Anda di halaman 1dari 26

SKENARIO

Mutu Pelayanan Kesehatan Primer di Puskesmas (Khususnya Pelayanan Ibu Hamil)

Dr. Sukmawan baru tiga bulan ditugaskan sebagai dokter fungsional di sebuah
puskesmas terpencil di Papua Barat. Satu bulan yang lalu Kepala Dinas Kesehatan kabupaten
memberikan tanggungjawab structural sebagai Kepala Puskesmas karena kelangkaan tenaga
kesehatan profesional. Data pencatatan dan pelaporan di puskesmas setahun terakhir
menunjukkan kunjungan pemeriksaan ibu hamil rendah sebesar 40%, dengan K4 45% selain
itu data AKI cukup tinggi sekitar 70/1000 kelahiran hidup.
Sebagai manajer puskesmas, Dr. Sukmawan menganalisis faktor internal maupun
eksternal manajeman puskesmas yang mungkin mempengaruhi kinerja dan peroduktivitas
petugas. Dr. Sukmawan menggunakan diagram tulang ikan (fish bone) untuk
mengidentifikasi dan mengklarifikasi akar penyebab kulaitas rendah, khususnya faktor
internal.
Wawancara dengan staf puskesmas diperoleh keterangan bahwa sebagian petugas
puskesmas memiliki motivasi rendah. Untuk mencari penyebab rendahnya motivasi staf
puskesmas, Dr. Sukmawan menganalisis dengan menggunakan Teori Motivasi dari Maslow
dan Hezberg.
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat
kesehatan perempuan. Tingkat kematian ibu merupakan masalah kesehatan yang menarik
perhatian WHO. Fakta menunjukan lebih dari 350.000 di seluruh dunia meninggal setiap
tahun akibat komplikasi kehamilan dan persalinan (Priyanto, 2009). World Health
Organization (WHO) pada tahun 2005 menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu
Negara penyumbang AKI terbesar di dunia dan di Asia Tenggara dengan AKI sebesar 307
per 100.000 kelahiran hidup (KH), sedangkan Thailand sebesar 129 per 100.000 KH,
Malaysia jauh lebih baik yaitu hanya sekitar 39 per 100.000 KH dan Singapura sudah sangat
baiksebesar 6 per 100.000 KH. Hasil Survei demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2007 melaporkan AKI sebesar 228 per 100.000 KH, namun laporan WHO yang dikutip oleh
Depkes RI tahun 2008 AKI di Indonesia disebutkan mencapai 420 per 100.000 KH.
Sebagian besar kematian ibu terjadi selama melahirkan dan periode postpartum
langsung, dengan penyebab utama akibat komplikasi obstetric seperti perdarahan, sepsis,
partus lama dan gangguan pada saat melahirkan, gangguan hipertensi dan komplikasi aborsi
(Chowdhury, 2009). Di Indonesia, sekitar 28 persen kematian ibu disebabkan karena
perdarahan, 13 persen ekslampsi atau gangguan akibat tekanan darah tinggu saat kehamilan,
9 persen partus lama, 11 persen komplikasi abprsi dan 10 persen akibat infeksi (UNDP, 2005;
Depkes, 2010).
Menurut World Health Organization AKI ditahun 2011, 81 % diakibatkan karena
komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan nifas.Bahkan sebagian besar dari kematian
ibudisebabkan karena perdarahan, infeksi dan preeklamsia.Saat ini AKI berdasarkan SDKI
2007 masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.Angka
Kematian Ibu saat ini adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup dari target MDGS 102 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Kemenkes, 2011).
Tingginya kasus kematian ibu diidentifikasikan pula sebagai akibat tidak langsungdari
kondisi “tiga terlambat” yaitu; terlambat dalam mengenal tanda bahaya dan mengambil
keputusan di tingkat keluarga, terlambat mencapai tempat pelayanan, dan terlambat
mendapatkan pertolongan medis yang memadai (Depkes, 2008).
Dalam upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), pada tahun 2007
telah dikembangkan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di
hampir seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Sejalan dengan itu kunjungan antenatal care
(K-1) telah meningkat dari 88,9% pada tahun 2004, menjadi 92,06% pada tahun 2007.
Kunjungan antenatal care (K-4) juga meningkat dari 77% pada tahun 2004 menjadi 81,75%
pada tahun 2007. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan meningkat dari 74,3% pada
tahun 2004 menjadi 79,32% pada tahun 2007 (RPJPK 2005-2025, Depkes RI, 2009).

Mutu pelayanan kesehatan menunjukan pada tingkat kesempurnaan pelayanan dalam


menimbulkan rasa puas pada klien. Kualitas jasa adalah bagian terpenting dalam memberi
kepuasan kepada pelanggan. Pelayanan kesehatan dibawah naungan organisai profesi juga
terus berusaha meningkatkan kualitas pelayanan. Kepuasan pasien dan kepercayaan pasien
terhadap suatu organisasi sebenarnya sangat memegang peranan penting dalam persaingan
disegmen pasar karena pasien/klien sebagai pelanggan merupakan alat promosi yang paling
efektif dan akurat untuk menarik perhatian pelanggan lainnya dengan cara memberi informasi
kepada orang lain.

Untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) perlu peningkatan standar dalam
menjaga mutu pelayanan kesehatan. Ujung tombak penurunan AKI tersebut adalah tenaga
kesehatan. Untuk itu pelayanan kesehatan harus mengupayakan peningkatan mutu dan
memberi pelayanan sesuai standar yang mengacu pada semua persyaratan kualitas pelayanan
dan peralatan kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Fokus pembangunan
kesehatan terhadap tingginya AKI masih terus menjadi perhatian yang sangat besar dari
pemerintah karena salah satu indikator pembangunan sebuah bangsa AKI dan AKB.
Mutu dalam pelayanan kesehatan dapat dimaksudkan adalah dari aspek teknis medis
yang hanya berhubungan langsung antara pelayanan medis dan pasien saja, atau mutu
kesehatan dalam sudut pandang sosial dan pelayanan kesehatan secara keseluruhan, termasuk
akibat-akibat manajemen administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan
lainnya.Menilai mutu adalah suatu keputusan yang berhubungan dengan proses pelayanan,
yang berdasarkan tingkat dimana pelayanan memberikan kontribusi terhadap nilai outcomes.
Proses pelayanan dibagi dalam dua komponen utama, antata lain:
1. Proses interpersonal
Adalah wahana yang diperlukan untuk aplikasi dari pelayanan teknis, namun ia juga
penting dalam kaidah-kaidahnya sendiri, karena ia sendiri adalah mungkin sebagai
trapi atau penyembuh.
2. Pelayanan teknik(medis)
Adalah aplikasi ilmiah dan teknologi medis dan ilmu kesehatan lainnya, terhadap
persoalan kessehata seseorang. Manajemen pelayanan medis adalah gabungan atau
interaksi antara manajemen teknis medis dengan sosial psikologi antara klien dan
praktisioner.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi dan batasan Angka Kematian Ibu (AKI) ?

