Anda di halaman 1dari 89

SKRIPSI

PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI, DELIMA PUTIH,


KECOMBRANG, KEMUNING, DAN JATI BELANDA TERHADAP
PENGHAMBATAN HEMOLISIS SEL ERITROSIT MANUSIA
SECARA IN VITRO

Oleh :

Ianre Meiko Renaldo Siagian


F24103103

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI, DELIMA PUTIH,
KECOMBRANG, KEMUNING, DAN JATI BELANDA TERHADAP
PENGHAMBATAN HEMOLISIS SEL ERITROSIT MANUSIA
SECARA IN VITRO

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :

IANRE MEIKO RENALDO SIAGIAN

F24103103

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI, DELIMA PUTIH,
KECOMBRANG, KEMUNING, DAN JATI BELANDA TERHADAP
PENGHAMBATAN HEMOLISIS SEL ERITROSIT MANUSIA
SECARA IN VITRO

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
IANRE MEIKO RENALDO SIAGIAN
F24103103

Dilahirkan di Tarutung, 23 Mei 1985


Tanggal lulus : 20 Agustus 2007

Menyetujui :
Bogor, Agustus 2007

Dosen Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Fransisca Zakaria R.,M.Sc


NIP.131.476.603

Mengetahui,

Dr.Ir.Dahrul Syah
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
i

Ianre Meiko R. F24103103. PENGARUH EKSTRAK TANAMAN CEREMAI,


DELIMA PUTIH, KECOMBRANG, KEMUNING, DAN JATI BELANDA
TERHADAP PENGHAMBATAN HEMOLISIS SEL ERITROSIT
MANUSIA SECARA IN VITRO. Di bawah bimbingan Fransisca Zakaria
Rungkat.
RINGKASAN

Peroksidasi terus menerus terhadap komponen membran merupakan salah


satu penyebab timbulnya penyakit degeneratif. Umumnya peroksidasi terjadi pada
lapisan lipid dan protein dari membran seluler. Eritrosit sangat mudah mengalami
lipid peroksidasi dikarenakan kandungan lemak tidak jenuh ganda yang sangat
tinggi, kandungan oksigen yang tinggi, dan keberadaan logam transisi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas antioksidan (aktivitas
penghambatan hemolisis) ekstrak daun ceremai, daun delima putih, daun jati
belanda, daun kemuning, dan bunga kecombrang secara in vitro terhadap sel
eritrosit. Tujuan lain penelitian ini adalah mengembangkan potensi tanaman
indigenus Indonesia dan memperoleh data-data yang dapat dijadikan salah satu
acuan dalam pengembangan pangan fungsional.
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama merupakan
proses ekstraksi dari sampel segar yang akan diuji. Tahap kedua merupakan
analisa kimia dari sampel segar dan hasil ekstraksi yang meliputi analisis kadar
air, analisis kadar protein, analisis total fenol, dan analisis kapasitas antioksidan.
Tahap ketiga merupakan isolasi sel eritrosit dan pengujian respons perlindungan
eritrosit terhadap hemolisis oleh masing-masing hasil ekstrak.
Tahap ekstraksi sampel segar dilakukan terhadap daun ceremai, delima
putih, jati belanda, kemuning, dan bunga kecombrang. Ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan pelarut akuades dan etanol 96% dengan menggunakan
perbandingan sampel dan pelarut yang biasa digunakan pada konsumsi normal
masyarakat.
Hasil ekstraksi merupakan hasil perbandingan sampel bahan segar dan
pelarut sebesar dua kali konsentrasi konsumsi normal masyarakat. Bobot hasil
ekstraksi dengan volume 10 ml menggunakan akuades pada daun ceremai adalah
10.50 gram, daun kemuning sebesar 11.70 gram, bunga kecombrang sebesar 10.90
gram, daun delima putih sebesar 11.43 gram, dan daun jati belanda adalah 8.89
gram. Bobot hasil ekstraksi dengan volume 10 ml menggunakan etanol 96 % pada
daun ceremai adalah 9.42 gram, daun kemuning sebesar 9.36 gram, bunga
kecombrang sebesar 9.31 gram, daun delima putih sebesar 8.94 gram, dan daun
jati belanda adalah 8.80 gram.
Analisis kimia dilakukan terhadap sampel segar dan hasil ekstraksi.
Analisis kimia yang dilakukan terhadap sampel segar antara lain analisis kadar air
dan kadar protein. Kadar air dan kadar protein berpengaruh terhadap kondisi
bahan segar dan komponen aktif yang terdapat di dalamnya. Protein dapat
berikatan dengan komponen fenolik pada sampel segar dan kandungan nutrisinya.
Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh data kadar air sampel bahan segar
daun ceremai adalah 65.20 % (bb), daun kemuning sebesar 67.96 % (bb), bunga
kecombrang sebesar 92.30 % (bb), daun jati belanda sebesar 63.02 % (bb), dan
daun delima putih sebesar 58.26 % (bb). Sedangkan pengujian terhadap kadar
protein sampel bahan segar daun ceremai menunjukkan nilai sebesar 6.40 %, daun
ii

delima putih sebesar 5.88 %, bunga kecombrang sebesar 1.38 %, daun kemuning
sebesar 4.65 %, dan daun jati belanda sebesar 6.05 %.
Analisis kimia yang dilakukan terhadap hasil ekstraksi antara lain analisis
total kandungan fenol dan kapasitas antioksidan dengan menggunakan DPPH.
Analisis total kandungan fenol akan memberikan data mengenai kuantitas
komponen fenolik pada hasil ekstraksi. Sedangkan analisis kapasitas antioksidan
akan memberikan data mengenai aktivitas pereduksi radikal bebas oleh komponen
aktif pada hasil ekstraksi, diantaranya merupakan komponen fenolik.
Analisis total kandungan fenol dilakukan terhadap hasil ekstrak masing-
masing pelarut. Berdasarkan pengujian, kandungan fenol hasil ekstraksi pelarut
akuades pada daun ceremai sebesar 41.57x102 ppm, daun delima putih sebesar
62.31x102 ppm, bunga kecombrang sebesar 16.57x102 ppm, daun kemuning
sebesar 44.11x102 ppm, dan daun jati belanda sebesar 4.44x102 ppm. Sedangkan
kandungan fenol hasil ekstraksi pelarut etanol pada daun ceremai sebesar
32.24x102 ppm, daun delima putih sebesar 81.37x102 ppm , bunga kecombrang
sebesar 25.84x102 ppm, daun kemuning sebesar 77.84x102 ppm, dan daun jati
belanda sebesar 15.51x102 ppm.
Analisis kapasitas antioksidan dengan menggunakan DPPH dilakukan
terhadap hasil ekstrak masing-masing pelarut. Berdasarkan pengujian, kapasitas
antioksidan hasil ekstraksi pelarut akuades pada daun ceremai sebesar 86.31 %,
daun delima putih sebesar 87.47 %, bunga kecombrang 92.76 %, daun kemuning
sebesar 80.45 %, dan daun jati belanda sebesar 83.83 %. Sedangkan kapasitas
antioksidan hasil ekstraksi pelarut etanol pada daun ceremai sebesar 92.51 %,
daun delima putih sebesar 86.40 %, bunga kecombrang sebesar 93.42 %, daun
kemuning sebesar 70.86 %, dan daun jati belanda sebesar 79.04 %.
Sel eritrosit yang telah diisolasi akan diinkubasi dengan menggunakan
media Phosphat Buffered Saline. Ke dalam suspensi eritrosit ini ditambahkan
larutan pengoksidasi yaitu hidrogen peroksida (H2O2) 0.5 % dan formaldehid 5 %.
Uji respons perlindungan eritrosit dilakukan dengan penambahan hasil ekstrak
kepada masing-masing suspensi dan pembacaan nilai absorbansi pada
Spectrophotometer Microplate Reader selama 120 menit pada selang waktu 20
menit.
Hasil ekstraksi yang ditambahkan memiliki 3 konsentrasi, yaitu C1
(perbandingan sampel segar dua kali lebih banyak dari konsumsi normal pada
pelarut), C2 (perbandingan sampel segar sama dengan konsumsi normal pada
pelarut), dan C3 (perbandingan sampel segar setengah dari konsumsi normal pada
pelarut).
Berdasarkan pengamatan diperoleh data aktivitas penghambatan hemolisis
dengan menggunakan larutan penguji H2O2 0.5 %, tertinggi dicapai ekstrak C2
ceremai akuades sebesar 98.06 %. Aktivitas penghambatan hemolisis terkecil
dicapai ekstrak C3 delima etanol sebesar 12.01 %. Aktivitas penghambatan
hemolisis awal (menit ke-0) tertinggi dicapai ekstrak C1 ceremai etanol sebesar
90.84 % dan terendah diperoleh ekstrak C3 kecombrang akuades sebesar 30 %.
Aktivitas penghambatan hemolisis akhir (menit ke-120) tertinggi dicapai ekstrak
C2 ceremai akuades sebesar 98.06 %, dan terendah diperoleh ekstrak C1
kemuning akuades sebesar 28.74 %.
Aktivitas penghambatan hemolisis dengan menggunakan larutan penguji
formaldehid 5 %, tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning etanol sebesar 99.53 %.
iii

Aktivitas penghambatan hemolisis terkecil dicapai ekstrak C1 kecombrang


akuades sebesar 25.11 %. Aktivitas penghambatan hemolisis awal (menit ke-0)
tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning etanol sebesar 99.53 % dan terendah
diperoleh ekstrak C1 kemuning akuades sebesar 43.08 %. Aktivitas penghambatan
hemolisis akhir (menit ke-120) tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning etanol
sebesar 95.86 %, dan terendah diperoleh ekstrak C1 kecombrang akuades sebesar
25.11 %.
iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus sehingga penulis
dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini
dengan baik. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
sebesar-besarnya serta permohonan maaf atas semua hal yang kurang berkenan
selama ini kepada ;
1. Prof. Dr. Ir. Fransisca Zakaria Rungkat, MSc selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam studi dan
penyelesaian skripsi ini.
2. Dr. Ir. Sukarno yang telah berkenan menguji dan memberi masukan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Dias Indrasti, STP selaku dosen penguji atas kesediaan menguji dan saran-
saran yang diberikan kepada penulis.
4. H.M.Siagian dan R.Sinaga, kakakku : Linggom, Donni, Susi, dan Asido
atas perhatian, kesabaran, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanannya
yang selalu diberikan kepada penulis.
5. Buat Agnes, yang selalu menemani, memberi kasih sayang, pengorbanan,
pemikiran dan dukungan, serta semua tingkah laku dan perbuatan yang
pernah dilakukannya secara sadar atau tidak (SuarakuwAbzJDNygNd.
Panahnyanah???), I Always Love U.
6. Temanku satu bimbingan Novi, atas perhatian, dukungan, masukan dan
semangatnya.
7. Anak malam dan gamers TPG’40 (Teddy, Ryal, Aca, Steph, Widhi, Iin,
Dini, Hendi, Agus) untuk waktu dan masukan-masukannya.
8. Teman-temanku sekost (Kaninta, Martin, Steph, Hengky) yang telah
menemani penulis melewati hari-harinya, khusus Babeh atas pengorbanan
komputernya.
9. Kakak-kakakku tercinta Paula dan Ratna, serta saudaraku Andal, atas
bantuan, tawa, dan kebersamaannya.
v

10. Sahabat-sahabat sejatiku dalam kelompok praktikum (Noor, Wati, dan


Nat-nat), serta anak-anak golongan C atas bantuan dan kebersamaannya
selama ini.
11. Rekan-rekan futsalku yang terlalu banyak untuk disebutkan atas
kebersamaan, semangat, kerjasama, dan dukungannya baik di lapangan
atau luar lapangan.
12. Seluruh teman-teman TPG’40 yang belum disebutkan atas segala
kebersamaan dan waktu yang menyenangkan selama ini.
13. Seluruh jajaran staf dan karyawan Departemen ITP-IPB yang telah banyak
membantu dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan di IPB
14. Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Yahya, Pak Koko,
Pak Rojak. Terima kasih atas bantuannya.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas semua
bantuan, masukan, kritik, simpati, empati kepada penulis.

Akhir kata, masih banyak ketidaksempurnaan pada karya ini. Walaupun


demikian, semoga sebuah karya kecil ini dapat memberikan manfaat dan berguna
bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2007

Penulis
vi

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B. TUJUAN .............................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
A. CEREMAI (Phyllanthus acidus [L.] Skeels) ...................................... 3
B. DELIMA PUTIH (Punica granatum Linn) ........................................ 4
C. KECOMBRANG (Nicolaia speciosa Horan)..................................... 6
D. KEMUNING (Murraya paniculata [L.] Jack) ................................... 7
E. JATI BELANDA (Guazoma ulmifolia Lamk) .................................... 8
F. ERITROSIT ........................................................................................ 9
G. HEMOLISIS ERITROSIT .................................................................. 10
H. ANTIOKSIDAN ................................................................................. 13
I. KOMPONEN FENOLIK .................................................................... 16
J. PENGGUNAAN SEL ERITROSIT UNTUK UJI IN VITRO ............ 17
III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 20
A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 20
B. METODE PENELITIAN .................................................................... 21
1. Ekstraksi .......................................................................................... 21
1.1. Ekstraksi dengan pelarut akuades ............................................ 22
1.2. Ekstraksi dengan pelarut etanol ............................................... 22
1.3. Persiapan hasil ekstraksi untuk inkubasi sel eritrosit ............... 23
2. Analisis Kimia................................................................................. 23
2.1. Analisis kadar air metode oven ................................................ 23
2.2. Analisis kadar protein .............................................................. 24
vii

2.3. Analisis total fenol ................................................................... 25


2.4. Analisis kapasitas antioksidan ................................................. 25
3. Isolasi Sel Eritrosit .......................................................................... 25
4. Pengujian Respons Perlindungan Eritrosit Terhadap Hemolisis .... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 29
1. Ekstraksi .............................................................................................. 29
2. Analisa Kimia...................................................................................... 31
2.1. Kadar Air...................................................................................... 31
2.2. Kadar Protein ............................................................................... 32
2.3. Total Fenol ................................................................................... 34
2.4. Kapasitas Antioksidan.................................................................. 36
3. Pengujian Respons Perlindungan Eritrosit Terhadap Hemolisis ........ 38
3.1. Uji respons penghambatan hemolisis oleh H2O2 ........................................ 40
3.2. Uji respons penghambatan hemolisis oleh formaldehid .............. 48
3.3. Pengujian aktivitas penghambatan hemolisis sel eritrosit dengan
trifan biru ...................................................................................... 57
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 59
A. KESIMPULAN ................................................................................... 59
B. SARAN ............................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61
LAMPIRAN .................................................................................................... 65
viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Konsumsi normal masyarakat terhadap kelima tanaman ................ 21


Tabel 2. Perbandingan sampel dan pelarut .................................................. 22
Tabel 3. Bobot hasil ekstraksi sampel tanaman pada volume 10 ml ............ 30
Tabel 4. Kadar air sampel bahan segar ......................................................... 32
Tabel 5. Kadar protein sampel bahan segar .................................................. 33
Tabel 6. Absorbansi kurva standar asam tanat .............................................. 34
Tabel 7. Perluasan taraf konsentrasi masing-masing hasil ekstraksi ............ 65
Tabel 8. Data absorbansi kurva standar asam askorbat................................. 74
Tabel 9. Nilai absorbansi daya pereduksi hasil ekstraksi terhadap DPPH.... 74
ix

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Ceremai .............................................................................. 4
Gambar 2. Delima putih ........................................................................ 5
Gambar 3. Kecombrang ....................................................................... 6
Gambar 4. Kemuning ........................................................................... 8
Gambar 5. Jati belanda .......................................................................... 9
Gambar 6. Sel eritrosit .......................................................................... 10
Gambar 7. Perbandingan eritrosit, trombosit, dan leukosit................... 10
Gambar 8. Mekanisme reaksi antioksidan pada DPPH ........................ 15
Gambar 9. Hasil pemisahan sel eritrosit menggunakan Hystopaque .... 27
Gambar 10. Total kandungan fenol hasil ekstraksi ................................. 34
Gambar 11. Kapasitas antioksidan ekstrak dengan metode DPPH......... 36
Gambar 12. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak ceremai akuades ...................................................... 41
Gambar 13. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak ceremai etanol ......................................................... 41
Gambar 14. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak delima akuades ....................................................... 43
Gambar 15. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak delima etanol........................................................... 43
Gambar 16. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kecombran akuades ................................................ 44
Gambar 17. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kecombrang etanol ................................................. 45
Gambar 18. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kemuning akuades .................................................. 45
Gambar 19. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kemuning etanol ..................................................... 46
Gambar 20. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak jati belanda akuades ................................................ 47
Gambar 21. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak jati belanda etanol ................................................... 48
x

