sebaliknya. Selain itu, rasio pelarut dan sampel yang hendak diekstrak, suhu
yang digunakan selama proses ekstraksi, serta lamanya proses ekstraksi juga
turut menentukan hasil yang didapatkan selama proses ekstraksi.
Akuades digunakan sebagai pelarut karena umum digunakan dalam
proses ekstraksi pada kehidupan sehari-hari. Sedangkan pelarut etanol
digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi daripada aquades sehingga
diharapkan lebih banyak melarutkan komponen polar. Umumnya, komponen
terlarut yang dapat diperoleh dengan menggunakan pelarut akuades atau
etanol adalah komponen fenolik (Shahidi et.al., 1995).
Menurut Shahidi (1995), pelarut yang sering digunakan untuk proses
ekstraksi polifenol meliputi metanol, etanol, aseton, air, etil asetat, propanol,
dimetilformamide, dan kombinasi antara pelarut-pelarut tersebut. Kelarutan
polifenol diatur oleh tipe pelarut yang digunakan, derajat polimerisasi fenolik,
interaksi komponen fenolik dengan komponen lainnya dalam sampel yang
memungkinkan terjadinya kompleks yang tidak larut. Etanol dan air
digunakan untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan
kimianya secara jelas untuk alasan keamanan (Depkes, 2000). Walaupun
begitu, belum ada pelarut yang cocok digunakan untuk isolasi seluruh kelas
atau kelas yang spesifik saja dari komponen fenolik (Shahidi et.al., 1995).
Proses ekstraksi sampel dilakukan dalam keadaan basah, artinya
sampel tidak mengalami proses pengeringan terlebih dahulu, mengikuti proses
ekstraksi yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional. Perbandingan
30
2. Analisis Kimia
Kadar Air
Penentuan kadar air pada penelitian ini dilakukan dengan metode
oven kering. Metode ini menggunakan konsep gravimetri, dengan
menghitung selisih berat sampel sebelum dan setelah dikeringkan.
Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan sampel yang akan diukur.
Suhu oven yang digunakan untuk mengeringkan memiliki kisaran antara
105-110oC. Pengeringan yang dilakukan berkisar 6 jam, atau hingga berat
sampel yang dihitung tidak mengalami perubahan. Sedangkan perhitungan
kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dan berat kering.
Air merupakan komponen terbesar penyusun mahluk hidup. Fungsi
air dalam bahan pangan terkait dengan mutu bahan pangan tersebut.
Menurut Winarno (1997), air dalam bahan makanan menentukan
acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Menurut Karrel
(1979), air dapat berfungsi sebagai antioksidan pada level yang sangat
rendah dengan menurunkan aktivitas katalis dari logam dengan
32
Kadar Protein
Perhitungan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl.
Metode ini akan menghasilkan kadar protein kasar yang terkandung dalam
sampel karena yang dihitung adalah kadar nitrogen. Protein adalah sumber
asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein mengandung pula
fosfor, belerang, dan unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno,
1997). Kekurangan analisis metode Kjeldhal adalah kemungkinan ikut
terhitungnya kadar nitrogen yang tidak berasal dari protein seperti purin,
pirimidin, vitamin, dan lainnya (Winarno, 1997).
33
80
70 62.31
60
50 44.11
41.57
40 32.24
30 25.84
16.57 15.51
20
4.44
10
0
Ceremai Delima Putih Kecombrang Kemuning Jati Belanda
Kapasitas Antioksidan
Perhitungan kapasitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). DPPH
merupakan senyawa radikal stabil dalam metanol dan berwarna ungu tua
saat belum bereaksi dengan senyawa pereduksi. Proses reduksi dari
senyawa antioksidan akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi
sebagai hasil pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Asam
askorbat konsentrasi 1000 ppm sebagai kontrol positif.
100 92.51 92.76 93.42
86.31 87.47 86.4
Kapasitas antioksidan (%)
90 80.45 83.83
79.04
80 70.86
70
60
50
40
30
20
10
0
Ceremai Delima putih Kecombrang Kemuning Jati belanda
media yang digunakan pada kultur sel ini termasuk jenis Dulbecco’s balanced salt
solution (Giesse, 1979).