2. Apa penyebab meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) ?

3. Bagaimana cara menurunkan Angka Kematian Ibu ?

4. Bagaimana cara meningkatkan motivasi staf pelayanan kesehatan ?

I.3 TUJUAN
Tujuan Umum :

Untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan meningkatkan motivasi staf

kesehatan

Tujuan Khusus :

a. Mengetahui cara menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI)

b. Untuk mengetahui penyebab rendahnya motivasi staf pelayanan kesehatan

c. Mengetahui rencana program untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kunjungan

ibu hamil
BAB II

ANALISIS KASUS

MAN METHODE

Angka Kematian
Ibu (AKI)

MONEY ENVIRONTMENT

II.1 Analisis Secara Epidemologi

II.1.1 Angka Kematian Ibu

II.1.1.1 Pengertian

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat
derajatkesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yangtelah
ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan
kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015adalah mengurangi sampai
¾ resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil survei yangdilakukan AKI telah menunjukkan
penurunan dari waktu ke waktu, namun demikianupaya untuk mewujudkan target tujuan
pembangunan millenium masihmembutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus.

II.1.1.2 Penyebab

Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu
angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani
masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul. Yakni
pendarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang-kejang, aborsi, dan infeksi. Namun,
ternyata masih ada faktor lain yang juga cukup penting. Misalnya, pemberdayaan perempuan
yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan
masyarakat dan politik, kebijakan juga berpengaruh. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya
ikut aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi secara lebih bertanggung jawab.
Selain masalah medis, tingginya kematian ibu juga karena masalah ketidaksetaraan gender,
nilaibudaya, perekonomian serta rendahnya perhatian laki-laki terhadap ibu hamil dan
melahirkan. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa
alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat perhatiandari masyarakat.
Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu baik oleh pemerintah, swasta,
staf kesehatan maupun masyarakat terutama suami.

II.2.1 Mutu Pelayanan

II.2.1.1 Pengertian Mutu

Mutu adalah keseluruhan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan


kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik berupa kebutuhan yang
dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat (Efendi, Ferry. 2009).

Menurut IBM, 1982. Mutu adalah memenuhi persyaratan yang diminta konsumen,
baik konsumen internal maupun eksternal, dalam hal layanan dan produk yang bebas cacat
(Al-Assaf, 2009).

Menurut Xerox, 1983. Mutu adalah menyediakan konsumen kita dengan produk yang
inovatif dan layanan yang sepenuhnya memuaskan permintaan mereka (Al-Assaf, 2009).

Menurut Al-Assaf, 1998. Mutu adalah suatu proses pemenuhan kebutuhan dan
harapan konsumen, baik internal maupun eksternal. Mutu juga dapat dikaitkan sebagai suatu
proses perbaikan yang bertahap dan terus menerus (Al-Assaf, 2009).

II.2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Mutu

Menurut Moenir (2002), terdapat beberapa faktor yang mendukung berjalannya suatu
pelayanan dengan baik, yaitu:

 Kesadaran para pejabat dan petugas yang berkecimpung dalam pelayanan.


 Aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan.
 Organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya
mekanisme kegiatan pelayanan.
 Ketrampilan petugas.
 Sarana dalam pelaksanaan tugas pelayanan.

MENURUT LORI DI PRETE BROWN, ADA 8 DIMENSI MUTU PELAYANAN, YAITU:

1). Kompetensi teknis (Technical competence)

Adalah terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan petugas, manajer dan staf
pendukung. Kompetensi teknis berhubungan dengan bagaimana cara petugas mengikuti
standart pelayanan yang telah ditetapkan dalam hal: kepatuhan, ketepatan (accuracy),
kebenaran (reliability), dan konsistensi.

2). Akses terhadap pelayanan (Acces to service)

Adalah pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, budaya,
organisasi atau hambatan bahasa.

3). Efektivitas (Effectiveness)

Adalah kualits pelayanan kesehatan tergantung dari efektivitas yang menyangkut norma
pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standart yang ada.

4). Efisiensi (Efficiency)

Adalah dimensi yang penting dari kualitas karena efisiensi akan mempengaruhi hasil
pelayanan kesehatan, apalagi sumberdaya pelayanan kesehatan pada umumnya terbatas.
Pelayanan yang efesien pada umumnya akan memberikan perhatian yang optimal kepada
pasien dan masyarakat. Petugas akan memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber
daya yang dimiliki.

5).Kontinuitas (Continuity)

Adalah klien akan menerima pelayanan yang lengkap yang dibutuhkan (termasuk rujukan)
tanpa mengulangi prosedur diagnose dan terapi yang tidak perlu.

6).Keamanan (Safety)

Adalah mengurangi resiko cidera, infeksi atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan.
Keamanan pelayanan melibatkan petugas dan pasien

7).Hubungan antar manusia (Interpersonal relations)


Adalah interaksi antara petugas kesehatan dan pasien, manajer dan petugas, dan antara tim
kesehatan dengan masyarakat. Hubungan antar manusia yang baik menanamkan kepercayaan
dan kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsive, dan
memberikan perhatian.

8).Kenyamanan (Amenities)

Adalah pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis,
tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedianya untuk kembali ke fasilitas
kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya. Amenities juga berkaitan dengan
penampilan fisik dari fasilitas kesehatan, personil,dan peralatan medis maupun non
medis.(Wijoyo, Djoko. 2008).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAYANAN KESEHATAN

1). Ilmu pengetahuan dan teknologi baru

Meningkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan diikuti oleh
perkembangan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah penyakit-penyakit yang sulit
dapat digunakan penggunaan alat seperti leser, terapi penggunaan gen dan lain-lain.

2). Nilai masyarakat

Dengan beragamnya masyarakat, maka dapat menimbulkan pemanfaatan jasa pelayanan


kesehatan yang berbeda. Masyarakat yang sudah maju dengan pengetahuan yang tinggi,
maka akan memiliki keasadaran yang lebih dalam pengunaan atau pemanfaatan jasa
pelayanan kesehatan, demikian juga sebaliknya.

3). Aspek legal dan etik

Dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan atau pemanfaatan jasa


pelayanan kesehatan, maka akan semakin tinggi pula tuntutan hukum dan etik dalam
pelayanan kesehatan, sehingga pelaku pemberi pelayanan kesehatan harus dituntut untuk
memberikan pelayanan kesehatan secara professional dengan memperhatikan nilai-nilai
hokum dan etika yang ada di masyarakat.