Gambar 22. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak ceremai akuades ...................................................... 49
Gambar 23. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak ceremai etanol ........................................................ 49
Gambar 24. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak delima akuades ....................................................... 50
Gambar 25. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak delima etanol........................................................... 51
Gambar 26. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kecombrang akuades............................................... 52
Gambar 27. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kecombrang etanol.................................................. 53
Gambar 28. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kemuning akuades .................................................. 54
Gambar 29. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak kemuning etanol ..................................................... 54
Gambar 30. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak jati belanda akuades ................................................ 55
Gambar 31. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan
ekstrak jati belanda etanol ................................................... 56
Gambar 32. Perbandingan jumlah sel eritrosit hidup dengan
menggunakan H2O2 ............................................................. 57
Gambar 33. Perbandingan jumlah sel eritrosit hidup dengan
menggunakan formaldehid .................................................. 58
Gambar 34. Sel eritrosit (perbesaran 400x); a) kontrol (menit ke-0), b)
penambahan H2O2 (menit ke-120), c) penambahan
formaldehid (menit ke-120), d) penambahan hasil
ekstraksi pada uji dengan menggunakan H2O2 (menit ke-
120) ..................................................................................... 58
Gambar 34. Kurva standar asam tanat .................................................... 73
Gambar 35. Kurva standar asam askorbat............................................... 74
xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak ....................... 65
Lampiran 2. Data persentase penghambatan hemolisis sel eritrosit .. 66
Lampiran 3. Perhitungan kurva standar total kandungan fenol ......... 73
Lampiran 4. Perhitungan kapasitas antioksidan (DPPH) .................. 74
Lampiran 5. Inform Concern ............................................................. 75
1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berbagai jenis tanaman telah dipercaya berkhasiat untuk meningkatkan
atau menjaga kesehatan seseorang. Indonesia memiliki banyak sekali jenis
tanaman obat yang belum sepenuhnya diteliti kandungan dan khasiatnya.
Seperti diketahui, penduduk Indonesia telah sejak lama menggunakan
berbagai tanaman tersebut secara tradisional dalam bentuk ramuan untuk
pengobatan atau bahan olahan pangan sehari-hari.
Terdapat lima tanaman yang memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi salah satu komponen pangan fungsional. Tanaman tersebut antara lain
adalah Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.), Delima Putih (Punica
granatum Linn), Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan), Kemuning
(Murraya paniculata [L..] Jack.) dan Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk).
Kelima tanaman ini mengandung komponen aktif yang dipercaya memiliki
aktivitas antioksidan yang cukup tinggi seperti komponen fenolik.
Pengembangan suatu produk pangan memerlukan beberapa langkah-
langkah tertentu agar dapat diterima sebagai salah satu produk yang dipercaya
bersifat fungsional. Metode uji untuk memastikan fungsionalitas dari bahan
pangan atau pangan olahan sangat penting untuk menentukan dosis keamanan,
klaim dan pelabelan. Uji bioavailabilitas dan fungsi metabolik juga bersifat
esensial karena hasil analisa kimia mengenai kadar suatu senyawa belum tentu
merefleksikan fungsionalitasnya karena adanya faktor-faktor pencernaan,
metabolisme, dan matriks bahan pangan yang mempengaruhi ketersediaan zat
tersebut (Zakaria et.al., 2001).
Umumnya, pengujian aktivitas komponen suatu senyawa dalam bahan
pangan dapat memberikan data positif atau negatif berkaitan dengan
interaksinya secara in vivo atau in vitro. Hasil positif yang dimaksudkan di
sini dapat berarti aktivitasnya dalam memperkuat fungsi-fungsi tubuh atau
kapasitasnya sebagai antioksidan, sedangkan hasil negatif sendiri berarti
adanya kemungkinan komponen tersebut dapat mengakibatkan kerusakan
seperti toksik bagi sel-sel biologis dalam tubuh.
2

Metode uji fungsionalitas antioksidan dapat dibedakan menjadi


beberapa cara, antara lain ; a. Sistem kimia dengan substrat asam lemak tidak
jenuh, b. Sistem semi biologis dengan LDL / lipoprotein, c. Sistem biologis
dengan sel hidup yang dapat berupa sel-sel primer dari organ hewan atau
darah manusia, atau alur-alur turunan sel, d. Sistem in vivo dengan pemberian
makan pada hewan percobaan atau subjek manusia (Zakaria et.al., 2001).
Data-data yang diperoleh nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu
acuan yang diperlukan untuk mengembangkan produk pangan fungsional. Uji
aktivitas antioksidan yang dilakukan pada penelitian ini adalah aktivitas
penghambatan hemolisis dari sel eritrosit yang diinduksi oleh senyawa-
senyawa oksidator seperti hidrogen peroksida atau senyawa aldehid seperti
formaldehid. Data tersebut diharapkan dapat memberitahukan konsentrasi
optimal atau interaksi dari komponen-komponen aktif tersebut pada sel tubuh
manusia terutama sel eritrosit.

B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas antioksidan (aktivitas
penghambatan hemolisis) ekstrak daun ceremai, daun delima putih, daun jati
belanda, daun kemuning, dan bunga kecombrang secara in vitro terhadap sel
eritrosit. Tujuan lain penelitian ini adalah mengembangkan potensi tanaman
indigenus Indonesia dan memperoleh data-data yang dapat dijadikan salah
satu acuan dalam pengembangan pangan fungsional.
3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.)

Ceremai merupakan tanaman yang berasal dari India yang termasuk


ke dalam famili Euphorbiaccae. Ceremai dapat tumbuh hingga ketinggian
1000 meter dpl dan bertahan hidup pada tanah dengan kondisi kekurangan air
(IPTEKa, 2005 ). Ceremai sendiri diketahui tumbuh hampir di seluruh bagian
kepulauan Indonesia terutama di Sumatera, Jawa, Sulewesi, kepulauan Nusa
Tenggara, dan Maluku.
Daun ceremai tunggal, bertangkai pendek, tersusun dalam tangkai
membentuk rangkaian seperti daun majemuk. Helai daun ceremai bundar telur
sampai jorong, ujung runcing, pangkal tumpul sampai bundar, tepi rata,
pertulangan menyirip, permukaan licin tidak berambut, panjang 2-7 cm, lebar
1,5-4 cm, dan warna hijau muda. Daun muda ceremai dapat digunakan sebagai
sayuran dan apabila digunakan bersamaan dengan buahnya dapat
a
menyedapkan masakan karena memberi rasa asam (IPTEK , 2005).
Daun ceremai berbau khas aromatik dan tidak berasa. Kandungan
kimia yang terdapat pada daun, kulit batang, dan kayu ceremai adalah saponin,
flavonoida, tanin, dan polifenol. Akar mengandung saponin, zat samak, dan
zat beracun (toksik), sedangkan buah ceremai mengandung vitamin C. Bagian
dari pohon ceremai yang biasa digunakan sebagai obat adalah daun, kulit akar,
dan biji. Setiap bagian pohon ceremai memiliki khasiat yang berbeda-beda
dipercaya untuk menyembuhkan penyakit. Daun ceremai sendiri berkhasiat
untuk menyembuhkan batuk berdahak, mual, kanker, sariawan, dan dapat
menguruskan bahan. Bagian kulit pohon ceremai dapat digunakan mengobati
asma dan sakit kulit, sedangkan biji ceremai berkhasiat untuk mengobati
sembelit dan mual akibat perut kotor. Daun ceremai biasa dikonsumsi
sebanyak 3 – 25 gram dalam 200 ml pelarut (IPTEKa, 2005).
4

Gambar 1. Ceremai (Phyllanthus acidus [L.] Skeels.)


Sumber : IPTEK (2005a)

B. Delima Putih (Punica granatum Linn)


Delima merupakan tanaman yang berasal dari Timur Tengah,
tersebar dari daerah subtropik hingga tropik dan dapat tumbuh hingga
ketinggian 1000 m dpl. Tumbuhan ini biasa ditanam pada tanah gembur yang
tidak terendam air, dengan air tanah yang tidak terlalu dalam. Delima sendiri
sering ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman obat karena buahnya yang
dapat dimakan (IPTEKb, 2005).
Daun delima tunggal, bertangkai pendek, letaknya berkelompok
dengan helaian daun lonjong, pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata,
pertulangan menyirip, permukaan mengkilap, dengan panjang 1-9 cm dan
lebar 0,5-2,5 cm, berwarnanya hijau. Berbuah buni, bentuknya bulat dengan
diameter 5-12 cm, warna kulitnya beragam, seperti hijau keunguan, putih,
cokelat kemerahan, atau ungu kehitaman. Terkadang didapati bercak-bercak
yang agak menonjol berwarna lebih tua. Bijinya banyak, kecil-kecil,
bentuknya bulat panjang yang bersegi-segi agak pipih, keras, tersusun tidak
beraturan, warnanya merah, merah jambu, atau putih. Dikenal tiga macam
delima, yaitu delima putih, delima merah, dan delima ungu. Perbanyakan
dengan setek, tunas akar atau cangkok (IPTEKb, 2005).
5

Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah kulit kayu,


kulit akar, kulit buah, daun, biji, dan bunganya. Kandungan kimia bagian
tanaman ini adalah kulit buah mengandung alkaloid pelletierene, granatin,
betulic acid, ursolic acid, isoquercitrin, elligatanin, resin, triterpenoid, kalsium
oksalat, dan pati. Kulit akar dan kulit kayu mengandung sekitar 20%
elligatanin dan 0,5-1% senyawa alkaloid, antara lain alkaloid pelletierine
(C8H14), pseudopelletierine (C9H15), metilpelletierine (C8H14.CH3),
isopelletierine (C8H15), dan metilisopellettierine (C9H1). Daun mengandung
alkaloid, tanin, kalsium oksalat, lemak, sulfur, peroksidase. Alkaloid yang
terdapat pada tanaman ini dipercaya dapat menyebabkan kelumpuhan cacing
pita, cacing gelang, dan cacing keremi (IPTEKb, 2005).
Setiap bagian tanaman ini secara tradisional digunakan untuk
menyembuhkan beberapa penyakit, yaitu kulit buah biasa digunakan untuk
sakit perut karena cacing, buang air besar mengandung darah dan lendir
(disentri amuba), diare kronis, perdarahan seperti wasir berdarah, muntah
darah, batuk darah, perdarahan rahim, perdarahan rektum, prolaps rektum,
radang tenggorok, radang telinga, keputihan (leukorea), dan nyeri lambung.
Bunga delima biasa digunakan unutk radang gusi, perdarahan, dan bronkhitis.
Daging buah dapat digunakan untuk cacingan, sariawan, tenggorokan, suara
parau, hipertensi, rematik, dan perut kembung. Bagian daun delima dan
daging buah biasa digunakan untuk menurunkan berat badan. Penggunaan
daun delima pada konsumsi masyarakat adalah 5 – 10 gram dalam 200 ml
pelarut (IPTEKb, 2005).

Gambar 2. Delima Putih (Punica granatum Linn)


Sumber : IPTEK (2005c)
6

C. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)


Kecombrang termasuk dalam famili Zingiberaceae. Umumnya
tanaman ini terdapat di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Deskripsi
tanaman ini sendiri adalah tanaman tahunan berbentuk semak dengan
ketinggian 1-3 m dengan batang semu yang tegak dan berpelepah serta
bentuknya menyerupai rimpang. Biasa dikonsumsi sebanyak 20 – 50 gram
dalam 200 ml pelarut.
Daun kecombrang sendiri merupakan daun tunggal dengan bagian
ujung dan pangkal runcing. Panjang daun kecombrang sekitar 20-30 cm,
dengan lebar 5-15 cm. Daunnya berwarna hijau dengan pertulangan daun
menyirip. Sedangkan bunga kecombrang, yang dipakai dalam penelitian ini,
merupakan bunga majemuk berbentuk bongkol dengan panjang tangkainya
sekitar 40-80 cm. Bunga kecombrang berwarna merah jambu, berbulu jarang
dan didalamnya terdapat benang sari berwarna kuning dan putik berwarna
putih (warintek.ristek, 2005).
Bunga kecombrang banyak digunakan sebagai obat penghilang bau
badan, memperbanyak air susu ibu, pembersih darah, dan memiliki aktivitas
antimikroba. Kandungan kimia yang terdapat di daun, batang , bunga, dan
rimpang kecombrang adalah saponin dan flavonoid. Selain itu, kecombrang
juga mengandung polifenol dan minyak atsiri (warintek.ristek, 2005).

Gambar 3. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)


Sumber : warintek.ristek (2005)
7

D. Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.)


Kemuning merupakan tanaman famili Rutaceac, biasa tumbuh di di
semak belukar, tepi hutan, atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman
pagar dan memiliki variasi morfologi yang besar sekali. Tanaman ini dapat
ditemukan sampai ketinggian ± 400 m dpl. (IPTEKc, 2005).
Kemuning merupakan tanaman jenis semak atau pohon kecil,
bercabang banyak, tinggi 3-8 m, batangnya keras, beralur, dan tidak berduri.
Daunnya majemuk, bersirip ganjil dengan anak daun 3-9, letak berseling.
Helaian anak daunnya bertangkai, bentuk bulat telur sungsang atau jorong,
ujung dan pangkal runcing, tepi rata atau agak beringgit, panjang 2-7 cm, lebar
1-3 cm, permukaan licin, mengilap, wamanya hijau, bila diremas tidak berbau.
Sedangkan bunga kemuning merupakan bunga majemuk berbentuk tandan,
warnanya putih dan wangi, serta keluar dari ketiak daun atau ujung ranting.
(IPTEKc, 2005).
Daun kemuning mengandung cadinene, methyl-anthranilate,
bisabolene, P-earyophyllene, geraniol, carene-3, eugenol, citronellol, methyl-
salicylate, s-guaiazulene, osthole, paniculatin, tanin, dan coumurrayin.
Sedangkan kulit batang mengandung mexotioin, 5-7-dimethoxy-8- (2,3-
dihydroxyisopentyl) coumarin, sedangkan bunga kemuning mengandung
scopeletin, dan buahnya mengandung semi-ec-carotenone (IPTEKc, 2005).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan, ekstrak daun kemuning
dapat memberikan efek anti-inflamasi dan mampu menurunkan berat badan
secara invivo. Secara tradisional, kemuning banyak digunakan untuk radang
buah zakar (orchitis), radang saluran napas (bronkhitis), infeksi saluran
kencing, kencing nanah, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak tubuh
berlebihan, pelangsing tubuh, nyeri pada tukak (ulkus), memar akibat
benturan, rematik, keseleo, digigit serangga dan ular berbisa, bisul, epidemik
encephalitis B, luka terbuka di kulit. Bagian kemuning yang biasa digunakan
sebagai obat adalah daun, ranting, akar, dan kulit batang. Konsumsi daun
kemuning pada masyarakat menggunakan 20 – 60 gram daun dalam 200 ml
pelarut (IPTEKc, 2005).
8

Gambar 4. Kemuning (Murraya paniculata [L..] Jack.)


Sumber : IPTEK (2005)

E. Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)


Jati belanda merupakan tanaman famili Sterculiaceae. Bentuknya
pohon dengan tinggi lebih kurang 10 meter. Batang keras, bulat, permukaan
kasar, banyak alur, berkayu, bercabang, warna hijau keputih-putihan. Daun
tunggal, bulat telur, permukaan kasar, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal
berlekuk, pertulangan menyirip, panjang 10-16 cm, lebar 3-6 cm, berwarna
hijau. Bunganya tunggal, bulat di ketiak daun, warna hijau muda, buahnya
kotak, bulat, keras, permukaan berduri, dan berwarna hitam (IPTEKd, 2005).
Bagian pohon yang biasa digunakan adalah daun, biji, dan buah.
Daun jati Belanda dapat digunakan untuk mengurangi kegemukan, buahnya
digunakan untuk menyembuhkan penyakit bronkhitis, sedangkan bijinya
digunakan untuk mengurangi kegemukan dan menyembuhkan sakit perut
(IPTEKd, 2005). Senyawa kimia yang terkandung pada daun jati belanda yaitu
saponin, tanin, alkaloida, dan flavonoida. Penggunaan daun jati belanda adalah
sebanyak 5 – 10 gram dalam 150 ml pelarut (warintek.ristek, 2005).
Daun jati belanda biasa digunakan untuk obat penurun kolesterol.
Daun jati belanda dipercaya bisa meluruhkan lemak dan menurunkan kadar
kolesterol dalam darah. Senyawa tanin dan musilago yang terkandung dalam
daun Jati belanda dapat mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam
9

permukaan usus halus sehingga dapat mengurangi penyerapan makanan dan


proses obesitas (kegemukan) dapat dihambat (IPTEKd, 2005).

Gambar 5. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)


Sumber : IPTEK (2005)

F. Eritrosit
Eritrosit adalah sel darah merah dan terdapat sekitar 4 – 6 juta/mm3.
diameternya 6.6 – 7.5 um, namun ada pula yang diameternya lebih dari 9 um
(macrocytes) atau kurang dari 6 um (microcytes). Sel darah merah kaya
hemoglobin, suatu protein yang dapat mengikat oksigen. Dengan begitu, sel darah
merah bertanggungjawab untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang sebagian karbondioksida. Namun, kebanyakan CO2 dibawa oleh
plasma dalam bentuk karbonat terlarut.
Eritrosit merupakan sel yang sangat terdiferensiasi, berupa kantung-
kantung dikelilingi oleh membran plasma yang mengandung hemoglobin. Sebesar
33% berat sel eritrosit merupakan hemoglobin. Eritrosit yang telah dewasa, selain
tidak mengandung nukleus, ribosom, dan mitokondria, juga telah kehilangan
kemampuan untuk mensintesis protein dan metabolisme aerobik. Selain itu,
eritrosit yang telah dewasa juga telah kehilangan kemampuannya untuk
mensintesis membran yang baru (Weiss et.al., 1977).
Sel darah merah mamalia yang tidak memiliki nukleus, membuat lebih
banyak ruang bagi hemoglobin. Selain itu, bentuknya yang bikonkaf
meningkatkan rasio volume permukaan dan sitoplasma. Karakteristik ini membuat
10

difusi oksigen lebih mudah pada sel darah merah. Dengan mikroskop elektron,
eritrosit dapat memiliki berbagai macam bentuk, yaitu normal (discocyte).,
crenated, echinocyte, codocyte, oat, bulan sabit, helmet, pinched, pointed,
berlekuk, poikilocyte, dan sebagainya. Paruh hidup eritrosit sendiri adalah sekitar
120 hari.
Eritrosit sendiri memiliki beberapa sistem membran yang dapat
melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida
dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam
askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air
(berada di plasma) dan α-tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal
bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit (Qin Yan Zhu et.al., 2002).