Penggunaan senyawa aldehid (asetaldehid, formaldehid, dan glutaraldehid)
digunakan untuk mempelajari interaksi fisikokimianya terhadap sel darah merah.
Parameter-parameter yang biasa digunakan untuk menguji antara lain ; gaya
elektrokinetik, kebocoran potasium, pelepasan hemoglobin, konsumsi aldehid,
deformabilitas, dan perubahan volume (Vassar et.al., 1972).
Formaldehid (CH2O) merupakan senyawa yang larut air tetapi tidak larut
pada etanol. Formaldehid merupakan senyawa yang sangat reaktif. Formaldehid
secara cepat dioksidasi menjadi format, yang tergabung dalam molekul-molekul
makro biologis (Andel, 2002). Formaldehid dapat bereaksi dengan protein
membran sel atau DNA mengakibatkan kerusakan dan pada sel eritrosit dapat
mengakibatkan terjadinya proses hemolisis. Pada kondisi netral atau asam,
formaldehid dapat membentuk jembatan metilene antara gugus amino dari protein
dan grup OH reaktif dari fenol (Conrat et.al., 1948).
Polifenol merupakan komponen yang dapat bereaksi dengan membran
bilayer sel. Interaksi tersebut dapat terjadi melalui : a) interaksi komponen
nonpolar dan gugus hidrofobik pada interior membran, b) pembentukan ikatan
hidrogen antara bagian polar dari lipid dan bagian hidrofilik dari komponen
polifenol pada permukaan membran (Oteiza et.al., 2005)
Protein merupakan target kritikal oleh radikal bebas dikarenakan
konsentrasinya yang sangat tinggi baik di dalam atau luar sel. Banyak dari protein
tersebut memiliki sifat katalis, sehingga modifikasinya oleh radikal bebas dapat
memberikan efek berkelanjutan. Beberapa asam amino yang penting bagi protein
dan fungsi membran sangat rentan terhadap radikal bebas. Protein rentan terhadap
serangan OH° yang dihasilkan dari H2O2 atau alkoksi lipid dan radikal peroksi
sebagai konsekuensi pembentukan radikal intermediet peroksidasi lipid. Salah
satu contohnya adalah lisin, yang dapat dimodifikasi oleh produk stabil dari hasil
peroksidasi lipid seperti malonaldehid atau 4-hidroksinonenal (Evans, 1990).
Perhitungan persentase penghambatan hemolisis dilakukan dengan
membandingkan absorbansi yang terdapat pada kontrol negatif dan suspensi
eritrosit yang diuji dengan penambahan ekstrak dan oksidator. Jumlah sel eritrosit
40
pada awal pengamatan (menit ke-0) diasumsikan tidak ada yang mengalami
kematian. Nilai grafik awal yang rendah berasal dari perbedaan nilai absorbansi
suspensi eritrosit yang diberikan hasil ekstrak dan oksidator yang cukup besar
dibandingkan dengan hasil ekstrak saja. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan
bias yang dapat terjadi pada penambahan hasil ekstrak terhadap suspensi eritrosit.
Penurunan grafik persentase penghambatan hemolisis mengasumsikan
bahwa terjadi kematian sel pada suspensi eritrosit yang ditambahkan dengan hasil
ekstraksi dan oksidator. Grafik persentase pencegahan hemolisis yang cenderung
bernilai sama per satuan waktu mengasumsikan bahwa tidak ada kematian sel
yang terjadi pada suspensi eritrosit yang ditambahkan dengan hasil ekstraksi dan
oksidator.
Grafik persentase penghambatan hemolisis yang mengalami kenaikan
mengasumsikan bahwa terjadi pengurangan jumlah sel eritrosit yang mengalami
hemolisis pada suspensi eritrosit yang ditambahkan hasil ekstraksi dan oksidator.
Kenaikan ini terjadi karena jumlah sel yang mati pada suspensi eritrosit yang
ditambahkan hasil ekstraksi dan oksidator pada 20 menit sesudah pengamatan
lebih sedikit dibandingkan 20 menit sebelumnya. Hal ini mengakibatkan nilai
penurunan absorbansi pada suspensi eritrosit yang ditambahkan hasil ekstraksi
dan oksidator pada 20 sesudah pengamatan lebih kecil dibandingkan 20 menit
sebelumnya.