4). Ekonomi
Semakin tinggi ekonomi seseorang, pelayanan kesehatan akan lebih diperhatikan dan mudah
dijangkau, begitu juga sebaliknya, keadaan ekonomi ini yang akan dapat mempengaruhi
dalam system pelayanan kesehatan.

5). Politik

Kebijakan pemerintah melalui system politik yang ada akan semakin berpengaruh sekali
dalam system pemberian pelayanan kesehatan. Kebijakan-kebijakan yang ada dapat
memberikan pola dalam sistem pelayanan.(Aziz, Alimul. 2008).

MUTU DAPAT DICAPAI DENGAN MEMPERHATIKAN HAL-HAL SEBAGAI


BERIKUT:

1). Berfokus pada pelanggan

Yang menentukan mutu barang dan jasa adalah pelanggan eksternal.Pelanggan internal
berperan dalam menentukan mutu manusia, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan
barang dan jasa.

2). Obsesi terhadap mutu

Penentuan akhir mutu adalah pelanggan internal dan eksternal.Dengan mutu yang ditentukan
tersebut, organisasi harus berusaha memenuhi atau melebihi yang telah ditentukan.

3). Pendekatan ilmiah

Terutama untuk merancang pekerjaan dan proses pembuatan keputusan dan pemecahan
masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dirancang tersebut.

4). Komitmen jangka panjang

Agar penerapan mutu dapat berhasil, dibutuhkan budaya organisasi yang baru.Untuk itu,
perlu ada komitmen jangka panjang guna mengadakan perubahan budaya.

5). Kerja sama tim

Kerja sama tim, kemitraan, dan hubungan perlu terus-menerus dijalin dan dibina, baik antar
aparatur antar organisasi maupun dengan pihak luar (masyarakat).

6). Perbaikan sistem secara berkesinambungan


Setiap barang dan jasa dihasilkan melalui proses di dalam suatu system atau lingkungan.
System yang ada perlu diperbaiki secara terus-menerus agar mutu yan dihasilkan lebih
meningkat.

7). Pendidikan dan pelatihan

Pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang mendasar (fundamental). Disini berlaku
prinsip belajar yang merupakan proses tiada akhir dan tidak mengenal batas usia. (Efendi,
Ferry. 2009).

PRINSIP PENINGKATAN MUTU PELAYANAN:

1). Memenuhi kebutuhan pasien

Memenuhi pelayanan yang di inginkan pasien.

Memenuhi apa yang dipikirkan pasien tentang pelayanan yang anda berikan.

Membangun kebersamaan antara pasien dan petugas terhadap pelayanan kesehatan yang
diberikan.

2). Mengukur dan menilai pelayanan yang diberikan

Mengukur dan menilai apa yang dilakukan.

Mengukur pengaruh pelayanan yang diberikan terhadap kepuasan pasien.

Mengukur dan menilai variable yang penting guna perbaikan.

3). Memperbaiki proses pelayanan

Menyederhanakan memperbaiki proses terus menerus, sesuai standar pelayanan.

Mengurangi kesalahan dan hasil yang buruk.

4). Meningkatkan mutu pemberi pelayanan


Integrasi tim untuk mengurangiduplikasi hasil pekerjaan dan pemborosan sumberdaya.

Memberikan penghargaan, meningkatkan tanggung jawab, dan kerjasama dalam pelayanan


kesehatan.

Membentuk dan mmberdayakan GKM atau kelompok budaya kerja.

5). Memenuhi (kuantitas) dan kualitas sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan
pelayanan kesehatan. (Wijoyo, Djoko. 2008).

TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN

Adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Menurut Leavel dan Clark
dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memandang pada tingkat pelayanan kesehatan
yang akan diberikan, di antara tingkat pelayanan kesehatan tersebut adalah:

1). Health Promotion (promosi kesehatan)

Bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan agar masyarakat atau sasarannya tidak terjadi
gangguan kesehatan.Tingkat pelayanan ini dapat meliputi, keberhasilan perseorangan,
perbaikan sanitasi lingkungan, pemeriksaan kesehatan berkala, kebiasaan hidup sehat,
peningkatan status gizi, dan lain-lain.

2). Specific Protection (perlindungan khusus)

Melindungi masyarakat dari bahaya yang akan menyebabkan penurunan status kesehatan,
atau bentuk perlindungan terhadap penyakit-penyakit tertentu/ ancaman kesehatan, misalnya
pemberian imunisasi yang di gunakan untuk perlindungan pada penyakit tertentu seperti
imunisasi BCG, DPT, Hepatitis, campak dan lain-lain.

3). Early Diagnosis and Prompt Treatment (diagnosis dini dan pengobatan segera)

Timbulnya gejala pada suatu penyakit.Tingkat pelayanan ini dilakukan untuk mencegah
meluasnya penyakit yang lebih lanjut serta dampak dari timbulnya penyakit sehingga tidak
terjadi penyebaran.Misalnya berupa kegiatan dalam rangka survey pencarian kasus baik
secara individu maupun masyarakat/ kelompok.

4). Disability Limitation (pembatasan cacat)


Dilakukan untuk mencegah agar pasien atau masyarakat tidak mengalami dampak kecacatan
akibat penyakit yang ditimbulkan.Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan misalnya perawatan
untuk mwnghentikan penyakit, mencegah komplikasi lebih lanjut, memberikan segala
fasilitas untuk mengatasi kecacatan dan mencegah kematian.

5) Rehabilitation (rehabilitasi)

Pelayanan ini dilaksanakan setelah pasien di diagnose sembuh. Sering pada tahap ini
dijumpai pada fase pemulihan terhadap kecacatan sebagaimana program latihan-latihan yang
diberika kepada pasien, kemudian memberika fasilitas agar pasien memiliki keyakinan
kembali atau gairah hidup kembali ke masyarakat dan masyarakat mau menerima dengan
senang hati karena kesadaran yang dimilikinya. (Aziz Alimul. 2008).

LEMBAGA PELAYANAN KESEHATAN

Adalah tempat pemberian pelayanan kesehatan pada masyarakat dalam rangka meningkatkan
status kesehatan. Tempat pelayanan kesehatan dapat berupa, yaitu:

1). Rawat Jalan

Bertujuan memberikan pelayanan kesehatan pada tingkat pelaksanaan diagnosis dan


pengobatan pada penyakit yang akut dan mendadak dan kronis yang dimungkinkan tidak
terjadi rawat inap.Dapat dilakukan pada klinik-klinik kesehatan, seperti klinik dokter
spesialis, klinik perawatan spesialis dan lain-lain.

2). Institusi

Adalah pelayanan kesehatan yang fasilitasnya cukup dalam memberika berbagai tingkat
pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, pusat rehabilitas, dan lain-lain.