3
1

Gambar 7. Perbandingan eritrosit


(1), trombosit (2), dan leukosit (3)
Sumber :Buhler (2000)

Gambar 6. Sel eritrosit


Sumber : Buhler (2000)

G. Hemolisis eritrosit
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit disebabkan oleh kehadiran tiba-tiba
larutan merah cerah yang berasal dari hemoglobin keluar dari eritrosit, dan sering
digunakan untuk mengukur kecepatan penetrasi suatu komponen masuk ke dalam
eritrosit (Girrese, 1979). Parameter-parameter yang penting dan dapat digunakan
untuk mendeteksi kerusakan akibat toksik pada membran eritrosit antara lain
adalah hemolisis, kehilangan ion potasium, autooksidasi membran lipid,
perubahan fluiditas eritrosit, perubahan bentuk membran, pengendapan protein
11

membran, dan perubahan rasio volume terhadap luas permukaan membran sel
(Luke et.al., 1987).
Eritrosit sangat mudah mengalami lipid peroksidasi dikarenakan
kandungan lemak tidak jenuh ganda yang sangat tinggi, kandungan oksigen yang
tinggi, dan keberadaan logam transisi. PUFA, fosfolipid, dan kolesterol bebas
adalah dasar dan konstituen permanen bagi membran seluler. Membran-membran
seluler ini terbentuk dalam lapisan bilayer dimana senyawa makromolekul protein
seperti reseptor, pembawa spesifik, dan enzim dimasukkan. Pada sistem biologis,
PUFA merupakan komponen esensial dari biomembran, yang bersifat sangat
rentan terhadap peroksidasi (Bermond, 1990).
Oleh sebab itu, eritrosit merupakan media yang tepat untuk menganalisa
kapasitas antioksidan ataupun daya toksik suatu zat tertentu secara in vitro,
terutama terhadap stabilitas biomembrannya. Reactive oxygen species (ROS) yang
terbentuk pada fase air atau lipid dapat menyerang membran eritrosit yang
mengakibatkan oksidasi lipid dan protein, memicu kerusakan membran yang
berakibat pada terjadinya hemolisis (Qin Yan Zhu et.al.,, 2002).
Pada fungsi fisiologis normal, mayoritas ROS diproduksi pada rantai
transport elektron di dalam mitokondria, karena sebanyak 90% konsumsi oksigen
oleh tubuh direduksi menjadi air terjadi di mitokondria. Walaupun begitu, ROS
juga dihasilkan di jalur biokimia lain pada tubuh. Contohnya, proses
penghancuran oleh neutrofil terhadap bakteri, virus, dan senyawa xenobiotik, β-
oksidasi dari lemak, aktivasi sitokrom P450 dan lainnya (Ji, 1999)
Oksigen merupakan elektron penerima yang sifatnya universal berfungsi
menghasilkan energi bagi organisme aerobik dari dalam bahan pangan seperti
karbohidrat, lemak, dan protein. Proses katabolisme dapat menghasilkan radikal
bebas oksigen dan reactive oxygen species (ROS) seperti superoksida (°O2-),
radikal hidroksil (OH°), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Ji, 1999).
H2O2 dapat dihasilkan dari proses pengubahan °O2- (superoksida) yang
dihasilkan dari hasil kerja enzim superoksida dismutase (SOD) yang terdapat pada
membran eritrosit. H2O2 yang terbentuk nantinya akan diubah menjadi air (H2O)
oleh enzim katalase dan glutation peroksidasi. Hidrogen peroksida sendiri
merupakan oksidator yang tidak terlalu berbahaya, akan tetapi kehadiran ion
12

logam transisi seperti besi, yang diubah dari bentuk ferric menjadi ferrous oleh
°O2-, dapat bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan radikal hidroksil (°OH)
yang sangat reaktif (Yoshikawa et.al., 1997). Reaksi H2O2 dan Fe2+ digambarkan
sebagai berikut ; H2O2 + Fe2+ → Fe3+ + OHº + OH-.
Kekurangan pada sistem antioksidan, terjadinya proses oksidasi yang
tinggi, atau terjadinya beberapa kelainan pada darah seperti β-thalasemia, sickle
cell anemia, dan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase dapat meningkatkan
kecenderungan eritrosit terhadap peroksidasi (Qin Yan Zhu et.al., 2002).
Penggunaan eritrosit sebagai media uji kapasitas antioksidan alami dapat
menentukan kekuatan aktivitas antioksidan tersebut, interaksinya dengan sel
hidup, dan kemungkinan sinergisme dengan keberadaan komponen lain dalam
sistem seluler.
Pengujian aktivitas anti hemolisis pada sel darah merah banyak dilakukan
dengan penambahan larutan pengoksidasi seperti H2O2 atau senyawa-senyawa
aldehid (asetaldehid, formaldehid, dan glutaraldehid). Senyawa-senyawa aldehid
dapat bereaksi mengakibatkan hemolisis dengan banyak cara. Formaldehid
bereaksi dengan protein dan asam nukleat, yang dapat mengakibatkan kerusakan
membran. Dalam sistem tubuh manusia, terdapat beberapa enzim yang dapat
mengkatalisis oksidasi formaldehid menjadi asam format. Salah satu enzim
terpenting adalah NAD-dependent formaldehyde-dehydrogenase, yang
membutuhkan GSH (reduced glutathione) sebagai kofaktor (Andel et.al., 2002).
Sedikitnya ada 7 enzim berfungsi sebagai katalisator oksidasi formaldehid
pada jaringan mahluk hidup, antara lain ; aldehid dehidrogenase, xantinoksidase,
katalase, peroksidase, gliserinaldehid-3-fosfat dehidrogenase, aldehid oksidase,
dan DPN-dependent formaldehyde dehydrogenase. Proses oksidasi tersebut terjadi
sebagian besar di hati, tetapi juga terjadi di eritrosit, otak, ginjal, dan otot (Andel
et.al., 2002).
Hasil penelitian oleh Horwitt (1956), menunjukkan bahwa persentase
hemolisis pada panelis dengan suplai tokoferol dan tidak disuplai tokoferol
mengalami kenaikan dan penurunan selama selang waktu pengamatan. Pengujian
dilakukan dengan metode absorbansi pada panjang gelombang 540 nm dari
13

suspensi eritrosit yang telah didiamkan selama 3 jam dan diagitasi pada selang
waktu 15 menit agar sel eritrosit tetap tersuspensi pada larutan balanced salt.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Qin Yan Zhu (2002), terhadap
aktivitas penghambatan hemolisis eritrosit menggunakan ekstrak kokoa yang
diinduksi dengan AAPH (2,2’-azo-bis (2-amidinopropane) dihidroklorid). Ekstrak
kokoa dihilangkan kandungan lemaknya dengan menggunakan aseton dan
dibandingkan dengan aktivitas penghambatan hemolisis dari asam askorbat pada
konsentrasi 2, 4, 6, dan 8 mg/ml. Ekstrak kokoa memberikan nilai aktivitas
penghambatan hemolisis lebih tinggi dibandingkan dengan asam askorbat pada
masing-masing konsentrasi. Nilai aktivitas penghambatan hemolisis dengan
ekstrak kokoa mencapai 60 %, dan asam askorbat mencapai 40 % pada
konsentrasi 8 mg/ml.
Penelitian yang dilakukan oleh Lanping (2000), menunjukkan aktivitas
penghambatan hemolisis menggunakan komponen polifenol ekstrak teh hijau
(epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin, dan epigalokatekin galat). Pada
penelitian ini, hemolisis eritrosit diinduksi secara in vitro dengan menggunakan
berbagai konsentrasi AAPH (2,2’-azo-bis (2-amidinopropane). Hasil penelitian ini
dinyatakan sebagai persentase hemolisis sel eritrosit pada rentang waktu
pengamatan 60 hingga 240 menit. Persentase hemolisis terendah terdapat pada sel
eritrosit yang ditambahkan epigalokatekin galat 30.0 mmol/L (konsentrasi
tertinggi) yaitu 20 %. Pada penelitian ini juga dilakukan perbandingan interaksi
komponen polifenol (30.0 mmol/L) secara langsung terhadap sel eritrosit yang
diinduksi oleh AAPH. Penambahan epikatekin menyebabkan hemolisis sel
eritrosit hingga 80 %, lebih tinggi bila dibandingkan kontrol sel eritrosit tanpa
penambahan komponen polifenol yaitu 65 %.

H. Antioksidan
Antioksidan merupakan jenis senyawa yang digunakan untuk menangkap
radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dengan menstabilkan
radikal tersebut. Senyawa ini berfungsi untuk melindungi bahan pangan dari
kerusakan karena terjadinya reaksi oksidasi lemak yang menjadikan bahan pangan
yang berasa dan beraroma tengik (Andarwulan, 1995).
14

Menurut Kochar dan Rossell (1990), antioksidan pangan biasa diterapkan


untuk zat yang menghambat reaksi rantai radikal bebas yang terdapat di dalam
oksida lipida, tetapi istilah tersebut digunakan tidak hanya untuk pengertian
sempit di atas karena kompleksitas dalam sistem pangan. Antioksidan dapat
menghambat dan mencegah proses oksidasi walaupun terdapat dalam jumlah yang
sedikit dan tubuh juga memiliki sistem antioksidan alami yang dapat di produksi
sendiri.
Komponen antioksidan alami dalam pangan dapat berupa :
1) Komponen endogenous dalam satu atau lebih komponen makanan tersebut
2) Merupakan komponen yang terbentuk dari berbagai reaksi selama proses
3) Zat tambahan pangan yang diisolasi dari sumber alami
Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan primer dan sekunder
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu ; antioksidan primer atau antioksidan
pemecah rantai (chain breaking antioxidant) dapat bereaksi dengan radikal lemak
dan mengubahnya menjadi produk yang stabil dengan melepas hidrogen, seperti
tokoferol lesitin, asam askorbat. Antioksidan sekunder mencegah prooksidator
sehingga dapat digolongkan sebagai sinergis, seperti asam sitrat dan EDTA
(Bender, 1982).
Menurut Kochar dan Russell (1990), antioksidan diklasifikasikan menjadi
lima jenis yaitu :
1) Antioksidan primer, utamanya senyawa fenolik yang dapat menghentikan
rantai radikal bebas oksidasi lemak. Yang termasuk kelompok ini antara
lain tokoferol, alkil galat, BHA, BHT dan TBHQ.
2) Perangkap oksigen , seperti asam askorbat (vitamin C), askorbil palmitat,
asam eritrobat dan garam natriumnya, yang bereaksi dengan oksigen dan
dapat menghilangkan dalam sistem tertutup.
3) Antioksidan sekunder, seperti dilauril tiodipropionat yang bekerja dengan
memecah hidroperoksida lemak menjadi produk akhir yang stabil.
4) Antioksidan enzimatik, seperti glukosa oksidse, superoksidase dismutase,
katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan ini bekerja dengan
melenyapkan pelarut oksigen.
15

5) Chelating agent atau sekustran, seperti asam sitrat, asam amino, EDTA,
yang mengkelat ion logam seperti tembaga (Cu) dan besi (Fe) yang
mengkatalisis oksidasi lemak.
Sedangkan menurut Ranney (1979), antioksidan dapat digolongkan
menjadi tiga berdasarkan prinsip kerja dalam mencegah oksidasi, yaitu :
1) Antioksidan gugus fenol dan amin aromatik yang akan bereaksi dengan
radikal bebas dari sistem membentuk produk substrat non-radikal dan
radikal antioksidan
2) Antioksidan yang dapat menghilangkan molekul-molekul hidroperoksida
dari substrat tetapi tanpa melibatkan radikal bebas
3) Antioksidan menginaktifkan logam yang digunakan untuk mempercepat
reaksi oksidasi.
Komponen antioksidan yang ada pada alam mempunyai struktur kimia
yang berbeda-beda. Pada umumnya senyawa tersebut adalah asam amino, asam
askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavanoid, melanoidin, asam organik tertentu,
zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin, dan tokoferol (Dugan, 1985)
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa cara..
DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil)
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol dan
berwarna ungu tua. Pada metode DPPH, pencegahan radikal DPPH biasanya
diikuti dengan pengamatan terhadap penurunan nilai absorbansi pada 515 nm
yang terjadi akibat reaksi antara antioksidan (AH) atau reaksi dengan radikal.
DPPH° + AH → DPPH-H +A°
DPPH° + R → DPPH-R

N N

N• NH
NO2 NO2 NO2 NO2
+ AOH

NO2 NO2

Gambar 8. Mekanisme reaksi antioksidan pada DPPH


16

Reaksi yang cepat dari radikal DPPH terjadi dengan beberapa polifenol,
termasuk tokoferol, tetapi reaksi sekunder yang lambat dapat menyebabkan
penurunan yang progresif pada nilai absorbansi, oleh sebab itu keadaan tetap
(steady state) mungkin tidak tercapai pada beberapa saat lamanya. Beberapa
laporan mengatakan bahwa aktivitas pencegahan terjadi setelah 15 hingga 30
menit. (Gordon, 1992)

I. Komponen fenolik
Senyawa fenolik merupakan senyawa kimia yang memiliki satu buah
cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi, termasuk
turunan fungsionalnya (ester, metil ester, glikosida, dan lainnya). Kebanyakan
polifenol memiliki 2 atau lebih grup hidroksil dan merupakan komponen bioaktif
yang terdapat secara luas pada pangan nabati (Tang, 1992).
Senyawa ini merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman.
Kebanyakan komponen fenolik pada tanaman terdapat pada vakuola dari tanaman
tersebut, oleh sebab itu, kebanyakan dari polifenol yang telah dikenal luas
memiliki potensi untuk bereaksi dengan protein atau komponen sitoplasma
lainnya (Tang, 1992).
Senyawa polifenol tanaman banyak terdapat pada kulit kayu, batang, daun,
buah, akar, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt, 1992). Pada tanaman, komponen
fenolik digunakan sebagai respons perlindungan terhadap serangan patogen.
Komponen fenolik dapat terdiri dari fenol-fenol sederhana, asam fenolik,
turunanan asam hidroksinamat, dan flavanoids (Tang, 1992).
Senyawa fenol pada tanaman dapat mengalami berbagai reaksi. Salah
satunya adalah browning enzimatis. Reaksi ini diakibatkan oleh polifenol oksidase
pada tanaman tersebut. Proses tersebut dapat mengakibatkan penurunan
kandungan gizi dan perubahan warna serta flavor. Proses kompleks polifenol
dapat terjadi secara reversible atau irreversible dan dapat melibatkan banyak
komponen, seperti protein, polisakarida, alkaloid, antosianin, dan lainnya. Fenolik
bebas dan produk oksidasinya dapat berinteraksi dengan protein makanan dan
menghambat aktivitas enzim seperti oksidase, tripsin, arginase dan lipase
(Haslam, 1992).
17

Fungsi senyawa fenolik dalam kapasitasnya sebagai antioksidan telah


banyak diteliti. Zat perangkap radikal (radical scavenger) umumnya memberikan
satu elektron kepada elektron yang tidak berpasangan dari radikal bebas sehingga
menetralkannya. Polifenol diketahui sangat aktif dalam hal ini, begitu pula dengan
propilgalat, ellagic acid, flavonoids, asam askorbat, dan tokoferol. ( Bors et.al.,
1992).
Radikal fenol yang terbentuk relatif stabil karena delokalisasi resonansi
elektron yang tidak berpasangan dan tidak adanya tempat yang cocok pada
molekul radikal fenol tersebut untuk diserang oleh molekul oksigen (Shahidi
et.al., 1995). Aktivitas antioksidan dari senyawa fenol dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu adanya agen pengkelat, pH lingkungan sekitar, kelarutan,
ketersediaan senyawa fenol dalam suatu bahan, dan stabilitas senyawa fenol.
Kekuatan dari efek antioksidan polifenol tergantung dari tipe grup polifenol dan
jumlahnya dalam setiap molekul (Okuda, 1992).
Pengujian kapasitas fenol umumnya dilakukan dengan menggunakan uji
fenol-ciocalteau. Metode ini digunakan untuk menentukan total fenolik pada
sampel. Reagen folin-ciocalteau adalah metode yang tidak spesifik dan dapat
mendeteksi seluruh fenol yang terdapat pada sampel. Kekurangan dari metode ini
adalah adanya kemungkinan gangguan dari komponen pereduksi lainnya seperti
asam askorbat (Shahidi et.al, 1995).