80
70
60 Ceremai air C1
50 Ceremai air C2
40 Ceremai air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Ceremai etanol C1
50 Ceremai etanol C2
40 Ceremai etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Delima air C1
50 Delima air C2
40 Delima air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Delima etanol C1
50 Delima etanol C2
40 Delima etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
c) Ekstrak kecombrang.
Pengamatan pada ekstrak kecombrang dengan menggunakan
pelarut akuades menunjukkan variasi nilai yang cukup tinggi. Persentase
pencegahan hemolisis paling tinggi pada awal pengamatan ditunjukkan
oleh ekstrak C1. Kecenderungan menaik pada ekstrak C3 dan penurunan
pada ekstrak C1 menunjukkan keterkaitan antara jumlah komponen
fenolik yang terekstrak pada ketiga konsentrasi tersebut dengan membran
sel eritrosit.
Penurunan paling signifikan pada ekstrak C1 terjadi pada menit ke-
60, sebaliknya, ekstrak C3 dimana kenaikan nilai signifikan terdapat
hingga menit ke-60. Sedangkan ekstrak C2 mengalami penurunan pada
rentang persentase penghambatan antara 65 % - 80 %. Hal ini disebabkan
oleh kecepatan reaksi antara komponen fenolik pada masing-masing
konsentrasi dan radikal yang terbentuk tidak sama pada tiap ekstrak.
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kecombrang air C1
50 Kecombrang air C2
40 Kecombrang air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (m enit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kecombrang etanol C1
50 Kecombrang etanol C2
40 Kecombrang etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (m enit)
d) Ekstrak kemuning
Pengamatan ekstrak kemuning menunjukkan aktivitas
penghambatan tertinggi pada ekstrak C2 dan C3. Sedangkan ekstrak C1
menunjukkan kecenderungan menurun pada tiap selang waktu
pengamatan dengan persentase penghambatan tidak melebihi 55 %.
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kemuning air C1
50 Kemuning air C2
40 Kemuning air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
90
80
70
60 Kemuning etanol C1
50 Kemuning etanol C2
40 Kemuning etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis 80
70
60 Jati belanda air C1
50 Jati belanda air C2
40 Jati belanda air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (m enit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
Jati belanda etanol
70
C1
60
Jati belanda etanol
50
C2
40
Jati belanda etanol
30
C3
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Ceremai air C1
50 Ceremai air C2
40 Ceremai air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
80
70
60 Ceremai etanol C1
50 Ceremai etanol C2
40 Ceremai etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
80
70
60 Delima air C1
50 Delima air C2
40 Delima air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
menit ke-60, sama dengan hasil yang ditunjukkan oleh hasil ekstrak
dengan menggunakan akuades. Komponen yang terekstrak dengan
menggunakan pelarut etanol dapat memiliki jenis yang berbeda
dibandingkan dengan pelarut akuades.
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Delima etanol C1
50 Delima etanol C2
40 Delima etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
c) Ekstrak kecombrang
Pengamatan terhadap aktivitas pencegahan hemolisis sel eritrosit
dilakukan dengan menggunakan ekstrak kecombrang dengan penggunaan
pelarut akuades dan etanol. Pada percobaan dengan menggunakan
kecombrang yang diekstrak dengan pelarut akuades, hasil ekstraksi C1
memberikan aktivitas pencegahan hemolisis tertinggi pada awal waktu
pengamatan. Akan tetapi, aktivitas tersebut terus menurun hingga akhir
waktu pengamatan dimana grafik tersebut menunjukkan aktivitas
pencegahan hemolisis terendah.
Hemolisis dapat terjadi karena konsentrasi komponen aktif yang
tinggi sehingga mengakibatkan kerusakan membran yang bereaksi setelah
selang waktu tertentu. Sedangkan ekstraksi C2 dan C3 menunjukkan
penurunan hingga akhir waktu pengamatan meskipun penurunan tersebut
terjadi tidak setajam ekstrak C1.