3). Hospice

Adalah pelayanan kesehatan yang difokuskan pada klien yang sakit terminal agar lebih
tenang dan dapat melewati masa-masa terminalnya dengan tenang.Misalnya digunakan dalam
home care.

4). Community Based Agency


Adalah pelayanan kesehatn yang dilakukan pada klien pada keluarganya sebagaimana
pelaksanaan perawatan keluarga seperti praktek perawat keluarga dan lain-lain.( Aziz Alimul,
2008).

LINGKUP PELAYANAN KESEHATAN

Dalam pelayanan kesehatan terdapat tiga bentuk, yaitu:

1). Primary health care (pelayanan kesehatan tingkat pertama)

Dilaksanakan atau dibutuhkan pada masyarakat yang memiliki masalah kesehatan yang
ringan atau masyarakat yang sehat tetapi ingin mendapatkan peningkatan kesehatan agar
menjadi optimal dan sejahtera.Pelaksanaan kesehatan ini dapat dilaksanakn oleh puskesmas
atau balai kesehatan masyarakat dan lain-lain.

2). Secondary heaith care (pelayanan kesehatan tingkat kedua)

Dibutuhkan bagi masyarakat atau klien yang membutuhkan perawatan dirumah sakit atau
rawat inap dan tidak dilaksanankan di pelayanan kesehatan utama.Pelayanan kesehatan ini
dilaksanakan di rumah sakit yang tersedia tenaga spesialis atau sejenisnya.

3). Tertiary health services (pelayanan kesehatan tingkat ketiga)

Merupakan tingkat pelayanan yang tertinggi dimana tingkat pelayanan ini apabila tidak lagi
dibutuhkan pelayanan pada tingkat pertam dan kedua. Biasnya pelayanan ini membutuhkan
tenaga-tenaga yang ahli atau subspesialis dan sebagai rujukan utama seperti rumah sakit yang
tipe A atau B. (Aziz Alimul, 2008).

CARA MENGUKUR MUTU PELAYANAN

1). Pengukuran Mutu Prospektif

Pengukurannya akan ditukan terhadap struktur atau input layanan kesehatan dengan asumsi
bahwa layanan kesehatan harus memiliki sumber daya tertentu agar dapat menghasilkan
suatu layanan yang bermutu.

2). Pengukuran mutu Retrospektif


Pengukuran ini biasanya merupakan gabungan dari beberapa kegiatan seperti penilaian
catatan keperawatan (nursing record), wawancara, pembuatan kuesioner, dan
menyelenggarakan pertemuan.

3). Pengukuran mutu konkuren

Pengukuran ini dilakukan melalui pengamatan langsung dan kadang-kadan perlu lenkapi
dengan peninjauan pada catatan keperawatan serta melakukan wawancara dan mengadakan
pertemuan denagan klien, keluarga atau petugas kesehatan.(Efendi, Ferry. 2009).
BAB III