J. Penggunaan sel eritrosit untuk uji in vitro


Penggunaan sel eritrosit pada pengujian secara in vitro kurang tepat bila
dikatakan sebagai kultur sel. Hal ini diakibatkan karena sel eritrosit yang tidak
dapat tumbuh dan berkembang biak seperti halnya sel hidup lain (misal ; sel
limfosit). Sel eritrosit tidak memiliki nukleus, mitokondria dan organel-organel
sel lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Akan
tetapi, inkubasi sel eritrosit selama pengujian memerlukan lingkungan yang sesuai
agar dapat tetap hidup dan mendekati keadaan sebenarnya seperti di dalam tubuh.
Oleh sebab itu, perlakuan pada pengujian dengan menggunakan kultur sel dapat
diterapkan pada inkubasi sel eritrosit.
Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk
mengembangbiakan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel dapat digunakan untuk
18

mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau dari


keberadaan senyawa berbahaya pada sel (Novikoff dan Erick, 1970). Untuk
melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip
dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2,
pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi (Davis, 1994).
Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel
dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2, sehingga
kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Malole, 1990). Menurut Davis
(1994), kondisi optimal kultur untuk sel mamalia umumnya adalah memiliki pH
7.2 – 7.5, osmolalitas 280 – 320 mOsmol/kg, kandungan CO2 2 – 5 %, serta
temperatur 35 – 37°C.
Menurut Malole (1990), faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam
kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah
mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat
bertahan hidup, dan juga menyediakan substansi-substansi yang tidak dapat
disintesis oleh sel itu sendiri. Menurut Davis (1994), media kultur harus
menyediakan semua nutrien esensial, vitamin dan kofaktor, susbtansi metabolik,
asam amino, ion inorganik, elemen kasar, dan faktor pertumbuhan yang
diperlukan untuk mendukung fungsi seluler dan sintesis sel baru.
Media yang digunakan pada inkubasi sel eritrosit adalah balanced salt
solution .Balanced salt solution adalah larutan kombinasi dari garam-garam
inorganik yang dapat mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. Ion-ion
organik yang ada juga digunakan untuk mempertahankan membran potensial,
kofaktor pada reaksi enzim, dan pelekatan sel. Ion-ion organik yang ada antara
lain adalah Na+, K+, Mg2+, Ca2+, Cl-, SO42-, PO43-, dan HCO3-. Umumnya
balanced salt solution tidak mengandung nutrien-nutrien yang diperlukan untuk
pemeliharaan sel jangka panjang (Davis, 1994). Oleh sebab itu, balanced salt
solution digunakan sebagai media dalam uji kultur sel eritrosit yang tidak
memerlukan waktu pemeliharaan lama.
Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga keseimbangan pH agar tetap
memiliki nilai 7.4. Menurut Griffiths (1992), pertumbuhan sel memerlukan pH
7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7,
19

maka pertumbuhan sel akan terhambat. Kapasitas buffer dari medium dapat
ditingkatkan dengan keberadaan fosfat pada balanced salt solution.
Suhu dipertahankan 370C dengan konsentrasi CO2 5% dan O2 95% untuk
menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh
langsung terhadap sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan
kelarutan CO2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer
(Freshney,1994).
20

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT


1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah daun ceremai, daun delima


putih, daun jati belanda, daun kemuning, dan bunga kecombrang diperoleh
dari Balitro, Bogor. Bahan kimia yang dipakai untuk ekstraksi adalah
akuades, etanol 96%, dan kertas saring Whatman No.42 diperoleh dari
Setia Guna, Bogor. Bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi sel eritrosit
dan kultur sel adalah darah dari donor yang sehat, aquades, akuabides,
etanol 70%, fycoll-histopaque (Sigma, USA), biru tripan, dan PBS
(Phospat Buffer Saline). Bahan kimia yang digunakan untuk pengujian sel
darah merah adalah PBS (Phospat Buffer Saline), H2O2 0.5 %, dan
formaldehid 5 %. Bahan kimia yang dipakai untuk analisis kimia K2SO4,
HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, asam borat, HCl 0.02 N, indikator
metil merah dan metil biru, dan aquades. Bahan kimia yang digunakan
untuk analisis antioksidan adalah larutan DPPH (2,2-diphenyl-1-
picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) 3 mM segar, metanol,
HPO3, asam askorbat, dan larutan buffer asetat (campuran Na-asetat dan
asam asetat). Bahan kimia yang digunakan untuk analisis total fenol adalah
etanol, air deion, pereaksi Folin Ciocalteau 50%, Na2CO3 5%, dan asam
tanat. Bahan kimia lain yang digunakan adalah KmnO4.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk


ekstraksi dan persiapan sampel, yaitu blender kering, peralatan gelas,
kompor, panci, kain saring, rotary vacuum evaporator, syringe, membran
steril 0.22 μm (Sartorius), dan tabung eppendorf. Alat-alat yang digunakan
untuk isolasi sel eritrosit dan kultur sel adalah tabung vacutainer steril,
sentrifuse CR412, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible (Nunc),
mikropipet, mikrotip, vorteks, hemasitometer (Bright-line), mikroskop
(Olympus CH 20), lempeng mikrokultur (96 well), laminar flow hood,
21

inkubator VWR Scientific (CO2 5 %, 37oC), dan Spectrophotometer


Microplate Reader (Bio-rad model 550). Alat-alat yang digunakan untuk
analisis kimia adalah oven kering, oven vakum, gegep, neraca analitik,
erlenmeyer 100 ml, cawan alumunium, labu kjedahl, pipet 5 ml, 3 ml, dan
10 ml, alat dekstruksi, alat destilasi, buret, gelas piala, sudip, dan gelas
pengaduk. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antioksidan dan total
fenol adalah spektrofotometer, kuvet, tabung reaksi, gelas piala, botol
gelap, mikropipet, pipet 5 ml, dan vorteks.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu :

1. Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu
aquades dan etanol 96 %. Bagian tanaman yang diekstrak adalah daun
(ceremai, delima putih, kemuning, jati belanda) dan bunga (kecombrang).
Hasil ekstraksi kemudian dianalisis kapasitas antioksidan dan total
fenolnya. Proses ekstraksi menggunakan perbandingan bahan segar dan
pelarut sebanyak dua kali konsentrasi normal, atau disebut C1.
Perbandingan bahan segar dan pelarut pada konsentrasi normal dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Konsumsi normal masyarakat terhadap kelima tanaman
Tanaman Konsumsi Normal
Bahan segar (g) Pelarut (ml)
a
Daun ceremai 3 – 25 200
b
Daun delima putih 5 – 10 200
c
Bunga kecombrang 20 – 50 200
d
Daun kemuning 20 – 60 200
e
Daun jati belanda 5 – 10 150
a a
) IPTEK , 2005
b
) IPTEKb, 2005
c
) Warintek.Ristek., 2005
d
) IPTEKc, 2005
e
) IPTEKd, 2005
22

Total volume akhir ekstrak ditepatkan menjadi 10 ml. Penepatan


dilakukan dengan proses pemanasan pada pelarut akuades (80°C, 10
menit), dan evaporasi berputar pada pelarut etanol (55°C). Hasil ekstraksi
digunakan dalam pengujian kadar total fenol, kapasitas antioksidan
(DPPH), dan aktivitas penghambatan hemolisis pada sel darah merah in
vitro.
Tabel 2. Perbandingan Sampel dan Pelarut
Jumlah
Sampel
Bahan segar (gr) Pelarut (ml)
Daun Ceremai 40 200
Daun Delima putih 20 200
Bunga Kecombrang 40 200
Daun Kemuning 40 200
Daun Jati belanda 15 150

Ekstraksi dengan pelarut aquades (Pandoyo, 2000)


Bahan yang telah mengalami proses pembersihan kemudian
langsung diblender dengan pelarut aqudes. Perbandingan antara bahan
dan pelarut disesuaikan dengan dua kali konsumsi masyarakat sehari-
hari (Tabel 2). Setelah diblender, larutan tersebut kemudian
dipanaskan 80°C, 10 menit. Kemudian sampel diangkat dan disaring
menggunakan kain saring. Hasil saringan disentrifus pada 2000 rpm
selama 10 menit untuk memisahkan padatan yang masih tersisa.
Supernatan yang diperoleh kemudian dipanaskan kembali sampai
diperoleh volume ekstrak akhir 10 ml untuk menyamakan volume
masing-masing hasil ekstraksi.

1.2. Ekstraksi dengan pelarut etanol (Marliyati et.al., 2005)


Bahan yang sudah melalui proses pembersihan kemudian
diblender secara kering. Setelah semua bahan diblender, kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol.
Perbandingan antara bahan dan pelarut sama dengan ekstraksi
menggunakan aquades (Tabel 2). Larutan yang diperoleh kemudian
23

dimaserasi pada suhu ruang dengan kecepatan 35 rpm. Proses maserasi


berlangsung 24 jam pada suhu ruang, kemudian larutan tersebut
disaring menggunakan pompa vakum yang diberi kertas saring
Whatman No. 1. Hasil saringan yang diperoleh kemudian dipekatkan
menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 55oC sehingga
diperoleh ekstrak pekat dengan volume 10 ml.

1.3. Persiapan hasil ekstraksi untuk inkubasi sel eritrosit


Sebelum digunakan pada kultur sel, hasil ekstraksi disterilisasi
terlebih dahulu dengan menggunakan membran 0.22 μm. Hasil
penyaringan kemudian diencerkan dengan media PBS (Phosphat
Buffered Saline) sebagai media pelarut. Melalui pengenceran diperoleh
tiga taraf konsentrasi yaitu C1, C2, dan C3. C1 merupakan dua kali
konsentrasi normal masyarakat, C2 merupakan konsentrasi normal
masyarakat, dan C3 merupakan setengah konsentrasi normal
masyarakat. Hasil ektraksi ini nantinya akan ditambahkan pada
suspensi eritrosit yang akan diinkubasi dan diuji responnya dalam
menghambat hemolisis.

2. Analisis Kimia
Analisis kimia yang dilakukan mencakup analisis kadar air, kadar
protein, kadar total fenol, dan kapasitas antioksidan. Pengujian kadar air
dan kadar protein dilakukan terhadap sampel segar tanaman, sedangkan
kadar total fenol dan kapasitas antioksidan dilakukan terhadap hasil
ekstraksi tanaman.

Analisis kadar air metode oven (AOAC,1984)


Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit
dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian
ditimbang. Sampel dipotong kecil-kecil kemudian ditimbang kurang
lebih 5 gram dalam cawan. Selanjutnya cawan beserta isinya
ditempatkan dalam oven selama 6 jam. Kemudian pindahkan cawan
ke desikator, lalu didinginkan. Setelah dingin ditimbang kembali dan
24

diulang proses pengeringan dalam oven sampai diperoleh berat yang


tetap.

Kadar air diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :


Kadar air (bb) = c – (a-b) x 100 %
c

Kadar air (bk) = c – (a-b) x 100 %


(a-b)
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g)

b = barat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

2.2. Analisis kadar protein (AOAC,1984)


Ditimbang 0.1-0.15 gram contoh. Contoh dimasukkan ke
dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg
HgO, dan 2.0±0.1 ml H2SO4. Contoh kemudian dididihkan sampai
cairan menjadi jernih (1 jam). Larutan jernih ini kemudian
dipindahkan ke alat destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1-2
ml). Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan
10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Digunakan asam standar, yaitu asam
borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil dan
metil biru. Destilasi dihentikan saat terjadi perubahan warna asam
standar dari biru violet menjadi hijau. Cairan hasil destilasi (dalam
erlenmeyer) kemudian dititrasi oleh HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi
ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi biru keunguan/abu-
abu.

Kadar protein diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :


%N = ( ml HCL sampel – ml HCL blanko ) x N HCL x 14.007
X 100
mg contoh
Kadar Protein (KP) % = Faktor Konversi x %N
25

2.3. Analisis Total Fenol


Analisis terhadap total fenol sampel dilakukan menurut
metode Chandler dan Dodds yang dimodifikasi (Shetty et.al , 1995).
Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
telah berisi 1 ml etanol 95 % dan 5 ml air bebas ion. Pereaksi Folin-
Ciocalteau (50%, 0,5 ml) ditambahkan pada masing-masing sampel.
Campuran tersebut kemudian divorteks dan didiamkan selama 5
menit. Setelah 5 menit, ditambahkan 1 ml Na2CO3 5 %, kemudian
divorteks dan disimpan selama 60 menit dalam ruang gelap. Sampel
dihomogenisasi kembali, dan absorbansinya diukur pada panjang
gelombang 725 nm. Standar yang digunakan adalah asam tanat.
Dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm.

2.4. Analisis Kapasitas Antioksidan (Hatano et.al., 1988)


Analisis kapasitas antioksidan dilakukan dengan
menggunakan metode DPPH. Sebanyak 2 ml buffer asetat dicampur
dengan 3.75 ml metanol dan 200 μl larutan DPPH. Campuran
kemudian divorteks. Setelah itu ditambahkan 50 μl sampel / larutan
standar. Larutan kemudian divorteks dan didiamkan selama 20 menit
di ruang gelap. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang
517 nm. Kontrol negatif yang digunakan adalah metanol, sedangkan
kontrol positif yang digunakan adalah asam askorbat (50, 100, 200,
500, dan 1000 ppm). Kapasitas antioksidan diperoleh dengan
perhitungan sebagai berikut :

Kapasitas antioksidan (%) = [ A kontrol (-) – A sampel ]


X 100
A kontrol (-)

3. Isolasi Sel Eritrosit (Qin Yan Zhu, 2002)

Darah donor diambil secara aseptis dan disimpan dalam tabung


vacuntee steril yang sudah terdapat EDTA 0.1 %. Darah yang diambil
26

sebanyak kira-kira 30 ml, dan EDTA 0.1 % berfungsi sebagai


antikoagulan darah. Pengambilan dilakukan di klinik Farfa, Dramaga,
Bogor oleh seorang suster.
Darah tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifus
steril dan pengerjaannya dilakukan di dalam laminar hood. Darah pada
penelitian ini akan digunakan dalam pengujian aktivitas proliferasi dan
aktivitas anti hemolisis. Pemisahan sel eritrosit pada penelitian ini
didahului oleh pemisahan sel limfosit untuk digunakan pada pengujian
aktivitas proliferasi.
Sampel darah disentrifus selama 10 menit pada 2000 rpm. Sel
eritrosit akan berada di bagian paling bawah dan plasma akan berada di
bagian atas. Di antara lapisan sel darah merah dan plasma terdapat lapisan
buffycoat yang sebagian besar merupakan sel limfosit. Lapisan sel eritrosit
yang terdapat pada lapisan terbawah tabung sentrifus dapat digunakan
untuk pengujian penghambatan hemolisis. Akan tetapi, pada penelitian ini
yang digunakan adalah sel eritrosit yang telah dipisahkan melalui
pemisahan sel limfosit dengan menggunakan Hystopaque.
Lapisan buffycoat diambil dengan menggunakan mikropipet.
Lapisan buffycoat yang diambil ini masih mengandung sel eritrosit dan
plasma. Kemudian pemisahan sel limfosit dilakukan dengan menggunakan
Histopaque (buffycoat : Histoaque = 1:1). Pemisahan dengan Histopaque,
yang setelah disentrifus 2500 rpm selama 30 menit, akan mengakibatkan
pemisahan secara utuh antara sel limfosit dan eritrosit. Sel eritrosit akan
mengendap di dasar tabung bersama sel lainnya yang mempunyai densitas
cukup tinggi seperti granulosit.
Sel eritrosit yang mengendap di bawah dicuci tiga kali dengan
menggunakan larutan PBS (Phosphat Buffer Saline) lima kali volume sel
eritrosit yang diambil. Sebanyak 1 ml sel eritrosit dicuci dengan 5 ml
larutan PBS, kemudian disentrifus 2000 rpm selama 10 menit. Sel eritrosit
akan mengendap di dasar tabung dan larutan PBS akan berwarna kuning
jernih. Pencucian dilakukan sebanyak tiga kali hingga larutan PBS hampir
tidak berwarna dan jernih.
27

Sel eritrosit yang telah mengendap di dasar tabung kemudian


ditambahkan kembali dengan larutan PBS. Suspensi eritrosit kemudian
diencerkan agar jumlah sel dapat dihitung. Pengenceran dilakukan
sebanyak 300 kali dan jumlah sel dihitung, sel yang hidup harus lebih dari
95% agar dapat dipergunakan untuk pengujian hemolisis sel eritrosit.
Perhitungan jumlah sel hidup di atas 95% dilakukan dengan
hemasitometer dan larutan pewarna trifan biru.

Sel limfosit

Sel eritrosit

Gambar 9. Hasil pemisahan sel eritrosit menggunakan Hystopaque

4. Pengujian Respons Perlindungan Eritrosit Terhadap Hemolisis (Qin


Yan Zhu, 2002)
Suspensi sel eritrosit yang hidup di atas 95% disiapkan. Suspensi
sel tersebut kemudian ditambahkan ke dalam sumur sebanyak 60 μl.
Kemudian, ke dalam tiap – tiap sumur tersebut ditambahkan ekstrak
sebanyak 20 μl yang telah disiapkan. Ekstrak yang telah disiapkan tersebut
terdiri dari tiga taraf, yaitu C1, C2, dan C3. Well yang telah berisi suspensi
eritrosit dan ekstrak tersebut kemudian didiamkan selama 10 menit pada
inkubator bersuhu 37°C agar ekstrak dapat bercampur seluruhnya dengan
suspensi eritrosit.
28

Suspensi eritrosit dan ekstrak tersebut kemudian ditambah dengan


larutan H2O2 0.5% atau formaldehida 5% sebanyak 20 μl untuk memicu
terjadinya hemolisis. Kontrol negatif yang digunakan adalah suspensi
eritrosit yang hanya ditambahkan larutan oksidator. Larutan Phosphat
Buffered Saline digunakan untuk menyamakan volume dari masing-
masing suspensi dalam sumur. Volume dari masing-masing suspensi
dalam sumur adalah 100 μl. Dilakukan 3 ulangan pada masing-masing
suspensi yang hendak diukur absorbansinya.
Inkubasi dilakukan dalam inkubator bersuhu 37°C selama 2 jam.
Pengukuran dilakukan setiap 20 menit sekali dengan menggunakan
Spectrophotometer Micropalate Reader pada panjang gelombang 450 nm.