52
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kecombrang air C1
50 Kecombrang air C2
40 Kecombrang air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70 Kecombrang etanol
C1
60
Kecombrang etanol
50
C2
40
Kecombrang etanol
30 C3
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
d) Ekstrak kemuning
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan ekstrak daun
kemuning dengan pelarut akuades memberikan data yang dapat
diperlihatkan pada Gambar 16. Berdasarkan grafik tersebut dapat
diperlihatkan bahwa sel eritrosit yang ditambahkan ekstrak C1 mengalami
hemolisis yang cukup banyak. Sedangkan ekstrak C2 memberikan nilai
persentase pencegahan hemolisis yang tinggi. Ekstrak C3 mengalami
kenaikan pada selang waktu menit ke-20 hingga ke-100 dan turun kembali
hingga akhir waktu pengamatan.
Hemolisis pada sel eritrosit dengan penambahan ekstrak C1
menandakan bahwa konsentrasi dan jenis komponen aktif sangat
berpengaruh terhadap stabilitas membran sel, khususnya sel eritrosit.
Ekstrak C3 memberikan nilai berupa kenaikan persentase pencegahan
hemolisis. Komponen aktif yang terdapat pada ekstrak tersebut dapat
berinteraksi dengan formaldehid sehingga menghambat aktivitas perusak
membrannya. Jumlah komponen aktif yang terdapat pada ekstrak tersebut
bereaksi dalam besaran yang sama dengan formaldehid yang ditambahkan
pada suspensi sehingga tidak merusak membran sel eritrosit.
54
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kemuning air C1
50 Kemuning air C2
40 Kemuning air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kemuning etanol C1
50 Kemuning etanol C2
40 Kemuning etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Jati belanda air C1
50 Jati belanda air C2
40 Jati belanda air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
100
90
% Pencegahan hemolisis
80
70 Jati belanda etanol
C1
60
Jati belanda etanol
50
C2
40
Jati belanda etanol
30 C3
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)
3.3. Pengujian aktivitas penghambatan hemolisis sel eritrosit dengan trifan biru
Perhitungan trifan biru pada masing-masing suspensi dilakukan untuk
memastikan ketepatan nilai absorbansi dengan keadaan sel yang sebenarnya
Perhitungan tidak dilakukan pada semua suspensi yang diuji karena adanya
keterbatasan waktu pengujian dengan trifan biru. Pengujian dengan trifan
biru dilakukan tepat setelah menit ke-120 pada masing-masing sampel kultur.
Jumlah awal sel yang hidup pada suspensi eritrosit dengan pengenceran 300
x adalah 6.105 sel / ml suspensi.
Perhitungan hanya dilakukan pada tiga sampel hasil ekstrak,
pengujian yang terlalu lama dapat mengakibatkan ketidaksesuaian data
jumlah sel yang hidup dengan nilai absorbansi pada menit ke-120. Hal ini
disebabkan karena proses hemolisis terus terjadi setelah menit ke-120 yang
mengakibatkan penambahan jumlah sel yang mengalami kematian.
Jumlah rata-rata sel hidup (.10 4 / ml
40 36 37 36 37
35
35 33 33
30 31 31
29 28 29 29
30
25 24 24
suspensi)
25 21
20
15
10
5
0
C1
1 C2
2 C3
3
C1
4 C2
5 C3
6
C1
7 C2
8 C3
9
Ceremai Jati belanda Kemuning
Pelarut air Pelarut etanol
Gambar 32. Perbandingan jumlah sel eritrosit hidup dengan menggunakan H2O2.
58
/ ml
40 38
36 35 36 36
33
4
35
suspensi) 20
15 12
10
5
0
C11 C2
2
C3
3
C1
4
C2
5
C3
6
C1
7
C2
8
C3
9
Ceremai Jati belanda Kemuning
Pelarut air Pelarut etanol
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 34. Sel eritrosit (perbesaran 400 x); a) kontrol (menit ke-0), b)
penambahan H2O2 (menit ke-120), c) penambahan formaldehid
(menit ke-120), d) penambahan hasil ekstraksi pada uji dengan
menggunakan H2O2 (menit ke-120).