RENCANA PROGRAM

a. Tantangan
Tiga tantangan utama percepatan penurunan AKI adalah masih kurang optimalnya
akses terhadap pelayanan di fasilitas kesehatan yang berkualitas, terbatasnyasumber daya
strategis untuk kesehatan ibu dan neonatal, serta rendahnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang kesehatan ibu. Tiga tantangan utama ini yang kemudian mendasari
penentuan tiga strategi dan pemilihan program utama.
b. Strategi yang digunakan dalam mencapai target AKI tahun 2015 adalah :
1. Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu
Bukti – bukti sangat kuat menunjukkan bahwa keselamatan nyawa ibu hamil, bersalin
dan nifas sangat dipengaruhi oleh aksesnya setiap saat terhadap pelayanan kebidanan yang
berkualitas, terutama karena setiap kehamilan dan persalinan mempunyai resiko mengalami
komplikasi yang mengancam jiwa.
Konsep pelayanan kebidanan berkesinambungan yang disampaikan di bab
sebelumnya mendasari sangat pentingnya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan,
sedemikian rupa sehingga setiap ibu hamil dan bersalin yang mengalami komplikasi
mempunyai akses ke pelayanan kesehatan berkualitas secara tepat waktu dan tepat guna.
Pelayanan berkesinambungan ini terutama sangat penting pada periode proses persalinan dan
dalam 24 jam pertama pasca-salin oleh karena di dalam waktu yang sangat pendek tersebut
sebagian besar kematian ibu terjadi.
Akses terhadap pelayanan untuk kasus-kasus tertentu yang dapat memperburuk
kondisi ibu hamil, bersalin dan nifas, dan kasus-kasus yang mempunyai implikasi kesehatan
dan sosial yang luas di masa mendatang, yaitu Anemia, Malaria di daerah endemis,
HIV/AIDS, Asuhan Paska Keguguran dan kehamilan pada remaja, sangat perlu
mendapatkan perhatian.
2. Peningkatan Peran Pemerintah Daerah terhadapPeraturan yang dapat mendukung
secara efektif pelaksanaan Program
Sistem pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sistem pelayanan publik lainnya
yang pengaturannya dalam beberapa aspek sangat ditentukan oleh kebijakan dan peraturan
daerah (PERDA), seperti penyediaan dan penempatan tenaga kesehatan dan tenaga
penunjang kesehatan, serta penyediaan sarana dan prasarana kesehatan.
Tenagakesehatanmerupakan ujung tombak dari pelaksanaan program pelayanan
kesehatan. Oleh karena itukebijakanpenempatantenagakesehatanmempunyai posisi yang
sangat strategis sehingga perludiatursecarajelas dan tegas. Kebijakan perlu dilengkapi dengan
penerapanrewarddanphunishment yang jelas,baikterhadap tenagaspesialis, dokter, bidan, dan
tenaga terkait kesehatan lainnya. Oleh karena hasil pelayanan kesehatan yang optimal sangat
dipengaruhi oleh kualitas pelayanan, maka penjaminan kompetensitenaga kesehatan perlu
mendapatkan perhatian, melalui berbagai upaya yang meliputi pendidikan pre13 service yang
adekuat, pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan yang telah bekerja (in-
service training), penerapankewenangantenaga kesehatan yang sesuai, sertifikasi tenaga dan
fasilitas kesehatan, pemberian ijin praktek tenaga kesehatan dan upaya audit
pelayananterhadap tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan. Peran PEMDA dan
Pemerintah Pusat dalam pengaturan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan sangat
diharapkan untuk dapat berfungsi dengan efektif. Ketersediaan tenaga yang kompeten saja
tidak cukup tanpa didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, termasuk ketersediaan
darah 24/7. Perlu dilakukan koordinasi yang baik antara UTD RSUD dengan PMI, UTD RS
yang lebih tinggi (provinsi) dan UTD RS swasta dalam penyediaan darah untuk pasien.
Penguatan sistem rujukan perlu mendapatkan dukungan yang kuat dari PEMDA dan
pemangku kepentingan lainnya, sedemikian rupa, sehingga pasien yang dirujuk segera
mendapatkan pertolongan. Dukungan sangat diperlukan mengingat proses rujukan
memerlukan keterlibatan berbagai pihak yaitu masyarakat, tenaga dan fasilitas kesehatan di
tingkat pelayanan kesehatan dasar, Rumah Sakit (pemerintah maupun swasta) termasuk UTD
RS, dan PMI. Perlu dipertimbangkan upaya-upaya regionalisasi daerah yang disesuaikan
dengan kondisi daerah masing-masing, agar ada kejelasan dalam tujuan tempat rujukan.
Upaya regionapisasi tersebut antara lain klaster pulau, klaster daerah pantai, klaster wilayah
kota dengan kabupaten terdekat, dsb.Untuk hal ini, dukungan melalui Peraturan Gubernur
mungkin dapat membantu mempermudah upaya regionalisasi rujukan.
Dalam pelaksanaannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, peran
sektor swasta tidak dapat diabaikan mengingat kapasitas fasilitas kesehatan pemerintah yang
terbatas dan akhir akhir ini masyarakat sudah mulai cenderung memilih pelayanan kesehatan
swasta terutama di perkotaan. Oleh karena itu, sektor swasta harus mempunyai peran aktif
untuk bersama-sama secara terkoordinasi memberikan pelayanan kesehatan terbaik sesuai
kebutuhan masyarakat, dengan diatur oleh PERDA.
Penjelasan diatas mengindikasikan peran kuat Pemerintah Daerah untuk mengatur
terselenggaranya pelayanan kesehatan secara optimal kepada masyarakat sangat esensial,
termasuk pengaturan peran berbagai sektor pemerintah, peran organisasi masyarakat dan
peran pihak swasta. Peran sektor pemerintah tingkat Pusat perlu dikoordinasikan agar saling
melengkapi untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan yang baik di daerah.
3. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat
Pengaturan kehamilan dan persalinan seharusnya merupakan keputusan yang dibuat bersama-
sama antara seorang calon ibu dengan suami dan keluarganya, bukan merupakan keputusan
yang tidak diinginkan oleh ibu, baik oleh karena alasan kesehatan ataupun alasan-alasan
kesiapan lainnya. Keluarga perlu mempunyai pengertian bahwa setiap kehamilan harus
merupakan kehamilan yang diinginkan oleh ibunya, termasuk kapan kehamilan dikehendaki
dan berapa jumlah anak yang diinginkan. Selain itu perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan
pengetahuan dan sikap keluarga dan masyarakat pada umumnya mengenai pentingnya
memahami bahwa setiap kehamilan beresiko mengalami komplikasi yang mengancam jiwa,
oleh karenanya perlu melakukan perencanaan persalinan dengan baik dan perencanaan untuk
melakukan pencegahan dan pencarian pertolongan segera bila komplikasi terjadi (kesiapan
transportasi, dana, dan calon donor darah).
c. Program Utama
Program Utama terpilih merupakan program yang dianggap akan mempunyai daya ungkit
yang besar dalam upaya percepatan penurunan AKI oleh karena menjamin tersedianya
pelayanan berkualitas yang dapat diakses setiap saat, yang meliputi:
1. Penyediaan pelayanan KIA di tingkat desa sesuai standar
2. Penyediaan fasyankes di tingkat dasar yang mampu memberikan pertolongan persalinan
sesuai standar selama 24 jam - 7 hr / mgg
3. Penjaminan seluruh Puskesmas Perawatan, PONED dan RS PONEK 24 jam - 7 hari / mgg
berfungsi sesuai standar
4. Pelaksanaan rujukan efektif pada kasus komplikasi
5.PenguatanPemdaKabupaten/Kota dalamtatakeloladesentralisasi program kesehatan
(regulasi, pembiayaandll)
6. Pelaksanaan kemitraan lintas sektor dan swasta
7. Peningkatan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui pemahanan dan
pelaksanaan P4K serta Posyandu
d. Program dan Kegiatan
1. ProgramMenuju Penjaminan kompetensi Bidan di desa sesuai standar
a. Menyediakan sarana pelayanan di desa (Poskesdes)di lokasi dimana akses terhadap
pelayanan yang lebih lengkap belumdapat dipenuhi. Perlu kejelasan mengenai
fungsi Poskesdes, sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
1. Penyediaan sarana pelayanan di Poskesdes
2. Penyediaan Bidan Kit,termasuk alat pemeriksaan Hb
15
b. Meningkatkan keterampilan bidan dalam pertolongan persalinan dan pemeriksaan
antenatal care terpadu
1. Pelatihan APN: bagi Bidan di desayang di dalam kurikulum pendidikannya belum
menyertakan komponen seperti didalam APN (termasuk praktek yang cukup);
dan bagi Bidan yang kompetensinya belum memenuhi standar
2. Pelatihan ANC terpadu
3. Pelatihan untuk bidan dalam memberikan konseling dan edukasi kepada
masyarakat tentang kesehatan dan gizi ibu dan bayi, sehingga bidan dapat lebih
efektif dalam mengubah sikap masyarakat agar lebih waspada dalam menyikapi
kehamilan dan dapat lebih siaga ketika terjadi komplikasi.
Program pelatihan harus dilengkapi dengan komponen EvaluasiPascaPelatihan serta
monitoring secara periodik, contohnya melalui self assessment dengan
menggunakan daftar tilik
c. Menjaga/meningkatkan mutu pelayanan KIA melalui:
1. Meningkatkan kegiatan supervisi fasilitatif terhadap bidan di desa
2. ProgramMenujuPenjaminan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan mampu
pertolongan persalinan 24/7 sesuai standar