% Pencegahan Hemolisis = (Abs. Kontrol Negatif – Abs. Sampel)


X 100
Abs. Kontrol Negatif

Keterangan :
Abs. Kontrol Negatif : Absorbansi suspensi eritrosit + oksidator
Abs. Sampel : [(Absorbansi suspensi eritrosit + hasil ekstraksi +
oksidator)-(Absorbansi hasil ekstraksi)]
29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Ekstraksi
Tahap ekstraksi dilakukan dengan menggunakan dua pelarut, yaitu
akuades dan etanol 96 %. Ekstraksi dilakukan pada daun ceremai, delima
putih, jati belanda, dan kemuning, sedangkan pada kecombrang, ekstraksi
dilakukan pada bunganya. Bagian tanaman tersebut merupakan bagian
tanaman yang umum untuk dikonsumsi oleh masyarakat secara tradisional.
Proses ekstraksi harus dilakukan dengan menggunakan pelarut yang
sesuai. Pelarut polar digunakan untuk mengekstrak komponen polar pula, dan
sebaliknya. Selain itu, rasio pelarut dan sampel yang hendak diekstrak, suhu
yang digunakan selama proses ekstraksi, serta lamanya proses ekstraksi juga
turut menentukan hasil yang didapatkan selama proses ekstraksi.
Akuades digunakan sebagai pelarut karena umum digunakan dalam
proses ekstraksi pada kehidupan sehari-hari. Sedangkan pelarut etanol
digunakan karena memiliki polaritas lebih tinggi daripada aquades sehingga
diharapkan lebih banyak melarutkan komponen polar. Umumnya, komponen
terlarut yang dapat diperoleh dengan menggunakan pelarut akuades atau
etanol adalah komponen fenolik (Shahidi et.al., 1995).
Menurut Shahidi (1995), pelarut yang sering digunakan untuk proses
ekstraksi polifenol meliputi metanol, etanol, aseton, air, etil asetat, propanol,
dimetilformamide, dan kombinasi antara pelarut-pelarut tersebut. Kelarutan
polifenol diatur oleh tipe pelarut yang digunakan, derajat polimerisasi fenolik,
interaksi komponen fenolik dengan komponen lainnya dalam sampel yang
memungkinkan terjadinya kompleks yang tidak larut. Etanol dan air
digunakan untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui kandungan
kimianya secara jelas untuk alasan keamanan (Depkes, 2000). Walaupun
begitu, belum ada pelarut yang cocok digunakan untuk isolasi seluruh kelas
atau kelas yang spesifik saja dari komponen fenolik (Shahidi et.al., 1995).
Proses ekstraksi sampel dilakukan dalam keadaan basah, artinya
sampel tidak mengalami proses pengeringan terlebih dahulu, mengikuti proses
ekstraksi yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional. Perbandingan
30

sampel dan pelarut yang digunakan mengikuti perbandingan yang dilakukan


pada konsumsi masyarakat tradisional.
Menurut Harbone (1973), ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada
tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang akan diekstraksi dan pada
jenis senyawa yang akan diisolasi. Umumnya, kita perlu ”membunuh”
jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis.
Memasukkan jaringan daun segar atau bunga, dipotong-potong, ke dalam
etanol mendidih adalah suatu cara yang baik untuk mencapai tujuan itu.
Alkohol merupakan pelarut yang baik untuk mencapai tujuan tersebut.
Perhitungan jumlah ekstrak yang terdapat pada larutan hasil ekstraksi
dilakukan dengan menghitung bobot dari 10 ml ekstrak. Perhitungan bobot ini
dapat dilakukan sebagai salah satu perbandingan terhadap jumlah komponen
terekstrak yang berhasil diperoleh. Meskipun demikian, jenis komponen yang
terekstrak tersebut tidak diketahui secara jelas dan spesifik karena tidak
dilakukan proses identifikasi. Kemungkinan adanya komponen antioksidan
dalam ekstrak dan perbandingan aktivitasnya dapat diketahui dengan
dilakukannya metode fenol dan DPPH serta pengaruhnya pada sel eritrosit
kemudian, kemudian membandingkan hasil yang diperoleh dari masing-
masing metode.
Tabel 3. Bobot hasil ekstraksi sampel tanaman pada volume 10 ml
Bobot Hasil Ekstraksi
Sampel (gr)
Aquades Etanol
Ceremai 10.50 9.42
Kemuning 11.70 9.36
Kecombrang 10.90 9.31
Delima Putih 11.43 8.94
Jati Belanda 8.89 8.80

Bobot hasil ekstraksi yang dinyatakan di Tabel 3 merupakan bobot


keseluruhan dari ekstrak murni dan sisa pelarut yang digunakan untuk
mengekstrak. Penggunaan gas nitrogen (N2) dapat dilakukan untuk
memekatkan sisa ekstrak. Akan tetapi, pada penelitian ini hal tersebut tidak
dapat dilakukan. Oleh sebab itu, pada uji aktivitas penghambatan hemolisis sel
eritrosit, terdapat kemungkinan pengaruh pelarut tersebut.
31

Menurut Trandum (1999), etanol yang tidak termetabolisme memiliki


efek langsung terhadap sel, dan dapat ditunjukkan memiliki kemampuan untuk
menembus membran dan menyebabkan gangguan struktur dan metabolisme
sel normal. Pemaparan in vivo dan in vitro oleh etanol telah ditunjukkan
memiliki pengaruh terhadap sifat-sifat eritrosit, termasuk morfologi sel, umur
in vivo, dan ketahanan terhadap hemolisis (Prokopieva et.al., 2000).
Menurut Tyulina (2001), terdapat kecenderungan terhadap konsentrasi
etanol terpapar pada sel eritrosit. Konsentrasi etanol diatas 0.3 %
menunjukkan kecenderungan sel eritrosit mengalami hemolisis.
Kecenderungan untuk mengalami hemolisis tanpa kehadiran etanol adalah
sebesar 0.66 %, sedangkan penambahan 0.5 % etanol menyebabkan hemolisis
sebesar 1.11 %. Menurut Reed dan Yalkowsky (1985), penggunaan pelarut
seperti dimetil isobirde, dimetilasetamida, polietilene, glikol, dan etanol
berpotensial sangat kecil untuk mengakibatkan hemolisis secara in vitro.

2. Analisis Kimia
Kadar Air
Penentuan kadar air pada penelitian ini dilakukan dengan metode
oven kering. Metode ini menggunakan konsep gravimetri, dengan
menghitung selisih berat sampel sebelum dan setelah dikeringkan.
Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan sampel yang akan diukur.
Suhu oven yang digunakan untuk mengeringkan memiliki kisaran antara
105-110oC. Pengeringan yang dilakukan berkisar 6 jam, atau hingga berat
sampel yang dihitung tidak mengalami perubahan. Sedangkan perhitungan
kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dan berat kering.
Air merupakan komponen terbesar penyusun mahluk hidup. Fungsi
air dalam bahan pangan terkait dengan mutu bahan pangan tersebut.
Menurut Winarno (1997), air dalam bahan makanan menentukan
acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Menurut Karrel
(1979), air dapat berfungsi sebagai antioksidan pada level yang sangat
rendah dengan menurunkan aktivitas katalis dari logam dengan
32

mendukung rekombinasi radikal bebas serta menginduksi reaksi


pencoklatan non enzimatis yang dapat menghasilkan antioksidan aktif
Tabel 4. Kadar air sampel bahan segar
Sampel Kadar Air
(% b.b)
Ceremai 65.20
Kemuning 67.96
Kecombrang 92.30
Jati Belanda 63.02
Delima Putih 58.26

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bunga kecombrang memiliki


kadar air tertinggi bila dibandingkan dengan kedua sampel lain, yaitu
92.30 % (b.b), sedangkan kadar air terendah terdapat pada daun jati
belanda yaitu 58.26 % (b.b).
Menurut Karrel (1979), air memiliki kemungkinan berperan dalam
mempengaruhi interaksi radikal bebas antara lipid teroksidasi dan
komponen pangan lainnya. Air mempengaruhi konsentrasi dari radikal
inisiasi, tingkat hubungan dan mobilitas reaktan, serta fungsi relatifnya
dalam transfer radikal yang berlawanan dengan proses rekombinasi.

Kadar Protein
Perhitungan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl.
Metode ini akan menghasilkan kadar protein kasar yang terkandung dalam
sampel karena yang dihitung adalah kadar nitrogen. Protein adalah sumber
asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein mengandung pula
fosfor, belerang, dan unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno,
1997). Kekurangan analisis metode Kjeldhal adalah kemungkinan ikut
terhitungnya kadar nitrogen yang tidak berasal dari protein seperti purin,
pirimidin, vitamin, dan lainnya (Winarno, 1997).
33

Di bawah ini terdapat tabel berisi kadar protein sampel yang


dianalisa dengan metode Kjeldhal, ;
Tabel 5. Kadar protein sampel bahan segar
Sampel Kadar Protein
(%)
Ceremai 6.40
Kemuning 4.65
Kecombrang 1.38
Jati Belanda 6.05
Delima Putih 5.88

Menurut Sikorsi (2001), tingkat kelarutan protein sangat


tergantung pada struktur molekulnya sendiri, terutama pada muatan relatif
dari ikatan hidrofobik dan hidrofilik asam amino penyusunnya. Selain itu,
kelarutan protein juga dipengaruhi oleh karakteristik pelarutnya, suhu, pH,
dan kekuatan ionik.
Membran protein umumnya lebih larut dalam beberapa pelarut
organik atau kombinasi pelarut organik dan air (Sikorsi et.al., 2001).
Proses ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan akuades maupun
etanol juga dilakukan pemanasan pada suhu tertentu.
Pentingnya perhitungan kadar protein dalam sampel adalah
hubungannya dengan komponen aktif yang terdapat dalam sampel
tersebut. Fenol bebas dan produk oksidasinya diketahui berinteraksi
dengan protein bahan pangan dan menghambat aktivitas enzim-enzim
seperti oksidase, tripsin, arginase, dan lipase (Haslam et.al., 1992).
Kebanyakan dari komponen fenol pada tanaman terdapat pada
vakuola sel tanaman tersebut. Kebanyakan dari komponen fenolik tersebut
memiliki potensi untuk bereaksi dengan protein dan komponen sitoplasma
lainnya. Proses terjadinya kompleks protein dan komponen fenolik ini
dapat terjadi secara reversibel atau irreversibel dan dapat melibatkan
komponen-komponen seperti protein, polisakarida, alkaloid, dan lainnya
(Haslam et.al., 1992). Menurut Hagerman (1992), terdapat empat tipe
34

interaksi potensial antara komponen fenolik dan protein, yaitu ; ikatan


hidrogen, hidrofobik, ionik, dan kovalen. Interaksi komponen fenol dan
protein ini dapat mempengaruhi metabolisme komponen fenolik atau
protein itu sendiri di dalam tubuh atau secara invitro.

Total Kandungan Fenol


Penentuan total kandungan fenol dilakukan dengan metode Folin-
Ciocalteau. Standar yang digunakan adalah asam tanat yang nantinya
digunakan untuk membentuk suatu kurva standar.
Tabel 6. Absorbansi kurva standar asam tanat
Standar [ ] ppm Absorbansi
Asam Tanat 0 0.000
5 0.095
10 0.160
15 0.240
20 0.298
25 0.386

Perhitungan kadar fenol dilakukan dengan pengenceran ekstrak


terlebih dahulu. Pengenceran dilakukan akibat tingginya kandungan fenol
pada ekstrak sehingga spektrofometer tidak dapat membaca nilai
absorbansi dari ekstrak dalam larutan. Umumnya, ekstrak diencerkan
dengan perbandingan antara 1 : 500 sampai 1 : 1000 (Singh et.al, 2002).
Faktor pengenceran yang digunakan pada penelitian ini adalah 1 : 100.
100
90 81.37 77.84
Total fenol .10 2 (ppm)

80
70 62.31
60
50 44.11
41.57
40 32.24
30 25.84
16.57 15.51
20
4.44
10
0
Ceremai Delima Putih Kecombrang Kemuning Jati Belanda

Pelarut akuades Pelarut etanol

Gambar 10. Total kandungan fenol hasil ekstraksi


35

Analisa komponen fenolik sangat dipengaruhi oleh keadaan


alaminya, metode ekstraksi yang dilakukan, ukuran partikel sampel, waktu
dan kondisi penyimpanan, pemilihan standar, keberadaan senyawa
pengganggu lain seperti lemak dan klorofil, serta metode analisa itu sendiri
(Shahidi, 1995). Menurut Harbone (1973), penggunaan pelarut etanol saat
ekstraksi dengan rotary evaporator, hampir semua klorofil dan lipid
melekat pada dinding labu. Pemekatan dapat dilakukan dengan tepat
hingga suatu saat tertentu larutan ekstrak yang pekat dapat diperoleh tanpa
mengandung cemaran lemak.
Berdasarkan data yang diperoleh, ekstrak dengan pelarut etanol
cenderung memiliki kadar fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pelarut akuades. Hal ini disebabkan karena komponen fenolik mudah larut
pada pelarut organik yang bersifat polar seperti etanol (Hounghton dan
Raman, 1998). Selain itu, pelarut organik (etanol, aseton) mempengaruhi
struktur parsial dari molekul protein, melemahkan ikatan hidrofobiknya,
dan secara langsung berinteraksi dengan gugus bermuatan dari permukaan
molekul protein. Hal ini merusak lapisan air dari molekul dan
mengakibatkan denaturasi protein (Sikorsi et.al., 2001).
Denaturasi sempurna terjadi pada konsentrasi pelarut tinggi (65-
80%), suhu yang meningkat (20-30°C), dan waktu pemaparan yang lama
(24 jam) (Sikorsi et.al., 2001). Hal ini juga dilakukan selama proses
ekstraksi dengan pelarut etanol, yaitu konsentrasi 96%, suhu 55°C, dan
maserasi selama 24 jam. Oleh sebab itu, komponen fenolik yang diperoleh
melalui ekstraksi etanol tidak terkompleks dengan protein sehingga
memberikan nilai total fenol yang lebih tinggi.
Berdasarkan percobaan, nilai total kandungan fenol tertinggi
diperoleh oleh ekstrak sampel delima putih dengan pelarut etanol yaitu
sebesar 81.37 x 102 ppm. Sedangkan nilai total kandungan fenol terendah
diperoleh pada ekstrak Jati Belanda akuades yaitu sebesar 4.44 x 102 ppm.
36

Kapasitas Antioksidan
Perhitungan kapasitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil atau 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). DPPH
merupakan senyawa radikal stabil dalam metanol dan berwarna ungu tua
saat belum bereaksi dengan senyawa pereduksi. Proses reduksi dari
senyawa antioksidan akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi
sebagai hasil pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Asam
askorbat konsentrasi 1000 ppm sebagai kontrol positif.
100 92.51 92.76 93.42
86.31 87.47 86.4
Kapasitas antioksidan (%)

90 80.45 83.83
79.04
80 70.86
70
60
50
40
30
20
10
0
Ceremai Delima putih Kecombrang Kemuning Jati belanda

Pelarut akuades Pelarut etanol

Gambar 11. Kapasitas antioksidan ekstrak dengan metode DPPH

Reaksi yang cepat dari radikal DPPH terjadi dengan beberapa


polifenol, termasuk tokoferol, tetapi reaksi sekunder yang lambat dapat
menyebabkan penurunan yang progresif pada nilai absorbansi, oleh sebab
itu keadaan tetap (steady state) mungkin tidak tercapai pada beberapa saat
lamanya. Beberapa laporan mengatakan bahwa aktivitas pencegahan
terjadi setelah 15 hingga 30 menit.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, ekstrak kecombrang etanol
memiliki kapasitas antioksidan tertinggi yaitu sebesar 93.42%. Demikian
juga pada ekstrak dengan menggunakan akuades, kecombrang memiliki
aktivitas pereduksi DPPH terbesar yaitu 92.76 %. Sedangkan aktivitas
pereduksi DPPH terkecil pada ekstrak dengan menggunakan pelarut etanol
diketahui terdapat pada kemuning sebesar 70.86 %. Aktivitas pereduksi
DPPH terkecil pada ekstrak dengan menggunakan pelarut akuades terdapat
pada kemuning sebesar 80.45 %.
37

Seperti telah diungkapkan di atas, umumnya senyawa fenolik larut


di dalam air dan pelarut organik seperti metanol atau etanol. Pelarut etanol
lebih polar daripada pelarut akuades, sehingga kemungkinan besar lebih
banyak senyawa fenolik yang terekstrak dengan menggunakan pelarut
tersebut. Hal ini dapat terlihat pada ekstrak daun ceremai dimana
penggunaan pelarut etanol memberikan nilai aktivitas pereduksi DPPH
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut akuades. Akan tetapi,
beberapa ekstrak menunjukkan hasil sebaliknya, seperti yang terlihat pada
ekstrak jati belanda dan delima putih.
Komponen antioksidan yang ada di alam mempunyai struktur
kimia yang berbeda-beda. Pada umumnya senyawa tersebut adalah asam-
asam amino, asam askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavonoid,
melanoidin, asam-asam organik tertentu, zat pereduksi, peptida, fosfatida,
polifenol, tanin, dan tokoferol (Dugan, 1985). Sedangkan menurut Shahidi
(1995), tidak ada sistem ekstraksi yang sangat cocok untuk isolasi semua
jenis senyawa fenolik dan bahkan jenis spesifik tertentu dari senyawa
fenolik tersebut.
Hasil yang menunjukkan bahwa ekstrak daun menggunakan
pelarut akuades lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut etanol dapat
terjadi karena beberapa hal, antara lain jenis senyawa yang terdapat pada
daun tersebut, pelarut yang tidak dapat secara maksimal mengekstrak
semua jenis senyawa antioksidan, senyawa penghambat yang ikut
terekstraksi dan membentuk kompleks dengan senyawa bersifat
antioksidan, dan kekuatan dari beberapa komponen fenolik tertentu yang
lebih kuat dibandingkan komponen fenolik lainnya.
Perbandingan juga dilakukan antara kontrol asam askorbat dan
masing-masing ekstrak. Berdasarkan hasil yang didapatkan, ternyata asam
askorbat pada konsentrasi 1000 ppm (10-3 g/ml) dengan aktivitas
antioksidan 80.82 % memiliki kapasitas yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak yang rata-rata konsentrasinya sebesar 0.5 g /
ml. Hal ini dapat terjadi karena senyawa antioksidan yang diperoleh dari
sampel sulit untuk ditentukan sebagai senyawa murni sebab ada
38

kemungkinan terikat atau dihambat oleh senyawa lain. Tetapi, asam


askorbat serta senyawa antioksidan tersebut umumnya larut dalam air,
sehingga diharapkan memiliki kemampuan antioksidan yang sama baiknya
di dalam tubuh. Selain itu, apabila jumlah bahan yang dikonsumsi sama
dengan uji, maka diharapkan kapasitas antioksidannya dalam tubuh
memiliki nilai yang relatif sama dengan hasil pengujian dan asam
askorbat.

3. Pengujian respons perlindungan eritrosit terhadap hemolisis

Pengujian respons perlindungan eritrosit terhadap hemolisis dilakukan


secara in vitro, yaitu dengan menggunakan sel eritrosit yang telah diisolasi dan
diujikan dengan penambahan larutan pengoksidasi beserta ekstrak. Pengujian
hemolisis eritrosit pertama sekali dilakukan oleh Husa (1944), dan telah
dimodifikasi untuk meminimalkan efek dari komponen-komponen yang bersifat
mobil terhadap pembacaan absorbansi atau solubilitas dari hemoglobin pada
larutan akhir. Prinsip dari metode ini adalah mencampurkan sel darah merah dan
larutan dari komponen yang diuji pada berbagai konsentrasi dengan perbandingan
1 : 1 (Luke, 1987).
Pengambilan darah dilakukan secara aseptis di klinik Farfa Darmaga.
Darah ini dimasukkan ke dalam tabung vacuntee steril mengandung zat
antikoagulan yaitu EDTA 0.1%. Sel eritrosit kemudian dipisahkan dengan
komponen darah lainnya secara aseptis. Setelah dilakukan pemisahan, selanjutnya
dilakukan pengujian aktivitas komponen bioaktif dari masing-masing ekstrak
terhadap suspensi eritrosit dalam menghambat proses hemolisis. Konsentrasi
masing-masing hasil ekstrak C1 dapat dilihat pada Tabel 7.
Media yang digunakan pada proses isolasi dan pengujian adalah balanced
salt solution, yaitu larutan kombinasi dari garam-garam inorganik yang dapat
mempertahankan pH fisiologis dan tekanan osmotik. Media ini digunakan untuk
proses pemeliharaan kultur sel yang tidak memerlukan jangka waktu lama.
Terdapat berbagai macam media balanced salt solution, diantaranya adalah
Earle’s balanced salt solution, Dulbeccos’s balanced salt solution, Hanks’
balanced salt solution, dan Eagle’s spinner balanced salt solution. Sedangkan
39

media yang digunakan pada kultur sel ini termasuk jenis Dulbecco’s balanced salt
solution (Giesse, 1979).
Penggunaan senyawa aldehid (asetaldehid, formaldehid, dan glutaraldehid)
digunakan untuk mempelajari interaksi fisikokimianya terhadap sel darah merah.
Parameter-parameter yang biasa digunakan untuk menguji antara lain ; gaya
elektrokinetik, kebocoran potasium, pelepasan hemoglobin, konsumsi aldehid,
deformabilitas, dan perubahan volume (Vassar et.al., 1972).
Formaldehid (CH2O) merupakan senyawa yang larut air tetapi tidak larut
pada etanol. Formaldehid merupakan senyawa yang sangat reaktif. Formaldehid
secara cepat dioksidasi menjadi format, yang tergabung dalam molekul-molekul
makro biologis (Andel, 2002). Formaldehid dapat bereaksi dengan protein
membran sel atau DNA mengakibatkan kerusakan dan pada sel eritrosit dapat
mengakibatkan terjadinya proses hemolisis. Pada kondisi netral atau asam,
formaldehid dapat membentuk jembatan metilene antara gugus amino dari protein
dan grup OH reaktif dari fenol (Conrat et.al., 1948).
Polifenol merupakan komponen yang dapat bereaksi dengan membran
bilayer sel. Interaksi tersebut dapat terjadi melalui : a) interaksi komponen
nonpolar dan gugus hidrofobik pada interior membran, b) pembentukan ikatan
hidrogen antara bagian polar dari lipid dan bagian hidrofilik dari komponen
polifenol pada permukaan membran (Oteiza et.al., 2005)
Protein merupakan target kritikal oleh radikal bebas dikarenakan
konsentrasinya yang sangat tinggi baik di dalam atau luar sel. Banyak dari protein
tersebut memiliki sifat katalis, sehingga modifikasinya oleh radikal bebas dapat
memberikan efek berkelanjutan. Beberapa asam amino yang penting bagi protein
dan fungsi membran sangat rentan terhadap radikal bebas. Protein rentan terhadap
serangan OH° yang dihasilkan dari H2O2 atau alkoksi lipid dan radikal peroksi
sebagai konsekuensi pembentukan radikal intermediet peroksidasi lipid. Salah
satu contohnya adalah lisin, yang dapat dimodifikasi oleh produk stabil dari hasil
peroksidasi lipid seperti malonaldehid atau 4-hidroksinonenal (Evans, 1990).
Perhitungan persentase penghambatan hemolisis dilakukan dengan
membandingkan absorbansi yang terdapat pada kontrol negatif dan suspensi
eritrosit yang diuji dengan penambahan ekstrak dan oksidator. Jumlah sel eritrosit
40

pada awal pengamatan (menit ke-0) diasumsikan tidak ada yang mengalami
kematian. Nilai grafik awal yang rendah berasal dari perbedaan nilai absorbansi
suspensi eritrosit yang diberikan hasil ekstrak dan oksidator yang cukup besar
dibandingkan dengan hasil ekstrak saja. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan
bias yang dapat terjadi pada penambahan hasil ekstrak terhadap suspensi eritrosit.
Penurunan grafik persentase penghambatan hemolisis mengasumsikan
bahwa terjadi kematian sel pada suspensi eritrosit yang ditambahkan dengan hasil
ekstraksi dan oksidator. Grafik persentase pencegahan hemolisis yang cenderung
bernilai sama per satuan waktu mengasumsikan bahwa tidak ada kematian sel
yang terjadi pada suspensi eritrosit yang ditambahkan dengan hasil ekstraksi dan
oksidator.
Grafik persentase penghambatan hemolisis yang mengalami kenaikan
mengasumsikan bahwa terjadi pengurangan jumlah sel eritrosit yang mengalami
hemolisis pada suspensi eritrosit yang ditambahkan hasil ekstraksi dan oksidator.
Kenaikan ini terjadi karena jumlah sel yang mati pada suspensi eritrosit yang
ditambahkan hasil ekstraksi dan oksidator pada 20 menit sesudah pengamatan
lebih sedikit dibandingkan 20 menit sebelumnya. Hal ini mengakibatkan nilai
penurunan absorbansi pada suspensi eritrosit yang ditambahkan hasil ekstraksi
dan oksidator pada 20 sesudah pengamatan lebih kecil dibandingkan 20 menit
sebelumnya.

3.1. Uji respons penghambatan hemolisis oleh H2O2


a) Ekstrak ceremai
Nilai absorbansi yang menurun menandakan adanya kematian sel
eritrosit pada suspensi yang ditambahkan hasil ekstrak dan oksidator.
Sedangkan grafik absorbansi yang menaik menunjukkan adanya
pengurangan jumlah sel yang mati pada rentang waktu pengamatan.
Perhitungan yang dilakukan ialah membandingkan penurunan absorbansi
yang terdapat pada sel eritrosit yang diberi ekstrak dan sel eritrosit yang
tidak diberi ekstrak. Kedua jenis suspensi eritrosit tersebut kemudian
diinduksi agar mengalami proses hemolisis dengan H2O2.
41

Berdasarkan pengamatan, umumnya pencegahan hemolisis


terendah terdapat pada ekstrak C1 baik pada larutan akuades ataupun
etanol. Sedangkan pencegahan hemolisis terbaik dapat terbaca pada
ekstrak C2 dan C3. Hasil ekstraksi C1 sangat tinggi sehingga justru
merusak membran sel eritrosit tersebut. Sedangkan ekstrak C2
menunjukkan kecenderungan lebih baik dalam menghambat hemolisis.
Hal ini juga dapat terlihat dari ekstrak C3, yang ditunjukkan dengan
adanya peningkatan nilai absorbansi dari masing-masing grafik ekstrak
tersebut.
100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Ceremai air C1
50 Ceremai air C2
40 Ceremai air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 12. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak ceremai akuades.

100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Ceremai etanol C1
50 Ceremai etanol C2
40 Ceremai etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 13. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak ceremai etanol.
42

Persentase pencegahan yang cenderung turun mulai awal


pengamatan menunjukkan proses hemolisis telah terjadi pada sel eritrosit.
Komponen fenol yang terdapat pada ekstrak kemungkinan tidak mampu
mengimbangi kecepatan proses pembentukan radikal bebas serta
kerusakan membran yang mengakibatkan terjadinya proses hemolisis pada
sel eritrosit. Hal ini mungkin terjadi, karena selama proses tersebut tidak
dilakukan pengamatan secara visual atau perhitungan jumlah sel yang mati
dengan menggunakan trifan biru.
Kemudian persentase pencegahan hemolisis tersebut naik kembali
dan turun pada akhir pengamatan. Kenaikan tersebut dapat diakibatkan
pencegahan radikal bebas oleh fenol sehingga jumlah sel yang mengalami
hemolisis pada kontrol negatif lebih tinggi dibandingkan suspensi yang
ditambahkan ekstrak. Sedangkan pada akhir pengamatan, kemungkinan
jumlah fenol yang terdapat tidak mencukupi untuk menghambat proses
hemolisis oleh pembentukan radikal bebas.
Persentase penghambatan hemolisis oleh ekstrak akuades
umumnya menaik dan lebih stabil dibandingkan dengan ekstrak etanol.
Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan etanol yang masih terdapat pada
hasil ekstrak yang mengakibatkan kerusakan membran dan memicu
terjadinya hemolisis.

b) Ekstrak delima putih


Berdasarkan pengamatan, ekstrak delima putih menunjukkan hasil
yang sangat variatif. Ekstrak dengan menggunakan akuades menunjukkan
persentase pencegahan hemolisis yang cukup rendah pada ekstrak C1.
Sedangkan persentase pencegahan hemolisis yang terjadi pada ekstrak C2
dan C3 umumnya mengalami kenaikan pada tahap pertengahan waktu
pengamatan. Meskipun demikian, ekstrak C2 mengalami penurunan pada
menit ke-80 hingga ke-120. Kemungkinan besar hal ini menunjukkan
hubungan antara konsentrasi komponen fenolik yang cukup tinggi pada
ekstrak C1 dan C2 sehingga mengakibatkan hemolisis sel eritrosit
(Gambar 9).
43

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Delima air C1
50 Delima air C2
40 Delima air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 14. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak delima akuades.

Pengamatan pada ekstrak delima dengan menggunakan etanol


menunjukkan hal yang berbeda. Persentase pencegahan hemolisis yang
terjadi pada ekstrak C1 menunjukkan nilai yang cukup tinggi dan menurun
pada menit ke-80. Ekstrak C2 dan C3 menunjukkan kecenderungan
penurunan yang sangat tajam pada menit ke-0 hingga ke-20, kemudian
mengalami kenaikan kembali. Ketiga konsentrasi ekstrak ini mengalami
penurunan pada menit ke-80. Etanol yang terdapat pada hasil ekstraksi
dapat merusak membran sel serta komponen-komponen aktif yang banyak
terdapat pada ekstrak mampu mengakibatkan kerusakan membran sel
eritrosit itu sendiri.

100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Delima etanol C1
50 Delima etanol C2
40 Delima etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 15. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak delima etanol.
44

c) Ekstrak kecombrang.
Pengamatan pada ekstrak kecombrang dengan menggunakan
pelarut akuades menunjukkan variasi nilai yang cukup tinggi. Persentase
pencegahan hemolisis paling tinggi pada awal pengamatan ditunjukkan
oleh ekstrak C1. Kecenderungan menaik pada ekstrak C3 dan penurunan
pada ekstrak C1 menunjukkan keterkaitan antara jumlah komponen
fenolik yang terekstrak pada ketiga konsentrasi tersebut dengan membran
sel eritrosit.
Penurunan paling signifikan pada ekstrak C1 terjadi pada menit ke-
60, sebaliknya, ekstrak C3 dimana kenaikan nilai signifikan terdapat
hingga menit ke-60. Sedangkan ekstrak C2 mengalami penurunan pada
rentang persentase penghambatan antara 65 % - 80 %. Hal ini disebabkan
oleh kecepatan reaksi antara komponen fenolik pada masing-masing
konsentrasi dan radikal yang terbentuk tidak sama pada tiap ekstrak.

100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Kecombrang air C1
50 Kecombrang air C2
40 Kecombrang air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (m enit)

Gambar 16. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kecombrang akuades.

Ekstrak kecombrang etanol menunjukkan bahwa ekstrak C1


memiliki kemampuan menghambat yang cukup tinggi, dibandingkan
ekstrak C2 dan C3. Ekstrak C2 menunjukkan penurunan hingga menit ke-
40, sedangkan ekstrak C3 menunjukkan perubahan nilai yang cukup besar
pada menit ke-20 hingga ke-40. Pada selang waktu ini, kemungkinan besar
45

ekstrak C3 dapat mengimbangi pembentukan radikal bebas pada larutan,


akan tetapi turun kembali dengan tajam pada menit ke-100 hingga ke-120.

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kecombrang etanol C1
50 Kecombrang etanol C2
40 Kecombrang etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (m enit)

Gambar 17. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kecombrang etanol.

d) Ekstrak kemuning
Pengamatan ekstrak kemuning menunjukkan aktivitas
penghambatan tertinggi pada ekstrak C2 dan C3. Sedangkan ekstrak C1
menunjukkan kecenderungan menurun pada tiap selang waktu
pengamatan dengan persentase penghambatan tidak melebihi 55 %.
100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Kemuning air C1
50 Kemuning air C2
40 Kemuning air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 18. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kemuning akuades.
46

Hasil pengamatan yang dilakukan pada ekstrak kemuning C1


dengan pelarut etanol menunjukkan kecenderungan penurunan yang
cukup tajam pada awal pengamatan. Sedangkan ekstrak C3 dan C2
menunjukkan persentase pencegahan hemolisis yang cukup tinggi, sama
dengan yang ditunjukkan oleh pelarut akuades.
100
% Pencegahan hemolisis

90
80
70
60 Kemuning etanol C1
50 Kemuning etanol C2
40 Kemuning etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 19. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kemuning etanol.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi


dan jenis komponen fenolik yang terdapat pada ekstrak berpengaruh
terhadap stabilitas membran sel eritrosit perlakuan. Ekstrak C3 dengan
konsentrasi terendah ternyata memiliki kemampuan menghambat
hemolisis dibandingkan dengan ekstrak C1. Sedangkan ekstrak C2
memiliki kemampuan menghambat yang cukup tinggi dengan kisaran
persentase di atas ekstrak C1 dan dibawah C3.

e) Ekstrak jati belanda


Pengujian penghambatan hemolisis pada dengan menggunakan
ekstrak jati belanda dilakukan dengan pelarut akuades dan etanol. Ekstrak
dengan pelarut akuades menunjukkan hasil tertinggi dapat dicapai pada
ekstrak C2. Sedangkan penurunan paling signifikan berdasarkan
pergerakan kurva adalah ekstrak C1 pada selang waktu menit ke-0 hingga
menit ke-80. Ekstrak C3 menunjukkan aktivitas penghambatan yang tidak
47

terlalu tinggi pada selang 35 % - 65 %. Aktivitas penghambatan hemolisis


dari ekstrak C3 mengalami kenaikan pada menit ke-40 hingga ke-100 dari
waktu pengamatan.

100
90
% Pencegahan hemolisis 80
70
60 Jati belanda air C1
50 Jati belanda air C2
40 Jati belanda air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (m enit)

Gambar 20. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak jati belanda akuades.

Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan ekstrak jati


belanda pelarut akuades menunjukkan hasil tertinggi pada ekstrak C1,
kemudian mengalami kenaikan kembali pada akhir pengamatan. Hal
tersebut juga ditunjukkan pada ekstrak dengan pelarut akuades. Ekstrak C2
sendiri mengalami penurunan yang cukup signifikan pada awal
pengamatan kemudian naik kembali pada menit ke-40.
Sedangkan ekstrak C3 mengalami penurunan sepanjang waktu
pengamatan walaupun tidak menunjukkan penurunan yang signifikan.
Gambaran kurva pada ekstrak dengan pelarut etanol tersebut dapat
dikatakan sama dengan yang terjadi pada ekstrak dengan pelarut akuades.
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah dan jenis komponen
fenolik, serta kecepatan komponen tersebut berinteraksi dengan radikal
bebas sangat mempengaruhi kemampuannya dalam menghambat proses
hemolisis
48

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
Jati belanda etanol
70
C1
60
Jati belanda etanol
50
C2
40
Jati belanda etanol
30
C3
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 21. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak jati belanda etanol.

Uji respons penghambatan hemolisis oleh formaldehide


a) Ekstrak ceremai
Berdasarkan pengamatan, persentase pencegahan hemolisis tertinggi
terdapat pada hasil ekstrak C2. Sedangkan persentase pencegahan
hemolisis terendah terdapat pada ekstrak C3. Pada umumnya, persentase
pencegahan hemolisis pada semua ekstrak mengalami penurunan seiring
dengan waktu pengamatan.
Konsentrasi komponen fenolik yang terdapat pada ekstrak C2
dapat dikatakan memiliki jumlah yang paling tepat dalam menghambat
proses hemolisis sel eritrosit. Ekstrak C3 dengan jumlah komponen
fenolik paling sedikit tidak dapat menghambat proses hemolisis secara
baik dibandingkan ekstrak C1 dan C2. Walaupun demikian, konsentrasi
komponen fenolik ekstrak C1 yang lebih tinggi dibandingkan C2
mengakibatkan perbedaan interaksi yang cukup tinggi pada sel eritrosit
dan larutan formaldehid. Komponen fenolik yang sangat tinggi
kemungkinan turut mengakibatkan terjadinya proses hemolisis pada sel
darah merah.
49

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Ceremai air C1
50 Ceremai air C2
40 Ceremai air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 22. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak ceremai akuades.

Pada uji dengan menggunakan hasil ekstrak dengan etanol,


diperoleh data yang mengatakan bahwa persentase pencegahan hemolisis
tertinggi terdapat pada ekstrak C1. Sedangkan ekstrak C2 dan C3
memiliki kemampuan penghambatan yang relatif sama pada selang waktu
pengamatan. Ekstraksi dengan menggunakan etanol umumnya
memberikan konsentrasi dan jenis komponen yang lebih beragam
dibandingkan dengan menggunakan akuades. Terdapat kemungkinan
adanya interaksi antara komponen aktif dan formaldehid atau komponen
aktif terhadap membran sel sehingga memberikan data yang tersebut di
atas.
100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Ceremai etanol C1
50 Ceremai etanol C2
40 Ceremai etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 23. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak ceremai etanol.
50

b) Ekstrak delima putih


Pengujian aktivitas pencegahan hemolisis dengan menggunakan
hasil ekstraksi akuades pada delima putih memberikan hasil pada Gambar
13. Pada grafik tersebut, ekstrak delima putih C3 memberikan persentase
pencegahan hemolisis terbesar dibandingkan dua konsentrasi ekstrak
lainnya. Grafik ekstrak C3 tersebut menunjukkan penurunan pada
setengah waktu pengamatan kemudian naik kembali hingga akhir waktu
pengamatan. Berbeda dengan kedua konsentrasi ekstrak lainnya dimana
data menunjukkan penurunan hingga akhir waktu pengamatan.
100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Delima air C1
50 Delima air C2
40 Delima air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 24. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak delima akuades.

Penurunan persentase pencegahan hemolisis pada ekstrak C1 dan


C2 menunjukkan adanya interaksi antara komponen aktif pada membran
sel eritrosit. Jumlah dan jenis komponen aktif yang lebih tinggi pada
ekstrak C1 dan C2 tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel,
sedangkan ekstrak C3 dengan jumlah dan jenis komponen aktif yang lebih
sedikit tampaknya tidak mengakibatkan kerusakan pada membran hingga
pada saat tertentu jumlah sel eritrosit yang rusak tidak melebihi sel
eritrosit yang mengalami hemolisis akibat penambahan formaldehid.
Data yang didapatkan dari percobaan dengan ekstrak hasil etanol
menunjukkan bahwa ketiga konsentrasi ekstrak memiliki aktivitas yang
relatif sama. Ekstrak C3 mengalami kenaikan cukup signifikan pada
51

menit ke-60, sama dengan hasil yang ditunjukkan oleh hasil ekstrak
dengan menggunakan akuades. Komponen yang terekstrak dengan
menggunakan pelarut etanol dapat memiliki jenis yang berbeda
dibandingkan dengan pelarut akuades.

100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Delima etanol C1
50 Delima etanol C2
40 Delima etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 25. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak delima etanol.

c) Ekstrak kecombrang
Pengamatan terhadap aktivitas pencegahan hemolisis sel eritrosit
dilakukan dengan menggunakan ekstrak kecombrang dengan penggunaan
pelarut akuades dan etanol. Pada percobaan dengan menggunakan
kecombrang yang diekstrak dengan pelarut akuades, hasil ekstraksi C1
memberikan aktivitas pencegahan hemolisis tertinggi pada awal waktu
pengamatan. Akan tetapi, aktivitas tersebut terus menurun hingga akhir
waktu pengamatan dimana grafik tersebut menunjukkan aktivitas
pencegahan hemolisis terendah.
Hemolisis dapat terjadi karena konsentrasi komponen aktif yang
tinggi sehingga mengakibatkan kerusakan membran yang bereaksi setelah
selang waktu tertentu. Sedangkan ekstraksi C2 dan C3 menunjukkan
penurunan hingga akhir waktu pengamatan meskipun penurunan tersebut
terjadi tidak setajam ekstrak C1.
52

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kecombrang air C1
50 Kecombrang air C2
40 Kecombrang air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 26. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kecombrang akuades.

Pengamatan yang dilakukan terhadap aktivitas penghambatan


hemolisis oleh ekstrak kecombrang dengan pelarut etanol memberikan
data yang menunjukkan penurunan pada semua ekstrak yang
dipergunakan. Penurunan tersebut terjadi pada sepanjang waktu
pengamatan dan relatif sama pada semua jenis ekstrak. Penurunan tersebut
menunjukkan bahwa terjadi proses hemolisis pada sel eritrosit yang
ditambahkan ekstrak maupun sel eritrosit yang hanya ditambahkan dengan
larutan formaldehid. Hal ini dapat berarti bahwa komponen aktif dari
ekstrak tersebut ternyata dapat mengakibatkan kerusakan membran apabila
tersedia dalam jumlah dan jenis tertentu. Adanya etanol yang tersisa juga
turut menyebabkan kerusakan membran sel eritrosit yang berujung pada
terjadinya proses hemolisis.
53

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
70 Kecombrang etanol
C1
60
Kecombrang etanol
50
C2
40
Kecombrang etanol
30 C3
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 27. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kecombrang etanol

d) Ekstrak kemuning
Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan ekstrak daun
kemuning dengan pelarut akuades memberikan data yang dapat
diperlihatkan pada Gambar 16. Berdasarkan grafik tersebut dapat
diperlihatkan bahwa sel eritrosit yang ditambahkan ekstrak C1 mengalami
hemolisis yang cukup banyak. Sedangkan ekstrak C2 memberikan nilai
persentase pencegahan hemolisis yang tinggi. Ekstrak C3 mengalami
kenaikan pada selang waktu menit ke-20 hingga ke-100 dan turun kembali
hingga akhir waktu pengamatan.
Hemolisis pada sel eritrosit dengan penambahan ekstrak C1
menandakan bahwa konsentrasi dan jenis komponen aktif sangat
berpengaruh terhadap stabilitas membran sel, khususnya sel eritrosit.
Ekstrak C3 memberikan nilai berupa kenaikan persentase pencegahan
hemolisis. Komponen aktif yang terdapat pada ekstrak tersebut dapat
berinteraksi dengan formaldehid sehingga menghambat aktivitas perusak
membrannya. Jumlah komponen aktif yang terdapat pada ekstrak tersebut
bereaksi dalam besaran yang sama dengan formaldehid yang ditambahkan
pada suspensi sehingga tidak merusak membran sel eritrosit.
54

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
70
60 Kemuning air C1
50 Kemuning air C2
40 Kemuning air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 28. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kemuning akuades.

Berdasarkan pengamatan dan perhitungan yang dilakukan terhadap


absorbansi suspensi eritrosit, ekstrak C1 memberikan nilai persentase
pencegahan hemolisis paling tinggi. Ekstrak C3 memberikan nilai
persentase pencegahan hemolisis yang menaik mulai menit ke-20, sama
dengan yang ditunjukkan pada ekstraksi dengan pelarut akuades. Ekstrak
C1 dengan pelarut etanol kemungkinan memberikan jenis komponen aktif
yang berbeda dibandingkan dengan akuades.

100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Kemuning etanol C1
50 Kemuning etanol C2
40 Kemuning etanol C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 29. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak kemuning etanol.
55

e) Ekstrak jati belanda


Ekstrak jati belanda C2 menunjukkan grafik persentase pencegahan
hemolisis tertinggi. Grafik tersebut menurun mulai menit ke-60 hingga
akhir pengamatan. Sedangkan ekstrak C1 menunjukkan nilai yang cukup
rendah pada awal pengamatan. Hal ini dapat disebabkan kerusakan
membran karena kandungan komponen yang cukup tinggi ditambah
adanya formaldehid. Persentase pencegahan hemolisis yang rendah terjadi
hingga menit ke-100 dan mengalami kenaikan hingga akhir pengamatan.
Kemungkinan seluruh komponen telah bereaksi dalam lingkungan
suspensi, sedangkan suspensi dengan formaldehid tetap mengalami
kerusakan hingga akhir pengamatan.

100
90
% Pencegahan hemolisis

80
70
60 Jati belanda air C1
50 Jati belanda air C2
40 Jati belanda air C3
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 30. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak jati belanda akuades.

Berdasarkan uji dengan ekstrak jati belanda etanol, diperoleh data


yang menunjukkan persentase pencegahan hemolisis yang relatif sama
antara ketiga konsentrasi ekstrak. Nilai tertinggi terdapat pada ekstrak C3
dan terendah pada ekstrak C2. Hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi
dan jenis ekstrak, serta adanya etanol pada hasil ekstrak yang
memungkinkan terjadinya proses hemolisis. Konsentrasi ekstrak yang
cukup kecil menyebabkan hemolisis kecil pula, komponen aktif yang
terdapat pada ekstrak juga dapat bereaksi dengan formaldehid sehingga
tidak merusak membran sel.
56

100
90

% Pencegahan hemolisis
80
70 Jati belanda etanol
C1
60
Jati belanda etanol
50
C2
40
Jati belanda etanol
30 C3
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Gambar 31. Persentase pencegahan hemolisis tiap waktu pengamatan


ekstrak jati belanda etanol.

Pengujian aktivitas pencegahan hemolisis dilakukan pada lima tanaman


dengan menggunakan pelarut akuades dan etanol 96%. Pada umumnya, ekstraksi
dengan menggunakan etanol dapat memberikan hasil ekstrak murni dengan
kandungan komponen aktif yang lebih tinggi dibandingkan ekstraksi pelarut
akuades, khususnya komponen fenolik. Hal ini dapat terlihat dari kadar total fenol
masing-masing sampel tanaman segar (Gambar 9).
Kadar total fenol yang diperoleh melalui pengujian dengan reagen Folin
Ciaucalteau kemudian dibandingkan dengan kapasitas antioksidannya
menggunakan metode DPPH (Gambar 10). Berdasarkan kedua hasil yang
diperoleh bahwa kadar total fenol yang diperoleh tidak selalu menggambarkan hal
yang sama pada kapasitas antioksidan komponen tersebut. Pada beberapa sampel
(ceremai, delima putih, jati belanda), kadar total fenol yang tinggi pada salah satu
hasil ekstraksi dengan pelarut tertentu tidak menunjukkan kapasitas antioksidan
yang lebih tinggi pada pelarut tersebut.
Salah satunya faktor penyebabnya adalah proses ekstraksi yang
mengakibatkan kerusakan beberapa komponen aktif yang terdapat di dalamnya.
Panas yang berlebih dapat mengakibatkan kerusakan komponen-komponen aktif
tersebut disamping mendestruksi enzim-enzim pengoksidasi dan protein pada
jaringan. Faktor lain yang mungkin mengakibatkan hal tersebut adalah adanya
57

interaksi antara komponen-komponen aktif atau komponen lainnya sehingga tidak


dapat bereaksi dengan baik pada larutan DPPH.
Hasil penelitian oleh Horwitt (1956), menunjukkan bahwa persentase
hemolisis pada panelis dengan suplai tokoferol dan tidak disuplai tokoferol
mengalami kenaikan dan penurunan selama selang waktu pengamatan. Pengujian
dilakukan dengan metode absorbansi pada panjang gelombang 540 nm dari
suspensi eritrosit yang telah didiamkan selama 3 jam dan diagitasi pada selang
waktu 15 menit agar sel eritrosit tetap tersuspensi pada larutan balanced salt.

3.3. Pengujian aktivitas penghambatan hemolisis sel eritrosit dengan trifan biru
Perhitungan trifan biru pada masing-masing suspensi dilakukan untuk
memastikan ketepatan nilai absorbansi dengan keadaan sel yang sebenarnya
Perhitungan tidak dilakukan pada semua suspensi yang diuji karena adanya
keterbatasan waktu pengujian dengan trifan biru. Pengujian dengan trifan
biru dilakukan tepat setelah menit ke-120 pada masing-masing sampel kultur.
Jumlah awal sel yang hidup pada suspensi eritrosit dengan pengenceran 300
x adalah 6.105 sel / ml suspensi.
Perhitungan hanya dilakukan pada tiga sampel hasil ekstrak,
pengujian yang terlalu lama dapat mengakibatkan ketidaksesuaian data
jumlah sel yang hidup dengan nilai absorbansi pada menit ke-120. Hal ini
disebabkan karena proses hemolisis terus terjadi setelah menit ke-120 yang
mengakibatkan penambahan jumlah sel yang mengalami kematian.
Jumlah rata-rata sel hidup (.10 4 / ml

40 36 37 36 37
35
35 33 33
30 31 31
29 28 29 29
30
25 24 24
suspensi)

25 21
20
15
10
5
0
C1
1 C2
2 C3
3
C1
4 C2
5 C3
6
C1
7 C2
8 C3
9
Ceremai Jati belanda Kemuning
Pelarut air Pelarut etanol

Gambar 32. Perbandingan jumlah sel eritrosit hidup dengan menggunakan H2O2.
58

/ ml
40 38
36 35 36 36
33

4
35

Jumlah rata-rata sel hidup (.10


30 29 29
30 28 27
25 25 26
25 23 2324

suspensi) 20
15 12
10
5
0
C11 C2
2
C3
3
C1
4
C2
5
C3
6
C1
7
C2
8
C3
9
Ceremai Jati belanda Kemuning
Pelarut air Pelarut etanol

Gambar 33. Perbandingan jumlah sel eritrosit hidup menggunakan formaldehid.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 34. Sel eritrosit (perbesaran 400 x); a) kontrol (menit ke-0), b)
penambahan H2O2 (menit ke-120), c) penambahan formaldehid
(menit ke-120), d) penambahan hasil ekstraksi pada uji dengan
menggunakan H2O2 (menit ke-120).
59

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Pengujian aktivitas penghambatan hemolisis yang dilakukan secara in
vitro menunjukkan hasil yang sangat beragam dan dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor seperti kondisi sel eritrosit, konsentrasi dan jenis komponen
aktif, serta serta kehadiran komponen lain yang dapat mengganggu selama
pengujian dapat memberikan pengaruh yang besar pada hasil. Berdasarkan
keseluruhan uji yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Umumnya hasil ekstraksi mampu memberikan aktivitas penghambatan
hemolisis pada sel eritrosit dengan persentase yang berbeda-beda.
2. Aktivitas penghambatan hemolisis dengan menggunakan larutan
penguji H2O2 tertinggi dicapai ekstrak C2 ceremai akuades sebesar
98.06 %. Aktivitas penghambatan hemolisis terkecil dicapai ekstrak
C3 delima etanol sebesar 12.01 %. Aktivitas penghambatan hemolisis
awal (menit ke-0) tertinggi dicapai ekstrak C1 ceremai etanol sebesar
90.84 % dan terendah diperoleh ekstrak C3 kecombrang akuades
sebesar 30 %. Aktivitas penghambatan hemolisis akhir (menit ke-120)
tertinggi dicapai ekstrak C2 ceremai akuades sebesar 98.06 %, dan
terendah diperoleh ekstrak C1 kemuning akuades sebesar 28.74 %.
3. Aktivitas penghambatan hemolisis dengan menggunakan larutan
penguji formaldehid tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning etano
sebesar 99.53 %. Aktivitas penghambatan hemolisis terkecil dicapai
ekstrak C1 kecombrang akuades sebesar 25.11 %. Aktivitas
penghambatan hemolisis awal (menit ke-0) tertinggi dicapai ekstrak
C1 kemuning etanol sebesar 99.53 % dan terendah diperoleh ekstrak
C1 kemuning akuades sebesar 43.08 %. Aktivitas penghambatan
hemolisis akhir (menit ke-120) tertinggi dicapai ekstrak C1 kemuning
etanol sebesar 95.86 %, dan terendah diperoleh ekstrak C1
kecombrang akuades sebesar 25.11 %.
4. Kadar air tertinggi dimiliki oleh bunga kecombrang, sebesar 92.30 %
(b.b.).
60

5. Kadar protein tertinggi dimiliki oleh daun ceremai, sebesar 6.40 % per
bobot basah.
6. Kandungan total fenol tertinggi dimiliki oleh hasil ekstraksi daun
delima putih dengan menggunakan etanol, sebesar 81.37 . 102 ppm.
7. Kapasitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh hasil ekstraksi bunga
kecombrang dengan menggunakan etanol, sebesar 93.42 %.

B. SARAN
1. Diperlukan pengujian secara in vivo untuk mengetahui aktivitas
penghambatan hemolisis masing-masing ekstrak secara langsung dan
metabolismenya.
2. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi komponen-
komponen aktif yang terdapat pada masing-masing hasil ekstraksi dan
pengaruhnya secara langsung terhadap sel eritrosit.
3. Diperlukan penelitian lanjutan metode dan pelarut yang dipergunakan
untuk memperoleh hasil ekstraksi yang lebih baik.
61

DAFTAR PUSTAKA

Andel, van I., E. Schenk, B. Rambali, G. Wolterink, G. Van de Werken, H.


Stevenson, L. van Aerts, dan W. Vleeming. 2002. The Health and
Addictive Effects due to Exposure to Aldehydes of Cigarette Smoke.
RIVM Report 650270003. Bilthoven.

Andarwulan N. 1995. Isolasi dan Karakterisasi Antioksidan dari Jinten. Tesis :


Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor.

AOAC. 1984. Official Method Of Analysis The Association Analytical Chemist.


14th ed. AOAC, Inc, Arlington.

Bender, A.E. 1982. Dictionary of Nutrition and Food Technology. Butterworths


Pub. London.

Bermond, P. 1990. Biological Effects of Food Antioxidant. Di dalam : Food


Antioxidant. B.J.F. Hudson (ed). Elsevier Applied Sciences. London.

Bors, W., M. Saran, E.F.Elstner. 1992. Screening of Plant Antioxidant. Di dalam :


Plant Toxin Analysis. H.F.Linskens and J.F.Jackson (ed). Springer-
Verlag, Berlin.

Buhler, D and C. Miranda. 2000. Antioxidant Activities of Flavonoids.


www.lpi.oregonstate.edu.com. [20 Agustus 2007]

Conrat, Heinz and Harold S. Olcott. 1948. Reaction of Formaldehyde With


Proteins-Cross Linking of Amino Groups With Phenol, Imidazole, or
Indole Groups. http://www.jbc.org [ 14 Agustus 2007 ]

Davis, J.M. 1994. Basic Cell Culture : A Practical Approach. Oxford University
Press, London.

Dugan L.R. 1985. Natural Antioxidant. Di dalam : Autoxidation in Food and


Biological System. M.G. Simic and M. Karel (ed). Plennum Press.
London.

DepKes. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat. Dirjen POM,
DepKes RI, Jakarta.

Evans, Catherine R. Iron Mediated Oxidative Stress and Erythrocytes. 1990. Di


dalam : Blood Cell Biochemistry 1. J.R. Harris (ed). Plenum Press. New
York.

Freshney, I.R. 1994. Culture of Animal Cell. 3rd ed. Willey Liss, New York.

Giresse, Arthur C. 1979. Cell Physiology. 5th ed. WB. Saunders Company.
Philadelphia.
62

Goldberg, J. 1994. Functional Food : Designer Food. Pharmafood Neutra


Ceuticals. Chapman & Hall. New York.
Gordon, Michael H. 1992. Measuring Antioxidant Activity. Di dalam :
Antioxidant in Food : Practical Application. Jan Pokorny, Nedyalka
Yamishlieva, and Michael Gordon. CRC Press. New York.

Griffths, Bryan. 1994. Scalling Up of Animal Cell Culture. Di dalam : Animal


Cell Culture : A Practical Approach. 2nd ed. Freshney, I.R.(ed). Willey
Liss, New York

Hagerman, Ann E. 1992. Tannin-Protein Interaction. Di dalam : Phenolic


Compounds in Food and Their Effects on Health I. Chi-Tang Ho, Chang
Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.

Harbone, J.W. 1973. Phytochemical Methods : a Guide to Modern Technique of


Plant Analysis. Chapman & Hall. London.

Haslam, E., Terence H.Liley, Edward Warminsky, Hwa Liao, Yacai, Russell
Martin, Simon H.Gaffney, Paul N. Goulding. 1992. Polyphenol
Complexation : a Study in Molecular Recognition. Di dalam : Phenolic
Compounds in Food and Their Effects on Health I. Chi-Tang Ho, Chang
Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.

Horwitt, M.K., C.C. Harvey, G.D. Duncan, W.C. Wilson. 1956. Effect of Limited
Tocopherol Intake in Man with Relationship to Erythrocyte Hemolysis
and Lipid Oxidation. The American Journal of Clinical Nutrition. Juli-
August 1956.

Houghton, P.J. and Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extract. Chapman & Hall, London.

IPTEKa. 2005. Ceremai. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=109


[16 Desember 2006]

______c. 2005. Kemuning. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=


116. [ 16 Desember 2006]

______b. 2005. Delima. . http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=


216. [16 Desember 2006]

______d. 2005. Jati belanda. . http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/


view.php?id=294. [ 16 Desember 2006]

Ji, Li Li. 1999. Antioxidant and Oxidative Stress in Exercise. Proceedings of The
Society for Experimental Biology and Medicine. Vol. 222.
63

Koschar, S.P. and J. B. Russell. 1990. Detection, Estimation, and Evaluation of


Antioxidant in Food System. Di dalam : Food Antioxidant. B. J. F.
Hudson (ed). Elsevier Applied Science, London.

Karrel, Marcus. 1979. Lipid Oxidation, Secondary Reaction, and Water Activity
of Foods. Di dalam : Autooxidation in Food and Biological Systems.
Michael G. Simic and Marcus Karrel (ed). Plennum Press. London.

Lanping, M.A., Liu Zaiqun, Zhou Bo, Yang Li, Liu Zhongli. 2000. Inhibition of
Free Radical Induced Oxidative Hemolisis of Red Blood Cells by Green
Tea Poliphenols. Chinese Science Bulletin Vol.45 (22):2052-2056

Luke, J. and G.R. Betton. 1987. In Vitro Evaluation of Haemic Systems in


Toxicology. Di dalam : In Vitro Methods in Toxicology. C.K. Atterwill
and C.E. Steele (ed). Cambridge University Publ. Cambridge.

Niki, Etsuo. 1997. Free Radicals in Chemistry and Biochemistry. Di dalam : Food
and Free Radicals. Midori Hiramaisu, Toshikazu Yoshikawa, Masayasu
Inoue (ed). Plenum Press. London.

Okuda, T., Takashi Yoshida and Tsutomo Hatano. 1992. Antioxidant Effects of
Tannins and Related Polyphenols. Di dalam : Phenolic Compounds in
Food and Their Effects on Health II. Chi-Tang Ho, Chang Y. Lee, Mou-
Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.

Oteiza, P.I., Alejandra G. Erlejman, Sandra V. Verstraeten, Karl L. Keen, Cesar


G. Fraga. 2005. Flavanoid Membran Interaction: A Protective Role of
Flavanoids at the Membran Surface?. Journal of Clinical and
Developmental Immunology. Vol 2 (1):19-25.

Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidant from Plant Material. Di dalam : Phenolic
Compounds in Food and Their Effects on Health II. Chi-Tang Ho, Chang
Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society. Washington DC.

Qin Yan Zhu, Roberta R. Holt, Sheryl A. Lazarus, Timothy J. Orozco, Carl L.
Keen. 2002. Inhibitory Effects of Cocoa Flavanols and Procyanidin
Oligomers on Free Radical-Induced Erythrocyte Hemolysis. Exp Biol
Med 2002 Jan ; Vol. 227(5):321-329.

Ranney, M.W. 1979. Antioxidant Recent Development. Noyes Data Co. Park
Ridge, New York

Reed, K.W., dan Yalkowsky S.H. 1985. Lysis of Human Red Blood Cells in the
Presence of Various Cosolvent. Journal of Parenteral Science and
Technology. 39. no. 2. 64-68.

Shahidi, F., Marion Naczk. 1995. Food Phenols, Sources, Chemistry, Effects,
Applications. Technomic Publishing Corp. Inc. Landcaster.
64

Sheller, Phillips and Donald E. Bianchi. 1980. Cell Biology, Structure,


Biochemistry, and Function. 2nd ed. John Willey and Sons Inc. New York

Sikorski, Zdzistaw E. 2001. Chemical and Functional Properties of Food Proteins.


Technomic Publishing Corp. Inc. Landcaster, Bassel.

Tang Ho, Chi. 1992. Phenolic Compounds in Food : an Overview. Di dalam :


Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health I. Chi-Tang
Ho, Chang Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society.
Washington DC.

Tyulina Q.V., V.D. Prokopieva, R.D. Dodd, J.R.Hawkins, S.W.Clay, D.O.Wilson,


A.A.Boldyrev and P.Johnson. 2001. In Vitro Effects of Ethanol,
Acetaldehyde and Fatty Acid Ethyl Esters on Human Erythrocytes.
Alcohol & Alcoholism. 2001, August : Vol. 37, No. 2, pp. 179-186

Weisburger, John H. 1992. Mutagenic, Carcinogenic, and Chemopreventive


Effects of Phenols and Catechols : The Underlying Mechanism. Di dalam
: Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health II. Chi-Tang
Ho, Chang Y. Lee, Mou-Tan Huang. American Chemical Society.
Washington DC.

Warintek.Ristek. 2005. Nicolaia Speciosa Horan.


http://iptek.apjii.or.id/artikel/ttg_tanaman_obat/DepKes/buku1/1-205.pdf.
[ 2 Februari 2007 ].

Weiss, L. 1977. The Blood Cells and Hematopoietic Tissue. Mcgraw-Hill Book
Company, a Blakistan Publication. New York.

Winarno, F.G. 1992 . Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta

Yoshikawa, T., Yuji Naito, Motoharu Kondo. 1997. Free Radicals and Disease. Di
dalam : Food and Free Radicals. Midori Hiramaisu, Toshikazu
Yoshikawa, Masayasu Inoue (ed). Plenum Press. London.

Zakaria, F., dan Nuri Andarwulan. 2001. Khasiat Berbagai Pangan Tradisional
untuk Pangan Fungsional dan Suplemen. Di dalam : Pangan Tradisional :
Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Lilis Nuraida dan
Ratih Dewanti-Hariyadi (ed). Pusat Kajian Makanan Tradisional, IPB,
Bogor.
65

Lampiran 1. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak

Daun kemuning akuades


Bobot hasil ekstraksi yang diperoleh pada C1 = 11.70 gr
Asumsi hasil ekstraksi masuk ke dalam 6 liter darah (in vivo), sehingga
konsentrasinya menjadi :
11.70 gr / 6000 ml = 1.95 x 10-3 (gr/ml)

Konsentrasi dalam darah tersebut harus disesuaikan dengan konsentrasi ekstrak di


dalam sumur (in vitro), sehingga :
V1 x M1 = V2 x M2
100 μl x 1.95 x 10-3 = 20 μl x M2
M2 = 9.750 x 10-3 gr/ml = 9.750 mg/ml

Ket :
V1 = Volume total sumur
M1 = Konsentrasi ekstrak dalam sumur (C1)
V2 = Volume ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur
M2 = Konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam sumur

Tabel 7. Perluasan taraf konsentrasi masing-masing hasil ekstraksi


Konsentrasi hasil ekstraksi (gr/ml)
Sampel
Akuades Etanol
Ceremai 8.750 7.850
Delima putih 9.525 7.450
Kecombrang 9.083 7.758
Kemuning 9.750 7.800
Jati belanda 7.408 7.333

→ Proses penyaringan dengan membran filter diasumsikan mendekati faktor


penyerapan ekstrak dalam tubuh
66

Lampiran 2. Data persentase penghambatan hemolisis sel eritrosit

1. H2O2

a. Ekstrak ceremai akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 41.915 82.766 86.383


20 72.294 78.355 78.788
40 79.654 79.437 83.549
60 84.096 88.017 91.721
80 78.971 92.617 89.261
100 77.727 93.039 91.647
120 77.053 98.068 85.266

b. Ekstrak ceremai etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 90.844 67.593 84.877


20 67.848 61.614 84.474
40 63.084 80.784 89.759
60 84.143 90.281 84.015
80 81.515 89.602 84.981
100 70.193 83.905 82.414
120 71.544 83.577 82.927

c. Ekstrak delima akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 31.489 69.148 35.745


20 30.952 56.277 45.671
40 31.818 67.749 68.831
60 30.065 69.717 69.935
80 23.043 78.523 71.588
100 28.770 52.204 70.302
120 36.473 41.304 66.667
67

d. Ekstrak delima etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 68.107 74.897 76.646


20 75.672 16.137 12.958
40 91.909 52.592 12.010
60 92.967 41.176 89.514
80 90.629 91.142 85.879
100 81.520 88.823 74.069
120 71.382 70.569 65.691

e. Ekstrak kecombrang akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 86.389 80.638 30.000


20 86.364 70.346 45.887
40 85.065 68.398 74.892
60 82.570 68.192 87.364
80 57.271 71.365 88.367
100 46.172 72.389 94.432
120 49.275 72.464 95.652

f. Ekstrak kecombrang etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 68.519 78.909 68.621


20 83.252 70.782 67.848
40 87.231 57.269 93.426
60 90.665 60.742 92.583
80 88.703 66.367 96.021
100 86.587 84.054 92.548
120 87.154 79.349 61.301
68

g. Ekstrak kemuning akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 52.128 88.085 86.596


20 49.134 87.229 87.013
40 50.649 83.333 90.476
60 49.673 72.985 91.068
80 49.217 89.262 85.906
100 45.476 84.687 89.559
120 28.744 79.952 91.063

h. Ekstrak kemuning etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 74.794 86.831 82.202


20 29.339 71.883 77.017
40 23.641 80.278 87.863
60 77.494 86.829 92.199
80 85.879 87.548 95.763
100 86.289 91.356 95.380
120 47.967 85.528 93.821

i. Ekstrak jati belanda akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 87.872 85.106 54.468


20 79.004 81.602 39.394
40 66.234 82.035 37.879
60 54.684 86.057 43.573
80 48.322 88.143 55.257
100 46.868 77.262 64.269
120 43.961 87.198 60.386
69

j. Ekstrak jati belanda etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 88.066 76.234 79.321


20 93.032 43.398 87.286
40 95.954 36.283 83.818
60 96.164 65.473 80.051
80 68.421 94.737 76.508
100 72.429 92.399 73.025
120 83.089 68.293 74.472

2. Formaldehid

a. Ekstrak ceremai akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 73.272 68.779 44.239


20 59.389 65.185 39.136
40 55.195 66.883 44.675
60 38.802 62.482 29.244
80 36.484 55.391 26.145
100 34.128 50.224 26.528
120 32.006 50.536 26.339

b. Ekstrak ceremai etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 84.677 80.069 77.304


20 81.605 76.049 68.765
40 81.558 74.545 72.597
60 81.598 62.482 63.195
80 82.422 53.176 60.561
100 85.544 53.651 61.549
120 84.379 54.824 59.111
70

c. Ekstrak delima akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 73.272 66.475 86.636


20 74.074 63.086 80.247
40 49.610 60.000 57.143
60 47.076 44.365 49.501
80 45.052 46.824 57.312
100 44.262 49.925 76.006
120 45.482 28.178 83.461

d. Ekstrak delima etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 79.954 88.018 78.917


20 83.951 87.161 78.025
40 82.078 84.805 73.766
60 80.742 86.305 72.468
80 78.729 87.592 81.684
100 76.155 90.760 93.741
120 78.867 90.046 74.732

e. Ekstrak kecombrang akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 89.171 62.097 48.849


20 88.148 56.419 43.951
40 89.740 54.026 41.169
60 86.733 52.354 36.234
80 82.718 50.222 34.121
100 68.853 49.627 33.830
120 25.115 46.248 33.997
71

f. Ekstrak kecombrang etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 95.392 96.083 86.059


20 87.407 96.419 85.185
40 85.455 91.688 84.545
60 82.454 91.298 83.309
80 75.628 89.512 81.536
100 75.409 88.376 79.583
120 73.047 78.407 78.867

g. Ekstrak kemuning akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 43.088 94.470 60.138


20 40.988 94.691 58.765
40 38.442 92.597 70.000
60 32.525 91.298 74.179
80 26.883 91.433 76.071
100 27.273 90.760 80.924
120 30.015 95.253 77.642

h. Ekstrak kemuning etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 99.539 82.143 66.129


20 99.506 80.741 69.259
40 99.091 79.091 77.532
60 99.144 77.318 82.026
80 99.261 72.230 73.855
100 97.915 63.189 74.665
120 95.865 60.949 77.029
72

i. Ekstrak jati belanda akuades

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 35.369 90.438 61.866


20 31.728 94.074 71.975
40 31.688 94.675 72.857
60 25.249 96.576 74.608
80 27.474 85.819 75.628
100 37.556 74.814 75.857
120 84.379 70.750 77.948

j. Ekstrak jati belanda etanol

Konsentrasi hasil ekstraksi


Waktu
pengamatan C1 C2 C3

0 84.217 67.972 98.618


20 83.580 66.419 89.136
40 82.467 67.143 85.844
60 78.031 62.910 88.873
80 83.604 68.538 88.774
100 89.717 75.708 89.866
120 92.803 77.335 88.668
73

Lampiran 3. Perhitungan kurva standar total kandungan fenol

→ Absorbansi standar asam tanat (Tabel 6.)

0.45
0.4 y = 0.015x + 0.0094
R2 = 0.9963 25, 0.386
0.35
0.3
Absorbansi

20, 0.298
0.25 15, 0.24
0.2
0.15 10, 0.16
0.1
5, 0.095
0.05
0 0, 0
0 5 10 15 20 25 30
[ ] (ppm )

Gambar 34. Kurva standar asam tanat

Contoh perhitungan :
Ekstrak ceremai pelarut akuades
Rata-rata nilai absorbansi = 0.635
y = 0.015x + 0.0094
0.635 = 0.015x + 0.0094
x = 41.57 ppm
→ Sampel diencerkan 100x, maka total fenol sampel ekstrak ceremai pelarut
akuades adalah 41.57 x 102 ppm
74

Lampiran 4. Perhitungan kapasitas antioksidan (DPPH)


Tabel 8. Data absorbansi kurva standar asam askorbat
Daya peredaman
Standart [ ] ppm Absorbansi
radikal bebas (%)
Asam Askorbat 50 1.180 2.88
100 1.170 3.70
200 1.050 13.58
500 0.778 36.79
1000 0.233 80.82
Absorbansi kontrol metanol = 1.215
Contoh perhitungan :
Daya peredaman = (Abs. Kontrol metanol – Abs. Asam askorbat)
X 100
radikal bebas (%) Abs. Kontrol metanol
= (1.215 – 1.180) / 1.215 x 100 = 2.88

1.4

1.2

1
Absorbansi

0.8

0.6

0.4
y = -0.0121x + 1.2164
0.2 R2 = 0.9999
0
0 20 40 60 80 100
Daya peredaman DPPH (%)

Gambar 35. Kurva standar asam askorbat

Tabel 9. Nilai absorbansi daya pereduksi hasil ekstraksi terhadap DPPH


Absorbansi Daya peredaman (%)
Sampel
Akuades Etanol Akuades Etanol
Ceremai 0.172 0.097 86.31 92.51
Delima putih 0.158 0.171 87.47 86.40
Kecombrang 0.094 0.086 92.76 93.42
Kemuning 0.243 0.359 80.45 70.86
Jati belanda 0.202 0.260 83.83 79.04
Contoh perhitungan (ekstrak ceremai akuades) :
Rata-rata nilai absorbansi = 0.172
y = -0.0121x + 1.2164
0.172 = -0.0121x + 1.2164
x = 86.31 %
75

Lampiran 5. Inform Concern

INFORM CONCERN
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Andal Kuntarso


Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa Ilmu dan Teknologi pangan (ITP)
NRP : F24103112
Alamat : Pagelaran GG.2 No.9, Ciomas, Bogor
Telepon : 0251-634016

Menyatakan dalam keadaan sehat dan bersedia atau tidak berkeberatan


untuk dilakukan pengambilan darah untuk keperluan penelitian yang berjudul
“Pengaruh ekstrak tanaman ceremai, delima putih, kecombrang, kemuning, dan
jati belanda terhadap penghambatan hemolisis sel eritrosit manusia secara in
vitro”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan skripsi oleh Ianre Meiko/
NRP F24103103.
Pengambilan darah dilakukan di klinik praktek dokter Evi Afifah darmaga-
bogor pada bulan Maret-Mei 2007.
Demikian keterangan ini dibuat untuk digunakan seperlunya.

Bogor, Mei 2007


Petugas Pengambil Darah Responden

(Neng) (Andal Kuntarso)

Anda mungkin juga menyukai