59
A. KESIMPULAN
Pengujian aktivitas penghambatan hemolisis yang dilakukan secara in
vitro menunjukkan hasil yang sangat beragam dan dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor seperti kondisi sel eritrosit, konsentrasi dan jenis komponen
aktif, serta serta kehadiran komponen lain yang dapat mengganggu selama
pengujian dapat memberikan pengaruh yang besar pada hasil. Berdasarkan
keseluruhan uji yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Umumnya hasil ekstraksi mampu memberikan aktivitas penghambatan
hemolisis pada sel eritrosit dengan persentase yang berbeda-beda.
2. Aktivitas penghambatan hemolisis dengan menggunakan larutan
penguji H2O2 tertinggi dicapai ekstrak C2 ceremai akuades sebesar
98.06 %. Aktivitas penghambatan hemolisis terkecil dicapai ekstrak
C3 delima etanol sebesar 12.01 %. Aktivitas penghambatan hemolisis
awal (menit ke-0) tertinggi dicapai ekstrak C1 ceremai etanol sebesar
90.84 % dan terendah diperoleh ekstrak C3 kecombrang akuades
sebesar 30 %. Aktivitas penghambatan hemolisis akhir (menit ke-120)
tertinggi dicapai ekstrak C2 ceremai akuades sebesar 98.06 %, dan
terendah diperoleh ekstrak C1 kemuning akuades sebesar 28.74 %.
3. Aktivitas penghambatan hemolisis dengan menggunakan larutan
penguji formaldehid tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning etano
sebesar 99.53 %. Aktivitas penghambatan hemolisis terkecil dicapai
ekstrak C1 kecombrang akuades sebesar 25.11 %. Aktivitas
penghambatan hemolisis awal (menit ke-0) tertinggi dicapai ekstrak
C1 kemuning etanol sebesar 99.53 % dan terendah diperoleh ekstrak
C1 kemuning akuades sebesar 43.08 %. Aktivitas penghambatan
hemolisis akhir (menit ke-120) tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning
etanol sebesar 95.86 %, dan terendah diperoleh ekstrak C1
kecombrang akuades sebesar 25.11 %.
4. Kadar air tertinggi dimiliki oleh bunga kecombrang, sebesar 92.30 %
(b.b.).
60
5. Kadar protein tertinggi dimiliki oleh daun ceremai, sebesar 6.40 % per
bobot basah.
6. Kandungan total fenol tertinggi dimiliki oleh hasil ekstraksi daun
delima putih dengan menggunakan etanol, sebesar 81.37 . 102 ppm.
7. Kapasitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh hasil ekstraksi bunga
kecombrang dengan menggunakan etanol, sebesar 93.42 %.
B. SARAN
1. Diperlukan pengujian secara in vivo untuk mengetahui aktivitas
penghambatan hemolisis masing-masing ekstrak secara langsung dan
metabolismenya.
2. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi komponen-
komponen aktif yang terdapat pada masing-masing hasil ekstraksi dan
pengaruhnya secara langsung terhadap sel eritrosit.
3. Diperlukan penelitian lanjutan metode dan pelarut yang dipergunakan
untuk memperoleh hasil ekstraksi yang lebih baik.
61
DAFTAR PUSTAKA
Davis, J.M. 1994. Basic Cell Culture : A Practical Approach. Oxford University
Press, London.
DepKes. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat. Dirjen POM,
DepKes RI, Jakarta.
Freshney, I.R. 1994. Culture of Animal Cell. 3rd ed. Willey Liss, New York.
Giresse, Arthur C. 1979. Cell Physiology. 5th ed. WB. Saunders Company.
Philadelphia.
62
Haslam, E., Terence H.Liley, Edward Warminsky, Hwa Liao, Yacai, Russell
Martin, Simon H.Gaffney, Paul N. Goulding. 1992. Polyphenol
Complexation : a Study in Molecular Recognition. Di dalam : Phenolic
Compounds in Food and Their Effects on Health I. Chi-Tang Ho, Chang
Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.
Horwitt, M.K., C.C. Harvey, G.D. Duncan, W.C. Wilson. 1956. Effect of Limited
Tocopherol Intake in Man with Relationship to Erythrocyte Hemolysis
and Lipid Oxidation. The American Journal of Clinical Nutrition. Juli-
August 1956.
Houghton, P.J. and Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extract. Chapman & Hall, London.
Ji, Li Li. 1999. Antioxidant and Oxidative Stress in Exercise. Proceedings of The
Society for Experimental Biology and Medicine. Vol. 222.