a. Meningkatkan deteksi dan pertolongan pertama kasus komplikasi dan rujukan
efektif
1. Meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu memberikan pertolongan
persalinan sesuai standar yang berfungsi 24/7:
• Melengkapi/menambah ruangan bersalin di Puskesmas,
• Melengkapi sarana dan prasarana termasuk obat,
• Melatih tim puskesmas agar dapat berfungsi 24/7, termasuk melakukan
deteksi dan pertolongan pertama kasus komplikasi dan rujukan efektif
2. Melakukan ANC terpadu, termasuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA).
3. Melakukan skrining pemeriksaan Hemoglobin bagi setiap ibu yang memeriksakan
kandungannya ke fasilitas kesehatan
b. Meningkatkan ketersediaan fasilitas yang berfungsi memberikan pelayanan penanganan
komplikasi:
1. Meningkatkan jumlah Puskesmas yang berfungsi PONED 24/7:
• Melengkapi/menambah tim PONED terlatih. Idealnya, dapat tersedia 2 tim terlatih untuk
setiap Puskesmas PONED agar pelayanan tersedia 24 jam 7 hari. Pada keadaan dimana tidak
dapat disediakan 2 tim, maka diharapkan ada proses pembelajaran dari tim atau staf terlatih
kepada staf Puskesmas PONED lainnya (in-house training).
• Melengkapi sarana dan prasarana Puskesmas PONED termasuk obat,
• Melakukan penyegaran terhadap tim PONED yang sudah ada mengingat kasus komplikasi
jarang mereka temui
• Memastikan adanya sarana rujukan transportasi dan komunikasi yang memadai
2. Membentuk Puskesmas mampu PONED yang berfungsi 24/7 bagi daerah terpencil dan
kepulauan, dengan perhatian dan bimbingan khusus dari RS PONEK, agar fungsi Puskesmas
PONED dan rujukan yang efektif dapat terselenggara dengan baik.
c. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan RS rujukan baik yang berada di wilayahnya
maupun di wilayah lainnya (RS provinsi, RS di wilayah perbatasan, RS militer, RS swasta)
untuk memperluas akses rujukan kasus komplikasi di RS.
d. Mengoptimalkan pemanfaatan asuransi kesehatan bagi masyarakat yang berhak
(Jampersal, SJSN), dengan:
1. Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk pelaksanaan Jampersal/SJSN
di setiap tingkat pelayanan sehingga tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masingmasing
pihak jelas.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban terkait
asuransi kesehatan
e. Meningkatan Kualitas Pelayanan
1. Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan di tingkat dasar melalui berbagai
pendekatan, antara lain pelatihan, magang, dan in-house training, agar kompeten
dalam memberikan pertolongan persalinan normal, termasuk melakukan pencegahan
komplikasi sehingga kasus-kasus yang dirujuk ke RS bukan kasus persalinan normal.
Sebaliknya, meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan agar dapat melakukan
identifikasi dini kasus komplikasi, memberikan pertolongan pertama kasus
komplikasi dan melakukan rujukan kasus-kasus yang memerlukan penanganan di RS
secara efektif, termasuk pemantauan dan penstabilan pasien selama proses rujukan
sehingga kasus tiba di RS dalam waktu yang cepat dan tepat.
2. RS PONEK melakukan pembinaan ke Puskesmas PONED
3. Melaksanakan Audit Maternal Perinatal (AMP) pada kasus kematian ibu dan bayi baru
lahir yang disertai dengan tindak lanjutnya.
4. Melaksanakan rujukan balik(back referral) agar perujuk mendapatkan pembelajaran dari
hasil tindakannya dan dapat meneruskan pemantauan pasien pasca rawat.
5. Melakukan supervisi fasilitatif terhadap pelayanan PONED yang dilaksanakan oleh Bidan
koordinator kabupaten atau tenaga kesehatan lainnya yang ditunjuk
3. ProgramMenujuPenjaminan seluruh Puskesmas PONED dan RS PONEK
Kabupaten/
Kota berfungsi 24/7 sesuai standar
a. Meningkatkan kualitas petugas pelayanan kesehatan di RS rujukan agar dapat menangani
kasus komplikasi dengan tepat waktu dan tepat guna, termasuk adanya pedoman standar
pelayanan kasus-kasus komplikasi.
b. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan RS Rujukan lainnya baik di wilayah yang
sama atau wilayah lain terdekat, yaitu dengan RS tipe lebih tinggi, RS/RSB swasta, dan RS
Militer untuk memperluas akses kasus komplikasi di RS sebagai bagian dari jejaring rujukan.
c. Menjamin akses terhadap darah yang aman:
1. Meningkatkan dan memperkuat kerjasama dengan PMI
2. Meningkatkan fungsi UTD
3. Memastikan seluruh RS memiliki Bank Darah Rumah Sakit (BDRS)
4. Membuat jejaring penyediaan darah antar RS, baik di wilayah yang sama maupun wilayah
lain terdekat untuk meningkatkan kerjasama antar RS, di wilayah maupun diluar wilayah
(provinsi atau kab&kota lain) dalam pengadaan darahMemastikan seluruh RS memiliki Bank
Darah Rumah Sakit (BDRS),
d. Meningkatkan pelayanan Keluarga Berencana Pasca salin bekerja-sama dengan sektor
terkait terutama Rumah Sakit dan BKKBN
e. Menjamin ketersediaan pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir setiap saat (24 jam 7 hari)
1. Melengkapi/menambah tenaga untuk menjamin pemberian pelayanan 24/7:
Sedikitnya tersedia 1 tim yang dapat melakukan fungsi PONEK atau memberikan
pelayanan untuk kasus gawat daruratdengan pengaturan sedemikian rupa sehingga pelayanan
tersedia dalam 24 jam 7 hari. Pada keadaan dimana tidak dapat selalu tersedia tim lengkap,
maka diharapkan ada proses pembelajaran dari tim atau staf terlatih kepada staf RS lainnya
(in-house training), sehingga pelayanan tetap dapat diberikan. Pada keadaan dimana tidak
ada tim PONEK atau tim yang dapat memberikan pelayanan untuk keadaan gawat darurat,
terutama daerah terpencil dan kepulauan, perlu dipertimbangkan pendekatan khusus, antara
lain bekerja sama dengan institusi pendidikan spesialis dan RS Provinsi. Tenaga juga
termasuk operator operasi Cesar (SPOG/PPDS Kebidanan), Anestesi (Dr, paramedis), Bidan,
dan Perawat.
2. Melengkapi/menambah ketersediaan sarana dan prasarana: ruang operasi dan pengaturan
prioritas penggunaannya, kit operasi Cesar, obat, darah, dsb.
3. Melakukan pendekatan inovatif bagi RS yang kekurangan SDM strategis terutama di
DTPK. Pola pembinaan dan pengisian tenaga RS daerah oleh RS besar yang ada di wilayah
atau luar wilayah (RS provinsi atau RS terdekat) merupakan alternatif yang dapat dijajagi.
Sebagai contoh adalah Program Sister Hospital yang mendukung Program Revolusi KIAdi
provinsi NTT, sehingga pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dapat disediakan.
f. Meningkatkan Kualitas Pelayanan KIA
1. Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan melalui pelatihan, magang, inhouse training,
pembinaan, yaitu Bidan, Dokter, dan Spesialis.
2. Melakukan audit pada setiap kematian ibu dan bayi baru lahir yang terjadi di RS
3. Mengoptimalkan pelaksanaan supervisi dan jaga mutu di RS
4. Menggunakan maklumat pelayanan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam
peningkatan kualitas pelayanan
g. Memperkuat Sistem Pelayanan di RS
1. Mengembangkan/memodifikasi kebijakan di fasilitas pelayanan: alur penerimaan dan
penanganan kasus darurat kebidanan dan bayi baru lahir, ketersediaan dan berfungsinya
ruang gawat darurat, dll.
2. Melaksanakan rujukan balik/back-referral dari RS ke perujuk, agar terjadi pembelajaran
untuk tenaga perujuk dan pemantauan pasien pasca-rawat dapat dilakukan oleh
fasilitas/tenaga perujuk
4. ProgramMenuju Penjaminan terlaksananya Rujukan Efektif pada kasus komplikasi
a. Menjamin Tersedianya Pedoman Rujukan
1. Mengembangkan/memantapkan Pedoman Rujukan yang jelas di tingkat pusat.
2. Mengembangkan/memantapkan Pedoman Rujukan yang jelas dan operasional di tingkat
daerah, termasuk fungsi dan peran setiap tingkat pelayanan, sedemikian rupa sehingga
pemanfaatan pelayanan sesuai dengan kebutuhan.
3. Mengembangkan pedoman rujukan balik dari RS rujukan ke petugas/fasilitas perujuk
4. Mengembangkan pedoman rujukan untuk pasien yang memanfaatkan program
Jampersal/SJSN atau program asuransi kesehatan pemerintah lainnya.
b. Menjamin Tersedianya Sistem Rujukan yang Mantap:
1. Mengembangkan/memantapkan sistem jejaring yang disepakati bersama, yang meliputi
“Jejaring Rujukan Vertikal” yaitu antara pelayanan dasar dan pelayanan di jenjang yang lebih
tinggi (pelayanan di RS), dan “Jejaring Rujukan Horisontal” yaitu antar RS (pemerintah dan
swasta); antara bidan di desa atau bidan puskesmas dengan BPS, antara Puskesmas PONED
dengan RB, dst.
2. Mengembangkan/memantapkan sistem jejaring regional yang disepakati bersama, terutama
untuk menangani daerah-daerah terpencil dan perbatasan.
3. Mengembangkan Sistem Komunikasi Rujukan yang mempunyai dua tujuan, yaitu:
a. untuk pembimbingan pelayanan (oleh SpOG kepada dokter umum atau bidan di lapangan,
oleh bidan senior kepada bidan di lapangan, dst);
b. untuk mendapatkan konfirmasi ketersediaan pelayanan RS rujukan (keberadaan dokter,
ketersediaan tempat tidur, ketersediaan darah, obat, dll).
4. Memantapkan sistem penerimaan dan pananganan kasus gawat darurat di dalam rumah
sakit, termasuk alur penanganannya, koordinasi dengan dokter spesialis kebidanan atau PPDS
kebidanan, dan koordinasi dengan dokter spesialis lainnya terkait kematian ibu dengan sebab
indirek.
5. Mengembangkan/memantapkan sistem jejaring yang disepakati bersama untuk daerah
terpencil dan kepualauan
5. ProgramMenuju Penjaminan Dukungan Pemerintah Daerah terhadappelaksanaan
Program Percepatan Penurunan Kematian Ibu.
Dukungan Pemerintah Daerah tersebut dihasilkan melalui pendekatan District Team
Problem Solving (DTPS), yang meliputi:
a. Regulasi dalam Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan
1. Menyampaikan usulan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memenuhi kebutuhan
tenaga di berbagai tingkatan fasilitas kesehatan sehingga masyarakat mempunyai akses setiap
saat kepada pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir yang dibutuhkannya.
Usulan tersebut meliputi:
• Melengkapi tenaga di Fasilitas PONED dan PONEK yang belum mempunyai tenaga terlatih
• Menempatkan sedikitnya 1 tim, dan apabila memungkinkan di daerah-daerah tertentu 2
timTenaga PONED di fasilitas PONED secara bertahap
• Menempatkan sedikitnya 1 tim, dan apabila memungkinkan di daerah-daerah tertentu 2 tim
Tenaga PONEK di fasilitas RS PONEK secara bertahap
• Menjamin ketersediaan tenaga spesialis di RS PONEK atau RS Pemerintah yang belum
berstatus PONEK
2. Menyampaikan usulan kepada Pemerintah Daerah agar menjamin penempatan tenaga yang
sudah dilatih PONED/PONEK untuk tidak dimutasi atau diganti dengan tenaga lain setara
yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
b. Regulasi dalam pengadaan dan penjaminan ketersediaan alat dan obat yang diperlukan di
setiap fasilitas kesehatan
1. Meningkatkan dan memantapkan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah agar
alat dan obat yang dibutuhkan terjamin setiap saat, termasuk proses pengajuan, pengadaan,
distribusi, dan penyimpanan
2. Meningkatkan dan memantapkan koordinasi dengan PMI mengenai penyediaan darah, bila
diperlukan melalui Nota Kesepahaman tingkat daerah
3. Meningkatkan dan memantapkan koordinasi antar RS, pemerintah maupun swasta, baik
didalam wilayah maupun di luar wilayah (RS provinsi atau RS terdekat), dalam penyediaan
alat, obat dan darah, bila diperlukan melalui Nota Kesepahaman tingkat daerah
c. Regulasi dalam tata kelola administrasi dan keuangan daerah
1. Menyampaikan usulan kepada Pemerintah Daerah agar meningkatkan alokasi APBD
mendukung kegiatan kesehatan yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk mencapai MDG 5,
yaitu tersedianya pelayanan berkesinambungan yaitu Bidan yang kompeten, fasilitas
kesehatan mampu PONED dan RS mampu PONEK
2. Menyampaikan usulan kepada Pemerintah Daerah mengenai perlu adanya upaya terobosan
terkait jasa pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir, antara lain mempertimbangkan aspek
kedaruratan dalam pemberian pelayanan (waktu diluar jam kerja).
3. Menyampaikan usulan kepada Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan yang jelas
untuk daerah perbatasan dan terpencil, termasuk peraturan mengenai rujukan kasus
komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir sehingga mempermudah akses mereka ke
pelayanan kesehatan terdekat
d. Regulasi dalam peningkatan kualitas/keterampilan tenaga kesehatan
1. Menyampaikan usulan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kualitas dan
keterampilan klinis tenaga kesehatan melalui pelatihan, magang atau program pendidikan
lainnya
2. Mengatur perijinan pembukaan sekolah-sekolah atau akademi di daerah agar mengacu
pada standar kompetensi profesi yang berlaku. PEMDA dapat bekerja sama dengan
organisasi profesi terkait
e. Regulasi dalam sistem informasi kesehatan ibu dan neonatal
1. Mengembangkan pedoman sistem pencatatan dan pelaporan terintegrasi (secara vertikal
dan horizontal)
2. Menetapkan indikator kunci untuk keperluan monitoring dan evaluasi
3. Melakukan analisis dan pemanfaatan informasi sebagai dasar penentuan kebijakan dan
program
f. Penjaminan dukungan dalam regulasi lainnya yang diperlukan
1. Menyusun kebijakan makro dan fundamental terkait dengan Puskesmas. Kebijakan ini
meliputi: konsep Puskesmas, ketenagaan spesifik dan tata kelola keuangan
2. Menyusun regulasi untuk penetapan daerah prioritas pelayanan kesehatan
3. Melakukan sosialisasi tentang pedoman rujukan nasional (Permenkes No 1/2012)
4. Menyusun peraturan tentang sistem rujukan tingkat kabupaten/kota
5. Melakukan advokasi untuk penundaan usia perkawinan atas dasar pertimbangan kesehatan
6. ProgramPeningkatan Kemitraan dengan Lintas Sektor dan Swasta
Bekerjasama dengan sektor lain, selain dengan PEMDA, yaitu:
1. Institusi pendidikan kedokteran untuk dapat bekerja di RS daerah sehingga ketersediaan
pelayanan adekuat 24 jam/7 hari dapat terjamin a.l. melalui penempatan dokter PPDS
kebidanan
2. Sektor swasta yang secara langsung memberikan pelayanan kebidanan (RB, Klinik, RS),
diharapkan dapat melakukan koordinasi dalam pemberian pelayanan kebidanan untuk
masyarakat, termasuk dalam sistem rujukan, melalui suatu Nota Kesepahaman (MoU)
Kerjasama
3. BKKBN, untuk meningkatkan akses semua wanita usia subur (WUS) terhadap informasi
mengenai kesehatan reproduksi dan akses terhadap metoda KB
4. Sektor Agama, untuk meningkatkan akses semua remaja puteri di pesantren, madrasah
(UKS) maupun kepada calon pengantin yang melakukan registrasi di KUA, terhadap
informasi mengenai kesehatan reproduksi, termasuk kesiapan tubuh untuk usia kehamilan
pertama.
5. Sektor Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk meningkatkan akses semua remaja,
khususnya remaja puteri, di sekolah (UKS) terhadap informasi mengenai kesehatan
reproduksi. Penerapan wajib sekolah 12 tahun diharapkan dapat dimanfaatkan oleh sektor
kesehatan untuk menyampaikan informasi terkait kesehatan reproduksi dan informasi
kesehatan lainnya.
6. Sektor swasta yang memberikan peran secara tidak langsung (institusi pendidikan tenaga
kesehatan, pemanfaatan CSR perusahaan) diharapkan dapat bekerjasama dalam
meningkatkan cakupan dan pelayanan kebidanan, baik melalui pemenuhan kualitas siswa
didik kesehatan berdasarkan standar yang ditetapkan secara nasional, maupun melalui
pemanfaatan dana CSR.
7. Organisasi Profesi, agar dapat lebih berperan dalam meningkatkan kualitas pelayanan
anggotanya, a.l. melalui pelatihan, magang, pembinaan, pengaturan registrasi tenaga profesi
yang boleh praktik. Pemerintah daerah dan Dinas Kesehatan setempat diharapkan
bekerjasama dengan organisasi profesi dengan peran masing-masing yang disepakati.
8. Organisasi Keagamaan dapat berperan setidaknya dalam dua aspek:
_ Untuk penyampaian informasi kesehatan, a.l. Kespro, dan termasuk informasi asuransi
kesehatan (Jampersal, SJSN), melalui jaringan organisasi yang sudah ada, dan
_ Sebagai bagian dari Jejaring Pelayanan Kesehatan Daerah
9. Mengembangkan/meningkatkan kemitraan lainnya, sesuai dengan situasi dan kondisi di
daerah
7. ProgramPeningkatanPemahaman dan Pelaksanaan Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di Masyarakat
a. Reorientasi dan mengaktifkan kembali konsep kesiapan masyarakat dalam menghadapi
persalinan
1. Orientasi ulang bagi semua petugas kesehatan terkait mengenai konsep P4K sehingga
semua petugas kesehatan mempunyai pemahaman yang tepat dan sama mengenai konsep
P4K, termasuk maksud dan manfaat P4K, dan langkah-langkah yang harus dilakukan.
2. Melakukan orientasi kepada kader kesehatan dan masyarakat tentang tanda bahaya
kehamilan dan persalinan serta peran mereka dalam P4K.
3. Mengaktifkan kembali kegiatan GSI di semua tingkatan (pusat, provinsi, dan kabupaten)
b. Orientasi mengenai pentingnya upaya-upaya dalam periode kehamilan dan persalinan
1. Melakukan Kelas Ibu Hamil dengan menggunakan Buku KIA
2. Mensosialisasikan tanda bahaya kehamilan dan persalinan melalui media yang sesuai
kepada setiap segmen masyarakat sesuai dengan budaya dan norma yang dapat diterima.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengamatan dan data-data yang ada mengenai peningkatan mutu, di
Puskesmas Papua Barat masih belum terlaksana dengan baik dan optimal.
2. Faktor yang menyebabkan meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI), bisa berasal
dari man, methods, environtment, dan material.
3. Pemecahan masalah yang terpilih untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah
dengan cara menunjuk petugas yang khusus mengenai KIA. Agar dapat fokus dalam
pendataan AKI dan mendeteksi komplikasi yang mungkin terjadi selama kehamilan.

IV.2 Saran
a. Bagi Puskesmas
1. Perlunya wawancara mendalam kepada ibu hamil pada saat ANC di
Puskesmas, agar dapat terdata bila ada ibu hamil yang mengalami
komplikasi dan faktor risti.
2. Menunjuk pertugas dalam pendataan AKI untuk mendeteksi faktor risti.
3. Melakukan penyuluhan tentang resiko-resiko yang dapat terjadi pada ibu
hamil.
4. Kepala puskesmas diharapkan melakukan evaluasi rutin dan pendataan
faktor risti pada ibu hamil.
b. Bagi Masyarakat
1. Masyarakat diharapkan lebih proaktif dalam membantu pelaksanaan
pendataan deteksi dini terhadap ibu hamil yang mengalami faktor resiko
tinggi dan komplikasi dalam kehamilan.
2. Masyarakat diharapkan dengan cepat melaporkan kasus kematian maternal
dan neonatal yang ada di sekitarnya kepada petugas.
c. Bagi Dinas Kesehatan
1. Memberikan pemahaman mengenai pentingnya peningkatan mutu
kesehatan, terutama pada staf kesehatan dengan motivasi yang rendah.
2. Peningkatan dukungan pada Puskesmas dalam pengembangan program
deteksi faktor risti dan komplikasi agar tujuan yang diharapkan dapat
tercapai secara optimal.

Anda mungkin juga menyukai