63
Karrel, Marcus. 1979. Lipid Oxidation, Secondary Reaction, and Water Activity
of Foods. Di dalam : Autooxidation in Food and Biological Systems.
Michael G. Simic and Marcus Karrel (ed). Plennum Press. London.
Lanping, M.A., Liu Zaiqun, Zhou Bo, Yang Li, Liu Zhongli. 2000. Inhibition of
Free Radical Induced Oxidative Hemolisis of Red Blood Cells by Green
Tea Poliphenols. Chinese Science Bulletin Vol.45 (22):2052-2056
Niki, Etsuo. 1997. Free Radicals in Chemistry and Biochemistry. Di dalam : Food
and Free Radicals. Midori Hiramaisu, Toshikazu Yoshikawa, Masayasu
Inoue (ed). Plenum Press. London.
Okuda, T., Takashi Yoshida and Tsutomo Hatano. 1992. Antioxidant Effects of
Tannins and Related Polyphenols. Di dalam : Phenolic Compounds in
Food and Their Effects on Health II. Chi-Tang Ho, Chang Y. Lee, Mou-
Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidant from Plant Material. Di dalam : Phenolic
Compounds in Food and Their Effects on Health II. Chi-Tang Ho, Chang
Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.
Qin Yan Zhu, Roberta R. Holt, Sheryl A. Lazarus, Timothy J. Orozco, Carl L.
Keen. 2002. Inhibitory Effects of Cocoa Flavanols and Procyanidin
Oligomers on Free Radical-Induced Erythrocyte Hemolysis. Exp Biol
Med 2002 Jan ; Vol. 227(5):321-329.
Ranney, M.W. 1979. Antioxidant Recent Development. Noyes Data Co. Park
Ridge, New York
Reed, K.W., dan Yalkowsky S.H. 1985. Lysis of Human Red Blood Cells in the
Presence of Various Cosolvent. Journal of Parenteral Science and
Technology. 39. no. 2. 64-68.
Shahidi, F., Marion Naczk. 1995. Food Phenols, Sources, Chemistry, Effects,
Applications. Technomic Publishing Corp. Inc. Landcaster.
64
Weiss, L. 1977. The Blood Cells and Hematopoietic Tissue. Mcgraw-Hill Book
Company, a Blakistan Publication. New York.
Winarno, F.G. 1992 . Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta
Yoshikawa, T., Yuji Naito, Motoharu Kondo. 1997. Free Radicals and Disease. Di
dalam : Food and Free Radicals. Midori Hiramaisu, Toshikazu
Yoshikawa, Masayasu Inoue (ed). Plenum Press. London.
Zakaria, F., dan Nuri Andarwulan. 2001. Khasiat Berbagai Pangan Tradisional
untuk Pangan Fungsional dan Suplemen. Di dalam : Pangan Tradisional :
Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Lilis Nuraida dan
Ratih Dewanti-Hariyadi (ed). Pusat Kajian Makanan Tradisional, IPB,
Bogor.
65
Ket :
V1 = Volume total sumur
M1 = Konsentrasi ekstrak dalam sumur (C1)
V2 = Volume ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur
M2 = Konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur
1. H2O2
2. Formaldehid
0.45
0.4 y = 0.015x + 0.0094
R2 = 0.9963 25, 0.386
0.35
0.3
Absorbansi
20, 0.298
0.25 15, 0.24
0.2
0.15 10, 0.16
0.1
5, 0.095
0.05
0 0, 0
0 5 10 15 20 25 30
[ ] (ppm )
Contoh perhitungan :
Ekstrak ceremai pelarut akuades
Rata-rata nilai absorbansi = 0.635
y = 0.015x + 0.0094
0.635 = 0.015x + 0.0094
x = 41.57 ppm
→ Sampel diencerkan 100x, maka total fenol sampel ekstrak ceremai pelarut
akuades adalah 41.57 x 102 ppm
74
1.4
1.2
1
Absorbansi
0.8
0.6
0.4
y = -0.0121x + 1.2164
0.2 R2 = 0.9999
0
0 20 40 60 80 100
Daya peredaman DPPH (%)
INFORM CONCERN
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN